1.
Defenisi KDRT
a. Secara
Umum
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang
pengasuh, orangtua, atau pasangan. KDRT merupakan masalah rumah tangga sehingga
merupakan aib apabila permasalahan rumah tangganya diketahui oleh lingkungan
sekitar. Kadangkala lingkungan kurang tanggap terhadap kejadian KDRT di
sekitarnya dengan alasan KDRT merupakan masalah domestik sehingga apabila ada
kejadian KDRT orang lain tidak perlu campur tangan. Padahal dampak KDRT sangat
besar baik bagi si korban maupun keluarganya.
KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai
bentuk, di antaranya: Kekerasan fisik, penggunaan kekuatan fisik; kekerasan
seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan; kekerasan emosional,
tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan yang terjadi terus
menerus; dan mengendalikan untuk memperoleh uang dan menggunakannya.
b. Berdasarkan
Undang-Undang
Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun
2004 tentang PKDRT pada pasal 1 butir 1
menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Demikian juga pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan
bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (a) Suami, isteri,
dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
(b) Orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena
hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau (c) Orang yang
bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja
Rumah Tangga).
2.
Epidemiologi KDRT (Pengalaman KDRT)
Satu dari empat keluarga Di Amerika
Serikat mengalami KDRT.Kekerasan dalam keluarga dan masyarakat merupakan
permasalahan yang serius
di Michigan. Dalam satu dekade terakhir terdapat peningkatan jumlah orang yang
melakukan tindak kriminal dan kekerasan, yaitu sebesar 83% pada orang dewasa
dan 50% untuk para pemuda. Data kepolisian mengungkap bahwa duapertiga dari
kasus-kasus pembunuhan ternyata melibatkan anggota keluarga, teman-teman dan
kenalan pelaku.Kekerasan merampas kesempatan orang-orang muda, menghancurkan
kapasitas pengasuh mereka, dan menciptakan masyarakat yang penuh dengan
kejahatan (Lerner, 1995). Banyak anak-anak dan pemuda memilih untuk menggunakan
senjata dan perilaku kekerasan sebagai cara untuk memperoleh penghargaan.
Kekerasan tampaknya telah diterima sebagai bagian dari kehidupan hari ini
(Blume and Stovall, 2017).
Di Bali laporan kasus KDRT yang tercatat
pada Biro Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan (BP3A) tampaknya masih sangat
kecil, dengan kisaran angka kejadian 600 – 750 kasus per tahunnya, artinya
angka prevalensi kasus KDRT tak lebih dari 0,03% (P2TP2A, 2014). Akan tetapi
insiden kasus KDRT yang begitu kecil di suatu wilayah tak dapat dipakai sebagai
acuan untuk menggambarkan besarnya permasalahan KDRT di sana karena adanya
fenomena gunung es (Delville, et al. 2017).
3.
Pola Penganiayaan
Gambaran bentuk kekerasan dalam
rumah tangga yang dialami oleh penyintas menunjukkan bahwa bentuk kekerasan
tidak hanya tunggal, tetapi penyintas dapat mengalami beberapa bentuk kekerasan
dari perlakuan yang diterimanya. Kekerasan dalam rumah tangga memiliki
implikasi yang cukup besar dalam sebuah keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga
dapat memberikan efek buruk bagi proses kehamilan, kesehatan balita dan jaminan
pendidikan anak-anak. Tindak kekerasan inilah yang dianggap menjadi pemantik
bagi meningkatkanya kasus gugat cerai karena adanya perlakukan pelaku terutama
suami terhadap isterinya yang sudah berada di luar batas kewajaran.
Menurut pasal 5 UU PKDRT No. 23
Tahun 2004, dinyatakan bahwa pola penganiayaan KDRT adalah sebagai berikut :
a.
Kekerasan fisik,
yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
b.
Kekerasan psikis,
yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan / atau penderitaan
psikis berat pada seseorang
c.
Kekerasan seksual,
yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang dalam lingkup
rumah tangga tersebut
d.
Penelantaran rumah
tangga, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketergantuangan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang orang bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
4.
Dampak yang terjadi
a. Dampak
KDRT Terhadap Perempuan
Mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, trauma
berkepanjangan.
b. Dampak
KDRT terhadap Anak
Adapun dampak KDRT secara rinci akan
dibahas berdasarkan tahapan perkembangannya sebagai berikut:
1) Dampak
terhadap Anak berusia bayi
Bayi
yang menjadi korban KDRT akan mengalami ketidaknormalan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya yang sering kali diwujudkan dalam problem emosinya, bahkan
sangat terkait dengan persoalan kelancaran dalam berkomunikasi.
2) Dampak
terhadap anak kecil
Dampak
KDRT terhadap anak usia muda (anak kecil) sering digambarkan dengan problem
perilaku, seperti seringnya sakit, memiliki rasa malu yang serius, memiliki
self-esteem yang rendah, dan memiliki masalah selama dalam pengasuhan, terutama
masalah sosial, misalnya : memukul, menggigit, dan suka mendebat.
3) Dampak
terhadap Anak usia pra sekolah
KDRT
berdampak terhadap kompetensi perkembangan sosial-kognitif anak usia
prasekolah.
4) Dampak
terhadap Anak usia SD
Kelompok anak-anak yang secara historis mengalami
kekerasan dalam rumah tangganya cenderung
mengalami problem perilaku pada tinggi batas ambang sampai tingkat
berat, memiliki kecakapan adaptif di bawah rata-rata, memiliki kemampuan
membaca di bawah usia kronologisnya, dan memiliki kecemasan pada tingkat
menengah sampai dengan tingkattinggi.
5) DampakTerhadapRemaja
kekerasan
yang ada dalam rumah tangga, tidak sepenuhnya kekerasan itu berdampak kepada
semua anak remaja, tergantung ketahanan mental dan kekuatan pribadi anak remaja
tersebut. Dari banyak penelitian
menunjukkan bahwa konflik antar kedua orangtua yang disaksikan oleh
anak-anaknya yang sudah remaja cenderung berdampak yang sangat berarti,
terutama anak remaja pria cenderung lebih agresif, sebaliknya anak remaja
wanita cenderung lebih dipresif.
5.
Manifestasi Klinis
a. Penanganan
Korban KDRT
Pada hakekatnya secara psikologis dan
pedagogis ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk menangani KDRT, yaitu
pendekatan kuratif dan preventif.
1)
Pendekatan kuratif
a)
Menyelenggarakan
pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara mendidik dan memperlakukan
anak-anaknya secara humanis.
b)
Memberikan keterampilan
tertentu kepada anggota keluarga untuk secepatnya melaporkan ke pihak lain yang
diyakini sanggup memberikan pertolongan, jika sewaktu-waktu terjadi KDRT.
c)
Mendidik anggota
keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang mengundang terjadinya KDRT.
d)
Membangun kesadaran
kepada semua anggota keluarga untuk takut kepada akibat yang ditimbulkan dari
KDRT.
e)
Membekali calon suami
istri atau orangtua baru untuk menjamin kehidupan yang harmoni, damai, dan
saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari perilaku KDRT.
f)
Melakukan filter
terhadap media massa, baik cetak maupun elektronik, yang menampilkan informasi
kekerasan.
g)
Mendidik, mengasuh, dan
memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelamin, kondisi, dan potensinya.
h)
Menunjukkan rasa empati
dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena KDRT, tanpa sedikitpun
melemparkan kesalahan terhadap korban KDRT.
i)
Mendorong dan
menfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli dan responsif terhadap
kasus-kasus KDRT yang ada di lingkungannya.
2)
Pendekatan Preventif
a)
Memberikan sanksi
secara edukatif kepada pelaku KDRT sesuai dengan jenis dan tingkat berat atau
ringannya pelanggaran yang dilakukan, sehingga tidak hanya berarti bagi pelaku KDRT saja, tetapi juga bagi
korban dan anggota masyarakat lainnya.
b)
Memberikan incentive
bagi setiap orang yang berjasa dalam mengurangi, mengeliminir, dan menghilangkan salah satu
bentuk KDRT secara berarti, sehingga terjadi proses kehidupan yang tenang dan
membahagiakan.
c)
Menentukan pilihan
model penanganan KDRT sesuai dengan kondisi korban KDRT dan nilai-nilai yang
ditetapkan dalam keluarga, sehingga penyelesaiannya memiliki efektivitas yang
tinggi.
d)
Membawa korban KDRT ke
dokter atau konselor untuk segera mendapatkan penanganan sejak dini, sehingga
tidak terjadi luka dan trauma psikis sampai serius.
e)
Menyelesaikan
kasus-kasus KDRT yang dilandasi dengan kasih sayang dan keselamatan korban
untuk masa depannya, sehingga tidak menimbulkan rasa dendam bagi pelakunya.
f)
Mendorong pelaku KDRT
untuk sesegera mungkin melakukan pertaubatan diri kepada Allah swt, akan
kekeliruan dan kesalahan dalam berbuat kekerasan dalam rumah tangga, sehingga
dapat menjamin rasa aman bagi semua anggota keluarga.
g)
Pemerintah perlu terus
bertindak cepat dan tegas terhadap setiap praktek KDRT dengan mengacu pada UU
tentang PKDRT, sehingga tidak berdampak jelek bagi kehidupan masyarakat. Pilihan tindakan preventif dan kuratif yang
tepat sangat tergantung pada kondisi riil KDRT, kemampuan dan kesanggupan
anggota keluarga untuk keluar dari praketk KDRT, kepedulian masyarakat
sekitarnya, serta ketegasan pemerintah menindak praktek KDRT yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat.
b. Pemulihan
Korban
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat
memperoleh pelayanan dari:
Tenaga
Kesehatan; Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar
profesi, dan dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
1) Pekerja
Sosial;
2) Relawan
Pendamping; dan/atau
3) Pembimbing
Rohani. Pekerja Sosial, Relawan
Pendamping, dan/ atau Pembimbing Rohani wajib memberikan pelayanan kepada
korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan
rasa aman bagi korban.
6.
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya perilaku
Kekerasan
a. Menurut
Pakar Bidang Penelaah Kekerasan
Zastrow & Browker (2015) menyatakan bahwa ada
tiga teori utama yang mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori
biologis, teori frustasi- agresi, dan teori kontrol.
Pertama, teori biologis menjelaskan
bahwa manusia, seperti juga hewan, memiliki suatu instink agressif yang sudah
dibawa sejak lahir.
1)
Sigmund Freud
menteorikan bahwa manusia mempunyai suatu keinginan akan kematian yang
mengarahkan manusia-manusia itu untuk menikmati tindakan melukai dan membunuh
orang lain dan dirinya sendiri.
2)
Robert Ardery yang
menyarankan bahwa manusia memiliki instink untuk menaklukkan dan mengontrol
wilayah, yang sering mengarahkan pada perilaku konflik antar pribadi yang penuh
kekerasan.
3)
Konrad Lorenz
menegaskan bahwa agresi dan kekerasan adalah sangat berguna untuk survive.
Manusia dan hewan yang agresif lebih cocok untuk membuat keturunan dan survive,
sementara itu manusia atau hewan yang kurang sagresif memungkinkan untuk mati
satu demi satu
Kedua, teori frustasi-agresi menyatakan
bahwa kekerasan sebagai suatu cara untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan
situasi frustasi. Teori ini berasal dari suatu pendapat yang masuk akal bahwa
sesorang yang frustasi sering menjadi terlibat dalam tindakan agresif. Orang
frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau memindahkan frustasinya ke
orang lain. Diakui bahwa sebagian besar tindakan agresif dan kekerasan nampak
tidka berkaitan dengan frustasi. Misalnya, seorang pembunuh yang pofesional
tidak harus menjadi frustasi untuk melakukan penyerangan. Teori ini menjelaskan
bahwa orang-orang yang hubungannya dengan orang lain tidak memuaskan dan tidak
tepat adalah mudah untuk terpaksa berbuat kekerasan ketika usaha-usahnya untuk
berhubungan dengan orang lain menghadapi situasi frusstasi. Teori ini berpegang
bahwa orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan orang lain yang sangat
berarti cenderung lebih mampu dengan baik mengontrol dan mengendalikan
perilakunya yang impulsif. Travis Hirschi
memberikan dukungan kepada teori ini melalu temuannya bahwa remaja putera yang
memiliki sejarah prilaku agresif secara fisik cenderung tidak memiliki hubungan
yang dekat dengan orang lain.
b.
Secara Umum
Dalam
lingkup keluarga, KDRT umumnya terjadi karena :
1)
Kurang komunikasi,
Ketidakharmonisan.
2)
Alasan Ekonomi.
3)
Ketidakmampuan
mengendalikan emosi.
4)
Ketidakmampuan mencari
solusi masalah rumah tangga apapun.
5)
Kondisi mabuk karena
minuman keras dan narkoba.
6)
Latar budaya
patriarki dan ideologi
gender yang berpengaruh.
7.
Landasan Hukum KDRT
Berikut ini adalah “Dasar
Hukum” untuk KDRT :
a.
Nasional
1)
Undang - undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 27
2)
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.b c. Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
mengenai Penghapusan segala bentuk
Deskriminasi Terhadap Wanita (Lembaran Negara Th. 1984 No. 29, Tambahan
Lembaran Negara 3277)
3)
UU Nomor 39 Tahun
1999 tentang HAM (Lembaran Negara Th 1999 No 165, Tambahan Lembaran Negara No.
3886)
4)
UU Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak f. UU Nomor 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
g. UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah h. UU Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban i.
UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan j. Peraturan Pemerintah N o . 4
tahun 2 0 0 6 tentang
Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah
Tangga
5)
Peraturan
Pemerintah No . 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota
6)
Keputusan Presiden
RI No. 65 tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
7)
Pedoman
Pengendalian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
8)
Instruksi Pres iden
R I N o . 9 tahun 2000 tentang Pengarus
utama Gender dalam Pembangunan Nasional
9)
Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan N o . 1 tahun 2007 tentang Forum
Koordinasi Penyel enggaraan
Kerjasama Pencegahan dan Penanganan KDRT
10) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak No. 1 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
11) Peraturan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak N o . 6
Tahun 2011 tentang Pencegahan dan
pencegahan kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga, masyarakat dan
sekolah.
b.
Internasional
1)
Convention on the
Elimination of All Forms of Discriminations Against Women (CEDAW) yang diratifikasi dengan Undang
Undang No. 7 tahun 1984
2)
Komite PBB tentang
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan tahun 1989 (Rekomendasi Umum 12
Bidang ke-8)
3)
Rekomendasi Umum
No. 19 Sidang II tahun 1992 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrimina i
terhadap Perempuan
4)
Konferensi Dunia
tentang Hak Asasi Manusia tahun 1993, yang dirapatkan oleh Sidang Umum PBB
dengan Resolusi No. 45/155, Desember 1990
5)
Resolusi Mejelis
Umum PBBNP 48/104 Th. 1993 yang mengutuk setiap bentuk kekerasan terhadap
perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat atau oleh Negara.
8.
Penatalaksanaan
Tindak kekerasan terhadap perempuan
ibarat gunung es. Karena yang muncul ke permukaan hanya sebagian kecil raja,
sedangkan bagian yang lebih besar masih tenggelam atau tidak dapat diketahui.
Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya anggapan dalam masyarakat bahwa kekerasan
terhadap perempuan dalam lingkungan keluarga adalah masalah intern keluarga dan
tidak sepatutnya dipublikasikan. Sebagian masyarakat masih menutupi kondisi ini
karena mereka mempertahankan status sosial bagi keluarganya. Oleh karena itu, tindak
kekerasan yang terjadi dalam lingkungan keluarga dianggap aib yang harus dan
selalu ditutupi. Sama halnya dengan bentuk kejahatan biasa pelaku tindak
kekerasan dalam lingkungan keluarga atau dalam rumah tangga (KDRT) adalah
mereka yang berasal dari berbagai status sosial. Jadi, tidak dibatasi oleh
strata sosial maupun pendidikan.
Salah satu terobosan hukum yang
dilakukan melalui Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
kekerasan dalam rumah Tangga adalah mengenai peran-peran Aparat Penegak Hukum
khususnya kepolisian, advokat, dan pengadilan dalam memberikan perlindungan dan
pelayanan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga terutama sekali dengan
diaturnya mengenai mekanisme perlindungan dari pengadilan demi keamanan korban.
Berikut ini adalah peran mereka dalam
melindungi dan melayani korban, yang diatur dalam Undang-undang nomor 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah Tangga:
a. Peran
Kepolisian (Pasal 16-20)
Saat kepolisian menerima laporan
mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga, mereka harus segera menerangkan
mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Selain
itu, sangat penting pula bagi pihak kepolisian untuk memperkenalkan identitas
mereka serta menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah sebuah
kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga sudah menjadi kewajiban dari kepolisian
untuk melindungi korban.
Setelah menerima laporan tersebut,
langkah-langkah yang harus diambil kepolisian adalah:
1)
memberikan perlindungan
sementara pada korban,
2)
meminta surat penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan, dan melakukan penyidikan.
b. Peran
Advokat (Pasal 25)
Dalam hal memberikan perlindungan dan
pelayanan bagi korban maka advokat wajib:
1)
memberikan konsultasi
hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan,
2)
mendampingi korban di
tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan
membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga
yang dialaminya, dan
3)
melakukan koordinasi
dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses
peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
c. Peran
Pengadilan
Sementara itu, undang-undang juga
mengatur tentang peran pengadilan dalam memberikan perlindungan terhadap
korban, khususnya mengenai pelaksanaan mekanisme perintah perlindungan.
Kepolisian harus meminta surat penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan. Setelah menerima permohonan itu,
pengadilan harus:
1)
mengeluarkan surat
penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga
lain.
2)
atas permohonan korban
atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk menetapkan suatu kondisi
khusus yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama,
larangan membuntuti, mengawasi atau mengintimidasi korban.
d. Peran
Tenaga Kesehatan
Setelah mengetahui adanya kasus
kekerasan dalam rumah tangga maka petugas kesehatan berkewajiban untuk
memeriksa kesehatan korban, kemudian membuat laporan tertulis mengenai hash
pemeriksaan serta membuat
visum et repertum atau surat keterangan medis lain yang memiliki kekuatan hukum
untuk dijadikan alat bukti.
e. Peran
Pekerja Sosial
Dalam melayani korban kasus kekerasan
dalam rumah tangga, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pekerja sosial:
1)
melakukan konseling
untuk menguatkan korban,
2)
menginformasikan
mengenai hak-hak korban,
3)
mengantarkan korban ke
rumah aman, dan
4)
berkoordinasi dengan
pihak kepolisian, dinas sosial dan lembaga lain demi kepentingan korban.
f. Peran
Pembimbing Rohani
Demi kepentingan korban, maka pembimbing
rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan
penguatan iman serta takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
g. Peran
Relawan Pendamping
Sementara itu, salah satu terobosan
hukum lain dari Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga adalah
togas dari relawan pendamping, yakni:
1)
menginformasikan
mengenai hak korban untuk mendapatkan seorang atau lebih pendamping,
2)
mendampingi korban di
tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan
membimbing korban agar dapat memaparkan kekerasan yang dialaminya secara
objektif dan lengkap;
3)
mendengarkan segala
penuturan korban, dan
4)
memberikan penguatan
kepada korban secara psikologis maupun fisik.
PERKOSAAN
1.
Defenisi Perkosaan
Perkosaan (rape) berasal dari bahasa
latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas. Perkosaan adalah suatu
usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki
terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum.
Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan di dalam pasal 285 KUHP
disebutkan bahwa:1
"barangsiapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia
diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.Pada pasal ini perkosaan didefinisikan bila dilakukan
hanya di luar perkawinan".
Selain itu kata-kata bersetubuh
memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi
penetrasi, pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak
dapat dikatakan perkosaan tetapi masuk dalam kategori pencabulan,2 tindak
pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP itu ternyata hanya mempunyai
unsur-unsur
2.
Penyebab Tindak Perkosaan
Banyak faktor yang mempengaruhi
seseorang melakukan kejahatan yang sangat memilukan ini, antara lain besarnya
hawa nafsu seseorang untuk melakukan pemerkosaan kepada seorang wanita yang
dianggapnya menarik, pemerkosaan juga bisa dilakukan karena untuk menguasai
harta korban, untuk melampiaskan amarah pelaku kepada korban nya karena
perasaannya ditolak oleh si korban, adanya kesempatan untuk melakukan kejahatan
itu, faktor pergaulan seseorang yang sangat bebas, dan juga kurangnya ilmu
agama yang diketahui si pelaku.
Selain faktor – faktor diatas
ada juga faktor seseorang melakukan tindak kejahatan ini, diantaranya dari
media sosial. Seseorang dengan sangat mudah mengakses situs – situs porno di
media sosial dan bisa menjadikan acuan utuk melakukan pemerkosaan dan pelecehan
seksual kepada seseorang untuk menyalurkan nafsunya.
3.
Resiko Psikis dan Kesehatan Reproduksi
Pemerkosaan atau kekerasan
seksual adalah salah satu hal terburuk dan terberat yang dapat dialami manusia,
baik laki-laki maupun perempuan. Selain luka fisik, korban pemerkosaan membawa
luka batin yang membutuhkan waktu untuk sembuh.
Kondisi, dampak, dan tantangan
yang dihadapi tiap korban pemerkosaan berbeda satu sama lain. Umumnya korban
akan merasa takut, cemas, panik dan syok.
Para korban pemerkosaan, kerap kali kehilangan kepercayaan diri dan
merasa bersalah. Tak jarang korban pemerkosaan menyalahkan diri sendiri atas
apa yang terjadi.
Pada banyak kasus pemerkosaan,
sebagian besar korban enggan untuk menceritakan hal yang dialaminya. Mereka
enggan untuk menceritakannya karena berbagai macam alasan, mulai dari merasa
malu, kurang percaya terhadap pendengar, takut akan adanya pembalasan, hingga
takut tidak dipercaya akan apa yang diceritakannya.Tak jarang, akhirnya beban
psikologis dan fisik harus ditanggung sendiri oleh korban.
Tindak pemerkosaan pasti
mendatangkan trauma bagi yang mengalaminya. Secara psikologis, berikut beberapa
hal yang dialami oleh korban pemerkosaan.
a.
Menyalahkan diri
sendiri
Menyalahkan diri sendiri
menjadi bagian yang kerap dirasakan korban pemerkosaan. Ketidakberdayaan dan
merasa bahwa pemerkosaan yang terjadi mungkin dipicu oleh tindakan atau
perilakunya sendiri, kerap menyebabkan korban menyalahkan diri. Misalnya,
korban wanita mungkin akan merasa gaya pakaiannyalah yang memicu terjadinya
pemerkosaan.
b.
Bunuh diri
Tak jarang korban pemerkosaan
memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Adapun faktor yang kerap memicu
seseorang melakukan bunuh diri adalah merasa depresi dan tidak adanya harapan
untuk menjalani hidup. Selain itu, perasaan malu juga kerap kali menjadi alasan
untuk melakukan bunuh diri.
c.
Kriminalisisasi
korban pemerkosaan
Kriminalisisasi korban
pemerkosaan memang dapat terjadi. Seperti hal yang diungkapkan sebelumnya,
hingga saat ini, pakaian yang dikenakan oleh wanita kerap kali dianggap memancing
seorang pria untuk melakukan pemerkosaan. Adanya kriminalisasi terhadap korban
pemerkosaan ini membuat wanita terkadang memilih untuk melupakan kejadian
pemerkosaan yang dialaminya, atau berpura-pura tidak pernah terjadi apa apa.
d.
Depresi
Menyalahkan diri sendiri adalah
salah satu efek jangka pendek dan jangka panjang paling umum, berfungsi sebagai
keterampilan naluriah untuk mengatasi masalah dengan penghindaran yang
mengambat proses penyembuhan.
e.
Sindrom Trauma
Perkosaan
Sindrom trauma perkosaan (Rape
Trauma Syndrome/RTS) adalah bentuk turunan dari PTSD (gangguan stres pasca
trauma), sebagai sesuatu kondisi yang mempengaruhi korban perempuan — muda dan
dewasa — dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual, termasuk perkosaan,
dipandang oleh wanita sebagai situasi yang mengancam nyawa, memiliki ketakutan
umum akan mutilasi dan kematian sementara serangan terjadi.
f.
Disosiasi
Dalam istilah yang paling
sederhana, disosiasi adalah pelepasan dari realitas. Disosiasi adalah salah
satu dari banyak mekanisme pertahanan yang digunakan otak untuk mengatasi
trauma kekerasan seksual. Banyak pakar percaya bahwa disosiasi ada pada sebuah
spektrum. Di salah satu ujung spektrum, disosiasi dikaitkan dengan pengalaman
melamun. Di ujung bersebrangan, disosiasi kompleks dan kronis dapat membuat
penderitanya sulit berfungsi dalam dunia nyata.
Disosiasi sering digambarkan
sebagai pengalaman “ruh keluar dari tubuh”, di mana seseorang merasa tidak
terikat dengan jasmaninya, merasa sekitarnya tampak tidak nyata, tidak terlibat
dengan lingkungan tempat ia berada seperti sedang menonton kejadian tersebut di
televisi.
g.
Gangguan makan
Kekerasan seksual dapat
mempengaruhi penyintasnya dalam berbagai cara, termasuk persepsi diri terhadap
tubuh dan otonomi pengendalian diri dalam kebiasaan makan. Beberapa orang
mungkin menggunakan makanan sebagai pelampiasan mengatasi trauma, untuk merasa
kembali memegang kendali atas tubuhnya, atau mengimbangi perasaan dan emosi
yang membuatnya kewalahan. Tindakan ini hanya memberikan suaka sementara, tetapi
memiliki kemampuan untuk merusak tubuh dalam jangka panjang.
h.
Hypoactive sexual
desire disorder
Hypoactive sexual desire
disorder (IDD/HSDD) adalah kondisi medis yang menandakan hasrat seksual rendah.
Kondisi ini juga umum disebut apatisme seksual atau keengganan seksual.
HSDD dapat menjadi kondisi
primer atau sekunder, yang bisa memberikan perbedaan besar dalam perencanaan
pengobatan. Kondisi primer adalah jika seorang individu tidak pernah mengalami
atau memiliki hasrat seksual, dan jarang (jika pernah) terlibat dalam hubungan
seksual — tidak memulai dan tidak merespon terhadap rangsangan seksual dari
pasangannya.
HSDD menjadi kondisi sekunder
saat orang tersebut memiliki gairah seksual yang normal dan sehat pada awalnya,
namun kemudian menjadi tidak tertarik sama sekali dan tidak acuh akibat faktor
penyebab lain, misalnya dimunculkan dalam bentuk trauma nyata akibat dari
pelecehan seksual. Hubungan seks, untuk para penyintas kasus kejahatan seksual,
dapat menjadi sebuah pelatuk yang mengingatkan mereka terhadap peristiwa
tersebut dan memunculkan kilas balik serta mimpi buruk — maka dari itu mereka
memilih untuk tidak terlibat, dan pada akhirnya kehilangan nafsu seksual
seluruhnya.
i.
Dyspareunia
Dyspareunia adalah nyeri yang
dirasakan selama atau setelah berhubungan seksual. Kondisi ini dapat menyerang
pria, namun lebih sering ditemukan pada wanita. Wanita yang memiliki
dyspareunia mungkin mengalami rasa sakit superfisial dalam vagina, klitoris,
atau labia (bibir vagina), atau rasa sakit yang lebih melumpuhkan saat
penetrasi semakin dalam atau dorongan penis.
Dyspareunia disebabkan oleh
beragam kondisi, salah satunya termasuk trauma dari riwayat kekerasan seksual.
Adanya riwayat kekerasan seksual pada wanita yang memiliki dyspareunia
dikaitkan dengan peningkatan stres psikologis dan disfungsi seksual, namun
tidak ditemukan kaitan antara dyspareunia dengan riwayat kekerasan fisik.
j.
Vaginismus
Ketika seorang wanita memiliki
vaginismus, otot-otot vaginanya meremas atau mengejang dengan sendirinya saat
sesuatu memasuki dirinya, seperti tampon atau penis — bahkan saat pemeriksaan
panggul rutin oleh ginekolog. Hal ini dapat sedikit terasa tidak nyaman atau
sangat menyakitkan.
Seks yang menyakitkan sering
menjadi pertanda awal seorang wanita mengidap vaginismus. Rasa sakit yang
dialami hanya terjadi saat penetrasi. Biasanya akan menghilang setelah
penarikan, namun tidak selalu. Wanita yang memiliki kondisi ini menggambarkan
rasa sakitnya sebagai sensasi robekan atau seperti pria menghantam dinding.
k.
Diabetes tipe 2
Orang dewasa yang mengalami
segala bentuk pelecehan seksual saat masih kanak-kanak berada pada risiko yang
lebih tinggi untuk mengembangkan kondisi medis serius, seperti penyakit jantung
dan diabetes.
Dalam sebuah penelitian
terbitan The American Journal of Preventive Medicine, peneliti menyelidiki
hubungan antara pelecehan seksual yang dialami oleh remaja dan diabetes tipe 2.
Temuan melaporkan 34 persen dari 67,853 partisipan wanita yang melaporkan
mengidap diabetes tipe 2 pernah mengalami kekerasan seksual.
Efek terhadap Fisik Korban
Selain luka psikologis, korban
pemerkosaan membawa luka pada tubuhnya. Sebagian luka dapat terlihat langsung,
namun sebagian lagi barangkali baru dapat dideteksi beberapa waktu kemudian.
Korban pemerkosaan juga mungkin dapat terlihat mengalami perubahan pola makan
atau gangguan pola makan.
Selain itu, berikut beberapa
kondisi yang umum terjadi pada korban pemerkosaan:
a.
Penyakit menular
seksual (PMS)
Penyakit menular seksual, seperti clamidia, herpes dan
hepatitis, bisa saja dialami oleh korban pemerkosaan. Penting untuk segera
mendapatkan pertolongan medis dan pemeriksaan pasca mengalami pemerkosaan,
untuk mencegah terjangkitnya penyakit menular seksual, termasuk HIV.
b.
Penyakit lain
Selain penyakit menular seksual, korban pemerkosaan juga
dapat mengalami berbagai gangguan kesehatan lain, seperti:
c.
Peradangan pada
vagina atau vaginitis.
1)
Infeksi atau
pendarahan pada vagina atau anus
2)
Nyeri saat
berhubungan seksual, disebut juga dispareunia.
3)
Pada pemerkosaan
oral, sakit tenggorokan ataupun luka pada area mulut bisa saja terjadi.
Gangguan hasrat seksual
hipoaktif (hypoactive sexual desire disorder/HSDD), yaitu keengganan esktrem
untuk berhubungan seksual atau bahkan menghindari semua kontak seksual.
Ada pula risiko kehamilan yang
tidak diinginkan pada korban pemerkosaan. Hal ini mungkin salah satu kondisi
dan konsekuensi terberat yang bisa terjadi pada korban pemerkosaan. Kehamilan
pada wanita korban pemerkosaan dapat terjadi bila pemerkosaan dilakukan saat
korban sedang dalam masa subur dan pemerkosa mengalami ejakuasi di dalam
vagina. Untuk mencegah terjadinya kehamilan pada korban pemerkosaan, dokter
akan memberikan kontrasepsi darurat yang harus diminum dalam waktu beberapa hari
setelah pemerkosaan terjadi.
Dampak fisik mungkin dapat
sembuh dalam waktu lebih singkat. Namun dampak psikologis dapat membekas lebih
lama. Peran keluarga, kerabat, dokter dan terapis, akan menjadi kunci dari
kesembuhan dan ketenangan bagi mereka yang menjadi korban pemerkosaan. Jika
dirasa perlu, wanita yang menjadi korban pemerkosaan bisa menjalani operasi
selaput dara untuk memperbaiki bentuk vagina dan selaput daranya.
4.
Bentuk-bentuk perkosaan yang dikenal dan diakui
Bentuk-bentuk perkosaan
dapat dibedakan menjadi:
a.
Perkosaan yang
pelakunya sudah dikenal korban
1)
Perkosaan oleh
suami atau mantan suami
Perkosaan juga dapat terjadi
dalam suatu perkawinan, karena suami maerasa berhak untuk memaksa istrinya
berhubungan seks kapan saja sesuai
dengan keinginannya tanpa mempedulikan
keinginan sang istri. Bahkan tidak jarang terjadi banyak mantan suami
yang merasa masih berhak untuk memaksakan hubungan seks pada mantan istrinya;
2)
Perkosaan oleh
teman kencan atau pacar
Teman kencan atau pacar
bisa memaksa korban
untuk berhubungan seks dengan
berbagai dalih karena ia sudah menghabiskan uang untuk menyenangkan korban,
karena mereka pernah berhubungan seks sebelum itu, karena korban dianggap
sengaja memancing birahi, atau karena si pacar sudah berjanji akan mengawini
korban. Ajakan untuk berhubungan seks masih termasuk wajar bila si perempuan
masih punya kesempatan untuk menolak dan penolakannya itu dihormati oleh
pacarnya. Bujuk rayu pun masih bisa
dianggap normal bila kegagalan membujuk tidak diikuti oleh tindakan pemaksaan
tetapi kalau pacar perempuan itu sampai memaksakan kehendaknya, itu sudah
berarti suatu kasus perkosaan, sekalipun oleh pacar sendiri, jika perempuan itu
sudah menolak dan berkata “tidak” tapi pacarnya neka melakukann yaitu berarti
perkosaan. Kasus perkosaan seperti ini sangat jarang didengar orang lain karena
korban malu dan takut dipersalahkan orang.
3)
Perkosaan oleh
atasan/majikan
Perkosaan terjadi antara lain
bila seorang perempuan dipaksa berhubungan seks oleh atasan atau majikannya
dengan ancaman akan di PHK bila menolak,
atau dengan ancaman-ancaman lain
yang berkaitan dengan kekuasaan si atasan atau majikan.
4)
Penganiayaan
seksual terhadap anak-anak
Seorang anak perempuan atau
anak laki-laki dapat diperkosa oleh lelaki dewasa dan masalah ini sangat peka
dan sulit karena anak-anak yang menjadi korban tidak sepenuhnya paham akan apa
yang menimpa mereka, khususnya bila anak itu mempercayai pelaku. Kalaupun si
anak melapor kepada ibu, nenek atau anggota keluarga yang lain, besar
kemungkinan laporannya tidak digubris, tak dipercaya, bahkan dituduh berbohong
dan berkhayal, biasanya mereka menyangkal kejadian itu hanya dengan alasan
“tidak” mungkin bapak/kakek/paman/dsb tega berbuat begitu”.
b.
Perkosaan oleh
orang tak dikenal
Jenis perkosaan ini sangat
menakutkan, namun lebih jarang
terjadi dari pada perkosaan
dimana pelakunya dikenal oleh korban, jenis perkosaan ini dapat dibedakan,
yaitu:
1)
Perkosaan
beramai-ramai
Seorang perempuan bisa disergap
dan diperkosa secara bergiliran oleh sekelompok orang yang tidak dikenal. Ada
kalanya terjadi perkosaan oleh satu orang
tidak dikenal kemudian
orang-orang lain yang menyaksikan
kejadian tersebut ikut melakukannya. Seringkali terjadi beberapa orang remaja
memperkosa seorang gadis dengan tujuan agar mereka dianggap “jantan” atau untuk
membuktikan “kelelakian” nya.
2)
Perkosaan di
penjara
Di seluruh dunia banyak
perempuan diperkosa oleh polisi atau penjaga penjara setelah mereka ditahan
atau divonis kurungan. Bahkan perkosaan juga umum terjadi antar penghuni
lembaga pemasyarakatan laki-laki untuk menunjukkan bahwa si pemerkosa lebih
kuat dan berkuasa daripada korbannya.
3)
Perkosaan dalam
perang atau kerusuhan
Para serdadu yang sedang berada
di tengah kancah pertempuran sering memperkosa perempuan di wilayah yang mereka
duduki, untuk menakut-nakuti musuh atau untuk mempermalukan mereka. Perkosaan
beramai-ramai dan perkosaan yang sistematis (sengaja dilakukan demi memenuhi
tujuan politis atau taktis tertentu), misalnya kejadian yang menimpa kaum
perempuan Muslim Bosnia. Tujuan perkosaan semacam ini adalah untuk unjuk kekuatan
dan kekuasaan di hadapan musuh.
5.
Fase reaksi Psikolog
Upaya korban untuk menghilangkan
pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka sering tidak berhasil. Selain
kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk, korban juga dapat
menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula
yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan
seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari
perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat
hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri.
Linda E. Ledray (dalam Prasetyo, 1997)
melakukan penelitian mengenai gambaran penderitaan yang dialami oleh perempuan
korban perkosaan. Penelitian tersebut dilakukan dengan mengambil data perempuan
korban perkosaan di Amerika, yang diteliti 2-3 jam setelah perkosaan. Hasil
yang diperoleh menyebutkan bahwa 96% mengalami pusing; 68% mengalami kekejangan
otot yang hebat. Sementara pada periode post-rape yang dialami adalah 96% kecemasan;
96% rasa lelah secara psikologis;
88% kegelisahan tak henti; 88% terancam dan 80% merasa diteror oleh keadaan.
Penelitian yang dilakukan oleh majalah
MS Magazine (dalam Warshaw, 1994) mengatakan bahwa 30% dari perempuan yang
diindetifikasi mengalami perkosaan bermaksud untuk bunuh diri, 31% mencari
psikoterapi, 22% mengambil kursus bela diri, dan 82% mengatakan bahwa
pengalaman tersebut telah mengubah mereka secara permanen, dalam arti tidak
dapat dilupakan.
Korban perkosaan memiliki kemungkinan
mengalami stres paska perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres
yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi
merupakan reaksi paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah,
takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan
gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang
menyebabkan korban memiliki rasa percaya diri, konsep diri yang negatif,
menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar
dan keringat berlebihan. Stres jangka panjang yang berlangsung lebih dari 30
hari juga dikenal dengan istilah PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder
(Rifka Annisa dalam Prasetyo, 1997). Menurut Salev (dalam Nutt, 2001) tingkat
simptom PTSD pada masing-masing individu terkadang naik turun atau labil. Hal
ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus dan adanya
hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya.
Menurut Shalev (dalam Nutt, 2000) PTSD
merupakan suatu gangguan kecemasan yang didefinisikan berdasarkan tiga kelompok
simptom, yaitu experiencing, avoidance, dan hyperarousal, yang terjadi minimal
selama satu bulan pada korban yang mengalami kejadian traumatik. Diagnosis bagi
PTSD merupakan faktor yang khusus yaitu melibatkan peristiwa traumatis.
Diagnosis PTSD melibatkan observasi tentang simptom yang sedang terjadi dan
atribut dari simptom yang merupakan peristiwa khusus ataupun rangkaian
peristiwa. Selanjutnya definisi PTSD ini berkembang lebih dari hanya sekedar
teringat kepada peristiwa traumatis yang dialami dalam kehidupan sehari-hari,
akan tetapi juga disertai dengan ketegangan secara terus- menerus, tidak dapat
tidur atau istirahat, dan mudah marah. PTSD yang dialami oleh tiap individu
terkadang tidak stabil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang
terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa
traumatis yang dialaminya.
Para korban perkosaan ini mungkin akan
mengalami trauma yang parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu
hal yang mengejutkan bagi korban. Secara umum peristiwa tersebut bisa
menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang.
Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa
traumatis (Hayati, 2000). Berdasarkan definisi tersebut maka dapat diambil
kesilmpulan bahwa PTSD adalah gangguan kecemasan yang dialami oleh korban
selama lebih dari 30 hari akibat peristiwa traumatis yang dialaminya.
Dampak jangka pendek biasanya dialami
sesaat hingga beberapa hari setelah kejadian. Dampak jangka pendek ini termasuk
segi fisik si korban, seperti misalnya ada gangguan pada organ reproduksi
(infeksi, kerusakan selaput dara, dan pendarahan akibat robeknya dinding
vagina) dan luka-luka pada bagian tubuh akibat perlawanan atau penganiayaan
fisik.
Dari segi psikologis biasanya korban
merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina. Gangguan
emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia),
kehilangan nafsu makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini
berkepanjangan hingga lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala
yang akut seperti mengalami mimpi buruk, ingatan-ingatan terhadap peristiwa
tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD) atau dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai stres paska trauma
(Hayati, 2000). Bukan tidak mungkin korban merasa ingin bunuh diri sebagai
pelarian dari masalah yang dihadapinya. Menurut Freud (dalam Suryabrata, 1995),
hal ini terjadi karena manusia memiliki insting-insting mati. Selain itu
kecemasan yang dirasakan oleh korban merupakan kecemasan yang neurotis sebagai
akibat dari rasa bersalah karena melakukan perbuatan seksual yang tidak sesuai
dengan norma masyarakat.
Terkadang korban merasa bahwa hidup
mereka sudah berakhir dengan adanya peristiwa perkosaan yang dialami tersebut.
Dalam kondisi seperti ini perasaan korban sangat labil dan merasakan kesedihan
yang berlarut-larut. Mereka akan merasa bahwa nasib yang mereka alami sangat
buruk. Selain itu ada kemungkinan bahwa mereka menyalahkan diri mereka sendiri
atas terjadinya perkosaan yang mereka alami. Pada kasus-kasus seperti ini maka
gangguan yang mungkin terjadi atau dialami oleh korban akan semakin kompleks.
Tanda-tanda PTSD tersebut hampir sama
dengan tanda dan simptom yang ada pada depresi menurut kriteria dari American
Psychiatric Association (dalam Davison dan Neala, 1990). Tanda-tanda tersebut
adalah: (1) sedih, suasana hati depres; (2) kurangnya nafsu makan dan berat
badan berkurang, atau meningkatnya nafsu makan dan bertambahnya berat badan;
(3) kesukaran tidur (insomnia): tidak dapat segera tidur, tidak dapat kembali
tidur sesudah terbangun pada tengah malam, dan pagi-pagi sesudah terbangun;
atau adanya keinginan untuk tidur terus-menerus; (4) perubahan tingkat
aktivitas; (5) hilangnya minat dan kesenangan dalam aktivtas yang biasa dilakukan; (6)
kehilangan energi dan merasa sangat lelah; (7) konsep diri negatif; menyalahkan
diri sendiri, merasa tidak berguna dan bersalah; (8) sukar berkonsentrasi,
seperti lamban dalam berpikir dan tidak mampu memutuskan sesuatu; (9) sering
berpikir tentang bunuh diri atau mati.
Menurut Georgette (dalam Warshaw, 1994)
sindrom tersebut dialami oleh korban, baik korban perkosaan dengan pelaku yang
dikenal maupun pelaku adalah orang asing. Hal tersebut akan termanifestasikan
ke dalam rentang emosi dan perilaku yang luas. Korban dapat menunjukkan reaksi
yang terbuka terhadap pengalamannya atau dapat juga mengontrol responnya,
bertindak secara kalem dan tenang. Bagaimanapun juga korban akan mengalami
perasaan takut secara umum ataupun perasaan takut yang khusus seperti perasaan
takut akan kematian, marah, perasaan bersalah, depresi, takut pada laki-laki,
cemas, merasa terhina, merasa malu, ataupun menyalahkan diri sendiri. Korban
dapat merasakan hal tersebut secara bersama-sama dalam waktu dan intensitas
yang berbeda-beda. Korban dapat juga memiliki keinginan untuk bunuh diri.
Sesaat setelah korban terlepas dari perkosaan mungkin ia akan merasakan suatu
kelegaan untuk sesaat karena sudah terlepas dari suatu peristiwa yang sangat
mengancam. Akan tetapi setelah peristiwa tersebut maka korban akan mengalami
kesulitan untuk berkonsentrasi ataupun memfokuskan pemikirannya untuk
menampilkan tugas yang sederhana. Korban akan merasa gugup, gelisah, mudah
terganggu, mengalami goncangan, menggigil, nadi berdebar secara kencang, dan
badan terasa panas dingin. Korban juga dapat mengalami kesulitan tidur,
kehilangan nafsu makan, mengalami gangguan secara medis, diantaranya mungkin
berhubungan langsung dengan penyerangan yang dialaminya.
Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa
perkosaan oleh pasangan ataupun teman kencan biasanya tidak melibatkan
kekerasan secara nyata seperti adanya pemukulan atau penggunaan senjata dan
ancaman. Berdasarkan pandangan tersebut maka mereka menganggap bahwa trauma
yang dialami oleh korban tidak seberat trauma yang dialami oleh korban
perkosaan oleh orang asing (Warshaw, 1994). Akan tetapi pada kenyataannya yang
terjadi adalah kebalikan dari pandangan tersebut. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Katz dan Burt (dalam Warshaw, 1994) ditemukan bahwa korban
perkosaan dengan pelaku yang dikenal oleh korban, mengalami proses penyembuhan
yang lebih sedikit dibandingkan korban perkosaan dengan pelaku yang tidak
dikenal korban. Penelitian ini didasarkan dengan melihat kondisi korban setelah
jangka waktu tiga tahun dari peristiwa perkosaan yang dialami oleh korban.
Menurut Parrot (dalam Warshaw, 1994) yang seorang pakar tentang date rape, hal
tersebut dapat diakibatkan karena korban yang mengalami perkosaan oleh orang yang dikenal
biasanya menyimpan kenyataan mengenai peristiwa yang mereka alami. Hal ini
berbeda dengan korban dengan pelaku yang tidak begitu dikenal. Mereka cenderung
dengan segera mencari pertolongan, konseling, ataupun kelompok dukungan
lainnya. Dengan demikian maka korban dengan pelaku yang dikenal akan menyimpan
dampak dari serangan yang dialaminya dalam jangka waktu yang lebih lama.
Korban perkosaan dengan pelaku yang
dikenal, memiliki kemungkinan yang besar akan mengalami perkosaan secara
berulang dan dalam jangka waktu yang panjang (Agaid, 2002). Pelaku sebagai
orang yang dikenal bahkan orang yang dekat dengan korban sudah mengetahui
dengan baik situasi untuk melakukan perkosaan. Pelaku telah merancang waktu
untuk melakukan niatnya dengan baik sehingga ia yakin bahwa perbuatannya
tersebut tidak akan diketahui oleh orang lain. Korban yang memiliki relasi
kuasa di bawah pelaku tidak berani mengungkapkan rahasia tersebut kepada orang
lain termasuk keluarganya karena adanya berbagai alasan seperti: adanya ancaman
dari pelaku, alasan menjaga kehormatan dan pemberian pengertian dari pelaku
bahwa perkosaan tersebut adalah bukti kasih sayang pelaku kepada korban.
Berdasarkan hal tersebut maka pelaku lebih leluasa untuk mengulang
perbuatannya. Perkosaan seperti ini membuat posisi korban serba salah karena ia
harus menanggung beban ganda, yaitu menjadi korban dari perkosaan yang dapat
berulang setiap saat dan harus menyimpan rahasia tersebut dari orang lain.
Kadangkala ketakutan yang dialami oleh
korban membuat ia tidak berdaya dan lemah. Korban perkosaan mungkin akan
mengalami ketakutan berada dalam situasi yang ramai atau berada sendirian. Korban
dapat merasa ketakutan pada saat ia hanya berdua dengan orang lain. Posisi ini
membuat korban tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain, bahkan orang-orang
yang selama ini dekat dengannya. Korban dapat pula menjadi paranoid terhadap
alasan dari orang-orang yang tidak dikenalnya. Pemicu yang berhubungan dengan
perkosaan seperti lagu yang didengar pada saat kejadian, bau minuman yang
diminum oleh pelaku pada saat kejadian, bau parfum pelaku, ataupun melihat
seseorang yang mirip dengan pelaku akan membuat korban merasa cemas dan takut
(Warshaw, 1994).
6.
Landasan Hukum
7.
Penatalaksanaan
Proses penyembuhan korban dari trauma
perkosaan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan
untuk membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu menerima kejadian
yang telah menimpanya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang harus ia jalani
(Hayati, 2000). Korban perkosaan memerlukan kawan bicara, baik teman, orangtua,
saudara, pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan
mereka. Diharapkan dengan adanya dukungan ini maka korban akan mampu berdaya
dan menjalani kehidupannya seperti sedia kala.
Pada kasus-kasus perkosaan yang
didampingi oleh Rifka Annisa Women’s Crisis Center, beberapa korban tidak dapat
ataupun tidak mau menghubungi keluarganya dengan berbagai pertimbangan dan
alasan. Korban merasa malu dan bersalah karena merasa bahwa dirinya tidak dapat
menjaga nama baik keluarga. Selain itu mereka juga merasa takut jika keluarga
menjadi marah dan tidak mau menerima keadaan mereka.
Korban
yang tidak didampingi oleh keluarga mengalami kecemasan yang tinggi, merasa
lemah, sering pingsan, bahkan mengalami PTSD. PTSD ini jarang terjadi pada
korban yang mendapat dukungan dan pendampingan dari keluarga. Korban yang
mendapat dukungan dari keluarga pada umumnya hanya mengalami stres paska
perkosaan jangka pendek dan tidak mengalami PTSD. Korban terlihat lebih cepat
pulih dengan adanya dukungan dari keluarga. Bahkan ada seorang anak yang pada saat kejadian dia sangat shock akan
tetapi dengan pengertian dari keluarga serta dukungan yang diberikan ia mampu
mengatasi perasaan tersebut dan mau melanjutkan kegiatannya seperti biasa.
Salah satu korban dititipkan di rumah neneknya di luar Jawa karena pelaku
perkosaan tersebut adalah ayah tirinya. Masing-masing keluarga memiliki cara
sendiri di dalam memberi dukungan terhadap anggota keluarga mereka yang menjadi
korban perkosaan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR
PUSTAKA
Agaid, N. 2002. “Penyerangan Seksual Terhadap Anak atau Perlakuan Salah
Secara Seksual Terhadap Anak” dalam Training Workshop on Protective Behavior
Against Child Sexual Abuse Among Street and Sexually Exploited Children,
Jakarta, ICWF-Childhope Asia Philippines, 3-7 Maret 2002. Jakarta.
Blume, L.
and Bennie M.S.
2017. Attacking
Violence: Prevention and Intevervention.Michigan Family Review, Vol. 2, No.
1.
Delville. 2017. Development of Agression.Biology of Agression. Edited by
RandyJ. Nelson.USA: Oxford University Press. p.327-350.
Hayati, E. N. 2000. Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan
Konseling Berwawasan Gender. Yogyakarta: Rifka Annisa.
https://hellosehat.com/mental/mental-lainnya/trauma-akibat-kekerasan-seksual/#gref
diakses pada 31 desember 2020 pukul 15.00 WIB
https://www.alodokter.com/beban-psikologis-dan-kesehatan-korban-pemerkosaan
diakses pada 31 desember 2020 pukul 15.00 WIB
Kodir
Faqihuddin Abdul. 2008. Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan
dalam Rumah Tangga. Jakarta : Komnas
Perempuan
Nutt, David. 2000. Post Traumatic Stress Disorder : Diagnosis, Management
and Treatment, London: Martin Dunitz Ltd.
Rifka Annisa Women’s Crisis Center. 2000a. Press Release : Hasil Lokakarya
Nasional Menggagas Model-Model Women’s Crisis Center di Indonesia. Yogyakarta:
Hotel Jayakarta, 6 Juli.
Suryabrata, S. 1995. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Umar
Farok Peri. 2008. Tindak Pidana Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Jakarta :
Literacy & Publication Solutions
Warshaw, R. 1994. I Never Called It Rape. New York: Ms. Foundation for
Education and Communication, Inc.
No comments:
Post a Comment