Saturday, 9 May 2020

Makalah POTENSI DAN TANTANGAN PELAKSANAAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DIMASA YANG AKAN DATANG


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Pertanian merupakan salah satu sektor penting penyumbang pertumbuhan ekonomi, dan menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah, dari masa ke masa, mengembangkan sektor pertanian sampai saat ini. Pemberdayaan dan pengembangan pertanian perlu reformasi kebijakan, tidak hanya untuk meningkatkan produksi untuk kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk ekspor. Peningkatan ekspor produk pertanian merupakan salah satu syarat utama menjadi negara pertanian kelas dunia. Kajian deskriptif analisis ini menggunakan metode riset kualitatif, dengan menggunakan data sekunder dari berbagai referensi buku, jurnal, surat kabar, dan berita di internet. Tulisan ini menyimpulkan cita-cita menjadi negara pertanian berkelas dunia dapat dilakukan dengan meningkatkan produksi pertanian, sehingga menghasilkan surplus neraca pertanian. Pencapaian swasembada pertanian tidak cukup dan perlu upaya mencapai surplus produksi untuk tujuan ekspor agar dapat memperoleh devisa. Oleh karena itu, kebijakan pertanian ke depan tidak hanya fokus pada beberapa komoditas perkebunan saja, tetapi juga perlu peningkatan surplus produksi tanaman pangan, dan komoditas hortikultura di masa datang.
Indonesia sejak dulu dan sampai sekarang masih terus mengembangkan sektor pertanian terutama pangan, untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat, tetapi belum dapat mencapai ketahanan pangan.Sektor pertanian masih sangat penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia, tidak hanya persoalan bagaimana meningkatkan produksi beras untuk memenuhi kebutuhan pangan dan industri, tetapi juga untuk dapat diekspor. Kemajuan sektor pertanian akan berdampak positif dan mendukung perkembangan sektor lain, seperti sektor industri, transportasi, sektor pariwisata, sektor perdagangan (sektor riil), dan sektor usaha kecil dan menengah (UKM).
Dalam teori ekonomi pembangunan (klasik), Bustanul Arifin, menegaskan pembangunan pertanian merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja, penghasil produk pangan, pemacu industrialisasi, penyumbang devisa negara, dan pasar bagi produk dan jasa sektor di luar pertanian. Dalam konteks ketahanan pangan, pembangunan pertanian dapat meningkatkan jumlah ketersediaan pangan dan perbaikan akses atau daya beli terhadap produkproduk pangan. Peningkatan produktivitas tanaman pangan melalui varietas unggul, peningkatan produksi peternakan dan perikanan (budi daya dan ikan laut) telah terbukti mampu mengatasi persoalan kelaparan.17 Menurut Bustanul Arifin, terdapat paling tidak 5 strategi revitalisasi prtanian yang dapat diimplementasikan ke depan, yakni: Pertama, sektor pertanian wajib terintegrasi dengan agroindustri dan kebijakan makro-ekonomi, karena elemen-elemen kebijakan moneter dan kebijakan fiskal terkait dengan pembangunan pertanian. Kedua, sektor pertanian harus memperoleh tingkat bunga (kredit) yang layak dan terjangkau bagi sebagian besar petani dan pelaku usaha agrobisnis dan agroindustri. Ketiga, sektor pertanian memerlukan pengelolaan dan laju inflasi yang cukup terkendali untuk menurunkan tingkat keragaman suku bunga yang dihadapi komoditas pertanian. Artinya sektor pertanian harus didukung dengan laju inflasi yang rendah. Keempat, sektor pertanian memerlukan anggaran (dana) publik yang merupakan bagian dari kebijakan keberpihakan pemerintah untuk mendorong kegiatan ekonomi dan kebijakan subsidi yang tepat sasaran dalam pembangunan pertanian. Kelima, sektor pertanian memerlukan land-policy reform (reforma agraria), yang tepat dan terukur yang mampu mengkombinasikan peningkatan aset lahan yang dikuasai petani, perbaikan/peningkatan akses petani dan pemberdayaan kapasitas petani.
Tabel 1. Perbedaan Pertanian Konvensional /Modern dengan Pertanian Berkelanjutan.
Pertanian Konvensional/Modern
Pertanian Berkelanjutan
Sangat tergantung pada kemajuan inovasi teknologi.
Sangat tergantung pada manajemen, pengetehauan serta keterampilan petani.
Membutuhkan investasi modal yang besar untuk produksi dan pengembangan teknologi.
Pada umumnya tidak membutuhkan investasi modal yang besar.
Skala pertanian yang cukup luas/besar.
Skala pertanian kecil dan menengah.
Sistem tanam: monokultur.
Sistem tanam: diversifikasi.
Penggunaan pupuk dan pestisida kimiawi secara luas.

Meminimalisir penggunaan pupuk dan pestisida kimiawi, mengalihkannya dengan pupuk dan pestisida alami, seperti pupuk anorganik.

Biaya yang dikeluarkan untuk upah tenaga kerja relatif rendah karena hanya dibutuhkan sedikit tenaga kerja.

Biaya upah tenaga kerja lebih tinggi karena dibutuhkan lebih banyak tenaga kerja.

Ketergantungan yang tinggi pada penggunaan bahan bakar untuk sumber energi pada produksi pertanian, produksi pupuk, pengepakan, transportasi, dan pemasaran.

Penggunaan bahan bakar fosil dalam proses produksi relatif lebih rendah karena minim penggunaan mesin-mesin pertanian, tidak memproduksi pupuk kimiawi, dan dalam pemasarannya pun lebih menekankan pada pemasaran secara langsung dan bersifat lokal (areal pertanian dekat dengan konsumen sehingga jalur distribusi lebih pendek dibandingkan dengan sistem pertanian konvensional).


1.2  Tujuan
1.      Mahasiswa dapat mengetahui potensi pelaksaam pertanian berkelanjutan dimasa yang akan datang
2.      Mahasiwa dapat mengetahui tantangan yang akan di dapat dalam pelaksanaan pertanian berkelanjutan dimasa yang akan datang

BAB 11
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aspek Teknis
            Sebagai negara tropis dengan dua musim, Indonesia dilimpahi berkah kesuburan tanah yang mendukung tumbuhnya berbagai mcam jenis tumbuhan. Selain itu, dengan luasnya penguasaan laut, melimpahnya produk perikanan pun tidak dapat dipungkiri. Bahkan, beberapa produk pertanian yang dihasilkan memiliki keunggulan komparatif dan menjadi primadona ekspor.
            Tidak hanya sebagai sumber pangan dan sumber devia, sektor pertanian menjadi penopang kegiatan ekonomi masyarakat kebanyakan. Sebagian besar masyarakat Indonesia di perdesaan bergantung dari sektor ini. Sayangnya, ebagian besar mereka hidup  dibawah gari kemiskinan. Rendahnya nilai tukar petani menggambarkan kesejahteraan petani yang belum seperti yang diharapkan.
Saat ini, pertanian Indonesia masih menghadapi kendala baik dari dalam maupun dari luar. Dari dalam, kendala yang dihadapi berkaitan dengan optimlaisasi, kualitas sumberdaya manusia, skala usaha, regenerasi dan ketergantungan impor. Selain itu, seiring dengan semakin meningkatnya eksplorasi hasil hasil bumi, berbagai fenomena alam pun telah mengganggu produktivitas hasil pertanian. Dari luar, membajirinya produk impor menjadi tantangan tersendiri bagi komoditas lokal. Menghadapi berbagai tantangan tersebut, kebijakan pembangunan yang komprehensif dan inovatif sangatlah diperlukan.
            Penelusuran lebih dalam mengenai gambaran pertanian Indonesia adalah sarana untuk menciptakan kebijakan pertanian yang tepat guna. Menggali potensi yang dimiliki setiap wilayah atau koridor ekonomi, merupakan langkah awal penyusunan kebijakan sektoral dan regional. Harapannya, setiap koridor dapat mengembangkan pertanian sesuai potensinya, sehingga ketimpangan ekonomi antar wilayah dapat diminimalisir. Hasil sensus pertanian 2013 (ST2013)memberikan potret pertanian Indonesia yang utamanya berkaitan dengan karakteristik Rumah Tangga Usaha Pertanian dan Populasi produk yang dihasilkan baik secara nasional maupun menurut pulau.
            Dalam skala nasional, hasil ST2013 menunjukkan bahwa pertanian Indonesia dicirikan dengan pergeseran pelaku usaha , dimana jumlah rumah tangga usaha pertanian menurun dari periode sensus sebelumnya. Sebaliknya, populasi perusahaan pertanian justru meningkat. Ciri lainnya berkaitan dengan karakteristik pelaku usaha dalam rumah tangga dimana mayoritas petani Indonesia adalah laki laki yang berusia produktif senja. Masih jarang generasi muda yang terlibat di sektor ini. Tekait lahan, selama satu dekade, luas penguasaan lahan pertanian per rumah tangga pertanian semakin meningkat yang mengiringi berkurangnya jumlah petani gurem. Sedangkan tanaman pangan merupakan subsektor pertanian yang paling banyak diusahakan petani hampir di seluruh wilayah Indonesia.
            Hingga saat ini, sektor pertanian masih terpusat di Pulau Jawa yang juga merupakan pusat perekonomian Indonesia. Sejumlah komoditas strategi masih dominan dihailkan di pulau ini, seperti padi, agung, kedelai dan tebu. Tak terkecuali dalam pemenuhan swasembada daging, Pulau Jawa masih merupakan produen yang utama. Namun demikian, daya dukung alam dan lahan di pulau ini semakin berkurang sehingga adalah masuk akal untuk mengarahkan pembangunan pertanian ke wilayah lain.
            Koridor Bali dan Nusa Tenggara memiliki potensi cukup besar untuk pengembangan subsektor peternakan, khususnya peternakan sapi potong. Namun, elain peternakan sapi, usaha perkebunan dan kehutanan juga cukup cerah di koridor ini, kopi sangat potensial untuk dikembangkan di Bali, sementara di Nusa Tenggara Barat (NTB) tembakau masih menjadi andalan selain madu hutan. Seangkan Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan produsen utama cendana.
            Sementara itu, sejak zaman kolonial Belanda hingga kini, perkebunan menjadi penopang utama pertanian di Sumatera. Karet, kelapa sawit dan kelpaa adalah tiga komoditas utama yang paling banyak diusahakan rumah tangga di wilayah ini. Hal yang sama terjadi di Sulawesi dimana perkebunan sangat potensial meskipun sebagian besar rumah tangga usaha pertanian mengusahakan tanaman pangan. Komodias perkebunan seperti kakao, kelapa dan kopi merupakan unggulan di pulau Celebes ini.
            Di sisi lain, Kalimantan merupakan daerah pengembangan pertanian yang cukup unik. Ditengah tekanan usaha pertambangan yang jauh lebih populer bagi masyarakatnya, sektor pertanian semakin mendapat tantangan, namun demikian, perkebunan dan kehutanan masih dapat diingkatkan. Akasia, bambu, jati, dan mahoni merupakan produk pertanian yang banyak diusahakan disamping karet, serta kelapa sawit.
            Sebagai negara kepulauan, potensi perikanan Indonesia ercermin di kepulauan Maluku. Di wilayah ini kegiatan perikanan memiliki potensi cemerlang mekipun jumlah rumah tangga usaha pertanian yang terlibat tidak sebanyak sektor pertanian lainnya. Perikanan tangkap merupakan usaha bagi sebagian besar nelayan di kepulauan ini. Membahas prospek pertanian Indonesia tidak bisa lepas dari Pulau Papua. Pulai yang subur ini sanga berpotensi bagi pengembangan tanmaan pangan, hortikultura dan perkebunan. Beberapa komoditas yang potensial untuk dikembangkan adalah jagung, sagu, pala, kopi,, kelapa dan sayuran. Selain itu koridor ini juga potensial untuk pengembangan pertanian di daerah cukuplah banyak. Masalah sumber daya manusia, sama peliknya dengan masalah transportasi serta infrastruktur di daerah ini.
 Lebih jauh salah satu tujuan pembangunan pertanian Indonesia adalah meningkatkan produktivitas petani melalui peningkatan petani melalui peningkatan nilai tambah yang dihasilkan petani. Banyak upaya bisa dilakukan diantaranya melalui pengolahan lanjut produk produk pertanian yang dihasilkan petani. Sayangnya, upaya ini baru dilakukan oleh sebagian kecil rumah tangga usaha pertanian menjual hasil pertaniannya dalam bentuk dasar. Selain itu rumah tangga usaha pertanian yang bergerak dibidang jasa  pertanian yang maih sedikit, padahal peluang usaha dibidang ini cukup terbuka luas.
            Menyimak kondisi pertanian yang banyak ditinggalkan rumah tangga dan petaninya menimbulkan pertanyaan tentang keberlangsungan pertanian Indonesia. Sementara itu, menggali potensi yang ada membawa sebuah harapan bagi kemajuan pembangunan pertanian selanjutnya . Tinggal bagaimana kita menyikapinya.
2.2 Potensi Pelaksanaan Pertanian Berkelanjutan
2.2.1 Kontribusi Sektor Pertanian Terbesar Kedua dalam Produk Domestik Bruto Indonesia
            Sektor pertanian memberikan kontribui yang cukup signifikan pada perekonomianIndonesia dilihat dari sisi Produk Domestik Bruto (PDB). Ampai dengan tahun 2013, kontribusi sektor ini berada pada urutan kedua setelah sektor Industri Pengolahan. Meskipun demikian, dari waktu ke waktu kontribusi sektor pertanian terus menurun. Jika pada tahun 2013 turun menjadi 14,4 persen. Di sisi lain, kontrisusi sektor jasa jasa terus meningkat. Hal ini menggambarkan tranformasi ekonomi Indonesia dimana kontribusi sektor sektor primer menurun dan digantikan dengan peningkatan sektor sekunder dan tersier.
            Penurunan kontribusi sekor pertanian terutama dipicu oleh penurunan peran subsektor tanaman pangan. Selama 10 tahun terakhir, peran subsektor yang banyak diminati rumah tangga pertanian ini menurun dari sekitar52 persen menjadi 47 persen dari total PDB pertanian Indonesia. Disisi lain, peran subsektor ini memberikan harapan bagi keberlangsungan pertanian Indonesia karena sebagai negara kepulauan potensi bahari sangatlah menjanjikan.
Selain tanaman pangan dan perikanan, subsektor perkebunan memberikan kontribusi yang berarti bagi perekonomian Indonesia. Meskipun kontribusi sektor ini hanya sebesar 13 peren dari PDB. Pertanian, namun ekspornya mengalami surplus . ditengah terjadinya defisit perdagangan luar negeri Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini, komoditas perkebunan justru mengalami surplus.
Meski kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia kurang dari 20 persen, sektor ini terbukti masih mampu menjadi andalan. Selain itu sangatlah beralasan untuk tetap menjadikan sektor ini sebagai andalan perekonomian Indonesia. Terlebih lagi jika dilihat dari perannya dalam penyerapan tenaga kerja.
2.2.2 Sumber Kehidupan Masyarakat Kebanyakan
            Meski mulai ditinggalkan, sektor pertanian masih menjadi tumpuan hidup sebagian besar masyarakat dan tenaga kerja nasional. Tidak kurang dari sepertiga tenaga kerja nasional berada di sektor ini  (sakernas, 2 Agustus 2013).  Pada 2013  masih terdapat sekitar 38 juta tenaga kerja yang bertahan di sekttor pertanian. Jumlah tersebut setara dengan 34 persen penduduk Indonesia yang bekerja.
            Peran sektor pertanian sebagai penyedia lapangan kerja masih belum tergantikan, mungkin karena sifat dari kegiatan di sektor pertanian masih bersifat konvensional. Artinya, pekerjaan di sektor ini pada dasarnya tidak memerlukan keterampilan tinggi. Sehingga, sektor ini menjadi fleksibel dalam menampung tenaga kerja yang kurang mampu bersaing di sektor lain.

            Pandangan di atas sejalan dengan fakta yang dihasilkan oleh sakernas 2013, yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor pertanian secara umum masih relatif rendah dibandingkan dengan yang bekerja di sektor lain. Sekitar 72,6 persen tenaga kerja sektor pertanian berpendidikan tamat Sekolah Dasar atau bahkan tidak sekolah sama sekali.
2.2.3 Sumber Ketahanan Pangan Utama
            Hingga kini, Indonesia masih belum terbebas dari persoalan ketahanan pangan. Salah satu pangkal masalahnya ialah defissit pangan yang belum juga tertangani. Selama lima tahun terakhir, nilai impor produk pertanian Indonesia lebih dari dua kali lipat nilai ekspornya. Meski demikian, ada kabar baik dari pertanian nasional. Produksi sejumlah tanaman pangan utama meningkat lebih tinggi dibandingkan pertambahan penduduk Indonesia.
Berdasarkan indikator ketahanan pangan yang disusun oleh Food and Agriculture Organization (FAO), dalam periode 2011-2013 diperkirakan masih terdapat sekitar 9,1 persen penduduk Indonesia yang kekurangan gizi, atau sekitar 22.3 juta orang atau merupakan 34, persen dari sejumlah 64,5 juta orang yang masih kekurangan gizi di Asia Tenggara. Sesuai dengan estimasi FAO, untuk ssetiap orang yang kekurangan gizi di Indonesia akan memerlukan tambahan sekitar 4 kilo kalori per haari untukmengatasi maslahnya.
Potret ketahanan pangan Indonesia memang masih belum terlalu cerah. Berdasarkan Indeks Kelaparan Global (IKG) 2013 yang disusun oleh Von Grebmer dkk. (2013), Indonesia masih termasuk dalam kategori sebagai negara dengan tingkat kelaparan serius bersama dengan Kamboja dan Filipinaa. IKG sendiri merupakan indeks yang disusun dari tiga variabel utama; tingkat kematian anak berumur kurang dari lima tahun, prevalensi anak dengan bera badan kurang dan poroporsi penduduk kurang gizi.
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana pangan tersedia dengan jumlah cukup dan harga terjangkau bagi semua penduduk untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan (Ayat 4 pasal 1). Salah satu pilar ketahanan pangan ialah ketersediaan pangan yang cukup secara berkelanjutan. Hal ini secara langsung dipengaruhi oleh produksi tanaman pangan. Dengan demikian, sektor pertanian menjadi penopang utama ketahanan pangan Indonesia.
Penduduk Indonesia pada tahun 2015 akan mencapai 255,5 juta orang dan jumlah tersebut akan terus bertumbuh menjadi sekitar 271,1 juta orang pada tahun 22020. Konsekuensi logis dari pertumbuhan penduduk ini adalah bahwa pangan yang harus disediakan untuk mendukung ketahanan pangan bagi penduduk Indonesia juga akan terus meningkat, sekurang-kurangnya dengan laju pertumbuhan yang sama.
Beruntungnya, saat ini produksi tanaman pangan nasional cenderung membaik. Hal ini didorong terutama oleh meningkatnya produktivitas. Dalam kurun 2004-2013, produktivtas tanaman pangan tetap meningkat meski luas panennya berkurang. Keberhasilan dalam penerapan teknologi budidaya tanaman pangan menjadi faktor yang mendongkrak produktivitas tersebut.
Dengan laju pertumbuhan produktivitas yang cukup memadai tersebut, maka produksi dapat diharapkan terus bertumbuh, walau luas panen cenderung menurun. Peningkatan produktivitas padi dan palawija, misalnya, dapat mengompensasi penurunan luas lahannya. Oleh sebab itu, produksi kedua jenis tanaman pangan tersebut terus meningkat.
Apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk, yang berkisar 1 sampai 1.3 persen per tahun, laju pertumbuhan produksi berbagai jenis tanaman pangan secara umum masih lebih tinggi. Hanya produksi kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau tumbuh lebih lambat dibanding laju pertumbuhan penduduk. Gambaran ini bisa memberikan petunjuk bagi pejabat pemerintah pada bidang yang terkait dalam pembuatan berbagai kebijakan dalam subsektor tanaman pangan.
2.2.4 Potensi Alam Untuk Pertanian
             Alam menjadi sumber kekayaan penting bagi negara manapun. Di Indonesia lahan untuk pertanian masih terbuka luas, walaupun berbagai tempat dengan wilayah pertambangan dan usaha ekstraktif lainnya. Didukung dengan variasi kandungan hara antar daerah, keragaman potensi pertanian merupakan suatu keniscayaan.
            Secara geografis, alam Indonesia sanga potensial untuk kegiatan pertanian. Indonesia memiliki banyak gunung berapi dan tersebar di berbagai pulau pulau, Sumatera, Jawa, Bali,Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku merupakan pulau pulau yang memiliki konsentrasi gunung berapi yang relatif tinggi. Resiko dari letusan gunung berapi memang tidak dapat dihilangkan, namun debu vulkanik dari letusan tersebut pada umumnya membua daerah disekitar gunung berapi menjadi sangat subur untuk bercocok tanam.
            Selain wilayah pergunungan yang kaya akan unsur vulkanik, wilayah dataran rendah, dan perairan Indonesia seperti laut, sungai dan danau memiliki potensi pertanian yang tidak kalah juga. Keberagaman alam dan variasi kandungan hara antar wilayah di Indonesia menciptakan keberagaman potensi pertanain antar wilayah di Indonesia. Keeragaman ini selain dipengaruhi oleh kondisi alam, juga oleh budaya setempat. Ini selai dipengaruhi oleh kondisi alam, juga oleh budaya setempat. Sensus pertanian 2013 memperlihatkan bahwa di setiap provinsi terdapat kegiatan usaha pertanian, tetapi dengan potensi yang beragam.
            Keberagaman potensi pertanian terindikasi dari produk produk unggulan dari setiap wilayah provinsi atau pulau. Pulau Sumatera menonjol dengan komoditi unggulan Indonesia dari sektor perkebunan seperti Kelapa sawit dan karet. Sedangkan Pulau Jawa unggul dalam semua komoditi pertanian dari komoditi pangan, hortikultura, peternakan, maupun perikanan budidaya. Sementara di Bali dan Nusa, usaha peternakan sangat berpotensi esar, disamping tanaman pangan seperti padi dan jagung. Untuk wilayah Kalimanan, potensi hasil hutan sangat menonjol, disamping komoditi kelapa sawit. Selanjutnya, tanah di Sulawesi sangat berpotensi untuk budidaya kakao dan kelapa yang sangat berpotensi menjadi komoditi andalan ekspor Indonesia. Untuk komoditi peerikanan di Indonesia hampir berpotensi di semua pulau, karena wilayah Indonesia yang dikelilingi laut dan samudera seperti di wilayah Maluku dan Papua.
2.2.5 Peyangga Lingkungan Hidup
Selain menjadi sumber penghidupan masyarakat, kegiatan pertanian memiliki peran sebagai peyangga lingkungan hidup. Oleh karenanya, kegiatan pertanian yang berlanjutan tidak dapat ditawar lagi. Intinya, pengelolaan pertanian harus dijalankan tanpa merusak lingkungan.
Kegiatan pertanian memiliki kaitan erat dengan kondisi air, udara, dan tanah. Penggunaan berbagai pupuk dan obat-obatan yang kurang tepat, misalnya, akan erpengaruh terhadap kualitas air di sekitar lahan pertanian. Begitu pula dengan pembakaran sis tanaman, penyemprotan bahan anti hama, dan penggunaan pupuk berbasis nitrogen, akan berdampak pada kualitas udara di sekitarnya. Kemudian, penebangan berbagai tanaman keras, erutama tanaman kehutanan akan menyebabkan erosi tanah dalam tingkat yang tergolong parah.
Dengan kondisi tersebut, sejumlah ahli pertanian dan lingkungan hidup mengemukakan konsep kegiatan pertanian yang berkelanjutan. Inti dari konsep ini ialah melakukan pengelolaan terhadap berbagai praktik pertanian yang dapat mereduksi dampak negatifnya terhadap lingkungan. Beberapa praktik pertanian yang dianjurkan antara lain adalah :
a.       Pemilihan species dan varietas yang sesuai dengan kondisi lahan pertanian yang diusahakan,
b.      Peragaman tanaman dan hewan serta penyesuaian budaya untuk mendorong stabilitas ekologi lingkungan
c.       Pengelolaan penggunaan tanah untuk perlindungan kualitas tanah;
d.      Penggunaan bahan dan input yang efisien; dan
e.       Penyesuaian tujuan pertanian dan pilihan gaya hidup.
Partispasi akif dari para pelaku usaha pertanian seperti yang telah dikemukakan tersebut diatas sebenarnya belum mampu untuk menjadikan pertanian sebagai peyangga lingkungan. Untuk itu, masih diperlukan campur angan pihak lain, terutama pemerintah. Kebijakan pertanian dan pangan serta penggunaan tanah sangat diperlukan agar pertanian dapat berfungsi optimal dalam mendukung lingkungan.


2.2.6 Keunggulan Komparatif Pertanian Indonesia
Sebagai negara agraris, Indonesia secara alamiah memiliki keunggulan komparatif dalam produksi peranian. Apabila dikelola secara optimal, keunggulan ini menjadu pondasi yang menopang kemandirian pangan nasional.
Pada kenyataannya, hampir tidak ada negara didunia yang tidak melakukan perdagangan dengan negara lain. Untuk memenuhi kebutuhan penduduk, sebagian negara perlu melakukan impor dari negara lain. Sebaliknya, tidak semua produk yang dihasilkann oleh kegiatan ekonomi di suatu negara dapat erserap habis oleh pasar domestik. Itulah sebabnya dilakukan ekspor atau penjualan produk ke luar negeri.
Perdagangan luar egeri, baik ekspor maupun impor, seharusnya sama-sama mengntungkan bagi para pelkunya. Walaupun sama-sama dapat menghasilkan devisa, tidak semua barang akan menguntungkan untuk diekspor. Salah satu ukuran yang umum digunakan untuk melihat produk yang memiliki keunggulan dalam perdagangan internasional adalah keunggulan komparatif terungkap (Revealed Comporative Advantage, RCA).
Dari sekitar 220 komoditas pertanian yang diekspor Indonesia dalam periode 2005-2011, terdapat sekitar 50 komoditas yang memiliki keunggulan komparatif (RCA). Komoditas pertanian Indonesia yang memiliki pangan pasar dan keunggulan komparatif yang tinggi antara lain adalah minyak kernel kelapa sawit, karet kering alami, bungkil kopra, dan minyak (kopra).


2.2.7 Peluang Produk Pertanian di Pasar Global
Seiring dengan terus berambahnya penduduk dunia, kebutuhan pangan akan terus meningkat. Integrasi ekonomi dan terbukanya pasar dunia membuat persaingan tidak terhindarkan. Ditengah persaingan dengan negara agraris lain, produk pertanian Indonesia berpeluang merajai pasar global.
Proses integrasi ekonomi yang terjadi dalam arus globalisasi telah menjadikan dunia seolah tanpa batas. Kejadian di suatu tempat dengan ceoat dan mudah dapat diketahui oleh mereka yang berada di tempat lain yang jauh. Salah satu dampak arus globalisasi ekonomi adalah semakin intensnya kegiatan perdagangan antar negara, yang anara lain semakin dipacu oleh terbentuknya blok-blok perdagangan bebas.
Banyak pihak meyakini bahwa kegiatan perdagangan internasional akan memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, terutama bagi negara-negara sedang berkembang. Terbunya pasar luar negeri diharapkan alkan mendorong peningkatan produksi domestik. Namun demikian, semakin terbukanya pasar di suatu negara dapat juga menimbilkan ancaman. Pelaku kegiatan ekonomi domestik dihadapkan pada tuntutan unuk memiliki daya saing yang cukup agar mampu menghadapi serbuan produk luar negeri yang mengalir dan merebut pangsa pasar domestik.
Dua indikator globalisasi produk pertanian Indonesia memberikan gambaran yang berbeda. Inensitas ekspor produk pertanian Indonesia pada periode 2009-2011 memiliki nilai lebih besar dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa rasio nilai ekspor di Indonesia lebih besar dibandingkan dengan rasio yang sama pada tingkat dunia. Secara tidak langsung, kondisi ininjuga mengindikasikan prosuk pertanian Indonesia Umumnya memiliki keunggulan di pasar dunia.
Di sisi lain, minat asing untuk berinvestasi di sektor pertanian masih relatif rendah. Hanya 2,45 persen dari total investasi asing langsung (Foreign Direct Invesment,FDI) di Indoesia yang ditujukan untuk sektor pertanian pada tahun 2010 dan 1,79 di tahun 2011. Bahkan pada tahun 2009,, FDI untuk produk pertanian justru negatif, yang menunjukkan terjadinya disinvestasi asing di sekor pertanian pada tahun ini.

2.3 Tantangan Pelaksanaan Pertanian Berkelanjutan
Pertanian Indonesia menghadapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Mulai dari kesejahteraan petani yang rendah, terhambatnya optimalisasi usaha pertanian, persoalan diversifikasi pangan, hingga ancaman globalisasi. Tantangan-tantangan ini menjadi pekerjaan rumah terberat yang harus ditangani saat ini.
2.3.1    Kesejahteraan Petani Rendah
            Rendahnya produktivitas di sektor pertanian berimplikasi pada rendahnya pendapatan petani. Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan lahan yang dikuasai rumah tangga, khususnya di Pulau Jawa. Akibatnya daya beli petani juga rendah, sehingga situasi ini akan mendorong petani pada kemiskinan. Pada tahun 2013, dari 28 juta penduduk miskin di Indonesia yang berada di perdesaan, lebih dari dua pertiganya adalah petani. Hal ini semakin memprihatinkan, karena pendapatan riil petani juga tidak mengalami perubahan yang berarti selama 3 tahun terakhir. Nilai Tukar Petani (NTP) relatif stabil selama tahun 2011-2013 pada angka104. Hal ini  menunjukkan pendapatan yang diterima petani dari sekttor pertanian sedikit lebih tinggi dibandingkan pengeluarannya. Tidak ada surplus usaha bagi petani.
            Di antara beberapa subsektor di pertanian, subsektor peternakan ternyata mempunyai nilai NTP yang terendah, yaitu hanya 102,05. Artinya surplus pendapatan terhadap pengeluaran rumah tangga peternakan sangat kecil. Sementara subsektor tanaman horikultura mempunyai NTP tertinggi.

2.3.2    Sektor Pertanian Semakin Tidak Populer
            Merosotnya jumlah petani dan rumah tangga usaha pertanian menjadi “alarm” yang menandakan makin tidak populernya sektor pertanian. Relatif rendahnya pendapatan dari kegiatan bertani, membuat sektor yang pernah berjaya di era 1970 hingga 1980-an ini kurang menarik agi generasi muda. Padahal, generasi ini bakal menjadi tumpuan usaha pertanian dimasa mendatang.
            Dalam satu dasawarsa terakhir, jumlah rumah tangga usaha pertanian menurun cukup drastis. dari 31,23 juta rumah tangga pada 2003 menjadi 26,14 juta rumah tangga pada 2013. Penurunan tersebut terjadi di seluruh subsektor pertanian. Seiring dengan penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian tersebut, kontribusi pekerja di sektor pertanian dalam pasar tenaga kerja pun semakin menurun. Berdasarkan hasil survei Angkatan Kerja Nasional, persentase pekerja pertanian menurun dari sekitar 44 persen menjadi 3 persen terhadap jumlah keseluruhan tanaga kerja di Indonesia.
            Fenomena tersebut sangat masuk akal mengingat, antara lain lebih rendahnya pendapatan petani dari sektor ekonomi lain, sehingga daya tarik sektor pertanian bagi pekerja menjadi lebih rendah pula. Upah pekerja pertanian yang tidak lebih dari 1,2 juta per bulan cukup jauh dibandingkan dengan rata-rata pendapatan tenaga kerja secara umum yang mencapai lebih dari 1,6 juta per bulan (BPS, 2013a). Bahkan, Nilai Tukar Peani (NTP), sebagai simbol daya bbeli petani, tidak mengalami kenaikan yang signifikan dari waktu ke waktju, merefleksikan lambatnya peningkatan kesejahteraan petani.
            Sensus pertanian 2013 juga menunjukkan bahwa sekitar 61 persen petani utama berusia lebih dari 45 tahun yang mengindikasikan kekurangtertarikan kaum muda dan kelemahan regenerasi di sektor pertanian. Menurut Kementerian Pertanian (Kementan, 2011), citra petani dan pertanian lebih dipahami seagai aktivitas sosial budaya tradisional, bukan sosial ekonomi yang dinamis dan menantang. Padahal, sektor ini perlu mendapat dukungan dari kelompok muda yang lebih sensitif terhadap peruahan teknologi pertanian. Mereka sangat dibutuhkan terutama untuk mengembangkan intensifikasi pertanian.

            Berdasar fakta di atas, pandangan bahwa petani merupakan pekerja miskin masih cukup kuat. Akibatnya, sektor pertanian semakin ditinggalkan. Terlebih lagi, tekanan pada tata guna lahan pertanian semakin memperburuk ketidakmenarikan sektor pertanian yang menjadi tantangan dalam keberlanjutan pertanian Indonesia dimasa datang. Oleh karenanya, dapat dimengerti mengapa peningkatan promosi citra petani dan pertanian guna menumbuhkan mina generasi muda menjadi wirausahawan agribisnis merupakan salah satu arah kebijakan Kementan untuk menarik angkatan kerja muda.
            Selain itu, dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementan 2010-2014, telah dicantumkan beberapa bidang usaha yang sangat terbuka untuk dikembangkan bagi kaum muda. Bidang-bidang tersebut adalah jasa pertanian, yaitu terkait dengan penyediaan dan distribusi sarana produksi, pelayanan alat dan mesin pertanian, usaha jasa transportasi hasil pertanian, pengelolaan lembaga keuangan mikro, dan konsultan manajemen agribisnis serta tenaga pemasaran produk agroindustri.

2.3.3    Optimalisasi Usaha Pertanian Masih Terhambat
            Upaya optimalisasi usaha pertanian masih terkendala berbagai persoalan. Di antaranya ialah, rendahnya kualitas sumber daya manusia, kecilnya skala usaha, serta lahan pertanian yang makin menyempit sejak 1999. Disisi lain, hilirisasi usaha pertanian untuk mendorong penciptaan nilai tambah baru pun masih terbatas.
            Optimalisasi usaha pertanian memerlukan dukungan dari berbagai faktor, yaitu pelaku, kebijakam, ketersediaan lahan, dan skala usaha. Efektivitas pelaksanaan kebijakan yang elah dirancang bergantung pada pelaku kegiatan. Mayoritas petani, yang berpendidikan rendah, menjadi salah satu kensala yang menghambat penerapan teknologi pertanian. Selain itu, rendahnya skala usaha dan luas lahan yang dikuasai juga menjadi hambatan lain dalam upaya optimalisasi usaha pertanian.
            Rendahnya skala usaha dapat dilihat dari jumlah petani atau pengelola pada setiap unit usaha. Hasil ST2013 menunjukkan mayoritas usaha pertanian dikelola oleh satu orang. Hal ini tentunya mempengaruhi kontribusi pendapatan rumah tangga terutama bagi rumah tangga usaha pertanian yang mengandalkan pertanian sebagai sandaran kehidupan.
            Skala usaha juga dapat terlihat dari jumlah rumah tangga petani gurem yang masih tiggi. Meskipun menurun selama satu dekade, jumlah rumah tangga petani gurem di Indonesia tahun 2013 masiih mencapai lebih dari separuh (sekitar 55 persen) dari total rumah tangga pertanian pengguna lahan. Ironisnya, Jawa sebagai sentra pangan dengan lahannya yang subur, memiliki persentase rumah tangga usaha petani gurem lebih dari 75 persen.
            Sesungguhnya lahan yang sempit tidak akan menjadi masalah jika produktivitasnya dapat ditingkatkan. Inovasi dan teknologi dalam hal ini dapat menjadi solusi.namun, diperlukan dukungan lain utamanya sumber daya manusia dengan keahlian yang relavan. Sayngnya, petani di Indonesia masih banyak yang berpendidikan rendah. Hanya sedikit saja petani yang berpendidikan SMP ke atas  meskipun selama satu dekade tingkat pendidikan petani meningkat perlahan.
            Di sisi lain, upaya peningkatan nilai tambah masih terbatas. Salah satu indikasinya ialah minimnya jumlah rumah tangga usaha pertanian yang melakukan hilirisasi. Dari sekitar 26,1 juta rumah tangga usaha pertanian, hanya 9 persen yang sudah melakukan proses ini. Dalam sensus pertanian 2013, hilirisasi diterjemahkan secara sederhana sebagai proses mengolah sendiri hasil pertanian yang melakukan hilirisasi, diharapkan petani miskin akan berkurang karena meningkatnya nilai tambah dari produk yang dihasilkan.
            Stimulus yang mamadai, terutama dalam hal modal, sangat diperlukan untuk menumbuhkan hilirisasi. Namun sayangnya, kecilnya skala usaha dan pengusahaan lahan mengakibatkan terbatasnya kemampuan petani untuk melakukan akumulasi modal. Dengan demikian, petani harus melakukan akumulasi modal. Dengan demikian, petani harus mendapat akses modal yang lebih mudah. Salah satunya dengan mempermudah prosedur pengajuan kredit dan persyaratan agunan.

2.3.4    Pertumbuhan Penduduk Membutuhkan Diversifikasi Pangan
            Bertambahnya populasi penduduk sudah merupakan hal yang pasti. Implikasinya jelas, yaitu kebutuhan pangan akan terus meningkat. Selain mengejar produktivitas, langkah strategis untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah dengan menyesuaikan perilaku konsumsi. Oleh karenanya, diversifikasi pangan menjadi tantangan baru yang perlu ditangani.
            Rata-rata laju pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia dari tahun 2000 hingga 2013 adalah sebesar 1,43 persen per tahun. Dengan pertumbuhan tersebut, penyediaa pangan menjadi persoalan yang cukup pelik. Ketersediaan pangan yang cukup menjadi syarat utama tercapainya ketahanan pangan nasional. Selain impor, pemerintah telah mengupayakan diversifikasi pangan.
            Diversifikasi berarti upaya meningkatkan ketersediaan pangan yang beragam dan berbasis potensi sumber daya lokal yang slah satunya ditujukan untuk memenuhi pola konsumsi pangan yang beragam., bergizi, seimbang, dan aman (Undang-Undang No. 18 Tahun 2012). Sayangnya, diversifikasi pangan belum berjalan secara optimal.
            Misalnya, dalam rencana Strategis 2010-2014, Kementan menargetkan penurunan konsumsi beras sekurang-kurangnya 1,5 persen per tahun, namun berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), konsumsi beras di tingkat rumah tangga masih tinggi. Sehingga, untuk pemenuhan konsumsi dalam negeri, impor beras merupakan hal yang tak terhindarkan.
            Dengan jumlah penduduk yang besar dan akan terus bertambah, maka dominasi beras dalam pola konsumsi pangan akan membebani negara karena harus terus mengimpor setiap tahun. Padahal, tingginya konsumsi karbohidrat dari beras sudah lebih tinggi dari kebutuhan karbohidrat yang diperlukan (Kementtan,2011) yang berartidiversifikasi konsumsi pangan mutlak disarankan.
            Tantangan ke depan adalah bagaimana memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk melakukan diversifikasi produksi dan diversifikasi konsumsi bbahan pangan. Untuk mendukung hal tersebut, melalui peraturan Menteri Pertanian No. 15 Tahun 2013, empat program  peningkatan diversifikasi dan ketahanan pangan masyarakat telah diterapkam. Keempat program tersebut terdiri atas gerakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan, desa mandiri pangan, penguatan lembaga distribusi pangan masyarakat, serta pengembangan lumbung pangan masyarakat.
2.3.5    Perubahan Iklim Mengancam Kelangsungan Pertanian
            Perubahan iklim telah menjadi fenomena alam yang dapat mengancam kelangsungan makhluk hidup di bumi. Pertanian menjadi salah satu sektor yang terkena dampak negatif terbesar. Anomali iklim, yang termanifestasi dalam pergeseran musim hujan, membuat siklus produksi pertanian dapat terganggu,.
            Perubahan iklim telah menjadi isu penting dalam berbagai kajian pembangunan berkelanjutan. Hal ini pun menjadi tantangan besar bagi sektor pertanian. Dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia tidak dapat terhindarkan. Salah satu yang terbesar ialah yang dirasakan oleh sektor pertanian (Cline, 2007).
            Anomali iklim, curah hujan, dan pergeseran musim yang tidak menenu merupakan efek-efek nyata dari pemanasan global. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofiisika (BMKG), hujan ekstrim meningkat 13 persen selama 1970-1999, khususnya di Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Selain itu, pada 1971-2000, musim hujan di Pulau Jawa mengalami pergeseran dengan kondisi yang, ada yang maju sekitar satu sampai tiga dasarian (periode sepuluh harian), bahkan tiga sampai empat dasarian.
            Pergeseran musim yang tidak menentu menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, melakukan pembenihan dan pemupukan. Alhasil, produksi akan menurun karena jadwal penyediaan benih dan pupuk yang tidak menentu akan mengakibatkan pasokan yang tidak menentu pula, sementara permintaan terus berjalan. Dampak yang berat ini lebih cenderung terjadi di negara berkembang (Rosenzweig & Parry, 1994), terlebih lagi di negara tropis (Mendelsohn, 2008), seperti halnya Indonesia.
            Para ahli memprediksi, produktivitas tanaman pertanian akan menurun 20 persen tidak hanya di Asia tetapi juga di Afrika dan Amerika Latin (Edame,dkk,2011). Stok produk maritim pun terancam mengalami degradasi secara besar-besaran sebagai respon dari kenaikan suhu perairan (Fargione,dkk.,2008). Namun, efek tersebut akan terjadi dalam jangaka panjang.
            Banjir, sebagai dampak anomali iklim yang ekstrim, dapat menyebabkan terganggunya produksi pertanian. Berdasarkan Data Potensi Desa (PODES) pada tiga periode (2003, 2005, dan 2011), sekitar 20 persen desa mengalami banjir setiap tahunnya. Menurut catatan Kementerian Pertanian, selama periode2004-2009, terdapat sekitar 30 ribu hektar luas lahan sawah terkena banjir. Dari jumlah tersebut, 37 persennya gagal panen (puso)(Kementan, 2011).
            Kemajuan teknologi pertanian, dan peningkatan kualitas sumber daya, tentunya petani sebagai pengelola pertanian diharapkan mampu beradaptasi terhadap faktor yang tak terhindarkan tersebut. Akan tetapi, mengingat tingkat pendidikan petani yang pada umumnya rendah, tentunya diperlukan upaya yang leis besar untuk bisa meningkatkan kemampuan mereka dalam menghadapi tantangan alam ini.
2.3.6    Kejenuhan Tanah Sebagai Ancaman
            Bagai paradoks, pertanian memiliki dua sisi yang saling berkebalikan. Disatu sisi, pertanian menjadi peyangga lingkungan. Namun, disisi lain, kegiatan pertanian dapat menjadi pemicu degradasi lingkungan. Jenuhnya tanah menjadi ancaman yang kini telah nyata.
            Praktek bertani yang idak tepat justru dapat menyebabkan berkurangnya kesuburan fisik tanah pertanian. Teknologi dan berbagai intervensi untuk mendongkrak produktivitas pertanian tidak akan berdaya menutup turunnya kualitas tanah. Akibatnya, produktivitas beberapa komoditas pertanian primer mencapai titik jenuh(leveling off).
           Nilai ekonomis emisi CO2 dan CH4 dari sektor pertanian cukup tinggi. Selama lima tahun pengamatan, kerugian akibat emisi gas tersebut melalui kerusakan lahan sawah dan penggunaan pupuk urea saja telah bernilai lebih dari 35 ttriliun rupiah. Meskipun nilai tersebut hanya sekitar 0,9 persen dari nilai ekonomi pertanian selama periode yang sama (4 ribu triliun rupiah), teknologi pertanian yang ramah lingkungan mutlak diperlukan.
            Tidak sekedar berdampak pada kerugian ekonomi, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca dari CO2 dan CH4 di atmosfer berkontribusi terhadap pemanasan global. Lebih jauh, pemanasan global ini menyebabkan perubahan iklim yang juga mengakibatkan gangguan terhadap produksi sektor pertanian. Hal ini merupakan tantangan utama bagi pembangunan berkelanjutan.
            Temuan tersebut sejalan dengan tantangan pertanian di masa mendatang. Kementan merumuskan sejumlah tantangan yang harus dijawab dalam mendorong pertanian yang berkelanjutan. Tantangan-tantangan tersebut terkait dengan bagaimana upaya merealisasikan teknologi pertanian yang ramah lingkungan. Misalnya, dengan peningkatan produksi pupuk organik yang dihasilkan dari limbah pertanian, penerapan sitem pengendalian hama terpadu, pembukaan lahan tanpa bakar, serta penerapan teknologi budidaya konservasi di lahan kering.
2.3.7    Globalisasi dan Pasar Bebas Tak Dapat Dielakkan
            Membanjirnya produk impor ke pasar lokal dengan harga yang bersaing menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Terbukanya akses pasar dan teknologi informasi mampu menembus batas ruang negara. Keterlibatan Indonesia di organisasi perdagangan dunia seperti World Trade Organization (WTO) membuat Indonesia harus dapat berkompromi dengan negara lain.
            Selain dengan derasnya arus globalisasi, maka pasar dunia menjadi semakin terbuka. Barang yang dihasilkan di suatu negara dengan mudah dapat diperjualbelikan di pasar internasional. Bagi produk pertanian Indonesia, kondisi ini menawarkan peluang sekaligus merupakan tantangan. Sejumlah produk tanaman perkebunan seperti kelapa sawit dan karet memiliki pangsa pasar yang cukup besar di pasar internasional. Namun demikian, berbagai komoditas pangan seperti beras, jagung, kedelai, dan buah-buahan dari manca negara ternyata telah menyerbu pasar domestik.
            Berbagai produk impor tidak hanya dapat dijumpai di pasar modern namun juga dapat dengan mudah ditemukan di pasar tradisional. Hal ini dapat dibuktikan bahwa, walaupun dalam neracaperdagangan, perkebunan dan perikanan merupakan pemberi surplus dalam perdagangan internasional, tetapi dalam pemenuhan konsumsi domestik, sektor lainnya lebih banyak melakukan impor.
            Sebetulnya, tidak ada yang salah dengan impor jika pasokan dalam negeri idak mencukupi kebutuhan atau terdapat preferensi terhadap komoditas tertentu. Akan tetapi, hal tersebut menjadi masalah jika derasnya produk impor mengalahkan produk lokal sehingga menyebabkan petani gulung tikar. Hal ini akan membawa dampak negatif terhadap kemampuan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebuuhan konsumsi domestik.
            Dampak negatif dari derasnya produk impor sangat jelas. Misalnya, komoditas kedelai, yang jumlah rumah tangga usahanya berkurang sekitar 32 persen dalam satu dekade terakhir. Sementara itu, neraca bahan makanan tahun 2005-2012 memperlihatkan volume impor kedelai yang selalu melebihi jumlah produksi. Ini menggambarkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri sangat bergantung pada impor, sedangkan antusiasme petani kedelai semakin melemah.
            Contoh lainnya ialah komoditas buah-buahan. Salah satunya, jeruk impor yang sangat mudah ditemukan di pasar. Volume impor komoditas ini telah mencapai lebih dari 200 juta ton per tahun. Jika dikaikan dengan hasil sensus pertanian, selama satu dasawarsa telah terjadi penurunan rumah tangga usaha jeruk yang tergolong drastis. Pada 2003, terdapatsekitar 973ribu rumah tangga usaha jeruk. Namun, pada 2013, jumlah tersebut telah merosot sekitar 43 persen.
            Dalam acara promosi Hortikultura Nusantara bulan September 2013 lalu, pemerintah menilai semakin tingginya impor produk pertanian, terutama buah, disebabkan biaya distribusi yang lebih efisien. Sementara, pendistribusian produk domestik terkendala oleh kurangnya infrastruktur dan lebih rendahnya skala usaha distributor. Pada umumnya, eksportir asing merupakan perusahaan berskala besar, sedangkan distributor Indonesia mayoritas merupakan usaha kecil.
       Faktor di atas menyebabkan perbedaan harga. Beberapa komoditas impor di pasar dalam negeri memiliki harga yang lebih murah karena pemerintah negara-negaraeksportir melindungi petani mereka dengan memberikan aneka subsidi dari hulu ke hilir (Kementan, 2009). 

       Agar produk pertaniana lokal dapat bersaing dengan produk impor, maka penyediaan infrastruktur yang memadai di sentra pertanian, menjadi prasyarat pentting. Apabila terwujud, biaya distribusi produk lokal akan ditekan. Cara lainnya ialah dengan membangun sistem perlindungan melalui subsidi bunga kredit, subsidi harga, Pricing policies yang proporsional untuk produk –produk pertanian ttertentu. Kesemuanya itu perlu dilaksanakan agar produk lokal memiliki daya saing yang
tinggi dalam menghadapi produk impor.







BAB III
PENUTUP
2.1  Kesimpulan
1.      Pertanian merupakan salah satu sektor penting penyumbang pertumbuhan ekonomi, dan menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah, dari masa ke masa, mengembangkan sektor pertanian sampai saat ini.
2.      Potensi Pelaksanaan Pertanian Berkelanjutan
a.    Kontribusi Sektor Pertanian Terbesar Kedua dalam Produk Domestik Bruto Indonesia
b.    Sumber Kehidupan Masyarakat Kebanyakan
c.     Sumber Ketahanan Pangan Utama
d.    Potensi Alam Untuk Pertanian
e.    Peyangga Lingkungan Hidup
f.     Keunggulan Komparatif Pertanian Indonesia
g.    Peluang Produk Pertanian di Pasar Global
3.       Tantangan Pelaksanaan Pertanian Berkelanjutan
a.       Kesejahteraan Petani Rendah
b.      Sektor Pertanian Semakin Tidak Populer
c.       Optimalisasi Usaha Pertanian Masih Terhambat
d.      Pertumbuhan Penduduk Membutuhkan Diversifikasi Pangan
e.       Perubahan Iklim Mengancam Kelangsungan Pertanian
f.       Kejenuhan Tanah Sebagai Ancaman
g.      Globalisasi dan Pasar Bebas Tak Dapat Dielakkan

3.1  Saran
           Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kami menerima masukan baik kritik maupun saran dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
Badan pusat statistik. (2013).Potensi Pertanian Indonesia.Jakarta
Badan pusat statistik (2012). Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia, 2007-2011, Jakarta: BPS
Edame,G.,Ekpenyong, A., Fonta, & Duru, E. (2011). Climate Change, Food Security and Agriculture Productivity in Africa:Issue and policy directions. International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 1 No. 21 Special Issue, 205-223
Hamidi, H. (2007). Daya Saing Tembakau Virginia Lombok di Pasar Ekspor. Agroteksos, vol.17,No.2, 129-133



No comments:

Post a Comment