BAB
I
PENDAHULUAN
Pengembangan kapas di Indonesia menyebar di beberapa daerah
yaitu Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan
Sulawesi Selatan. Sebagian besar daerah pengembangan kapas adalah lahan kering
dengan iklim erratik sehingga kekeringan selalu menghantui pengembangan kapas
rakyat. Iklim erratik tersebut seringkali
diperparah dengan terjadinya kemarau panjang dengan intensitas semakin
kuat. Padahal pengairan di daerah-daerah tersebut hanya menggantungkan pada air
hujan (tadah hujan). Alokasi pengembangan kapas pada lahan tadah hujan yang
relatif marginal, disebabkan oleh kompetisi dengan tanaman pangan yang
mendapatkan perhatian lebih besar, bukan hanya pada luas areal pengembangannya
melainkan juga pada alokasi kelas-kelas tanah berdasarkan kesesuaiannya.
Padahal diantara cekaman abiotik yang berpengaruh terhadap kapas, kekeringan
merupakan faktor pembatas utama bagi produktivitas kapas. Pada daerah tadah
hujan, pengembangan kapas tanpa tambahan irigasi tidak mampu menghasilkan kapas
berbiji secara optimal, sehingga perluasan areal pengembangan kapas tidak
diimbangi dengan peningkatan produksi (Mardjono, 2005). Untuk tumbuh dengan baik, kapas memerlukan curah
hujan 500- 1.600 mm selama 120 hari pertumbuhan dengan curah hujan bulanan
tidak melebihi 400 mm (Riajaya, 2002). Selain jumlah curah hujan secara
kumulatif, keberhasilan budidaya kapas juga ditentukan oleh tercukupinya
kebutuhan air kapas sesuai perkembangan
tanaman. Dengan demikian, pada areal pengembangan kapas dengan iklim erratik
dimana curah hujan terkonsentrasi pada awal pertumbuhan tanaman yang kebutuhan
airnya relatif sedikit dan kemudian terhenti pada saat kebutuhan air kapas
tinggi, maka produktivitas kapas akan sangat rendah.
Dengan mempertimbangkan pengembang- an kapas kedepan akan
difokuskan pada lahan- lahan kering tadah hujan, maka upaya perbaikan varietas
untuk ketahanan terhadap kekeringan sangat diperlukan. Berkaitan dengan
hal tersebut, Sangakkara (2001)
mengetengahkan tiga hal penting yaitu 1) perbaikan pengelolaan tanaman, 2)
seleksi dan perakitan varietas yang mampu menyesuaikan dengan kondisi
cekaman/keterbatasan air, dan 3) pendekatan bioteknologi untuk rekayasa
varietas tahan kekeringan. Program perbaikan varietas tahan kekeringan perlu
mendapatkan perhatian besar karena karakter tersebut disandi oleh suatu
kompleks gen yang terlibat dalam jejaring
lintasan biokimia tanaman (Bohnert and Jensen, 1996; Ingram and Bartels,
1996).
Makalah ini menyajikan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam
mengembangkan varietas kapas tahan kekeringan, peluang, tantangan serta
implikasi pemanfaatan teknologi transgenik dalam merekayasa varietas kapas
transgenik tahan kekeringan.
BAB III
v MEKANISME KETAHANAN KAPAS TERHADAP KEKERINGAN
Respon tanaman terhadap kekeringan
dimulai dengan diterimanya signal-signal stres yang mampu menginisiasi
siklus-siklus transduksi dalam tanaman yang menyebabkan berbagai perubahan
fisiologi. Mekanisme ketahanan tanaman terhadap kekeringan dibedakan menjadi
tiga kategori, yaitu ‘drought escape’ atau lolos dari kekeringan, ‘dehydration
postponment’ atau penundaan terhadap proses dehidrasi, dan ‘dehydration
tolerance’ atau toleransi terhadap proses dehidrasi (Turner, 2003). Pada saat
terjadi kekeringan, akan terjadi perubahan metabolisme dalam akar tanaman yang
menghasilkan signal-signal biokimia pada tunas dan secara otomatis menyebabkan
penurunan kecepatan tumbuh, konduksi stomata, fotosintesis, dan tekanan osmotik
dalam jaringan/sel tanaman (Bressan, 1998).
Salah satu mekanisme alami yang melindungi sel-sel tanaman dari
ancaman kekeringan, salinitas, suhu rendah dan faktor stres lainnya adalah
akumulasi asam amino dan amida, serta gula yang berperan dalam meningkatkan
tekanan osmotik sel (Bohnert et al., 1995). Kuznetsov et al. (1999) melaporkan
bahwa akumulasi asam amino asparagin, prolin dan arginin dalam sel tanaman
kapas meningkat sebagai reaksi terhadap suhu tinggi dan defisiensi air.
Aspek-aspek tersebut merupakan indikator terjadinya perubahan metabolisme
nitrogen. Peningkatan prolin selain berkorelasi dengan defisiensi air, juga
berkorelasi dengan salinitas (Kuznetsov and Shevyakova, 1997).
Berkaitan dengan ketahanan tanaman terhadap kekeringan, Nepomuceno
et al., (1998) menerangkan bahwa dengan mempertahankan potensial air dalam
sel-selnya, genotipa-genotipa kapas toleran terhadap kekeringan mampu
mempertahanan laju fotosintesa, tingkat
konduksi stomata, dan kandungan air sel seperti pada kondisi tanpa
cekaman. Berkaitan dengan tingkat konduksi stomata, Ulloa et al. (2000)
menyatakan bahwa seleksi aksesi kapas untuk ketahanan kekeringan dapat
dilakukan dengan mengobservasi tingkat konduksi stomata yang rendah yang
berkaitan dengan potensi produksi yang rendah pula.
Ketahanan tanaman terhadap kekeringan secara umum dipengaruhi oleh
hormon ABA yang berperanan dalam mediasi
pengendalian aktivitas stomata. Produksi hormon tersebut disandi oleh gen ERA1,
sehingga penghambatan aksi gen tersebut menyebabkan tanaman menjadi sangat
sensitif terhadap kekeringan. Sebaliknya dengan menutup ekspresi gen tersebut,
maka stomata akan tertutup sehingga kehilangan air tanaman dapat dikendalikan
dan tanaman mampu tetap bertahan dalam kondisi kekeringan (Pei et al., 1998;
Cellier et al., 1998).
Selain faktor genetik dalam tanaman, Muller and Whitsitt (1996)
menyebutkan bahwa respon tanaman terhadap kondisi kekeringan sangat dipengaruhi
oleh tingkat cekaman dan lamanya periode cekaman. Oleh karena itu Edmeades et
al. (2001) menyatakan bahwa diperlukan tindakan-tindakan intervensi secara
agronomis meliputi irigasi dan fertigasi, pengendalian terhadap pengompakan
tanah, perbaikan kesuburan tanah secara organik, dan penggunaan model simulasi
pertanaman untuk menentukan waktu tanam, jenis komoditas yang ditanam,
varietas, dan dosis pupuk yang diaplikasikan.
Dabaeke and Aboudrare (2004) menyaran- kan bahwa strategi untuk
menangani masalah kekeringan meliputi 1) meningkatkan kandungan air tanah pada
saat pengolahan tanah, 2) peningkatan pemanfaatan air tanah, 3) reduksi
kontribusi evaporasi tanah terhadap total penggunaan air, 4) optimalisasi model
penggunaan air musiman sebelum dan sesudah pembungaan, 5) peningkatan toleransi
tanaman terhadap cekaman kekeringan dan kemampuan recovery setelah cekaman
kekeringan, dan 6) melakukan irigasi pada fase-fase yang paling sensitif bagi
komoditas pertanian. Ke-6 strategi tersebut dapat dicapai dengan paket
teknologi yang terdiri dari metoda pengolahan tanah,
varietas tahan kekeringan, waktu tanam, kepadatan populasi,
pemupukan N, serta penjadwalan dan pengaturan volume air irigasi.
BAB II
v
POTENSI
PLASMA NUTFAH DAN GENE- POOL UNTUK PERAKITAN VARIETAS KAPAS BARU TOLERAN
KEKERINGAN
Kekayaan plasma nutfah dan variasi genetik didalamnya sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan program pengembangan varietas baru. Saat ini, koleksi
plasma nutfah kapas di Balittas terdiri dari 662 aksesi yang terdiri dari 642 aksesi Gossypium hirsutum, 4 aksesi
G. barbadense, 3 aksesi G. arboreum, dan 3 aksesi G. herbaceum. G.hirsutum dan
G. barbadense memiliki genom tetraploid, sedangkan G. arboreum dan G. herbaceum
memiliki genom diploid.
Upaya untuk menilai tingkat ketahanan koleksi plasma nutfah kapas
terhadap kekeringan telah dilakukan terhadap sebagian dari koleksi plasma
nutfah kapas yang ada, baik secara langsung di lapang maupun secara tak
langsung dengan simulasi menggunakan PEG di laboratorium. Dalam kondisi
tercekam PEG tersebut, aksesi Albar G 501, Auburn 200, dan Stoneville 302
merupakan aksesi-aksesi yang mampu membentuk jumlah akar banyak dan panjang,
disamping itu perkembangannya juga lebih baik dibandingkan aksesi lainnya yang
ditunjukkan dengan berat basah dan kering akar yang lebih tinggi, serta
perkembangan hipokotil yang lebih sehat dan lebih panjang dibandingkan aksesi
lainnya. Akan tetapi bila diklasifikasikan berdasarkan tingkat sensitivitasnya
terhadap cekaman kekeringan dengan simulai PEG 6000 pada tekanan potensial air
-2.21 bar, maka LRA 5166 dan galur (351x268)/4) adalah dua aksesi yang dikategorikan
toleran dengan nilai frekuensi S <0.95 berturut-turut sebesar 63.64%
dan 59,10% (Sulistyowati et al., 2008). LRA 5166 adalah aksesi yang
berasal dari India yang memiliki ukuran daun kecil dan tingkat
evapotranspirasinya cenderung rendah. Pettigrew (2004) menyatakan bahwa ukuran
daun kecil berasosiasi dengan ketahanan terhadap kekeringan. Sedangkan aksesi
(351x268)/4 adalah aksesi yang diperoleh dari kegiatan gene
pooling sifat-sifat ketahanan
terhadap kekeringan yang
berasal dari aksesi LRA 5166 dan ALBAR G 501 yang berasal dari Afrika. Dengan
demikian aksesi ini telah menunjukkan perbaikan ketahanan terhadap kekeringan
dibandingkan tetua jantannya ALBAR G 501. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Basal et al. (2005) bahwa akar dapat digunakan sebagai
parameter untuk skrining ketahanan terhadap kekeringan, dan aksesi- aksesi
dalam gen-pool CRS (converted race stocks) yaitu M-9044-0031-R, M-9044-0045-NR
, M-9044-
0057-NR, dan M-9044-0175-R adalah aksesi- aksesi kapas sumber gen ketahanan
terhadap kekeringan. Aksesi-aksesi
tersebut belum dimiliki oleh
koleksi plasma nutfah kapas Balittas. Leidi et al. (1999)
menyatakan bahwa terdapat variasi genetik untuk parameter fisiologi
diskriminasi karbon isotop diantara kapas-kapas dataran tinggi, dan terdapat
interaksi yang cukup kompleks antara proses-proses fisiologi dan kondisi
lingkungan. Sebaliknya menurut
Bange et al. (2004), kapas dalam
kondisi tergenang akan mengalami penurunan total luas daun yang berakibat pada
menurunnya produktivitas tanaman karena efisiensi penggunaan radiasi yang
berkurang sampai 35%. Ketersediaan koleksi plasma nutfah yang terbatas sangat
membatasi upaya perbaikan varietas kapas. Oleh karena itu sangat diperlukan
upaya-upaya untuk memperluas variasi genetik dalam koleksi yang ada melalui
eksplorasi maupun tukar menukar plasma nutfah. Dalam rangka memacu pengembangan
varietas yang tahan kekeringan, informasi tentang gene pool dari sifat-sifat
ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik, produktivitas, dan mutu serat
kapas sangat diperlukan. Dengan demikian kegiatan evaluasi dan karakterisasi
aksesi dalam plasma nutfah harus diintensifkan. Berkaitan dengan pengembangan
varietas tahan kekeringan, perlu dikembangkan marka morfologi seperti luas dan
berat daun spesifik, marka fisiologi antara lain diskriminasi isotop karbon,
laju fotosintesa dan transpirasi, konduksi stomata, potensial osmotik daun dan
kadar air pada daun (Leidi et al., 1999), maupun marka molekular dalam rangka
mengembangkan seleksi berbantuan marka (marker assisted selection/MAS). Khusus
untuk marka DNA, penelitian oleh Saranga et al.
(2004)
menghasilkan 33 quantitative
trait loci (QTL) yang berasosiasi dengan 5 variabel fisiologi yaitu tekanan
osmotik, efisiensi penggunaan air (water use efficiency) yang diukur secara
tidak langsung dengan radio isotop karbon 13C, temperatur kanopi, dan klorofil
a dan klorofil b. Selain itu juga telah teridentifikasi 46 QTL yang berasosiasi
dengan 5 komponen produksi, meliputi berat kering, berat kapas berbiji, indeks
panen, berat buah, dan jumlah buah. Hasil-hasil penemuan tersebut di atas dapat
diadopsi dalam rangka percepatan upaya pengembangan varietas kapas tahan
kekeringan.
Perkembangan Program Perakitan Varietas Kapas Tahan Kekeringan Di
Indonesia
Dengan keterbatasan plasma nutfah dalam koleksi Balai Penelitian
Tanaman Tembakau dan Serat, beberapa set persilangan telah dilakukan baik
dengan pendekatan piramida gen ataupun pengumpulan gen-gen ketahanan terhadap
kekeringan. Adapun aksesi-aksesi yang telah digunakan dalam kegiatan perbaikan
varietas tersebut disajikan dalam Tabel 1.
Sampai dengan tahun 2008, terdapat lima set persilangan dengan
total nomor persilangan sebanyak 77 kombinasi yang melibatkan aksesi- aksesi
plasma nutfah kapas yang berasal dari berbagai negera seperti Afrika, India,
Zimbabwe, USA, Thailand, Perancis, Laos, Kamboja, dan Indonesia. Pemilihan
aksesi didasarkan pada keunggulan dari segi produktivitas, ketahanan terhadap
hama terutama A. biguttula dan kekeringan serta mutu serat yang tinggi.
Dari hasil persilangan menggunakan pendekatan metoda pengumpulan
dan piramida gen dari aksesi-aksesi yang memiliki toleransi tinggi terhadap
kekeringan dan yang toleran terhadap hama penghisap A. biguttula yang
dilaksanakan pada tahun 1996 dan 1997 tersebut di atas, telah diperoleh dua
galur unggul yaitu (339x448)2 dan
(135x182)(351 x 268)/9 yang
memiliki produktivitas tinggi, tahan terhadap A. biguttula, tahan
terhadap kekeringan, dan mutu serat tinggi (Sumartini et al., 2008) yang telah
diusulkan pelepasannya pada sidang pelepasan varietas tahun 2007.
BAB IV
KESIMPULAN
Pengujian ketahanan terhadap kekeringan secara langsung ataupun tak
langsung menggunakan simulasi PEG telah menghasilkan informasi tentang tingkat
ketahanan beberapa aksesi dalam koleksi plasma nutfah kapas terhadap
kekeringan. Selain itu, melalui persilangan menggunakan pendekatan metoda
pengumpulan dan piramida gen dari aksesiaksesi yang memiliki toleransi tinggi
terhadap kekeringan dan yang toleran terhadap hama penghisap A. biguttula telah
menghasilkan dua varietas baru yang telah dilepas secara resmi oleh Menteri
Pertanian melalui SK Mentan No. 506/Kpts/SR.120/9/2007 dan No.
507/Kpts/SR.120/9/2007 dengan nama berturut-turut Kanesia 14 dan Kanesia
15.Selain upaya pengembangan varietas baru kapas tahan terhadap kekeringan
melalui pendekatan pemuliaan konvensional, juga terbuka peluang pemanfaatan
teknologi transgenik untuk mengembangan varietas kapas transgenik tahan
kekeringan dengan melakukan transformasi gen-gen yang berkorelasi dengan
ketahanan terhadap kekeringan. Beberapa gen telah ditransformasikan ke dalam
beberapa tanaman antara lain arabidopsis, tembakau,tomat, padi, dan juga pada
kapas, dan telah menghasilkan perbaikan ketahanan terhadap kekeringan.
Pendekatan transgenik juga berpeluang untuk mengkombinasi beberapa gen penyandi
sifat-sifat yang berbeda yang berasal dari spesies lain ke dalam genom kapas.
Dukungan teknologi berupa varietas tahan kekeringan atau sifat-sifat unggul
lainnya harus diimbangi dengan dukungan teknologi budidaya yang efisien
sehingga peningkatan produksi kapas secara signifikan dapat tercapai.