Saturday, 9 May 2020

Makalah PENKES PADA LANSIA


BAB I
PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya orang lain. Pada dasarnya manusia hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya karena manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk bersosialisasi. Manusia akan berinteraksi dengan masyarakat lainnya, tidak hanya dalam satu wilayah melainkan dengan wilayah yang lain. Masyarakat di suatu daerah akan berinteraksi dengan masyarakat di daerah lain, masyarakat di suatu Negara akan berinteraksi dengan masyarakat di Negara lain sesuai dengan kebutuhannya.

Disamping itu manusia juga merupakan makhluk individu yang mempunyai privasi, hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki manusia merupakan hak yang diberikan oleh Tuhan sejak di dalam kandungan. Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan bermasyarakat1.

Hak yang dimiliki setiap manusia adalah sama. Hak asasi ini dimiliki setiap manusia tanpa melihat perbedaan apapun baik agama, suku bangsa, ras, jenis kelamin, warna kulit dan bentuk fisik. Hak-hak ini tidak dapat dicabut oleh siapapun, dan mempunyai tujuan untuk menjamin martabat setiap manusia. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda, tidak semua individu terlahir dengan sempurna, beberapa diantaranya mengalami keterbatasan dan ketidaksempurnaan (cacat), baik fisik ataupun mental. Dengan kondisi yang seperti itu kaum penyandang cacat sering mengalami masalah diskriminasi dalam hidup bermasyarakat, baik dalam lingkup negara maupun internasional.

Kaum penyandang cacat adalah manusia dengan kemampuan yang berbeda dengan ketidaksempurnaan fisik. Dalam masyarakat internasional disebut sebagai Difable (Different ability people). Ada banyak sekali kaum difabel diseluruh dunia. Menurut data WHO, dari total penduduk dunia, 15% diantaranya adalah kaum difabel. Mungkin sangat sedikit jika diprosentasekan namun jika dikonfersi jumlah difabel tersebut mencapai satu miliar orang2. Kaum difabel butuh untuk berinteraksi dengan manusia lainnya. Sama dengan manusia yang tidak mengalami ketidaksempurnaan fisik, kaum difabel juga membutukan orang lain bahkan mereka membutuhkan perhatian yang lebih. Namun tidak sedikit masyarakat yang mengabaikan kaum difabel, mereka lupa bahwa kaum difabel sama dengan manusia normal lainnya yang juga mempunyai hak yang sama sebagai manusia.

Pada tahun 2006 United Nation dibawah UNICEF dan WHO menyelenggarakan CRPD ( Convention on The Rigths of Person with Disabilities) yang merupakan konvensi Internasional Hak- Hak penyandang cacat yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada sidang ke-61 dengan tujuan untuk melindungi dan memenuhi hak- hak dasar kaum difabel. Konvensi ini di Indonesia di ratifikasi pada tanggal 30 November 2011 yang selanjutnya diadopsi menjadi UU No.19 Tahun 20113.

  1. Tujuan
Untuk mengetahui pengertian dari Disabilitas dan lainnya

BAB II
PEMBAHSASNNNN


  1. Penyandang Disabilitas
Istilah disabilitas secara terus menerus berkembang, baik itu pandangan maupun pendekatan pengembangannya. Terminologi yang digunakan juga berbeda pada tiap Negara dan wilayah. Ekspresi yang tidak sesuai atau bahkan menghina harus di hindari, meskipun jika hal tersebut masih digunakan pada instansi pemerintah.
Disabilitas diartikan sebagai hasil dari interaksi antara orang dengan malfungsi organ tubuh, sikap, dan batasan lingkungan yang menghalangi mereka untuk secara penuh dan efektif berpartisipasi dalam masyarakat setara dengan orang lain. Malfungsi organ tubuh atau impairment adalah masalah pada fungsi atau struktur tubuh yang secara signifikan terganggu atau bahkan hilang, misalnya fungsi tubuh, fungsi mental, fungsi sensor dan rasa sakit, fungsi suara dan kemampuan berbicara, fungsi kardiovaskular, amputasi, ataupun penyakit-penyakit lainnya (Schranz, dkk, 2009). Kemudian yang disebut dengan penyandang disabilitas adalah mereka yang dalam jangka panjang mengalami disabilitas. Penyandang disabilitas selalu berinteraksi dengan pandangan dan sikap serta batasan-batasan lingkungan yang antaranya lingkungan alam, etika dan norma, kepercayaan, kebiasaan, kebijakan, hukum, sumberdaya keuangan, dogma, dan lain-lain.
Disabilitas fisik, mental, atau fisik/mental memiliki gangguan tertentu sebagai akibat dari terdapat bagian, peralatan, sistem syaraf, struktur tulang, sendi, dan otot, serta metabolisme tubuh yang tidak/kurang mampu difungsikan sebagaimana mestinya. Penyebabnya dapat karena faktor internal seperti penyakit, genetik/keturunan ataupun faktor eksternal seperti kecelakaan, bencana alam, dan kelalaian manuasia. Di Indonesia, terdapat dua jenis pendefinisian disabilitas yaitu secara medis dan hukum (JICA, 2002). Secara hukum, disabilitas didefinisikan seperti pada UURI Penyandang Cacat yang membagi disabilitas menjadi tiga yaitu disabilitas fisik, mental, dan gabungan fisik-mental. Secara hukum, gangguan mental adalah mereka yang secara intelektual terganggu dan mengalami gangguan tingkah laku baik itu bawaan maupun disebabkan oleh suatu penyakit. Secara hukum juga dijelaskan bahwa orang dengan disabilitas mental disebabkan faktor intrinsik dan ekstrinsik yang menghalangi pertumbuhan secara normal dan baik, hal ini kemudian menyebabkan ketidakmampuan intelektual, kurangnya kemauan, akal, penyesuaian sosial, dan kesulitan lainnya.
Secara medis (JICA, 2002), disabilitas dikelompokkan menurut jenis kekurangan yang dialami yaitu fisik, visual, pendengaran, intelektual, kejiawaan, dan gabungan. Disabilitas fisik yaitu mereka yang menderita ke kekurangan motorik dari bagian tubuh termasuk tulang, otot, dan gabungan dari struktur dan fungsi sehingga mereka tidak dapat melakukan aktivitas secara normal. Disabilitas visual yaitu mereka yang secara visual tidak dapat menghitung objek dari jarak satu meter. Menurut WHO, disabilitas visual adalah orang yang tidak menghitung jari dari jarak tiga meter atau lebih. Disabilitas pendengaran yaitu orang yang mengalami gangguan pendengaran dan fungsi bicara sehingga ia tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Disabilitas intelektual yaitu orang yang menderita penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan mental yang terjadi pada masa kehamilan ataupun saat masih anak-anak dimana gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis, organis, ataupun fungsional. Disabilitas kejiwaan  adalah orang yang menderita gangguan kejiwaan dikarenakan faktor biologis, organis atau fungsional yang menyebabkan perubahan pola pikir, suasana hari, ataupun tindakan. Sedangkan disabilitas gabungan adalah orang yang menderita gangguan fisik, mental, atau penyimpangan emosi sehingga membutuhkan perawatan yang intensif dan menyeluruh.
Walaupun penyandang disabilitas didefinisikan sebagai orang yang memiliki kekurangan dan keterbatasan, penyandang disabilitas juga memiliki keinginan dan kebutuhan yang sama dengan orang tanpa disabilitas. Mereka memiliki kapasitas, kemampuan, dan ide-ide yang dapat mendukung pembangunan dan kesejahteraan sosial. Konsorsium Nasional Untuk Hak Difabel Indonesia melakukan analisis terhadap kebijakan nasional yang berkaitan dengan penyandang disabilitas dan realitas hidup sehari-hari para penyandang disabilitas. Analisa ini dilakukan berdasarkan pasal-pasal dalam Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD) untuk menemukan permasalahan yang masih ada, dengan harapan dapat memberikan pemahaman bahwa masih ada kesenjangan antara Konvensi yang telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia pada tanggal 10 November 2011 ke dalam Undang-undang nomor 19 tahun 2011 dengan upaya pemajuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia.
Analisis masalah dan rekomendasi dikelompokkan ke dalam delapan ranah penting dalam hidup sehari-hari penyandang disabilitas yang termaktub dalam CRPD, yaitu mobilitas; bencana alam (situasi darurat); rehabilitasi, habilitasi, jaminan sosial; informasi dan komunikasi; pendidikan; kesehatan; ketenagakerjaan; dan olahraga, budaya, rekreasi dan hiburan. Ranah-ranah tersebut telah diatur dalam peraturan perundangan dan kebijakan di Indonesia namun masih belum menyeluruh, tidak konsisten, bahkan belum memiliki perspektif hak penyandang disabilitas. Dalam penanggulangan bencana, Indonesia dinilai belum melibatkan secara penuh penyandang disabilitas dalam perencanaan dan pelatihan khususnya disaster risk management and disability risk reduction program.

  1. Penanggulangan Bencana berbasis Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas sangat rentan saat terjadi bencana. Kerentanan sosio-ekonomi dan fisik membuat mereka lebih rawan terhadap bencana. Namun disayangkan, penyandang disabilitas cenderung diabaikan dalam sistem kesiapsiagaan dan registrasi keadaan darurat. Penyandang disabilitas seringkali tidak diikutsertakan dalam usaha-usaha kesiapsiagaan dan tanggap darurat. Hal ini menyebabkan mereka kekurangan kesadaran dan pemahaman terhadap bencana serta bagaimana mengatasinya. Dikarenakan keterbatasan kemampuan fisik; bantuan mobilitas atau pendampingan yang tepat, penyandang disabilitas seringkali sangat kekurangan pertolongan dan pelayanan evakuasi; akses kemudahan, lokasi pengungsian yang baik, air dan sanitasi serta pelayanan lainnya. Kondisi emosional dan trauma akibat bencana selama situasi krisis terkadang berakibat fatal dan jangka panjang bagi penyandang disabilitas. Kesalahan interpretasi atas situasi dan gangguan komunikasi membuat penyandang disabilitas lebih rentan pada saat situasi bencana.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pencantuman kebutuhan dan aspirasi penyandang disabilitas disemua tahap manajemen bencana, khususnya perencanaan dan kesiapsiagaan, secara signifikan dapat mengurangi kerentanan mereka dan meningkatkan efektivitas usaha tanggap darurat dan recovery yang dilakukan pemerintah (United Nations, 2012). Pelibatan penyandang disabilitas dalam perencanaan dalam rangka menanggulangi bencana menjadi penting karena mereka lebih tahu kebutuhan mereka sendiri. Penyandang disabilitas, walaupun merupakan kelompok rentan, berhak dan pantas untuk berada di lini depan usaha pengurangan risiko bencana melalui pendekatan inklusif dan menyeluruh untuk mengurangi kerentanan bencana.
Perlu diperhatikan, bahwa bencana alam memunculkan kelompok penyandang disabilitas, yaitu korban luka dan/atau malfungsi organ tubuh yang akan mengalami disabilitas apabila tidak ditangani dengan baik; penyandang disabilitas sebelum bencana; dan orang dengan malfungsi organ tubuh sebelum bencana yang akan mengalami disabilitas bila akses dan sarana prasarana kesehatan mereka rusak akibat bencana. Kelompok tersebut mengalami persoalan yang hampir sama dalam situasi bencana, saat fasilitas dan penanganan yang diperoleh tidak tepat dengan kebutuhan mereka sehingga penderitaan dan kerentanan yang dialami menjadi berlipat jika dibanding korban bencana lain.
Penghargaan hak-hak asasi manusia penyandang disabilitas haruslah tercermin dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam usaha manajemen penanggulangan bencana (Njelesani dkk, 2012) . Hal tersebut dalam dilakukan melalui:
1.         Membuat kesepakatan dengan penyandang disabilitas, secara teratur meninjau ulang komitmen tersebut
2.         Melibatkan penyandang disabilitas pada posisi kepemimpinan dan proses perumusan kebijakan
3.         Melatih staf dan pegawai dalam menghadapi dan menangani penyandang disabilitas
4.         Membangun sebanyak mungkin desain bangunan dengan prinsip-prinsip yang universal, misalnya jalan yang landai di fasilitas umum seperti terminal, bandara, stasiun, dan jalan umum lainnya.
Dalam menangani kerentanan fisik, banyak cara mudah dan murah dapat dilakukan. Pertama dengan mengindentifikasi penyandangnya, jenis disabilitasnya, dan bagaimana hal tersebut dapat meningkatkan risiko bencana. Langkah selanjutnya adalah dengan meningkatkan kesadaran penyandang disabilitas terhadap risiko yang mereka hadapi dan cara menghadapinya, meningkatkan keamanan rumah dan tempat kerja, menindahkan mereka ke tempat yang aman saat terjadi bencana, dan memenuhi kebutuhan khusus mereka setelah keadaan darurat. Dalam menghadapi bencana, metode yang digunakan terutama dalam mengkomunikasikan risiko dan sistem peringatan dini adalah berbeda pada tiap jenis disabilitas. Kekhususan dan kompleksitas yang dimiliki tiap jenis disabilitas membuat penanganan dan kebutuhan mereka spesifik pula. Tabel 1 menunjukan sistem peringatan yang disesuaikan dengan jenis disabilitas yang umum.
Dari Tabel 1 diketahui bahwa harus disediakan format auditori dan visual dalam sistem peringatan dini untuk mencakup semua kalangan dan semua jenis disabilitas yang ada. Pemberitahuan secara door to door juga diperlukan untuk mengidentifikasi kerentanan dan kapasitas masyarakat termasuk penyandang disabilitas secara sekaligus (melalui pendekatan VCA). Sistem peringatan dini penyandang disabilitas secara inklusif diperlukan dalam tahap persiapan oleh penyandang disabilitas itu sendiri.


  1. Pengurangan Risiko Bencana Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

PRB Inklusif merupakan PRB yang dirancang secara khusus untuk meningkatkan partisipasi dan melindungi hak kelompok rentan bencana. Kelompok rentan bencana tersebut adalah penyandang disabilitas, lansia, ibu hamil, perempuan, dan anak-anak, hal tersebut diungkapkan oleh, Andriani (2014, h.1). Latar belakang adanya PRB inklusif bagi penyandang disabilitas dikarenakan penyandang disabilitas yang menerima dampak bencana tidak sesuai dengan kapasitasnya. Kepentingannya sering diabaikan dan tidak terpenuhinya hak asasi manusia.

Permasalahan penyandang disabilitas dalam mengakses manajemen bencana antara lain: (1) Kurang adanya program persipan bencana yang sensitif bagi penyandang disabilitas; (2) Kurangnya aksesabilitas informasi dan materi ajar/belajar terkait dengan PRB. Informasi yang tersedia kurang dapat diakses oleh penyandang disabilitas dengan kriteria tertentu seperti, tuna netra, gangguan intelektual, dan tuna rungu; (3) dalam tindakan penyelamatan ketika terjadi bencana, lingkungan terdekat penyandang


disabilitas kurang cepat dan tepat dalam membantu evakuasi; dan (4) Kurangnya pendataan yang spesifik mengenai identitas dan kondisi penyandang disabilitas hal tersebut diungkapkan dalam Konsorsium Nasional untuk Hak Difabel (2012, h.23-27).

Menurut Andriani (2014, h.7-11) kegiatan dalam PRB Inklusif bagi penyandang disabilitas antara lain:

a.         Situasi Sebelum Bencana

Kegiatan yang seharusnya dilaksanakan pada situasi sebelum bencana antara lain: (1)

Koordinasi dan diskusi dengan komuitas/organiasi penyandang disabilitas terkait risiko bencana dan membuat persiapan apabila teradi bencana; (2) Membuat pemetaan kebutuhan panyandang disabilitas ada saat bencana alam; dan (3) Melatih penyandang disabilitas dan kerabat terdekat tentang kegiatan PRB.

b.  Situasi Saat Bencana

Kegiatan yang dilakukan pada situasi saat bencana antara lain: (1) Melakukan evakuasi bagi penyandang disabilitas untuk menjauh dari lokasi bencana; (2) Mengevakuasi penyandang disabilitas yang ditinggal oleh keluarganya saat terjadi bencana; (3) Menampung di pengungsian;

(4)        Membawa korban ke rumah sakit; (5) Melakukan pendataan dan penilaian; (6) Memberikan konseling; dan (7) Memberikan terapi.

c.         Early Recovery

Early recovery dalam PRB inklusif bagi penyandang disabilitas antara lain: (1) Melibatkan diri secara aktif dalam posko pemberian layanan dalam bencana dan (2) Pemberian pelatihan penyelamatan diri bagi penyandang disabilitas.

d.  Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Kegiatan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi antara lain: (1) Melaksanakan penilaian kebutuhan untuk rehabilitasi dan rekonsiliasi dalam bidang ekonomi dan sarana prasarana; (2) Konseling bagi penyandang disabilitas untuk meminimalisir trauma; (3) Asistensi activity daily living serta sosialisasi kepada masyarakat; dan (4) Asistensi pemberdayaan ekonomi.

3.         Pemikiran Ulang Tentang Disabilitas Entah dari mana istilah penyandang

disabilitas pertama kali muncul, yang jelas kemunculan istilah ini kemudian seolah-olah membawa kesepakatan bahwa penyandang disabilitas dianggap sebagai kelompok yang rentan, lemah dan tidak berdaya. Pandangan inilah yang kemudian banyak disepakati oleh masyarakat. Istilah ini ternyata memiliki peranan yang sangat penting dalam mengonstruksi





pemahaman, pernyataan tersebut diungkapkan oleh, Syafi’ie (2014, h.3). Konstruksi ini kemudian membawa persepsi dan perilaku yang berbeda-beda. Istilah yang sering digunakan antara lain, penyandang cacat, penyandang disabilitas, dan difabel. Dalam realitanya penyandang disabilitas adalah sama dengan non disabilitas apabila diberikan fasilitas yang adil.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat membangi tipe disabilitas menjadi tiga kelompok (a) disabilitas fisik; (b) disabilitas mental; dan (c) disabilitas fisik dan mental. Disabilitas disebabkan karena terjadi gangguan tertentu pada bagian peralatan, saraf, struktur tulang sendi, otot serta metabolisme tubuh yang tidak memiliki fungsi sebagai mestinya. Terdapat beberapa penyebab

terjadinya disabilitas. Disabilitas bisa dikarenakan faktor keturunan penyakit ataupun kecelakaan, kelalaian manusia dan bencana alam.

  1.  Perlindungan  terhadap  kelompok  rentan  (  wanita,  anak,  minoritas,

Kenyataan menunjukkan bahwa di Indonesia banyak sekali peraturan atau perundang- undangan yang mengatur kelompok rentan, tetapi dalam pelaksanaanya sebagian undang- undang tersebut masih sangat lemah, sehingga adanya undang- undang tersebut tidak banyak memberikan manfaat bagi masyarakat dan kelompok rentan itu sendiri. Selain itu dalam undang- undang yang mengatur kelompok rentan tersebut masih belum mampu mengakomodasi berbagai hal yang menjadi kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Untuk itu diperlukan tindakan berupa penegakan hukum guna melindungi hak- hak dan kepentingan- kepentingan mereka.

Selama ini kebijakan pemerintah hanya sebatas pada pemenuhan dan perlindungan Hak Sipil Politik dan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, namun penegakan hukum untuk perlindungan dan pemenuhan hak-hak terhadap kelompok rentan, perempuan ,anak, penyandang cacat dan kelompok minoritas masih belum diprioritaskan. Mengenai perlindungan terhadap kelompok rentan, berbagai upaya untuk memenuhi hak kelompok rentan telah dilakukan, namun dalam pelaksanaanya masih banyak kendala seperti kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah, belum adanya sosialisasi yang baik, dan kemiskinan yang masih dialami masyarakat.

Salah satu masalah social yang dihadapi bangsa ini menurut Ir. Iskandar Hosein antara lain adalah masalah penyandang cacat. Sama seperti masyarakat yang lain, penyandang cacat juga mempunyai hak yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, mereka mempunyai hak untuk dilindungi oleh hukum, mendapatkan pekerjaan untuk kelangsungan hidupnya, pelayanan kesehatan, hak dalam berpolitik dsb. Namun dalam kenyataanya masyarakat masih mengabaikan hal tersebut. Masyarakat masih kurang memperhatikan penyandang cacat bahkan sering kali menganggapnya sebagai beban.

Dalam hal pekerjaan penyandang cacat masih didiskriminasi, banyaknya lapangan pekerjaan yang belum bisa menerima pekerja yang menyandang kecacatan. Hal ini menjadi masalah tersendiri bagi penyandang cacat. Penyandang cacat diharapkan mampu mengembangkan dan meningkatkan kemampuan fisik, mental dan social sehingga bisa bekerja sesuai dengan tingkat kemampuan, pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki. Karena bagaimanapun penyandang cacat juga berhak mendapatkan pekerjaan untuk kelangsungan hidupnya. Dalam pasal 31 PP no.43 tahun 1998 tentang “upaya peningkatan kesejahteraan penyandang cacat” mewajibkan bahwa setiap pengusaha yang memiliki jumlah karyawan 200 orang atau lebih pada perusahaannya wajib mempekerjakan minimal satu orang penyandang cacat utnuk memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan, atau kurang dari 100 orang jika perusahaan tersebut menggunakan teknologi tinggi. Dan bagi pengusaha yang tidak mematuhi aturan tersebut akan dikenai sanksi pidana karena peraturan tersebut memiliki daya paksa.

Dengan upaya pemberdayaan penyandang cacat melalui kuota tenaga kerja tersebut bisa efektif untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang cacat di Indonesia. Kendala lain yang dihadapi oleh penyandang cacat di Indonesia yaitu masih minimnya perhatian pemerintah pusat maupun daerah terhadap ketersediaan fasilitas umum yang bersahabat dengan penyandang cacat.

Kesimpulan dari makalah tersebut adalah, Melihat berbagai perangkat peraturan perundang-undangan diatas sebenarnya sudah cukup memadai untuk menyelesaikan persoalan. Pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap anak, kelompok perempuan rentan, penyandang cacat dan kelompok minoritas belum sepenuhnya tertangani dengan baik. Hal ini disebabkan anatara lain penegakan hukum dan implementasi atas perangkat hukum yang masih ada belum maksimal disamping sosialisasi terhadap perangkat perundangan tersebut belum dilakukan ke seluruh lapisan masyarakat. Kemudian, Kelemahan penegakan hukum dapat disebabkan karena peraturan perundang- undangan kurang responsif dan aspiratif terhadap kebutuhan perlindungan dan pemenuhan HAM. Hal ini merupakan akibat kurangnya penelitian yang seksama sebelum disusun suatu rancangan peraturan perundang-undangan.

Dalam makalah yang disampaikan Ir. Iskandar Hoesin mengutamakan perlindungan terhadap kelompok rentan yang di dalamnya termasuk penyandang cacat dalam perspektif HAM. Perlindungan disini menurut hukum yang berlaku dan kurangnya kesadaran dari masyarakat sehingga menimbulkan adanya kelemahan hukum yang menjamin kelompok-kelompok rentan. Sedangkan penelitian yang akan diajukan oleh penulis lebih terfokus pada pengaruh CRPD (Convention on The Right Person with Disabilities) terhadap pemenuhan hak- hak dasar kaum difabel di Indonesia, dimana CRPD merupakan konvesi hak- hak penyandang cacat. Dan Indonesia merupakan salah satu Negara yang ikut menandatangani naskah CRPD dan ikut meratifikasi naskah konvensi tersebut.





  1. Disabilitas - Diffable (Different Ability People)

Definisi disabilitas telah menjadi issu dari banyak perdebatan di Eropa dan bahkan di seluruh dunia. Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia sekalipun, secara internasional tidak ada definisi universal mengenai disabilitas. Menurut hasil studi mengenai definisi disability, terdapat variasi perbedaan definisi mengenai disabilitas antara negara-negara di dunia. Hal ini disebabkan oleh kategori yang beragam dan skup definisi yang luas pada permasalahan penyandang cacat atau kaum disabilitas atau juga disebut kaum difable dan lain sebagainya. Namun dari keragaman tersebut dapat penulis definisikan bahwa disabilitas adalah:

“Ketidakmampuan untuk terlibat dalam setiap kegiatan yang secara substansial menguntungkan baik karena alasan medis yang ditentukan baik secara fisik, mental, maupun penurunan nilai atau tingkat harapan hidup yang dapat menghasilkan kematian atau menurunnya tingkat harapan hidup”.10

Dalam pengertian lain yang hampir sama, disabilitas adalah seseorang dengan keterbatasan atau kurangnya kemampuan untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam rentang dianggap normal bagi manusia, yang diperlakukan sebagai penyandang cacat. Hal tidak termasuk sakit atau cedera yang sementara mengurangi kemampuan untuk melihat, mendengar, berbicara atau bergerak.




perilaku. Sebutan yang digunakan untuk menyebut para kaum disabilitas ini dalam masyarakat internasional disebut sebagai Diffable (Different ability people).

Terminologi diffable dianggap lebih sesuai untuk menggambarkan perbedaan kemampuan fisik kaum penyandang cacat.12 Cara pandang masyarakat yang cenderung mendiskriminasikan penyandang cacat sebagaimana tersebut di atas, berimplikasi besar terhadap kesulitan mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak untuk keberlangsungan hidup mereka.

Cacat sangat tergantung pada konteks dan memilki konsekuensi dari diskriminasi, prasangka dan dijauhkan dari sesuatu yang dianggap normal (segregasi). Penekanannya adalah bagamana individu penyandang cacat terbatas dalam lingkungan dan dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan dalam masyarakat, misalnya informasi, komunikasi dan pendidikan, yang mencegah para penyandang cacat memilki akses untuk berpartisipasi dalam lingkungannya.

Di Indonesia istilah-istilah tersebut di atas dapat diwakili dengan istilah ”anak cacat” sedangkan dalam dunia pendidikan lebih dikenal dengan istilah ”anak luar biasa” untuk menunjuk individu yang memiliki kelainan pada fisik, emosi, sosial, dan intelektual yang memerlukan layanan pendidikan secara khusus. Individu yang memerlukan layanan pendidikan khusus dapat dikategorikan sebagai berikut:

1.         Kelainan indera (yaitu tunanetra dan tunarungu)







2.         Kelainan kecerdasan (yaitu tunagrahita dan gifted)

3.         Kelainan komunikasi (gangguan bahasa dan bicara)

4.         Berkesulitan belajar (Learning disabiliy)

5.         Gangguan tingkah laku (behavior disorder)

6.         Cacat fisik dan gangguan kesehatan

BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Kaum penyandang cacat adalah manusia dengan kemampuan yang berbeda dengan ketidaksempurnaan fisik. Dalam masyarakat internasional disebut sebagai Difable (Different ability people). Ada banyak sekali kaum difabel diseluruh dunia. Menurut data WHO, dari total penduduk dunia, 15% diantaranya adalah kaum difabel. Mungkin sangat sedikit jika diprosentasekan namun jika dikonfersi jumlah difabel tersebut mencapai satu miliar orang2. Kaum difabel butuh untuk berinteraksi dengan manusia lainnya.
Istilah disabilitas secara terus menerus berkembang, baik itu pandangan maupun pendekatan pengembangannya. Terminologi yang digunakan juga berbeda pada tiap Negara dan wilayah. Ekspresi yang tidak sesuai atau bahkan menghina harus di hindari, meskipun jika hal tersebut masih digunakan pada instansi pemerintah.
Disabilitas diartikan sebagai hasil dari interaksi antara orang dengan malfungsi organ tubuh, sikap, dan batasan lingkungan yang menghalangi mereka untuk secara penuh dan efektif berpartisipasi dalam masyarakat setara dengan orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Agenda, 2011. Disabilitas di Negara-negara Asia Tenggara. (http://www2.agendaasia.org/index.php/id/informasi/disabilitas-di-negara-negara-asean/103-disabilitas-di-negara-negara-asia-tenggara, diakses November 19, 2012).
Bahrul, Fuad, 2010. Difabel dan Bencana Alam. (http://cakfu.info/2010/08/difabel-sebuah-simbol-perlawanan-idiologis/, diakses November 12, 2012).
Handicap International. (2005). How To Include Disability Issues in Disaster Management. Dhaka: Handicap International Bangladesh.Handicap International-Philippines Program. A Basis Guide To Disability and Disaster Risk Reduction. Makati City: Handicap International.
Japan International Cooperation Agency, 2002. Country Profile on Disability: Republc of Indonesia. Tokyo: Planning&Evacuation Department Japan JICA
Kementerian Sosial RI, 2010. dari Seminar Menyambut Hari Penyandang Cacat Internasional 2010: (http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=1097, diakses November 12, 2012).
Kementerian Kesehatan RI, 2002. Pedoman Pemeriksaan dan Kemampuan Fungsional Penyandang Cacat. Dalam JICA, Country Profile on Disability: Republic of Indonesia (hal. 8). Tokyo: Planning&Evacuation Department of JICA.
Muhammadun, A.S., 2011. Difabel dan Konstruksi Ketidakadilan Sosial. (budisansblog.blogspot.com/2011/12/difabel-dan-konstruksi-ketidakadilan.html, diakses November 12, 2012)

No comments:

Post a Comment