DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................
1.1 Latar Belakang………………………………………....................................... 1
1.2 Rumusan masalah............................................................................................... 1
1.3 Tujuan pembahasan............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 6
2.1 Pengertian.......................................................................................................... 6
2.2 Kompetensi budaya dalam berbagai pengaturan............................................... 7
2.2.1 Kesadaran ………….......................................................................... 7
2.2.2 Sikap……………………………....................................................... 7
2.2.3 Pengetahuan……………………….................................................... 8
2.2.4 Keterampilan…………………………............................................... 9
2.3 Tantangan terhadap Kompetensi Budaya………….......................................... 9
2.3.1 Sistem Perawatan Kesehatan……………….................................... 10
2.3.2 Kepemimpinan dan Tenaga Kerja………………............................. 10
2.3.3 Praktek Klinis.................................................................................... 11
2.3.4 Klinik Kesehatan Masyarakat………………................................... 12
2.3.5 Pekerjaan yang Berhubungan dengan Terapi……............................ 13
2.3.6 Riset……………………………………………….......................... 14
2.3.7 Pendidikan Medis…………………………………......................... 15
2.3.8 Edukasi Pasien…………………………………….......................... 16
2.3.9 Perawatan………………………………………….......................... 17
BAB III PENUTUP............................................................................................. 19
3.1 Kesimpulan...................................................................................................... 19
3.2 Saran................................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 20
BAB I
PEMBAHASAN
1.1 Latar Belakang
Perawat perlu memiliki kompetensi kultural agar dapat memberikan asuhan keperawatan
yang peka terhadap
kebutuhan pasien termasuk kebutuhan yang sesuai dengan kebudayaannya.
Kompetensi kultural merupakan sekumpulan keterampilan dan perilaku yang
memungkinkan perawat bekerja secara efektif di dalam konteks kebudayaan pasien
(Lampley, Little, Beck-Little, & Yu Xu, 2008). Menurut Shearer dan
Davidhizar (2003), bahwa kompetensi kultural merupakan suatu kemampuan untuk merawat
pasien secara peka budaya dan cara yang sesuai dengan kebudayaan pasien.
Kemampuan memberikan asuhan keperawatan secara peka budaya merupakan salah satu
kompetensi yang wajib dimiliki oleh seluruh perawat di dunia termasuk di
Indonesia (PP-PPNI, 2010). Kompetensi kultural merupakan suatu proses yang
terus menerus perlu dilatih dan dikembangkan kepada para perawat khsususnya dan
tenaga kesehatan pada umumnya. Untuk dapat memiliki kompetensi
kultural, perawat perlu
dilatih dan dipersiapkan agar memiliki pemahaman yang baik tentang
konsep kebudayaan dan kaitannya dengan
kesehatan, penyakit serta konsep
keperawatan transkultural di samping konsep-konsep yang berkaitan
dengan asuhan keperawatan peka
budaya. Selama pelatihan, para perawat menunjukkan motivasi
yang tinggi untuk berinteraksi
dengan pasien dengan latar belakang yang
beragam bahkan perawat yang
sebelumnya enggan untuk
berinteraksi dengan pasien yang
sulit berkomunikasi, termotivasi untuk
melakukan interaksi dengan pasien dan memperoleh kepuasan dari
berinteraksi dengan pasien tersebut setelah pendekatan peka budaya
diterapkan.
Pelatihan asuhan
keperawatan peka budaya merupakan salah
satu bentuk upaya
peningkatan kompetensi kultural perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan yang dikembangkan oleh peneliti. Pelatihan asuhan keperawatan peka
budaya yang diberikan pada perawat dapat meningkatkan aspek pengetahuan, sikap,
dan keterampilan budaya perawat secara bermakna. Hal ini sejalan dengan model
konsep keperawatan yang dikemukakan oleh Campinha Bacote (2002) yaitu
bahwa kompetensi kultural merupakan
suatu proses dimana pemberi
pelayanan profesional secara terus menerus berjuang dalam mencapai
kemampuan untuk bekerja secara efektif
di dalam konteks budaya klien (baik
secara individu, keluarga,
atau masyarakat). Menurutnya,
kompetensi kultural merupakan suatu proses “becoming culturally competent”
dan bukanlah “being
culturally competent".
Asuhan
keperawatan peka budaya hanya dapat diberikan
oleh perawat yang memiliki kemampuan
praktik lanjut karena membutuhkan pengetahuan khusus terkait
keperawatan transkultural seperti yang telah diberikan sebagai intervensi melalui
pelatihan asuhan keperawatan peka
budaya pada pasien dengan gangguan respirasi.
Dalam penelitian disertasi Novieastari (2013), bahwa
Model Asuhan Keperawatan Peka Budaya (AKPB) merupakan model asuh an
keperawatan dengan kompetensi kultural perawat sebagai pondasi dalam memberikan
asuhan keperawatan kepada pasien secara peka budaya. Model ini menggunakan
pendekatan proses keperawatan mulai dari pengkajian, merumuskan diagnosa
keperawatan, menyusun perencanaan asuhan keperawatan, mengimplementasikan
asuhan keperawatan dan mengevaluasi efektifitas asuhan keperawatan dengan
mengintegrasikan konsep kebudayaan dan keperawatan transkultural dalam memberi
asuhan keperawatan pada pasien secara lebih kompre-hensif dan holistik.
Pendekatan
proses keperawatan sebagai kerangka kerja perawat digunakan untuk menggambarkan
kontinuitas dari proses asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan
gangguan respirasi.
Pendekatan ini menggunakan pendekatan penyelesaian masalah secara ilmiah yang
telah biasa dipergunakan oleh para perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
yaitu pengkajian, perumusan diagnosis, penyusunan rencana asuhan keperawatan,
implementasi rencana intervensi yang telah disusun, dan evaluasi efektivitas
asuhan keperawatan yang telah diberikan (Potter & Perry, 2009). Namun pada
model AKPB, perawat perlu mengintegrasikan pemahaman mereka tentang konsep
kultural dan keperawatan transkultural sehingga di setiap langkah proses
keperawatan aspek kebudayaan pasien menjadi perhatian perawat dan
diidentifikasi sejak langkah pengkajian.
Pelatihan
menggunakan Model AKPB efektif
meningkatkan kompetensi kultural perawat dimana kelompok perawat yang
telah dilatih dengan AKPB mempunyai peluang sebesar 12,8 kali untuk kompeten
dibandingkan dengan kelompok perawat yang tidak mengikuti pelatihan AKPB (Novieastari, 2013). Hal ini sejalan
dengan hasil dari studi ini yang menunjukkan bahwa pelatihan asuhan keperawatan
peka budaya pada pasien dengan gangguan respirasi dapat meningkatkan kompetensi
kultural dari aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan bu
daya secara bermakna. Hasil penelitian ini juga mendukung apa yang telah dibahas oleh Maier Lorentz (2008)
dalam artikelnya yang menyatakan bahwa
perawat harus memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam kompetensi
kultural. Asuhan keperawatan yang kompeten secara budaya membantu memastikan
kepuasan pasien dan pencapaian hasil yang positif. Pelayanan kesehatan yang
kongruen secara budaya menurut Jeffreys (2006) merupakan hak asasi manusia dan
bukan merupakan privilege, oleh karenanya setiap pasien perlu mendapatkannya dari
pemberi pelayanan kesehatan. Hal ini juga diamanahkan oleh Code of Nurses dari
International Council of Nurses (ICN) dan juga Standar Kompetensi Perawat
Indoneisa (PP-PPNI, 2010). Kriteria akreditasi rumah sakit secara internasional
seperti yang dikeluarkan oleh Joint Commission on Accreditation of Healthcare
Organizations (JCI, 2010) juga memasukkan pelayanan yang harus diberikan oleh
tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kultural untuk meningkatkan kepuasan
pasien.
Menurut
Bureau of Primary Health Care (BPHC) USA dalam Seright (2007), konsekuensi dari
kompetensi kultural dapat diukur melalui beberapa capaian (outcomes) pelayanan
yang diberikan yaitu mencakup:
1)
adanya perbaikan dari
diagnosis dan rencana terapi;
2)
perkembangan penanganan
rencana tindakan yang diikuti oleh pasien dan didukung oleh keluarga;
3)
penurunan angka
keterlambatan dalam pencarian layanan;
4)
peningkatan komunikasi
secara menyeluruh;
5)
peningkatan kompatibilitas
antara praktik kesehatan berbasis budaya atau tradisional dengan barat.
Kepuasan
pasien merupakan suatu konsekuensi dari
asuhan atau pelayanan yang kompeten. Kepuasan praktisi, logikanya juga
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap rencana perawatan atau tindakan. Hal ini
dapat berarti bahwa berkurangnya rawat ulang atau kekambuhan pasien dan
meningkatkan kesehatan yang optimal. Standar nasional pelayanan yang sesuai
secara kultural dan linguistik dinyatakan Anderson, Scrimshaw, Fullilove, Fielding, dan Normand (2003) bahwa standar
pertama dari perawatan yang kompeten secara budaya adalah institusi pelayanan
kesehatan harus dapat menjamin semua pasien atau konsumen menerima layanan
dari semua tenaga
secara efektif, dapat
dipahami, dan menghormati pasien/konsumen dengan cara-cara
yang sesuai dengan keyakinan dan praktik kesehatan budayanya, serta menggunakan
bahasa yang disukai. Hal ini tentunya berkaitan dengan upaya meningkatkan
kepuasan pasien terhadap layanan yang diberikan kepada mereka.
Pelatihan Asuhan Keperawatan Peka
Budaya kepada perawat dapat dijadikan sebagai salah satu upaya
peningkatan kemampuan keperawatan
khususnya dalam meningkatkan
kompetensi budaya agar dapat memberikan asuhan keperawatan yang peka
budaya khususnya pada pasien dengan gangguan respirasi. Namun demikian
pelatihan ini dapat dikembangkan juga untuk asuhan keperawatan pada pasien
lainnya. Pelatihan asuhan keperawatan
peka budaya dapat diterapkan
untuk mendukung pencapaian salah satu
standar akreditasi internasional
rumah sakit sesuai standar JCI, mengingat salah satu aspek yang perlu dipenuhi
dalam akreditasi tersebut adalah perawat
perlu memenuhi kebutuhan pasien sesuai dengan kebudayaannya.
Oleh karena
itu pelatihan ini dapat dijadikan
salah satu program rumah sakit untuk meningkatkan kemampuan perawat
dalam memenuhi kebutuhan pasien sesuai
dengan kebudayaannya melalui peningkatan kompetensi kultural.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dalam penelitian ini yaitu
fokus pada kompetensi komunikasi lintas budaya yang diduga harus dimiliki oleh
Perawat dalam pelayanan medis. Perumusan masalah ini dikaitkan dengan teori
komunikasi lintas budaya dalam konteks pelayanan kesehatan dengan menggunakan
model kompetensi dari Flores (2000, hlm.17). Model ini digunakan untuk
menganalisa bagaimana kompetensi komunikasi lintas budaya dokter dalam
pelayanan medis. Batasan masalah dalam penelitian ini yaitu komunikasi lintas
budaya dalam penelitian ini hanya terkait pada penggunaan bahasa (komunikasi
verbal dan non verbal) dalam pelayanan medis, nilai budaya normatif (norma,
sistem kepercayaan kesehatan dan kebiasaan kesehatan masyarakat), penyakit
rakyat, dan praktik layanan kesehatan terkait budaya. Kedua, tidak menggunakan
kategori “sikap diam” karena tidak memungkin untuk diteliti khususnya dalam
konteks pelayanan medis antara perawat dan pasien. Adapun pertanyaan dalam
penelitian ini yaitu:
“Bagaimana analisa kompetensi komunikasi lintas budaya antara perawat
kota dan desa dalam pelayanan medis?”
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Kompetensi budaya dalam
perawatan kesehatan mengacu pada kemampuan profesional kesehatan untuk menunjukkan kompetensi budaya terhadap pasien dengan
beragam nilai , keyakinan , dan perasaan. Proses ini
mencakup pertimbangan kebutuhan sosial, budaya , dan psikologis individu
pasien untuk komunikasi
lintas budaya yang efektif dengan penyedia layanan kesehatan mereka. Tujuan kompetensi
budaya dalam perawatan kesehatan adalah untuk mengurangi kesenjangan
kesehatan dan memberikan perawatan yang optimal kepada pasien tanpa memandang ras , jenis kelamin ,latar
belakang etnis , bahasa asli yang digunakan, dan keyakinan agama atau budaya. Pelatihan
kompetensi budaya penting dalam bidang perawatan kesehatan di mana interaksi manusia
adalah umum, termasuk kedokteran, keperawatan, kesehatan terkait , kesehatan mental,
pekerjaan sosial, farmasi, kesehatan mulut, dan bidang kesehatan
masyarakat. Seorang dokter mengumpulkan informasi medis dari seorang pasien dengan
bantuan seorang penerjemah local. Istilah kompetensi
budaya pertama kali digunakan oleh Terry L. Cross dan rekan-rekannya pada tahun
1989, tetapi tidak sampai hampir satu dekade kemudian profesional perawatan
kesehatan mulai dididik dan dilatih secara formal dalam kompetensi budaya. Pada
tahun 2002, kompetensi budaya dalam perawatan kesehatan muncul sebagai bidang
dan telah semakin tertanam dalam kurikulum pendidikan kedokteran dan diajarkan
dalam pengaturan kesehatan di seluruh dunia sejak saat itu.
2.2 Kompetensi budaya dalam berbagai pengaturan
2.2.1 Kesadaran
Aspek
kesadaran kompetensi budaya berkaitan dengan kesadaran reaksi pribadi seseorang
terhadap orang-orang yang melihat atau menunjukkan praktik yang berbeda dari
norma budaya. Menurut American Sociological Association, budaya itu sendiri
dipahami sebagai bahasa, adat istiadat, kepercayaan, aturan, seni, pengetahuan,
identitas kolektif, dan kenangan bersama oleh anggota kelompok sosial yang
membentuk dasar motif atau tindakan. Dalam mengukur kompetensi budaya dalam
perawatan kesehatan, seseorang harus mengenali bias implisit mereka sendiri
terhadap pasien atau karyawan. Kurangnya kesadaran menyebabkan diskriminasi
budaya selama perawatan pasien. Sebuah analisis oleh para peneliti di UC San
Francisco, UC Berkeley, dan Universitas Stanford menemukan bahwa hampir satu
dari lima pasien dengan kondisi kronis di atas usia 54 tahun dilaporkan
merasakan diskriminasi dalam perawatan kesehatan dalam survei nasional yang
berlangsung antara 2008 dan 2014.
2.2.2
Sikap
Paul
Pedersen, pelopor kompetensi multikultural, berteori kerangka praktek
kompetensi budaya yang terdiri dari tiga faktor: kesadaran, pengetahuan, dan
keterampilan. Diversity Training University International (DTUI) memasukkan
komponen sikap yang digambarkan dari faktor-faktor lain yang meningkatkan
analisis bias dan keyakinan umum sebagai skema dalam kehidupan sehari-hari
seseorang. Ini berbeda dari latihan yang memaksa siswa untuk memeriksa nilai
dan keyakinan mereka sendiri tentang perbedaan budaya.
2.2.3
Pengetahuan
Masalah
inkompetensi budaya terletak pada kurangnya keakraban dengan pengalaman budaya
dan sosial pasien. Psikolog sosial Patricia Devine dan perguruan tinggi
melakukan penelitian yang menemukan bahwa skor rendah pada tes keakraban budaya
cenderung mencontohkan tindakan yang lebih diskriminatif atau pidato dalam
interaksi lintas budaya. Ketika kesadaran, sikap, dan pengetahuan menonjol
dalam pertemuan-pertemuan ini, etnosentrisme, rasisme, dan hubungan yang tidak
adil tidak lagi ada.
Pengetahuan
budaya juga mencakup kesadaran akan hambatan struktural, sosial, dan lingkungan
yang memberi makna pada tindakan tertentu dalam kehidupan pasien. Dalam
Inventarisasi Konseling Lintas Budaya, para praktisi diperiksa oleh pemahaman
mereka tentang "sistem sosial-politik saat ini dan dampaknya terhadap
klien". Pada tahun 2017,
diperkirakan ada 20,5 juta orang kulit hitam, Hispanik, dan penduduk asli
Amerika yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tanpa mempertimbangkan
aspek-aspek seperti status sosial ekonomi, status imigran, dan lingkungan,
dokter sering kali menggunakan stereotip atau bias dalam perilaku mereka.
2.2.4
Keterampilan
Aspek
keterampilan kompetensi budaya melibatkan penerapan praktik pengetahuan budaya,
kepekaan, dan kesadaran ke dalam pengalaman sehari-hari dengan pasien. Salah
satu aspek dalam mengembangkan keterampilan adalah mempelajari strategi
komunikasi yang saling menghormati dan efektif baik di dalam organisasi atau
antar individu. Mempelajari praktik komunikasi termasuk memeriksa komunikasi
melalui bahasa tubuh dan isyarat non-verbal lainnya karena beberapa gerakan
mungkin memiliki variasi dan makna yang ekstrem dari satu budaya ke budaya
lainnya. Mengembangkan keterampilan adalah proses aktif yang memerlukan
pemeriksaan ulang sistem kepercayaan internal seseorang.
2.3 Tantangan terhadap kompetensi budaya
2.3.1
Sistem perawatan kesehatan
Sistem
perawatan kesehatan, kadang-kadang disebut sebagai sistem kesehatan, adalah
organisasi orang, institusi, dan sumber daya yang memberikan layanan kesehatan
untuk memenuhi kebutuhan kesehatan populasi sasaran. Sistem kesehatan yang
kompeten secara budaya tidak hanya mengakui dan menerima pentingnya keragaman
budaya di setiap tingkat tetapi juga menilai hubungan lintas budaya, tetap
waspada terhadap setiap perubahan dan perkembangan yang dihasilkan dari
keragaman budaya, memperluas pengetahuan budaya, dan menyesuaikan layanan untuk
memenuhi kebutuhan. yang unik secara budaya.
Karena
semakin banyak imigran datang ke Amerika, profesional kesehatan dengan
kompetensi budaya yang baik dapat menggunakan pengetahuan dan kepekaan yang
mereka peroleh untuk memberikan perawatan holistik untuk klien dari negara
lain, yang berbicara bahasa asing. Tantangan bagi sistem perawatan kesehatan
Amerika untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dari meningkatnya jumlah pasien yang
beragam menjadi sangat jelas. Tantangan tersebut termasuk namun tidak terbatas
pada hal-hal berikut:
- Hambatan sosial budaya
- Komunikasi
lintas budaya yang buruk
- Hambatan
bahasa
- Sikap terhadap kesehatan
- Keyakinan dalam diagnosis dan pengobatan
- Kurangnya kompetensi budaya dalam desain
sistem
2.3.2 Kepemimpinan
dan tenaga kerja
Menanggapi
pertumbuhan pesat populasi kelompok minoritas di Amerika Serikat, organisasi perawatan kesehatan telah merespons
dengan menyediakan layanan baru dan menjalani reformasi kesehatan dalam hal
keragaman dalam kepemimpinan dan tenaga kerja. Meskipun perbaikan dan kemajuan
terlihat di beberapa bidang, minoritas masih kurang terwakili baik dalam
kepemimpinan dan tenaga kerja kesehatan.
2.3.3 Praktek
klinis
Untuk
memberikan perawatan yang berpusat pada pasien yang peka budaya, dokter harus
memperlakukan setiap pasien sebagai individu, mengakui dan menghormati
keyakinan, nilai, dan perilaku pencarian perawatannya. Namun, banyak dokter kurang kesadaran atau
pelatihan kompetensi budaya. Dengan demografi yang terus berubah , pasien mereka juga semakin beragam. Sangat penting
untuk mendidik dokter agar kompeten secara budaya sehingga mereka dapat secara
efektif merawat pasien dari latar belakang budaya dan etnis yang berbeda.
Ketidaktahuan
akan perbedaan budaya ini dapat bermanifestasi dalam ketidaknyamanan bagi
pasien, layanan kesehatan di bawah standar, diagnosis yang salah, dan bahkan
rasisme, yang semuanya menurunkan akses pasien ke layanan kesehatan yang
berkualitas. Studi menekankan pelatihan budaya sensitif dan program pendidikan
dalam pengaturan perawatan kesehatan yang akan memberikan kepada dokter
bagaimana budaya dapat mempengaruhi perawatan kesehatan. Selain itu, ketika
berinteraksi dengan pasien dari budaya yang berbeda, khususnya budaya Asia
Timur, penting untuk “menjembatani sistem perawatan kesehatan dengan perawatan
medis Timur yang lebih tradisional memerlukan pendidikan bagi profesional
kesehatan sebagai bagian dari kurikulum yang lebih luas tentang memberikan
perawatan yang kompeten secara budaya.” Dalam perawatan kesehatan barat, ada
juga sejumlah besar ketidakakuratan dan kesalahan persepsi tentang risiko
kesehatan untuk kelompok minoritas yang berbeda, yang dapat diatasi melalui
pendidikan kesehatan yang sesuai dengan bahasa dan budaya lebih lanjut.
Bias
implisit yang ditujukan terhadap ras atau etnis tertentu sering terjadi di
bidang perawatan kesehatan, khususnya di Amerika Serikat, umumnya dengan orang
kulit hitam Amerika, Amerika Hispanik, dan Indian Amerika. Diskriminasi bawah
sadar terjadi terlepas dari kemajuan pencegahan penyakit di Amerika Serikat,
seperti yang ditunjukkan oleh angka kematian yang sangat tinggi dari
kelompok-kelompok yang disebutkan sebelumnya dalam paragraf. Diskriminasi ini
dibentuk oleh sikap profesional kesehatan, yang sering berbeda dalam upaya dan
jenis perawatan berdasarkan ras dan penampilan fisik pasien. Dibawa ke
diagnosis dan pengobatan pasien minoritas, perbedaan kualitas layanan kesehatan
meningkatkan kemungkinan mengembangkan penyakit seperti asma, HIV/AID dan
penyakit yang mengancam jiwa lainnya. Sebagai contoh, sebuah penelitian yang
berfokus pada perbedaan pengobatan dan diagnosis antara perempuan kulit hitam
dan perempuan kulit putih sehubungan dengan kanker payudara menunjukkan
diskriminasi terhadap minoritas ini dan dampaknya. Lebih lanjut, penelitian
tersebut menunjukkan bahwa "wanita kulit putih lebih mungkin didiagnosis
menderita kanker payudara, [dan] wanita kulit hitam lebih mungkin meninggal
karenanya." Perbedaan tanggapan dari profesional kesehatan terhadap pasien
kulit hitam versus pasien kulit putih sangat drastis, ditunjukkan oleh persepsi
negatif bawah sadar dari berbagai ras. Dalam sebuah penelitian yang
mengevaluasi asumsi langsung dokter yang dibuat tentang ras yang berbeda
"dua pertiga dari dokter secara tidak sadar membentuk bias terhadap orang
kulit hitam (43% sedang hingga kuat) dan Latin (51% sedang hingga kuat)".
Tanpa sengaja meracik stereotip tentang pasien, para klinisi ini secara tidak
langsung berdampak negatif terhadap pasien yang mereka perlakukan dengan buruk.
Untuk memperbaiki ini, penelitian ini mengungkapkan dukungan bagi dokter untuk
membentuk hubungan yang lebih kuat dengan setiap pasien dan untuk fokus pada
pasien yang dihadapi, daripada mempertimbangkan ras atau latar belakang mereka.
Ini akan membantu mencegah sikap dan nada negatif saat berbicara dengan pasien,
menciptakan suasana positif yang memungkinkan lingkungan dan perawatan yang
sama bagi semua pasien, tanpa memandang ras atau penampilan fisik.
Persepsi negatif bawah sadar tentang ras yang
berbeda ini juga berpotensi menyebabkan ketidakpercayaan terhadap perawatan
kesehatan barat oleh populasi minoritas. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah
atau pengobatan Barat adalah alasan besar mengapa banyak populasi
imigran/minoritas tidak mencari perawatan kesehatan, membuat mereka percaya
bahwa perawatan kesehatan yang adil, terjangkau, dan berkualitas bukanlah
sumber daya yang tersedia bagi mereka. Sebuah program yang disebut Inisiatif
Jaringan Imunisasi Minnesota (MINI) dimulai “pada tahun 2006 untuk mengurangi
hambatan vaksinasi pada populasi yang kurang terlayani” seperti orang
Afrika-Amerika, Hispanik-Amerika, dll. MINI berhasil meningkatkan vaksinasi dan
kepercayaan dalam komunitas ini. Keberhasilan mereka datang dari melibatkan
masyarakat, menjalin kemitraan yang kuat dengan penyedia layanan, dan secara
aktif melibatkan dan berkomunikasi dengan mitra masyarakat, dan mengadakan
klinik di fasilitas komunitas yang terpercaya. Studi penelitian lain juga
merekomendasikan bahwa penyedia membangun kepercayaan dengan klien dengan
melakukan upaya untuk membangun hubungan dengan pasien dan "dengan
mengingat profil budaya yang unik."
Menanggapi
populasi yang semakin beragam, beberapa negara bagian ( WA , CA , CT , NJ , NM ) telah mengeluarkan undang-undang yang membutuhkan atau sangat
merekomendasikan pelatihan kompetensi budaya untuk dokter. Pada tahun 2005,
legislatif New Jersey memberlakukan undang-undang yang mewajibkan semua dokter
untuk menyelesaikan setidaknya 6 jam pelatihan kompetensi budaya sebagai syarat
untuk memperbarui lisensi medis New Jersey mereka , baik mereka secara aktif berlatih di New Jersey atau
tidak. Tanggapan dokter terhadap persyaratan CME ini bervariasi, baik secara
positif maupun negatif. Tetapi umpan balik secara keseluruhan positif terhadap
hasil partisipasi dan kepuasan dengan program. Amerika Serikat juga mengesahkan
undang-undang federal tentang Standar yang Sesuai Secara Budaya dan Bahasa
(CLAS), yang merupakan undang-undang yang ditujukan untuk mengurangi
ketidakadilan perawatan kesehatan seperti yang terjadi pada kesehatan pengungsi di Amerika Serikat melalui perawatan yang
kompeten secara budaya.
Untuk
memberikan perawatan yang kompeten secara budaya untuk pasien mereka yang
beragam, dokter harus pada langkah pertama memahami bahwa budaya pasien dapat
sangat mempengaruhi bagaimana mereka mendefinisikan kesehatan dan penyakit,
bagaimana mereka mencari perawatan kesehatan, dan apa yang merupakan pengobatan
yang tepat. Mereka juga harus menyadari bahwa proses perawatan klinis mereka
juga dapat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi dan profesional mereka sendiri
serta budaya biomedis. Dr. Like menunjukkan dalam salah satu artikelnya bahwa
"dalam mengubah sistem, perawat transkultural, dokter, dan profesional
perawatan kesehatan lainnya perlu mengingat bahwa kerendahan hati budaya dan
kompetensi budaya harus berjalan beriringan."
2.3.4 Klinik
Kesehatan Masyarakat
Karena
asuransi, biaya, dan berbagai alasan lainnya, jenis layanan yang dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat minoritas biasanya tidak ditawarkan di
rumah sakit swasta. Pusat kesehatan yang memenuhi syarat federal (FQHCs) secara
hukum diamanatkan untuk memberikan perawatan primer bagi komunitas yang kurang
terlayani secara medis, dan dengan demikian merupakan pengaturan yang ideal
untuk menerapkan dan memberikan layanan inklusif secara budaya dan bahasa
kepada komunitas imigran.
Pusat Kesehatan
Masyarakat, pada tingkat yang paling dasar, menyediakan perawatan medis dasar
yang murah atau tanpa biaya bagi masyarakat berpenghasilan rendah, minoritas,
dan kurang terlayani. Mereka biasanya berlokasi di komunitas dan lingkungan
yang kurang terlayani, dengan ide untuk meningkatkan akses, mengurangi waktu
perjalanan dan menunggu, dan untuk memerangi gentrifikasi. Mereka dimaksudkan
untuk menjadi dari rakyat, oleh rakyat.
Dalam
Model Perawatan Terpadu yang memungkinkan klien mendapatkan pengalaman lengkap,
model CHC unik karena menawarkan berbagai layanan tambahan selain perawatan primer, seperti perawatan
gigi, perilaku, sosial layanan, dll. CHC juga “bangga dengan memberikan
perawatan yang bertanggung jawab dan kompeten secara budaya yang ditujukan
untuk mengurangi kesenjangan kesehatan yang terkait dengan kemiskinan, ras,
bahasa, dan budaya”, seperti yang terlihat dari terjemahan, interpretasi,
transportasi, dan pelayanan sosial. Menurut penelitian, CHC telah berhasil
meningkatkan pemanfaatan layanan kesehatan di daerah berpenghasilan rendah,
serta menurunkan penerimaan dan penerimaan kembali rumah sakit (metrik positif)
dibandingkan dengan penyedia layanan primer utama lainnya di daerah ini.
2.3.5 Pekerjaan
yang berhubungan dengan terapi
Terapis okupasi adalah
anggota perawatan kesehatan yang berharga di antara profesi kesehatan yang
terkait dan dapat menawarkan kontribusi unik untuk peningkatan kompetensi
budaya. Dalam perawatan kesehatan, terapis okupasi bekerja dengan berbagai
individu di seluruh rentang hidup dengan berbagai diagnosis atau gangguan dalam
pendekatan yang berpusat pada klien untuk menggunakan kegiatan atau intervensi
yang bermakna untuk meningkatkan kualitas hidup mereka dan mempromosikan
kemandirian. Karena pendekatan yang berpusat pada klien, terapis okupasi
memiliki kesempatan untuk mengembangkan hubungan saling percaya dengan klien
dan menggunakan faktor klien individu yang terkait dengan keyakinan dan nilai
sambil secara budaya peka terhadap kebutuhan dan keinginan mereka untuk hasil
mereka sendiri dalam perawatan. Terapis okupasi mengembangkan rencana
intervensi efektif individual berdasarkan pemahaman klien. Hubungan
terapis-pasien sangat penting dalam terapi okupasi untuk mempromosikan
keterlibatan klien dalam kegiatan yang bertujuan dan pekerjaan yang bermakna
dari pandangan budaya klien. Oleh karena itu, belajar tentang budaya,
menerapkan pengetahuan budaya dan merefleksikan budaya sangat penting untuk
mencapai tujuan akhir dari rencana perawatan yang berhasil dengan kesetaraan
dan keadilan.
Sumber daya berguna yang
tersedia untuk membantu meningkatkan kompetensi budaya tercantum di situs web
American Occupational Therapy Association (AOTA) dan memberikan definisi yang
lebih luas tentang berbagai istilah budaya dan perangkat kompetensi budaya yang
menyediakan sumber daya dan informasi mengenai kelompok individu tertentu yang
dapat membantu dalam meningkatkan kompetensi budaya dalam praktek sebagai
terapis okupasi.
2.3.6 Riset
Kompetensi
budaya dalam penelitian adalah kemampuan peneliti dan staf penelitian untuk
memberikan penelitian berkualitas tinggi yang memperhitungkan budaya dan
keragaman populasi ketika mengembangkan ide, desain, dan metodologi penelitian.
Kompetensi budaya dapat menjadi penting untuk memastikan bahwa pengambilan
sampel mewakili populasi dan oleh
karena itu diterapkan pada sejumlah orang yang beragam. Adalah penting bahwa
pendaftaran subjek penelitian mencerminkan sedekat mungkin populasi target dari
mereka yang terpengaruh oleh masalah kesehatan yang sedang dipelajari.
Pada
tahun 1994, National Institutes of Health menetapkan kebijakan (Hukum Publik
103-43) untuk memasukkan perempuan, anak-anak, dan anggota kelompok minoritas
dan subpopulasi mereka dalam studi klinis biomedis dan perilaku. Mengatasi
tantangan kompetensi budaya dalam penelitian juga berarti bahwa keanggotaan dewan
peninjau kelembagaan harus mencakup perwakilan
dari komunitas besar dan kelompok budaya sebagai perwakilan.
2.3.7 Pendidikan
medis
Pentingnya
pelatihan mahasiswa kedokteran untuk menjadi dokter yang kompeten secara budaya
di masa depan telah diakui oleh badan akreditasi seperti Dewan Akreditasi Pendidikan Kedokteran Pascasarjana (ACGME) dan Komite Penghubung Pendidikan Kedokteran (LCME) dan organisasi
medis lainnya seperti American
Medical Association (AMA) dan Institute
of Medicine (IOM).
Budaya
pasti melampaui suku dan ras. Profesional perawatan kesehatan perlu belajar
tentang toleransi terhadap keyakinan orang lain. Perawatan profesional adalah
tentang memenuhi kebutuhan pasien bahkan jika mereka tidak selaras dengan
keyakinan pribadi pengasuh. Menemukan keyakinan sendiri dan asal-usulnya (dari
pengasuhan atau model orang tua, misalnya) membantu memahami apa yang diyakini
dan memoderasi tindakan pada saat orang lain dirawat dengan keyakinan yang
berbeda. Akibatnya, penting bagi profesional kesehatan untuk mempraktikkan
kompetensi budaya dan mengenali perbedaan serta kepekaan budaya untuk
memberikan perawatan holistik bagi pasien.
Menurut
standar LCME untuk kompetensi budaya, "dosen dan mahasiswa harus
menunjukkan pemahaman tentang cara orang dari beragam budaya dan sistem
kepercayaan memandang kesehatan dan penyakit dan menanggapi berbagai gejala,
penyakit, dan perawatan." Menanggapi mandat, sekolah kedokteran di AS
telah memasukkan kompetensi mengajar budaya dalam kurikulum mereka. Penelusuran
kompetensi budaya dalam kurikulum sekolah kedokteran mengungkapkan bahwa
kompetensi budaya tercakup dalam 33 peristiwa dalam 13 kursus pada musim semi
2014. Penelusuran serupa dilakukan pada disparitas kesehatan yang menghasilkan
16 peristiwa dalam 10 kursus yang mencakup topik tersebut.
Kurikulum
kompetensi budaya dimaksudkan untuk meningkatkan interaksi antara pasien dan
dokter dan untuk memastikan bahwa siswa akan memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang memungkinkan mereka untuk memberikan perawatan
berkualitas tinggi dan kompeten secara budaya kepada pasien dan keluarga mereka
serta perawatan medis umum. masyarakat.
Sebuah
"intervensi visual" diselesaikan untuk mendidik profesional kesehatan
tentang bahaya diskriminasi bawah sadar terhadap kelompok minoritas untuk
mengurangi diskriminasi umum yang dihadapi ras atau etnis tertentu dalam
pengaturan perawatan kesehatan. Studi ini memungkinkan dokter untuk lebih fokus
pada masalah pasien mereka, dan benar-benar mendengarkan masalah mereka. Dengan
menciptakan ruang yang mendukung yang memupuk saluran komunikasi yang kuat,
penelitian ini menargetkan kurangnya hubungan antara profesional kesehatan dan
pasien karena hambatan bahasa atau ketidakpercayaan pasien pada profesional.
2.3.8 Edukasi pasien
Komunikasi
Pasien-Dokter melibatkan dua sisi. Sementara dokter dan penyedia layanan kesehatan
lainnya didorong atau diharuskan untuk kompeten secara budaya dalam memberikan
layanan kesehatan yang berkualitas, akan masuk akal untuk mendorong pasien juga
untuk peka secara budaya dan menyadari bahwa tidak semua penyedia layanan
kesehatan sama-sama kompeten dalam budaya. Ketika datang ke penyakit, keyakinan
budaya dan nilai-nilai sangat mempengaruhi perilaku pasien dalam mencari
perawatan kesehatan. Mereka harus mencoba yang terbaik untuk mengomunikasikan
kekhawatiran mereka terkait dengan keyakinan, nilai, dan faktor budaya lain
yang mungkin memengaruhi perawatan dan pengobatan kepada dokter dan penyedia
layanan kesehatan lainnya. Jika komunikasi yang efektif tidak mungkin tercapai,
maka mereka harus diberikan bantuan bahasa dan layanan interpretasi. Dewan
Medis Umum mengeluarkan panduan untuk
pasien "Apa yang diharapkan dari dokter Anda: panduan untuk pasien"
pada April 2013.
Kampanye
iklan promosi kesehatan. Kampanye komunikasi adalah upaya untuk
menginformasikan atau mempengaruhi perilaku dalam khalayak yang besar untuk
menghasilkan manfaat nonkomersial bagi individu dan masyarakat. Komunikasi
kesehatan yang dirancang untuk khalayak umum mungkin tidak menjangkau banyak
orang karena hambatan budaya dan bahasa. Kompetensi budaya menganalisis,
mendeteksi dan memperbaiki hambatan ini. Pendekatan satu ukuran untuk semua
tidak optimal untuk kompetensi budaya. Sebaliknya, organisasi masyarakat
tertentu akan tahu yang terbaik tentang keprihatinan khusus mereka sendiri.
Perhatian harus diberikan untuk tidak membuat audiens yang dituju merasa ditargetkan.
Iklan kesehatan masyarakat yang menampilkan model yang termasuk dalam kelompok
mereka sendiri dapat menyebabkan pertanyaan "Mengapa kami?" reaksi.
Iklan kesehatan masyarakat yang menampilkan minoritas tidak menghasilkan efek
reaksi ini ketika iklan tersebut muncul di publikasi berbasis komunitas yang
kebanyakan dibaca oleh grup unggulan. Contoh: Pada bulan Maret 2022,
Departemen Kesehatan Houston (HHD) mengumumkan perusahaan media dan bisnis
kreatif milik minoritas yang berbasis di Houston, 9thWonder Agency sebagai mitranya untuk membantu mengurangi
keraguan terhadap vaksin.
2.3.9 Perawatan
Fungsi
inti perawat bergantung pada percakapan dan komunikasi, yang secara langsung
dipengaruhi oleh kemampuan berbicara atau memahami bahasa dan budaya pasien. Namun,
ada intervensi terbatas bagi perawat untuk secara efektif mengelola
ketidaksesuaian bahasa. Satu studi bertujuan untuk memahami komponen
keperawatan yang dipengaruhi oleh ketidaksesuaian bahasa dan intervensi yang
telah berhasil digunakan untuk mengatasi hambatan ini. Para penulis
menganalisis 299 studi dan 24 memenuhi kriteria seleksi. Kriteria seleksi
termasuk apakah studi tersebut membahas topik ketidaksesuaian bahasa dan bahasa
tempat studi tersebut diterbitkan. Studi ini terutama kualitatif dan bukan
eksperimen numerik yang besar. Mayoritas, 20 dari 24, studi hanya berfokus pada
penggunaan layanan juru bahasa, apakah mereka profesional atau ad-hoc.
Sementara risiko juru bahasa ad-hoc jelas-jelas diajukan dalam penelitian, para
perawat secara teratur menggunakan juru bahasa ad-hoc ketika juru bahasa
profesional tidak tersedia. Penulis merekomendasikan bahwa setiap layanan
perawatan kesehatan merencanakan dan menerapkan proses dan sistem untuk
memberikan perawat alat, pelatihan, atau sumber daya yang mereka butuhkan untuk
melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif, khususnya ketika berkomunikasi
dengan pasien yang tidak berbicara bahasa pertama yang sama dengan mereka.
Namun demikian, penelitian ini memberikan sudut pandang lain untuk mendukung argumen
bahwa juru bahasa dan sumber daya untuk mengurangi risiko hambatan bahasa
sangat mendesak tidak hanya untuk pasien yang beragam, tetapi juga untuk dokter
yang ingin memberikan perawatan terbaik. perawat secara teratur menggunakan
juru bahasa ad-hoc ketika juru bahasa profesional tidak tersedia. Penulis
merekomendasikan bahwa setiap layanan perawatan kesehatan merencanakan dan
menerapkan proses dan sistem untuk memberikan perawat alat, pelatihan, atau
sumber daya yang mereka butuhkan untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara
efektif, khususnya ketika berkomunikasi dengan pasien yang tidak berbicara
bahasa pertama yang sama dengan mereka. Namun demikian, penelitian ini
memberikan sudut pandang lain untuk mendukung argumen bahwa juru bahasa dan
sumber daya untuk mengurangi risiko hambatan bahasa sangat mendesak tidak hanya
untuk pasien yang beragam, tetapi juga untuk dokter yang ingin memberikan
perawatan terbaik. perawat secara teratur menggunakan juru bahasa ad-hoc ketika
juru bahasa profesional tidak tersedia. Penulis merekomendasikan bahwa setiap
layanan perawatan kesehatan merencanakan dan menerapkan proses dan sistem untuk
memberikan perawat alat, pelatihan, atau sumber daya yang mereka butuhkan untuk
melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif, khususnya ketika berkomunikasi
dengan pasien yang tidak berbicara bahasa pertama yang sama dengan mereka.
Namun demikian, penelitian ini memberikan sudut pandang lain untuk mendukung
argumen bahwa juru bahasa dan sumber daya untuk mengurangi risiko hambatan bahasa
sangat mendesak tidak hanya untuk pasien yang beragam, tetapi juga untuk dokter
yang ingin memberikan perawatan terbaik. pelatihan, atau sumber daya yang
mereka butuhkan untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif, khususnya
saat berkomunikasi dengan pasien yang tidak berbicara bahasa pertama yang sama
dengan mereka. Namun demikian, penelitian ini memberikan sudut pandang lain
untuk mendukung argumen bahwa juru bahasa dan sumber daya untuk mengurangi
risiko hambatan bahasa sangat mendesak tidak hanya untuk pasien yang beragam,
tetapi juga untuk dokter yang ingin memberikan perawatan terbaik. pelatihan,
atau sumber daya yang mereka butuhkan untuk melaksanakan pekerjaan mereka
secara efektif, khususnya saat berkomunikasi dengan pasien yang tidak berbicara
bahasa pertama yang sama dengan mereka. Namun demikian, penelitian ini
memberikan sudut pandang lain untuk mendukung argumen bahwa juru bahasa dan
sumber daya untuk mengurangi risiko hambatan bahasa sangat mendesak tidak hanya
untuk pasien yang beragam, tetapi juga untuk dokter yang ingin memberikan
perawatan terbaik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
keberadaan
perawat di rumah sakit merupakan bagian yangpenting dari berbagai macam tim
kesehatan yang ada, oleh karena ituterciptanya nilai-nilai dasar
yangdijadikanpedomanbekerjabagisemuaanggotarumahsakitdapat diikutsertakan oleh
peranperawat. Selain itu kemampuan perawat dalam pelayananBudaya yang dilakukan
oleh budaya organisasiditempat perawat bekerja, karena nilai-nilai antara satu
rumah sakitdengan rumah sakit lain yang berbeda.Menurut Kotter dan Heskett
(1992) ada keterkaitan yang eratantara budaya organisasi dengan kinerja. Budaya
yang kuat akanmenghasilkan kinerja organisasi dalam jangka panjang. Budaya
yangkuat akan membantu kinerja dalam menciptkan motivasi dalam
diripekerja,menimbulkan rasa nyaman bekerja, kemudian timbulkomitmen yang
membuat karyawan lebih meningkatkan hasilkerja
3.2 Saran
Setelah
membaca dan memahami makalah ini diharapkanagar kita semua mampu menerapkan
ilmu budaya organisasidi tempat kerja untuk menciptkan motivasi dalam diri
pekerja,menimbulkan rasa nyaman bekerja, kemudian timbul komitmen yangmembuat
karyawan lebih meningkatkan hasil kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,
L.M., Scrimshaw, S.C., Fullilove, M.T., Fielding, J.E., & Normand, J.
(2003).
Andrews,
M., & Boyle, J.S. (2003). Transcultural concepts in nursing care.
Philadelphia: JB Lippincott Company.
Campinha-Bacote,
J. (2002). The process of cultural competence in the delivery health care services: A model of care. Journal of Transcultural Nursing, 13 (3), 181–184.
doi:10.1177/104596020 13003003
Culturally
competent healthcare systems: A systematic review. American Journal of Preventive Medicine, 24 (3S), 68–79.
Jeffreys,
M.R. (2006). Teaching cultural competence in nursing and health care: Inquiry,
action, and innovation. New York, USA: Springer Publishing company, Inc.
Joint
Commission International. (2010). Standar akreditasi rumah sakit (Edisi ke-4).
(Alih bahasa: M. Tjandarasa & N. Budiman). Jakarta: PERSI.
Journal
of Nursing Education, 42 (6), 273–276.
knowledge
and attitude of nursing student’s cultural awareness at Universitas Indonesia.
Jurnal Makara Seri Kesehatan, 16 (1), 23–28.
Lampley,
T., Little, K., Beck-Little, R., & Yu Xu (2008). Cultural competence of
north Carolina nurses: A journey from novice to expert. Home Health Care
Management & Practice, 20 (10), 1-8. doi: 10.1177/1084822307311946.
Leininger,
M., & McFarland, M.R. (2002a). Culture care theory: A major contribution to
advance transcultural nursing knowledge and practice. Journal of Transcultural
Nursing, 13 (3), 189–192. Diperoleh dari http://tcn.sagepub.com pada 24 April,
2008.
Leininger,
M., & McFarland, M.R. (2002b). Transcultural nursing: Concepts, theories,
research, and practice (3rd Ed.). New York: Mc Graw Hill.
Maier-Lorentz,
M. (2008). Transcultural Nursing: Its importance in nursing practice. Journal
Novieastari,
E. (2013). Pengaruh model asuhan keperawatan peka budaya terhadap kepuasan
pasien diabetes mellitus (Laporan Disertasi, tidak dipublikasikan). Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Novieastari,
N., Murtiwi, & Wiarsih, W. (2012). Modified simulation learning method on
of
Cultural Diversity, 15 (1), 37–43. Diperoleh dari Proquest Nursing & Allied
Health Source pada Juni 2013.
Part I.
Online Journal of Rural Nursing and Health Care, 7 (1), 47–56.
Potter,
P.A., & Perry, A.G. (2009). Fundamentals of nursing: Concepts, process, and
practice (7th Ed.). St. Louis, MI: Elsevier Mosby.
PP-PPNI. (2010).
Standar profesi dan
kode etik perawat Indonesia.
Jakarta: PP-PPNI.
Seright,
T.J. (2007). Perspectives of registered nurse cultural competence in a rural
state:
Shearer,
R., & Davidhizar, R. (2003). Using role play to develop cultural
competence.
Zander,
P.E. (2007). Cultural competence: Analyzing the construct. The Journal of Theory Construction and Testing, 11 (2),
50–54.
No comments:
Post a Comment