MAKALAH ILMU
DASAR KEPERAWATAN II
BENIGN PROSTATIC
HYPERPLASIA (BPH)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat yang diberikan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyusun makalah dengan judul “Kesepakatan
Internasional Pengendalian Pemanasan Global Penyusunan
makalah ini atas dasar tugas Ilmu Dasar Keperawatan II.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada narasumber yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah ini.
Mohon maaf penulis sampaikan apabila terdapat kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, karena kami masih dalam taraf belajar.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat
sebagai referensi untuk menambah wawasan kepada pembaca. Penulis
sadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, maka dari
itu penulis mengharapkan saran dan kritik guna perbaikan di masa yang akan
datang. Terima kasih
Aceh
Besar, 26 April 2019
PENULIS
|
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1
A.
Latar Belakang ............................................................. 1
B.
Manfaat Penulisa........................................................... 3
C.
Tujuan
Penulisan........................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN................................................................... 4
A.
Definisi
Global Warming.............................................. 4
B.
Definisi
Global Warming.............................................. 5
BAB III PENUTUP
............................................................................ 12
A.
Kesimpulan ....................................................................... 12
B.
Saran ................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 13
BAB
I
PENDA HULUAN
1.1. Latar Belakang
Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya dinyatakan sebagai pembesaran
prostat jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit yang biasa terjadi. Ini di lihat
dari frekuensi terjadinya BPH di dunia, di Amerika secara umum dan di
Indonesia secara khususnya. Di dunia, diperkirakan bilangan penderita BPH
adalah seramai 30 juta, bilangan ini hanya pada kaum pria karena wanita
tidak mempunyai kalenjar prostat, maka oleh sebab itu, BPH terjadi hanya
pada kaum pria (emedicine,2009).
Jika
dilihat secara epidemiologinya, di dunia, dan kita jelaskan menurut usia,
maka dapat di lihat kadar insidensi BPH, pada usia 40-an,
kemungkinan seseorang itu menderita penyakit ini adalah sebesar 40%, dan
setelah meningkatnya usia, yakni dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun,
persentasenya meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk
mendapatkannya bisa sehingga 90% (A.K. Abbas, 2005). Akan tetapi, jika di
lihat secara histologi penyakit BPH, secara umum membabitkan 20% pria pada
usia 40-an, dan meningkat secara dramatis pada pria berusia 60-an, dan 90%
pada usia 70 . Di indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi
urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara
umumnya, diperkirakan hampir 50 persen pria Indonesia yang berusia di atas
50 tahun, dengan kini usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan
menderita penyakit PPJ atau BPH ini. Selanjutnya, 5 persen pria Indonesia
sudah masuk ke dalam lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika
dilihat, dari 200 juta lebihbilangan rakyat indonesia, maka dapat diperkirakan
100 juta adalah pria, dan yangberusia 60 tahun dan ke atas adalah kira-kira
seramai 5 juta, maka dapat secaraumumnya dinyatakan bahwa kira-kira 2.5 juta
pria Indonesia menderita penyakitBPH atau PPJ ini.
Indonesia kini
semakin hari semakin maju dan dengan berkembangnya sesebuah negara, maka usia
harapan hidup pasti bertambah dengan sarana yang makin maju dan selesa, maka
kadar penderita BPH secara pastinya turut meningkat (Furqan, 2003). Secara
pasti, bilangan penderita pembesaran prostat jinak belum di dapat, tetapi
secara prevalensi di RS, sebagai contoh jika kita lihat di Palembang, di RS
Cipto Mangunkusumo ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak yang dirawat
selama tiga tahun (1994-1997) dan di RS Sumber Waras sebanyak 617 kasus dalam
periode yang sama (Ponco Birowo, 2002). Ini dapat menunjukkan bahawa kasus BPH
adalah antara kasus yang paling mudah dan banyak ditemukan. Kanker prostat,
juga merupakan salah satu penyakit prostat yang lazim berlaku dan lebih ganas
berbanding BPH yang hanya melibatkan pembesaran jinak daripada prostat.
Kenyataan ini adalah berdasarkan bilangan dan presentase terjadinya kanker
prostat di dunia secara umum dan Indonesia secara khususnya.
Secara
umumnya, jika diperhatikan, di dunia, pada 2003, terdapat lebih kurang 220,900
kasus baru ditemukan, dimana, daripada jumlah ini, 29,000 daripadanya berada di
tahap membunuh (A.K. Abbas, 2005) . Seperti juga BPH, kanker prostat juga
menyerang pria berusia lebih dari 50 dan pada usia di bawah itu bukan merupakan
suatu yang abnormal. Secara khususnya di Indonesia, menurut (WHO,2008), untuk
tahun 2005, insidensi terjadinya kanker prostat adalah sebesar 12 orang setiap
100,000 orang, yakni yang keempat setelah kanker saluran napas atas, saluran
pencernaan dan hati . Setelah secara umum melihat dan mengetahui akan
epidemiologi dari kedua penyakit, yakni BPH dan kanker prostat, penulis
tertarik untuk mengetahui dengan lebih dalam lagi mengenai gambaran penyakit ini
terutama berdasarkan gambaran secara histopalogi memandangkan tiada penelitian
khusus yang setakat diketahui oleh penulis mengenainya dijalankan di
Medan.
1.2.Rumusan
Masalah
1.
Apa definisi Benign Prostatic Hyperplasia?
2.
Apa anatomi Benign
Prostatic Hyperplasia?
3. Apa
etiologi dari Benign Prostatic
Hyperplasia?
4. Bagaimana
patofisiologi dari Benign Prostatic
Hyperplasia?
5. Apa faktor resiko dari Benign Prostatic Hyperplasia
6. Apa
saja manifestasi klinis dari Benign Prostatic
Hyperplasia?
7.
Apa saja derajat Benign Prostatic Hyperplasia?
8.
Apa diagnosa Benign Prostatic Hyperplasia?
9.
Bagaimana
penatalaksanaan medis dari Benign Prostatic Hyperplasia?
10.
Apa saja
koplikasi dari Benign Prostatic Hyperplasia?
11.
Bagaimana
pencegahan Benign Prostatic Hyperplasia?
1.3.
Manfaat Penulisan
1.
Untuk mengetahui definisi Benign Prostatic Hyperplasia
2.
Untuk mengetahui
anatomi dari Benign Prostatic Hyperplasia
3.
Untuk mengetahui etiologi dari Benign Prostatic Hyperplasia
4.
Untuk mengetahui patofisiologi dari Benign Prostatic Hyperplasia
5. faktor resiko dari Benign Prostatic Hyperplasia
6. Untuk
mengetahui manifestasi klinis dari Benign
Prostatic Hyperplasia
7. Untuk
mengetahui derajat Benign Prostatic
Hyperplasia
8.
Untuk mengetahui diagnosa Benign Prostatic Hyperplasia
9.
Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan medis dari Benign
Prostatic Hyperplasia
10.
Untuk mengetahui apa saja komplikasi dari Benign Prostatic
Hyperplasia
11.
Untuk mengetahui cara mengurangi risiko
terjadinya Benign Prostatic
Hyperplasia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Definisi Benign Prostatic Hyperplasia
Gambar 1.
Perbedaan kelenjar prostat normal dengan BPH (sumber: sumar dkk, 2010)
BPH
adalah pembesaran adenomatous dari kelenjar prostat, lebih dari setengahnya dan
orang yang usianya diatas 50 tahun dan 75 % pria yang usianya 70 tahun
menderita pembesaran prostat (C. Long, 1996 :331).
Benigna Prostat hiperplasia adalah bertambah besarnya
ukuran prostat biasanya diiringi dengan bertambahnya
usia pada laki laki, membesarnya
prostat menyebabkan fungsi uretra
pars
prostatika menjadi terganggu, menimbulkan gangguan pada saluran keluar kandung kemih( Iskandar,
2009).
Benigna prostat hiperplasia adalah terjadinya pelebaran pada prostat yang menimbulkan penyempitan saluran kencing
dan tekanan di bawah kandung
kemih dan menyebabkan gejala seperti sering kencing
dan retensi urin (Aulawi,
2014).
Kesimpulan
BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium
uretra.
2.2. Anatomi Benign Prostatic Hyperplasia
Gambar 2. Anatomi kelenjar prostat (sumber: sumar
dkk, 2010)
2.3. Etiologi Benign Prostatic Hyperplasia
Hingga
sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya
BPH, namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan
peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat
perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40
tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya
sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90
tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011).
Etiologi
yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesis yang diduga menjadi
penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo
(2011) meliputi :
1.
Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dihydrostestosteron adalah pembesaran pada epitel dan stroma kelenjar prostat yang
disebabkan peningkatan 5 alfa reduktase
dan reseptor
andorogen.
2.
Teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan
testosteron)
Adanya ketidakseimbangan antara hormon testosteron
dan estrogen dimana terjadi peningkatan estrogen dan penurunan testosteron
sehingga mengakibatkan pembesaran pada prostat.
3.
Faktor interaksi stroma dan epitel-epitel
Interaksi antara stroma dan epitel. Peningkatan epidermal growth factor
atau fibroblast growth faktor dan penurunan transforming factor
beta
menyebabkan hiperplasia stroma
dan epitel.
4.
Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Peningkatan estrogen menyebabkan berkurangnya
kematian sel stroma
dan epitel dari
kelenjar prostat.
5.
Teori sel stem
Didalam
kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. apabila meningkatnya
aktivitas
sel stem sehingga terjadi
produksi berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel sehingga menyebabkan
proliferasi sel sel prostat.
2.4.
Patofisiologi Benign Prostatic Hyperplasia
Kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia seiring
dengan pertambahan usia, pada proses penuaan menimbulkan perubahan
keseimbangan antara
hormon testosteron dan estrogen keadaan ini dapat menyebabkan pembesaran prostat, jika terjadi pembesaran prostat maka
dapat meluas ke kandung
kemih, sehingga akan mempersempit saluran uretra prostatica dan akhirnya akan menyumbat aliran
urine.
Penyempitan pada aliran uretra dapat meningkatkan tekanan pada intravesikal. Munculnya tahanan pada uretra prostatika menyebabkan otot
detrusor dan kandung kemih akan bekerja lebih kuat saat memompa urine, penegangan yang terjadi secara terus
menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli buli
berupa : pembesaran pada otot detrusor, trabekulasi terbentuknya selula, sekula,
dan diventrivel kandung kemih.
Tekanan yang
terjadi terus menerus dapat menyebabkan aliran balik urine ke ureter dan bila terjadi terus menerus mengakibatkan hidroureterhidronefrosis, dan
kemunduran fungsi ginjal (Muttaqin
dan Sari, 2014).
Salah
satu upaya pengobatan
pada penderita benigna
prostat hiperplasi adalah pembedahan terbuka merupakan tindakan pembedahan pada perut
bagian bawah, kelenjar prostat dibuka dan mengangkat kelenjar prostat
yang mengalami pembesaran, untuk mencegah pembentukan pembekuan
darah dialirkan cairan via selang melalui kandung kemih, selang biasanya dibiarkan dalam
kandung
kemih
sekitar 5 hari
setelah
operasi
dan kemudian
dikeluarkan jika tidak
ada
pendarahan (Iskandar,
2009).
2.5. Faktor Resiko Benign Prostatic Hyperplasia
Dalam penelitian terakhir, pengaruh makanan terhadap pembesaran
prostat telah menjadi kontroversi. Menurut sebuah studi
yang menganalisis data dari kelompok plasebo dalam Prostate Cancer Prevention Trial (PCPT), yang terdaftar 18.880 pria berusia lebih dari 50
tahun, tingginya konsumsi daging merah dan diet tinggi lemak dapat meningkatkan risiko BPH,
dan
tingginya
konsumsi sayuran dikaitkan
dengan penurunan risiko BPH. Lycopene dan suplemen dengan vitamin D bisa
menurunkan risiko pembesaran prostat, tetapi vitamin C, vitamin E, dan selenium dilaporkan tidak ada hubungannya dengan BPH. Aktivitas
fisik
juga
terbukti mengurangi
kemungkinan pembesaran prostat dan Lower Urinary Tract
Symptom (LUTS). Dalam meta-analisis yang terdaftar 43.083 pasien laki-laki, intensitas
latihan
itu
terkait dengan pengurangan risiko
pembesaran prostat. Sebuah korelasi negatif antara asupan alkohol dan pembesaran prostat telah ditunjukkan dalam banyak studi penelitian (Yoo
& Cho, 2012).
Pria
yang mengkonsumsi alkohol
secara sedang memiliki risiko 30% lebih
kecil kemungkinan terjadi gejala BPH, 40% lebih
kecil kemungkinan
untuk
mengalami transurethral resection
prostate,
dan 20%
lebih kecil kemungkinan mengalami gejala nokturia. Namun, dalam meta-analisis
dari 19 studi
terakhir, menggabungkan 120.091
pasien, pria yang
mengkonsumsi 35 gram atau lebih alkohol per hari dapat menurunkan risiko BPH sebesar 35% tetapi peningkatan risiko LUTS
dibandingkan dengan pria yang
tidak mengkonsumsi alkohol (Yoo & Cho, 2012).
2.6. Manifestasi Klinis Benign Prostatic
Hyperplasia
Obstruksi
prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan diluar
saluran kemih. Tanda dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih
bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran
kemih.
1. Keluhan
pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi :
Ø Retensi
urin (urin tertahan di kandung kemih sehingga urin tidak bisa keluar),
Ø Hesitansi
(sulit memulai miksi),
Ø Pancaran
miksi lemah,
Ø Intermiten
(kencing terputus-putus),
Ø Miksi
tidak puas (menetes setelah miksi)
Ø Keluarnya urine bercampur darah.
b. Gejala iritasi meliputi :
Ø Frekuensi,
Ø Nokturia,
yang merupakan kebutuhan untuk buang
air kecil dua kali atau lebih per malam,
Ø Inkontinensia, atau keluar urin tak
disadari,
Ø Urgensi
(perasaaningin miksi yang sangat mendesak) dan
Ø Disuria
(nyeri pada saatmiksi).
2. Gejala
pada saluran kemih bagian atas
Keluhan
akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya gejala
obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda dari
hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis
3. Gejala
diluar saluran kemih
Pasien
datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak
pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar,kemerahan, dan
tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman
pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan
volume residual yang besar.
2.7. Derajat Benign Prostatic Hyperplasia
Derajat
berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
1) Stadium
I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu
mengeluarkanurine sampai habis.
2) Stadium
II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu
mengeluarkanurine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira
60-150cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
3) Stadium
III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4) Stadium
IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien
tampak kesakitan, urinemenetes secara periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth
(2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH
adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia,dorongan ingin berkemih,
anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urineyang turun dan harus mengejan saat
berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing(urine terus menerus setelah
berkemih), retensi urine akut. Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui
pemeriksaan di bawah ini :
1.
Rectal
Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
a.
Grade 0
: Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
b.
Grade 1
: Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
c.
Grade 2
: Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
d.
Grade 3
: Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
e.
Grade 4
: Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
2.
Clinical
Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari
setelah bangun tidur, disuruhkencing dahulu kemudian dipasang kateter.
a.
Normal :
Tidak ada sisa
b.
Grade I
: sisa 0-50 cc
c.
Grade II
: sisa 50-150 cc
d.
Grade
III : sisa > 150 cc
e. Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa
kencing.
2.8.
Diagnosa
Benign
Prostatic Hyperplasia
2.8.1.
Pemeriksaan Fisik
Rectal touche
atau colok dubur merupakan salah satu pemeriksaan fisik gastrointestinal dan
genitourinaria yang penting, tetapi jarang dilakukan oleh dokter karena rasa
tidak nyaman dan malu yang dirasakan oleh pasien. Perasaan ini tentu tidak
mengherankan karena pada pemeriksaan ini, dokter harus memasukkan jarinya ke
dalam anus pasien. Padahal di balik semua hal itu, pemeriksaan ini sangat
membantu dokter dalam menegakkan
diagnosis suatu penyakit. Oleh karena pemeriksaan ini sangat bersifat
“sensitif”, dokter perlu memahami prosedur colok dubur dan perasaan pasiennya
dengan tepat.
Langkah pertama yang
dilakukan dalam prosedur ini adalah mempersiapkan alat-alat terlebih dahulu.
Setelah itu, meminta pasien untuk membuka pakaian bagian bawah, kemudian
berbaring di ranjang periksa dalam posisi lateral kiri dan menekuk lututnya ke
depan dada. Kenakan sarung tangan, kemudian secara perlahan buka pantat pasien
sehingga lubang anus terlihat. Lakukan inspeksi dan laporkan keadaan kulit
disekitar anus serta ada tidaknya pendarahan, baik internal maupun eksternal
dari anus.
Setelah selesai melakukan inspeksi pada
bagian luar anus, mulai lakukan pemeriksaan pada bagian dalamnya. Berikan
lubrikan pada salah satu jari, lalu masukkan jari tersebut ke dalam anus secara
perlahan dan lembut searah jam 6, yaitu ke arah posterior. Lakukan penilaian
terhadap tonus sfinger anus dengan meminta pasien untuk mengeden. Selanjutnya,
putar jari sebesar 3600 sambil merasakan permukaan dinding anus
secara keseluruhan untuk melihat ada tidaknya kelainan, seperti massa. Bila
teraba massa, laporkan lokasi dan tekstur dari massa tersebut. Tanyakan pula
pada setiap lokasi perabaan, apakah pasien merasakan nyeri atau tidak.
Berikutnya, arahkan jari ke jam 12, yaitu ke
arah anterior untuk melakukan penilaian prostat apabila pasien berjenis kelamin
pria. Hal yang harus dinilai adalah ukuran, konsistensi, ada tidaknya nodul,
dan ada tidaknya nyeri pada saat dilakukan perabaan prostat. Bila pemeriksaan
sudah selesai, tarik keluar jari dari dalam anus secara perlahan dan amati
warna tinja, serta ada tidaknya darah atau lendir yang menempel pada sarung
tangan. Terakhir, bersihkan anus dengan tisu atau kain pengelap.
Prinsip yang perlu diingat oleh dokter dalam
melakukan colok dubur ini adalah lakukan informed consent kepada pasien sebelum
memulai prosedur. Informed
consent tersebut mencakup penjelasan mengenai colok dubur dan
prosedurnya, rasa tidak nyaman yang akan dirasakan pasien, serta kemungkinan
pasien untuk merasakan keinginan defekasi. Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah usia pasien.. Bila pasien masih anak-anak, gunakan jari kelingking.
Sementara, bila pasien adalah lansia, berikan waktu untuk pasien menemukan
posisi yang nyaman sebelum melakukan
prosedur colok dubur.
2.8.2. Pemeriksaan
Penunjang
1.
Pemeriksaan Laboratorium
a) Urine
Analisis urin dan mikroskopik urin
penting untuk melihat adanya sel leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan
infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan adanya etiologi lain
seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH
sendiri dapat menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan
kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status
metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific
antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai
deteksi dini keganasan.Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi.
Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen density
(PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat.Bila PSAD > 0,15,
sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10
ng/ml.
b)
Pemeriksaan
darah
Karena
perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua defek
pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya
menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung
dan pernafasan harus dikaji. Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit,
eritrosit, hitung jenis leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN,
kreatinin serum.
2. Pemeriksaan radiologis
a)
Foto polos abdomen,
untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh dengan urin
sebagai tanda adanya retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai
tanda metastasis dari keganasan prostat, serta osteoporosis akbibat kegagalan
ginjal.
b)
Pemeriksaan Pielografi Intravena (IVP), untuk mengetahui kemungkinan adanya kelainan pada
ginjal maupun ureter yang berupa hidroureter atau hidronefrosis. Dan
memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan adanya
indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter
dibagian distal yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish)/gambaran
ureter berbelok-belok di vesika, penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu
adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli-buli.
c)
Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa
masa ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli,
mengukur sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli, dan
mencari kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.
2.9. Penatalaksanaan Medis Dari Benign Prostatic
Hyperplasia
Menurut Sjamsuhidjat
(2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium
dari gambaran klinis.
1. Stadium I
Pada
stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan
terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan,
tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
2. Stadium II
Pada
stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan
reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra).
3. Stadium III
Pada
stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apa bila diperkirakan prostat
sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesaidalam 1 jam. Sebaiknya
dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans
vesika, retropubik dan perineal.
4. Stadium IV
Pada
stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin
total dengan memasang kateter atau sistotomi .Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive
dengan TUR atau pembedahan terbuka.Pada penderita yang keadaan umumnya tidak
memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan
memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah
dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut
Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan
dengan:
1.
Observasi
Kurangi minum setelah
makan malam, hindari obatdekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3
bulan kontrolkeluhan, sisa kencing dan colok dubur.
2.
Medikamentosa
a.
Penghambat
alfa (alpha blocker)
Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung
adrenoreseptor- α1, dan prostat memperlihatkan respon mengecil terhadap agonis.
Komponen yang berperan dalam mengecilnya prostat dan leher buli-buli secara
primer diperantarai oleh reseptor α1a. Penghambatan terhadap alfa telah
memperlihatkan hasil berupa perbaikan subjektif dan objektif terhadap gejala
dan tanda (sing and symptom ) BPH pada beberapa pasien. Penghambat alfa dapat
diklasifikasikan berdasarkan selektifitas reseptor dan waktu paruhnya.
b. Penghambat
5α-Reduktase (5α-Reductase inhibitors)
Finasteride
adalah penghambat 5α-Reduktase yangmenghambat perubahan testosteron menjadi
dihydra testosteron.Obat ini mempengaruhi komponen epitel prostat, yang
menghasilkan pengurangan ukuran kelenjar dan memperbaiki gejala. Dianjurkan
pemberian terapi ini selama 6 bulan, guna melihat efek maksimal terhadap ukuran
prostat (reduksi 20%) dan perbaikan gejala-gejala.
c. Terapi
Kombinasi
Terapi
kombinasi antara penghambat alfa dan penghambat 5α-Reduktase memperlihatkan
bahwa penurunan symptom score dan peningkatan aliran urin hanya ditemukan pada
pasien yang mendapatkan hanya Terazosin. Penelitian terapi kombinasi tambahan
sedang berlangsung
d. Terapi
Bedah
Indikasinya
adalah bila retensi urin berulang, hematuria,penurunan fungsi ginjal, infeksi
saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter,
hidronefrosis, jenis pembedahan:
1) TURP
(Trans Uretral Resection Prostatectomy), yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
2) Prostatektomi
Suprapubis, yaitu
pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.
3) Prostatektomi
retropubis, yaitu
pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui
fosa prostat anterior tanpamemasuki kandung kemih.
4) Prostatektomi
Peritonea, yaitu
pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuahinsisi diantara skrotum dan
rektum.
5) Prostatektomi
retropubis radikal, yaitu
pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula,vesikula seminalis dan jaringan
yang berdekatan melaluisebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra
dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.
e. Terapi
Invasif Minimal
1) Trans
Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT), yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yangdisalurkan ke
kelenjar prostat melalui antena yang dipasangmelalui/pada ujung kateter.
2) Trans
Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
3) Trans
Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
2.10. Komplikasi
·
Perdarahan
·
Pembentukan
bekuan
·
Obstruksi
katete
·
Disfungsi
seksual tergantung dari jenis pembedahan
·
Stasis
urin
·
Infeksi
saluran kencing (ISK)
·
Batu
ginjal
·
Dinding
kandung kemih trabeculation
·
Otot
detrusor hipertrofi
·
Kandung
kemih divertikula dan saccules
·
Stenosis
uretra
·
Hidronefrosis
·
Paradoks
(overflow) inkontinensia
·
Gagal
ginjal akut atau gagal ginjal kronis
·
Akut
postobstructive dieresis
2.11. Pencegahan
Risiko pembesaran prostat jinak (BPH)
dapat dicegah melalui konsumsi makanan yang kaya akan serat dan protein, serta
rendah lemak. Berikut ini contoh-contoh makanan dengan kadar serat tinggi:
1. Kacang
hijau
2. Beras
merah
3. Gandum
4. Brokoli
5. Lobak
6. Bayam
7. Apel
Berikut ini contoh-contoh makanan dengan kadar protein tinggi:
1. Ikan
2. Telur
3. Kacang
kedelai
4. Susu
rendah lemak
5. Dada
ayam
6. Keju
BAB II
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya dinyatakan sebagai pembesaran
prostat jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit yang biasa terjadi. Ini di lihat
dari frekuensi terjadinya BPH di dunia, di Amerika secara umum dan di
Indonesia secara khususnya. Di dunia, diperkirakan bilangan penderita BPH
adalah seramai 30 juta, bilangan ini hanya pada kaum pria karena wanita
tidak mempunyai kalenjar prostat, maka oleh sebab itu, BPH terjadi hanya
pada kaum pria (emedicine,2009).
BPH
adalah pembesaran adenomatous dari kelenjar prostat, lebih dari setengahnya dan
orang yang usianya diatas 50 tahun dan 75 % pria yang usianya 70 tahun
menderita pembesaran prostat (C. Long, 1996 :331).
Benigna Prostat hiperplasia adalah bertambah besarnya
ukuran prostat biasanya diiringi dengan bertambahnya
usia pada laki laki, membesarnya
prostat menyebabkan fungsi uretra
pars
prostatika menjadi terganggu, menimbulkan gangguan pada saluran keluar kandung kemih( Iskandar,
2009).
Kesimpulan
BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium
uretra.
3.2. Saran
Risiko
pembesaran prostat jinak (BPH) dapat dicegah melalui konsumsi makanan yang kaya
akan serat dan protein, serta rendah lemak.
DAFTAR PUSTAKA
Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi
4. Jakarta: ECG.
Aulawi, K. (2014).
Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta:
Rapha Publishing.
Muttaqin, A
& Sari, K. (2014). Asuhan Keperawatan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Purnomo, B..
(2008). Dasar-Dasar Urologi. Jakarta:
Sagung Seto.
Sujianti, T.
(2010). Jurnal Ilmiah Kesehatan
Keperawatan : Hubungan Frekuensi
Seksual Terhadap Kejadian BPH di Rumah
Sakit Umum Daerah Kabupaten
Kebumen. 6 : 42-47.
Nanda. (2012). Panduan Diagnosa Keperawatan (Terjemahan).
Jakarta: EGC.
Nursalam.
(2006). Asuhan Keperawatan Pada
Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.
Iskandar, Y.
(2009). Pustaka Kesehatan Populer Saluran
Pencernaan. Jakarta: PT Bhuana Ilmu
Populer.
No comments:
Post a Comment