DAFTAR ISI
KATAPENGATAR ..................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 4
1.1 Latar Belakang............................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah....................................................................... 6
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 7
2.1 Pengertian Otonomi Daerah........................................................ 7
2.2 Sejarah Otonomi Daerah............................................................. 7
2.3 Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah.......................................... 14
2.4 Hakikat Otonomi Daerah........................................................... 16
2.5 Aturan Perundang-Undangan.................................................... 20
3.1 Kesimpulan................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Sejak awal berdirinya
Negara Kesatuan Republik Indonesia para founding
fathers telah menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan
dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Cita desentralisasi ini
senantiasa menjadi bagian dalam praktek pemerintahan Negara sejak berlakunya
UUD 1945, terus memasuki era Konstitusi RIS, UUDS 1950 sampai pada era kembali
ke UUD 1945 yang dikukuhkan lewat Dekrit Presiden 5 juli 1959.
Garis perkembangan sejarah
tersebut membuktikan bahwa cita desentralisasi senantiasa dipegang teguh oleh
Negara Republik Indonesia, sekalipun dari satu periode ke periode lainnya
terlihat adanya perbedaan dalam intensitasnya.
Sebagai perwujudan dari cita desentralisasi tersebut,
maka langkahlangkah penting sudah dilakukan oleh pemerintah. Lahirnya berbagai
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah
membuktikan bahwa keinginan untuk mewujudkan cita-cita ini terus berlanjut.
Sekalipun demikia, kenyataan membuktikan bahwa cita tersebut masih jauh dalam
realisasinya. Otonomi daerah masih lebih sebagai harapan ketimbang sebagai
kenyataan yang telah terjadi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Otonomi
Daerah belumlah terwujud sebagaimana yang diharapkan. Kita nampaknya baru
menuju kea rah Otonomi Daerah yang sebenarnya.
Beberapa faktor-faktor yang
menetukan prospek otonomi daerah,
diantaranya, yaitu :
Faktor Pertama adalah
faktor manusia sebagai subyek penggerak (faktor dinamis) dalam peenyelenggaraan
otonomi daerah. Faktor manusia ini haruslah baik, dalam pengertian moral maupun
kapasitasnya. Faktor ini mencakup unsur pemerintah daerah yang terdiri dari
Kepala Daerah dan DPRD, aparatur daerah maupun masyarakat daerah yang merupakan
lingkungan tempat aktivitas
pemerintahan daerah tersebut.
Faktor kedua adalah faktor
keuangan yang merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya aktivitas
pemerintahan Daerah. Salah stu cirri
daerah otonom adalah terletak pada kemampuan self supportingnya / mandiri dalam bidang keuangan. Karena itu,
kemampuan keuangan ini akan sangat memberikan pengaruh terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Sumber keuangan daerah
yang asli, misalnya pajak dan retribusi daerah, hasilm perusahaan daerah dan
dinas daerah, serta hasil daerah lainnya yang sah, haruslah mampu memberikan
kontribusinya bagi keuangan daerah.
Faktor ketiga adalah
faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi terselenggaranya
aktivitas pemerintahan daerah. Peralatan yang ada haruslah cukup dari segi
jumlahnya, memadai dari segi kualitasnya dan praktis dari segi penggunaannya.
Syarat-syarat peralatan semacam inilah yang akan sangat berpengaruh terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Faktor keempat adalah
faktor organisasi dan manajemen. Tanpa kemampuan organisasi dan manajemen yang
memadai penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dilakukan dengan baik,
efisien, dan efektif.oleh sebab itu perhatian yang sungguh-sunggguh terhadap
masalah ini dituntut dari para penyelenggara pemerintahan daerah.
Sejarah perkembangan
Otonomi Daerah membuktikan bahwa keempat faktor tersebut di atas masih jauh
dari yang diharapkan. Karenanya Otonomi Daerah masih menunjukkan sosoknya yang
kurang menggembirakan.oleh sebab itu apabila kita berkeinginan untuk
merealisasi cita-cita Otonomi Daerah maka pembenahan dan perhatian yang
sungguh-sungguh perlu
diberikan kepada empat
faktor di atas.
1.2.Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan otonomi
daerah ?
2.
Bagaimana sejarah otonomi daerah?
3.
Apa saja tujuan dan prinsip
otonomi daerah ?
4.
Apa hakekat otonomi daerah dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia?
5.
Apa saja perundang undangan
otonomi daerah?
1.3.Tujuan
1.
Untuk mengetahui tentang otonomi
daerah
2.
Untuk mengetahui sejarah otonomi
daerah
3.
Untuk mengetahui tujuan dan
prinsip otonomi daerah
4.
Untuk mengetahui hakekat otonomi
daerah dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia
5.
Untuk mengetahui perundang
undangan otonomi daerah
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Onotomi Daerah
Otonomi berasal dari 2 kata yaitu , auto berarti sendiri,nomosberarti rumah tangga atau urusan
pemerintahan.Otonomi dengan demikian berarti mengurus rumah tangga
sendiri.Dengan mendampingkan kata ekonomi dengan kata daerah,maka istilah
“mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan dari
pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah
sendiri.
Ada juga berbagai pengertian yang berdasarkan pada aturan
yang di tetapkan oleh Pemerintahan Daerah. Pengertian yang memliki kaitan dan
hubungan dengan otonomi daerah yang terdapat di dalam Undang-Undang,yaitu
sebagai berikut:
-
Pemerintah
daerah yaitu penyelenggaraan urusan di dalam suatu daerah.
-
Penyelenggaran
urusan pemerintah daerah tersebut harus menurut asas otonomi seluas-luasya
dalam prinsip dan sistem NKRI sebagaimana yang dimaksudkan di dalam UUD 1945.
Otonomi daerah adalah wewenang,hak dan kewajiban suatu
daerah otonom untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerintahan dan
mengurus berbagai kepentingan masyarakat yang berada dan menetap di dalam
daerah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.2. Sejarah Otonomi Daerah
A.
Warisan Kolonial
Pada tahun 1903,
pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi peluang
dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian
staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada
tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922.
Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente,
dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu
juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat
setempat.
Pemerintah kerajaan satu
per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik
(kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa
pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi
pemerintahan.
B.
Masa Pendudukan Jepang
Ketika menjalar PD II
Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan
Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan
pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta
Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar
tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup
fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah
bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang
(Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir
tidak memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah
pada masa tersebut bersifat misleading.
C.
Masa Kemerdekaan
1. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1
Tahun 1945 menitik beratkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND
(komite Nasional Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan
daerahdaerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas
dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
• Provinsi
• Kabupaten/kota besar
Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya
mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya
pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.
2.
Periode Undang-undang Nomor 22
tahun 1948
Peraturan kedua yang
mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang
ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan
bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
• Provinsi
• Kabupaten/kota besar
• Desa/kota kecil
3.
Periode Undang-undang Nomor 1
Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun
1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi
menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam
tiga tingkat, yaitu:
• Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
• Daerah swatantra tingkat II
• Daerah swatantra tingkat III.
4.
Periode Penetapan Presiden Nomor 6
Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959
yang berlaku pada tanggal 7 November 1959 menitik beratkan pada kestabilan dan
efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan
daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal
dangan daerah tingkat I,
tingkat II, dan daerah tingkat III.
Dekonsentrasi sangat
menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala daerah
diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.
5.
Periode Undang-undang Nomor 18
Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi
dalam tiga tingkatan yakni:
• Provinsi (tingkat I)
• Kabupaten (tingkat II)
• Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah
pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan politik
polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah
pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang
diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah,
kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif
pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan
DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
6.
Periode Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa
daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya berdasar asas
desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat
I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya
menjadi:
• Provinsi/ibu kota Negara
• Kabupaten/kotamadya
• Kecamatan
Titik berat otonomi
daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan
langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi
masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.
7.
Periode Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini
mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan
desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut:
• Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian
kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
• Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi
adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi
adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
• Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
• Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22
tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU
ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
8.
Periode Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober
disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa
dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan
hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat
berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat
berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di
bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu,
hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin di
pertegas dan di perjelas. Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam
mendorong lahirnya kebijakan otonomi daerah berupa UU No.22 Tahun 1999.
1. Faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan
poitik sentralisme di masa lampau.
Faktor eksternal yang di pengaruhi oleh
dorongan internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk efisiensi
dari biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi
yang panjang.
Undang-undang no 22 tahun
1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang
demokraris. Di dalam undang-undang ini di tetapkan 29 (dua ) jeis daerah, yaitu
daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta tiga tingkatan daerah
otonom yaitu provinsi, kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil.
Sistem Otonomi daerah
Yang di maksud dengan paham atau sistem
otonomi di sini ialah patokan tentang cara penentuan batas-batas urusan rumah
tangga daerah dan tentang tata acara pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat
kepada daerah menurut suatu prinsip atau pemikiran tertentu. (Sujamto; 1990)
Adapun mengenai faham
atau atau system otonomi tersebut pada umumnya orang mengenal ada dua faham
atau system pokok, yaitu faham atau system otonomi materiil dan faham atau
system otonomi formal. Oleh Sujamto (1990) kedua istilah ini lazim juga disebut
pengertian rumah tangga materiil (materiele huishoudingsbegrip) dan pengertian
rumah tangga formil (formeele huishoudingsbegrip).
Koesoemahatmadja (1978)
menyatakan ada tiga ajaran rumah tangga yang
terkenal yaitu :
a.
Ajaran Ruamh Tangga Materil
(materiele huishoudingsleer), bahwa dalam hubungan pemerintah pusat dan daerah
ada pembagian tugas yang jelas, dimana tugas-tugas tersebut di perinci dengan
jelas dan diperinci dengan Undang-Undang tentang pembentukkan suatu daerah.
b.
Ajaran Rumah Tangga Fomil (formil
huishoudingsleer), disini tidak terdapat perbedaan sifat antar tugas-tugas yag
diselenggarakan oleh pemerintahan pusat dan daerah. Apa yang dikerjakan
pemerintahan pusat pada prinsipnya dapat dikerjakan oleh pemerintahan daerah,
dan sebaliknya. Bila ada pembagiian tugas maka di dasarkan atas pembagian
rasional dan praktis.
c.
Ajaran Rumah Tangga Riil (riele
huishoudingsleer).
Peraturan
perundang-undanag yang pertama kali menagtur tentang pemerintahan daerah pasca
proklamasi kemerdekaan adalah UU Nomor 1 tahun 1945. Undang-undang ini
merupakan hasil dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di masa
kerajaan dan masa pemerintahan
kolonialisme. Namun undang-undang ini belum mengatur tentang desentralisasi dan
hanya menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pembentukan
badan perwakilan rakyat daerah.
Undang-undang tersebut
diganti oleh UU nomor 22 tahun 1948 yang berfokus pada pengaturan susunan
pemerintahan daerah yang demokratis. Undang-undang ini menetapkan dua jenis
daerah otonom dan tiga tingkatan daerah otonom.
Perjalanan sejarah
otonomi Indonesia selanjutnya ditandai dengan munculnya UU nomor 1 tahun 1957
yang menjadi peraturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh
Indonesia. Selanjutnya UU nomor 18 tahun 1965 yang menganut sistem otonomi yang
riil dan seluas-luasnya. Kemudian disusul dengan munculnya UU nomor 5 tahun
1974 yang menganut sistem otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Hal ini
karena sistem otonomi yang sebelumnya dianggap memiliki kecenderungan pemikiran
yang dapat membahayakan keutuhan NKRI serta tidak serasi denagn maksud dan
tujuan pemberian otonomi kepada daerah.
UU yang terakhir ini
berumur paling panjang, yaitu 25 tahun yang kemudian digantikan dengan UU nomor
22 tahun 1999 pasca reformasi. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan situasi
yang terjadi pada masa itu. Berdasarkan kehendak reformasi saat itu, Sidang
Istimewa MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah;
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan
serta peimbangan keuanagn pusat dan daerah dalam kerangka NKRI. Selain itu,
hasil amandemen MPR RI pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua, yang
secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa negara Indonesia memakai prinsip
otonomi dan
desentralisasi kekuatan politik juga semakin
memberikan tempat kepada otonomi daerah di tempatnya.
Tiga tahun setelah
implementasi UU No. 22 tahun 1999, pemerintah melakukan peninjauan dan revisi
terhadap undang-undang yang berakhir pada lahirnya UU No. 32 tahun 2004 yang
juga mengatur tentang pemerintah daerah yang berlaku hingga sekarang.
2.3. Tujuan
dan Prinsip Otonomi Daerah
1) Tujuan Otonomi Daerah
Menurut pengalaman dalam
pelaksanaan bidang-bidang tugas tertentu sistem Sentralistik tidak dapat
menjamin kesesuaian tindakan-tindakan Pemerintah Pusat dengan keadaan di
daerah-daerah. Maka untuk mengatasi hal ini, pemerintah kita menganut sistem
Desentralisasi atau Otonomi Daerah. Hal ini disebabkan wilayah kita terdiri
dari berbagai daerah yang masing-masing memiliki sifat-sifat khusus tersendiri
yang dipengaruhi oleh faktor geografis (keadaan alam, iklim, flora-fauna,
adat-istiadat, kehidupan ekonomi dan bahasa), tingkat pendidikan dan lain
sebagainya. Dengan sistem Desentralisasi diberikan kekuasaan kepada daerah
untuk melaksanakan kebijakan pemerintah sesuai dengan keadaan khusus di daerah
kekuasaannya masing-masing, dengan catatan tetap tidak boleh menyimpang dari
garis-garis aturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Jadi pada
dasarnya, maksud dan tujuan diadakannya pemerintahan di daerah adalah untuk
mencapai efektivitas pemerintahan.
Otonomi yang diberikan oleh pemerintah pusat
kepada daerah ini bersifat mandiri dan bebas. Pemerintah daerah bebas dan
mandiri untuk membuat peraturan bagi
wilayahnya. Namun, harus tetap mempertanggungjawabkannya dihadapan Negara dan
pemerintahan pusat.
Selain tujuan diatas, masih terdapat
beberapa point sebagai tujuan dari otonomi daerah. Dibawah ini adalah beberapa
tujuan dari otonomi daerah dilihat dari segi politik, ekonomi, pemerintahan dan
sosial budaya, yaitu sebagai berikut.
a.
Dilihat dari segi politik,
penyelenggaraan otonomi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan dipusat
dan membangun masyarakat yang demokratis, untuk menarik rakyat ikut serta dalam
pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi.
b.
Dilihat dari segi pemerintahan,
penyelenggaraan otonomi daerah untuk mencapai pemerintahan yang efisien.
c.
Dilihat dari segi sosial budaya,
penyelenggaran otonomi daerah diperlukan agar perhatian lebih fokus kepada
daerah.
d.
Dilihar dari segi ekonomi, otonomi
perlu diadakan agar masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam pembangunan
ekonomi di daerah masing-masing.
Untuk mencapai tujuan
otonomi daerah tersebut, sebaiknya dimulai dari diri sendiri. Para pejabat
harus memiliki kesadaran penuh bahwa tugas yang diembannya merupakan sebuah
amanah yang harus dijalankan dan
dipertanggungjawabkan. Selain itu, kita
semua juga memiliki kewajiban untuk berpartisipasi dalam rangka tercapainya
tujuan otonomi daerah. Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya bukan hal yang
mudah karena tidak mungkin dilakukan secara instan. Butuh proses dan berbagai
upaya serta partisipasi dari banyak pihak. Oleh karena itu, diperlukan
kesungguhan serta kerjasama dari berbagai pihak untuk mencapai tujuan ini.
2) Prinsip Otonomi Daerah
Atas dasar pencapaian tujuan diatas, prinsip-prinsip yang dijadikan
pedoman dalam pemberian Otonomi Daerah adalah sebagai berikut (Penjelasan UU
No. 32 Tahun 2004) :
a.
Prinsip Otonomi Daerah menggunakan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus
dan mengatur semua urusan pemerintah diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang
ditetapkan dalam Undang-undang ini. Daerah memliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberi
pelayanan, peningkatan peran serta,
prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
rakyat.
b.
Sejalan dengan prinsip tersebut
dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip
otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintah
daerah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya
telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan
potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap
daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan
otonomi yang bertanggunjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus
benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada
dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
2.4. Hakikat
Otonomi Daerah
Desentralisasi dalam kerangka system
penyelenggaraan pemerintah sering digunakan secara campur baur. Desentralisas
sebagai mana di definisikan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) : desentralisasi
terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat yang berada
di ibu kota Negara baik secara dekonsentrasi, misalnya pendelegrasian kepada
pemerintah atau perwakilan daerah.
Sedangkan pengertian otonomi dalam makna sempit
dapat diartikan sebagai ”mandiri ”. Sedangkan dalam makna yang luas diartikan sebagai
” berdaya”.
Otonomi daerah engan demikian berarti
kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan
mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Namun demikian, pelaksanan
desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara teoritik
ataupun empirik. Kalangan teoritis pemerintah dan politik mengajukan sejumlah
argumen yang menjadi dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggung
jawabkan baik secara empirik atau pun normatif-teoritik.
Di dalam ketentuan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 1 ayat (1), menyatakan bahwa “Negara
Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Istilah negara
kesatuan (bersusun tunggal), adalah bahwa susunan negaranya hanya terdiri dari
satu negara. Dengan kata lain Indonesia tidak mengenal konsep negara bagian di
dalam penyelenggaraan pemerintahan negaranya. Dengan demikian dalam “negara
kesatuan” hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintahan pusat yang mempunyai
kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan
kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan
pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah. Walaupun konsep
negara Indonesia sebagai negara kesatuan jika dilihat dari luas wilayah kurang
cocok. Namun, dengan pemberian otonomi inilah kita semua dapat meringankan
tugas-tugas pemerintahan pusat.
Sebab, jika menelaah sejarah sentralisasi
yang pernah dipraktikan di Indonesia sendiri kurang cocok.
Indonesia adalah negara
kesatuan yang berbentuk republik. Kekuasaan negara kesatuan terletak pada
pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah, walaupun dalam
implementasinya, negara kesatuan bisa berbentuk sentralisasi, yang segala
kebijaksanaan dilakukan secara terpusat ataupun berbentuk desentralisasi, yang
segala kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara (pemerintahan)
dipencarkan.
Ciri yang melekat pada
negara kesatuan, yaitu
1.
Adanya supremasi dari parlemen
atau lembaga perwakilan rakyat
pusat
2.
Tidak adanya badan-badan bawahan
yang mempunyai kedaulatan (the absencee of subsidiary soveriegn bodies).
Kedaulatan yang terdapat dalam negara kesatuan tidak dapat dibagi-bagi, bentuk
pemerintahan desentralisasi dalam negara kesatuan adalah sebagai usaha
mewujudkan pemerintahan demokrasi, di mana pemerintahan daerah dijalankan
secara efektif, guna pemberdayaan kemaslahatan rakyat. Menurut moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih,
yang dimaksud dengan negara kesatuan adalah:
“Disebut negara kesatuan
apabila kekuasaan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah tidak sama dan
tidak sederajat. Kekuasaan pemerintahan pusat merupakan kekuasaan yang menonjol
dalam negara dan tidak ada saingannya dari badan legislatif pusat dalam
membentuk undang-undang. Kekuasaan yang di daerah bersifat derivatif (tidak
langsung) dan sering dalam bentuk otonomi yang luas”. Dalam
menyelenggarakan
pemerintahannnya dianut 3 (tiga) asas yaitu:
1.
Desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan republik
indonesia.
2.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
3.
Tugas pembantuan adalah penugasan
dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Ada beberapa alasan ideal
mengapa asas desentralisasi diterapkan bagi penyelenggaraan pemerintahan
daerah, sebagaimana yang diungkapkan
oleh the liang gie,
diantaranya:
• Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi
dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada
akhirnya dapat menimbulkan tirani. Dalam bidang politik, penyelenggaraan
desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat
ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak
demokrasi.
• Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan
pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu
pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh
pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah.
• Dari sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan supaya adanya
perhatian dapat sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan sesuatu daerah, seperti
geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi watak kebudayaan atau latar
belakang sejarahnya.
• Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi
diperlukan karena pemerintah daerah dapat
lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.
2.5 Aturan
Perundang-Undangan
Ada beberapa peraturan dasar tentang
pelaksanaan otonomi daerah,yaitu sebagai berikut:
1.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Di Daerah
2.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah
3.
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah
4.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
5.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
6.
Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Otonomi berasal dari 2 kata yaitu , auto berarti sendiri,nomosberarti rumah tangga atau urusan
pemerintahan.Otonomi dengan demikian berarti mengurus rumah tangga
sendiri.Dengan mendampingkan kata ekonomi dengan kata daerah,maka istilah
“mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan dari
pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah sendiri.
Sejarah otonomi daerah :
1.
Masa Kolonial
2.
Masa Pendudukan Jepang
3.
Masa Kemerdekaan beberapa tujuan
dari otonomi daerah dilihat dari segi politik, ekonomi, pemerintahan dan sosial
budaya.
Dalam menyelenggarakan
pemerintahannnya dianut 3 (tiga) asas yaitu:
1.
Desentralisasi
2.
Dekonsentrasi
3.
Tugas pembantuan
3.2.
Saran
Semoga masyarakat dapat
memahami tentang otonomi daerah masing-masing agar tercipta kehidupan
masyarakat yang teratur. Untuk pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kinerja
dalam otonomi daerah yang diatur sesuai dengan bagiannya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Fajri,Muhammad,dkk. 2012. Otonomi Daerah. Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu
Sosial Dan Politik
Universitas Islam Riau
Marbun, B. (2005). Otonomi Daerah
1945‐2005 Proses dan Realita
Perkembangan Otda
Sejak Zaman Kolonial sampai
Saat Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.
Nazara, C.M. (2006). Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran
Provinsi Banten.Skripsi pada FEM IPB Bogor: tidak diterbitkan.
Salam, D. (2004). Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan,
Nilai dan Sumber Daya. Bandung: Djambatan.
Riwu Kaho, Josef,
1988, Prospek Otonomi Daerah di Indonesia,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
No comments:
Post a Comment