Monday, 18 October 2021

MAKALAH EKONOMI PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN PSAK 16

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

            Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) merupakan pedoman dalam melakukan praktek akuntansi dimana uraian materi di dalamnya mencakup hampir semua aspek yang berkaitan dengan akuntansi, yang dalam penyusunannya melibatkan sekumpulan orang dengan kemampuan dalam bidang akuntansi yang tergabung dalam suatu lembaga yang dinamakan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Dengan kata lain, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) adalah buku petunjuk bagi pelaku akuntansi yang berisi pedoman tentang segala hal yang ada hubungannya dengan akuntansi.

            Salah satu PSAK mengatur berkaitan dengan Aset Tetap. Aset tetap (fixed assets ) disebut juga Property, Plant and Equipment. Menurut Standar Akuntansi Keuangan (PSAK No. 14, hal 16.2 & 16.)Aset tetap adalah harta milik perusahaan yang digunakan secara terus menerus dan aset berwujud yang diperoleh dalam siap pakai atau dengan dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan, tidak dimaksudkan utnuk dijual dalam kegiatan normal perusahaan dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Keberadaan aset tetap disuatu perusahaaan benar-benar milik peerusahaan dan bukan pinjam atau list.

            Dalam  pengelolaan  aset  tetap  tentunya  perusahaan  mempunyai  kebijakan-kebijakan  dalam  penggolongan  aset  tetap.  Kebijakan  aset  tetap  harus  sesuai dengan  kondisi  perusahaan  dan  gambaran  wajar  mengenai  hasil  operasi  perusahaan yang akan mempengaruhi kewajaran dalam laporan keuangan Aset  tetap  juga  akan mengalami  penurunan  nilai  akibat  pemakaian  dan harus  dibebankan  secara  tepat  dengan  cara  penyusutan  yang  tepat.  Perusahaan  harus mampu menerapkan metode penyusutan dan pengelompokan yang tepat. Pada aset tetap metode penyusutan  yang berbeda  akan menghasilkan alokasi biaya  penyusutan yang berbeda.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

A.  Definisi:

Aset tetap adalah aset berwujud yang:

1.  Diperkirakan untuk digunakan selama lebih dari satu periode

2.  Dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administrative

 

B.  Pengakuan:

Biaya perolehan aset tetap diakui sebagai aset jika dan hanya jika:

1.      Biaya perolehan dapat diukur secara andal

2.      Kemungkinan besar entitas akan memperoleh manfaat ekonomi masa depan dari asset tersebut

Entitas mengrevaluasi berdasarkan prinsip pengakuan ini terhadap semua biaya perolehan aset tetap pada saat terjadinya. Biaya tersebut termasuk biaya awal untuk memperoleh atau mengkonstruksi aset tetap dan biaya selanjutnya yang timbul untuk menambah, mengganti bagian atau memperbaikinya.

Contoh:
– biaya penanganan kimiawi baru diakui sbg aset (tanpa itu tidak dapat berproduksi)
– biaya perawatan sehari-hari diakui dlm laba rugi

 

C.  Pengukuran saat pengakuan:

Aset tetap yang memenuhi syarat pengakuan sebagai aset diukur pada biaya perolehan

Komponen biaya perolehan;

1.      Setiap biaya yang dapat diatribusikan scr langsung

2.      Harga perolehan; termasuk bea impor dan pajak pembelian setelah disc. pembelian dan potongan lain;

3.      Estimasi awal biaya pembongkaran & pemindahan aset tetap dan restorasi lokasi aset tetap

Contoh biaya yang dapat diatribusikan langsung;

1.      Biaya imbalan kerja

2.      Biaya penyiapan lahan untuk pabrik

3.      Biaya penanganan dan penyerahan awal

4.      Biaya perakitan dan instalasi

5.      Biaya pengujian aset

6.      Komisi profesional

 

D.  Pengukuran setelah pengakuan:

1.      Model biaya

Setelah pengakuan sebagai aset, aset tetap dicatat pada biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai

2.      Model revaluasi

Nilai wajar pada tanggal revaluasian dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai setelah tanggal revaluasi. Hal ini untuk memastikan tidak ada beda material. Jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama direvaluasi. Contoh: tanah, mesin, kapal, pesawat

3.      Penurunan nilai aset menggunkan PSAK 48:

Penurunan nilai Beban penyusutan untuk setiap periode dimasukkan dalam lap. laba rugi entitas Penyusutan dapat menggunakan metode ini yaitu: garis lurus, saldo menurun, & unit produksi

 

E.  Penghentian Pengakuan:

Keuntungan atau kerugiannya dimasukkan dalam laporan laba rugi entitas. Aset tetap dihentikan pengakuannya hanya jika:

1.      pada saat pelepasan

2.      ketika tidak terdapat lagi manfaat ekonomis

 

F.   Pengungkapan

Laporan keuangan mengungkapkan untuk setiap kelompok aset tetap:

1.  Dasar pengukuran yang digunakan

2.  Metode penyusutan

3.  Umur manfaat

4.  Jumlah tercatata bruto dan akumulasi penyusutan

5.  Rekonsiliasi jumlah tercatat

6.  Keberadaan dan jumlah pembatasan atas hak milik

7.  Jumlah pengeluaran yang diakui dlm aset tetap dlm konstruksi

8.   Jumlah komitmen kontraktual u/ memperoleh

9.   Jumlah kompensasi dari pihak ketiga

 

Jika aset direvaluasi, hal berikut harus diungkapkan:

1.  Tanggal efektif revaluasi

2.  Apakah melibatkan penilai independen

3.  Metode dan asumsi

4.  Penjelasan mengenai nilai wajar terhadap nilai pasar aktif atau lainnya

5.  Kelompok yang menggunakan model biaya

6.  Surplus revaluasi

 

G.    Kritikal Reviu

Berdasarkan ringkasan terkait PSAK 16 di atas¸ PSAK 16 mengatur tentang asset tetap. Sehubungan dengan adanya PMK No.191/PMK.010/2015, terdapat beberapa perbedaan revaluasi aset tetap menurut peraturan perpajakan dengan standar akuntansi yang berlaku, dalam hal ini PSAK No.16 Aset Tetap. Ruang lingkup pembahasan difokuskan kepada aplikasi dan poin-poin penting perbedaan masing-masing terhadap pelaporan perpajakan dan akuntansi. Sampai dengan saat ini, perbedaan ini masih menjadi perdebatan terkait pengakuan, pengukuran dan penyajian revaluasi di laporan keuangan dan laporan perpajakan.

Meninjau perkembangan saat ini, belum terdapat penyesuaian resmi terhadap kedua aturan tersebut sehingga perlakuan revaluasi aset tetap menurut perpajakan dan komersial tetap memiliki beberapa perbedaan yang substansial. PMK No.191 mengakomodasi target penerimaan pajak tahun 2015 dan untuk lebih mendorong roda perekonomian nasional secara masif, sedangkan PSAK 16 memberikan pilihan measurement model after recognition (pengukuran setelah pengakuan), dimana salah satunya adalah model revaluasi dengan latar belakang untuk memberikan informasi pelaporan keuangan yang lebih relevan dan bermanfaat bagi pengambilan keputusan. PMK No.191 merupakan pengembangan dari PMK No.79/PMK.03/2008 dan dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia, sedangkan PSAK 16 adalah standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia berdasarkan IAS 16 - Property, Plant and Equipment sebagai acuan utama dan dikeluarkan oleh DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan) Ikatan Akuntan Indonesia.

 

Dari 2 (dua) standar tersebut, paling tidak terdapat 8 (delapan) perbedaan signifikan sebagai berikut:

 

Poin

Aspek

PMK 191 (2015) - Perpajakan

PSAK 16 (2014) - Komersial

1

Aset yang direvaluasi

Dapat dilakukan terhadap sebagian atau seluruh aktiva tetap (pasal 3)

Harus dilakukan atas kelompok aset yang sama (paragraf 36)

2

Frekuensi revaluasi

Dapat dilakukan kembali setelah 5 tahun sejak penilaian sebelumnya (pasal 3)

Jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dengan jumlah tercatat, maka revaluasi kembali (paragraf 34)

3

Hasil penilaian oleh appraisal tidak mencerminkan keadaan sebenarnya

Direktorat Jenderal Pajak dapat menetapkan kembali nilai pasar atau aktiva yang bersangkutan (pasal 4)

Tidak diatur. Menggunakan nilai pasar hasil appraisal saja (paragraf 32)

4

Masa manfaat aset setelah revaluasi

Kembali menjadi masa manfaat penuh sesuai dengan kelompok perpajakan

Berlaku prospektif. Disusutkan berdasarkan sisa manfaat aset yang bersangkutan (paragraf 43)

5

Konsekuensi atas penjualan aset tetap yang sudah direvaluasi

Jika aset dijual dalam 10 tahun setelah revaluasi dilakukan, maka surplus revaluasi aset terkait dikenakan tambahan PPh final dengan tarif tertinggi yang berlaku pada saat revaluasi dilakukan-aset kelompok 3, 4, tanah, bangunan (pasal 8)

Jika aset dijual, maka surplus revaluasi atas aset tersebut dipindahkan ke saldo laba bukan di other comprehensive income (OCI) lagi. Untuk penjualannya, tidak ada perlakuan khusus, laba/rugi penjualan aset tetap membandingkan nilai buku hasil revaluasi dengan hasil penjualan (paragraf 41).

6

Nama akun atas surplus revaluasi di neraca

Disajikan sebagai “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap Wajib Pajak Tanggal…..” (pasal 9)

Tidak diatur secara khusus namun secara tersirat disebutkan surplus revaluasi (paragraf 41)

7

Defisit revaluasi (hasil penilaian kembali < nilai tercatat)

Tidak diatur secara eksplisit. Konsep pemikiran lebih pada surplus revaluasi, namun tetap diatur jika terjadi kelebihan pembayaran PPh final (berdasarkan permohonan awal vs hasil riil apraisal), maka kelebihan tersebut bukan pajak yang terutang (pasal 6)

Defisit revaluasi diakui dalam laba rugi, bukan OCI. Namun, jika sebelumnya masih terdapat saldo surplus revaluasi di OCI, maka rugi tersebut harus saling hapus (set-off) dengan surplus sampai sebesar surplus revaluasi tersebut (paragraf 40)

8

Kapitalisasi surplus revaluasi

Dapat dikapitalisasi menjadi saham bonus dan bukan objek pajak. Namun jika surplus fiskal > komersial, maka yang dapat dikapitalisasi hanya sampai sebesar surplus komersial (pasal 9 ayat 2 dan 3)

Diakui sebagai OCI, namun jika sudah pernah diakui defisit revaluasi dalam laba rugi sebelumnya, maka diakui di laba rugi sampai sebesar defisit tersebut (pasal 39)

 

          Mulai dari perbedaan No. 1, revaluasi perpajakan mengizinkan revaluasi secara cherry picking, sedangkan komersial melarang revaluasi secara selektif. Secara komersial, revaluasi harus dilakukan minimal 'per kelompok aset. Definisi kelompok aset adalah aset yang memiliki nature dan kegunaan yang serupa, misalnya tanah, peralatan pabrik, kendaraan dan seterusnya. Misalnya terdapat 8 tanah dalam klasifikasi aset tanah dalam sebuah perusahaan, maka secara fiskal, diizinkan hanya merevaluasi 3 tanah saja, sedangkan komersial harus seluruhnya. Apakah kedua hal ini harus disamakan? Tidak perlu dan tidak bisa. Jadi, kesimpulannya aset apa saja yang akan direvaluasi dapat berbeda sehingga menimbulkan nilai aset dan depresiasi yang berbeda juga antara fiskal dan komersial.

          Perbedaan No. 2, secara fiskal mengharuskan periode revaluasi ulang, yaitu 5 tahunan, sedangkan komersial lebih diserahkan kepada judgement terkait materialitas. Jika hasil nilai wajar berbeda secara material, maka baru direvaluasi ulang, jika tidak, maka tidak perlu. Berapa tingkat materialitasnya? Lihat definisi materialitas saja di PSAK No. 1 dan tentukan secara internal. Namun, jika anda bekerja di multinational company atau publicly listed entities, maka coba cari tahu matriks materialitas atau guidance materialitas lain. Tentunya, hal ini akan berbeda-beda di setiap perusahaan dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. Jadi, sekali lagi nilai revaluasi di suatu tahun dapat berbeda antara komersial dan fiskal yang juga berdampak kepada pengukuran nilai aset tetap dan depresiasinya.

           Perbedaan No. 3 cukup jelas menurut tabel di atas. Langsung kepada perbedaan No. 4, maka setelah direvaluasi, masa manfaat menurut fiskal akan kembali lagi ke mas manfaat penuh sesuai dengan kelompok aset tetapnya (sesuai dengan Kelompok Aset Tetap - Perpajakan), sedangkan akuntansi berlaku prospektif, jadi didepresiasi berdasarkan sisa umur manfaatnya saja. Jadi, akan ada perbedaan nilai depresiasi 'per bulan dan 'per tahun serta akan menghasilkan konsekuensi pajak tangguhan (deferred tax).

          Perbedaan No. 5 dan 6 juga cukup jelas menurut tabel di atas. Namun khusus untuk No. 6 memang terlihat ketentuan fiskal agak out-scope, dimana sudah mengatur tentang nama akun penyajian laporan keuangan, padahal surplus ini dalam neraca komersial. Selain itu, pengaturannya harus memasukkan term "aktiva", padahal menurut komersial sudah konsisten menggunakan term sesuai IFRS, yaitu "aset". Pertanyaan yang mungkin timbul adalah apakah tidak ada yang dinamakan neraca fiskal? Hal ini pernah saya singgung secara singkat di Kajian PMK No. 169 dan 191 Tahun 2015, jadi memang objek pengenaan pajak pada umumnya untuk perusahaan berada pada komponen laporan laba-rugi, namun dalam kasus rekonsiliasi fiskal, terdapat metode balance sheet approach untuk menilai perbedaan temporer antara komersial dan fiskal (diatur dalam PSAK No. 46) sehingga ada juga yang dinamakan neraca fiskal. Namun, tentu neraca ini tidak dilaporkan secara resmi dimanapun karena dari sisi perpajakan sendiri juga kita selalu melaporkan neraca versi komersial. Dan tentu juga kita tidak dapat memaksakan agar neraca fiskal ini "balance" karena angkanya tidak selalu terbentuk atas jurnal akuntansi yang normal, apalagi laba-rugi fiskal juga sudah merupakan hasil koreksi sesuai ketentuan perpajakan. Mengenai perbedaan No. 7 tentang defisit revaluasi juga sudah cukup jelas.

            Perbedaan yang sangat menarik adalah point No. 8 tentang kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aset tetap (surplus revaluasi) menjadi saham bonus. Secara sederhana, saham bonus dapat diartikan sebagai tambahan pencatatan atas modal tanpa penyetoran baru. Hal ini merupakan objek pajak menurut UU PPh No. 36 tahun 2008 pasal 4, namun tarifnya berbeda-beda tergantung penerima saham bonus tersebut, dimana untuk OP dikenakan PPh 4(2) final sebesar 10% dan untuk Badan dikenakan PPh 23 sebesar 15% (dengan catatan berlaku untuk WP dalam negeri, hal ini juga sedikit dibahas dalam Kajian PMK No. 169 dan 191 tahun 2015). Khusus untuk PMK ini, kapitalisasi yang berasal dari surplus tersebut dianggap bukan sebagai objek pajak, jadi pengenaan PPh nya dibebaskan. Tentu jika kita berbicara surplus revaluasi, exposure 10% atau 15% bisa jadi sangat besar sehingga insentif ini sangat "menggiurkan".

          Setelah dibahas 'per point perbedaan di atas, masalah real akan dihadapi oleh perusahaan akibat perbedaan substansial tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

·         Depreciable amount antara komersial dan fiskal berbeda, jika secara fiskal tidak direvaluasi, namun secara komersial direvaluasi. Hal ini akan menimbulkan beda tetap (permanent difference) dalam rekonsiliasi fiskal dan perusahaan harus maintain sistem pencatatan aset terpisah menjadi 2 (dua)

·          Estimasi masa manfaat antara komersial dan fiskal berbeda. Hal ini akan menimbulkan beda waktu (temporary difference) dalam rekonsiliasi fiskal dengan catatan tidak ada perbedaan depreciable amount. Dengan kata lain, ada unsur pajak tangguhan

·         Klasifikasi komponen ekuitas akan berbeda, dimana komersial mengakui dan menyesuaikan OCI secara kontinyu, sedangkan fiskal dapat diklasifikasikan sebagai saham bonus. Dampaknya, jika dinotarikan secara legal, maka posisi ekuitas komersial akan berbeda dengan dokumentasi legal dan berujung kepada ketidaksesuaian dengan standar akuntansi

·         Tidak semua aset yang direvaluasi secara fiskal akan dipertahankan perusahaan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun ke depan dengan mempertimbangkan dinamika dunia bisnis dan strategic action plan masing-masing perusahaan. Namun, jika dijual akan dikenakan tambahan PPh final dengan tarif PPh tertinggi, yaitu 25% untuk Badan dan 30% untuk OP

          Solusi yang dapat dikembangkan atau alternatif yang dapat dipertimbangkan terhadap masalah di atas adalah:

·         Pertimbangkan untuk menyusutkan minimal 'per kelompok aset agar tidak ada perbedaan jenis aset yang direvaluasi antara komersial dan fiskal. Jangan semata-mata memilih semua aset spesifik yang kira-kira memiliki hasil surplus. Jika memang terjadi defisit revaluasi, namun masih tolerable, maka lebih baik tetap direvaluasi semua aset dalam kelompok terkait untuk menghilangkan risiko point 1 di atas

·         Review estimasi masa manfaat secara akuntansi. Hal ini merupakan bagian dari estimasi akuntansi yang diatur dalam PSAK No. 25 (2009). Jika memungkinkan, maka estimasi masa manfaat akan sama dengan masa manfaat awal fiskal sehingga tidak ada perbedaan penyusutan setiap bulan dan tahunnya. Misalkan suatu aset memiliki masa manfaat awal 8 tahun dan sudah disusutkan selama 3 tahun, baik secara komersial maupun fiskal. Setelah itu, aset direvaluasi, maka secara fiskal akan kembali menjadi 8 tahun, sedangkan akuntansi karena berlaku prospektif, maka akan disusutkan selama 5 tahun saja. Saat itu, direview apakah masa manfaat yang tepat masih tersisa 8 tahun lagi sehingga secara akuntansi seharusnya dari awal ditetapkan 11 tahun (3 tahun yang sudah disusutkan + 5 tahun sisa umur + 3 tahun estimasi tambahan baru). Jika berhasil, maka akan menghilangkan risiko point 2 di atas

·         Tidak ada "jembatan tengah" untuk risiko point 3. Satu-satunya cara adalah jangan sampai dikapitalisasi menjadi saham bonus, apalagi dinotarikan secara legal karena hal ini malah akan menimbulkan ketidaksesuaian signifikan dengan standar akuntansi dan dapat menimbulkan risiko salah saji material. Jadi, perusahaan "stop" pada optimalisasi manfaat penambahan ekuitas saja yang akan berdampak pada membaiknya DER dan insentif tarif pajak atas revaluasi, jangan dilanjutkan ke saham bonus

·         Perusahaan harus mengkaji apakah terdapat aset yang memenuhi PSAK 58 (Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual). Jika memenuhi, maka lakukan reklasifikasi aset terkait ke dalam current assets, bukan sebagai aset tetap lagi karena manfaat ekonominya akan dipulihkan melalui penjualan dibandingkan pemakaian berlanjut, artinya sudah tidak memenuhi ketentuan aset tetap dan tidak perlu direvaluasi secara komersial dan fiskal sehingga menghilangkan risiko point 4 di atas

DAFTAR PUSTAKA

 

PSAK 16 Aset Tetap per Januari 2015. Ikatan Akuntan Indonesia

Ikatan Akuntan Indonesia 2016.Buletin Teknis Revaluasi Aset Tetap

Siswati¸Susi . 2015. Revaluasi Aset Tetap Berdasar Aspek Akuntansi Psak 16 (Revisi) Dan Aspek Perpajakan. Universitas Kristen Immanuel Yogyakarta

 

No comments:

Post a Comment