BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup
sendiri tanpa adanya orang lain. Pada dasarnya manusia hidup bermasyarakat dan
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya karena manusia akan selalu membutuhkan
orang lain untuk bersosialisasi. Manusia akan berinteraksi dengan masyarakat
lainnya, tidak hanya dalam satu wilayah melainkan dengan wilayah yang lain.
Masyarakat di suatu daerah akan berinteraksi dengan masyarakat di daerah lain,
masyarakat di suatu Negara akan berinteraksi dengan masyarakat di Negara lain
sesuai dengan kebutuhannya.
Disamping itu manusia juga merupakan makhluk individu
yang mempunyai privasi, hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki manusia merupakan
hak yang diberikan oleh Tuhan sejak di dalam kandungan. Hak asasi manusia
adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan
dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan bermasyarakat1.
Hak yang dimiliki setiap manusia adalah sama. Hak
asasi ini dimiliki setiap manusia tanpa melihat perbedaan apapun baik agama,
suku bangsa, ras, jenis kelamin, warna kulit dan bentuk fisik. Hak-hak ini
tidak dapat dicabut oleh siapapun, dan mempunyai tujuan untuk menjamin martabat
setiap manusia. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda, tidak semua individu
terlahir dengan sempurna, beberapa diantaranya mengalami keterbatasan dan
ketidaksempurnaan (cacat), baik fisik ataupun mental. Dengan kondisi yang
seperti itu kaum penyandang cacat sering mengalami masalah diskriminasi dalam
hidup bermasyarakat, baik dalam lingkup negara maupun internasional.
Kaum penyandang cacat adalah manusia dengan kemampuan
yang berbeda dengan ketidaksempurnaan fisik. Dalam masyarakat internasional
disebut sebagai Difable (Different ability people). Ada banyak sekali kaum
difabel diseluruh dunia. Menurut data WHO, dari total penduduk dunia, 15%
diantaranya adalah kaum difabel. Mungkin sangat sedikit jika diprosentasekan
namun jika dikonfersi jumlah difabel tersebut mencapai satu miliar orang2. Kaum
difabel butuh untuk berinteraksi dengan manusia lainnya. Sama dengan manusia
yang tidak mengalami ketidaksempurnaan fisik, kaum difabel juga membutukan
orang lain bahkan mereka membutuhkan perhatian yang lebih. Namun tidak sedikit
masyarakat yang mengabaikan kaum difabel, mereka lupa bahwa kaum difabel sama
dengan manusia normal lainnya yang juga mempunyai hak yang sama sebagai
manusia.
Pada tahun 2006 United Nation dibawah UNICEF dan WHO
menyelenggarakan CRPD ( Convention on The Rigths of Person with Disabilities)
yang merupakan konvensi Internasional Hak- Hak penyandang cacat yang disahkan
oleh Majelis Umum PBB pada sidang ke-61 dengan tujuan untuk melindungi dan
memenuhi hak- hak dasar kaum difabel. Konvensi ini di Indonesia di ratifikasi
pada tanggal 30 November 2011 yang selanjutnya diadopsi menjadi UU No.19 Tahun
20113.
B. Tujuan
Untuk
mengetahui pengertian dari Disabilitas dan lainnya
BAB II
PEMBAHSAN
A. Penyandang Disabilitas
Istilah disabilitas secara terus menerus berkembang,
baik itu pandangan maupun pendekatan pengembangannya. Terminologi yang
digunakan juga berbeda pada tiap Negara dan wilayah. Ekspresi yang tidak sesuai
atau bahkan menghina harus di hindari, meskipun jika hal tersebut masih
digunakan pada instansi pemerintah.
Disabilitas diartikan sebagai hasil dari interaksi
antara orang dengan malfungsi organ tubuh, sikap, dan batasan lingkungan yang
menghalangi mereka untuk secara penuh dan efektif berpartisipasi dalam
masyarakat setara dengan orang lain. Malfungsi organ tubuh atau impairment
adalah masalah pada fungsi atau struktur tubuh yang secara signifikan terganggu
atau bahkan hilang, misalnya fungsi tubuh, fungsi mental, fungsi sensor dan
rasa sakit, fungsi suara dan kemampuan berbicara, fungsi kardiovaskular,
amputasi, ataupun penyakit-penyakit lainnya (Schranz, dkk, 2009). Kemudian yang
disebut dengan penyandang disabilitas adalah mereka yang dalam jangka panjang
mengalami disabilitas. Penyandang disabilitas selalu berinteraksi dengan
pandangan dan sikap serta batasan-batasan lingkungan yang antaranya lingkungan
alam, etika dan norma, kepercayaan, kebiasaan, kebijakan, hukum, sumberdaya
keuangan, dogma, dan lain-lain.
Disabilitas fisik, mental, atau fisik/mental memiliki
gangguan tertentu sebagai akibat dari terdapat bagian, peralatan, sistem
syaraf, struktur tulang, sendi, dan otot, serta metabolisme tubuh yang
tidak/kurang mampu difungsikan sebagaimana mestinya. Penyebabnya dapat karena
faktor internal seperti penyakit, genetik/keturunan ataupun faktor eksternal
seperti kecelakaan, bencana alam, dan kelalaian manuasia. Di Indonesia,
terdapat dua jenis pendefinisian disabilitas yaitu secara medis dan hukum
(JICA, 2002). Secara hukum, disabilitas didefinisikan seperti pada UURI
Penyandang Cacat yang membagi disabilitas menjadi tiga yaitu disabilitas fisik,
mental, dan gabungan fisik-mental. Secara hukum, gangguan mental adalah mereka
yang secara intelektual terganggu dan mengalami gangguan tingkah laku baik itu
bawaan maupun disebabkan oleh suatu penyakit. Secara hukum juga dijelaskan
bahwa orang dengan disabilitas mental disebabkan faktor intrinsik dan
ekstrinsik yang menghalangi pertumbuhan secara normal dan baik, hal ini
kemudian menyebabkan ketidakmampuan intelektual, kurangnya kemauan, akal,
penyesuaian sosial, dan kesulitan lainnya.
Secara medis (JICA, 2002), disabilitas dikelompokkan
menurut jenis kekurangan yang dialami yaitu fisik, visual, pendengaran,
intelektual, kejiawaan, dan gabungan. Disabilitas fisik yaitu mereka yang
menderita ke kekurangan motorik dari bagian tubuh termasuk tulang, otot, dan gabungan
dari struktur dan fungsi sehingga mereka tidak dapat melakukan aktivitas secara
normal. Disabilitas visual yaitu mereka yang secara visual tidak dapat
menghitung objek dari jarak satu meter. Menurut WHO, disabilitas visual adalah
orang yang tidak menghitung jari dari jarak tiga meter atau lebih. Disabilitas
pendengaran yaitu orang yang mengalami gangguan pendengaran dan fungsi bicara
sehingga ia tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Disabilitas intelektual
yaitu orang yang menderita penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan mental
yang terjadi pada masa kehamilan ataupun saat masih anak-anak dimana gangguan
tersebut disebabkan oleh faktor biologis, organis, ataupun fungsional.
Disabilitas kejiwaan adalah orang yang
menderita gangguan kejiwaan dikarenakan faktor biologis, organis atau
fungsional yang menyebabkan perubahan pola pikir, suasana hari, ataupun
tindakan. Sedangkan disabilitas gabungan adalah orang yang menderita gangguan
fisik, mental, atau penyimpangan emosi sehingga membutuhkan perawatan yang
intensif dan menyeluruh.
Walaupun penyandang disabilitas didefinisikan sebagai
orang yang memiliki kekurangan dan keterbatasan, penyandang disabilitas juga
memiliki keinginan dan kebutuhan yang sama dengan orang tanpa disabilitas.
Mereka memiliki kapasitas, kemampuan, dan ide-ide yang dapat mendukung
pembangunan dan kesejahteraan sosial. Konsorsium Nasional Untuk Hak Difabel
Indonesia melakukan analisis terhadap kebijakan nasional yang berkaitan dengan
penyandang disabilitas dan realitas hidup sehari-hari para penyandang
disabilitas. Analisa ini dilakukan berdasarkan pasal-pasal dalam Konvensi
Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with
Disabilities/CRPD) untuk menemukan permasalahan yang masih ada, dengan harapan
dapat memberikan pemahaman bahwa masih ada kesenjangan antara Konvensi yang
telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia pada tanggal 10 November 2011
ke dalam Undang-undang nomor 19 tahun 2011 dengan upaya pemajuan, penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia.
Analisis masalah dan rekomendasi dikelompokkan ke
dalam delapan ranah penting dalam hidup sehari-hari penyandang disabilitas yang
termaktub dalam CRPD, yaitu mobilitas; bencana alam (situasi darurat);
rehabilitasi, habilitasi, jaminan sosial; informasi dan komunikasi; pendidikan;
kesehatan; ketenagakerjaan; dan olahraga, budaya, rekreasi dan hiburan.
Ranah-ranah tersebut telah diatur dalam peraturan perundangan dan kebijakan di
Indonesia namun masih belum menyeluruh, tidak konsisten, bahkan belum memiliki
perspektif hak penyandang disabilitas. Dalam penanggulangan bencana, Indonesia
dinilai belum melibatkan secara penuh penyandang disabilitas dalam perencanaan
dan pelatihan khususnya disaster risk management and disability risk reduction
program.
B. Penanggulangan Bencana berbasis Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas sangat rentan saat terjadi
bencana. Kerentanan sosio-ekonomi dan fisik membuat mereka lebih rawan terhadap
bencana. Namun disayangkan, penyandang disabilitas cenderung diabaikan dalam
sistem kesiapsiagaan dan registrasi keadaan darurat. Penyandang disabilitas
seringkali tidak diikutsertakan dalam usaha-usaha kesiapsiagaan dan tanggap
darurat. Hal ini menyebabkan mereka kekurangan kesadaran dan pemahaman terhadap
bencana serta bagaimana mengatasinya. Dikarenakan keterbatasan kemampuan fisik;
bantuan mobilitas atau pendampingan yang tepat, penyandang disabilitas
seringkali sangat kekurangan pertolongan dan pelayanan evakuasi; akses
kemudahan, lokasi pengungsian yang baik, air dan sanitasi serta pelayanan
lainnya. Kondisi emosional dan trauma akibat bencana selama situasi krisis
terkadang berakibat fatal dan jangka panjang bagi penyandang disabilitas.
Kesalahan interpretasi atas situasi dan gangguan komunikasi membuat penyandang
disabilitas lebih rentan pada saat situasi bencana.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pencantuman
kebutuhan dan aspirasi penyandang disabilitas disemua tahap manajemen bencana,
khususnya perencanaan dan kesiapsiagaan, secara signifikan dapat mengurangi
kerentanan mereka dan meningkatkan efektivitas usaha tanggap darurat dan
recovery yang dilakukan pemerintah (United Nations, 2012). Pelibatan penyandang
disabilitas dalam perencanaan dalam rangka menanggulangi bencana menjadi
penting karena mereka lebih tahu kebutuhan mereka sendiri. Penyandang
disabilitas, walaupun merupakan kelompok rentan, berhak dan pantas untuk berada
di lini depan usaha pengurangan risiko bencana melalui pendekatan inklusif dan
menyeluruh untuk mengurangi kerentanan bencana.
Perlu diperhatikan, bahwa bencana alam memunculkan
kelompok penyandang disabilitas, yaitu korban luka dan/atau malfungsi organ
tubuh yang akan mengalami disabilitas apabila tidak ditangani dengan baik;
penyandang disabilitas sebelum bencana; dan orang dengan malfungsi organ tubuh
sebelum bencana yang akan mengalami disabilitas bila akses dan sarana prasarana
kesehatan mereka rusak akibat bencana. Kelompok tersebut mengalami persoalan
yang hampir sama dalam situasi bencana, saat fasilitas dan penanganan yang
diperoleh tidak tepat dengan kebutuhan mereka sehingga penderitaan dan
kerentanan yang dialami menjadi berlipat jika dibanding korban bencana lain.
Penghargaan hak-hak asasi manusia penyandang
disabilitas haruslah tercermin dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam
usaha manajemen penanggulangan bencana (Njelesani dkk, 2012) . Hal tersebut
dalam dilakukan melalui:
- Membuat
kesepakatan dengan penyandang disabilitas, secara teratur meninjau ulang
komitmen tersebut
- Melibatkan
penyandang disabilitas pada posisi kepemimpinan dan proses perumusan
kebijakan
- Melatih
staf dan pegawai dalam menghadapi dan menangani penyandang disabilitas
- Membangun
sebanyak mungkin desain bangunan dengan prinsip-prinsip yang universal,
misalnya jalan yang landai di fasilitas umum seperti terminal, bandara,
stasiun, dan jalan umum lainnya.
Dalam menangani kerentanan fisik, banyak cara mudah
dan murah dapat dilakukan. Pertama dengan mengindentifikasi penyandangnya,
jenis disabilitasnya, dan bagaimana hal tersebut dapat meningkatkan risiko
bencana. Langkah selanjutnya adalah dengan meningkatkan kesadaran penyandang
disabilitas terhadap risiko yang mereka hadapi dan cara menghadapinya,
meningkatkan keamanan rumah dan tempat kerja, menindahkan mereka ke tempat yang
aman saat terjadi bencana, dan memenuhi kebutuhan khusus mereka setelah keadaan
darurat. Dalam menghadapi bencana, metode yang digunakan terutama dalam
mengkomunikasikan risiko dan sistem peringatan dini adalah berbeda pada tiap
jenis disabilitas. Kekhususan dan kompleksitas yang dimiliki tiap jenis
disabilitas membuat penanganan dan kebutuhan mereka spesifik pula. Tabel 1
menunjukan sistem peringatan yang disesuaikan dengan jenis disabilitas yang
umum.
Dari Tabel 1 diketahui bahwa harus disediakan format auditori
dan visual dalam sistem peringatan dini untuk mencakup semua kalangan dan semua
jenis disabilitas yang ada. Pemberitahuan secara door to door juga diperlukan
untuk mengidentifikasi kerentanan dan kapasitas masyarakat termasuk penyandang
disabilitas secara sekaligus (melalui pendekatan VCA). Sistem peringatan dini
penyandang disabilitas secara inklusif diperlukan dalam tahap persiapan oleh
penyandang disabilitas itu sendiri.
C. Pengurangan Risiko Bencana Inklusif bagi Penyandang
Disabilitas
PRB Inklusif merupakan PRB yang dirancang secara
khusus untuk meningkatkan partisipasi dan melindungi hak kelompok rentan
bencana. Kelompok rentan bencana tersebut adalah penyandang disabilitas,
lansia, ibu hamil, perempuan, dan anak-anak, hal tersebut diungkapkan oleh,
Andriani (2014, h.1). Latar belakang adanya PRB inklusif bagi penyandang
disabilitas dikarenakan penyandang disabilitas yang menerima dampak bencana
tidak sesuai dengan kapasitasnya. Kepentingannya sering diabaikan dan tidak
terpenuhinya hak asasi manusia.
Permasalahan penyandang disabilitas dalam mengakses
manajemen bencana antara lain: (1) Kurang adanya program persipan bencana yang
sensitif bagi penyandang disabilitas; (2) Kurangnya aksesabilitas informasi dan
materi ajar/belajar terkait dengan PRB. Informasi yang tersedia kurang dapat
diakses oleh penyandang disabilitas dengan kriteria tertentu seperti, tuna
netra, gangguan intelektual, dan tuna rungu; (3) dalam tindakan penyelamatan
ketika terjadi bencana, lingkungan terdekat penyandang
disabilitas kurang cepat dan tepat dalam membantu
evakuasi; dan (4) Kurangnya pendataan yang spesifik mengenai identitas dan
kondisi penyandang disabilitas hal tersebut diungkapkan dalam Konsorsium
Nasional untuk Hak Difabel (2012, h.23-27).
Menurut Andriani (2014, h.7-11) kegiatan dalam PRB
Inklusif bagi penyandang disabilitas antara lain:
- Situasi
Sebelum Bencana
Kegiatan yang seharusnya dilaksanakan pada situasi sebelum
bencana antara lain: (1)
Koordinasi dan diskusi dengan komuitas/organiasi penyandang
disabilitas terkait risiko bencana dan membuat persiapan apabila teradi
bencana; (2) Membuat pemetaan kebutuhan panyandang disabilitas ada saat bencana
alam; dan (3) Melatih penyandang disabilitas dan kerabat terdekat tentang
kegiatan PRB.
- Situasi
Saat Bencana
Kegiatan yang dilakukan pada situasi saat bencana antara
lain: (1) Melakukan evakuasi bagi penyandang disabilitas untuk menjauh dari
lokasi bencana; (2) Mengevakuasi penyandang disabilitas yang ditinggal oleh
keluarganya saat terjadi bencana; (3) Menampung di pengungsian;
(4)
Membawa korban ke rumah sakit; (5) Melakukan pendataan dan penilaian; (6)
Memberikan konseling; dan (7) Memberikan terapi.
- Early
Recovery
Early
recovery dalam PRB inklusif bagi penyandang disabilitas antara lain: (1)
Melibatkan diri secara aktif dalam posko pemberian layanan dalam bencana dan
(2) Pemberian pelatihan penyelamatan diri bagi penyandang disabilitas.
- Rehabilitasi
dan Rekonstruksi
Kegiatan
dalam rehabilitasi dan rekonstruksi antara lain: (1) Melaksanakan penilaian
kebutuhan untuk rehabilitasi dan rekonsiliasi dalam bidang ekonomi dan sarana
prasarana; (2) Konseling bagi penyandang disabilitas untuk meminimalisir
trauma; (3) Asistensi activity daily living serta sosialisasi kepada
masyarakat; dan (4) Asistensi pemberdayaan ekonomi.
1.
Pemikiran Ulang Tentang Disabilitas Entah dari mana
istilah
penyandang disabilitas pertama kali muncul, yang jelas
kemunculan istilah ini kemudian seolah-olah membawa kesepakatan bahwa
penyandang disabilitas dianggap sebagai kelompok yang rentan, lemah dan tidak
berdaya. Pandangan inilah yang kemudian banyak disepakati oleh masyarakat.
Istilah ini ternyata memiliki peranan yang sangat penting dalam mengonstruksi
pemahaman, pernyataan tersebut diungkapkan oleh, Syafi’ie
(2014, h.3). Konstruksi ini kemudian membawa persepsi dan perilaku yang
berbeda-beda. Istilah yang sering digunakan antara lain, penyandang cacat,
penyandang disabilitas, dan difabel. Dalam realitanya penyandang disabilitas
adalah sama dengan non disabilitas apabila diberikan fasilitas yang adil.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
membangi tipe disabilitas menjadi tiga kelompok (a) disabilitas fisik; (b)
disabilitas mental; dan (c) disabilitas fisik dan mental. Disabilitas
disebabkan karena terjadi gangguan tertentu pada bagian peralatan, saraf,
struktur tulang sendi, otot serta metabolisme tubuh yang tidak memiliki fungsi
sebagai mestinya. Terdapat beberapa penyebab
terjadinya disabilitas. Disabilitas bisa dikarenakan faktor
keturunan penyakit ataupun kecelakaan, kelalaian manusia dan bencana alam.
D. Perlindungan
terhadap kelompok rentan
( wanita, anak,
minoritas,
Kenyataan menunjukkan bahwa di Indonesia banyak sekali
peraturan atau perundang- undangan yang mengatur kelompok rentan, tetapi dalam pelaksanaanya
sebagian undang- undang tersebut masih sangat lemah, sehingga adanya undang-
undang tersebut tidak banyak memberikan manfaat bagi masyarakat dan kelompok
rentan itu sendiri. Selain itu dalam undang- undang yang mengatur kelompok
rentan tersebut masih belum mampu mengakomodasi berbagai hal yang menjadi
kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Untuk itu diperlukan tindakan
berupa penegakan hukum guna melindungi hak- hak dan kepentingan- kepentingan
mereka.
Selama ini kebijakan pemerintah hanya sebatas pada
pemenuhan dan perlindungan Hak Sipil Politik dan Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya, namun penegakan hukum untuk perlindungan dan pemenuhan hak-hak terhadap
kelompok rentan, perempuan ,anak, penyandang cacat dan kelompok minoritas masih
belum diprioritaskan. Mengenai perlindungan terhadap kelompok rentan, berbagai
upaya untuk memenuhi hak kelompok rentan telah dilakukan, namun dalam
pelaksanaanya masih banyak kendala seperti kurangnya koordinasi antar instansi
pemerintah, belum adanya sosialisasi yang baik, dan kemiskinan yang masih
dialami masyarakat.
Salah satu masalah social yang dihadapi bangsa ini
menurut Ir. Iskandar Hosein antara lain adalah masalah penyandang cacat. Sama
seperti masyarakat yang lain, penyandang cacat juga mempunyai hak yang sama
dalam berbagai aspek kehidupan, mereka mempunyai hak untuk dilindungi oleh
hukum, mendapatkan pekerjaan untuk kelangsungan hidupnya, pelayanan kesehatan,
hak dalam berpolitik dsb. Namun dalam kenyataanya masyarakat masih mengabaikan hal
tersebut. Masyarakat masih kurang memperhatikan penyandang cacat bahkan sering
kali menganggapnya sebagai beban.
Dalam hal pekerjaan penyandang cacat masih
didiskriminasi, banyaknya lapangan pekerjaan yang belum bisa menerima pekerja
yang menyandang kecacatan. Hal ini menjadi masalah tersendiri bagi penyandang
cacat. Penyandang cacat diharapkan mampu mengembangkan dan meningkatkan
kemampuan fisik, mental dan social sehingga bisa bekerja sesuai dengan tingkat
kemampuan, pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki. Karena bagaimanapun penyandang
cacat juga berhak mendapatkan pekerjaan untuk kelangsungan hidupnya. Dalam
pasal 31 PP no.43 tahun 1998 tentang “upaya peningkatan kesejahteraan
penyandang cacat” mewajibkan bahwa setiap pengusaha yang memiliki jumlah
karyawan 200 orang atau lebih pada perusahaannya wajib mempekerjakan minimal
satu orang penyandang cacat utnuk memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi
pekerjaan, atau kurang dari 100 orang jika perusahaan tersebut menggunakan
teknologi tinggi. Dan bagi pengusaha yang tidak mematuhi aturan tersebut akan
dikenai sanksi pidana karena peraturan tersebut memiliki daya paksa.
Dengan upaya pemberdayaan penyandang cacat melalui
kuota tenaga kerja tersebut bisa efektif untuk meningkatkan kesejahteraan
penyandang cacat di Indonesia. Kendala lain yang dihadapi oleh penyandang cacat
di Indonesia yaitu masih minimnya perhatian pemerintah pusat maupun daerah
terhadap ketersediaan fasilitas umum yang bersahabat dengan penyandang cacat.
Kesimpulan dari makalah tersebut adalah, Melihat
berbagai perangkat peraturan perundang-undangan diatas sebenarnya sudah cukup
memadai untuk menyelesaikan persoalan. Pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap
anak, kelompok perempuan rentan, penyandang cacat dan kelompok minoritas belum
sepenuhnya tertangani dengan baik. Hal ini disebabkan anatara lain penegakan
hukum dan implementasi atas perangkat hukum yang masih ada belum maksimal
disamping sosialisasi terhadap perangkat perundangan tersebut belum dilakukan
ke seluruh lapisan masyarakat. Kemudian, Kelemahan penegakan hukum dapat
disebabkan karena peraturan perundang- undangan kurang responsif dan aspiratif
terhadap kebutuhan perlindungan dan pemenuhan HAM. Hal ini merupakan akibat
kurangnya penelitian yang seksama sebelum disusun suatu rancangan peraturan
perundang-undangan.
Dalam makalah yang disampaikan Ir. Iskandar Hoesin
mengutamakan perlindungan terhadap kelompok rentan yang di dalamnya termasuk
penyandang cacat dalam perspektif HAM. Perlindungan disini menurut hukum yang
berlaku dan kurangnya kesadaran dari masyarakat sehingga menimbulkan adanya
kelemahan hukum yang menjamin kelompok-kelompok rentan. Sedangkan penelitian
yang akan diajukan oleh penulis lebih terfokus pada pengaruh CRPD (Convention
on The Right Person with Disabilities) terhadap pemenuhan hak- hak dasar kaum
difabel di Indonesia, dimana CRPD merupakan konvesi hak- hak penyandang cacat.
Dan Indonesia merupakan salah satu Negara yang ikut menandatangani naskah CRPD
dan ikut meratifikasi naskah konvensi tersebut.
E. Disabilitas - Diffable (Different Ability People)
Definisi disabilitas telah menjadi issu dari banyak
perdebatan di Eropa dan bahkan di seluruh dunia. Bahkan Organisasi Kesehatan
Dunia sekalipun, secara internasional tidak ada definisi universal mengenai
disabilitas. Menurut hasil studi mengenai definisi disability, terdapat variasi
perbedaan definisi mengenai disabilitas antara negara-negara di dunia. Hal ini
disebabkan oleh kategori yang beragam dan skup definisi yang luas pada
permasalahan penyandang cacat atau kaum disabilitas atau juga disebut kaum
difable dan lain sebagainya. Namun dari keragaman tersebut dapat penulis
definisikan bahwa disabilitas adalah:
“Ketidakmampuan untuk terlibat dalam setiap kegiatan
yang secara substansial menguntungkan baik karena alasan medis yang ditentukan
baik secara fisik, mental, maupun penurunan nilai atau tingkat harapan hidup
yang dapat menghasilkan kematian atau menurunnya tingkat harapan hidup”.10
Dalam pengertian lain yang hampir sama, disabilitas
adalah seseorang dengan keterbatasan atau kurangnya kemampuan untuk melakukan
suatu kegiatan dengan cara atau dalam rentang dianggap normal bagi manusia,
yang diperlakukan sebagai penyandang cacat. Hal tidak termasuk sakit atau
cedera yang sementara mengurangi kemampuan untuk melihat, mendengar, berbicara
atau bergerak.
perilaku. Sebutan yang digunakan untuk menyebut para
kaum disabilitas ini dalam masyarakat internasional disebut sebagai Diffable
(Different ability people).
Terminologi diffable dianggap lebih sesuai untuk
menggambarkan perbedaan kemampuan fisik kaum penyandang cacat.12 Cara pandang
masyarakat yang cenderung mendiskriminasikan penyandang cacat sebagaimana
tersebut di atas, berimplikasi besar terhadap kesulitan mereka untuk memperoleh
pekerjaan yang layak untuk keberlangsungan hidup mereka.
Cacat sangat tergantung pada konteks dan memilki
konsekuensi dari diskriminasi, prasangka dan dijauhkan dari sesuatu yang
dianggap normal (segregasi). Penekanannya adalah bagamana individu penyandang
cacat terbatas dalam lingkungan dan dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan
dalam masyarakat, misalnya informasi, komunikasi dan pendidikan, yang mencegah
para penyandang cacat memilki akses untuk berpartisipasi dalam lingkungannya.
Di Indonesia istilah-istilah tersebut di atas dapat
diwakili dengan istilah ”anak cacat” sedangkan dalam dunia pendidikan lebih
dikenal dengan istilah ”anak luar biasa” untuk menunjuk individu yang memiliki
kelainan pada fisik, emosi, sosial, dan intelektual yang memerlukan layanan
pendidikan secara khusus. Individu yang memerlukan layanan pendidikan khusus
dapat dikategorikan sebagai berikut:
- Kelainan
indera (yaitu tunanetra dan tunarungu)
- Kelainan
kecerdasan (yaitu tunagrahita dan gifted)
- Kelainan
komunikasi (gangguan bahasa dan bicara)
- Berkesulitan
belajar (Learning disabiliy)
- Gangguan
tingkah laku (behavior disorder)
- Cacat
fisik dan gangguan kesehatan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaum penyandang cacat adalah
manusia dengan kemampuan yang berbeda dengan ketidaksempurnaan fisik. Dalam
masyarakat internasional disebut sebagai Difable (Different ability people).
Ada banyak sekali kaum difabel diseluruh dunia. Menurut data WHO, dari total
penduduk dunia, 15% diantaranya adalah kaum difabel. Mungkin sangat sedikit
jika diprosentasekan namun jika dikonfersi jumlah difabel tersebut mencapai satu
miliar orang2. Kaum difabel butuh untuk berinteraksi dengan manusia lainnya.
Istilah disabilitas secara terus
menerus berkembang, baik itu pandangan maupun pendekatan pengembangannya.
Terminologi yang digunakan juga berbeda pada tiap Negara dan wilayah. Ekspresi
yang tidak sesuai atau bahkan menghina harus di hindari, meskipun jika hal
tersebut masih digunakan pada instansi pemerintah.
Disabilitas diartikan sebagai hasil
dari interaksi antara orang dengan malfungsi organ tubuh, sikap, dan batasan
lingkungan yang menghalangi mereka untuk secara penuh dan efektif
berpartisipasi dalam masyarakat setara dengan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Agenda, 2011. Disabilitas di Negara-negara Asia
Tenggara. (http://www2.agendaasia.org/index.php/id/informasi/disabilitas-di-negara-negara-asean/103-disabilitas-di-negara-negara-asia-tenggara,
diakses November 19, 2012).
Bahrul, Fuad, 2010. Difabel dan Bencana Alam.
(http://cakfu.info/2010/08/difabel-sebuah-simbol-perlawanan-idiologis/, diakses
November 12, 2012).
Handicap International. (2005). How To Include
Disability Issues in Disaster Management. Dhaka: Handicap International
Bangladesh.Handicap International-Philippines Program. A Basis Guide To
Disability and Disaster Risk Reduction. Makati City: Handicap International.
Japan International Cooperation Agency, 2002. Country
Profile on Disability: Republc of Indonesia. Tokyo: Planning&Evacuation
Department Japan JICA
Kementerian Sosial RI, 2010. dari Seminar Menyambut
Hari Penyandang Cacat Internasional 2010: (http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=1097,
diakses November 12, 2012).
Kementerian Kesehatan RI, 2002. Pedoman Pemeriksaan
dan Kemampuan Fungsional Penyandang Cacat. Dalam JICA, Country Profile on
Disability: Republic of Indonesia (hal. 8). Tokyo: Planning&Evacuation
Department of JICA.
Muhammadun, A.S., 2011. Difabel dan Konstruksi
Ketidakadilan Sosial.
(budisansblog.blogspot.com/2011/12/difabel-dan-konstruksi-ketidakadilan.html,
diakses November 12, 2012)
No comments:
Post a Comment