Saturday, 5 March 2022

MAKALAH PERANAN BIOTEKNOLOGI TERHADAP TANAMAN YANG TAHAN CEKRAMAN KEKERINGAN

 

BAB I

PENDAHULUAN

Pengembangan kapas di Indonesia menyebar di beberapa daerah yaitu  Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Sebagian besar daerah pengembangan kapas adalah lahan kering dengan iklim erratik sehingga kekeringan selalu menghantui pengembangan kapas rakyat. Iklim erratik tersebut seringkali  diperparah dengan terjadinya kemarau panjang dengan intensitas semakin kuat. Padahal pengairan di daerah-daerah tersebut hanya menggantungkan pada air hujan (tadah hujan). Alokasi pengembangan kapas pada lahan tadah hujan yang relatif marginal, disebabkan oleh kompetisi dengan tanaman pangan yang mendapatkan perhatian lebih besar, bukan hanya pada luas areal pengembangannya melainkan juga pada alokasi kelas-kelas tanah berdasarkan kesesuaiannya. Padahal diantara cekaman abiotik yang berpengaruh terhadap kapas, kekeringan merupakan faktor pembatas utama bagi produktivitas kapas. Pada daerah tadah hujan, pengembangan kapas tanpa tambahan irigasi tidak mampu menghasilkan kapas berbiji secara optimal, sehingga perluasan areal pengembangan kapas tidak diimbangi dengan peningkatan produksi (Mardjono, 2005). Untuk  tumbuh dengan baik, kapas memerlukan curah hujan 500- 1.600 mm selama 120 hari pertumbuhan dengan curah hujan bulanan tidak melebihi 400 mm (Riajaya, 2002). Selain jumlah curah hujan secara kumulatif, keberhasilan budidaya kapas juga ditentukan oleh tercukupinya kebutuhan  air kapas sesuai perkembangan tanaman. Dengan demikian, pada areal pengembangan kapas dengan iklim erratik dimana curah hujan terkonsentrasi pada awal pertumbuhan tanaman yang kebutuhan airnya relatif sedikit dan kemudian terhenti pada saat kebutuhan air kapas tinggi, maka produktivitas kapas akan sangat rendah.

Dengan mempertimbangkan pengembang- an kapas kedepan akan difokuskan pada lahan- lahan kering tadah hujan, maka upaya perbaikan varietas untuk ketahanan terhadap kekeringan sangat diperlukan. Berkaitan dengan hal  tersebut, Sangakkara (2001) mengetengahkan tiga hal penting yaitu 1) perbaikan pengelolaan tanaman, 2) seleksi dan perakitan varietas yang mampu menyesuaikan dengan kondisi cekaman/keterbatasan air, dan 3) pendekatan bioteknologi untuk rekayasa varietas tahan kekeringan. Program perbaikan varietas tahan kekeringan perlu mendapatkan perhatian besar karena karakter tersebut disandi oleh suatu kompleks gen yang terlibat dalam jejaring  lintasan biokimia tanaman (Bohnert and Jensen, 1996; Ingram and Bartels, 1996).

Makalah ini menyajikan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam mengembangkan varietas kapas tahan kekeringan, peluang, tantangan serta implikasi pemanfaatan teknologi transgenik dalam merekayasa varietas kapas transgenik tahan kekeringan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

v  MEKANISME KETAHANAN KAPAS TERHADAP KEKERINGAN

Respon tanaman terhadap kekeringan dimulai dengan diterimanya signal-signal stres yang mampu menginisiasi siklus-siklus transduksi dalam tanaman yang menyebabkan berbagai perubahan fisiologi. Mekanisme ketahanan tanaman terhadap kekeringan dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu ‘drought escape’ atau lolos dari kekeringan, ‘dehydration postponment’ atau penundaan terhadap proses dehidrasi, dan ‘dehydration tolerance’ atau toleransi terhadap proses dehidrasi (Turner, 2003). Pada saat terjadi kekeringan, akan terjadi perubahan metabolisme dalam akar tanaman yang menghasilkan signal-signal biokimia pada tunas dan secara otomatis menyebabkan penurunan kecepatan tumbuh, konduksi stomata, fotosintesis, dan tekanan osmotik dalam jaringan/sel tanaman (Bressan, 1998).

Salah satu mekanisme alami yang melindungi sel-sel tanaman dari ancaman kekeringan, salinitas, suhu rendah dan faktor stres lainnya adalah akumulasi asam amino dan amida, serta gula yang berperan dalam meningkatkan tekanan osmotik sel (Bohnert et al., 1995). Kuznetsov et al. (1999) melaporkan bahwa akumulasi asam amino asparagin, prolin dan arginin dalam sel tanaman kapas meningkat sebagai reaksi terhadap suhu tinggi dan defisiensi air. Aspek-aspek tersebut merupakan indikator terjadinya perubahan metabolisme nitrogen. Peningkatan prolin selain berkorelasi dengan defisiensi air, juga berkorelasi dengan salinitas (Kuznetsov and Shevyakova, 1997).

Berkaitan dengan ketahanan tanaman terhadap kekeringan, Nepomuceno et al., (1998) menerangkan bahwa dengan mempertahankan potensial air dalam sel-selnya, genotipa-genotipa kapas toleran terhadap kekeringan mampu mempertahanan laju fotosintesa, tingkat

konduksi stomata, dan kandungan air sel seperti pada kondisi tanpa cekaman. Berkaitan dengan tingkat konduksi stomata, Ulloa et al. (2000) menyatakan bahwa seleksi aksesi kapas untuk ketahanan kekeringan dapat dilakukan dengan mengobservasi tingkat konduksi stomata yang rendah yang berkaitan dengan potensi produksi yang rendah pula.

Ketahanan tanaman terhadap kekeringan secara umum dipengaruhi oleh hormon ABA  yang berperanan dalam mediasi pengendalian aktivitas stomata. Produksi hormon tersebut disandi oleh gen ERA1, sehingga penghambatan aksi gen tersebut menyebabkan tanaman menjadi sangat sensitif terhadap kekeringan. Sebaliknya dengan menutup ekspresi gen tersebut, maka stomata akan tertutup sehingga kehilangan air tanaman dapat dikendalikan dan tanaman mampu tetap bertahan dalam kondisi kekeringan (Pei et al., 1998; Cellier et al., 1998).

Selain faktor genetik dalam tanaman, Muller and Whitsitt (1996) menyebutkan bahwa respon tanaman terhadap kondisi kekeringan sangat dipengaruhi oleh tingkat cekaman dan lamanya periode cekaman. Oleh karena itu Edmeades et al. (2001) menyatakan bahwa diperlukan tindakan-tindakan intervensi secara agronomis meliputi irigasi dan fertigasi, pengendalian terhadap pengompakan tanah, perbaikan kesuburan tanah secara organik, dan penggunaan model simulasi pertanaman untuk menentukan waktu tanam, jenis komoditas yang ditanam, varietas, dan dosis pupuk yang diaplikasikan.

Dabaeke and Aboudrare (2004) menyaran- kan bahwa strategi untuk menangani masalah kekeringan meliputi 1) meningkatkan kandungan air tanah pada saat pengolahan tanah, 2) peningkatan pemanfaatan air tanah, 3) reduksi kontribusi evaporasi tanah terhadap total penggunaan air, 4) optimalisasi model penggunaan air musiman sebelum dan sesudah pembungaan, 5) peningkatan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan dan kemampuan recovery setelah cekaman kekeringan, dan 6) melakukan irigasi pada fase-fase yang paling sensitif bagi komoditas pertanian. Ke-6 strategi tersebut dapat dicapai dengan paket teknologi yang terdiri dari metoda pengolahan tanah,

varietas tahan kekeringan, waktu tanam, kepadatan populasi, pemupukan N, serta penjadwalan dan pengaturan volume air irigasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

v   POTENSI PLASMA NUTFAH DAN GENE- POOL UNTUK PERAKITAN VARIETAS KAPAS BARU TOLERAN KEKERINGAN

 

Kekayaan plasma nutfah dan variasi genetik didalamnya sangat berpengaruh terhadap keberhasilan program pengembangan varietas baru. Saat ini, koleksi plasma nutfah kapas di Balittas terdiri dari 662 aksesi yang terdiri  dari 642 aksesi Gossypium hirsutum, 4 aksesi G. barbadense, 3 aksesi G. arboreum, dan 3 aksesi G. herbaceum. G.hirsutum dan G. barbadense memiliki genom tetraploid, sedangkan G. arboreum dan G. herbaceum memiliki genom diploid.

Upaya untuk menilai tingkat ketahanan koleksi plasma nutfah kapas terhadap kekeringan telah dilakukan terhadap sebagian dari koleksi plasma nutfah kapas yang ada, baik secara langsung di lapang maupun secara tak langsung dengan simulasi menggunakan PEG di laboratorium. Dalam kondisi tercekam PEG tersebut, aksesi Albar G 501, Auburn 200, dan Stoneville 302 merupakan aksesi-aksesi yang mampu membentuk jumlah akar banyak dan panjang, disamping itu perkembangannya juga lebih baik dibandingkan aksesi lainnya yang ditunjukkan dengan berat basah dan kering akar yang lebih tinggi, serta perkembangan hipokotil yang lebih sehat dan lebih panjang dibandingkan aksesi lainnya. Akan tetapi bila diklasifikasikan berdasarkan tingkat sensitivitasnya terhadap cekaman kekeringan dengan simulai PEG 6000 pada tekanan potensial air -2.21 bar, maka LRA 5166 dan galur (351x268)/4) adalah dua aksesi yang dikategorikan toleran  dengan  nilai frekuensi S <0.95  berturut-turut  sebesar 63.64%

dan 59,10% (Sulistyowati et al., 2008). LRA 5166 adalah aksesi yang berasal dari India yang memiliki ukuran daun kecil dan tingkat evapotranspirasinya cenderung rendah. Pettigrew (2004) menyatakan bahwa ukuran daun kecil berasosiasi dengan ketahanan terhadap kekeringan. Sedangkan aksesi (351x268)/4 adalah aksesi yang diperoleh dari kegiatan   gene    pooling    sifat-sifat  ketahanan

 terhadap kekeringan yang berasal dari aksesi LRA 5166 dan ALBAR G 501 yang berasal dari Afrika. Dengan demikian aksesi ini telah menunjukkan perbaikan ketahanan terhadap kekeringan dibandingkan  tetua  jantannya ALBAR G 501. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Basal et al. (2005) bahwa akar dapat digunakan sebagai parameter untuk skrining ketahanan terhadap kekeringan, dan aksesi- aksesi dalam gen-pool CRS (converted race stocks) yaitu M-9044-0031-R, M-9044-0045-NR , M-9044-

0057-NR, dan M-9044-0175-R adalah aksesi- aksesi kapas sumber gen ketahanan terhadap kekeringan. Aksesi-aksesi  tersebut  belum dimiliki oleh koleksi plasma  nutfah  kapas Balittas. Leidi et al. (1999) menyatakan bahwa terdapat variasi genetik untuk parameter fisiologi diskriminasi karbon isotop diantara kapas-kapas dataran tinggi, dan terdapat interaksi yang cukup kompleks antara proses-proses fisiologi dan kondisi lingkungan. Sebaliknya menurut  Bange  et al. (2004), kapas dalam kondisi tergenang akan mengalami penurunan total luas daun yang berakibat pada menurunnya produktivitas tanaman karena efisiensi penggunaan radiasi yang berkurang sampai 35%. Ketersediaan koleksi plasma nutfah yang terbatas sangat membatasi upaya perbaikan varietas kapas. Oleh karena itu sangat diperlukan upaya-upaya untuk memperluas variasi genetik dalam koleksi yang ada melalui eksplorasi maupun tukar menukar plasma nutfah. Dalam rangka memacu pengembangan varietas yang tahan kekeringan, informasi tentang gene pool dari sifat-sifat ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik, produktivitas, dan mutu serat kapas sangat diperlukan. Dengan demikian kegiatan evaluasi dan karakterisasi aksesi dalam plasma nutfah harus diintensifkan. Berkaitan dengan pengembangan varietas tahan kekeringan, perlu dikembangkan marka morfologi seperti luas dan berat daun spesifik, marka fisiologi antara lain diskriminasi isotop karbon, laju fotosintesa dan transpirasi, konduksi stomata, potensial osmotik daun dan kadar air pada daun (Leidi et al., 1999), maupun marka molekular dalam rangka mengembangkan seleksi berbantuan marka (marker assisted selection/MAS). Khusus untuk marka DNA, penelitian oleh Saranga et al.  (2004)

 menghasilkan 33 quantitative trait loci (QTL) yang berasosiasi dengan 5 variabel fisiologi yaitu tekanan osmotik, efisiensi penggunaan air (water use efficiency) yang diukur secara tidak langsung dengan radio isotop karbon 13C, temperatur kanopi, dan klorofil a dan klorofil b. Selain itu juga telah teridentifikasi 46 QTL yang berasosiasi dengan 5 komponen produksi, meliputi berat kering, berat kapas berbiji, indeks panen, berat buah, dan jumlah buah. Hasil-hasil penemuan tersebut di atas dapat diadopsi dalam rangka percepatan upaya pengembangan varietas kapas tahan kekeringan.

 

 

Perkembangan Program Perakitan Varietas Kapas Tahan Kekeringan Di Indonesia

Dengan keterbatasan plasma nutfah dalam koleksi Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, beberapa set persilangan telah dilakukan baik dengan pendekatan piramida gen ataupun pengumpulan gen-gen ketahanan terhadap kekeringan. Adapun aksesi-aksesi yang telah digunakan dalam kegiatan perbaikan varietas tersebut disajikan dalam Tabel 1.

Sampai dengan tahun 2008, terdapat lima set persilangan dengan total nomor persilangan sebanyak 77 kombinasi yang melibatkan aksesi- aksesi plasma nutfah kapas yang berasal dari berbagai negera seperti Afrika, India, Zimbabwe, USA, Thailand, Perancis, Laos, Kamboja, dan Indonesia. Pemilihan aksesi didasarkan pada keunggulan dari segi produktivitas, ketahanan terhadap hama terutama A. biguttula dan kekeringan serta mutu serat yang tinggi.

Dari hasil persilangan menggunakan pendekatan metoda pengumpulan dan piramida gen dari aksesi-aksesi yang memiliki toleransi tinggi terhadap kekeringan dan yang toleran terhadap hama penghisap A. biguttula yang dilaksanakan pada tahun 1996 dan 1997 tersebut di atas, telah diperoleh dua galur unggul yaitu (339x448)2  dan (135x182)(351  x 268)/9  yang

memiliki produktivitas tinggi, tahan terhadap A. biguttula, tahan terhadap kekeringan, dan mutu serat tinggi (Sumartini et al., 2008) yang telah diusulkan pelepasannya pada sidang pelepasan varietas tahun 2007. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

KESIMPULAN

Pengujian ketahanan terhadap kekeringan secara langsung ataupun tak langsung menggunakan simulasi PEG telah menghasilkan informasi tentang tingkat ketahanan beberapa aksesi dalam koleksi plasma nutfah kapas terhadap kekeringan. Selain itu, melalui persilangan menggunakan pendekatan metoda pengumpulan dan piramida gen dari aksesiaksesi yang memiliki toleransi tinggi terhadap kekeringan dan yang toleran terhadap hama penghisap A. biguttula telah menghasilkan dua varietas baru yang telah dilepas secara resmi oleh Menteri Pertanian melalui SK Mentan No. 506/Kpts/SR.120/9/2007 dan No. 507/Kpts/SR.120/9/2007 dengan nama berturut-turut Kanesia 14 dan Kanesia 15.Selain upaya pengembangan varietas baru kapas tahan terhadap kekeringan melalui pendekatan pemuliaan konvensional, juga terbuka peluang pemanfaatan teknologi transgenik untuk mengembangan varietas kapas transgenik tahan kekeringan dengan melakukan transformasi gen-gen yang berkorelasi dengan ketahanan terhadap kekeringan. Beberapa gen telah ditransformasikan ke dalam beberapa tanaman antara lain arabidopsis, tembakau,tomat, padi, dan juga pada kapas, dan telah menghasilkan perbaikan ketahanan terhadap kekeringan. Pendekatan transgenik juga berpeluang untuk mengkombinasi beberapa gen penyandi sifat-sifat yang berbeda yang berasal dari spesies lain ke dalam genom kapas. Dukungan teknologi berupa varietas tahan kekeringan atau sifat-sifat unggul lainnya harus diimbangi dengan dukungan teknologi budidaya yang efisien sehingga peningkatan produksi kapas secara signifikan dapat tercapai.

 

CARA MENGHITUNG GCS,SKALA NYERI,TETESAN INFUS,SARAF KRANIAL,SKALA KETERGANTUNGAN DAN KEKUATAN OTOT

 

A.       Cara Mengukur Tingkat Kesadaran

Tingkat kesadaran tertinggi berada di skala 15, sedangkan tingkat kesadaran terendah atau dapat dikatakan koma berada di skala 3. Nah, untuk mengetahui skala tersebut, cara mengukur tingkat kesadaran dengan skala GCS adalah sebagai berikut:

1.      Mata (eye)

Berikut ini adalah panduan pemeriksaan mata untuk menentukan angka GCS:

  • Poin 1: mata tidak bereaksi dan tetap terpejam meski telah diberi rangsangan, seperti cubitan pada mata.
  • Poin 2: mata terbuka setelah menerima rangsangan.
  • Poin 3: mata terbuka hanya dengan mendengar suara atau dapat mengikuti perintah untuk membuka mata.
  • Poin 4: mata terbuka secara spontan tanpa perintah atau sentuhan.

 

2.      Suara (verbal)

Untuk pemeriksaan respons suara, panduan untuk menentukan nilai GCS adalah sebagai berikut:

  • Poin 1: tidak mengeluarkan suara sedikit pun meski sudah dipanggil atau diberi rangsangan.
  • Poin 2: suara yang keluar berupa rintihan tanpa kata-kata.
  • Poin 3: suara terdengar tidak jelas atau hanya mengeluarkan kata-kata, tetapi bukan kalimat yang jelas.
  • Poin 4: suara terdengar dan mampu menjawab pertanyaan, tetapi orang tersebut tampak kebingungan atau percakapan tidak lancar.
  • Poin 5: suara terdengar dan mampu menjawab semua pertanyaan yang diajukan dengan benar serta sadar penuh terhadap lokasi, lawan bicara, tempat, dan waktu.

 

3.      Gerakan (mobilitas)

Panduan penentuan angka GCS untuk pemeriksaan respons gerakan adalah sebagai berikut:

  • Poin 1: tidak mampu menggerakkan tubuhnya sama sekali walau sudah diperintahkan atau diberi rangsangan nyeri.
  • Poin 2: hanya dapat mengepalkan jari tangan dan kaki atau meluruskan kaki dan tangan saat diberi rangsangan nyeri.
  • Poin 3: hanya mampu menekuk lengan dan memutar bahu saat diberi rangsangan nyeri.
  • Poin 4: mampu menggerakkan tubuh menjauhi sumber nyeri ketika dirangsang nyeri. Misalnya, orang tersebut merespons dengan menarik tangannya ketika dicubit.
  • Poin 5: mampu menggerakkan tubuhnya ketika diberikan rangsangan nyeri dan orang tersebut dapat menunjukkan lokasi nyeri.
  • Poin 6: mampu melakukan gerakan tubuh apa pun saat diperintahkan.

 

B.     Skala nyeri



Skala 0, tidak nyeri

Skala 1, nyeri sangat ringan

Skala 2, nyeri ringan. Ada sensasi seperti dicubit, namun tidak begitu sakit

Skala 3, nyeri sudah mulai terasa, namun masih bisa ditoleransi

Skala 4, nyeri cukup mengganggu (contoh: nyeri sakit gigi)

Skala 5, nyeri benar-benar mengganggu dan tidak bisa didiamkan dalam waktu lama

Skala 6, nyeri sudah sampai tahap mengganggu indera, terutama indera penglihatan

Skala 7, nyeri sudah membuat Anda tidak bisa melakukan aktivitas

Skala 8, nyeri mengakibatkan Anda tidak bisa berpikir jernih, bahkan terjadi perubahan perilaku

Skala 9, nyeri mengakibatkan Anda menjerit-jerit dan menginginkan cara apapun untuk menyembuhkan nyeri

Skala 10, nyeri berada di tahap yang paling parah dan bisa menyebabkan Anda tak sadarkan diri


1. skala nyeri NRS

Metode Numeric Rating Scale (NRS) didasari pada skala angka 1-10 untuk menggambarkan kualitas nyeri yang dirasakan pasien. NRS diklaim lebih mudah dipahami, lebih sensitif terhadap jenis kelamin, etnis, hingga dosis. NRS juga lebih efektif untuk mendeteksi penyebab nyeri akut ketimbang VAS dan VRS. Skala nyeri dengan menggunakan NRS:




 

C.    Tetesan Infus

Perhitungan akan berbeda jika proses pemberian cairan infus masih menggunakan cara manual. Nah pada cara manual ini, diperlukan suatu perhitungan untuk mengetahui tetesan infus, dengan cara mengetahui jumlah tetesan per menit (TPM) infus. Untuk rumusnya sendiri, akan menyesuaikan dengan seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk cairan infus tersebut masuk ke dalam tubuh pasien.Jika waktu yang dibutuhkan adalah hanya dalam beberapa menit saja, maka Anda bisa menggunakan rumus dengan satuan waktu menit. Namun jika waktu yang dibutuhkan adalah lebih dari satu jam, maka gunakan satuan jam dalam rumus yang digunakan. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah rumus yang digunakan:

 TP M Infus: (jumlah cairan x faktor tetes) / (lama pemberian x 60)

 

D.    12 Saraf kranial beserta fungsinya

1.      Kranial I: Olfaktori

Olfaktori merupakan saraf yang terkait dengan fungsi sensorik, yang berhubungan dengan penciuman. Ini merupakan satu dari dua saraf yang berasal dari cerebrum.ada bau tertentu, hidung Anda menyampaikan informasi sensorik melalui saraf olfaktori ke bulbus olfaktorius, lalu ke area limbik, hingga akhirnya Anda bisa mencium bau tersebut.

2.      Kranial II : OPTIK

Saraf optik merupakan nervus kranial dengan fungsi sensorik yang berhubungan dengan penglihatan.Saraf ini menyampaikan informasi dari retina mata ke otak, terutama di bagian korteks serebral yang berperan dalam penglihatan, sehingga Anda bisa melihat.

3.      Kranial III : Okulomotor

Okulomotor juga terkait dengan mata. Namun, saraf ini berhubungan dengan fungsi motorik yang membantu mata bergerak dan berkedip, fokus pada objek, serta mengontrol respon pupil terhadap cahaya.Saraf kranial ini berasal dari bagian depan otak tengah yang kemudian bergerak hingga mencapai rongga mata.

4.     Kranial IV: Troklear

Saraf troklear juga masih terkait dengan motorik pada mata. Namun, saraf ini mengontrol otot oblikus superior yang berperan untuk menggerakkan mata ke bawah serta keluar dan dalam. Adapun saraf ini berasal dari belakang otak tengah dan bergerak ke rongga mata, tepatnya di area yang mata yang merangsang otot oblikus superior ini.

5.      Kranial V: Trigeminal

Saraf trigeminal merupakan saraf kranial terbesar. Jenis saraf ini terbagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu oftamilk, maksila, dan mandibula dengan fungsi sebagai berikut.

·         Oftalmik: Mengirimkan informasi sensorik dari kulit kepala, dahi, dan kelopak mata atas.

·         Maksila: Mengirimkan informasi sensorik dari bagian pipi, kelopak mata bawah, bibir atas, dan rongga hidung.

·         Mandibula: Mengirimkan informasi sensorik dan motorik dari bagian lidah, bibir bawah, dagu, dan rahang.

6.     Kranial VI: Abdusen

Saraf abdusen juga terkait dengan fungsi motorik pada mata. Saraf kranial ini mengontrol otot rektus lateral yang berperan dalam menggerakan mata ke luar, seperti melihat ke samping.Adapun saraf ini berasal dari bagian batang otak yang bernama pons, yang kemudian bergerak ke otot rektus lateral di bagian rongga mata.

7.      Kranial VII: Fasialis

Sesuai namanya, saraf fasialis merupakan saraf yang terkait dengan wajah. Saraf ini berasal dari area pons di batang otak di mana terdapat akar saraf motorik dan sensorik pada saraf ini.

Adapun berikut adalah fungsi dari saraf fasialis.

·         Mengirimkan informasi sensorik dari lidah untuk merasakan makanan.

·         Menyampaikan informasi motorik untuk mengendalikan gerakan otot terkait ekspresi wajah.

·         Memasok kelenjar yang menghasilkan air liur dan mengeluarkan air mata.

 

 

8.      Kranial VIII: Vestibulocochlear

Saraf kranial VIII atau vestibulocochlear memiliki fungsi sensorik yang terkait dengan fungsi pendengaran dan keseimbangan. Saraf ini terdiri dari dua bagian dengan fungsi yang berbeda.

·         Vestibular: Mengumpulkan informasi mengenai telinga bagian dalam dan berhubungan dengan keseimbangan.

·         Koklea: Berkaitan dengan suara dan sinyal pendengaran dari telinga serta mendeteksi getaran dari volume dan nada suara.

9.      Kranial IX: Glossofaringeal

Saraf glossofaringeal terkait dengan kemampuan merasakan dan menelan. Saraf ini berasal dari medulla oblongata, yang kemudian menjalar ke leher dan tenggorokan.

·         Adapun fungsinya mengirimkan informasi sensorik dari telinga luar dan rongga telinga tengah, bagian belakang lidah, serta bagian belakang tenggorokan.

·         Saraf ini juga mengirimkan informasi motorik dari dua kelenjar ludah dan gerakan dari otot di bagian belakang tenggorokan.

10.  Kranial X: Saraf vagus

Saraf vagus merupakan saraf kranial terpanjang karena menjalar dari otak ke lidah, tenggorokan, jantung, dan sistem pencernaan. Saraf ini juga memiliki banyak cabang, yang terdiri dari sensorik, motorik, dan otonom.

11.  Kranial XI: Aksesori tulang belakang

Saraf kranial XI atau aksesori tulang belakang utamanya memiliki fungsi motorik yang berhubungan dengan otot dan gerakan kepala, leher, dan bahu.Namun, jenis saraf ini juga membantu merangsang otot-otot laring dan faring yang terkait dengan fungsi menelan

 

 

12.  Kranial XII: Hipoglosus

Saraf hipoglosus memiliki fungsi motorik yang berperan untuk menggerakkan lidah.Jenis saraf ini berasal dari medulla oblongata yang kemudian menjalar ke bagian rahang dan mencapai lidah.

 

E.     Skala ketergantungan

Minimal Care

1.      Klien bisa mandiri/hampir tidak memerlukan bantuan

·         Mampu naik-turun tempat tidur

·         Mampu ambulasi dan berjalan sendiri

·         Mampu makan dan minum sendiri

·         Mampu mandi sendiri/mandi sebagian dengan bantuan

·         Mampu membersihkan mulut (sikat gigi sendiri)

·         Mampu berpakaian dan berdanda dengan sedikit bantuan

·         Mampu BAB dan BAK dengan sedikit bantuan

2.      Status psikologis stabis

3.      Klien dirawat untuk prsedur diagnostik

4.      Operasi ringan

Partial Care

1.      Klien memerlukan bantuan perawat sebagian

·         Membutuhkan bantuan 1 orang untuk naik-turun tempat tidur

·         Membutuhkan bantuan untuk ambulasi/berjalan

·         Membutuhkan bantuan dalam menyiapkan makanan

·         Membutuhkan bantuan untuk makan (disuap)

·         Membutuhkan bantuan untuk kebersihan mulut

·         Membutuhkan bantuan untuk berpakaian dan berdandan

·         Membutuhkan bantuan untuk BAB dan BAK (tempat tidur/kamar mandi)

2.      Pasca operasi minor (24 jam)

3.      Melewati fase akut dari pascaoperasi mayor

4.      Fase awal dari penyembuhan

5.      Observasi tanda-tanda vital setiap 4 jam

Total Care

1.      Klien memerlukan bantuan perawat sepenuhnya dan memerlukan waktu perawat yang lebih lama

·         Membutuhkan 2 orang atau lebih untuk mobilisasi dari tempat tidur ke kursi roda

·         Membutuhkan latihan pasif

·         Kebutuhan nutrisi dan cairan dipenuhi melalui terapi intravena (infus) atau NGT (sonde)

·         Membutuhkan bantuan kebersihan mulut

·         Membutuhkan bantuan penuh untuk berpakaian dan berdandan

·         Dimandikan perawat

·         Dalam keadaan inkontinensia, menggunakan kateter

2.      Klien tidak sadar

3.      Keadaan klien tidak stabil

4.      Observasi TTV setiap kurang dari 8 jam

5.      Perawatan luka bakar

6.      Perawatan kolostomi

7.      Menggunakan alat bantu pernapasan

8.      Menggunakan WSD

9.      Irigasi kandung kemih secara terus-menerus

10.  Menggunakan alat traksi

11.  Fraktur dan atau pascaoperasi tulang belakang/leher

12.  Gangguan emosional berat, bingung, dan disorientasi

 

F.     Kekuatan otot

Skala

Presentasi
Kekuatan Normal

Karakteristik

0

0

Kontraksi otot tidak terdeteksi (paralisis sempurna)

1

10

Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat di palpasi atau dilihat

2

25

Gerakan otot penuh melawan gravitasi, dengan topangan

3

50

Gerakan yang normal melawan gravitasi

4

75

Gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan tahanan minimal

5

100

Kekuatan otot normal, gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan tahanan penuh