B. Sejarah Hukum Pidana di Indonesia
C. Tindak Pidana dan Jenis Pidana
E. Penggolongan Tindak-Tindak Pidana Menurut KUHP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan
sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan yang mendesak,
kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakan
untuk mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan setiap manusia itu akan
dapat dipenuhi, -walaupun tidak seluruhnya, -dalam keadaan yang tidak
memerlukan desakan dari dalam atau orang lain. Terhadap kebutuhan yang mendesak
pemenuhanya dan harus dipenuhi dengan segera biasanya sering dilaksanakan tanpa
pemikiran matang yang dapat merugikan lingkungan atau manusia lain. Hal seperti
itu akan menimbulkan suatu akibat negatif yang tidak seimbang dengan suasana
dari kehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan
kehidupan yang bernilai baik itu di perlukan suatu pertanggung jawaban dari
pelaku yang berbuat sampai ada ketidakseimbangan.
Dan pertanggung
jawaban yang wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidak enakan
masyarakat supaya dapat dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami.
Pemberi pelimpahan dilakukan oleh individu atau sekelompok orang yang berwenang
untuk itu sebagai tugas yang diberikan masyarakat kepadanya. Sedangkan penerima
limpahan dalam mempertanggung jawabkan perbuatanya pelimpahan itu berupa
hukuman yang disebut “dipidanakan”. Jadi bagi seseorang yang dipidanakan
berarti dirinya menjalankan suatu hukuman untuk mempertanggung jawabkan
perbuatanya yang dinilai kurang baik dan membahayakan kepentingan umum.
Pernyataan ini dikehendaki berlakunya oleh kehidupan sosial dan agama. Kalau
ada orang yang melanggar pernyataan ini baik dengan ucapan maupun dengan
kegiatan anggota fisiknya, maka ia akan dikenakan sanksi. Hanya saja yang dapat
dirasakan berat adalah sanksi hukum pidana, karena merupakan pelaksanaan
pertanggung jawaban dari kegiatan yang kerjakan dan wujud dari sanksi pidana
itu sebagai sesuatu yang dirasa adil oleh masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian hukum pidana ?
2.
Bagaimana Sejarah Hukum di Indonesia ?
3.
Bagaimana Tindak Pidana dan Jenis Pidana
4.
Bagaimana berlaku hukum pidana
5.
Bagaimana tindak pidana dan sistematika KUHP
BAB II
PEMBAHSAN
A. Pengertian Hukum Pidana
Merumuskan hukum pidana ke dalam rangakaian kata untuk dapat
memberikan sebuah pengertian yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan
hukum pidana adalah sangat sukar. Namun setidaknya dengan merumuskan hukum
pidana menjadi sebuah penger-tian dapat membantu memberikan gambaran/deskripsi
awal tentang hukum pidana. Banyak pengertian dari hukum pidana yang diberikan
oleh para ahli hukum pidana diantaranya adalah sebagai berikut:
- W.L.G. Lemaire
Hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi
keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang)
telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan
yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana
itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap
tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam
keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang
bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.
- Simons
Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum
pidana dalam arti objek tif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana
dalam arti subjektif atau strafrecht in subjectieve zin.
Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang
berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.Simons
merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai:
a.
Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam
dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;
b.
Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk
penjatuhan pidana, dan;
c.
Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk pen-jatuhan
dan penerapan pidana.
Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi bisa
diartikan secara luas dan sempit, yaitu sebagai berikut:
- Dalam arti luas
Hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk
mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu;
- Dalam arti sempit
Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan
melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak
ini dilakukan oleh badan-badan peradilan. Jadi ius puniendi adalah hak
mengenakan pidana. Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) yang
merupakan peraturan yang mengatur hak negara dan alat perlengkapan negara untuk
mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang
melanggar larangan dan perintah yang telah diatur di dalam hukum pidana itu
diperoleh negara dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum
pidana dalam arti objek tif (ius poenale). Dengan kata lain ius puniendi harus
berdasarkan kepada ius poenale.
a.
W.F.C. van Hattum
Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan
peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum
lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah
melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah
mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan
yang bersifat khusus berupa hukuman.
b.
Moeljatno
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk
1. Menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut;
2. Menentukan kapan
dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu
dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
3. Menentukan
dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
• Van Kan
Hukum pidana tidak mengadakan norma-norma baru dan tidak
menimbul-kan kewajiban-kewajiban yang dulunya belum ada. Hanya norma-norma yang
sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancaman pidana dan
pemidanaan. Hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat
berlakunya norma-norma hukum yang telah ada. Tetapi tidak mengadakan norma
baru. Hukum pidana sesungguhnya adalah hukum sanksi (het straf-recht is
wezenlijk sanctie-recht).
• Pompe
Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan
terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya
pidana itu.
• Hazewinkel-Suringa
Hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung
larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya dian-cam
dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.
• Adami
Chazawi
Hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang
memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang:
1. Aturan umum
hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan
perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai
dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu
2. Syarat-syarat
tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat
dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang
dilanggarnya;
3. Tindakan dan
upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat
perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan
didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan,
menja-tuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan
dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa
pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya
dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.
• Menurut E.Y.
Kanter dan S.R. Sianturi,bahwa hukum pidana adat pun yang tidak dibuat oleh
negara atau political authority masih mendapat tempat dalam pengertian hukum
pidana. Hukum adat tumbuh dan berakar dalam kesadaran dan pergaulan hidup
masyarakat. Kenyataan masih berlakunya hukum adat di Indonesia sampai saat ini
tidak dapat dipungkiri, dengan demikian maka perumusan hukum pidana adalah
bagian dari hukum positif yang berlaku di suatu negara dengan memper-hatikan
waktu, tempat dan bagian penduduk, yang memuat dasar-dasar dan
ketentuan-ketentuan mengenai tindakan larangan atau tindakan keha-rusan dan
kepada pelanggarnya diancam dengan pidana. Menentukan pula bilamana dan dalam
hal apa pelaku pelanggaran tersebut dipertang-gungjawabkan, serta
ketentuan-ketentuan mengenai hak dan cara penyi-dikan, penuntutan, penjatuhan
pidana dan pelaksanaan pidana demi tegaknya hukum yang bertitik berat kepada
keadilan. Perumusan ini men-cakup juga hukum (pidana) adat, serta bertujuan
mengadakan keseim-bangan di antara pelbagai kepentingan atau keadilan.
Sejauh mana hukum (pidana) adat tercakup atau berperan
mempe-ngaruhi hukum pidana yang telah diatur dalam perundang-undangan, banyak
tergantung kepada penghargaan nilai-nilai luhur yang merupakan kesadaran hukum
masyarakat (setempat), masih/tidaknya hukum adat diakui oleh undang-undang negara,
maupun kepada sejauh mana hukum (pidana) adat masih dianggap sejalan atau
ditolerir oleh falsafah Pancasila dan undang-undang yang berlaku.
Ketergantungan yang disebut terakhir adalah merupakan pembatasan mutlak
terhadap penerapan hukum (pidana) adat. Dengan demikian sebenarnya asas
legalitas masih tetap dianut atau dipertahankan, hanya dalam beberapa hal ada
pengecualian. Dalam hal terdapat pertentangan antara hukum (pidana) adat dengan
undang-undang yang berlaku, maka hakim sebagai figur utama untuk menyelesaikan
suatu pertikaian/perkara banyak memegang peranan. Hakim dianggap mengenal
hukum. Hakim wajib mencari dan menemu-kan hukum. Hakim mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam masyara-kat, karena itu hakim sebagai manusia yang arif dan
bijaksana, yang bertanggung jawab kepada Tuhan, negara dan pribadi, tidak boleh
meno-lak memberi keadilan.
Dari beberapa pendapat yang telah dikutip tersebut dapat
diambil gambaran tentang hukum pidana, bahwa hukum pidana setidaknya meru-pakan
hukum yang mengatur tentang:
1. Untuk
melakukan suatu perbuatan;
2. Syarat-syarat
agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana;
3. Sanksi pidana
apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang
dilarang (delik);
4. Cara
mempertahankan/memberlakukan hukum pidana.
B. Sejarah Hukum Pidana di Indonesia
1. ZAMAN
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)
Pada
masa ini selain hukum-hukum adat pidana yang berlaku bagi kaum pribumi di
Indonesia, penguasa VOC mulai memberlakukan plakat-plakat yang berisi hukum
pidana. Tahun 1642, Joan Maetsuycker mantan Hof van Justitie di Batavia yang
mendapat tugas dari Gubernur Jenderal van Diemen merampungkan suatu himpunan
plakat-plakat yang dinamakan Statuten van Batavia, kemudian pada tahun 1650
himpunan ini disahkan oleh Heeren Zeventien. Menurut Utrecht, hukum yang
berlaku di daerah yang dikuasai oleh VOC, ialah :
Hukum statuta yang termuat di dalam
Statuten van Batavia
Hukum Belanda Kuno
Asas-asas Hukum Romawi
Hubungan
hukum Belanda kuno ialah sebagai pelengkap jika statuta tidak dapat
menyelesaikan masalah, hukum Belanda kuno diaplikasikan. Sedangkan hukum Romawi
berlaku untuk mengatur kedudukan hukum budak (Slaven Recht)
Statuta
Betawi itu berlaku bagi daerah Betawi dan sekitarnya, Tetapi ini merupakan
teori saja karena pada prakteknya orang pribumi tetap tinduk pada hukum adat.
Di daerah lainnya pun tetap berlaku hukum adat pidana. Campur tangan VOC hanya
dalam masalah pidana yang berkaitan dengan kepentingan dagangnya. Di daerah
Cirebon berlaku Papakem Cirebon yang mendapat pengaruh VOC.
Pada
tahun1848 dibentuk lagi intermaire strafbepalingen, barulah pada tahun 1866
muncul kodifikasi yang sistematis. Mulai tanggal 10 Februari 1866 berlakulah
dua KUHP di Indonesia :
Het Wetbook van Starftrecht voor Europeanen
(Stbl. 1866 No. 55) yang berlaku bagi golongan Eropa mulai 1 Januari 1867.
Kemudian dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 berlaku KUHP untuk golongan
Bumiputera dan Timur Asing.
Het Wetbook van Starftrecht voor Inlands en
daarmede gelijkgestelde (Stbl. 1872 No. 85) mulai berlaku 1 Januari 1873.
2. Zaman
Hindia Belanda
Berdasarkan
sejaragh dari tahun 1811 sampai 1814 Indonesia pernah dibawah kepemimpinan
Inggris. Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas koloni Belanda
dikembalikan kepada Belanda lagi. Dengan Regerings Reglement 1815 dengan
tambahan (Supletoire Instructie 23 September 1815)maka hukum dasar colonial
tercipta. Agar tidak terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi
19 Agustus 1816 , Stbl.1816 No. 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu
semua peraturan bekas pemerintahan Inggris tetap dipertahankan. Untuk orang
pribumi hukum adat pidana masih diakui asalkan tidak bertentangan dengan
undang-undang dari pemerintah.
Kepada
bangasa Indonesia ditetapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan yang
didasarkan pada Stbl. 1828 No. 16, mereka dibagi atas dua golongan, yaitu:
Yang dipidana kerja rantai
Yang dipidana kerja paksa
Yang
terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi upah[6]. Tetapi dalam
prakteknya pidana kerja paksa dikenakan dengan tiga cara:
Kerja paksa dengan dirantai dan pembuangan
Kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak
dibuang
Kerja pakasa tanpa rantai tetapi dibuang
KUHP
yang berlaku bagi golongan Eropa tersebut pada dasarnya adalah salinan Code
Penal yang berlaku di Negeri Belanda tetapi berbeda dari sumbernya tersebut,
yang berlaku di Indonesia terdiri atas 2 buku, sedangkan Code Penal terdiri
atas 4 buku. KUHP yang berlaku bagi golongan bumiputera juga saduran dari KUHP
yang berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai
pada KUHP 1918 pun, pidananya lebih berat daripada KUHP Belanda 1886. Oleh
karena itu perlu ditinjau secara sekilas lintas perkembangan kodifikasi di
Negeri Belanda.
Pertama
kali ada kodifikasi di bidang hukum pidana terjadi sejak adanya Crimineel
Wetbook voor het koninglijk Holland 1809. Kitab undang-undang 1809 memuat ciri
modern di dalamnya, menurut vos, yakni:
Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim
di dalam pemeberian pidana.
Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat
remaja.
Penghapuaan perampasan umum.
Akan
tetapi kodifikasi ini berumur singkat karena masuknya Code Penal Perancis ke
Belandatahun 1811.Belanda terus berusaha untuk mengadakan perubahan juga usaha
untuk menciptakan KUHP nasional, tetapi tidak berhasil, kecuali perubahan
sebagian.Dengan KB tanggal 28 September 1870 duibentuklah panitia negara yang
menyelesaikan rancangan pada tahun 1875.Pada tahun 1879 Menteri Smidt mengirim
rancangan tersebut ke Tweede Kamer. Diperdebatkan dalam Staten Generaal dengan
Menteri Moddermanyang sebelumnya adalah anggota panitia negara. Pada tanggal 3
maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru dan berlaku mulai tanggal 1
september 1886. Setelah KUHP baru muncul, barulah KUHP Hindia Belanda, yaitu
1866 dan 1872 yang banyak persamaan dengan Code Penal Perancis diganti dan
disesuaikan dengan KUHP baru,
Berdasarkan
asas konkordansi KUHP Belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti
Hindia Belanda. Semula direncanakan tetap ada dua KUHP, masing-masing untuk
golongan Eropa dan Bumiputera. Setelah selesai kedua rancangan tersebut Menteri
jajahan Belanda Mr. Idenburg berpendapat sebaiknya hanya ada satu KUHP di
Hindia Belanda. Sesuai usul Mr. Idenburg maka dibentuklah komisi yang
menyelesaikan tugasnya tahun 1913dengan KB tanggal 15 oktober 1915 dan
diundangkan pada September 1915nomor 732 lahirlah Wesboek van straftrecht voor
Nederlandsch Indie untuk seluruh golongan penduduk dan mulai berlaku tanggal 1
Januari 1918. Peralihan dari masa dualisme, yaitu dua macam WvKuntuk dua
golongan penduduk menurut Jonkers lebih bersifat formil daripada materiel.
3. Zaman
Pendudukan Jepang
WvSI
tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang, hal ini didasarkan pada undang-undang
(Osamu Serei) No. 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku tanggal 7 Maret 1942 sebagai
peraturan peralihan Jawa Madura. Jadi hanya pasal-pasal yang menyangkut
pemerintah Belanda, misalnya penyebutan Raja/Ratu yang tidak berlaku lagi.
Peraturan ini juga dikeluarkan di daerah selain Jawa dan Madura.
Dibanding
dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah,
karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur dalam Osamu
Serei No.3 tahun 1942 tanggal 20 September 1942.
- Zaman Kemerdekaan
Keadaan
pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi kemedekaan. Pasal
II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku tanggal 18 Agustus 1945. Untuk memperkuat
aturan peralihan tersebut, maka Presiden mengeluarkan peraturan tanggal 10
Oktober 1945 yang dinamakan Peraturan No.2. Barulah dengan UU no. 1 Tahun 1946
diadakan perubahan yang mendasar atas WvSI. Ditentukan dalam UU No.1 Tahun 1946
tersebut bahwa hukum pidana yang berlaku mulai tahun 1946 ialah hukum pidana
yang berlaku tanggal 8 Maret 1942 dengan pelbagai perubahan dan penambahan yang
disesuakan dengan keadaan Negara Republik Indonesia dengan nama Wetbook van
Strafrecht voor NederlandschIndie diubah menjadi Wetbook van Strafrecht yang
dapat disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tentulah
harus diingat bahwa teks asli Wetbook van Strafrecht sampai kini masih dalam
bahasa Belanda , kecuali penambahan-penambhan kemudian sesudah tahun 1946 itu
yang teksnya sudah tentu dalam bahasa Indonesia. Jadi apa yang sering dipegang
oleh pelaksana hukum adalah terjemahan dalam bahasa Indonesia, yang corak
ragamnya tergantung pada selera penerjemah.
Sebagai
sejarah perlu diingat bahwa Belanda pada tahun 1945 sampai 1949 kembali ke
Indonesia menduduki beberapa wilayah. Untuk wilayah yang diduduki Belanda itu
de facto tidak diberlakukan UU no.1 tahun 1946, kecuali untuk wilayah Sumatera
yang diduduki Belanda sesudah Agresi Militer 1, ditetapkan bahwa peraturan lama
masih tetap berlaku (Peraturan RI). Untuk daerah yang diduduki Belanda tersebut
diberlakukan Wetbook van Straftrecht voor Nederlandsch Indie yang diubah
namanya menjadi Wetbook van Strafrecht voor Indonesieberdasarkan ordonansi
tanggal 21 September 1948 Stbl 1948 No.224 mulai berlaku tanggal 22 September
1948 dan semua kata Nederlandsch Indie di dalam WvS diganti dengan Indonesie.
Kalau pemerintah Republik Indonesia mengubah Wetbook vab Strafrecht Maka
Belanda juga melakukan perubahan-perubahan di dalam Wetbook van Strafrecht voor
Indonesie. Dengan adanya penambahan dan perubahan , maka jumlah pasal dalam
WvSI berakhir dengan pasal 570, sedangkan KUHP hanya 569. Dengan adanya du
macam WvS yang berlaku di dua wilayah yang berbeda ditambah perubahan dan
penambahan yang berbeda pula menimbulkan kerancuan dalam penerapannya. Terlebih
dengan perubahan wilayah akibat Agresi Militer I, menambah wilayah kedudukan
Belanda, yang dengan perjanjian Renville 17 januari 1948 disebut daerah terra
Neerlandica.
Dengan
Berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia berdasarkan UU No. 73
Tahun 1958, maka hilanglah dualisme berlakunya dua macam hukum pidana di
Indonesia.
C. Tindak Pidana dan Jenis Pidana
Tindak
pidana juga bisa dikatakan sebagai delik yang merupakan tindakan yang dilarang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok. Jika perbuatan tersebut dilakukan, maka
pelaku bisa dikenakan sanksi atau hukuman dikarenakan sudah melanggar aturan
Undang-Undang yang berlaku. Dalam tindak pidana tersebut dibagi menjadi
beberapa jenis jenis tindak pidana.
Jenis
Jenis Tindak Pidana
1. Delik
formil dan delik materil
Delik formil merupakan delik atau tindak
pidana yang dalam perumusannya pada perbuatan yang dilarang. Bisa dikatakan
delik formil selesai dilakukan jika ada perbuatan yang mencocoki rumusan dalam
Pasal Undang-Undang yang bersangkutan. Contohnya penghasutan yang bisa dikenai
karena ada dalam Pasal 160 KUHP.
Delik materiil adalah delik yang dalam
perumusannya dititikberatkan pada akibat yang tidak dikehendaki terjadi atau
dilarang. Contohnya delik pembunuhan yang ada dalam Pasal 338 KUHP.
2.
Kejahatan dan pelanggaran
Jenis
jenis tindak pidana yang selanjutnya adalah kejahatan dan pelanggaran.
Kejahatan merupakan tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan keadilan,
hal ini terlepas mengenai apakah tindakan tersebut diancam pidana dalam
Undang-Undang atau tidak. Jadi kejahatan bisa dirasakan oleh masyarakat sendiri
bahwa tindakan tersebut melanggar keadilan. Contohnya pencurian dan pembunuhan.
Sedangkan
untuk perbuatan pelanggaran adalah perbuatan yang baru saja disadari oleh
masyarakat bahwa tindakan tersebut termasuk dalam tindak pidana. Contohnya
seperti mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan kelengkapan berkendara
termasuk dalam jenis pelanggaran.
3. Delik
dolus dan delik culpa
Jenis
jenis tindak pidana selanjutnya adalah mengenai delik dolus dan delik culpa.
Delik dolus sendiri merupakan perbuatan yang dilakukan dengan adanya unsur
kesengajaan. Salah satu contohnya seperti yang ada dalam Pasal 187, 197, 245,
338, 310, dan 263 KUHP.
Sedangkan
untuk delik culpa merupakan tindak pidana yang dilakukan namun tanpa ada unsur
kesengajaan atau bisa dikatakan sebagai tindak pidana yang tidak sengaja
dilakukan. Contohnya seperti dalam Pasal 231 ayat 4, 195, 203, 201, 197, 360
dan 359 KUHP.
4. Delik
tunggal dan delik berganda
Dalam
jenis jenis tindak pidana, delik tunggal merupakan tindak pidana yang cukup
dilakukan 1 kali saja. Namun berbeda dengan delik berganda yang dilakukan dalam
beberapa kali perbuatan contohnya seperti tindakan penadahan sebagai kebiasaan
yang ada dalam Pasal 481 KUHP.
Jenis
Tindak Pidana Khusus
Selain
beberapa jenis jenis tindak pidana diatas, juga ada jenis tindak pidana khusus
yang merupakan tindak pidana di luar
hukum pidana umum.
1.
Tindak pidana pencucian uang
Jenis
jenis tindak pidana khusus ini bisa dikatakan tindak pidana baru dalam hukum
pidana Indonesia yang selain mengancam sistem keuangan dan stabilitas ekonomi
juga membahayakan kehidupan bermasyarakat. Tindakan pencucian uang ini diatur
dalam UU No 8 Tahun 2010.
2.
Tindak pidana korupsi
Tindak
pidana korupsi merupakan perbuatan melawan hukum yang bertujuan untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga merugikan keuangan negara.
Dalam hal ini diatur dalam UU No 20 Tahun 2001 dan UU No 31 Tahun 1999.
3.
Tindak pidana terorisme
Jenis
tindak pidana yang merupakan aktivitas yang melibatkan unsur kekerasan atau
yang lainnya yang melanggar hukum pidana hingga menyebabkan bahaya untuk
penduduk sipil.
4.
Tindak pidana narkotika
Tindak
pidana narkotika secara legal hanya untuk kebutuhan kesehatan atau ilmu
pengetahuan. Sedangkan selain itu bisa dikatakan hal yang ilegal dan bisa
dikenai sanksi sesuai dalam UU No 35 Tahun 2009.
5.
Tindak pidana psikotropika
Jenis
jenis tindak pidana khusus selanjutnya adalah tindak pidana psikotropika yang
sering disalahgunakan yang dalam hal ini sudah diatur pada UU No 5 Tahun 1997.
6.
Tindak pidana pornografi
Merupakan
tindakan yang bisa merusak norma kesusilaan sehingga ada aturan dalam UU No 44
Tahun 2008 yang mengatur mengenai hal tersebut.
Jenis
Tindak Pidana Umum
Selain
jenis jenis tindak pidana khusus, juga ada jenis tindak pidana umum yang dalam
hal ini lebih sering terjadi di lingkungan sekitar seperti:
Penganiayaan dan pengeroyokan
Pencemaran nama baik
Pembunuhan
Pidana pencabulan
Pencurian dan perampokan
Kecelakaan
Perjudian
Perusakan barang atau benda
Penadahan
Perselingkuhan dan nikah siri
Dan yang lainnya.
D. Berlakunya Hukum Pidana
Aturan
hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai asas
ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang hukum pidana. Asas ruang lingkup
berlakunya aturan hukum pidana itu ada empat (4), ialah :
1. Asas Teritorialiteit (teritorialiteits
beginsel)atauasaswilayahnegara.
2. Asas Personaliteit (personaliteitsbeginsel)
disebutjuga dengan asaskebangsaan, asasnationalitetakitifatauasassubjektif
(subjektionsprinsip).
3. Asas Perlindungan
(bescbermingsbeginsel) atau disebut juga asas nasionalitas pasif (pasief
nationaliteitsbeginsel).
4. AsasUniversaliteit (universaliteitsbeginsel)
atauasaspersamaan.
E. Penggolongan Tindak-Tindak Pidana Menurut
KUHP
A. Penggolongan Tindak-Tindak Pidana
Kitab
Undang-undang Hukum Pidana mengadakan penggolongan kualitatif dalam titel-titel
yang merupakan bagian-bagian dari Buku II dan Buku III. Ukuran-ukuran
kualitatif ini sekadar dapat dilihat dalam judul-judul dari titel-titel
tersebut.
· Buku II KUHP terdiri dari. 30 titel,
yang masing-masing berjudul sebagai berikut:
Titel I
Kejahatan-kejahatan terhadap Keamanan Negara
Titel II
Kejahatan-kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden
Titel III
Kejahatan-kejahatan terhadap Negara-negara Asing Ber‑
sahabat dan terhadap Kepala dan Wakil Negara-negara tersebut
Titel IV
Kejahatan-kejahatan tentang Melakukan Kewajiban Kenegaraan dan Hak
Kenegaraan
Titel V
Kejahatan-kejahatan terhadap Ketertiban Umum
Titel VI
Perang tanding (tweegevecht, duel)
Titel VII
Kejahatan-kejahatan. yang Membahayakan Keamanan Umum Orang dan Barang
Titel VIII
Kejahatan-kejahatan terhadap Kekuasaan Umun-,
Titel IX
Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
Titel X
Pemalsuan Uang Logam dan Uang Kertas
Titel XI
Pemalsuan Meterai dan Cap
Titel X11
Pemalsuan Surat
Titel XIII
Kejahatan-kejahatan tentang Kedudukan Perdata
Titel XIV
Kejahatan-kejahatan Melanggar Kesopanan
Titel XV Meninggalkan
Orang-orang yang Perlu Ditolong
Titel XVI
Penghinaan
Titel XVII
Membuka Rahasia
Titel XVIII
Kejahatan-kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang
Titel XIX
Kejahatan-kejahatan terhadap Nyawa Orang
Titel XX
Penganiayaan
Titel XXI
Menyebabkan Matinya atau Lukanya Orang karena Kealpaan
Titel XXII
Pencurian
Titel XXIII
Pemerasan dan Pengancaman
Titel XXIV
Penggelapan Barang
Titel XXV
Penipuan
Titel XXVI
Merugikan Orang Berpiutang atau Berhak
Titel XXVII
Penghancuran atau Perusakan Barang
Titel XXVIII
Kejahatan-kejahatan Jabatan
Titel XXIX
Kejahatan-kejahatan Pelayaran
Titel XXX
Pemudahan (begunstiging)
· Buku III-KUHP
terdiri dari 10 titel yang masing-masing berjudul sebagai berikut:
Titel I
pelanggaran-pelanggaran terhadap Keamanan Umum
Titel II
Pelanggaran-pelanggaran terhadap Ketertiban Umum
Titel III
Pelanggaran-pelanggaran terhadap Kekuasaan Umum
Titel IV
Pelanggaran-pelanggaran tentang Kedudukan Perdata
Titel V
Pela nggaran-pelangga ran mengenai Orang-orang yang Perlu Ditolong
Titel VI
Pelanggaran-pelanggaran Kesopanan
Titel VII
Pelanggaran-pelanggaran tentang Tanah-tanah Tanaman
Titel VIII
Pelanggaran-pelanggaran Jabatan
Titel IX
Pelanggaran-pelanggaran Pelayaran
Titel X
Pelanggaran-pelanggaran terhadap Keamanan Negara
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan
maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat agar dapat dipertahankan segala
kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan
ketertiban.Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini, dibatasi oleh hal yang
sangat penting, yaitu :
1.
Batas waktu (diatur dlm buku
pertama, Bab I pasal 1 KUHP)
2.
Batas tempat dan orang (diatur dlm
buku Pertama Bab I Pasal 2 – 9 KUHP)
Berlakunya hukum pidana menurut waktu,
mempu-nyai arti penting bagi penentuan saat kapan terjadinya perbuatan pidana.
Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana menurut waktu dapat dilihat dari
Pasal 1 KUHP.
Selanjutnya berlakunya undang-undang
hukum pidana menurut tempat mempunyai arti penting bagi pe-nentuan tentang
sampai dimana berlakunya hukum pidana sesuatu negara itu berlaku apabila
terjadi perbuatan pidana. Berlakunya hukum pidana menurut tempat ini dapat
dibedakan menjadi empat asas yaitu: asas teritorialitateit, asas personaliteit,
asas perlindungan atau asas nasionaliteit pasif, dan asas universaliteit.
Ketentuan tentang asas berlakunya hukum pidana ini dapat dilihat dalam Pasal 2
sampai dengan Pasal 9 KUHP.
Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas
sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. ada beberapa
Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah
kemerdekaan.
\
DAFTAR PUSTAKA
Barış B.
AŞIK, Murat A. TURAN, Hakan ÇELİK, Ali V. KATKAT, effect of Humic Substances on
uptake of wheat (Tritium durum)
Dimkpa,
C. O., & Bindraban, P. S. (2016). Fortification of micronutrients for
efficient agronomic production : a review. Agronomy for Sustainable
Development. https://doi.org/10.1007/s13593-015-0346-6
Eladia
M. P.Méndez, J. Havel, 2005. Humic substances.compounds of still unknown
structure: applications in agriculture, industry, environment, and biomedicine
Jiří Patočka3 J. Appl. Biomed. 3: 13.24.
Foth,
H.D. and B.G. Ellis. 1997. Soil Fertility. CRC Press, Boca Raton, Florida.290
p.
Freire
j.M.G.M., R. A. Ekisoain, A.M.Z. Arregui, ; E.B. Lluundain, M.F.Ramirez. 2010.
Heteromolecular metal – Humat (chelate ) complexes. Patent No.: US 7,947,818 B2
Prihartin.2003.
Mikroorganisme Meningkatkan Efisiensi Pemupukan Fospat.
Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimak.Bogor
Rosliza
S, O.H. Ahmed, K. Susilawati,N.M. Ab. Majid and M. B. J. Simple 2009.Rapid
Method of Isolating HumicAcids fromTropical Peat Soils (Saprists) . American
Journal of Applied Sciences 6 (5): 820-823, 2009.
Sihombing,
2000. total limbah ternak meliputi kotoran sisa hasil eternakan, from http://
http://www.google.com_ jurnal+ limbah ternak + ruminanasia, IHSS
No comments:
Post a Comment