BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kehidupan
manusia di dunia merupakan anugerah dari Allah SWT. Dengan segala pemberian-Nya
manusia dapat mengecap segala kenikmatan yang bisa dirasakan oleh dirinya. Tapi
dengan anugerah tersebut kadangkala manusia lupa akan dzat Allah SWT yang telah
memberikannya. Untuk itu manusia harus mendapatkan suatu bimbingan sehingga di
dalam kehidupannya dapat berbuat sesuai dengan bimbingan Allah SWT. Selain
akidah (pegangan hidup), akhlak (sikap hidup), syariat (jalan hidup) adalah
salah satu bagian agama Islam. Sebagai jaln hidup, syariah merupakan the way of
life umat Islam. Hidup manusia yang
dibimbing dengan syariah akan melahirkan kesadaran untuk berperilaku yang
sesuai dengan tuntutan dan tuntunan Allah dan Rasul-Nya yang tergambar dalam
hukum Allah yang Normatif dan Deskriptif (Quraniyah dan Kauniyah).
Sebagian dari
syariat terdapat aturan tentang ibadah, baik ibadah khusus maupun ibadah umum.
Sumber syariat adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan hal-hal yang belum
diatur secara pasti di dalam kedua sumber tersebut digunakan ra’yu (Ijtihad).
Syariat dapat dilaksanakan apabila pada diri seseorang telah tertanam Aqidah
atau keimanan. Semoga dengan bimbingan syariah hidup kita akan selamat dunia
dan akhirat.
Syariah adalah tatanan dan ketentuan
Allah yang harus dijalankan perintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya,
dalam syariah diajarkan tentang hal-hal yang
wajib, yang sunnah, yang mubah, yang makruh dan yang haram dikerjakan dalam
seluruh aspek kehidupan manusia baik
dalam beribadah maupun dalam pergaulan hidup manusia. Karena hal inilah syariah
sangat penting untuk dipelajari sejak dini mungkin oleh seluruh umat
manusia di bumi ini.
Syariah akan ada disepanjang masa
selama dunia ini belum kiamat, senantiasa relevan degan keadaan dunia dimana
saja, karena syariah adalah atura Allah dan itulah yang akan mengantarkan
manusia kepada kebahagiannya di dunia dan akherat.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Pengertian Syari’ah
2.
Ruang Lingkupnya
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui arti syari’ah
2. Untuk
mengetahui ruang lingkup syari’ah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Ruang lingkupnya
1.
Pengertian
Syariah
Syariat
Islam (Arab:
شريعة إسلامية Kata syara' secara etimologi berarti jalan-jalan yang bisa di
tempuh air", maksud nya adalah jalan yang di lalui manusia untuk menuju
allah. Syariat Islamiyyah)
adalah hukum
atau peraturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Islam. Selain
berisi hukum, aturan dan panduan peri kehidupan, syariat Islam juga berisi
kunci penyelesaian seluruh masalah kehidupan manusia baik di dunia maupun di
akhirat.
Pengertian
Syariah Menurut Ashshiddieqy adalah
sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para hamba-Nya dengan
perantara Rasullullah, supaya para hamba melaksanakannya dengan dasar iman dan
takwa, baik hukum itu mengenai amaliyah lahiriyah maupun yang mengenai akhlak
dan akidah, kepercayaan yang bersifat batiniah.
Menurut
Agnides, Pengertian Syariah ialah
sesuatu yang tidak akan diketahui adanya, seandainya saja tidak ada wahyu
ilahi.
Fyzee Mengemukakan Pengertian Syariah
yaitu sebagai berikut, syariat dalam bahasa Inggris disebut Connon of Law
yakni keseluruhan perintah Tuhan. Dimana Tiap-tiap perintah itu dinamakan
hukum. Hukum Allah tidak mudah dipahami dan syariah itu meliputi semua tingkah
laku manusia.
Pengertian
Syariah Menurut Hanafi adalah apa
(hukum-hukum) yang diadakan oleh Tuhan untuk hamba-hamba-Nya yang di bawah oleh
salah seorang Nabi-Nya, baik hukum-hukum itu berhubungan dengan cara mengadakan
perbuatan, yaitu yang disebut sebagai "hukum-hukum cabang dan
amalan". Oleh karenanya maka dihimpunlah ilmu Fiqih, ataupun mengenai hal
yang berhubungan dengan kepercayaan yaitu yang disebut sebagai
"hukum-hukum Pokok" atau keimanan, yang terhimpun dalam kajian ilmu
kalam.
Menurut
Rosyada, Pengertian Syariah ialah
menetapkan norma-norma hukum untuk menata kehidupan manusia baik dalam
hubungannya dengan Tuhan maupun dengan umat manusia lainnya. Zuhdi Mengatakan, Pengertian Syariah yaitu sebagai hukum
yang ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya untuk Hamba-Nya agar mereka menaati
hukum itu atas dasar iman dan takwa, baik yang berkaitan dengan akidah,
amaliyah (Ibadah dan Muamalah) dan yang berkaitan dengan akhlak.
Berdasarkan Pengertian Syariah diatas, dapat disimpulkan bahwa Pengertian Syariah adalah segala apa
yang disyariatkan oleh Allah. Baik dengan Al-qur'an maupun dengan Sunnah Nabi ataupun yang dapat melengkapi
semua dasar-dasar agama, akhlak, hubungan manusia dengan manusia, bahkan
meliputi juga apa yang menjadi tujuan hidup dan kehidupan manusia untuk
keselamatan dunia dan akhirat.
B.
Ruang
Lingkup
Ruang Lingkup Hukum Islam menurut Zainuddin Ali, sebagai berikut
:
1. Ibadah sebagai Ruang Lingkup
Hukum Islam
Ibadah adalah peraturan-peraturan
yang mengatur hubungan langsung dengan Allah SWT (ritual) yang terdiri atas :
a)
Rukun Islam
Yaitu mengucapkan syahadatin, mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat,
melaksanakan puasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji bila mempunyai
kemampuan (mampu fisik dan nonfisik).
b)
Ibadah yang
berhubungan dengan rukun islam dan ibadah lainnya, yaitu badani dan mali.
Badani (bersifat fisik), yaitu bersuci, azan, iqamat, itikad, doa, shalawat,
umrah dan lain-lain. Mali (bersifat harta) yaitu zakat, infak, sedekah, kurban
dan lain-lain.
2.
Muamalah sebagai Ruang Lingkup Hukum Islam
Muamalah adalah peraturan yang mengatur hubungan
seseorang dengan orang lainnya dalam hal tukar-menukar harta (termasuk jual
beli), di antaranya : dagang, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, kerja sama dagang,
simpanan barang atau uang, penemuan, pengupahan, warisan, wasiat dan lain-lain.
3.
Jinayah sebagai Ruang Lingkup Hukum Islam
Jinayah ialah peraturan yang menyangkup pidana islam,
di antaranya : qishash, diyat, kifarat, pembunuhan, zina, minuman memabukkan,
murtad dan lain-lain.
4.
Siyasah sebagai Ruang Lingkup Hukum Islam
Siyasah yaitu menyangkut masalah-masalah
kemasyarakatan, di antaranya : persaudaraan, tanggung jawab sosial,
kepemimpinan, pemerintahan dan lain-lain.
5.
Akhlak sebagai Ruang Lingkup Hukum Islam
Akhlak yaitu sebagai pengatur sikap hidup pribadi, di
antaranya : syukur, sabar, rendah hati, pemaaf, tawakal, berbuat baik kepada
ayah dan ibu dan lain-lain.
6.
Peraturan lainnya di antaranya
: makanan, minuman, sembelihan, berbutu,
nazar, pemeliharaan anak yatim, mesjid, dakwah, perang
dan lain-lain. Jika ruang lingkup hukum islam di atas dianalisis
objek pembahasannya, maka akan mencerminkan seperangkat norma ilahi yang
mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, hubungan yang terjadi antara
manusia yang satu dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia
dan benda serta alam lingkungan hidupnya. Norma ilahi sebagai pengatur tata
hubungan yang dimaksud adalah kaidah ibadah dalam arti khusus atau yang disebut
kaidah ibadah murni, mengatur cara dan upacara dalam hubungan langsung antara
manusia dengan Tuhannya, dan kaidah muamalah yang mengatur hubungan manusia
dengan sesamanya dan makhluk lain di lingkungannya.
C.
Syariah dan Fiqih
serta keabadian syariat islam
Pengertian
fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah, karena fiqh itu pada
hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah.[1] Karenanya, sebelum membahasa tentang arti
fiqh, terlebih dahulu perlu dibahas arti dan hakikat syariah.
1.
Pengertian Syariah
Secara
etimologis syariah berarti “jalan yang harus diikuti.” Kata syariah muncul dalam
beberapa ayat Al-Qur’an, seperti dalm surah Al-Maidah:48, asy-Syura: 13, yang
mengandung arti “ jalan yang jelas yang membawa kepada kemenangan.”(Prof. Dr.
H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih. Hal. 1). Dalam hal ini agama yang
ditetapkan oleh Allah disebut syariah, dalam artian lughawi karena umart isla
selalu melaluinya dalam kehidupannya.
Menurut
para ahli, syariah secara terminologi adalah “segala titah Allah yang
berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang mengenai akhlak”.
Dengan demikian syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah.
Karena memang syariah itu adalah hukum amaliah yang berbeda menurut perbedaan
Rasul yang membawanya dan setiap yang dating kemudian mengoreksi yang dating
lebih dahulu. Sedangkan dasar agama yaitu tauhid/aqidah tidak berbeda antara
Rasul yang satu dengan yang lain. Sebagian ulama ada yang mengartikan syariah
itu dengan: “ Apa-apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan
perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada hal yang halal dan haram.”
Lebih dalam lagi Syaltut mengartikan syariah dengan “hukum-hukum dan
aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hamba-hambaNya untuk diikuti dalam
hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan manusia. Dr.Farouk Abu Zeid
menjelaskan bahwa syariah itu adalah apa-apa yang ditetapkan Allah melalui
lisan Nabi-Nya. Allah adalah pembuat huku yang menyangkut kehidupan agama dan
kehidupan dunia.
2.
Pengertian Fiqh
Fiqh
secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan
potensi akal.[3] Sedangkan secara terminologi fiqh
merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang
hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang
terinci.
Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin mengatakan fiqh adalah ilmu
tentang hukum-hukum syar’I yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan
dengan dalil-dalil yang tafsili.[4]
Penggunaan
kata “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu menyangkut
ketentuan yang bersifat syar’I, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah.
Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi diatas menjelaskan bahwa fiqh itu
hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian
hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan atau “aqidah”
tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam uraian ini. penggunaan kata “digali
dan ditemukan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan,
penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang hukum. Fiqh itu adalah hasil
penemuan mujtahid dalam hal yang tdak dijelaskan oleh nash.
Dari
penjelasan diata dapat kita tarik benang merah, bahwa fiqh dan syariah memiliki
hubungan yang erat. Semua tindakan manusia di dunia dalam mencapai kehidupan
yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah
dan Rasul itu sebagian terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya yang
disebut syari’ah. Untuk mengetahui semua kehendak-Nya tentang
amaliah manusia itu, harus ada pemahaman yang mendalam tentang syari’ah,
sehingga amaliah syari’ah dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi apapun dan
bagaimanapun. Hasilnya itu dituangkan dalam ketentuan yang terinci. Ketentuan
yang terinci tentang amaliah manusia mukalaf[5] yang diramu dan diformulasikan
sebagai hasil pemahaman terhadap syari’ah itu disebut fiqh.[6]
3.
Keabadian Syariat Islam
Hukum Islam, baik
dalam pengertian syariat maupun dalam pengertian fiqh di bagi dalam dua bidang.
a.
Ibadah, menurut
bahasa, artinya taat, tunduk, turut, ikut, dan doa. Ibadah dalam makna taat
atau mentaati (perintah) diungkapkan Allah dalam Al-Quran surat Yaasiin (36):
60
أَلَمْ
أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ
yang terjemahan artinya sebagai berikut, “Bukankah Aku
telah memerintahkan kepada kamu hai bani Adam supaya kamu tidak menyembah
setan, (karena) sesungguhnya setan itu adalah musuhmu yang nyata”.
Ibadah itu sendiri terbagi atas:
a)
Rukun Islam:
mengucapkan syahadatain, mengerjakan sholat, mengeluarkan zakat, melaksanakan
puasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji bila mempunyai kemampuan (mampu
fisik dan nonfisik)
b)
Ibadah yang
berhubungan rukun Islam dan ibadah lainnya, yaitu bersifat Badani (bersifat
fisik), yaitu bersuci: wudu, mandi, tayamum, peraturan untuk menghilangkan
najis, peraturan air, istinja, dan lain-lain, azan, iqamat, i’tikaf, doa, dan
lain-lain. Dan bersifat Mali (bersifat harta): zakat, infak, shadaqah, qurban,
aqiqah, fidyah,dan lain-lain.
Dalam hubungan ini perlu
dipahami bahwa hakikat ibadah adalah menumbuhkan kesadaran pada diri manusia
bahwa ia sebagai insan diciptakan Allah khusus untuk mengabdi kepada-Nya. Hal
ini dijelaskan dalam surat Adz-Zariyaat (51): 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُون
“Dan, Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untk beribadah
kepada-Ku”.
Ketentuan hukum ibadah ini,
semula diatur secara global (mujmal) dalam Al-Quran, kemudian dijelaskan oleh
Sunnah Rsul—berupa ucapan, perbuatan atau penetapannya—dan diformulasikan oleh
para fuqaha (ahli hukum) ke dalam kitab-kitab fiqh. Pada prinsipnya dalam
masalah ibadah, kaum muslimin menerimanya sebagai ta’abbudyy , artinya diterima
dan dilaksankan dengan sepenuh hati, tanpa terlebih dahulu
merasionalisasikannya. Hal ini karena arti ibadah sendiri menghambakan diri
kepada Allah, Zat yang berhak disembah. Dan manusia tidak memiliki kemampuan
untuk menangkap secara pasti alasan (‘illat) dan hikmah apa yang terdapat di
dalam perintah ibadah tersebut. Dari uraian di atas, jelas bahwa ibadah adalah
sari ajaran Islam berupa pengabdian atau penyerahan diri kepada Allah
(Ensiklopedi Islam, 1993, jilid 2, halaman 143-144).
b.
Muamalat, mengatur
hubungan antara manusia dengan sesamanya,
seperti perikatan,
sanksi hukum dan aturan lain, agar terwujud ketertiban dan keadilan, baik
secara perorangan maupun kemasyarakatan. Muamalat ini dipilih sesuai dengan
aspek dan tujuan masing-masing. Abdul Wahab Khalaf, op.cit., halaman 32-33
merinci sebagai berikut
1. hukum kekeluargaan (ahwal al-syakhsiah) yaitu hukum yang
berkaitan dengan urusan keluarga dan pembentukannya yang bertujuan mengatur
hubungan suami isteri dan keluarga satu dengan yang lainnya.
2. Hukum Sipil (civics/al-ahkam al-madaniyah) yang mengatur
hubungan individu-individu serta bentuk-bentuk hubungannya seperti: jual beli,
sewa-menyewa, utang piutang, dan lain-lain, agar tercipta hubungan yang harmoni
di dalam masyarakat.
3. Hukum Pidana (al-ahkam al-jinaiyah) yaitu hukum yang
mengatur tentang bentuk kejahatan atau pelanggaran dan ketentuan sanksi
hukumannya. Tujuannya untuk memelihara kehidupan manusia, harta, kehormatan,
hak serta membatasi hubungan pelaku perbuatan pidana dan masyarakat.
4. Hukum Acara (al-ahkam al-murafaat) yaitu hukum yang
mengatur tata cara mempertahankan hak, dan atau memutuskan siapa yang terbukti
bersalah sesuai dengan ketentuan hukum. Hukum ini mengatur cara beracara di
lembaga peradilan, tujuannya untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
5. Hukum Ketatanegaraan (al-ahkam al-dusturiyah) berkenaan
dengan sistem hukum yang bertujuan mengatur hubungan antara penguasa
(pemerintah) dengan yang dikuasai atau rakyatnya, hak-hak dan kewajiban
individu dan masyarakat.
6. Hukum Internasional
(al-ahkam al=duwaliyah) mengatur hubungan antar negara Islam dengan
negara lainnya dan hubungan warga muslim dengan nonmuslim, baik dalam masa
damai atau masa perang.
7. Hukum Ekonomi (al=ahkam al-iqtisadiyah wa al-maliyah).
Hukum ini mengatur hak-hak seorang pekerja dan orang yang memperkerjakannya,
dan mengatur sumber keuangan negara dan pendistribusiannya bagi kepentingan
kesejahteraan rakyatnya.
D.
Hubungan syariah dengan kehidupan dunia
Dalam Islam segala
sesatu telah diatur, mulai dari lahir hingga meninggal dunia, mulai dari bangun
tidur hingga tidur kembali tidak ada yang tidak diatur dalam Islam. Sehingga
kesempurnaan islam merupakan keniscayaan yang luar biasa bagi pemeluknya.
Syariat artinya hukum atau jalan yang sesuai dengan peraturan Allah swt. Allah
telah menurunkan agama Islam secara lengkap dan sempurna kepada nabi Muhammad
saw.
Ajaran Islam juga
merupakan ajaran yang jelas dan mudah dimengerti, prkatis untuk diamalkan, dan
sejalan dengan kepentingan manusia dimanapun, kapanpun dan dalam keadaan
apapun. Allah swt berfirman dalam al-Quran. ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ
وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ
فِي مَخۡمَصَةٍ غَيۡرَ مُتَجَانِفٖ لِّإِثۡمٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
Terjemahan: Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka
barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. Al-Maidah: 03) Jumhurul ulama
menafsirkan ayat ini khususnya pada kata "terpaksa" yang dimaksud
adalah dalam keadaan darurat, sama sekali tidak menemukan makanan yang halal,
maka kita boleh memakan makanan yang diharamkan sekedar untuk mengisi perut
yang kosong agar tidak mati. Bagi Islam, syariat hanya berlaku bagi bagi orang
yang telah dewasa (baligh) dan berakal sehat.
Anak kecil belum dikenai
syariat islam hingga dia dewas dan orang gila tidak dikenai syariat Islam
hingga dia waras dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Tanda
baligh bagi pria adalah ketika dia mimpi basah (mimpi bersetubuh) dengan lawan
jenis (perempuan). Sedangkan untuk perempuan ditandai dengan telah mengalami
menstruasi (datang bulan). Bagi setiap muslim dan muslimah keharusan mematuhi
syariat dijelaskan dalam firman Allah swt. sebagai berikut. ثُمَّ جَعَلۡنَٰكَ عَلَىٰ
شَرِيعَةٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡرِ فَٱتَّبِعۡهَا وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا
يَعۡلَمُونَ Terjemahan: Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (Q.S. Al-Jatsiyah: 18)
Syariat Islam dalam pembahasannya secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian
yaitu sebagai berikut:
Petunjuk dan
bimbingan untuk mengenal Allah swt. dan alam gaib yang tak terjangkau oleh
indera manusia (Ahkam Syariyyah I'tiqadiyyah) yang menjadi pokok bahasan ilmu
Tauhid. Petunjuk untuk mengembangkan potensi kebaikan yang ada dalam diri
manusia agar menjadi makhluk terhormat yang sesungguhnya (Ahkam Syariyyah
Khuluqiyyah) yang menjadi bidang bahasan ilmu tasawuf (akhlak). Ketentuan-ketentuan
yang mengatur tata cara ibadah kepada Allah swt. atau hubungan manusia dengan
Allah (vertikal), serta ketentuan yang mengatur hubungan antara manusia dengan
sesamanya dan dengan lingkungannya.
Akhir-akhir
ini umat islam biasanya mengidentikkan syariat dengan fiqih, oleh karena
sedemikian erat hubungan keduanya.Akan tetapi pada dasarnya keduanya memiliki
perbedaan yang sangat mendasar. Syariat islam merupakan ketentuan-ketentuan
Allah swt yang sangat mendasar dan global sehingga tidak dapat dirubah oleh
siapapun dan kapanpun, syariat bersifat kekal. Sedangkan fiqih merupakan
penjabar dari syariat yang berasal dari ijtihad para mujtahid, sehingga dalam
perkara perkara tertentu fiqih bersifat lokal dan temporal. Itulah sebabnya ada
sebutan fiqih kebangsaan, fiqih irak, dan lain sebagainya. Selain itu fiqih
merupakan hasil dari pemikiran mujtahid sehingga ada yang namanya fiqih
Syafi'i, Fiqih Maliki, Fiqih Hambali, dan Fiqih Hanafi.
E. Hubungan
syariah dengan kehidupan Akhirat
SEJATINYA
setiap manusia menyadari bahwa hidupnya di dunia akan bertemu titik akhir
berupa kematian. Saat kematian itu tiba, sirnalah segala kenikmatan hidup.
Tinggallah manusia sebatang kara, terbujur kaku di dalam kubur.
Namun,
rasio manusia tidak kehilangan cahaya kala berbicara kematian. Sebab, ternyata
kematian adalah satu jalan untuk manusia dapat terangkat semua hijab pandangan
mata hatinya terhadap hakikat dari kebenaran dan kehidupan itu sendiri.
Oleh
karena itu, Islam memberikan penjelasan bahwa kehidupan di dunia ini laksana
pertanian menuju akhirat. Siapa yang menanam kebaikan ia akan memperoleh
kebaikan dan sebaliknya.
Imam
Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin berkata, “Tidaklah mungkin untuk menghasilkan
bibit (tanaman) ini kecuali di dunia, tidak ditanam, kecuali pada kalbu dan
tidak dipanen kecuali di akhirat.”
Kemudian
Al-Ghazali mengutip hadits Nabi, “Kebahagiaan yang paling utama adalah panjang
umur di dalam taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Dalam
kata yang lain, jika ditanya, siapa manusia yang beruntung dan bahagia, adalah
yang menjadikan dunia sebagai ladang beramal, “bercocok tanam” untuk kebaikan
akhiratnya. Dalam hal ini, ayat Al-Qur’an sangat eskplisit menjelaskan.
ü فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ
ü فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ
ü وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ
ü فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ
“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan
(kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun
orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah
Neraka Hawiyah.” (QS. Al Qari’ah [101]: 6-9).
Baca: Pergunakan
Usia Panjangmu dengan Amal Shalih (1)
Dengan demikian sebenarnya
cukup sederhana memahami tentang bagaimana semestinya kaum Muslimin memandang
kehidupan dunia, yakni bagaimana amal kebaikannya lebih unggul daripada amal
keburukannya.
Terlebih secara gamblang Allah
juga telah menyebutkan bahwa diciptakannya kehidupan dan kematian ini hanyalah
untuk menguji kehidupan umat manusia, dan mengetahui siapa yang terbaik
amalnya.
الَّذِي
خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ
الْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa
lagi Maha
Pengampun.” (QS. Al-Mulk [67]: 2).
وَهُوَ
الَّذِي خَلَق السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى
الْمَاء لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan
adalah
singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah diantara
kamu yang lebih baik amalnya.” (QS: Hud [11]: 7).
Memahami hal tersebut, hati
kita akan semakin terang kala melihat sosok para sahabat menjadikan dunia
sebagai bekal untuk akhirat.
Sebut saja pebisnis ulung masa
Nabi, Abdurrahman bin Auf, seluruh hasil dari perniagaannya ia salurkan untuk
menyantuni para veteran perang Badar, para janda Rasulullah, dan memberi makan
anak yatim dan fakir miskin di Madinah.
Tidak saja mereka yang diberi
Allah rezeki berupa harta, yang memiliki potensi pada sisi lainnya dan dengan
kekuatan apapun yang mereka miliki, mereka tidak pernah lemah, loyo, apalagi
letoy dalam mengisi kehidupan dunia dengan kebaikan demi kebaikan.
Abdullah bin Amr misalnya,
sejak awal menjadi Muslim, ia telah memusatkan perhatiannya terhadap Al-Qur’an.
Setiap turun ayat, ia langsung menghafalkan dan berusaha keras untuk
memahaminya, hingga setelah semuanya selesai dan sempurna, ia pun telah hafal
seluruhnya.
Kemudian dari sisi kecerdasan
intelektual, lihatlah Muadz bin Jabal. Kecerdasan otak dan keberaniannya
mengemukakan pendapat dikenal oleh seluruh penduduk Madinah. Sampai-sampai
dikatakan Mu’adz hampir sama dengan Umar bin Khathab.
Namun kecerdasannya bukan untuk
merengkuh keuntungan pribadi dan menghimpun kekayaan dunia. Tetapi membela
agama Allah. Hal ini terbukti kala Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam
hendak mengirimnya ke Yaman. Beliau bertanya, “Apa yang menjadi pedomanmu dalam
mengadili sesuatu, hai Mu’adz?”
“Kitabullah,” jawab
Mu’adz.
“Bagaimana
jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?”, tanya Rasulullah pula.
“Saya
putuskan dengan Sunnah Rasul.”
“Jika
tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?
“Saya pergunakan
pikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia,”
jawab
Muadz.
Maka
berseri-serilah wajah Rasulullah. “Segala puji bagi Allah yang telah
memberi
taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh
Rasulullah,”
sabda beliau.
Kemudian, perhatikanlah sosok
Nabi yang membuat Abdullah bin Amr terkagum-kagum dengan amalannya yang
nampaknya sederhana, sepele, ternyata Nabi menyebutnya malah membuat lelaki itu
tercatat sebagai ahli Surga.
Abdullah bin Amr adalah sosok
yang penasaran dengan amalan lelaki itu. Setelah bermalam di rumah lelaki itu
dan meneliti amalan yang dikerjakan, nihil, Abdullah tak menemukan amalan
khusus apapun.
Maka pada saat hari terakhir,
dimana ia akan berpamitan, kepada pria itu Abdullah berkata, “Wahai hamba
Allah, sesungguhnya tidak pernah terjadi pertengkaran antara aku dan ayahku.
Tujuanku menginap di rumahmu adalah karena aku ingin tahu amalan yang membuatmu
menjadi penghuni surga, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah. Aku bermaksud
dengan melihat amalanmu itu aku akan menirunya supaya bisa menjadi sepertimu.
Tapi, ternyata kau tidak terlalu banyak beramal kebaikan. Apakah sebenarnya
hingga kau mampu mencapai sesuatu yang dikatakan Rasulullah sebagai penghuni surga?”
ucapnya penuh penasaran.
Laki-laki itu pun tersenyum dan
menjawab ringan, “Aku tidak memiliki amalan, kecuali semua yang telah engkau
lihat selama tiga hari ini.” Jawabannya itu tak memuaskan hati Abdullah ibn
Amr.
Baca: Pergunakan Usia Panjangmu dengan Amal Shalih (2)
Namun, ketika Abdullah
melangkah keluar dari rumah, laki-laki tersebut memanggilnya. Ia berkata kepada
Abdullah, “Benar, amalanku hanya yang engkau lihat. Hanya saja, aku tidak
pernah berbuat curang kepada seorang pun, baik kepada Muslimin ataupun
selainnya. Aku juga tidak pernah iri ataupun hasad kepada seseorang atas
karunia yang telah diberikan Allah kepadanya.”
Mendengarnya perkataan
tersebut, takjublah Abdullah bin Amr bin Ash. Ia yakin sifat tak pernah iri,
dengki, dan hasad membuat pria itu masuk Surga.
Subhanalloh, demikianlah
orang-orang terdahulu mengisi kehidupannya di dunia. Mereka fokus, bersungguh-sungguh
beramal dengan apa yang mereka mampu lakukan dengan niat hanya ingin mendapat
ridha Allah, sehingga perangai, perilaku dan orientasi hidup mereka di dunia
adalah Allah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Syariah adalah : tata cara pengaturan tentang perilaku
hidup manusia untuk mencapai keridhaan Allah SWT.
Ruang lingkup yaitu mencakup : ibadah, muamalah,
murakahat, jinayat, siyasah akhlak, peraturan-peraturan lainnya.
B.
Saran
Demikianlah tugas ini kami buat, tentunya masih banyak
kekurangan dan kesalahan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya memabngun bagi para pembacanya seabgai keempurnaan makalah ini. Dan
semoga makalah ini bisa menjadi acuan untuk meningkatkan makalah-makalah
selanjutnya dan bermanfaat bagi para pembaca dan terkhusus buat kami. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Arfin
Hamid, 2011. Hukum Islam Perspektif Keindonesiaan. PT Umitoha
Ukhuwa Grafika : Makassar.
https://saripedia.wordpress.com/tag/keabadian-syariat/
Syafe’I Rachmat, ilmu ushul fiqih. Bandung; Pustaka
Setia, 2010
Syarifuddin Amir, ushul fiqh, Jakarta; Kencana
Perdana Media Group. 2011
www.wikipedia.com
www.Wikipedia.com , mukallaf, mujtahid,; ciputat, akses pada 10 maret 2013 hakim,
abdul hamid, al-bayan.
Zainuddin
Ali, 2008. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia.
Penerbit Sinar Grafika : Jakarta.
No comments:
Post a Comment