BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Udang vanname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu jenis udang yang umum
dibudidayakan di Indonesia sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk
mengintroduksinya sebagai upaya menanggulangi penurunan produksi (KKP,2001). Udang
tersebut memiliki beberapa keunggulan dibandingkan udang penaeid lainnya
seperti tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dan bisa untuk dipelihara pada
padat penebaran tinggi.
Kehadiran udang vanname di
Indonesia pada awalnya dapat diterima dan berkembang dengan baik oleh
pembudidaya udang. Namun, produksi udang kembali mengalami kemerosotan beberapa
tahun terakhir seiring kemunculan penyakit. Virus disinyalir menjadi patogen
paling berperan memicu penyakit pada udang. Setiap fase hidup dari udang
vanname rentan diserang oleh infeksi virus yang mengakibatkan perubahan bentuk
tubuh, ukuran benih yang tidak seragam, pertumbuhan yang lambat, hingga
mortalitas (BBL Lampung, 2011). Salah satu penyebab utama penurunan produksi
udang vanname tersebut adalah penyakit
WSSV adalah salah satu penyakit
yang telah merambah secara global dan menjadi masalah serius pada sebagian
besar spesies udang yang dibudidayakan secara komersil (Spann dan Lester,
1997).
Perkembangan terkini di bidang
biologi molekuler telah memberikan kemudahan di berbagai bidang kehidupan
manusia. Deteksi penyakit yang semula berbasis keberadaan antigen-antibodi,
mulai ditingkatkan spesifikasinya dengan menggunakan tehnik molekuler yaitu
Polymerase Chain Reaction (PCR). Tehnik ini telah mampu mereduksi terjadinya
“false positive” pada deteksi beberapa jenis penyakit yang selama ini dilakukan
dengan tehnik Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) (Pestana et al, 2010).
PCR dapat digunakan untuk menentukan
keberadaan suatu penyebab penyakit (patogen) dan dapat digunakan untuk
menentukan kandungan materi genetik baik DNA maupun RNA. Dalam beberapa tahun
terakhir ini, pengunaan teknologi PCR telah dikembangkan menjadi tehnik Real
Time Polymerase Chain Reaction (Real Time PCR). Deteksi hasil dalam Real Time-PCR
langsung di kuantifikasi oleh perangkat lunak (software) pada komputer.
Keunggulan penggunaan tehnik ini, diantaranya: (1) lebih cepat, (2) lebih
sensitivif, dan (3) lebih spesifik, dan (4) dapat mengetahui kuantitas
pathogen.
Pada praktik ini dilakukan deteksi
penyakit bercak putih atau white spot syndrome pada lobster air tawar dengan
menggunakan Real Time PCR. Di Indonesia, penyakit WSSV mewabah sejak tahun 1995
dan menyerang udang hingga 100% kematian selama 3- 10 hari sejak gejala klinis
muncul. Dalam deteksi penyakit tersebut, penggunaan tehnologi Real Time-PCR
memungkinkan untuk mengetahui jumlah salinan (copy) dari virus tersebut.
1.2
Tujuan
Tujuan dari pelaksanan Praktik
Kerja Lapang (PKL) ini adalah untuk mengetahui cara mengidentifikasi WSSV dengan
menggunakan metode PCR pada udang Vanname (Litopenaeus
vannamei) di Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan (SKIPM).
1.3
Manfaat
a. Dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman di bidang identifikasi virus khususnya
Udang Vannamei
b. Meningkatkan
kemampuan dalam menggunakan alat laboraturium terutama perlatan PCR
2
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI
KKB
2.1
Sejar singkat SKIPM Aceh
Stasiun
karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM) Aceh
awalnya bernama Stasiun Karantina Ikan kelas II. St. Iskandar Muda Banda Aceh
(KEP. 32/MEN/2008). Pada tahun 2011 ditetapkan menjadi Stasiun Karantina Ikan
Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Aceh (KEP. 25/MEN/2011).
Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM)
Aceh merupakan unit pelaksana teknis dari Badan Karantina Ikan Pengendalian
Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM).
2.1.1
Letak geografis SKIPM
Stasiun
Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Aceh terletak di
Gampong Blang, Kecamatan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar dengan batas-batas
sebagai berikut :
1. Sebelah
Barat berbatasan dengan Gampong Cot Masam.
2. Sebelah
Timur berbatasan dengan Bandara Sultan Iskandar Muda Aceh.
3.
Sebelah Selatan
berbatasan dengan Gampong Cot Meuraja.
4. Sebelah
Utara berbatasan dengan Bandara Sultan Sultan Iskandar Muda Aceh
2.2
Visi, Misi, Sasaran dan Tujuan SKIPM Aceh
Stasiun
karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM) Aceh
telah menetapkan visi, misi, tujuan, dan sasaran yaitu sebagai berikut:
2.2.1
Visi
Sebagai Unit
Pelaksana Teknis yang merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari Badan
Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan terutama
Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai induk 10 organisasi. Dengan demikian
visi dari Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
Aceh sama dengan visi Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan, yaitu : “Hasil Perikanan Yang Sehat Bermutu, Aman Konsumsi dan
Terpercaya”.
2.2.2
Misi
Dalam pencapaian
visi seperti yang telah diuraikan, maka SKIPM Aceh mengembangkan misi sebagai
berikut :
1. Melindungi
dan menyelamatkan kelestarian sumberdaya hayati ikan dari serangan hama dan
penyakit ikan melalui tindakan karantina.
2. Mendukung
pengembangan teknik dan metode perkarantinaan ikan.
3. Mengembangkan
pengembangan informasi perkarantinaan ikan.
4. Menegakkan
supremasi hukum terhadap peraturan perundang perkarantinaan ikan.
5. Mengembangkan
sistem administrasi perkantoran.
6. Mendorong
partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan karantina ikan.
7. Menerapkan
jaminan mutu yang handal dan terpercaya
2.2.3
Tujuan
Tujuan
pembangunan SKIPM Aceh adalah :
1.
Menigkatkan
ketersediaan sarana dan prasarana penyelenggaraan perkarantinaan ikan dan mutu.
2.
Meningkatkan kualitas
dan kuantitas serta kesejahteraan sumberdaya manusia karantina ikan dan mutu.
3.
Memberikan jaminan
kesehatan ikan dan lingkungan melalui sertifikasi.
4.
Menerapkan dan
mengembangkan teknik dan metode perlakuan yang efektif.
5.
Menyediakan referensi
identifikasi Hama dan Penyakit Ikan (HPI) atau Hama Penyakit Ikan Karantina
(HPIK) dan media pembawa.
6.
Menginventarisir HPI
atau HPIK.
7.
Meningkatkan pengawasan
operasional karantina ikan.
8.
Pengembangan, pentaan
dan pemberdayaan organisasi yang lebih optimal.
9.
Meningkatkan fungsi
pelayanan terhadap pengguna jasa melalui pemanfaatan sistem informasi karantina
ikan.
10.
Meningkatkan kinerja
secara professional dan memanfaatkan sumberdaya organisasi melalui perkembangan
manajemen dan administrasi.
11.
Meningkatkan kualitas
dan kuantitas pembinaan dan pelaksanaan hokum.
12.
Meningkatkan jaringan
kerja sama kemitraan dengan pemerintah daerah, lembaga penelitian dan swasta,
perguruan tinggi LSM dan mitra kerja di lapangan.
13.
Meningkatkan kesadaran
dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan perkarantinaan ikan dan
jaminan mutu.
2.3
Bidang dan Skala Kerja SKIPM
Aceh Skala kerja
SKIPM Aceh mencakup pelayanan laboratorium, pemantauan, lalulintas dan
pemeriksaan. Dalam melaksanakan tugas SKIPM fungsi pelayanan laboratorium untuk
:
1. Pemeriksaan
Bakteri
2. Pemeriksaan
Jamur
3. Pemeriksaan
Parasit
4. Pemeriksaan
Virus
2.4
Struktur
Organisasi SKIPM Aceh
Stasiun
Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM) Aceh
memiliki susunan organisasi yang terdiri dari kepala UPT, kepala urusan tata
usaha, kepala subseksi tata pelayanan dan kepala subseksi pengawasan,
pengendalian dan informasi serta kelompok jabatan fungsional. Subseksi
pengawasan, pengendalian dan informasi mampunyai tugas melakukan pmantauan,
pengawasan, pengendalian dan surveilen HPIK dan keamanan hasil perikanan.
Berdasarkan hal
itu dilakukan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan upaya untuk mewujudkan
sasaran tersebut. Kegiatan mencakup pengelolaan arsip administrasi laboratorim
HPI/HPIK, pengawasan lalulintas media pembawa HPI/HPIK, pengambilan sampel uji
media pembawa HPI/HPIK, pengelolaan laboratorium kimia, pengelolaan
laboratorium basah, pelayanan prima kepada pengguna jasa akreditasi
laboratorium uji SKIPM Aceh . Adapun struktur organisasi dapat dilihat pada
gambar berikut:
Ka Bagian Tata Usaha Kepala SKIPM Ka Subseksi Pengawasa
Pengendalian Dan Informasi
Ka Subseksi Tata Pelayanan
Kelompok Jabatan Fungsional
Gambar 1. Struktur
organisasi
2.5
Proses Kerja
Secara Umum
Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Aceh
adalah instansi pemerintah yang mengkoordinir lalu lintas komoditi perikanan,
dengan serangkaian proses pemeriksaan bakteri, jamur, parasit dan virus. Hal
ini sesuai dengan UU Nomor: 16 Tahun 1992 tentang karantina ikan, hewan dan
tumbuhan kemudian ditindak lanjuti dengan PP Nomor: 15 tahun 2002 tentang
karantina ikan, yaitu :
1. Pelaksanaan
tindakan karantina terhadap media pembawa HPIK.
2. Pelaksanaan
pemantauan HPIK, mutu dan keamanan hasil perikanan.
3. Pelaksanaan
pengawasan dan pengendalian HPIK, mutu dan keamanan hasil perikanan.
4. Pelaksanaan
pengawasan dan penindakan pelanggaran peraturan Perundang-undangan
perkarantinaan ikan.
5. Pelaksanaan
inspeksi terhadap unit pengolahan ikan dalam rangka sertifikasi penerapan
program manajemen mutu terpadu.
6. Pelaksanaan
surveilen HPIK, mutu dan keamanan hasil perikanan.
7. Pelaksanaan
sertifikasi kesehatan ikan, mutu dan keamanan hasil perikanan.
8. Penerapan
sistem manajemen mutu pada laboratorium dan pelayanan operasional.
9. Pembuatan
koleksi media pembawa dan HPIK.
10. Pengumpulan, pengolahan data
dan informasi perkarantinaan ikan,mutu dan keamanan hasil perikanan.
3
BAB III
METODOLOGI PELAKSANAAN
3.1
Waktu
dan Tempat
Pelaksanaan
Klinik Kompetensi Bidang (KKB) Dimulai dari tanggal 27 Mei sampai dengan 27
Juni 2021. Tempat pelaksanaan yaitu di Laboraturium Stasiun Karantina Ikan,
Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil (SKIPM) Aceh.
3.2
Alat
dan Bahan
3.2.1
Alat
Alat alat yang
digunakan pada Klinik Kompetensi Bidang ini adalah :
No. |
Alat |
Jumlah |
1.
|
Microtube centrifuge |
1 box |
2.
|
Micropipet |
5 unit |
3.
|
Falcon tube |
1 unit |
4.
|
Gunting |
1 unit |
5.
|
pinset |
1 unit |
6.
|
Pastle |
1 unit |
7.
|
Freezer |
2 unit |
8.
|
Fortex |
1 unit |
9.
|
Spin down |
1 unit |
10. |
Laminary air Flow |
1 unit |
11. |
Micro centrifuge |
1 unit |
12. |
Masker |
1 box |
13. |
Sarung tangan |
1 box |
14. |
Thermalcycler |
1 unit |
15. |
Hot plate |
1 unit |
16. |
Erlenmeyer |
1 unit |
17. |
Magnetic stirrer |
1 unit |
18. |
UV transiluminator |
1 unit |
Tabel 1. Alat
3.2.2
Bahan
Bahan-bahan
yang di gunakan pada Klinik Kompetensi Bidang Ini adalah:
No. |
Bahan |
Jumlah |
1. |
Sampel |
1 |
2. |
Nucleid Lysis Solution |
600 µl |
3. |
Rnase solution |
3 µl |
4. |
Protein precipitation solution |
200 µl |
5. |
Isopropanol |
600 µl |
6. |
Etanol 70% |
600 µl |
7. |
DNA Rehidration solution |
100 µl |
8. |
Alcohol |
- |
Table 2. Ekstraksi
No. |
Bahan |
Jumlah |
1. |
DNA template |
3 |
2. |
First |
1 µl |
3. |
Refirst |
1 µl |
4. |
Go taq green (GT) |
12 µl |
5. |
Nuclease Free Water
(NFW) |
7 µl |
Table 3. Amplifikasi
No. |
Bahan |
Jumlah. |
1. |
TAE buffer 1x |
100 ml |
2. |
Aquadest |
1000 ml |
3. |
Agarose |
1,5 gram |
4. |
Pewarna gel Agarose |
10 µl |
5. |
Kontrol positif |
8 µl |
6. |
Kontrol Negatif |
4 µl |
7. |
Marker |
4 µl |
Table 4. Elektroforesis
3.3
Prosedur kerja kerja PCR
Ektraksi
adalaha pengambilan organ sample dari udang dapat berupa hepatopankreas
sebagai salah setu organ yang dapat di gunakan untuk uji WSSV Amplifikasi
adalah proses penambahan F1, R1, NFW, GTG kedalam sampel hasil
dari ekstraksi
gerus,
spin, endapkan
Elektroforesis
dan dokumentasi pada tahap ini sampe yang telah melewati proses amplifikasi
di masukan kedalam media agarose, agar terjadi pemindahan fluida
menggunakan aruslistrik, yang selanjutanya
mudah di baca saat melakukan dokumentasi
3.3.1
Ekstraksi DNA
a. Preparasi
sampel jaringan
·
Ditambahkan 10-20 mg
jaringan segar atau beku kedalam 600µl larutan Nuclei Lysis Solution, campurkan
hingga homogen.
b. Lysis
dan pngendapan protein
·
Ditambahkan 3 µl
larutan Rnase solution kedalam lisat larutan Nuclei Lysis sel atau jaringan dan
campurkan hingga homogen. Dinkubasi selama 20 menit pada suhu 37ºC. kemudian
didiamkan pada suhu ruang.
·
Ditambahkan 200 µl
larutan Protein Precipitation Solution. Votex dan dinginkan pada es selama 5
menit.
·
Disentrifuge pada 13.000
– 16.000 RPM selama 4 menit.
c.
Pengendapan dan Rehidrasi DNA
·
Dipindahkan supernatant
kedalam tabung baru yang telah berisi 600 µl isipropanol pada suhu ruang.
·
Dicampurkan secara
perlahan dengan membolak balik tabung (inversion).
·
Dicentrifugasi pada
13.000-16.000 RPM selama 1 menit.
·
Dibuang supernatant da
tambahkan 600 µl larutan etanol 70 % kemudian campurkan hingga homogen.
·
Dicentrifuge pada
13.000-16.000 RPM selama 1 menit.
·
Dikering-angin-kan
etanol dan pellet selama 15 menit.
·
Direhidrasi DNA dalam
100 µ larutan DNA Rehydration Solution selama 1 jam pada suhu 65ºc atau
semalaman pada suhu 4ºc.
3.3.2
Amplifikasi
Komposisi larutan PCR
No.
|
Pereaksi
|
Jumlah/volume
pereaksi |
1. |
Forward
1 |
1µl |
2. |
Reverse
1 |
1
µl |
3. |
Nuclease
Free Water |
7
µl |
4. |
Go
taq green |
12
µl |
5. |
Template
DNA |
4
µl |
Total
Volume |
25µl |
Tabel 5. Formulasi reaksi first stap
PCR
Pengaturan suhu dan siklus thermalcycler
No.
|
Pereaksi |
Suhu
(ºc) |
Waktu |
Jumlah
siklus |
1. |
Pre
heat |
94 55 72 |
4
menit 1
menit 2
menit |
1 |
2. |
Denaturasi |
94 |
1
menit |
39 |
Annealing |
55 |
1
menit |
||
Ekstension |
72 |
2
menit |
||
3. |
End
ekstension |
72 |
5
menit |
1 |
4. |
End
hold |
4 |
êš™ |
|
Tabel 6. Profil amplifikasi first step PCR
a.
Formulasi nested PCR
No.
|
Peraksi |
Jumlah atau volume pereaksi |
1. |
Forward 2 |
1 µl |
2. |
Reverse 2 |
1 µl |
3. |
Nuclease Free Water |
9 µl |
4. |
Go taq green |
12 µl |
5. |
Tamplate DNA |
2 µl |
Total volume |
25 µl |
Tabel 7. Formulasi nested PCR
Pengaturan suhu dan siklus thermalcycler
·
Profil amplifikasi
Nested PCR
No.
|
Pereaksi |
Suhu
(ºc) |
Waktu |
Jumlah
siklus |
1. |
Pre
heat |
94 55 72 |
4
menit 1
menit 2
menit |
1 |
2. |
Denaturasi |
94 |
1
menit |
39 |
Annealing |
55 |
1
menit |
||
Ekstension |
72 |
2
menit |
||
3. |
End ekstension |
72 |
5
menit |
1 |
4. |
End hold |
4 |
êš™ |
|
Tabel 8. Profil
amplifikasi Nested PCR
3.3.3
Elektroforesis
a.
Persiapan gel agarose
·
Diambil TAE 1X.
·
Dibuat gel agarose degan cara menimbang agrose sebanyak
1,5gr dan ditambah 80ml TAE 1X dan dimasukan kedalam tabung
·
Dipanaskan dengan meggunakan hotplate dan magnetic stirrer
pada suhu 120ºC dengan kecepatan 120-150 RPM
·
Siapkan cetakan agarose dengan sumur telah terpasang
·
Tunggu hingga gel mengeras
·
Setelah gel mengeras, Diambil sisir secara perlahan dan gel
agarose siap di gunakan.
b.
Eletroforesis
Elektroforesis adalah
gerakan partikel terdisfersi relatif terhadap fluida di bawah
pengaruh medan listrik yang seragam secara spasial Elektroforesis
digunakan di laboratorium untuk memisahkan makromolekul berdasarkan
ukurannya. Teknik ini menerapkan muatan negatif sehingga protein bergerak
menuju muatan positif. Elektroforesis digunakan secara luas dalam analisis DNA, RNA dan protein.adalah
gerakan partikel terdispersi relatif terhadap fluida di bawah
pengaruh medan listrik.
·
DNA ladder di ambil sebanyak 8 ml dan di masukan kedalan
sumur (I) pada gel agarose.
·
Kemudian dimasukan sampel secara berurutan, diikuti dengan
control negative dan positif kedalam sumur gel sebanyak 8ml.
·
Dielektroforesis dengan kekuatan listrik 100-150 V selama 30
menit.
·
Dilakukan pewarnaan gel dengan merendam gel agarose kedalam larutan
pewarna.
·
Diamati gel agarose dibawah sinar uv untuk melihat
visualisasi vita DNA.
·
Diagnosa dilakukan dengan mengamati berat molekul band dan
DNA sampel yang muncul dengan menggunakan pembanding DNA marker.
·
Band DNA control positif WSSV muncul pada 941 base pair.
Sampel dinyatakan negatif WSSV apabila pita band tidak mecapai 941 base pair
3.4
Dokumentasi
·
Dimasukan agarose yang telah di rendam kedalam UV
trans-iluminator, dihidupkan lampunya.
·
Diambil foto menggunakan camera.
4
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASA
4.1
Hasil
Berikut ini
hasil uji WSSv ( White Spot Syndrome
Virus ) pada udang Vaname ( litopenaeus vannamei ).
Gambar 3. Hasil uji
WSSV
Keterangan :
Marker 1000 bp
1 = sampel
2 = control negatif
3 = control positif
4.2
Pembahasan
Berdasarkan
hasil dari Pengujian White Spot Syndrome
Virus (WSSV) pada udang vaname (Litopenaeus
vannamei) secara molekular tidak ditemukan adanya udang vaname (Litopenaeus vannamei) yang terserang White Spot Syndrome Virus (WSSV). Pita
DNA hasil pengujian White Spot Syndrome
Virus (WSSV) yang diperoleh tidak menunjukkan pada ukuran amplikon 941 bp.
Ukuran amplikon 941 bp merupakan ukuran positif White Spot Syndrome Virus (WSSV) sesuai dengan protokol Office
International des Epizooties (OIE). Pada pengujian ini semua sampel udang
vaname (Litopenaeus vannamei)
dinyatakan negatif terserang White Spot
Syndrome Virus (WSSV).
Penyakit bercak
putih merupakan salah satu penyakit virus yang disebabkan oleh White Spot Syndrome Virus (WSSV) yang
menyebabkan penyakit viral pada udang (Destarlina, 2004). Jaringan ektodermal
dan mesodermal merupakan jaringan yang menjadi target utama serangan White Spot Syndrome Virus (WSSV).
Jaringan yang diserang berupa insang, organ limfoid dan epitel kutikula (Azizah
dan Kurniasih, 2005). Menurut Destarlina (2004), apabila jaringan ektodermal
dan mesodermal telah terinfeksi White
Spot Syndrome Virus maka akan terjadi kerusakan jaringan pada udang.
Secara umum, Tahapan
PCR terdiri dari Ektaksi DNA, Amplifikasi, Elektroforesis dan Visualisasi Data.
Tahapan Ekstraksi DNA merupakan Tahapan pemisah antara dari dalam organ sel.
DNA pada udang udang vannamae dapat di ambil dari beberapa organ bagian tubuh
udang salah satunya adalah Hepatopankras pada udang dan selanjutnya melakukan
tahapan tahapan ekstraksi DNA sesuai dengan prosedur kerja.
Tahapan Amplifikasi
PCR terdiri dari denaturasi, annealing, dan ekstension. Denaturasi yaitu proses
pemecahan DNA double helix menjadi single helix. Tahapan ini biasanya dilakukan
pada suhu 94ºC dalam waktu 1 menit sehingga ikatan pada DNA rusak. Selanjutnya
tahapan annealing, tahapan annealing merupakan tahapan primer oligonukleatida
menempel pada sekuen tertentu pada DNA. Agar primer dapat menempel dengan
sempurna dan tepat pada sekuen yang dituju, suhu annealing biasanya 55ºC dalam
waktu 1 menit. ketidak sesuaian suhu akan menyebabkan kesalahan dalam
penempelan primer sehingga hasil PCR pun akan invalid(salah). Tahapan teakhir
yaitu ekstensiondimana enzim polymerase mulai bekerja untuk menerjemahkan kode
asam amino untuk mendapatkan produk akhir PCR, pada tahap ini biasanya
deilakukan dengan kisaran suhu 72ºC dalam waktu 2 menit. Keseluruhan tahapan
ini dilakukan dalam satu alat yaitu mesin Thermalcycler, alat ini memiliki
prinsip kerja menaik turunkan suhu dalam waktu yang sangat singkat (Cole,1978).
Metode yang
digunakan untuk melihat ada atau tidaknya DNA pada produk PCR adalah dengan
teknik Elektroforesis, dengan menggunakan hasil dari proses Amplifikasi atau
yang biasa di sebut Templet DNA dan Marker gel agrose. Elektroforesis adalah
memisahkan molekul molekul DNA berdasarkan ukuran molekulnya menggunakan media
gel agarose. Gel agarose yang di gunakan dalam proses Elektroforesis dapat
memisahkan molekul DNA dalam berbagai Konsentrasi dan memiliki spektrum
pemilihan yang lebih besar, sedangkan ukuran molekul DNA WSSV yang di pisahkan
sebesar 941 base pair. Molekul DNA memiliki muatan listrik negatif akibatnya
bila molekul DNA di tempatkan pada medan listrik maka DNA akan bergerak kea rah
medan positif. Kecepatan migrasi molekul DNA tergantung pada ukuran DNA, makin
kecil ukuran DNA maka akan semakin cepat proses migrasinya (sunarto et.al,2003).
proses berikutnya adalah Visualisasi data dimana proses ini dilakukan pada alat
UV-Transiluminator dimana pembacaan hasil hanya dapat di lakukan di bawah
cahaya sinar UV, apabila pencahayaan masih kurang jelas dapat dilakukan
pewarnaan pada gel agarose dengan menggunkan senyawa Ethidium bromida yang
berfungsi sebagai penanda DNA, karena molekul DNA yang berikatan dengan
ethidium bromida akan berpendar bila di lihat dengan lampu ultraviolet (sunarto
et al,.2003)
5
BAB V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil Klinik Kompetensi Bidang yang dilakukan dapat di simpulkan bahwa :
1. Teknik
PCR untuk mengidentifikasi virus ada 3 tahap yaitu ekstraksi, amplifikasi atau
runnin g, elektroforesis dan
dokumentasi
2. Proses
identifikasi dapat di lakukan selama 2 hari
3. Hasil
uji sampel udang vanname menyatakan negatif WSSV
5.2
Saran
Diharapkan
dapat lebih menjaga keseterilan peralatan dan bahan bahan yang di gunakan, agar
tidak terjadi kontaminan terhadap sampel sampel yang akan di uji, sehingga
mendapatkan hasil yang valid. Harapan kedepanya tetap terjalin kerja sama yang
baik antar pihak SKIPM dan Fakultas Perikanan Universitas Abulyatama.
6
DAFTAR PUSTAKA
Amri
dan Iskandar, 2008. Budidaya udang vanname, PT gramedia pustaka utama, Jakarta
Amrillah,
2015, Attabik M. (2015) dkk. Dampak Stres Salinitas Terhadap Prevalensi White
Spot Syndrome Virus (WSSV) Dan Survival Rate Udang Vannamei (Litopenaeus
Vannamei) pada Kondisi Terkontrol. Journal Of Life Science. Volume 02, Nomor
01, h.110-111.
Arafani
et.al, 2016 Pelacakan Virus Bercak Putih pada Udang Vaname (Litopenaeus
vannamei) di Lombok dengan Real-Time Polymerase Chain Reaction. Jurnal
Veteriner, Volume 17, Nomor 1, h.92.
Ayu,
2013 Ayu, Akbaidar Gesty. 2013. Penerapan Manajemen Kesehatan Budidaya Udang
Vannamei (Litopenaeus Vannamei) Di Sentra Budidaya Udang Desa Sidodadi Dan Desa
Gebang Kabupaten Pesawaran. Skripsi. FakultasPertanian, Universitas Lampung, h.
9
Azizah
dan Kurniasih, 2005 Azizah, Amy A C. Kurniasih. (2005). Deteksi Infeksi White
Spot Syndrome Virus pada Udang Putih (Penaeus vannamei) Di Pulai Jawa dengan
Metode Polimerase Chain Reaction. Jurnal Perikanan. Vol. 7, No. 1. h.32.
BBL
Lampung.2011. Pengelolaan kesehatan ikan budidaya laut. Direktorat h
Destarlina,
2004 Destarlina, Oni M. (2004). Sreening Test White Spot Syndrome Virus pada
Udang Putih (Panaeus vannamei) Menggunakan Teknik Polimerase Chain Reaction di
Balai Karantina Ikan Soekrno-Hatta. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor
Effendie
(1997 Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama: Yogyakarta.
Haliman
dan Adijaya, 2006 Haliman RW, Adijaya DS. 2006 . Udang Vannamei. Panebar
Swadaya: Jakarta
Supriatna,
2004 Supriatna, dkk. (2014).Sekuen Asam Amino Anti White Spot Syndrome Virus
(WSSV) Pada Udang Windu (Penaeus Monodon). Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati Dan Fisik,
Vol. 16, No. 1, h.40 – 46.
Wang
et al., 1995; . purification and genemic analysis of baculo virus asisiate of
white spot syndrome virus (WSSV)of penaeus monodon. Diseases of aquatic
organism. 23:239:242
Yanto,
2006). Yanto, Hendry. (2006). Diagnosa dan Identifikasi Penyakit Udang Asal
Tambak Intensif Dan Panti Benih Di Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Sains
& Teknologi, Vol. 7, No. 1.
Yuniasari,
2009 Yuniasari, D. (2009). Pengaruh Pemberian Bakteri Nitrifikasi Dan
Denitrifikasi Serta Molase Dengan C/N Rasio Berbeda Terhadap Profil Kualitas
Air, Kelangsungan Hidup, Dan Pertumbuhan UdangVaname(Litopenaeus vannamei).
Skripsi.Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor.