BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam
Memahami tauhid tanpa memahami konsep ibadah itu maustahil, karena kedua-duanya
merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat di
pisahkan.Olehkarenaitumengetahuinyaadalahsebuahkeniscayaan.Ibadah merupakan
wujud penghambaan diri seorang makhluk
terhadap sang khalik (Allah). Dimana pengahmbaan itu merupakan wujud dari rasa
syukur diri seorang makhluk terhadap penciptanya atas- nikmat-nikmat yang telah
di perolehnya baik ni’mat ijaad( ni’mat yang di wujudkan) maupun ni’mat
imdaad(ni’mat yang di pelihara) karena atas dasar keyakinan seseorang terhadap
firman Allah dalam qur’an surat( Ibrahim ayat 7) yang artinya “ barang siapa
yang bersyukur maka akan di tambahkan ni’matnya dan barang siapa yang kufur
maka akan di siksa dengan azdab yang pedih”. Dan dengan tujuan memperoleh
keridhoanya semata.
Namun
demikian, pada realitanya banyak diantara kita yang menjalankan ibadah tersebut
hanya sebatas untuk menggugurkan kewajiban
semata, dimana inti dari ibadah itu sendiri kurang mengena. Padahal
Allah Swt. Sudah berfirman yang artinya” beribadahlah engkau kepada tuhanmu
sampai datangnya keyakinan (
meninggal)”. Kesenjangan tersebut mungkin disebabkan karena minimnya
pengetahuan seseorang akan makna
dari ibadah itu sendiri sehingga banyak persepsi yang memandang bahwa
ibadah itu cuman Shalat, puasa, zakat, haji semata, selebihnya sudah gak
termasuk ibadah lagi. padahal sudah jelas maksut dari ayat tersebut. Mungkin
juga di sebabkan keimananya yang kurang mendarah daging. Padahal seandainya
cahaya keimanan itu tampak maka akan tampak dan keluar potensi positif manusia,
bahkan orang lain akan dapat pula merasakanya. Perumpamaan seseorang yang
mempunyai cahaya itu berkata kepada orang lain ”wahai manusia, inilah aku,
ciptaan sang pencipta Yang Maha Agung, lihatlah betapa kasih sayang-nya di
limpahkan kepadaku”.
Dengan
keimanan, drajad manusia dapat naik hingga drajad yang tinggi, maka dengan
drajad yang tinggi itu manusia menjadi sebuah nilai yang dapat memasukkan ke
dalam surga. Sebaliknya dengan kekafiran drajad manusia dapat turun hingga
drajad yang serendah-rendahnya. Atas dasar itulah makalah ini kami buat dengan
harapan paling tidak mampu mengurangi anggapan-anggapan yang salah sebagaimana
yang telah kami uraikan diatas.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian ibadah mahdhah dan ghairu
mahdah?
2.
Apasajakah prinsip-prinsip ibadah
mahdhah dan Ghairu mahdhah?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui secara lebih jelas
tentang ibadah mahdhah dan Ghairu mahdhah.
2.
untuk mengetahui prinsip-prinsip ibadah
mahdhah dan Ghairu mahdhah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian ibadah
Penulis
syarah Al-Wajibat menjelaskan Ibadah secara bahasa adalah” perendahan diri,
ketundukan dan kepatuhan”.[1]Adapun secara istilah syari’at, para ulama
memberikan beberapa definisi yang beraneka ragam.Di antara definisi terbaik dan
terlengkap adalah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.Beliau
rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala
sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun
perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir). Maka shalat,
zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua
orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang
ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan orang-orang kafir dan
munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil
(orang yang kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik kepada orang atau
hewan yang dijadikan sebagai pekerja, memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al
Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari ibadah. Begitu pula rasa
cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat)
kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap
keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap
qadha atau takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih
sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga
termasuk bagian dari ibadah kepada Allah”.[2]
Dari
keterangan di atas ibadah bisa di bagi menjadi tiga, yaitu: ibadah hati, ibadah
lisan dan ibadah anggota badan. Dalam ibadah hati ada perkara-perkara yang
hukumnya wajib, ada yang sunnah, ada yang mubah dan adapula yang makruh atau
bahkan sampai haram. Begitu juga dalam ibadah lisan, ada yang wajib, sunnah,
mubah, makruh dan haram. Dalam ibadah anggota badan juga demikian. Ada yang
yang wajib, sunnah, mubah, makruh bahkan sampai haram. Sehingga apabila
dijumlah secara keseluruhan ada 15 bagian. Demikian kurang lebih kandungan
keterangan Ibnul Qayyim yang dinukil oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam
Fathul Majid.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitabnya yang sangat
bagus berjudul Al Qaul Al Mufid menjelaskan bahwa istilah ibadah bisa
dimaksudkan untuk menamai salah satu diantara dua perkara berikut:
1.
Ta’abbud. Penghinaan diri dan ketundukan
kepada Allah ‘azza wa jalla.Hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Dzat yang
memerintah dan melarang (Allah ta’ala).
2.
Muta’abbad bihi. Yaitu sarana yang
digunakan dalam menyembah Allah.Inilah pengertian ibadah yang dimaksud dalam
definisi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Ibadah adalah suatu istilah yang
mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa
perkataan maupun perbuatan, baik yang tersembunyi (batin) maupun yang tampak
(lahir)”.
Seperti
contohnya Shalat. Melaksanakan Shalat disebut ibadah karena ia termasuk bentuk
ta’abbud (menghinakan diri kepada Allah). Adapun segala gerakan dan bacaan yang
terdapat di dalam rangkaian Shalat itulah yang disebut muta’abbad bihi. Maka
apabila disebutkan kita harus mengesakan Allah dalam beribadah itu artinya kita
harus benar-benar menghamba kepada Allah saja dengan penuh perendahan diri yang
dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Allah dengan melakukan tata cara
ibadah yang disyari’atkan.
Maka
ibadah secara etimologis berasal dari bahasa arab yaitu عبد- يعبد -عبادة
yang artinya melayani patuh, tunduk.[3] Sedangkan menurut terminologis adalah
Perendahan diri kepada Allah karena faktor kecintaan dan pengagungan yaitu
dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan oleh syari’at-Nya.[4]
Oleh
sebab itu orang yang merendahkan diri kepada Allah dengan cara melaksanakan
keislaman secara fisik namun tidak disertai dengan unsur ruhani berupa rasa
cinta kepada Allah dan pengagungan kepada-Nya tidak disebut sebagai hamba yang
benar-benar beribadah kepada-Nya.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa penghambaan ada
tiga macam:
- Penghambaan
umum.
- Penghambaan
khusus.
- Penghambaan
sangat khusus.
Penghambaan
umum adalah penghambaan terhadap sifat rububiyah Allah (berkuasa, mencipta,
mengatur).Penghambaan ini meliputi semua makhluk.Penghambaan ini disebut juga
‘ubudiyah kauniyah.Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun
di langit maupun di bumi melainkan pasti akan datang menemui Ar Rahman sebagai
hamba.” (QS. Maryam [19] : 93). Sehingga orang-orang kafir pun termasuk hamba
dalam kategori ini.
Sedangkan
penghambaan khusus ialah penghambaan berupa ketaatan secara umum.Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Dan hamba-hamba Ar Rahman adalah orang-orang yang
berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati.” (QS. Al Furqan [25] : 63).
Penghambaan ini meliputi semua orang yang beribadah kepada Allah dengan
mengikuti syari’at-Nya.
Adapun
penghambaan sangat khusus ialah penghambaan para Rasul ‘alaihimush shalatu was
salam. Hal itu sebagaimana yang Allah firmankan tentang Nuh ‘alaihissalam (yang
artinya), “Sesungguhnya dia adalah seorang hamba yang pandai bersyukur.” (QS.
Al Israa’ [17]: 3). Allah juga berfirman tentang Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Dan apabila kalian merasa ragu terhadap
wahyu yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad)…” (QS. Al Baqarah [2] :
23). Begitu pula pujian Allah kepada para Rasul yang lain di dalam ayat-ayat yang
lain. penghambaan jenis kedua dan ketiga ini bisa juga disebut ‘ubudiyah
syar’iyah.[5]
Di
antara ketiga macam penghambaan ini, maka yang terpuji hanyalah yang kedua dan
ketiga.Karena pada penghambaan yang pertama manusia tidak melakukannya dengan
sebab perbuatannya.Walaupun peristiwa-peristiwa yang ada di dunia ini (nikmat,
musibah, dan lain sebagainya) yang menimpanya bisa juga menyebabkan pujian dari
Allah kepadanya.Misalnya saja ketika seseorang memperoleh kelapangan maka dia
pun bersyukur.Atau apabila dia tertimpa musibah maka dia bersabar. Adapun
penghambaan yang kedua dan ketiga jelas terpuji karena ia terjadi berdasarkan
hasil pilihan hamba dan perbuatannya, bukan karena suatu sebab yang berada di
luar kekuasaannya semacam datangnya musibah dan lain sebagainya.[6]Manusia
adalah hamba Allah “‘Ibaadullaah” jiwa raga haya milik Allah, hidup matinya di
tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya
untuk ibadah atau menghamba kepada-Nya. Sebagaimana
firman allah dalam surat Al-Dzariyat : 56. Yang berbunyi:
“Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia
kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu”. (QS. 51(al-Dzariyat : 56).[7]
Orang
yang tidak memahami dan menyadari tujuan hidupnya, seperti seorang nahkoda
kapal yang kehilangan petunjuk arah dalam berlayar di luar lautan lepas. Di
kemudikanya di tengah lautan lepas yang tak tentu arah, lama kelamaan bahan
bakar habis dan kapal pun karam di dasar lautyang amat dalam.[8]
Ditinjau
dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan
sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya.[9]
A. Ibadah Mahdah
Adalah
ibadah yang dari segi perkataan,
perbuatan telah didesain oleh Allah SWT. kemudian diperintahkan kepada
Rasulullah untuk mengerjakannya. Seperti Shalat fardu 5 kali, ibadah puasa
ramadhan dan haji. Semuanya adalah bentuk paket dari Allah turun kepada
Rasulullah kemudian wajib ditirukan oleh
umatnya tanpa boleh menambah atau memperbaharui sedikitpun.
Ibadah
mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang telah ditetpkan Allah akan
tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk
mahdhah, adalah :
1.
Wudhu,
2.
Tayammum
3.
Mandi hadats
4.
Shalat
5.
Shiyam ( Puasa )
6.
Haji
7.
Umrah
Para
ulama menjelaskan bahwa ibadah Mahdhah jika dikerjakan tanpa tuntunan, jelas
hal ini adalah amalan yang sia-sia.Seperti shalat yg dilakukan diniatkan pada
malam jumat kliwon, ini jelas tidak ada tuntunan.Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,”Barangsiapa melakukan suatu amalan tanpa tuntunan dari kami,
maka amalan itu tertolak.” (HR Muslim).Jadi harus perlu dasar dalam ibadah
jenis ini. Sehingga ada kaedah dalam ibadah: “Hukum asal ibadah itu terlarang,
sampai ada dalil yang menuntunkannya”.
Ibadah
mahdhah, pada dasarnya, kita dilarang untuk melakukannya, kecuali jika terdapat
dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut dituntunkan.Sehingga, siapa saja yang
mengajak kita untuk melakukan suatu ibadah maka kita menuntutnya untuk
membawakan bukti nyata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkannya.
Landasan
kaidah ini adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Dari
Bunda Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja
yang melakukan amal ibadah yang tidak kami ajarkan, maka amal ibadah tersebut
adalah amal ibadah yang tertolak.” (HR. Muslim, no. 4590)
Hadits
ini jelas menunjukkan terlarangnya melakukan amal ibadah yang tidak ada
tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sehingga, tidak semua
perkara yang dikatakan oleh orang-orang sebagai ibadah boleh kita telan
mentah-mentah, namun kita perlu bersikap selektif. Jika memang ibadah semacam
itu dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mari kita menjalankannya
dengan penuh semangat.
Apabila
bersandarkan kepada kaidah di atas, sebenarnya seperti itulah yang dapat
dijadikan pegangan, sebab ibadah mahdhah tersebut harus berdasarkan adanya
dasar dari agama yang memerintahkannya. Namun demikian, kami lebih cenderung
sependapat dengan pendapatnya Syekh Nawawi Albantani dalam kitanya Nihayatuz
Zain bahwa shalat sunnah seperti shalat hadiah dan yang lainnya yang tidak ada
tuntunannya baik dari Alquran atau pun hadis nabi boleh dilakukan. Saya
meyakini Allah Maha Tahu maksud seseorang melakukan segala bentuk ibadah.Hal
ini sesuai dengan kaidah الأمور
بمقادها bahwa setiap sesuatu
tergantung dari niatnya.Maksudnya walaupun ibadah yang dilakukan tidak ada
tuntunannya, terlebih tidak ada tuntutannya, tetapi tetap dilakukan karena
niatnya juga baik, maka hasilnya pun juga baik.Allah pasti mengetahui hal
tersebut. Karena apabila hanya
mengandalkan niat seperti pada kaidah di atas, tetapi tidak adanya dasar yang
kuat, maka hal tersebut juga berpeluang untuk dikatakan sebagai ibadah yang
sia-sia.
B.
Ibadah
Ghairu Mahdah
Adalah
seluruh perilaku seorang hamba yangdiorientasikan untuk meraih ridho Allah
(ibadah). Dalam hal ini tidak ada aturan baku dari Rasulullah. Dalam hadis
Jarir ibn `Abdullah disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Barangsiapa
merintis jalan yang baik dalam Islam (man sanna fîl Islâm sunnatan hasanah),
maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya
sesudahnya, tanpa berkurang sedikit pun pahala mereka; dan barangsiapa merintis
jalan yang buruk dalam Islam (man sanna fîl Islâm sunnatan sayyi-ah), maka dia
menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa
berkurang sedikit pun dosa mereka.” (Lihat antara lain: Shahih Muslim, II: 705,
Hadis senada diriwayatkan oleh 5 imam antara lain, Nasa’i, Ahmad, Turmudi, Abu
Dawud dan Darimi).
Atau
dengan kata lain definisi dari Ibadah ghairu mahdhah atau umunya ialah segala
amalan yang diizinkan oleh Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialah
belajar, dzikir, dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya.
Ibadah
Ghairu Mahdhah, ini bisa jadi ibadah dan berpahala jika diniatkan untuk ibadah,
seperti cari nafkah untuk hidupi keluarga, tersenyum dengan orang lain, tolong-
menolong antar sesama, menafkahkan harta di jalan Allah semua itu diniatkan
karena Allah. Namun jika diniatkan hanya untuk cari kerja saja sebagaimana
kewajibn kepala keluarga, maka ini tidak bernilai pahala.Jadi amalan ini
asalnya mubah.Jika diniatkan karena Allah baru bernilai pahala.Namun perlu
diperhatikan bahwa ibadah Ghairu Mahdhah ini jika dijadikan sebagai ibadah
murni, maka bisa dinilai bid’ah seperti dikhususkan dengancara dan dikerjakan
pada waktu tertentu.Seperti contohnya: Ziarah kubur sebelum masuk ramadhan.
Ziarah kubur asalnya boleh kapan saja.Namun jika dikhususkan pada waktu semacam
ini, barulah dinilai bid’ah.
Intinya
dalam ibadah ghairu mahdhah adalah :
Tidak
adanya dalil baik dari Alquran dan pun Nabi yang melarang melakukan ibadah
ghairu mahdhah. Artinya, selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang tau
mengharamkan maka ibadah bentuk ini boleh dilaksanakan.
Pola
atau style pelaksanaan ibadah tersebut tidak selalu persis sama seperti pola
yang dilakukan Nabi. Misalnya, cara berinfaq dan bersedekah, jumlah yang
diinfaqkan dan disedekahkan atau yang lainnya. Semuanya itu tidak harus sama
dengan yang dilakukan nabi.
Ibadah
yang dilakukan adalah ibadah yang logis, sehingga baik atau buruk, untung atau
pun rugi, bermanfaat atau mengandung mudarat, semuanya dapat ditentukan oleh
akal atau logika. Oleh karena itu jika menurut akal sehat, amal yang dianggap
ibadah tersebut mengandung keburukan, merugikan, dan berakibat mudharat, maka
amal tersebut tidak boleh dilakukan.
Mengandung
asas manfaat. Artinya selama amal atau perbuatan yang itu mengandung manfaat,
maka ia dapat dikatakan ibadah ghairu mahdhah dan hal ini dibolehkan melakukannya.
2.2 Prinsip-Prinsip Ibadah Mahdhah Dan
Ghairu Mahdhah
A. Prinsip-prinsip ibadah mahdhah
Ibadah
mahdhah mempunyai beberapa prinsip, diantaranya:
1.
Keberadaannya harus berdasarkan adanya
dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas
wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya. Haram kita
melakukan ibadah ini selama tidak ada perintah.
2.
Tatacaranya harus berpola kepada contoh
Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi
contoh:
Dan
Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…(QS.
64)
Dan
apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang,
maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).
Shalat
dan haji adalah ibadah mahdhah, maka tatacaranya, Nabi bersabda:
“Shalatlah
kamu seperti kamu melihat aku shalat. Ambillah dari padaku tatacara haji kamu”
Jika
melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan
praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara mengada-ada,
yang populer disebutbid’ah: Sabda Nabi saw.
Salah
satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw. adalah
karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah Rasul-rasul mereka:
3.
Bersifat supra rasional (di atas
jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan
wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di
baliknya yang disebuthikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah
mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak,
melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at atau tidak. Atas
dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
4.
Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba
dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Dalam Al- Qur’an
sudah di jelaskan dalam surat ( Ali imran:102) yang artinya” Hai orang-orang
yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepadanya, dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama
islam.”[10]Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya,
semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan
salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.
B. Prinsip-Prinsip Ibadah Ghairu
Mahdhah
Ibadah
Ghairu mahdhah memiliki beberapa prinsip, diantaranya:
1.
Keberadaannya didasarkan atas tidak
adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka
ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan. Selama tidak diharamkan oleh Allah,
maka boleh melakukan ibadah ini.
2.
Tatalaksananya tidak perlu berpola
kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah
“bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan
rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah
mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
3.
Bersifat rasional, ibadah bentuk ini
baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan
oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan,
dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
4.
Azasnya “Manfaat”, selama itu
bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
2.3 Keyakinan-keyakinan Dalam Ibadah
Mahdhah
A. Keyakinan kepada Allah SWT
Kata
Iman berasal dari bahasa arab yaitu “امن “ yang artinya aman,damai,tentram.
Dalam pengertian lain adalah: Keyakinan, kepercayaan.M Hasbi Ash-Shiddiqi dalam
bukunya “Sejarah dan Pengantar I Tauhid / Kalam”, Aqidah Atau Iman menurut bahasa adalah : sesuatu yang dipegang
teguh dan terhujam kuat di dalam lubuk jiwa dan tak dapat beralih
padanya[5].Sedangkan pengertian Iman kepada Allah swt secara istilah adalah mempercayai dengan
sepenuh hati Allah (Tuhan) sebagai Pencipta dari segala yang ada dialam semesta
ini,dengan mencakup syarat – syarat beriman kepada allah swt sebagai Tuhan yang
dilandasi oleh dalil naqli ataupun aqli.Hal-hal yang mengungkap tentang
mempercayai allah sebagai tuhan dapat ditemukan didalam landasan naqli (ayat
tertulis) ataupun landasan aqli (dengan menggunakan akal/rasionalitas).Ketika
kepercayaan kepada Allah tidaklah mantap,maka kepercayaan yang lain tidaklah
mantap pula.Oleh karena itu,Allah dan rasul-Nya memerintahkan kepada manusia
untuk memantapkan kepercayaan kepada Allah.
Pembahasan
mengenai ruang lingkup kita dalam berma’rifat atau mengenal Allah swt kemudian
mempercayai-Nya mencakup empat hal [8]:
1.
Iman kepada Kewujudan (adanya) Allah swt
Kewujudan
akan adanya Allah telah dibuktikan oleh fitrah kita sebagai manusia yang
berakal, syara’ dan indra.Petunjuk akan adanya allah swt lewat aqli atau akal
manusia menjelaskan segala yang dahulu pernah ada,pada saat ini ada,dan yang
akan datang kemudian,sudah tentu secara rasional menunjukan adanya
Pencipta.Tidak mungkin makhluk itu mengadakan dirinya sendiri ataupun ada
begitu saja dengan sendirinya.Jika seseorang mengatakan semua didunia ini
adalah berdasarkan teori kebetulan (teori evolusi),maka seorang sarjana
amerika, Cressy Morrison menjadikan sebuah contoh,untuk melemahkan teori
kebetulan dari terbentuknya alam semesta (evolusi)
2.
Iman kepada Rububiyyah-Nya
Artinya
,bahwa Dia adalah satu-satunya Rabb yang tak mempunyai sekutu ataupun
penolong.Rabb adalah Dzat yang berwenang mencipta,memiliki,dan memerintah.Tiada
pencipta selain Allah,tiada yang memiliki kecualiAllah,serta tiada yang berhak
memerintah kecuali Allah.
``Perintah”Rabb
disini meliputi segala perintah yang bersifat kauni(alam)dan syar’i.Dia adalah
pengatur alam semesta ini,yang mengatursegala apa yang apa di dalamnnya dengan
kehendak-Nya sendiri sejalan dengan hikmah-Nya;maka demikian juga,Dia
adalah hakim yang mensyari’atkan
peribadahan-peribadahan dan hukum-hukum muamalat sejalan dengan hikmahNya
pula.Siapa saja yang menjadikan pensyari’at lain dalam masalah ibadah atau
menjadikan hakim lain dalam muamalah disamping Allah,maka ia telah
menyekutukaNya dan dengan demikian ia berarti belum merealisasikan keimanan.
3.
Iman kepada Uluhiyah-Nya
Artinya,bahwa
Dia adalah satu-satunya ilah yang haq;tiada sekutu bagi-Nya.kata
Sebenarnya
dalam kajian Trinitas/Trimurti,konsep tersebut termasuk dalam Politheis,namun
mereka tak mau dikatakan demikian.Bahkan mereka mengaku termasuk Monotheis,dan
menganggap 1=3 dan 3=1 adalah sama ,termasuk dalam hal uluhiyah(sesembahan).
Ibnu Rusyd mengemukakan kenyataan yang dianalogikan seperti masalah tersebut :
Kalau dalam satu negara ada dua Presiden,maka pastilah akan terjadi
kehancuran,kecuali yang satunya yang bekerja,dan yang lain nganggur.Kalau hal
ini dapat terjadi pada manusia, maka Tuhan tidak boleh terjadi ,sebab yang
nganggur itu tidak tepat dikatakan Tuhan.Dalam berma’rifat kepada Allah swt
,setelah mengimani akan kewujudan Allah,selanjutnya adalah menjadikan kita
sebagai hamba,dan Dia sebagai Tuhan yang wajib disembah.
4.
Iman kepada Nama dan Sifat-sifat-Nya
Nama
atau dalam bahasa arabnya ‘Asma’ biasanya digunakan untuk menyebutkan sebuah
–inisial-.Dalam pembahasan Nama-nama Allah atau “Asmaul-Husna (Nama-nama yang
baik)” tentunya kita sudah tahu bahkan hafal dengan Asmaul-Husna yang berjumlah
99.Ketika kita berma’rifat,kita hendaknya mengimani “Asmaul-Husna (Nama-nama
yang baik)” dalam hati kita,dari semua nama lain dari Allahu-ahad yang semuanya
berarti baik(husna).
B. Keyakinan Kepada Malaikat.
Menurut
bahasa “ Ù…َلاَئِÙƒَØ©ٌ
” bentuk jama’ dari “Ù…َÙ„َÙƒٌ
”. Konon malaikat berasal dari kata “Ø£َÙ„ُÙˆْÙƒَØ©ُ ” (risalah) atau menyampaikan pesan,
dan ada yang menyatakan dari “ لأَÙƒَ
” (mengutus) dan ada pula yang berpendapat selain dari keduanya.
Adapun
menurut istilah, ia adalah salah satu jenis mahluk Allah yang Ia ciptakan
khusus untuk taat dan beribadah kepada-Nya serta mengerjakan semua
tugas-tugas-Nya (Q.S. al-Anbiya’:19-20). Malaikat berarti mahluk langit.
Sedangkan menurut istilah syara’, malaikat berarti Mahluk ghaib yang diciptakan
Allah yang berasal dari nur atau cahaya dengan wujud dan sifat-sifat tertentu
dan senantiasa mengabdi dan taat kepada Allah. Tidak diperoleh penjelasan kapan
malaikat diciptakan, tetapi diciptakan lebih awal daripada Adam, manusia
pertama (Q.S. al-Baqarah:30).
Tanda-tanda
beriman pada malaikat ada yang berupa sikap mental yakni pikiran dan perasaan,
ada pula yang berupa sikap lahir yaitu ucapan dan perbuatan. Tanda-tanda
beriman yang berupa sikap mental itu bersiat abstrak, tidak dapat diketahui
dengan pancaindra dan yang mengetahuinya individu itu sendiri dan Allah, Tuhan
Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib dan yang nyata (syahadah).
Mengacu
kepada ajaran-ajaran Allah yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits,
tanda-tanda beriman kepada malaikat yang berupa sikap mental itu seperti:
1.
Meyakini dalam hati bahwa malaikat
adalah mahluk yang lebih dulu diciptakan Allah daripada manusia, asal
kejadiannya dari nur atau cahaya. Tempat tinggal tetap malaikat adalah di
langit, dan dalam rangka melaksanakan perintah Allah setiap saat mereka turun
ke bumi(Q.S. Maryam:64).
2.
Meyakini dalam hati bahwa malaikat
bersifat ghaib, tidak dapat dilihat oleh manusia biasa, senantiasa mentaati
perintah Allah dan tidak pernah mendurhakai-Nya, tidak berjenis laki-laki
ataupun wanita, tidak memiliki hawa nafsu dan tidak beranak atau diperanakkan,
tidak membutuhkan makanan dan segala apa yang bermateri, para malaikat tidak
akan mengalami kematian sebelum datang hari kiamat, para malaikat hanya bisa
mengerjakan apa yang hanya diperintahkan oleh Allah, tidak memiliki inisiatif
untuk berbuat lain, dan para malaikat itu diciptakan Allah untuk tugas-tugas
tertentu(Q.S An-Nur:50 dan Q.S. At-Tahrim:6).
3.
Meyakini bahwa tugas malikat itu
bermacam-macam, ada yang berkaitan dengan alam ruhani dan ada pula yang
berhubungan dengan alam dunia, khususnya umat manusia.
4.
Meyakini bahwa orang-orang beriman dan
beramal shaleh itu kedudukannya lebih tinggi dari pada para malaikat. Karena
ilmu para manusia lebih tinggi daripada para malaikat (Q.S. Al-Baqarah:30-34).
Para
malaikat diciptakan untuk senantiasa beribadah dan menaati perintah Allah.
Dalam ibadahnya tidak dikenal istilah patah semangat dan mengendur.
Ibadah-ibadah yang dilakukan oleh para malaikat adalah:
a.
Senantiasa membaca tasbih sebagai dzikir
paling agung yang dikerjakan para malikat secara terus menerus.
b.
Malaikat melakukan shalat.
c.
Melaksankan ibadah haji. Malaikat
memiliki ka’bah khusus di langit ketujuh yang dengannya mereka menjalankan
ibadah haji. Allah menamainya dengan Baitul Ma’mur.
d.
Sangat takut kepada Allah. Pengetahuan
yang mendalam terhadap Allah menyebabkan rasa takut mereka kepada Allah
sangat besar.
C. Keyakinan Kepada Kitab-Kitab Allah
SWT
Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, kitab yaitu buku : bacaan : wahyu Tuhan yang
dibukukan. Sedangkan iman yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, nabi,
kitab dst : ketetapan hati; keteguhan batin; keseimbangan batin. Yang dimaksud
iman kepada kitab-kitab Allah adalah meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah
SWT telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada rasul-rasul-Nya untuk disampaikan
kepada umatnya sebagai pedoman hidup (petunjuk) bagi umat manusia supaya dapat
meraih kebahagian di dunia dan di akhirat. Kita wajib beriman bahwa setiap
hukum yang telah disampaikan para rasul kepada umat manusia itu atas perintah
yang mereka terima langsung atau dengan perantaraan malaikat. Beriman kepada
kitab-kitab Allah SWT berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat
285:
Artinya:
Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhan-nya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada
Allah,malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya .” (Q.S. Al
Baqarah (2) : 285)
Beriman
kepada kitab-kitab Allah SWT hukumnya wajib. Wajib beriman kepada kitab-kitab
Allah yang pernah diturunkan kepada para rasul-Nya; maka pengingkaran terhadap
salah satu kitab Allah, sama artinya dengan pengingkaran terhadap kitab-kitab
Allah. Mengingkari kitab Allah, sama pula artinya mengingkari kepada
Rasulullah, para Malaikat dan kepada Allah SWT. Orang yang mengaku Islam tetapi
mengingkari iman kepada kitab-kitab Allah termasuk murtad (keluar dari islam).
Sebab
itu, kita wajib beriman kepada kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Ibrahim
dan Nabi musa berupa suhuf-suhuf atau lembaran- lembaran (Q.S. 53 : 36-37),
Taurat yang diwahyukan kepada nabi Musa ( Q.S. 5 : 44), Zabur yang diturunkan
kepada Nabi Daud (Q.S. 17 : 55), Injil yang diwahyukan kepada Nabi Isa putra
maryam (Q.S. 5 : 44), dan yang terakhir yaitu kitab Al Qur’an yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW (Q.S. 3 : 2-4) Iman kepada kitab-kitab Allah dahulu
berarti kita wajib percaya bahwa sebelum Al Qur’an, Allah SWT menurunkan
kitab-kitab kepada rasul-rasul dan nabi-nabi-Nya, iman yang tidak mengharuskan
kita untuk mengikuti dan patuh terhadap perundang-undangannya. Sebab
perundang-undangan kitab-kitab suci yang dahulu telah terhapus, telah
digantikan dengan perundang-undangan Al Qur’an. Maka Al Qur’anlah satu-satunya
kitab yang sekarang kita ikuti dan kita imani.
D. Keyakinan Kepada Nabi dan Rasul
Allah SWT.
Iman
kepada Rasul Allah termasuk rukun iman yang keempat dari enam rukun yang wajib
diimani oleh setiap umat Islam. Yang dimaksud iman kepada para rasul ialah
mempercayai bahwa Allah telah mengutus para Rasul-Nya untuk membawa syiar agama
dan membimbing umat pada jalan yang lurus dan diridhai oleh Allah SWT.
Nabi
dalam bahasa Arab berasal dari kata “naba”artinya ditinggikan, atau dari kata
na-ba-a artinya berita. Dinamakan Nabi karena mereka adalah orang yang
menceritakan suatu berita dan mereka adalah orang yang diberitahu beritanya
(lewat wahyu). Sedangkan kata rasul secara bahasa berasal dari kata “ar-sa-la”
artinya mengutus, lalu mengalami perubahan bentuk menjadi “rasul” artinya
“orang yang diutus”.
Terdapat
perbedaan antara Nabi dan Rasul. Yang dinamakan Nabi adalah seorang laki-laki
merdeka yang mendapat wahyu dari Allah dengan hukum syara’ untuk diamalkan
sendiri. Sedangkan Rasul ialah seorang laki-laki merdeka yang mendapat wahyu
Allah dengan hukum syara’ untuk diamalkan sendiri serta disampaikan kepada
orang lain. Dengan demikian, setiap Rasul adalah Nabi, tetapi tidak semua Nabi
adalah Rasul.Perbedaan yang lain antara Nabi dan Rasul adalah seorang Rasul
mendapatkan syari’at baru sedangkan Nabi diutus untuk mempertahankan syari’at
yang sebelumnya.
E. Keyakinan Kepada Hari Akhir
Iman
, pengertian Iman menurut bahasa adalah “percaya/meyakini”. Sedangkan Hari Akhir adalah dimana seluruh
alam semesta akan hancur, dan ketentuan itu
sudah dirumuskan oleh alloh SWT. Jadi beriman kepada Hari Akhir adalah
meyakini dan mempercayai bahwasanya hari akhir pasti akan tiba yang sesuai
dengan keterangan-keterangan Alloh melalui firman-firmanya dalam Al-quran.
Beriman
kepada hari akhir termasuk salah satu rukun iman yang ke enam, kita wajib
beriman pada suatu saat Alloh akan menentukan hari kiamat atau hari akhir,
yakni hancurnya alam semesta tanpa ada yang ketingalan sedikitpun, sebagai awal
adanya alam akhirat. Sesutu yang telah dijanjikan oleh Alloh pasti adanya firman
Alloh dalam surat Al-Hajj ayat 7. Yang artinya : ( Dan sesungguhnya hari kiamat
pasti akan datangnya dan bahwsanya Alloh membangkitkan semua orang didalam
kubur).
Hari
kiamat adalah hari kebangkian manusia dari kubur kemudian dihisab atau dihitung
amal perbuatanya semasa hidupnya, amal baik memperolah balasan baik, sedangkan
amal jahat memperoleh balasan siksa.
Pada hari itu merupakan hari penghisapan dunia yang sesudahnya tidak ada
lagi dan sebagai awal hari akhirat yang ditunggu manusia, karena hari akhirat
adalah hari kelanjutan dunia. kapankah hari kiamat itu?
Sesugguhnya
hanya Alloh yang maha mengetahui. Meskipun demikian, menurut hadits tanda-tanda
hari kiamat dapat diketahui. diantara tanda-tanda hari kiamat dalah :
1.
Terbitnya matahai dari arah barat
2.
Keluarnya semacam binatang melata
3.
Turunya imam mahdi yang akan menegakan
syariat islam di muka bumi
4.
Datangnya Dajjal, yakni mahkluk yang
menghancurkan serta mmporak porandakan orang-oang yang beragama dan kebenaran
agama. ia benar-benar tergolong sakti, misalnya, ia mampu mengambil ikan dilaut
yang dalam hanya dengan tanganya dan dibakar dengan matahari yang jauh, mampu
menghidupkan orang yang sudah mati,bahkan mampu membawa gambaran adanya surge
dan neraka
5.
Turunya Nabi Isa as, untuk membinasakan
Dajjal dan menegakan kembali syariat islam yang telah dibawa oleh Rosul saw.
Dalam
Al-quran, hari kebangkitan kadang-kadang disebut, antara lain:
a.
Yaumul Qiamah (Hari Kiamat).
b.
Yaumuddin (Hari Pembalasan).
c.
Yaumul Hisab (Hari Pehitungan).
d.
Yaumu Zilzalah (Hari Kegoncanagan).
e.
Yaumu Nusyur (Hari dihalau/kebangkitan).
f.
Yaumul Ba’tsi (Hari Pembangkitan).
g.
Yaumul Jaza’ (Hari Balasan).
h.
Yaumul Fashal (Hari keputusan).
i.
Yaumul Khuld (Hari Kekal).
j.
Yaumul Wa’id (Hari Ancaman).
k.
Yaumul Hasarah (Hari Penyesalan).
F. Keyakinan Kepada Qada’ Dan Qadar
Iman
adalah keyakinan yang diyakini didalam hati, diucapkan dengan lisan, dan
dilaksanakan dengan amal perbuatan. Kalau kita melihat qada’ menurut bahasa
artinya Ketetapan. Qada’artinya ketetapan Allah swt kepada setiap mahluk-Nya
yang bersifat Azali. Azali Artinya ketetapan itu sudah ada sebelumnya
keberadaan atau kelahiran mahluk. Sedangkan Qadar artinya menurut bahasa
berarti ukuran. Qadar artinya terjadi penciptaan sesuai dengan ukuran atau
timbangan yang telah ditentuan sebelumnya. Qada’ dan Qadar dalam keseharian
sering kita sebut dengan takdir. Jadi,
Iman kepa qada’ dan qadar adalah percaya sepenuh hati bahwa sesuatu yang
terjadi, sedang terjadi, akan terjadi di alam raya ini, semuangnya telah
ditentukan Allah SWT sejak jaman azali. Iman kepada qada’ dan qadar termasuk
rukun iman yang keenam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Iman adalah
kamu percaya kepada allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul-Nya, hari
akhir, dan kamu percaya kepada takdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim)
Dan
sabda Rasullullah SAW yang artinya : “Malaikat akan mendatangi nuthfah yang
telah menetap dalam rahim selama empat puluh atau empat puluh lima malam seraya
berkata; ‘Ya Tuhanku, apakah nantinya ia ini sengsara atau bahagia? ‘ Maka
ditetapkanlah (salah satu dari) keduanya. Kemudian malaikat itu bertanya lagi;
‘Ya Tuhanku, apakah nanti ia ini laki-laki ataukah perempuan? ‘ Maka
ditetapkanlah antara salah satu dari keduanya, ditetapkan pula amalnya,
umurnya, ajalnya, dan rezekinya. Setelah itu catatan ketetapan itu dilipat
tanpa ditambah ataupun dikurangi lagi.” (HR. Muslim)
1.
Macam-Macam Takdir
Takdir
terbagi menjadi dua bagian,yakni:
a.
Takdir Mu’allaq
Takdir
mu’allaq adalah takdir Allah SWT atas makhluknya yang memungkinkan dapat
berubah karena usaha dan ikhtiar manusia. Allah berfirman :
b.
Taqdir Mubram
Takdir
mubram ialah takdir yang pasti terjadi dan tidak dapat dielakkan kejadiannya.
Contohnya nasib manusia, lahir, kematian, jodoh, rizkinya, dan terjadinya
kiamat dan sebagainya. Qada’ & qadar Allah SWT yang berhubungan dengan
nasib manusia adalah rahasia Allah SWT, hanya Allah SWT yang mengetahuinya.
Manusia diperintahkan mengetahui qada’dan qadarnya melalui usaha dan ikhtiar.
Kapan manusia lahir, bagaimana statusnya sosialnya, bagaimana rizkinya ,siapa anak
istrinya,dan kapanya meninggalnya,adalah rahasia Allah SWT. Jalan hidup manusia
seperti itu sudah ditetapkan sejak zaman azali yaitu masa sebelum terjadinya
sesuatu atau massa yang tidak bermulaan. Tidak seorang pun yang mengetahuinya.
2.
Fungsi Beriman Kepada Qada’dan Qadar
Allah SWT
Beriman
kepada qada’dan qadar mempunyai fungsi penting bagi manusia dalam kehidupan
sehari-hari. Diantaranya:
a)
Mempunyai semangat ikhtiar
Ikhtar
artinya melakukan perbuatan yang baik dengan penuh kesungguhan dan keyakinan
akan hasil yang baik bagi dirinya. Dengan pemahaman seperti itulah ,seorang
murid akan bekerja keras agar biasa sukses, pedagang akan hidup hemat agar
usahanya berkembang, dan sebagainya. Allah SWT berfirman :
b)
Mempunyai sifat sabar dalam menghadapi
cobaan
Dengan
Percaya qada’ dan qadar , manusia akan sadar bahwa kehidupan adalah ujian –
ujian yang harus dilalui dengan sabar. Sabar adalah sikap mental yang teguh
pendirian,berani menghadapi tantangan,tahan uji,dan tidak menyerah pada
kesulitan. Teguh pendirian berarti tidak mudah goyah dalam memagang prisip atau
pedoman hidup,berani menghadapi tantangan berarti berani menghadapi cobaan,
penderitaan, kesakitan dan kesensaraan.
c)
Sabar bahwa cobaan adalah qada’dan qadar
dari Allah SWT
Segala
yang ada di alam semesta hakikatnya adalah milik Allah SWT dan suatu saat akan
kembali kepada Allah SWT. Firman Allah SWT :
d)
Tawakal
Tawakal
menurut bahasa artinya bersandar atau berserah diri. Dalam istilah agama,
tawakal artinya berserah dirisepenuhnya kepada Allah SWT dalam menghadapi atau
menunggu hasil dari suatu pekerjaan atau usaha.
Menurut Imam Al-Ghazali, tawakal artinya menyandarkan diri kepada Allah
SWT dalam menghadapi setiap kepentingan. Dalam hal ini, tawakal kepada Allah
SWT bkan berarti penyandaran diri kepada Allah SWT secara mutlak, melaikan
penyandaran diri yang haras didahului dengan kerja keras dalam berikhtiar
berdasarkan kemampuan maksimal.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ditinjau
dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan
sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya.[9]
- Ibadah Mahdah
Adalah
ibadah yang dari segi perkataan,
perbuatan telah didesain oleh Allah SWT. kemudian diperintahkan kepada
Rasulullah untuk mengerjakannya. Seperti Shalat fardu 5 kali, ibadah puasa
ramadhan dan haji. Semuanya adalah bentuk paket dari Allah turun kepada
Rasulullah kemudian wajib ditirukan oleh
umatnya tanpa boleh menambah atau memperbaharui sedikitpun.
Ibadah
mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang telah ditetpkan Allah akan
tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya
2.
Ibadah
Ghairu Mahdah
Adalah seluruh perilaku seorang hamba
yangdiorientasikan untuk meraih ridho Allah (ibadah). Dalam hal ini tidak ada
aturan baku dari Rasulullah.
3.
Prinsip-prinsip
ibadah mahdhah
Ibadah
mahdhah mempunyai beberapa prinsip, diantaranya:
1.
Keberadaannya harus berdasarkan adanya
dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas
wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya. Haram kita
melakukan ibadah ini selama tidak ada perintah.
2.
Tatacaranya harus berpola kepada contoh
Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi
contoh:
3.
Bersifat supra rasional (di atas
jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan
wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di
baliknya yang disebuthikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah
mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak,
melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at atau tidak. Atas
dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
4.
Prinsip-Prinsip
Ibadah Ghairu Mahdhah
Ibadah
Ghairu mahdhah memiliki beberapa prinsip, diantaranya:
1.
Keberadaannya didasarkan atas tidak
adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka
ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan. Selama tidak diharamkan oleh Allah,
maka boleh melakukan ibadah ini.
2.
Tatalaksananya tidak perlu berpola
kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah
“bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan
rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah
mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
3.
Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya,
atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau
logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat,
maka tidak boleh dilaksanakan.
4.
Azasnya “Manfaat”, selama itu
bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Bantani, Imam Nawawi. Nashaihul
Ibad. Toha Putra : Semarang.
Al- Ghazali, Abu Hamid. 2007, Minhaj al
Abidin Ila al Jannah. Jogjakarta: Diva Press.
Al- Qardhawi, Yusuf. 2011, Energi
Ikhlas, Bandung: Mizan Media Utama.
Al- Aziz, Saifullah. Risalah Memahami
Ilmu Tasawwuf, Surabaya: Terbit Terang.
Aziz Ali, M.Ag. 2013, 60 Menit Terapi
Shalat Bahagia, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Prees.
Arfan, Abbas. 2011, Fiqih Ibadah
Praktis, Malang: UIN Maliki Prees.
Ash Shiddieqy, Hasbi. 1991, Kuliah
Ibadah. Yogyakarta: Bulan Bintang.
Badi’ uz-Zaman Said an-Nursi. 2007,
Bersyukurlah....Bersabarlah, Solo: Indiva Pustaka.
Djumransjah. M,Ed. 2006, Filsafat
pendidikan, Malang: Bayumedia Publishing.
Syukur, Prof. Amin MA. 2003, Pengantar
Studi Islam. Semarang :CV. Bima Sakti.
Gazali, Imam.2012, Mencari kebenaran
Hati Nurani Agar Menjadi Insan Kamil, Mahirsindo Utama.
Alim, Drs. Muhammad. 2006, Pendidikan
Agama Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1
Latar
Belakang Masalah........................................................................ 1
1.2
Rumusan
Masalah................................................................................. 2
1.3
Tujuan................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3
2.1
Pengertian
ibadah.................................................................................. 3
A.
Ibadah
Mahdah................................................................................ 6
B.
Ibadah
Ghairu Mahdah............................................................. ....... 8
2.2
Prinsip-Prinsip
Ibadah Mahdhah Dan Ghairu Mahdhah..................... 10
A.
Prinsip-prinsip
ibadah mahdhah..................................................... 10
B.
Prinsip-Prinsip
Ibadah Ghairu Mahdhah........................................ 11
2.3
Keyakinan-keyakinan
Dalam Ibadah Mahdhah.................................. 12
A.
Keyakinan
kepada Allah SWT....................................................... 12
B.
Keyakinan
Kepada Malaikat.......................................................... 14
C.
Keyakinan
Kepada Kitab-Kitab Allah SWT ........................... ..... 16
D.
Keyakinan
Kepada Nabi dan Rasul Allah SWT....................... ..... 17
E.
Keyakinan Kepada Hari Akhir...................................................... 17
F.
Keyakinan
Kepada Qada’ Dan Qadar........................................... 19
BAB III PENUTUP............................................................................................. 22
3.1
Kesimpulan......................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 25