Monday, 11 May 2020

MAKALAH KESEPAKATAN INTERNASIONAL PENGENDALIAN PEMANASAN GLOBAL



KESEPAKATAN INTERNASIONAL PENGENDALIAN PEMANASAN GLOBAL



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kehidupan dalam masyarakat internasional senantiasa bertumpu pada suatu tatanan norma. Pada kodratnya masyarakat internasional itu saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan hubungan ini satu sama lain diperlukan suatu kondisi, yaitu keadaan yang tertib dan aman, untuk berlangsungnya keadaan yang tertib dan aman ini diperlukan suatu tatanan norma. Dalam sejarah tatanan norma tersebut telah berproses dan berkembang menjadi apa yang dikenal dengan Hukum Internasional Publik. Kemudian “The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC atau FCCC)” atau disebut juga Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim yang merupakan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup. UNFCCC didirikan dengan tujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer pada tingkatan pencegahan perubahan, yang ditujukan untuk melawan pemanasan global. UNFCCC adalah perjanjian lingkungan hidup internasional dengan tujuan mencapai “stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang akan mencegah gangguan antropogenik yang berbahaya dengan sistem iklim.”
Pemanasan global atau global warming merupakan kejadian meningkatnyatemperatur atmosfer, laut, dan daratan bumi. Pada saat ini telah meningkat dari 15OC menjadi 15.6OC. Hasil yang lebih akurat oleh stasiun meteorologi dan juga data pengukuran satelit sejak tahun 1957, menunjukkan bahwa sepuluh tahun terhangat terjadi setelah tahun 1980. Secara kualitatif nilai perubahan temperature rata-rata bumi ini kecil tetapi dampaknya sangat luar biasa terhadap lingkungan.
Bumi yang lebih hangat dapat menyebabkan terjadinya perubahan siklus hujan, kenaikan permukaan air, dan beragam dampak terhadap tanaman, kehidupan, dan manusia. Ketika para ahli ilmu pengetahuan berbicara mengenai permasalahan perubahan iklim yang menjadi pusat perhatian adalah pemanasan global yang disebabkan ulah manusia mungkin sulit untuk dibayangkan bagaimana manusia dapat menyebabkan perubahan pada iklim di bumi namun para ahli sepakat bahwa ulah manusialah yang memacu besarnya jumlah gas rumah kaca dilepaskan ke atmosfir dan menyebabkan bumi lebih panas. Dahulu semua perubahan iklim berjalan secara alami tetapi dengan adanya revolusi industri, manusia mulai mengubah iklim dan lingkungan tempatnya hidup melalui tindakan-tindakan agrikultural dan industri. Revolusi industri adalah saat dimana manusia mulai menggunakan mesin untuk mempermudah hidupnya. Revolusi ini dimulai sekitar 200 tahun lalu dan mengubah gaya hidup manusia. Sebelumnya, manusia hanya melepas sedikit gas keatmosfir, namun saat ini dengan bantuan pertumbuhan penduduk, pembakaran bahan bakar fosil dan penebangan hutan, manusia mempengaruhi perubahan komposisi gas di atmosfir. Semenjak revolusi industri, kebutuhan seperti energi yang kita butuhkan untuk membuat pekerjaan rumah, datang dari makanan yang kita makan. Tetapi energi lainnya, saperti energi yag digunakan untuk menjalankan mobil dan sebagian besar energi untuk penerangan dan pemanasan rumah, dari bahan bakar seperti batubara dan minyak bumi atau lebih dikenal sebagai bahan bakar fosil karena terjadi dari pembusukan fosil makhluk hidup. Pembakaran bahan bakar fosil ini akan melepaskan gas rumah kaca ke atmosfir.


B.       Manfaat Penulisan
Manfaat dari makalah ini untuk :
  1. Mengetahui defenisi dari Pemanasan Global
  2. Mengetahui Kesepakatan Dunia apa saja Untuk pengendalian Pemanasaan Global

C.      Tujuan Penulisan
Tujuan dari makalah ini untuk :
  1. Supaya dapat Mengetahui defenisi dari Pemanasan Global
  2. Supaya dapat Mengetahui Kesepakatan Dunia apa saja Untuk pengendalian Pemanasaan Global


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi Global Warming
Pemanasan global atau global warming merupakan kejadian meningkatnya temperatur atmosfer, laut, dan daratan bumi. Pada saat ini telah meningkat dari 15OC menjadi 15.6OC. Hasil yang lebih akurat oleh stasiun meteorologi dan juga data pengukuran satelit sejak tahun 1957, menunjukkan bahwa sepuluh tahun terhangat terjadi setelah tahun 1980. Secara kualitatif nilai perubahan temperature rata-rata bumi ini kecil tetapi dampaknya sangat luar biasa terhadap lingkungan.
Bumi yang lebih hangat dapat menyebabkan terjadinya perubahan siklus hujan, kenaikan permukaan air, dan beragam dampak terhadap tanaman, kehidupan, dan manusia. Ketika para ahli ilmu pengetahuan berbicara mengenai permasalahan perubahan iklim yang menjadi pusat perhatian adalah pemanasan global yang disebabkan ulah manusia mungkin sulit untuk dibayangkan bagaimana manusia dapat menyebabkan perubahan pada iklim di bumi namun para ahli sepakat bahwa ulah manusialah yang memacu besarnya jumlah gas rumah kaca dilepaskan ke atmosfir dan menyebabkan bumi lebih panas.
Dahulu semua perubahan iklim berjalan secara alami tetapi dengan adanya revolusi industri, manusia mulai mengubah iklim dan lingkungan tempatnya hidup melalui tindakan-tindakan agrikultural dan industri. Revolusi industri adalah saat dimana manusia mulai menggunakan mesin untuk mempermudah hidupnya. Revolusi ini dimulai sekitar 200 tahun lalu dan mengubah gaya hidup manusia. Sebelumnya, manusia hanya melepas sedikit gas keatmosfir, namun saat ini dengan bantuan pertumbuhan penduduk, pembakaran bahan bakar fosil dan penebangan hutan, manusia mempengaruhi perubahan komposisi gas di atmosfir. Semenjak revolusi industri, kebutuhan seperti energi yang kita butuhkan untuk membuat pekerjaan rumah, datang dari makanan yang kita makan. Tetapi energi lainnya, saperti energi yag digunakan untuk menjalankan mobil dan sebagian besar energi untuk penerangan dan pemanasan rumah, dari bahan bakar seperti batubara dan minyak bumi atau lebih dikenal sebagai bahan bakar fosil karena terjadi dari pembusukan fosil makhluk hidup. Pembakaran bahan bakar fosil ini akan melepaskan gas rumah kaca ke atmosfir.
Faktor penyebab global warming antara lain:
a.        Ozon (menipis/ berlubang)
b.        Efek Rumah Kaca
c.        Kebakaran Hutan/Tanaman 
d.       Penggunaan Gas Bumi (BBM)

B.       Definisi Global Warming
Pemanasan global (global warming) semakin hangat dibicarakan. Karena pemanasan global telah memicu terjadinya perubahan iklim (climate change) yang akan berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Pemicu pemanasan global utamanya adalah meningkatnya emisi karbon akibat penggunaan energi fosil (bahan bakar minyak, batubara dan sejenisnya). Penggunaan energi fosil akan menghasilkan gas karbondioksida (CO2) yang merupakan sumber utama meningkatnya emisi karbon di udara.
  1. Cop Dan UNFCCC
Conference of the Parties (COP) atau Konferensi Para Pihak adalah otoritas tertinggi dalam kerangka kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim. United Nation Framework Convention on Climate Change  (UNFCCC), yang merupakan asosiasi para pihak dalam meratifikasi konvensi yang bertanggung jawab menjaga konsistensi upaya international dalam mencapai tujuan utama konvensi yang mulai ditanda tangani pada bulan Juni 1992 di Rio De Jeneiro – Brazil dalam KTT Bumi.
Tujuan yang paling utama dari pembentukan konvensi perubahan iklim tersebut adalah mengurangi emisi gas rumah kaca sehingga konsentrasi gas-gas tersebut tidak melampaui batas aman dan tidak membahayakan iklim dunia. Dalam konvensi tersebut disepakati untuk membagi negara-negara yang meratifikasi menjadi dua kelompok, yaitu negara-negara Annex I (negara-negara maju) dan negara-negara non-Annex I (negara-negara berkembang).

a.       Review Hasil COP Ke-1 Sampai COP Ke-13
1)        COP Ke-1 di Berlin – Jerman Tahun 1995
COP ke-1 menyepakati Mandat Berlin (Berlin Mandate)  yang antara lain berisi persetujuan para pihak untuk memulai proses yang memungkinkan untuk mengambil tindakan pada masa setelah tahun 2000, termasuk menguatkan komitmen negara-negara maju melalui adopsi suatu protokol atau instrumen legal lainnya.
2)        COP Ke-2 di Jenewa – Swiss Tahun 1996
Hasil dari COP ke-2 adalah Deklarasi Jenewa (Geneve Declaration) yang berisi 10 butir deklarasi antara lain berisi ajakan kepada semua pihak untuk mendukung pengembangan protokol dan instrumen legal lainnya yang didasarkan atas temuan ilmiah.
3)        COP Ke-3 di Kyoto – Jepang Tahun 1997
Hasil dari COP ke-3 adalah Protokol Kyoto (Kyoto Protocol) yang menghasilkan :
a)      Clean Development Mechanism (CDM)
·           CDM ialah mekanisme dalam membantu negara maju memenuhi sebagian kewajibannya menurunkan emisi GRK.
·           CDM dilaksanakan melalui kegiatan pembangunan yang dapat mencegah, menekan dan mengurangi emisi GRK
·           Membantu negara berkembang yang melakukan pembangunan bersih dalam upaya mencapai pembangunan berkelanjutan sekaligus memberi kontribusi terhadap pencapaian tujuan Konvensi Perubahan Iklim dari PBB.
b)      REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation)
REDD ialah mekanisme pemberian insentif dana dari negara industri terhadap negara berkembang pemilik hutan
·         Tiga pendekatan sekaligus dalam REDD yakni konservasi, deforestasi, dan degradasi.
·         Lokasi harus NON hutan alam yang mengalami pembalakan atau alih guna lahan yang dihutankan kembali mulai 1990 misalnya lahan budidaya pertanian dan hutan rakyat
4)        COP Ke-4 di Buenos Aires – Argentina Tahun 1998
Hasil dari COP ke-4 adalah Rancangan Aksi Buenos Aires (Buenos Aires Plan of Action – BAPA). Merupakan COP pertama yang dilangsungkan di negara berkembang. Bertujuan merancang tindak lanjut implementasi Protokol Kyoto mengenai tenggat waktunya, terutama yang berhubungan dengan alih teknologi dan mekanisme keuangan  khususnya bagi negara-negara berkembang. Dalam BAPA, para pihak mengalokasikan tenggat waktu dua tahun untuk memperkuat komitmen terhadap konvensi dan penyusunan rencana serta pelaksanaan Protokol Kyoto.
5)        COP Ke-5 di Bonn – Jerman Tahun 1999
Hasil dari COP ke-5 adalah merumuskan periode implementasi BAPA yang berisi pertemuan pertemuan teknis yang relatif tidak menghasilkan kesimpulan-kesimpulan besar.
6)        COP Ke-6 di Den Haag – Belanda Tahun 2000
Disebut sebagai malapetaka negosiasi dalam sejarah penyelenggaraan COP karena tidak satupun implementasi BAPA yang berkaitan dengan pengoperasian Protokol Kyoto, yang merupakan agenda utama COP ini dapat disepakati. Hasilnya adalah penundaan COP ke-6 dan dilanjutkan  pada COP ke-6 bagian II yang diselenggarakan di Bonn – Jerman.
7)        COP Ke-6 Bagian II di Bonn – Jerman Tahun 2001
COP ke-6 Bagian II menghasilkan Kesepakatan Bonn (Bonn Agreement) dalam rangka implementasi BAPA. Berisi: mekanisme pendanaan di bawah protokol dengan referensi beberapa pasal Protokol Kyoto, membentuk dana baru di luar ketentuan konvensi bagi negara berkembang, dan membentuk dana adaptasi dari Clean Development Mechanism (CDM).
8)        COP Ke-7 di Marrakesh – Maroko Tahun 2001
COP ke-7 menghasilkan Persetujuan Marrakesh (Marrakesh Accord). Tujuan utama COP ke-7 adalah menyelesaikan persetujuan mengenai rencana terinci tentang cara-cara penurunan emisi menurut Protokol Kyoto dan untuk mencapai kesepakatan mengenai tindakan yang memperkuat implementasi Konvensi Perubahan Iklim.
9)        COP Ke-8 di New Delhi – India Tahun 2002
COP ke-8 menghasilkan Deklarasi New Delhi (New Delhi Declaration). Terdiri dari 13 butir sebagai upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Butir-butir tersebut antara lain : protokol Kyoto perlu segera diratifikasi oleh pihak yang belum melakukannya dan upaya antisipasi perubahan iklim harus diintegrasikan ke dalam program pembangunan nasional.
10)    COP Ke-9 di Milan – Italia Tahun 2003
Ada beberapa isu yang dibahas dalam COP ke-9 antara lain aturan mengenai mekanisme pembangunan bersih di sector kehutanan. Hasilnya berupa kesepakatan untuk mengadopsi keputusan kegiatan aforestasi dan reforestasi di bawah skema Clean Development Mechanisme.
11)    COP Ke-10 di Buenos Aires – Argentina Tahun 2004
Membahas adaptasi perubahan iklim dan menghasilkan Buenos Aires Programme Of Work on Adaptation and Response Measures. Tujuan dari COP ini adalah mendorong Negara maju mengalokasikan sebagian sumber dayanya untuk Negara berkembang yang telah merasakan dampak buruk perubahan iklim. Amerika Serikat menyatakan kembali bersedia membicarakan isu perubahan iklim dimana sebelumnya AS selalu tidak percaya kepada Protokol Kyoto dan hanya bersedia berpartisipasi dalam pertukaran informasi.

12)    COP Ke-11 di Montreal – Kanada Tahun 2005
Hasilnya adalah Rancangan Aksi Montreal (Montreal Action Plan) yaitu para pihak yang telah meratifikasi Protocol Kyoto akan bertemu dalam Conference of Parties Serving as Meeting of Parties to the Kyoto Protokol (COP/MOP), sedangkan para pihak yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto dapat hadir sebagai observer dalam COP/MOP tapi tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan. Juga dihasilkan keputusan bahwa para pihak mempertimbangkan komitmen lanjutanAnnex I untuk periode setelah tahun 2012. Isu lain yang dibicarakan adalah menyelesaikan rincian tentang bagaimana melaksanakan Protokol Kyoto, menggalang kesepakatan diantara penanda tangan Protokol Kyoto tentang rencana memperbesar pemotongan emisi gas rumah kaca setelah tahun 2012.
13)    COP Ke-12 di Nairobi– Kenya Tahun 2006
Tema yang dibicarakan adalah seputar pelaksanaan waktu dan besar target emisi komitmen periode II setelah tahun 2012 dan kemungkinan adanya skema lain selain CDM dalam Protokol Kyoto. Ditetapkan Five Year Programme of Work on Impacts, Vulnerability and Adaptation to Climate Change, yang ditujukan membantu semua pihak untuk meningkatkan pengertian dan pengkajian dampak, kerentanan dan adaptasi, serta untuk membuat agar keputusan mengenai aksi dan tindakan adaptasi yang praktis mendapatkan informasi yang memadai guna menanggapi perubahan iklim.
14)    COP ke-13 di Bali – Indonesia
COP ke-13 diselenggarakan pada tanggal 3 – 14 Desember 2007 di Bali, dengan jumlah peserta ± 10.000 orang dari 189 negara yang merupakan delegasi resmi dari badan-badan PBB, utusan resmi pemerintah, lembaga international dan organisasi nasional. Isu utama yang dibahas adalah reduksi emisi gas rumah kaca dan empat isu penting perubahan iklim, yakni mitigasi, adaptasi, alih tehnologi, dan pendanaan.
I.                   Adaptasi
Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk membiayai proyek adaptasi di negara-negara berkembang melalui metode clean development mechanism (CDM).
II.                Teknologi
Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk memulai program strategis untuk memfasilitasi teknologi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan negara-negara berkembang. Tujuan program ini adalah untuk memberikan contoh proyek yang konkrit, menciptakan lingkungan investasi yang menarik, dan juga termasuk memberikan insentif untuk sektor swasta untuk melakukan alih teknologi.
III.             Reducing emissions from deforestation in developing countries (REDD)
Emisi karbon yang disebabkan karena deforestasi hutan merupakan isu utama diBali. Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk menyusun sebuah program REDD dan menurunkan hingga tahapan metodologi. REDD akan memfokuskan diri kepada penilaian perubahan cakupan hutan dan kaitannya dengan emisi gas rumah kaca, metode pengurangan emisi dari deforestasi, dan perkiraan jumlah pengurangan emisi dari deforestasi. Deforestasi dianggap sebagai komponen penting dalam perubahan iklim sampai 2012.
IV.             Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk mengakui Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagai assessment yang paling komprehensif dan otoritatif.
V.                Clean Development Mechanisms (CDM)
Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk menggandakan batas ukuran proyek penghutanan kembali menjadi 16 kiloton CO2 per tahun. Peningkatan ini akan mengembangkan angka dan jangkauan wilayah negara CDM ke negara yang sebelumnya tak bisa ikut mengimplementasikan mekanisme pengurangan emisi CO2 ini.
VI.             Negara Miskin
Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk memperpanjang mandatLeast Developed Countries (LDCs) Expert Group. Grup ini akan menyediakan saran kritis bagi negara miskin dalam menentukan kebutuhan adaptasi. Hal tersebut didasari fakta bahwa negara-negara miskin memiliki kapasitas adaptasi yang rendah.







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pemanasan global atau global warming merupakan kejadian meningkatnya temperatur atmosfer, laut, dan daratan bumi. Pada saat ini telah meningkat dari 15OC menjadi 15.6OC. Hasil yang lebih akurat oleh stasiun meteorologi dan juga data pengukuran satelit sejak tahun 1957, menunjukkan bahwa sepuluh tahun terhangat terjadi setelah tahun 1980. Secara kualitatif nilai perubahan temperature rata-rata bumi ini kecil tetapi dampaknya sangat luar biasa terhadap lingkungan.
Faktor penyebab global warming antara lain:
a.       Ozon (menipis/ berlubang)
b.      Efek Rumah Kaca
c.       Kebakaran Hutan/Tanaman 
d.      Penggunaan Gas Bumi (BBM)

DAFTAR PUSTAKA

Aji, Mukti. 2008. COP Ke 13 dan UNFCCC. http://ajimukti.blogspot.com. Diakses tanggal 10 Maret 2014.
Anonim. 2012. Makalah Global Warming. http:// injudanis.wordpress.com. Diakses tanggal 10 Maret 2014.
Makatita, Troy. 2011. KTT Bumi Rio De Jeneiro. http://upsalundana.blogspot.com. Diakses tanggal 10 Maret 2014.


MAKALAH EFUSI PLEURA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Efusi pleura merupakan penyakit sauran pernapasan. Penyakit ini bukan merupakan suatu disease entity tetapi merupakan suatu gejala penyakit yang serius yang dapat mengancam jiwa penderita (WHO).
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne, 2002).
Secara geografis penyakit ini tersdapat diseluruh dunia bahkan menjadi masalah utama di negara – negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan di Indonesia. Penyakit efusi pleura dapat ditemukan sepanjang tahun dan jarang dijumpai secara sporadis tetapi lebih sering bersifat epidemikk di suatu daerah.
Pengetahuan yang dalamtentang efusi pleura dan segalanya merupakan pedoman dalam pemberian asuhan keperawatan yang tepat. Disamping pemberian obat, penerapan proses keperawatan yang tepat memegang peranan yang sangat penting dalam proses penyembuhan dan pencegahan, guna mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat efusi pleura.

1.2    Tujuan
1.2.1        Tujuan Umum
Mahasiswa mendapat gambaran dan pengalaman tentang penetapan proses asuhan keperawatan secara komprehensif terhadap klien efusi pleura


1.2.2        Tujuan Khusus
Setelah melakukan pembelajaran tentang asuhan keperawatan dengan efusi pleura. Maka mahasiswa/i diharapkan mampu :
1.      Melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan efusi pleura
2.      Merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan efusi pleura
3.      Merencanakan tindakan keperawatan pada klien dengan efusi pleura
4.      Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan efusi pleura
5.      Melaksanakan evaluasi keperawatan pada klien dengan efusi pleura


BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1    Defenisi
Efusi pleura adalah suatu keadaan ketika rongga pleura dipenuhi oleh cairan ( terjadi penumpukkan cairan dalam rongga pleura).Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus.
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan transudat atau cairan eksudat ( Pedoman Diagnosis danTerapi / UPF ilmu penyakit paru, 1994, 111).
Efusi pleura adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleura, proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus (Baughman C Diane, 2000)
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan viseral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleura bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne, 2002).
Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga pleura. (Price C Sylvia, 1995)
Pleura merupakan lapisan tipis yang mengandung kolagen dan jaringan elastis yang melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi paru (pleura visceralis).




2.2    Etiologi
  • Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig (tumor ovarium) dan sindroma vena kava superior.
  • Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis, pneumonia, virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di Indonesia 80% karena tuberculosis. Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit neoplastik, tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat mekanisme dasar :
1.      Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik
2.      Penurunan tekanan osmotic koloid darah
3.      Peningkatan tekanan negative intrapleural
4.      Adanya inflamasi atau neoplastik pleura
  • Neoplasma, seperti neoplasma bronkogenik dan metastatik.
  • Kardiovaskuler, seperti gagal jantung kongestif, embolus pulmonary dan perikarditis.
  • Penyakit pada abdomen, seperti pankreatitis, asites, abses dan sindrom Meigs.
  • Infeksi yang disebabkan bakteri, virus, jamur, mikobakterial dan parasit.
  • Trauma
  • Penyebab lain seperti lupus eritematosus sistemik, rematoid arthritis, sindroms nefrotik dan uremia

2.3    Manifestasi Klinis
  • Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit
  • Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak sputum.
  • Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.
  • Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
  • Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.
  • Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

2.4    Anatomi Fisiologi
Pleura adalah suatu lapisan ganda jaringan tipis yang terdiri dari; sel-sel mesotelial, jaringan ikat, pembuluh–pembuluh darah kapiler, dan pembuluh–pembuluh getah bening. Seluruh jaringan tersebut memisahkan paru–paru dari dinding dada dan mediastinum.Pleura terdiri dari 2 lapisan yang berbeda yakni pleura viseralis dan pleura parietalis. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hilus paru. Dalam beberapa hal terdapat perbedaan antara kedua pleura ini yakni:
  1. Pleura viseralis, bagian permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesotelial yang tipis (tebalnya tidak lebih dari 30 um). Diantara celah–celah sel ini terdapat beberapa sel limfosit. Dibawah sel–sel mesotellial ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit. Seterusnya dibawah ini (dinamakan lapisan tengah) terdapat jaringan kolagen dan serat–serat elastik. Pada lapisan terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura yang sangat banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari Arteri pulmonalis dan Arteri brakialis serta pembuluh getah bening. Keseluruhan jaringan pleura viseral ini menempel dengan kuat pada jaringan parenkim paru.
  2. Pleura parietalis, disini lapisan jaringan lebih tebal dan terdiri juga dari sel-sel mesotelial dan jaringan ikat (jaringan kolagen dan serat–serat elastik). Dalam jaringan ikat ini terdapat pembuluh kapiler dari arteri interkostalis dan arteri mammaria interna, pembuluh getah bening dan banyak reseptor saraf – saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan temperatur. Sistem persyarafan ini berasal dari nervus interkostalis dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada. Keseluruhan jaringan pleura parietalis ini menempel dengan mudah, tapi juga mudah dilepaskan dari dinding dada diatasnya.

2.5    Parasitologi
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura.dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler.Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan interstisial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk kedalam rongga pleura.Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.
Pada umumnya, efusi karena penyakit pleura hampir mirip plasma (eksudat) , sedangkan yang timbul pada pleura normal merupakan ultrafiltrat plasma (transudat). Efusi yang berhubungan dengan pleuritis disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pleura parietalis sekunder ( akibat samping) terhadap peradangan atau adanya neoplasma.
Klien dengan pleura normal pun dapat terjadi efusi pleura ketika terjadi payah jantung/gagal jantung kongestif.Saat jantung tidak dapat memompakkan darahnya secara maksimal keseluruh tubuh maka akan terjadi peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler yang selanjutnya timbul hipertensi kapiler sistemik dan cairan yang berada didalam pembuluh darah pada area tersebut bocor dan masuk kedalam pleura, ditambah dengan adanya penurunan reabsorbsi cairan tadi oleh kelenjar limfe di pleura mengakibatkan pengumpulan cairan yang abnormal/berlebihan.Hipoalbuminemia (misal pada klien nefrotik sindrom, malabsorbsi atau keadaan lain dengan asites dan edema anasarka) akan mengakibatkan terjadinya peningkatan pembentukkan cairan pleura dan reabsorbsi yang berkurang.Hal tersebut dikarenakan adanya penurunan pada tekanan onkotik intravaskular yang mengakibatkan cairan akan lebih mudah masuk kedalam rongga pleura.
Luas efusi pleura yang mengancam volume paru, sebagian akan bergantung pada kekakuan relatif paru dan dinding dada.Pada volume paru dalam batas pernapasan normal, dinding dada cenderung rekoil keluar sementara paru-paru cenderung untuk rekoil kedalam.

2.6    Klasifikasi
Klasifikasi efusi pleura berdasarkan cairan yang terbentuk (Suzanue C Smeltezer dan Brenda G. Bare, 2002).
1)        Transudat
Merupakan filtrat plasma yang mengalir menembus dinding kapiler yang utuh, terjadi jika faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan reabsorbsi cairan pleura terganggu yaitu karena ketidakseimbangan tekanan hidrostaltik atau ankotik. Transudasi menandakan kondisi seperti asites, perikarditis. Penyakit gagal jantung kongestik atau gagal ginjal sehingga terjadi penumpukan cairan.
2)        Eksudat
Ekstravasasi cairan ke dalam jaringan atau kavitas. Sebagai akibat inflamasi oleh produk bakteri atau humor yang mengenai pleura contohnya TBC, trauma dada, infeksi virus. Efusi pleura mungkin merupakan komplikasi gagal jantung kongestif. TBC, pneumonia, infeksi paru, sindroma nefrotik, karsinoma bronkogenik, serosis hepatis, embolisme paru, infeksi parasitik.





2.7    Komplikasi
  1. Fibrotoraks
Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani dengan drainase yang baik akan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan pleura viseralis. Keadaan ini disebut dengan fibrotoraks. Jika fibrotoraks meluas dapat menimbulkan hambatan mekanis yang berat pada jaringan-jaringan yang berada dibawahnya. Pembedahan pengupasan(dekortikasi) perlu dilakukan untuk memisahkan membrane-membran pleura tersebut.
2.      Atalektasis
Atalektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna yang disebabkan oleh penekanan akibat efusi pleura.
3.      Fibrosis paru
Fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat jaringan ikat paru dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat cara perbaikan jaringan sebagai kelanjutan suatu proses penyakit paru yang menimbulkan peradangan. Pada efusi pleura, atalektasis yang berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian jaringan paru yang terserang dengan jaringan fibrosis.
4.      Kolaps Paru
Pada efusi pleura, atalektasis tekanan yang diakibatkan oleh tekanan ektrinsik pada sebagian / semua bagian paru akan mendorong udara keluar dan mengakibatkan kolaps paru.

2.8    Pemeriksaan Penunjang
1.         Sinar Tembus Dada
Yang dapat terlihat dalam foto efusi pleura adalah terdorongnya mediastinum pada sisi yang berlawanan dengan cairan. Akan tetapi, bila terdapat atelektasis pada sisi yang bersamaan dengan cairan, mediastinum akan tetap pada tempatnya.


2.         Torakosintesi
Aspirasi cairan pleura berguna sebagai sarana untuk diagnostik maupun terapeutik. Torakosentesis sebaiknya dilakukan pada posisi duduk. Lokasi aspirasi adalah pada bagian bawah paru disela iga ke-9 garis aksila posterior dengan memakai jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan sebaiknya tidak lebih dari 1000-1.500 cc pada setiap kali aspirasi. Jika aspirasi dilakukan sekaligus dalam jumlah banyak, maka akan menimbulkan syok pleural ( hipotensi ) atau edema paru. Edema paru terjadi karena paru-paru terlalu cepat mengembang.
3.         Biopsi Pleura
Pemeriksaan histologis satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor pleura. Bila hasil biopsi pertama tidak memuaskan dapat dilakukan biopsi ulangan. Komplikasi biopsi adalah pneumotorak, hemotorak, penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.
Pendekatan pada Efusi yang tidak terdiagnosis
Pemeriksaan penunjang lainnya:
ü  Bronkoskopi: pada kasus-kasus neoplasma, korpus alienum, abses paru.
ü  Scanning isotop: pada kasus-kasus dengan emboli paru.
ü  Totakoskopi ( fiber-optik pleuroscopy ) : pada kasus dengan neoplasma atau TBC.

Perbedaan Cairan Transudat Dan Eksudat
 No

Transudat
Eksudat
1
Warna
Kuning pucat, jernih
Jernih,keruh,purulen,hemoragik
2
Bekuan
-
-/+
3
Berat jenis
< 1018
>1018
4
Leukosit
<1000Ul
Bervariasi,>1000uL
5
Eritrosit
Sedikit
Biasanya banyak
6
Hitung jenis
MN(limfosit/mesotel)
Terutama polimorfonuklear (PMN)
7
Protein total
<50% serum
>50% serum
8
LDH
<60% serum
>60% serum
9
Glukosa
= plasma
=/<plasma
10
Fibrinogen
0,3- 4 %
4-6 % atau lebih
11
Amilase
-
>50% serum
12
Bakteri
-
-/+

2.9    Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab yang mendasari untuk mencegah kembali penumpukan cairan, dan untuk menghilangkan rasa tidak nyaman serta dispnea. Pengobatan spesifik diarahkan pada penyebab yang mendasari.
  1. Torasentesis dilakukan untuk membuang cairan, mengumpulkan spesimen untuk analisis, dan menghilangkan dispnea.
  2. Selang dada dan drainase water-seal mungkin diperlukan untuk pneumotoraks ( kadang merupakan akibat torasentesis berulang )
  3. Obat dimasukkan kedalam ruang pleural untuk mengobliterasi ruang pleura dan mencegah penumpukan cairan lebih lanjut.
  4. Modalitas pengobatan lainnya : radiasi dinding dada, operasi pleuraktomi, dan terapi diuretik.


BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS

3.1    Pengkajian
A.       Identitas klien
Nama, umur, kuman TBC menyerang semua umur, jenis kelamin, tempat tinggal (alamat), pekerjaan, pendidikan dan status ekonomi menengah kebawah dan satitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan penderita TB patu yang lain. (dr. Hendrawan Nodesul, 1996. Hal 1).
B.       Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan effusi pleura didapatkan keluhan berupa sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas serta batuk non produktif.
C.       Riwayat penyakit sekarang
Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit yang di rasakan saat ini. Dengan adanya sesak napas, batuk, nyeri dada, keringat malam, nafsu makan menurun dan suhu badan meningkat mendorong penderita untuk mencari pengobatan.
Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tanda-tanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan sebagainya. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhannya tersebut.
D.       Riwayat penyakit dahulu
Keadaan atau penyakit – penyakit yang pernah diderita oleh penderita yang mungkin sehubungan dengan tuberkulosis paru antara lain ISPA efusi pleura serta tuberkulosis paru yang kembali aktif.

E.        Riwayat penyakit keluarga
Mencari diantara anggota keluarga pada tuberkulosis paru yang menderita penyakit tersebut sehingga sehingga diteruskan penularannya.
F.        Riwayat psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya. Pada penderita yang status ekonominya menengah ke bawah dan sanitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis paru yang lain (dr. Hendrawan Nodesul, 1996).
G.       Pola fungsi kesehatan
1.      Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Adanya tindakan medis dan perawatan di rumah sakit mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan. Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum alkohol dan penggunaan obat-obatan bisa menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit.
Pada klien dengan TB paru biasanya tinggal didaerah yang berdesak – desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi udara dan tinggal dirumah yang sumpek.
2.      Pola nutrisi dan metabolik
Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi pasien, selain juga perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen. Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. pasien dengan effusi pleura keadaan umumnya lemah. Pada klien dengan TB paru biasanya mengeluh anoreksia, nafsu makan menurun.

3.      Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan ilusi dan defekasi sebelumdan sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus. Klien TB paru tidak mengalami perubahan atau kesulitan dalam miksi maupun defekasi.
4.      Pola aktivitas dan latihan
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi dan Px akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal. Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya nyeri dada. Dan untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu oleh perawat dan keluarganya. Dengan adanya batuk, sesak napas dan nyeri dada akan menganggu aktivitas.
5.      Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istirahat, selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya. Dengan adanya sesak napas dan nyeri dada pada penderita TB paru mengakibatkan terganggunya kenyamanan tidur dan istirahat.
6.      Pola hubungan dan peran
Akibat dari sakitnya, secara langsung pasien akan mengalami perubahan peran, misalkan pasien seorang ibu rumah tangga, pasien tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai seorang ibu yang harus mengasuh anaknya, mengurus suaminya. Disamping itu, peran pasien di masyarakatpun juga mengalami perubahan dan semua itu mempengaruhi hubungan interpersonal pasien. Klien dengan TB paru akan mengalami perasaan asolasi karena penyakit menular.
7.      Pola sensori dan kognitif
Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan, dan pendengaran) tidak ada gangguan.
8.      Pola persepsi dan konsep diri
Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya sehat, tiba-tiba mengalami sakit, sesak nafas, nyeri dada. Sebagai seorang awam, pasien mungkin akan beranggapan bahwa penyakitnya adalah penyakit berbahaya dan mematikan. Dalam hal ini pasien mungkin akan kehilangan gambaran positif terhadap dirinya. Karena nyeri dan sesak napas biasanya akan meningkatkan emosi dan rasa kawatir klien tentang penyakitnya.
9.      Pola reproduksi dan seksual
Kebutuhan seksual pasien dalam hal ini hubungan seks intercourse akan terganggu untuk sementara waktu karena pasien berada di rumah sakit dan kondisi fisiknya masih lemah. Pada penderita TB paru pada pola reproduksi dan seksual akan berubah karena kelemahan dan nyeri dada.
10.  Pola penanggulangan stress
Bagi pasien yang belum mengetahui proses penyakitnya akan mengalami stress dan mungkin pasien akan banyak bertanya pada perawat dan dokter yang merawatnya atau orang yang mungkin dianggap lebih tahu mengenai penyakitnya.
Dengan adanya proses pengobatan yang lama maka akan mengakibatkan stress pada penderita yang bisa mengkibatkan penolakan terhadap pengobatan.
11.  Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebagai seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan dan menganggap bahwa penyakitnya ini adalah suatu cobaan dari Tuhan. Karena sesak napas, nyeri dada dan batuk menyebabkan terganggunya aktifitas ibadah klien.

H.    Pemeriksaan fisik
1.      Status Kesehatan Umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan pasien. Perlu juga dilakukan pengukuran tinggi badan berat badan pasien.

3.2    Diagnosa
·         Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kemampuan ekspansi paru, kerusakan membran alveolar kapiler
·          Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya akumulasi sekret jalan napas
·         Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan penurunan pertahanan primer dan sekresi yang statis

3.3    Intervensi
1.    Dx 1 : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kemampuan ekspansi paru, kerusakan membran alveolar kapiler
Tujuan :tidak adanya gangguan pertukaran gas
Kriteria hasil :
Klien akan :
·         Melaporkan berkurangnya dyspnea
·         Memperluihatkan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
Intervensi Rasionalisasi
·         Kaji adanya dyspnea, penuruna suara nafas, bunyi nafas tambahan, peningkatan usaha untuk bernafas, ekspansi dada yang terbatas , kelelahan
Rasional : Tuberkulosis pulmonal dapat menyebabkan efek yang luas, termasuk penimbunan cairan di pleura sehingga menghasilkan gejala distress pernafasan.
·         Evaluasi perubahan kesadaran . Perhatikan adanya cyanosis , dan perubahan warna kulit, membran mukosa dan clubbing finger.
Rasional : Akumulasi sekret yang berlebihan dapat mengganggu oksigenasi organ dan jaringan vital
·         Dorong/ajarkan bernapas melalui mulut saat ekshalasi
Rasional : Menciptakan usaha untuk melawan outflow udara, mencegah kolaps karena jalan napas yang sempit, membantu doistribusi udara dan menurunkan napas yang pendek
·         Tingkatkan bedrest / pengurangi aktifitas
Rasional : Mengurangi konsumsi oksigen selama periode bernapas dan menurunkan gejala sesak napas  (Doengoes, Marilyn (1989))

2.      Dx 2 : Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret di jalan napas
Tujuan : Bersihnya jalan napas
Kriteria hasil :
·         Klien akan dapat mempertahankan jalan napas yang paten
·         Memperlihatkan perilaku mempertahankan  bersihan jalan napas
Intervensi
·         Kaji fungsi paru, adanya bunyi napoas tambahan, perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot-otot aksesori
Rasional : Penurunan bunyi napas mungkin menandakan atelektasis, ronchi, wheezing menunjukkan adanya akumulasi sekret, dan ketidakmampuan untuk membersihkan jalan napas menyebabkan penggunaan otot aksesori dan peningkatan usaha bernapas.
·         Atur posisi semi fowler
Rasional :Memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan. Ventilasi maksimal dapat membuka area atelektasis, mempermudah pengaliran sekret keluar
·         Pertahankan intake cairan 2500 ml/hari
Rasional :Intake cairan mengurangi penimbunan sekret, memudahkan pembersihan
·         Kolaborasi :Pemberian oksigen lembab
Rasional : Mencegah mukosa membran kering, mengurangi secret (Doengoes, Marilyn (1989)

3.      Dx 3 : . Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan penurunan pertahanan primer dan sekresi yang statis
Tujuan : penyebaran infeksi teratasi
Kriteria hasil :
Klien akan dapat :
·         Mengidentifikasi cara pencegahan dan penurunan resiko penyebaran infeksi
·         Mendemonstrasikan teknik/gaya hidup yang berubah untuk meningkatkan lingkungan yang aman terhadap penyebaran infeksi.
Intervensi :
·         Jelaskan tentang patologi penyakit secara sederhana dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet air borne
Rasional : Membantu klien menyadari/menerima prosedur pengobatan dan perawatan untuk mencegah penularan pada orang lain dan mencegah komplikasi
·         Ajarkan klien untuk batuk dan mengeluarkan sputum dengan menggunakan tissue. Ajarkan membuang tissue yang sudah dipakai serta mencuci tangan dengan baik
Rasional : Membiasakan perilaku yang penting untuk mencegah penularan infeksi
·         Monitor suhu sesuai sesuai indikasi
Rasional : Reaksi febris merupakan indikator berlanjutnya infeksi
·         Observasi perkembangan klien setiap hari dan kultur sputum selama terapi
Rasional : Membantu memonitor efektif tidaknya pengonbatan dan respons klien
·         Kolaborasi pemberian INH, etambutol,rifampicin.
Rasional :Inh merupakan pilihan obat untuk klien beresiko terhadap perkembangan TB dan dikombinasikan dengan “primary drugs” lain jhususnya pada penyakit tahap lanjut.(Doengoes, Marilyn (1989)



BAB IV
PENUTUP

4.1    Kesimpulan
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan karena terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi di kapiler dan pleura viseralis. Efusi  pleura bukanlah suatu disease entity tapi merupakan suatu gejala penyakit yang serius yang dapat mengancam jiwa penderita.
Etiologi terhadap efusi pleura adalah pembentukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh banyak keadaan yang dapat berasal dari kelainan paru sendiri, misalnya infeksi baik oleh bekteri atau virus.
Gejala klinis efusi pleura yaitu nyeri pada pleuritik dan batuk kering dapat terjadi, cairan pleura yang berhubungan dengan adanya nyeri dada biasanya eksudat. Gejala fisik tidak dirasakan bila cairan kurang dari 200 – 300 ml. Tanda – tanda yang sesuai dengan efusi pleura yang lebih besar adalah penurunan fremitus, redup pada perkusi dan berkurangnya suara napas.

4.2    Saran
  • Untuk Instansi
    • Untuk pencapaian kualitas keperawatan secara optimal secara optimal sebaiknya proses keperawatan selalu dilaksanakan secara berkesinambungan
  • Untuk Klien dan Keluarga
    • Perawatan tidak kalah pentingnya dengan pengobatan karena bagaimanapun teraturnya pengobatan tanpa perawatan yang sempurna maka penyembuhan yang diharapkan tidak tercapai.


DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, EGC : Jakarta

Brunner & Suddarth.2000.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:EGC

Somantri Irman.2009.Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta:Salemba Medika