BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Pertanian merupakan salah satu sektor
penting penyumbang pertumbuhan ekonomi, dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Pemerintah, dari masa ke masa, mengembangkan sektor pertanian sampai saat ini.
Pemberdayaan dan pengembangan pertanian perlu reformasi kebijakan, tidak hanya
untuk meningkatkan produksi untuk kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk
ekspor. Peningkatan ekspor produk pertanian merupakan salah satu syarat utama
menjadi negara pertanian kelas dunia. Kajian deskriptif analisis ini
menggunakan metode riset kualitatif, dengan menggunakan data sekunder dari
berbagai referensi buku, jurnal, surat kabar, dan berita di internet. Tulisan
ini menyimpulkan cita-cita menjadi negara pertanian berkelas dunia dapat dilakukan
dengan meningkatkan produksi pertanian, sehingga menghasilkan surplus neraca
pertanian. Pencapaian swasembada pertanian tidak cukup dan perlu upaya mencapai
surplus produksi untuk tujuan ekspor agar dapat memperoleh devisa. Oleh karena
itu, kebijakan pertanian ke depan tidak hanya fokus pada beberapa komoditas
perkebunan saja, tetapi juga perlu peningkatan surplus produksi tanaman pangan,
dan komoditas hortikultura di masa datang.
Indonesia sejak dulu dan sampai sekarang
masih terus mengembangkan sektor pertanian terutama pangan, untuk kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat, tetapi belum dapat mencapai ketahanan pangan.Sektor
pertanian masih sangat penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia, tidak hanya
persoalan bagaimana meningkatkan produksi beras untuk memenuhi kebutuhan pangan
dan industri, tetapi juga untuk dapat diekspor. Kemajuan sektor pertanian akan
berdampak positif dan mendukung perkembangan sektor lain, seperti sektor
industri, transportasi, sektor pariwisata, sektor perdagangan (sektor riil),
dan sektor usaha kecil dan menengah (UKM).
Dalam teori ekonomi pembangunan
(klasik), Bustanul Arifin, menegaskan pembangunan pertanian merupakan sumber
pendapatan dan kesempatan kerja, penghasil produk pangan, pemacu
industrialisasi, penyumbang devisa negara, dan pasar bagi produk dan jasa
sektor di luar pertanian. Dalam konteks ketahanan pangan, pembangunan pertanian
dapat meningkatkan jumlah ketersediaan pangan dan perbaikan akses atau daya
beli terhadap produkproduk pangan. Peningkatan produktivitas tanaman pangan
melalui varietas unggul, peningkatan produksi peternakan dan perikanan (budi
daya dan ikan laut) telah terbukti mampu mengatasi persoalan kelaparan.17
Menurut Bustanul Arifin, terdapat paling tidak 5 strategi revitalisasi prtanian
yang dapat diimplementasikan ke depan, yakni: Pertama, sektor pertanian wajib
terintegrasi dengan agroindustri dan kebijakan makro-ekonomi, karena
elemen-elemen kebijakan moneter dan kebijakan fiskal terkait dengan pembangunan
pertanian. Kedua, sektor pertanian harus memperoleh tingkat bunga (kredit) yang
layak dan terjangkau bagi sebagian besar petani dan pelaku usaha agrobisnis dan
agroindustri. Ketiga, sektor pertanian memerlukan pengelolaan dan laju inflasi
yang cukup terkendali untuk menurunkan tingkat keragaman suku bunga yang
dihadapi komoditas pertanian. Artinya sektor pertanian harus didukung dengan
laju inflasi yang rendah. Keempat, sektor pertanian memerlukan anggaran (dana)
publik yang merupakan bagian dari kebijakan keberpihakan pemerintah untuk mendorong
kegiatan ekonomi dan kebijakan subsidi yang tepat sasaran dalam pembangunan
pertanian. Kelima, sektor pertanian memerlukan land-policy reform (reforma
agraria), yang tepat dan terukur yang mampu mengkombinasikan peningkatan aset
lahan yang dikuasai petani, perbaikan/peningkatan akses petani dan pemberdayaan
kapasitas petani.
Tabel 1. Perbedaan Pertanian
Konvensional /Modern dengan Pertanian Berkelanjutan.
Pertanian
Konvensional/Modern
|
Pertanian
Berkelanjutan
|
Sangat tergantung pada kemajuan
inovasi teknologi.
|
Sangat tergantung pada
manajemen, pengetehauan serta keterampilan petani.
|
Membutuhkan investasi modal
yang besar untuk produksi dan pengembangan teknologi.
|
Pada umumnya tidak membutuhkan
investasi modal yang besar.
|
Skala pertanian yang cukup luas/besar.
|
Skala pertanian kecil dan
menengah.
|
Sistem tanam: monokultur.
|
Sistem tanam: diversifikasi.
|
Penggunaan pupuk dan pestisida
kimiawi secara luas.
|
Meminimalisir penggunaan pupuk
dan pestisida kimiawi, mengalihkannya dengan pupuk dan pestisida alami,
seperti pupuk anorganik.
|
Biaya yang
dikeluarkan untuk upah tenaga kerja relatif rendah karena hanya dibutuhkan
sedikit tenaga kerja.
|
Biaya upah
tenaga kerja lebih tinggi karena dibutuhkan lebih banyak tenaga kerja.
|
Ketergantungan
yang tinggi pada penggunaan bahan bakar untuk sumber energi pada produksi
pertanian, produksi pupuk, pengepakan, transportasi, dan pemasaran.
|
Penggunaan
bahan bakar fosil dalam proses produksi relatif lebih rendah karena minim
penggunaan mesin-mesin pertanian, tidak memproduksi pupuk kimiawi, dan dalam
pemasarannya pun lebih menekankan pada pemasaran secara langsung dan bersifat
lokal (areal pertanian dekat dengan konsumen sehingga jalur distribusi lebih
pendek dibandingkan dengan sistem pertanian konvensional).
|
1.2
Tujuan
1.
Mahasiswa dapat
mengetahui potensi pelaksaam pertanian berkelanjutan dimasa yang akan datang
2.
Mahasiwa dapat
mengetahui tantangan yang akan di dapat dalam pelaksanaan pertanian
berkelanjutan dimasa yang akan datang
BAB 11
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aspek Teknis
Sebagai
negara tropis dengan dua musim, Indonesia dilimpahi berkah kesuburan tanah yang
mendukung tumbuhnya berbagai mcam jenis tumbuhan. Selain itu, dengan luasnya
penguasaan laut, melimpahnya produk perikanan pun tidak dapat dipungkiri. Bahkan,
beberapa produk pertanian yang dihasilkan memiliki keunggulan komparatif dan
menjadi primadona ekspor.
Tidak
hanya sebagai sumber pangan dan sumber devia, sektor pertanian menjadi penopang
kegiatan ekonomi masyarakat kebanyakan. Sebagian besar masyarakat Indonesia di
perdesaan bergantung dari sektor ini. Sayangnya, ebagian besar mereka
hidup dibawah gari kemiskinan. Rendahnya
nilai tukar petani menggambarkan kesejahteraan petani yang belum seperti yang
diharapkan.
Saat ini, pertanian Indonesia masih menghadapi
kendala baik dari dalam maupun dari luar. Dari dalam, kendala yang dihadapi berkaitan
dengan optimlaisasi, kualitas sumberdaya manusia, skala usaha, regenerasi dan
ketergantungan impor. Selain itu, seiring dengan semakin meningkatnya
eksplorasi hasil hasil bumi, berbagai fenomena alam pun telah mengganggu
produktivitas hasil pertanian. Dari luar, membajirinya produk impor menjadi
tantangan tersendiri bagi komoditas lokal. Menghadapi berbagai tantangan
tersebut, kebijakan pembangunan yang komprehensif dan inovatif sangatlah
diperlukan.
Penelusuran
lebih dalam mengenai gambaran pertanian Indonesia adalah sarana untuk
menciptakan kebijakan pertanian yang tepat guna. Menggali potensi yang dimiliki
setiap wilayah atau koridor ekonomi, merupakan langkah awal penyusunan
kebijakan sektoral dan regional. Harapannya, setiap koridor dapat mengembangkan
pertanian sesuai potensinya, sehingga ketimpangan ekonomi antar wilayah dapat
diminimalisir. Hasil sensus pertanian 2013 (ST2013)memberikan potret pertanian
Indonesia yang utamanya berkaitan dengan karakteristik Rumah Tangga Usaha
Pertanian dan Populasi produk yang dihasilkan baik secara nasional maupun
menurut pulau.
Dalam
skala nasional, hasil ST2013 menunjukkan bahwa pertanian Indonesia dicirikan
dengan pergeseran pelaku usaha , dimana jumlah rumah tangga usaha pertanian
menurun dari periode sensus sebelumnya. Sebaliknya, populasi perusahaan
pertanian justru meningkat. Ciri lainnya berkaitan dengan karakteristik pelaku
usaha dalam rumah tangga dimana mayoritas petani Indonesia adalah laki laki
yang berusia produktif senja. Masih jarang generasi muda yang terlibat di
sektor ini. Tekait lahan, selama satu dekade, luas penguasaan lahan pertanian
per rumah tangga pertanian semakin meningkat yang mengiringi berkurangnya
jumlah petani gurem. Sedangkan tanaman pangan merupakan subsektor pertanian
yang paling banyak diusahakan petani hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Hingga
saat ini, sektor pertanian masih terpusat di Pulau Jawa yang juga merupakan
pusat perekonomian Indonesia. Sejumlah komoditas strategi masih dominan
dihailkan di pulau ini, seperti padi, agung, kedelai dan tebu. Tak terkecuali
dalam pemenuhan swasembada daging, Pulau Jawa masih merupakan produen yang
utama. Namun demikian, daya dukung alam dan lahan di pulau ini semakin
berkurang sehingga adalah masuk akal untuk mengarahkan pembangunan pertanian ke
wilayah lain.
Koridor
Bali dan Nusa Tenggara memiliki potensi cukup besar untuk pengembangan
subsektor peternakan, khususnya peternakan sapi potong. Namun, elain peternakan
sapi, usaha perkebunan dan kehutanan juga cukup cerah di koridor ini, kopi
sangat potensial untuk dikembangkan di Bali, sementara di Nusa Tenggara Barat
(NTB) tembakau masih menjadi andalan selain madu hutan. Seangkan Nusa Tenggara Timur
(NTT) merupakan produsen utama cendana.
Sementara
itu, sejak zaman kolonial Belanda hingga kini, perkebunan menjadi penopang
utama pertanian di Sumatera. Karet, kelapa sawit dan kelpaa adalah tiga
komoditas utama yang paling banyak diusahakan rumah tangga di wilayah ini. Hal
yang sama terjadi di Sulawesi dimana perkebunan sangat potensial meskipun
sebagian besar rumah tangga usaha pertanian mengusahakan tanaman pangan.
Komodias perkebunan seperti kakao, kelapa dan kopi merupakan unggulan di pulau
Celebes ini.
Di
sisi lain, Kalimantan merupakan daerah pengembangan pertanian yang cukup unik.
Ditengah tekanan usaha pertambangan yang jauh lebih populer bagi masyarakatnya,
sektor pertanian semakin mendapat tantangan, namun demikian, perkebunan dan
kehutanan masih dapat diingkatkan. Akasia, bambu, jati, dan mahoni merupakan
produk pertanian yang banyak diusahakan disamping karet, serta kelapa sawit.
Sebagai
negara kepulauan, potensi perikanan Indonesia ercermin di kepulauan Maluku. Di
wilayah ini kegiatan perikanan memiliki potensi cemerlang mekipun jumlah rumah
tangga usaha pertanian yang terlibat tidak sebanyak sektor pertanian lainnya.
Perikanan tangkap merupakan usaha bagi sebagian besar nelayan di kepulauan ini.
Membahas prospek pertanian Indonesia tidak bisa lepas dari Pulau Papua. Pulai
yang subur ini sanga berpotensi bagi pengembangan tanmaan pangan, hortikultura
dan perkebunan. Beberapa komoditas yang potensial untuk dikembangkan adalah
jagung, sagu, pala, kopi,, kelapa dan sayuran. Selain itu koridor ini juga
potensial untuk pengembangan pertanian di daerah cukuplah banyak. Masalah
sumber daya manusia, sama peliknya dengan masalah transportasi serta
infrastruktur di daerah ini.
Lebih jauh salah satu tujuan pembangunan
pertanian Indonesia adalah meningkatkan produktivitas petani melalui
peningkatan petani melalui peningkatan nilai tambah yang dihasilkan petani.
Banyak upaya bisa dilakukan diantaranya melalui pengolahan lanjut produk produk
pertanian yang dihasilkan petani. Sayangnya, upaya ini baru dilakukan oleh
sebagian kecil rumah tangga usaha pertanian menjual hasil pertaniannya dalam
bentuk dasar. Selain itu rumah tangga usaha pertanian yang bergerak dibidang
jasa pertanian yang maih sedikit,
padahal peluang usaha dibidang ini cukup terbuka luas.
Menyimak
kondisi pertanian yang banyak ditinggalkan rumah tangga dan petaninya
menimbulkan pertanyaan tentang keberlangsungan pertanian Indonesia. Sementara
itu, menggali potensi yang ada membawa sebuah harapan bagi kemajuan pembangunan
pertanian selanjutnya . Tinggal bagaimana kita menyikapinya.
2.2 Potensi Pelaksanaan
Pertanian Berkelanjutan
2.2.1 Kontribusi Sektor Pertanian Terbesar Kedua
dalam Produk Domestik Bruto Indonesia
Sektor
pertanian memberikan kontribui yang cukup signifikan pada perekonomianIndonesia
dilihat dari sisi Produk Domestik Bruto (PDB). Ampai dengan tahun 2013,
kontribusi sektor ini berada pada urutan kedua setelah sektor Industri
Pengolahan. Meskipun demikian, dari waktu ke waktu kontribusi sektor pertanian
terus menurun. Jika pada tahun 2013 turun menjadi 14,4 persen. Di sisi lain,
kontrisusi sektor jasa jasa terus meningkat. Hal ini menggambarkan tranformasi
ekonomi Indonesia dimana kontribusi sektor sektor primer menurun dan digantikan
dengan peningkatan sektor sekunder dan tersier.
Penurunan
kontribusi sekor pertanian terutama dipicu oleh penurunan peran subsektor
tanaman pangan. Selama 10 tahun terakhir, peran subsektor yang banyak diminati
rumah tangga pertanian ini menurun dari sekitar52 persen menjadi 47 persen dari
total PDB pertanian Indonesia. Disisi lain, peran subsektor ini memberikan
harapan bagi keberlangsungan pertanian Indonesia karena sebagai negara
kepulauan potensi bahari sangatlah menjanjikan.
Selain tanaman pangan dan perikanan,
subsektor perkebunan memberikan kontribusi yang berarti bagi perekonomian
Indonesia. Meskipun kontribusi sektor ini hanya sebesar 13 peren dari PDB.
Pertanian, namun ekspornya mengalami surplus . ditengah terjadinya defisit
perdagangan luar negeri Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini, komoditas
perkebunan justru mengalami surplus.
Meski kontribusi sektor pertanian
terhadap perekonomian Indonesia kurang dari 20 persen, sektor ini terbukti
masih mampu menjadi andalan. Selain itu sangatlah beralasan untuk tetap
menjadikan sektor ini sebagai andalan perekonomian Indonesia. Terlebih lagi
jika dilihat dari perannya dalam penyerapan tenaga kerja.
2.2.2 Sumber Kehidupan Masyarakat Kebanyakan
Meski
mulai ditinggalkan, sektor pertanian masih menjadi tumpuan hidup sebagian besar
masyarakat dan tenaga kerja nasional. Tidak kurang dari sepertiga tenaga kerja
nasional berada di sektor ini (sakernas,
2 Agustus 2013). Pada 2013 masih terdapat sekitar 38 juta tenaga kerja
yang bertahan di sekttor pertanian. Jumlah tersebut setara dengan 34 persen
penduduk Indonesia yang bekerja.
Pandangan
di atas sejalan dengan fakta yang dihasilkan oleh sakernas 2013, yang
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor
pertanian secara umum masih relatif rendah dibandingkan dengan yang bekerja di
sektor lain. Sekitar 72,6 persen tenaga kerja sektor pertanian berpendidikan
tamat Sekolah Dasar atau bahkan tidak sekolah sama sekali.
2.2.3 Sumber Ketahanan Pangan Utama
Hingga
kini, Indonesia masih belum terbebas dari persoalan ketahanan pangan. Salah
satu pangkal masalahnya ialah defissit pangan yang belum juga tertangani.
Selama lima tahun terakhir, nilai impor produk pertanian Indonesia lebih dari dua
kali lipat nilai ekspornya. Meski demikian, ada kabar baik dari pertanian
nasional. Produksi sejumlah tanaman pangan utama meningkat lebih tinggi
dibandingkan pertambahan penduduk Indonesia.
Berdasarkan indikator ketahanan pangan
yang disusun oleh Food and Agriculture Organization (FAO), dalam periode
2011-2013 diperkirakan masih terdapat sekitar 9,1 persen penduduk Indonesia
yang kekurangan gizi, atau sekitar 22.3 juta orang atau merupakan 34, persen
dari sejumlah 64,5 juta orang yang masih kekurangan gizi di Asia Tenggara.
Sesuai dengan estimasi FAO, untuk ssetiap orang yang kekurangan gizi di
Indonesia akan memerlukan tambahan sekitar 4 kilo kalori per haari
untukmengatasi maslahnya.
Potret ketahanan pangan Indonesia memang
masih belum terlalu cerah. Berdasarkan Indeks Kelaparan Global (IKG) 2013 yang
disusun oleh Von Grebmer dkk. (2013), Indonesia masih termasuk dalam kategori
sebagai negara dengan tingkat kelaparan serius bersama dengan Kamboja dan
Filipinaa. IKG sendiri merupakan indeks yang disusun dari tiga variabel utama;
tingkat kematian anak berumur kurang dari lima tahun, prevalensi anak dengan
bera badan kurang dan poroporsi penduduk kurang gizi.
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012
tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana
pangan tersedia dengan jumlah cukup dan harga terjangkau bagi semua penduduk
untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan (Ayat 4 pasal
1). Salah satu pilar ketahanan pangan ialah ketersediaan pangan yang cukup
secara berkelanjutan. Hal ini secara langsung dipengaruhi oleh produksi tanaman
pangan. Dengan demikian, sektor pertanian menjadi penopang utama ketahanan
pangan Indonesia.
Penduduk Indonesia pada tahun 2015 akan
mencapai 255,5 juta orang dan jumlah tersebut akan terus bertumbuh menjadi
sekitar 271,1 juta orang pada tahun 22020. Konsekuensi logis dari pertumbuhan
penduduk ini adalah bahwa pangan yang harus disediakan untuk mendukung
ketahanan pangan bagi penduduk Indonesia juga akan terus meningkat,
sekurang-kurangnya dengan laju pertumbuhan yang sama.
Beruntungnya, saat ini produksi tanaman
pangan nasional cenderung membaik. Hal ini didorong terutama oleh meningkatnya
produktivitas. Dalam kurun 2004-2013, produktivtas tanaman pangan tetap
meningkat meski luas panennya berkurang. Keberhasilan dalam penerapan teknologi
budidaya tanaman pangan menjadi faktor yang mendongkrak produktivitas tersebut.
Apabila dibandingkan dengan laju
pertumbuhan penduduk, yang berkisar 1 sampai 1.3 persen per tahun, laju
pertumbuhan produksi berbagai jenis tanaman pangan secara umum masih lebih
tinggi. Hanya produksi kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau tumbuh lebih
lambat dibanding laju pertumbuhan penduduk. Gambaran ini bisa memberikan
petunjuk bagi pejabat pemerintah pada bidang yang terkait dalam pembuatan
berbagai kebijakan dalam subsektor tanaman pangan.
2.2.4 Potensi Alam Untuk Pertanian
Alam menjadi sumber kekayaan penting bagi
negara manapun. Di Indonesia lahan untuk pertanian masih terbuka luas, walaupun
berbagai tempat dengan wilayah pertambangan dan usaha ekstraktif lainnya.
Didukung dengan variasi kandungan hara antar daerah, keragaman potensi pertanian
merupakan suatu keniscayaan.
Secara
geografis, alam Indonesia sanga potensial untuk kegiatan pertanian. Indonesia
memiliki banyak gunung berapi dan tersebar di berbagai pulau pulau, Sumatera,
Jawa, Bali,Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku merupakan pulau pulau yang
memiliki konsentrasi gunung berapi yang relatif tinggi. Resiko dari letusan
gunung berapi memang tidak dapat dihilangkan, namun debu vulkanik dari letusan
tersebut pada umumnya membua daerah disekitar gunung berapi menjadi sangat
subur untuk bercocok tanam.
Selain
wilayah pergunungan yang kaya akan unsur vulkanik, wilayah dataran rendah, dan
perairan Indonesia seperti laut, sungai dan danau memiliki potensi pertanian
yang tidak kalah juga. Keberagaman alam dan variasi kandungan hara antar
wilayah di Indonesia menciptakan keberagaman potensi pertanain antar wilayah di
Indonesia. Keeragaman ini selain dipengaruhi oleh kondisi alam, juga oleh
budaya setempat. Ini selai dipengaruhi oleh kondisi alam, juga oleh budaya
setempat. Sensus pertanian 2013 memperlihatkan bahwa di setiap provinsi
terdapat kegiatan usaha pertanian, tetapi dengan potensi yang beragam.
Keberagaman
potensi pertanian terindikasi dari produk produk unggulan dari setiap wilayah
provinsi atau pulau. Pulau Sumatera menonjol dengan komoditi unggulan Indonesia
dari sektor perkebunan seperti Kelapa sawit dan karet. Sedangkan Pulau Jawa
unggul dalam semua komoditi pertanian dari komoditi pangan, hortikultura,
peternakan, maupun perikanan budidaya. Sementara di Bali dan Nusa, usaha peternakan
sangat berpotensi esar, disamping tanaman pangan seperti padi dan jagung. Untuk
wilayah Kalimanan, potensi hasil hutan sangat menonjol, disamping komoditi
kelapa sawit. Selanjutnya, tanah di Sulawesi sangat berpotensi untuk budidaya
kakao dan kelapa yang sangat berpotensi menjadi komoditi andalan ekspor
Indonesia. Untuk komoditi peerikanan di Indonesia hampir berpotensi di semua
pulau, karena wilayah Indonesia yang dikelilingi laut dan samudera seperti di
wilayah Maluku dan Papua.
2.2.5 Peyangga Lingkungan Hidup
Selain menjadi sumber penghidupan
masyarakat, kegiatan pertanian memiliki peran sebagai peyangga lingkungan
hidup. Oleh karenanya, kegiatan pertanian yang berlanjutan tidak dapat ditawar
lagi. Intinya, pengelolaan pertanian harus dijalankan tanpa merusak lingkungan.
Kegiatan pertanian memiliki kaitan erat
dengan kondisi air, udara, dan tanah. Penggunaan berbagai pupuk dan obat-obatan
yang kurang tepat, misalnya, akan erpengaruh terhadap kualitas air di sekitar
lahan pertanian. Begitu pula dengan pembakaran sis tanaman, penyemprotan bahan
anti hama, dan penggunaan pupuk berbasis nitrogen, akan berdampak pada kualitas
udara di sekitarnya. Kemudian, penebangan berbagai tanaman keras, erutama
tanaman kehutanan akan menyebabkan erosi tanah dalam tingkat yang tergolong
parah.
Dengan kondisi tersebut, sejumlah ahli
pertanian dan lingkungan hidup mengemukakan konsep kegiatan pertanian yang
berkelanjutan. Inti dari konsep ini ialah melakukan pengelolaan terhadap
berbagai praktik pertanian yang dapat mereduksi dampak negatifnya terhadap
lingkungan. Beberapa praktik pertanian yang dianjurkan antara lain adalah :
a.
Pemilihan
species dan varietas yang sesuai dengan kondisi lahan pertanian yang
diusahakan,
b.
Peragaman
tanaman dan hewan serta penyesuaian budaya untuk mendorong stabilitas ekologi
lingkungan
c.
Pengelolaan
penggunaan tanah untuk perlindungan kualitas tanah;
d.
Penggunaan bahan
dan input yang efisien; dan
e.
Penyesuaian
tujuan pertanian dan pilihan gaya hidup.
Partispasi akif dari para pelaku usaha
pertanian seperti yang telah dikemukakan tersebut diatas sebenarnya belum mampu
untuk menjadikan pertanian sebagai peyangga lingkungan. Untuk itu, masih
diperlukan campur angan pihak lain, terutama pemerintah. Kebijakan pertanian
dan pangan serta penggunaan tanah sangat diperlukan agar pertanian dapat
berfungsi optimal dalam mendukung lingkungan.
2.2.6 Keunggulan Komparatif Pertanian Indonesia
Sebagai negara agraris, Indonesia secara
alamiah memiliki keunggulan komparatif dalam produksi peranian. Apabila
dikelola secara optimal, keunggulan ini menjadu pondasi yang menopang
kemandirian pangan nasional.
Perdagangan luar egeri, baik ekspor
maupun impor, seharusnya sama-sama mengntungkan bagi para pelkunya. Walaupun
sama-sama dapat menghasilkan devisa, tidak semua barang akan menguntungkan
untuk diekspor. Salah satu ukuran yang umum digunakan untuk melihat produk yang
memiliki keunggulan dalam perdagangan internasional adalah keunggulan
komparatif terungkap (Revealed
Comporative Advantage, RCA).
Dari sekitar 220 komoditas pertanian
yang diekspor Indonesia dalam periode 2005-2011, terdapat sekitar 50 komoditas
yang memiliki keunggulan komparatif (RCA). Komoditas pertanian Indonesia yang
memiliki pangan pasar dan keunggulan komparatif yang tinggi antara lain adalah
minyak kernel kelapa sawit, karet kering alami, bungkil kopra, dan minyak
(kopra).
2.2.7 Peluang Produk Pertanian di Pasar Global
Seiring dengan terus berambahnya
penduduk dunia, kebutuhan pangan akan terus meningkat. Integrasi ekonomi dan
terbukanya pasar dunia membuat persaingan tidak terhindarkan. Ditengah
persaingan dengan negara agraris lain, produk pertanian Indonesia berpeluang
merajai pasar global.
Proses integrasi ekonomi yang terjadi
dalam arus globalisasi telah menjadikan dunia seolah tanpa batas. Kejadian di
suatu tempat dengan ceoat dan mudah dapat diketahui oleh mereka yang berada di
tempat lain yang jauh. Salah satu dampak arus globalisasi ekonomi adalah
semakin intensnya kegiatan perdagangan antar negara, yang anara lain semakin
dipacu oleh terbentuknya blok-blok perdagangan bebas.
Banyak pihak meyakini bahwa kegiatan
perdagangan internasional akan memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah, terutama bagi negara-negara sedang berkembang. Terbunya
pasar luar negeri diharapkan alkan mendorong peningkatan produksi domestik.
Namun demikian, semakin terbukanya pasar di suatu negara dapat juga menimbilkan
ancaman. Pelaku kegiatan ekonomi domestik dihadapkan pada tuntutan unuk
memiliki daya saing yang cukup agar mampu menghadapi serbuan produk luar negeri
yang mengalir dan merebut pangsa pasar domestik.
Dua indikator globalisasi produk
pertanian Indonesia memberikan gambaran yang berbeda. Inensitas ekspor produk
pertanian Indonesia pada periode 2009-2011 memiliki nilai lebih besar dari
satu. Hal ini menunjukkan bahwa rasio nilai ekspor di Indonesia lebih besar
dibandingkan dengan rasio yang sama pada tingkat dunia. Secara tidak langsung,
kondisi ininjuga mengindikasikan prosuk pertanian Indonesia Umumnya memiliki
keunggulan di pasar dunia.
2.3 Tantangan
Pelaksanaan Pertanian Berkelanjutan
Pertanian Indonesia menghadapi berbagai
tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Mulai dari kesejahteraan petani
yang rendah, terhambatnya optimalisasi usaha pertanian, persoalan diversifikasi
pangan, hingga ancaman globalisasi. Tantangan-tantangan ini menjadi pekerjaan
rumah terberat yang harus ditangani saat ini.
2.3.1
Kesejahteraan
Petani Rendah
2.3.2 Sektor Pertanian Semakin Tidak Populer
Merosotnya
jumlah petani dan rumah tangga usaha pertanian menjadi “alarm” yang menandakan
makin tidak populernya sektor pertanian. Relatif rendahnya pendapatan dari
kegiatan bertani, membuat sektor yang pernah berjaya di era 1970 hingga 1980-an
ini kurang menarik agi generasi muda. Padahal, generasi ini bakal menjadi
tumpuan usaha pertanian dimasa mendatang.
Dalam
satu dasawarsa terakhir, jumlah rumah tangga usaha pertanian menurun cukup
drastis. dari 31,23 juta rumah tangga pada 2003 menjadi 26,14 juta rumah tangga
pada 2013. Penurunan tersebut terjadi di seluruh subsektor pertanian. Seiring
dengan penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian tersebut, kontribusi
pekerja di sektor pertanian dalam pasar tenaga kerja pun semakin menurun.
Berdasarkan hasil survei Angkatan Kerja Nasional, persentase pekerja pertanian
menurun dari sekitar 44 persen menjadi 3 persen terhadap jumlah keseluruhan
tanaga kerja di Indonesia.
Sensus
pertanian 2013 juga menunjukkan bahwa sekitar 61 persen petani utama berusia
lebih dari 45 tahun yang mengindikasikan kekurangtertarikan kaum muda dan
kelemahan regenerasi di sektor pertanian. Menurut Kementerian Pertanian (Kementan,
2011), citra petani dan pertanian lebih dipahami seagai aktivitas sosial budaya
tradisional, bukan sosial ekonomi yang dinamis dan menantang. Padahal, sektor
ini perlu mendapat dukungan dari kelompok muda yang lebih sensitif terhadap
peruahan teknologi pertanian. Mereka sangat dibutuhkan terutama untuk
mengembangkan intensifikasi pertanian.
Berdasar fakta di atas, pandangan bahwa petani merupakan pekerja miskin masih cukup kuat. Akibatnya, sektor pertanian semakin ditinggalkan. Terlebih lagi, tekanan pada tata guna lahan pertanian semakin memperburuk ketidakmenarikan sektor pertanian yang menjadi tantangan dalam keberlanjutan pertanian Indonesia dimasa datang. Oleh karenanya, dapat dimengerti mengapa peningkatan promosi citra petani dan pertanian guna menumbuhkan mina generasi muda menjadi wirausahawan agribisnis merupakan salah satu arah kebijakan Kementan untuk menarik angkatan kerja muda.
Selain
itu, dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementan 2010-2014, telah dicantumkan
beberapa bidang usaha yang sangat terbuka untuk dikembangkan bagi kaum muda.
Bidang-bidang tersebut adalah jasa pertanian, yaitu terkait dengan penyediaan
dan distribusi sarana produksi, pelayanan alat dan mesin pertanian, usaha jasa
transportasi hasil pertanian, pengelolaan lembaga keuangan mikro, dan konsultan
manajemen agribisnis serta tenaga pemasaran produk agroindustri.
2.3.3
Optimalisasi Usaha Pertanian Masih
Terhambat
Upaya
optimalisasi usaha pertanian masih terkendala berbagai persoalan. Di antaranya
ialah, rendahnya kualitas sumber daya manusia, kecilnya skala usaha, serta
lahan pertanian yang makin menyempit sejak 1999. Disisi lain, hilirisasi usaha
pertanian untuk mendorong penciptaan nilai tambah baru pun masih terbatas.
Optimalisasi
usaha pertanian memerlukan dukungan dari berbagai faktor, yaitu pelaku,
kebijakam, ketersediaan lahan, dan skala usaha. Efektivitas pelaksanaan
kebijakan yang elah dirancang bergantung pada pelaku kegiatan. Mayoritas
petani, yang berpendidikan rendah, menjadi salah satu kensala yang menghambat
penerapan teknologi pertanian. Selain itu, rendahnya skala usaha dan luas lahan
yang dikuasai juga menjadi hambatan lain dalam upaya optimalisasi usaha
pertanian.
Rendahnya
skala usaha dapat dilihat dari jumlah petani atau pengelola pada setiap unit usaha.
Hasil ST2013 menunjukkan mayoritas usaha pertanian dikelola oleh satu orang.
Hal ini tentunya mempengaruhi kontribusi pendapatan rumah tangga terutama bagi
rumah tangga usaha pertanian yang mengandalkan pertanian sebagai sandaran
kehidupan.
Skala
usaha juga dapat terlihat dari jumlah rumah tangga petani gurem yang masih
tiggi. Meskipun menurun selama satu dekade, jumlah rumah tangga petani gurem di
Indonesia tahun 2013 masiih mencapai lebih dari separuh (sekitar 55 persen)
dari total rumah tangga pertanian pengguna lahan. Ironisnya, Jawa sebagai
sentra pangan dengan lahannya yang subur, memiliki persentase rumah tangga
usaha petani gurem lebih dari 75 persen.
Sesungguhnya
lahan yang sempit tidak akan menjadi masalah jika produktivitasnya dapat ditingkatkan.
Inovasi dan teknologi dalam hal ini dapat menjadi solusi.namun, diperlukan
dukungan lain utamanya sumber daya manusia dengan keahlian yang relavan.
Sayngnya, petani di Indonesia masih banyak yang berpendidikan rendah. Hanya
sedikit saja petani yang berpendidikan SMP ke atas meskipun selama satu dekade tingkat
pendidikan petani meningkat perlahan.
Di
sisi lain, upaya peningkatan nilai tambah masih terbatas. Salah satu
indikasinya ialah minimnya jumlah rumah tangga usaha pertanian yang melakukan hilirisasi.
Dari sekitar 26,1 juta rumah tangga usaha pertanian, hanya 9 persen yang sudah
melakukan proses ini. Dalam sensus pertanian 2013, hilirisasi diterjemahkan
secara sederhana sebagai proses mengolah sendiri hasil pertanian yang melakukan
hilirisasi, diharapkan petani miskin akan berkurang karena meningkatnya nilai
tambah dari produk yang dihasilkan.
Stimulus
yang mamadai, terutama dalam hal modal, sangat diperlukan untuk menumbuhkan
hilirisasi. Namun sayangnya, kecilnya skala usaha dan pengusahaan lahan
mengakibatkan terbatasnya kemampuan petani untuk melakukan akumulasi modal.
Dengan demikian, petani harus melakukan akumulasi modal. Dengan demikian,
petani harus mendapat akses modal yang lebih mudah. Salah satunya dengan
mempermudah prosedur pengajuan kredit dan persyaratan agunan.
2.3.4 Pertumbuhan Penduduk Membutuhkan Diversifikasi
Pangan
Bertambahnya
populasi penduduk sudah merupakan hal yang pasti. Implikasinya jelas, yaitu
kebutuhan pangan akan terus meningkat. Selain mengejar produktivitas, langkah
strategis untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah dengan menyesuaikan perilaku
konsumsi. Oleh karenanya, diversifikasi pangan menjadi tantangan baru yang
perlu ditangani.
Rata-rata
laju pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia dari tahun 2000 hingga 2013 adalah
sebesar 1,43 persen per tahun. Dengan pertumbuhan tersebut, penyediaa pangan
menjadi persoalan yang cukup pelik. Ketersediaan pangan yang cukup menjadi
syarat utama tercapainya ketahanan pangan nasional. Selain impor, pemerintah
telah mengupayakan diversifikasi pangan.
Diversifikasi
berarti upaya meningkatkan ketersediaan pangan yang beragam dan berbasis
potensi sumber daya lokal yang slah satunya ditujukan untuk memenuhi pola
konsumsi pangan yang beragam., bergizi, seimbang, dan aman (Undang-Undang No.
18 Tahun 2012). Sayangnya, diversifikasi pangan belum berjalan secara optimal.
Misalnya,
dalam rencana Strategis 2010-2014, Kementan menargetkan penurunan konsumsi
beras sekurang-kurangnya 1,5 persen per tahun, namun berdasarkan data Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), konsumsi beras di tingkat rumah tangga masih
tinggi. Sehingga, untuk pemenuhan konsumsi dalam negeri, impor beras merupakan
hal yang tak terhindarkan.
Dengan
jumlah penduduk yang besar dan akan terus bertambah, maka dominasi beras dalam
pola konsumsi pangan akan membebani negara karena harus terus mengimpor setiap
tahun. Padahal, tingginya konsumsi karbohidrat dari beras sudah lebih tinggi
dari kebutuhan karbohidrat yang diperlukan (Kementtan,2011) yang berartidiversifikasi
konsumsi pangan mutlak disarankan.
Tantangan
ke depan adalah bagaimana memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk
melakukan diversifikasi produksi dan diversifikasi konsumsi bbahan pangan.
Untuk mendukung hal tersebut, melalui peraturan Menteri Pertanian No. 15 Tahun
2013, empat program peningkatan diversifikasi
dan ketahanan pangan masyarakat telah diterapkam. Keempat program tersebut
terdiri atas gerakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan, desa mandiri
pangan, penguatan lembaga distribusi pangan masyarakat, serta pengembangan
lumbung pangan masyarakat.
2.3.5 Perubahan Iklim Mengancam Kelangsungan Pertanian
Perubahan
iklim telah menjadi fenomena alam yang dapat mengancam kelangsungan makhluk
hidup di bumi. Pertanian menjadi salah satu sektor yang terkena dampak negatif
terbesar. Anomali iklim, yang termanifestasi dalam pergeseran musim hujan,
membuat siklus produksi pertanian dapat terganggu,.
Perubahan
iklim telah menjadi isu penting dalam berbagai kajian pembangunan
berkelanjutan. Hal ini pun menjadi tantangan besar bagi sektor pertanian.
Dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia tidak dapat terhindarkan.
Salah satu yang terbesar ialah yang dirasakan oleh sektor pertanian (Cline,
2007).
Anomali
iklim, curah hujan, dan pergeseran musim yang tidak menenu merupakan efek-efek
nyata dari pemanasan global. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofiisika (BMKG), hujan ekstrim meningkat 13 persen selama 1970-1999,
khususnya di Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Selain itu, pada 1971-2000,
musim hujan di Pulau Jawa mengalami pergeseran dengan kondisi yang, ada yang
maju sekitar satu sampai tiga dasarian (periode sepuluh harian), bahkan tiga
sampai empat dasarian.
Pergeseran
musim yang tidak menentu menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu
yang tepat untuk mengawali masa tanam, melakukan pembenihan dan pemupukan.
Alhasil, produksi akan menurun karena jadwal penyediaan benih dan pupuk yang
tidak menentu akan mengakibatkan pasokan yang tidak menentu pula, sementara permintaan
terus berjalan. Dampak yang berat ini lebih cenderung terjadi di negara
berkembang (Rosenzweig & Parry, 1994), terlebih lagi di negara tropis
(Mendelsohn, 2008), seperti halnya Indonesia.
Para
ahli memprediksi, produktivitas tanaman pertanian akan menurun 20 persen tidak
hanya di Asia tetapi juga di Afrika dan Amerika Latin (Edame,dkk,2011). Stok
produk maritim pun terancam mengalami degradasi secara besar-besaran sebagai
respon dari kenaikan suhu perairan (Fargione,dkk.,2008). Namun, efek tersebut
akan terjadi dalam jangaka panjang.
Banjir,
sebagai dampak anomali iklim yang ekstrim, dapat menyebabkan terganggunya
produksi pertanian. Berdasarkan Data Potensi Desa (PODES) pada tiga periode
(2003, 2005, dan 2011), sekitar 20 persen desa mengalami banjir setiap
tahunnya. Menurut catatan Kementerian Pertanian, selama periode2004-2009,
terdapat sekitar 30 ribu hektar luas lahan sawah terkena banjir. Dari jumlah
tersebut, 37 persennya gagal panen (puso)(Kementan, 2011).
Kemajuan
teknologi pertanian, dan peningkatan kualitas sumber daya, tentunya petani
sebagai pengelola pertanian diharapkan mampu beradaptasi terhadap faktor yang
tak terhindarkan tersebut. Akan tetapi, mengingat tingkat pendidikan petani
yang pada umumnya rendah, tentunya diperlukan upaya yang leis besar untuk bisa
meningkatkan kemampuan mereka dalam menghadapi tantangan alam ini.
2.3.6 Kejenuhan Tanah Sebagai Ancaman
Bagai
paradoks, pertanian memiliki dua sisi yang saling berkebalikan. Disatu sisi,
pertanian menjadi peyangga lingkungan. Namun, disisi lain, kegiatan pertanian
dapat menjadi pemicu degradasi lingkungan. Jenuhnya tanah menjadi ancaman yang
kini telah nyata.
Praktek
bertani yang idak tepat justru dapat menyebabkan berkurangnya kesuburan fisik
tanah pertanian. Teknologi dan berbagai intervensi untuk mendongkrak
produktivitas pertanian tidak akan berdaya menutup turunnya kualitas tanah.
Akibatnya, produktivitas beberapa komoditas pertanian primer mencapai titik
jenuh(leveling off).
Tidak
sekedar berdampak pada kerugian ekonomi, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca
dari CO2 dan CH4 di atmosfer berkontribusi terhadap
pemanasan global. Lebih jauh, pemanasan global ini menyebabkan perubahan iklim
yang juga mengakibatkan gangguan terhadap produksi sektor pertanian. Hal ini
merupakan tantangan utama bagi pembangunan berkelanjutan.
Temuan
tersebut sejalan dengan tantangan pertanian di masa mendatang. Kementan
merumuskan sejumlah tantangan yang harus dijawab dalam mendorong pertanian yang
berkelanjutan. Tantangan-tantangan tersebut terkait dengan bagaimana upaya
merealisasikan teknologi pertanian yang ramah lingkungan. Misalnya, dengan
peningkatan produksi pupuk organik yang dihasilkan dari limbah pertanian,
penerapan sitem pengendalian hama terpadu, pembukaan lahan tanpa bakar, serta
penerapan teknologi budidaya konservasi di lahan kering.
2.3.7 Globalisasi dan Pasar Bebas Tak Dapat Dielakkan
Membanjirnya
produk impor ke pasar lokal dengan harga yang bersaing menjadi tantangan
tersendiri bagi Indonesia. Terbukanya akses pasar dan teknologi informasi mampu
menembus batas ruang negara. Keterlibatan Indonesia di organisasi perdagangan
dunia seperti World Trade Organization
(WTO) membuat Indonesia harus dapat berkompromi dengan negara lain.
Selain
dengan derasnya arus globalisasi, maka pasar dunia menjadi semakin terbuka.
Barang yang dihasilkan di suatu negara dengan mudah dapat diperjualbelikan di
pasar internasional. Bagi produk pertanian Indonesia, kondisi ini menawarkan
peluang sekaligus merupakan tantangan. Sejumlah produk tanaman perkebunan
seperti kelapa sawit dan karet memiliki pangsa pasar yang cukup besar di pasar
internasional. Namun demikian, berbagai komoditas pangan seperti beras, jagung,
kedelai, dan buah-buahan dari manca negara ternyata telah menyerbu pasar
domestik.
Sebetulnya,
tidak ada yang salah dengan impor jika pasokan dalam negeri idak mencukupi
kebutuhan atau terdapat preferensi terhadap komoditas tertentu. Akan tetapi,
hal tersebut menjadi masalah jika derasnya produk impor mengalahkan produk
lokal sehingga menyebabkan petani gulung tikar. Hal ini akan membawa dampak
negatif terhadap kemampuan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebuuhan
konsumsi domestik.
Dampak
negatif dari derasnya produk impor sangat jelas. Misalnya, komoditas kedelai,
yang jumlah rumah tangga usahanya berkurang sekitar 32 persen dalam satu dekade
terakhir. Sementara itu, neraca bahan makanan tahun 2005-2012 memperlihatkan
volume impor kedelai yang selalu melebihi jumlah produksi. Ini menggambarkan
pemenuhan kebutuhan dalam negeri sangat bergantung pada impor, sedangkan
antusiasme petani kedelai semakin melemah.
Contoh
lainnya ialah komoditas buah-buahan. Salah satunya, jeruk impor yang sangat
mudah ditemukan di pasar. Volume impor komoditas ini telah mencapai lebih dari
200 juta ton per tahun. Jika dikaikan dengan hasil sensus pertanian, selama
satu dasawarsa telah terjadi penurunan rumah tangga usaha jeruk yang tergolong
drastis. Pada 2003, terdapatsekitar 973ribu rumah tangga usaha jeruk. Namun,
pada 2013, jumlah tersebut telah merosot sekitar 43 persen.
Dalam
acara promosi Hortikultura Nusantara bulan September 2013 lalu, pemerintah
menilai semakin tingginya impor produk pertanian, terutama buah, disebabkan
biaya distribusi yang lebih efisien. Sementara, pendistribusian produk domestik
terkendala oleh kurangnya infrastruktur dan lebih rendahnya skala usaha
distributor. Pada umumnya, eksportir asing merupakan perusahaan berskala besar,
sedangkan distributor Indonesia mayoritas merupakan usaha kecil.
Faktor
di atas menyebabkan perbedaan harga. Beberapa komoditas impor di pasar dalam
negeri memiliki harga yang lebih murah karena pemerintah negara-negaraeksportir
melindungi petani mereka dengan memberikan aneka subsidi dari hulu ke hilir
(Kementan, 2009).
Agar
produk pertaniana lokal dapat bersaing dengan produk impor, maka penyediaan
infrastruktur yang memadai di sentra pertanian, menjadi prasyarat pentting.
Apabila terwujud, biaya distribusi produk lokal akan ditekan. Cara lainnya
ialah dengan membangun sistem perlindungan melalui subsidi bunga kredit,
subsidi harga, Pricing policies yang
proporsional untuk produk –produk pertanian ttertentu. Kesemuanya itu perlu
dilaksanakan agar produk lokal memiliki daya saing yang
tinggi dalam menghadapi produk impor.
tinggi dalam menghadapi produk impor.
BAB III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
1.
Pertanian
merupakan salah satu sektor penting penyumbang pertumbuhan ekonomi, dan
menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah, dari masa ke masa,
mengembangkan sektor pertanian sampai saat ini.
2.
Potensi
Pelaksanaan Pertanian Berkelanjutan
a.
Kontribusi
Sektor Pertanian Terbesar Kedua dalam Produk Domestik Bruto Indonesia
b.
Sumber Kehidupan
Masyarakat Kebanyakan
c.
Sumber Ketahanan
Pangan Utama
d.
Potensi Alam
Untuk Pertanian
e.
Peyangga
Lingkungan Hidup
f.
Keunggulan
Komparatif Pertanian Indonesia
g.
Peluang Produk
Pertanian di Pasar Global
3. Tantangan Pelaksanaan Pertanian Berkelanjutan
a.
Kesejahteraan
Petani Rendah
b. Sektor Pertanian Semakin Tidak Populer
c. Optimalisasi Usaha Pertanian Masih Terhambat
d. Pertumbuhan Penduduk Membutuhkan Diversifikasi
Pangan
e. Perubahan Iklim Mengancam Kelangsungan Pertanian
f. Kejenuhan Tanah Sebagai Ancaman
g. Globalisasi dan Pasar Bebas Tak Dapat Dielakkan
3.1
Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah
diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kami
menerima masukan baik kritik maupun saran dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Badan pusat statistik. (2013).Potensi Pertanian Indonesia.Jakarta
Badan pusat statistik (2012). Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia, 2007-2011,
Jakarta: BPS
Edame,G.,Ekpenyong, A.,
Fonta, & Duru, E. (2011). Climate
Change, Food Security and Agriculture Productivity in Africa:Issue and policy
directions. International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 1
No. 21 Special Issue, 205-223
Hamidi, H. (2007). Daya Saing Tembakau Virginia Lombok di Pasar
Ekspor. Agroteksos, vol.17,No.2, 129-133
No comments:
Post a Comment