DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR
ISI ......................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................
BAB II CORAK
PEMIKIRAN POLITIK DALAM DUNIA ISLAM............ 2
2.1 Zaman klasik, Pertengahan dan komterporer .............................................. 2
2.2 Flashback tiga zaman .................................................................................. 2
A.
Era
klasik dan pertengahan .................................................................. 3
B.
Era
kontemporer ................................................................................... 6
C.
Letak
distings corak dalam tiga zaman................................................. 8
1.
Pemikiran
priode klasik.................................................................. 8
2.
Pemikiran
priode pertengahan........................................................ 8
3.
Pemikiran
priode konterporer ........................................................ 9
BAB III
PENUTUP............................................................................................. 10
A. Kesimpulan................................................................................................ 10
B.
Saran.......................................................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA ........................................................................................ 11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam pergaulan hidup
bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di
perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul.
Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal
dengan sebutan sopan santun, tata karma, protokoler dan lain-lain.
Maksud pedoman pergaulan
tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka
senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta
terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan
yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah
yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita.
BAB II
CORAK PEMIKIRAN POLITIK DALAM DUNIA ISLAM
2.1 Zaman Klasik, Pertengahan
dan Konteporer
Setiap zaman memiliki
sejarah yang berbeda, pemikiran-pemikiran yang berbeda dan tokoh-tokoh yang
berbeda jua. Islam yang diklaim sebagai agama yang komprehensif, baik dari
kalangan intern maupun kalangan ekstern- bahkan orientalis sekalipun juga
mempunyai cerita tersendiri dalam sejarah ke-tata negaraannya. Bermula sejak
Nabi telah memilki konsep dasar dalam bernegara , terbukti dengan adanya
penyebutan dalam sejarah yaitu adanya negara Madinah, yang dianggap merupakan
praktek bernegara pertama yang dilakukan Nabi, dengan konsep diantaranya, Hak
Azazi Manusia, serta penanaman sikap tenggang rasa antar sesama umat
beragama-diakatakan demikian, karena pada saat itu umat Yahudi juga
berdampingan dengan umat Islam di Madinah, dalam Al-Quran sendiri tidak
ditemukan adanya petunjuk eksplisit pada ayat-ayatnya mengenai tata cara
bernegara dalam Islam, melainkan hanya melalui penyebutan prinsip-prinsip dasar
dalam kehidupan sehari-hari.
Pada fase setelah wafat
Nabi, dunia peraturan politik dan tata negara mengalami berbagai perubahan,
seperti pada masa Khalifah al-‘Arba’ah, system negara memakai pola Khilafah,
namun setelah terjadinya pengkudetaan di masa Ali, sistem kenegaraan berubah
menjadi monarki atau kerajaan yang dimasa-masa selanjutnya kekuasaan selalu
diserahkan kepada putra mahkota, dimulai dengan pemegangan tampuk kekuasaan
Muawiyah bin Abi Sufyan dengan putra mahkotanya Yazid.
Ada
ungkapan setiap zaman pasti memiliki pemikir yang disebut sebagai anak zaman,
dan dari tiap pemikir tersebut pasti akan menghasilkan berbagai konsepsi yang
berbeda-beda, bukan tidak mungkin kita yang ada pada saat ini, hanya suatu saat
nanti akan menjadi tokoh terkemuka dalam dunia perpolitikan Islam, seperti
halnya Al-Farabi dengan konsepnya yang sama dengan “Negara Sempurna” Plato atau
Muhammad Abduh yang menganut pemikiran sekularistik, tapi jelas yang diharapkan
bukan pemikiran-pemikiran yang sifatnya mem-plagiat pendapat orang
lain ataupun yang keluar dari koridor Islam, melainkan bentuk pemikiran
“Otentik Islamiyyah” yang mampu menjawab segala permasalahan yang terjadi pada
masyarakat kita. Jadi, bersiaplah!
2.2 FlashBack Tiga
Zaman
Sejarah mencatat bahwa
dunia politik bukan hanya dimulai sejak turunnya Islam, namun jauh sebelum itu.
Dalam kisah Nabi-nabi terdahulu, manusia sudah mengenal system pemerintahan,
seperti zaman Nabi Ibrahim dengan rajanya “Namrudz” yang
terkenal lalim.
Empat belas abad sudah
Islam bertahan sebagai agama yang dipegang di daerah Jazirah Arab, tentunya
bukan merupakan waktu yang singkat, dan seiring waktu yang terus berputar,
segala permasalahan yang belum terjamah oleh sejarah-sejarah Islam sebelumnya,
menjadi sebuah problematika dalam kehidupan, dan terdesak untuk dilegitimasikan
oleh Islam, maka muncul para pemikir yang handal serta menggagaskan konsep
pemikirannya dan sampailah kepada kita buah tangan dari mereka yang siap dikaji
ulang serta siap untuk diperbaharui oleh kita melihat dari situasi dan kondisi
kita saat ini.
A. Era
Klasik dan Pertengahan
Dimulai dengan masa Khulafaurrasyidin-
di masa Nabi konsep bernegara dikenal dengan Negara Madinah, yang akan diulas
pada pembahasan selanjutnya- corak praktek dalam bernegara belum memiliki
teori-teori yang utuh, maka dari itu mekanisme penggantian Khalifah pun
berubah-ubah dari masa Abu Bakar kepada Umar dengan cara wasiat, Umar kepada
Usman dengan tim formatur, Usman kepada Ali dengan cara aklamasi. Setelah itu,
akhirnya kekuasaan Islam diambil alih oleh Mu’awiyahdan mengawali sistem
monarki dalam pemerintahan.
Pada Khalifah Abbasiyah lah
dimana ilmu pengetahuan berkembang pesat dan kebebasan berfikir yang diberikan
pemerintah, para ahli ilmu mulai bermunculan, termasuk para pemikir politik,
tokoh-tokoh yang terkenal sebagaimana
disebutkan Suyuthi Pulungan yaitu Al-Baqillani (w. 1013 M), Al-Baghdadi (w. 1037 M), Ibn Abi Rabi (Hidup pada masa Khalifah Al-Mu’tashim 833-842
M), Al-Mawardi (974-1058 M), Al-Juwaini (1028-1087 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), Ibn Taimiyah (1262-1328 M)
dan Ibnu Khaldun (1332-1406
M) yang terakhir disebutkan hidup pada abad pertengahan.
Menurut Azyumardi Azra dalam
bukunya Al-Mawardi memberikan gambaran ideal mengenai kekhalifahan. Namun
diklaim bahwa para pemikir ini sama sekali tidak membuat sistem politik atau
garis-garis besar aturan pemerintahan yang komprehensif, melainkan sekedar
membuat gambaran ideal moral bagi para penguasa dan kekuasaannya. Diawali
dengan pemikiran mengenai proses terbentuknya negara, para ahli mendominasi
pemikiran dari alam pikiran Yunani, bahwa manusia adalah makhluk sosial, saling
membutuhkan satu sama lain guna memenuhi hajat dalam kehidupan. Ditambah dengan
pernyataan-pernyataan lanjutan yang kelihatannya terjadi satu sama lain antara
satu tokoh dengan tokoh yang lain, namun dalam pola piker para ahli juga
diwarnai dengan pengaruh-pengaruh dari aqidah Islam, namun dalam pola pikir
para ahli juga diwarnai dengan pengaruh-pengaruh dari aqidah Islam, seperti
Al-Mawardi yang menganggap proses berdirinya negara bukan hanya didasari
sekadar untuk membentuk regenarasi manusia pada satu komunitas. Namun juga
untuk mengingatkan manusia pada Allah, bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk
yang lemah, karenanya saling membutuhkan. Menurut Al-Mawardi, manusia
adalah makhluk yang paling memerlukan bantuan pihak lain dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lain. Oleh karena banyak binatang misalnya yang sanggup hidup
sendiri dan mandii lepas dari binatang sejenisnya, sedangkan manusia selalu
memerlukan manusia lain. Dan ketergantungannya satu sama lain
merupakan suatu yang tetap dan langgeng.
Kemudian dengan criteria memilih dan
mengangkat pemimpin, para tokoh juga lebih mengedepankan pemikiran yang Islam
kental. Dengan memberikan berbagai kriteria yang hampir-hampir menyerupai manusia
yang sempurna, seperti menurut Al-Farabi yang menetapkan bahwa seorang pemimpin
harus memiliki 12 kualitas luhur: lengkap anggota badannya, baik daya
pemahamannya, tinggi itelektualitasnya, pandai mengemukakan pendapatnya, dll.
Bila kriteria yang ada dua belas itu dimiliki semuanya oleh seseorang, maka ia
berhak untuk ditunjuk kepala negara apabila ada lebih dari satu orang maka yang
lain menunggu giliran untuk menjadi pengganti. Namun apabila dalam satu wilayah
tidak ada yang memiliki kriteria tersebut secara sempurna maka pemimpin negara
dipikul secara kolektif.
Melihat dari penjabaran yang telah disebutkan
diatas mengenai beberapa pemikiran-pemikiran para pakar, dalam literature
dikatakan, adanya sebuah realita bahwa tiap tokoh tersebut tidak memberikan
penjabaran yang eksplisit mengenai mekanisme pengangkatan dan pemberentian
seorang kepala negara. Dan menjadi sebuah pertanyaan, adakah pemikir
Islam yang nantinya berani menggagas secara gambling mengenai
mekanisme baku bernegara dalam Islam, sehingga pengharapan dengan
adanya penyeragamana umat Islam dalam bermasyarakat terwujud.
Tidak ada pengklasifikasian yang jelas
mengenai karakteristik pemikiran pada zaman ini, namun bisa ditarik pernyataan
bahwa pendapat para tokoh tersebut,
Pertama, cenderung diwarnai oleh pemikiran
dari alam Yunani, terutama konsep Plato, meskipun kadar pengaruh
itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain.
Kedua, selain Al-Farabi, mereka mendasarkan
pikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka
masing-masing. Bahkan diantara mereka ada yang dalam penyajian gagasannya
bertitik tolak pada pemberian legitimasi/ keabsahan kepada sistem pemerintahan
yang ada, atau mempertahankan status quo bagi kepentingan
penguasa, dan baru kemudian menawarkan saran-saran perbaikan dan reformasi.
B. Era
Kontemporer
Setelah sekian lama dunia Islam tenggelam
tertutp oleh peradaban barat (Pasca takluknyaDinasti Abbasiyah, selaku
pusat pemerintahan Islam, ketangan bangsa Mongol) kemudian tersadarlah
para leader Islam (sejak abad XVIII M). Bahwa pada
saat itu Islam sudah tertinggal jauh dari peradaban
lainnya. Dan bangkitlah mereka dengan berbagai upaya untuk
menghidupkan kembali dunia pemikiran Islam. Berbeda dengan dua masa sebelumnya,
para tokoh dimasa ini tidak mengemukakan kembali dasar-dasar berdirinya negara,
dll. Melainkan lebih terfokus pada praktek berpolitik praktis, seperti
Al-Maududi yang mengembangkan konsep Jihad (holy war) guna pengembalian
keeksistensian Islam. Sekalipun konsep jihad ini mempunyai pandangan yang
negative dari barat kepada pemeluknya.
Cita-cita yang luhur tersebut ditandai dengan
munculnya para tokoh dan beberapa organisasi beserta pemikiran-pemikiran yang
mengutamakan revivalisasi ajaran Islam, diantara tokoh-tokoh
yang terkenal adalah Sayid Jamal
Al-Din Al-Afghani (1838-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Ali Abd Al-Raziq (1888-1966
M), Hasan Al-Banna(1906-1949
M), Sayyid Quthb (1906-1966
M). Dua nama yang disebut terakhir adalah termasuk aktifis dari
organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimin, Abu Al-A’la Al-Maududi (1903-1979 M). Para tokoh
dalam upaya revivalisasi ini terbagi kepada tiga corak;
Sekuleristik, Moderat, Integralistik.
Diantara yang mewakili dasar pemikiran sekuleristik sebenarnya hal
ini jalan sekuleristik merupakan bukan “barang” baru lagi dalam Islam,
mengingat pada pembahasan sebelumnya ada pemikiran Ibnu Taimiyah (dikutip dari
buku Munawir Syadzali) yang menyetujui pendapat, bahwa seorang kepala
negara yang adil walaupun tidak beragama Islam itu lebih baik, daripada kepala
negara muslim namun berbuat zalim adalah Ali Abd Al-Raziq. Beliau
mengemukakan pada bagian kedua kesimpulan dibukunya yang menyatakan
bahwa Nabi Muhammad itu hanya seorang utusan Tuhan dan tidak diperintah
untuk mendirikan sebuah negara. Jelas, tergambar pada pernyataan Raziq diatas,
Islam tidak mencampuri urusan duniawi. Raziq mengambil dalil dari pernyataan
dia yaitu hadits Nabi yang berbunyi, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia
Kalian”. Dalam pemikirannya pun Raziq banyak dipengaruhi dari sang
guru, Muhammad Abduh. Yang akhirnya dia kembangkan sendiri menjadi
pemikiran sekuler, selain itu melihat dari basic pendidikan
dia pernah mengenyam pendidikan barat.
Pada perkembangannya pemikiran Raziq sangat
ditentang oleh orang-orang dari golonganIslamic Oriented, yang
mulanya sangat bersemangat untuk menanamkan kembali sendi-sendi Islam
pada setiap elemen kehidupan, namun ketika melihat dari pengaruh Raziq mereka
menjadi takut kalau-kalau pemikiran tersebut, memiliki pengaruh yang sangat
luas nantinya.
Kemudian, pada golongan Moderat yang menganggap bahwa
Islam tidak sepenuhnya mencampuri urusan ketatanegaraan
ialah Dr. Muhammad Husin Haikal dan Muhammad Abduh[9]. Meskipun Islam tidak memberikan
bentuk baku dalam prototype bernegara, namun
memberikan asas-asas yang nantinya dipergunakan dalam bernegara. Oleh karena
itu mereka memberikan keleluasaan umat Islam untuk melihat pola bernegara yang
dipakai oleh Barat, tentunya dengan pemikiran yang masih satu rel dengan Islam.
Yang ketiga, tipologi yang dipakai adalah
tipe integralistik, dimana
Islam dan agama menyatu. Golongan ini merujuk kepada pemikiran-pemikiran
klasik, juga pola pemerintahan yang dianjurkan menurut golongan ini adalah tipe
pemerintahan yang dicontohkan oleh Rasulullah (negara-kota Madinah), dan juga
pola pemerintahan pada masa Khulafaurrasyidin, mereka tidak
menghendaki umat Islam meniru pada pola pemeritahan yang dipakai oleh Barat.
Tokohnya adalah Abu Al-A’la Al-Maududi, Sayyid Quthb, dan ikhwannya, Muhammad Rasyid Ridha.
Terdapat kegelisahan pemakalah, apakah pola pemerintahan seperti ini masih bisa
diterapkan, mengingat alur kehidupan pada saat ini yang tergolong
majemuk. Dan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas. Dalam pola ini
Maududi mencetuskan gagasan rakyat mempunyai otoritas dalam hal pengambilan
kebijakan pada pemerintahan. Namun dibatasi oleh ketetapan yang telah
dicantumkan oleh nash, meminjam dari istilah Munawwir Syadzali,
tipe negara ini disebut Teodemokrasi.
Pemakalah pun lebih condong kepada pemikiran
kedua yang mengedepankan keseimbangan antara segi agama dan kemashlahatan.
C. Letak Distings Corak Dalam Tiga Zaman
Tidak ada dalam literatur yang kami ambil,
menyebutkan secara spesifik corak pemerintahan dari tiap zaman, namun
sebagaimana dengan pembahasan yang telah kami uraikan diatas, kami menyimpulkan
beberapa perbedaan yang tampak jelas:
1. Pemikiran Periode Klasik
a.
Kebanyakan para ahli yang menjelaskan
tentang asal-usul berdirinya sebuah negara, artinya hal-hal yang bersifat
esensi sekali dalam bersosialisasi masih menjadi topik pembahasan utama.
b.
Pemikiran para ahli yang
memiliki kecenderungan terpengaruh oleh ajaran-ajaran dari alam Yunani, sebagaimana
yang telah disebutkan diatas. Sebagai contoh, pendapat Platoyang
mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial.
c.
Pada umumnya para ahli di
periode ini, ide pemikirannya berpengaruh pada pemerintahan yang berkuasa
dimana mereka hidup.
d.
Corak pemikiran
integralistik Agama dan politik menyatulah yang mewarnai pemikiran politik pada
masa ini, maka tidak heran ada tokoh yang mengatakan, “Raja adalah
baying-bayang Tuhan di muka bumi” (Al-Ghazali).
2. Pemikiran Periode Pertengahan
a. Tidak
banyak tokoh yang muncul pada masa ini, hanya Ibn Taimiyah dan Ibn Khaldun lah
yang bisa dikatakan sebagai perwakilan dari tokoh pertengahan ini, itupun jika
kita melihat pada pembagian periode yang dirujuk dari Harun Nasution. Adapun
pemikiran pada dua tokoh yang mewakili zaman ini, tidak jauh berbeda dengan
tokoh-tokoh zaman klasik. Mengingat dua tokoh yang dianggap sebagai wakil dari
zaman pertengahan ini, masih sama-sama hidup pada kondisi masyarakat yang sama
dengan para tokoh kalsik. Mungkin kalaupun harus ada perbedaan corak pada zaman
ini kita harus melihat pada sejarah Islam setelah
runtuhnya Dinasti Abbasiyah. Yang mana pada saat itu Islam terpecah
menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Namun sayangnya pada masa ini Islam mengalami
saat-saat kembali ke titik nadirnya. Ketika Barat bangkit dengan
reformasi gerjanya sementara dunia Islam sedang sibuk mengurusi kekuasaan
masing-masing dan dunia pengetahuan mengalami kemunduran. Sehingga tidak muncul
para tokoh yang membuat ide brilian yang bersifat progresif.
3. Pemikiran Periode Kontemporer
a. Para tokoh
tidak lagi terfokus pada tema bagaimana asal mula negara ini terjadi.
b. Teori
politik praktislah yang dimunculkan pada masa ini, buktinya dengan munculnya
beberapa ide pemikiran pada masa ini, diantaranya: Integralistik, Moderat, dan Sekuleristik.
c. Pemikiran
para tokoh pun disinyalir terpengaruh dengan ide-ide yang dicetuskan pemikir
barat (Prancis, Jerman, dll) seperti pada pola pikir yang menganut paham
sekuleristik.
d. Mengenai
bentuk bernegara yang ideal para ahli tidak menentukan apakah harus Khilafah,
Imamah atau Monarki. Akan tetapi lebih mengutamakan bagaiamana syariat Islam
itu bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya di wilayah tersebut.
BAB III
PENUTUP
“Orang Barat lebih melihat ke bumi, orang
Timur lebih melihat ke langit”
Bunyi
ungkapan yang dikutip dari Sayid Muhammad Baqr Ash-Shadr, ini merupakan
justifikasi yang memang terjadi pada realita kehidupan saat ini. Orang barat
yang tergila-gila dengan konsep imperialisnya, yang menghendaki pemenuhan
kepuasan kepada materi sementara orang Islam berpolitik di muka bumi sebagai
Khalifah sebagaimana titah dari langit, sehingga bertendensi religius.
Mungkin
ini hanya pengkalaiman sepihak dari kita, namun pertanyaan tadi memaksa kita
untuk tetap menjaga kemurnian dari tujuan berpolitik umat Islam dan menghindari
dari upaya Islam sebagai bentuk pe-legitimasi-an dalam berpolitik, padahal
banyak terdapat kebusukan-kebusukan yang dilakukan para oknum birokrat.
Layaknya
nikmat allah yang tak dapat dihitung, ilmu pengetahuan juga seperti itu. Masih
banyak mungkin bentuk-bentuk pemikiran yang belum sempat diangkat oleh manusia.
Oleh karena itu, kita selaku generasi Islam jangan hanya diam, bersiaplah untuk
menjawab segala permasalahan dimasa nanti. Dan mencatatkan kita pada
tinta emas kesejatrahan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabiri, Muhammad Abid.2001. Agama,
Negara: Dalam Penerapan Syariah. Yogyakarta:Fajar Pustaka Baru.
Al-Usairy, Ahmad. 2003. Sejarah
Islam: Sejak Zaman
Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta:Akbar Media Eka Sarana.
Ash-Shadr, Sayid Muhammad Baqir.
2001. Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar. Jakarta:
Lentera.
Azra, Azyumardi, Dr.
1996. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme,
Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina.
Nasution, Harun, Prof. Dr. 1974.
Islam: Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid I. Jakarta:
UI Press.
Pulungan, J. Suyuthi. Dr.
1993. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah Dan Pemikiran. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Syadzali,
Munawir. H. M.A. 1990. Islam Dan Tata Negara,
Cet V. Jakarta: UI Press.
Syarif, Mujar Ibnu. Drs. M.Ag.
2003. Hak-Hak Politik Minoritas Non
Muslim Dalam KomunitasIslam: Tinjauan Dari Prespektif Politik Islam. Bandung:
Angkasa.