BAB I
PENDAHULUAN
Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) merupakan pedoman dalam melakukan praktek
akuntansi dimana uraian materi di dalamnya mencakup hampir semua aspek yang
berkaitan dengan akuntansi, yang dalam penyusunannya melibatkan sekumpulan
orang dengan kemampuan dalam bidang akuntansi yang tergabung dalam suatu
lembaga yang dinamakan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Dengan kata lain,
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) adalah buku petunjuk bagi pelaku
akuntansi yang berisi pedoman tentang segala hal yang ada hubungannya dengan
akuntansi.
Salah satu PSAK mengatur berkaitan dengan Aset Tetap. Aset tetap (fixed assets ) disebut juga Property,
Plant and Equipment. Menurut Standar Akuntansi Keuangan (PSAK No. 14, hal
16.2 & 16.)Aset tetap adalah harta milik
perusahaan yang digunakan secara terus menerus dan aset berwujud yang diperoleh
dalam siap pakai atau dengan dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam
operasi perusahaan, tidak dimaksudkan utnuk dijual dalam kegiatan normal perusahaan dan mempunyai masa manfaat lebih
dari satu tahun. Keberadaan aset tetap disuatu perusahaaan benar-benar
milik peerusahaan dan bukan pinjam atau list.
Dalam pengelolaan
aset tetap tentunya
perusahaan mempunyai kebijakan-kebijakan dalam
penggolongan aset tetap.
Kebijakan aset tetap
harus sesuai dengan kondisi
perusahaan dan gambaran
wajar mengenai hasil
operasi perusahaan yang akan
mempengaruhi kewajaran dalam laporan keuangan Aset tetap
juga akan mengalami penurunan
nilai akibat pemakaian
dan harus dibebankan secara
tepat dengan cara
penyusutan yang tepat.
Perusahaan harus mampu menerapkan
metode penyusutan dan pengelompokan yang tepat. Pada aset tetap metode
penyusutan yang berbeda akan menghasilkan alokasi biaya penyusutan yang berbeda.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Definisi:
Aset
tetap adalah aset
berwujud yang:
1. Diperkirakan
untuk digunakan selama lebih dari satu periode
2. Dimiliki
untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk
direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administrative
B. Pengakuan:
Biaya
perolehan aset tetap diakui sebagai aset jika dan hanya jika:
1.
Biaya perolehan dapat diukur secara andal
2.
Kemungkinan besar entitas akan memperoleh manfaat
ekonomi masa depan dari asset tersebut
Entitas mengrevaluasi berdasarkan
prinsip pengakuan ini terhadap semua biaya perolehan aset tetap pada saat
terjadinya. Biaya tersebut termasuk biaya awal untuk memperoleh atau
mengkonstruksi aset tetap dan biaya selanjutnya yang timbul untuk menambah,
mengganti bagian atau memperbaikinya.
Contoh:
– biaya penanganan kimiawi baru diakui sbg
aset (tanpa itu tidak dapat berproduksi)
– biaya perawatan sehari-hari diakui dlm laba rugi
C. Pengukuran
saat pengakuan:
Aset tetap yang
memenuhi syarat pengakuan sebagai aset diukur pada biaya perolehan
Komponen biaya
perolehan;
1.
Setiap biaya yang dapat diatribusikan scr langsung
2.
Harga perolehan; termasuk bea impor dan pajak pembelian
setelah disc. pembelian dan potongan lain;
3.
Estimasi awal biaya pembongkaran & pemindahan aset
tetap dan restorasi lokasi aset tetap
Contoh biaya yang dapat
diatribusikan langsung;
1.
Biaya imbalan kerja
2.
Biaya penyiapan lahan untuk pabrik
3.
Biaya penanganan dan penyerahan awal
4.
Biaya perakitan dan instalasi
5.
Biaya pengujian aset
6.
Komisi profesional
D. Pengukuran
setelah pengakuan:
1.
Model biaya
Setelah pengakuan sebagai aset, aset tetap dicatat pada biaya perolehan
dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai
2.
Model revaluasi
Nilai wajar pada tanggal revaluasian dikurangi akumulasi
penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai setelah tanggal revaluasi. Hal
ini untuk memastikan tidak ada beda material. Jika suatu aset tetap
direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama direvaluasi.
Contoh: tanah, mesin, kapal, pesawat
3.
Penurunan nilai aset
menggunkan PSAK 48:
Penurunan nilai Beban penyusutan untuk setiap periode dimasukkan dalam
lap. laba rugi entitas Penyusutan dapat menggunakan metode ini yaitu:
garis lurus, saldo menurun, & unit produksi
E. Penghentian
Pengakuan:
Keuntungan atau kerugiannya dimasukkan
dalam laporan laba rugi entitas. Aset
tetap dihentikan pengakuannya hanya jika:
1.
pada saat pelepasan
2.
ketika tidak terdapat lagi manfaat ekonomis
F. Pengungkapan
Laporan
keuangan mengungkapkan untuk setiap kelompok aset tetap:
1. Dasar
pengukuran yang digunakan
2. Metode
penyusutan
3. Umur
manfaat
4. Jumlah
tercatata bruto dan akumulasi penyusutan
5. Rekonsiliasi
jumlah tercatat
6. Keberadaan
dan jumlah pembatasan atas hak milik
7. Jumlah
pengeluaran yang diakui dlm aset tetap dlm konstruksi
8. Jumlah komitmen kontraktual u/ memperoleh
9. Jumlah kompensasi dari pihak ketiga
Jika aset
direvaluasi, hal berikut harus diungkapkan:
1. Tanggal
efektif revaluasi
2. Apakah
melibatkan penilai independen
3. Metode
dan asumsi
4. Penjelasan
mengenai nilai wajar terhadap nilai pasar aktif atau lainnya
5. Kelompok
yang menggunakan model biaya
6. Surplus
revaluasi
G. Kritikal Reviu
Berdasarkan ringkasan terkait PSAK 16 di atas¸
PSAK 16 mengatur tentang asset tetap. Sehubungan dengan
adanya PMK No.191/PMK.010/2015, terdapat beberapa perbedaan revaluasi aset
tetap menurut peraturan perpajakan dengan standar akuntansi yang berlaku, dalam
hal ini PSAK No.16 Aset Tetap. Ruang lingkup pembahasan difokuskan kepada
aplikasi dan poin-poin penting perbedaan masing-masing terhadap pelaporan
perpajakan dan akuntansi. Sampai dengan saat ini, perbedaan ini masih menjadi
perdebatan terkait pengakuan, pengukuran dan penyajian revaluasi di laporan
keuangan dan laporan perpajakan.
Meninjau
perkembangan saat ini, belum terdapat penyesuaian resmi terhadap kedua aturan
tersebut sehingga perlakuan revaluasi aset tetap menurut perpajakan dan
komersial tetap memiliki beberapa perbedaan yang substansial. PMK No.191 mengakomodasi
target penerimaan pajak tahun 2015 dan untuk lebih mendorong roda perekonomian
nasional secara masif, sedangkan PSAK 16 memberikan pilihan measurement model
after recognition (pengukuran setelah
pengakuan), dimana salah satunya adalah model revaluasi dengan latar belakang
untuk memberikan informasi pelaporan keuangan yang lebih relevan dan bermanfaat
bagi pengambilan keputusan. PMK No.191 merupakan pengembangan dari PMK
No.79/PMK.03/2008 dan dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia,
sedangkan PSAK 16 adalah standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia
berdasarkan IAS 16 - Property, Plant and
Equipment sebagai acuan utama dan dikeluarkan oleh DSAK (Dewan Standar
Akuntansi Keuangan) Ikatan Akuntan Indonesia.
Dari 2 (dua) standar tersebut, paling
tidak terdapat 8 (delapan) perbedaan signifikan sebagai berikut:
Poin |
Aspek |
PMK 191 (2015) - Perpajakan |
PSAK 16 (2014) - Komersial |
1 |
Aset yang direvaluasi |
Dapat dilakukan terhadap sebagian atau seluruh
aktiva tetap (pasal 3) |
Harus dilakukan atas kelompok aset yang sama
(paragraf 36) |
2 |
Frekuensi revaluasi |
Dapat dilakukan kembali setelah 5 tahun sejak
penilaian sebelumnya (pasal 3) |
Jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda
secara material dengan jumlah tercatat, maka revaluasi kembali (paragraf 34) |
3 |
Hasil penilaian oleh appraisal tidak mencerminkan
keadaan sebenarnya |
Direktorat Jenderal Pajak dapat menetapkan kembali
nilai pasar atau aktiva yang bersangkutan (pasal 4) |
Tidak diatur. Menggunakan nilai pasar hasil appraisal
saja (paragraf 32) |
4 |
Masa manfaat aset setelah revaluasi |
Kembali menjadi masa manfaat penuh sesuai dengan
kelompok perpajakan |
Berlaku prospektif. Disusutkan berdasarkan sisa
manfaat aset yang bersangkutan (paragraf 43) |
5 |
Konsekuensi atas penjualan aset tetap yang sudah
direvaluasi |
Jika aset dijual dalam 10 tahun setelah revaluasi
dilakukan, maka surplus revaluasi aset terkait dikenakan tambahan PPh final
dengan tarif tertinggi yang berlaku pada saat revaluasi dilakukan-aset
kelompok 3, 4, tanah, bangunan (pasal 8) |
Jika aset dijual, maka surplus revaluasi atas aset
tersebut dipindahkan ke saldo laba bukan di other comprehensive income
(OCI) lagi. Untuk penjualannya, tidak ada perlakuan khusus, laba/rugi
penjualan aset tetap membandingkan nilai buku hasil revaluasi dengan hasil
penjualan (paragraf 41). |
6 |
Nama akun atas surplus revaluasi di neraca |
Disajikan sebagai “Selisih Lebih Penilaian Kembali
Aktiva Tetap Wajib Pajak Tanggal…..” (pasal 9) |
Tidak diatur secara khusus namun secara tersirat
disebutkan surplus revaluasi (paragraf 41) |
7 |
Defisit revaluasi (hasil penilaian kembali <
nilai tercatat) |
Tidak diatur secara eksplisit. Konsep pemikiran
lebih pada surplus revaluasi, namun tetap diatur jika terjadi kelebihan
pembayaran PPh final (berdasarkan permohonan awal vs hasil riil apraisal),
maka kelebihan tersebut bukan pajak yang terutang (pasal 6) |
Defisit revaluasi diakui dalam laba rugi, bukan OCI.
Namun, jika sebelumnya masih terdapat saldo surplus revaluasi di OCI, maka
rugi tersebut harus saling hapus (set-off) dengan surplus sampai
sebesar surplus revaluasi tersebut (paragraf 40) |
8 |
Kapitalisasi surplus revaluasi |
Dapat dikapitalisasi menjadi saham bonus dan bukan
objek pajak. Namun jika surplus fiskal > komersial, maka yang dapat
dikapitalisasi hanya sampai sebesar surplus komersial (pasal 9 ayat 2 dan 3) |
Diakui sebagai OCI, namun jika sudah pernah diakui
defisit revaluasi dalam laba rugi sebelumnya, maka diakui di laba rugi sampai
sebesar defisit tersebut (pasal 39) |
Mulai dari perbedaan No. 1,
revaluasi perpajakan mengizinkan revaluasi secara cherry picking, sedangkan
komersial melarang revaluasi secara selektif. Secara komersial, revaluasi harus
dilakukan minimal 'per kelompok aset. Definisi kelompok aset adalah aset yang
memiliki nature dan kegunaan yang serupa, misalnya tanah, peralatan pabrik,
kendaraan dan seterusnya. Misalnya terdapat 8 tanah dalam klasifikasi aset
tanah dalam sebuah perusahaan, maka secara fiskal, diizinkan hanya merevaluasi
3 tanah saja, sedangkan komersial harus seluruhnya. Apakah kedua hal ini harus
disamakan? Tidak perlu dan tidak bisa. Jadi, kesimpulannya aset apa saja yang
akan direvaluasi dapat berbeda sehingga menimbulkan nilai aset dan depresiasi
yang berbeda juga antara fiskal dan komersial.
Perbedaan No. 2, secara fiskal mengharuskan periode revaluasi ulang,
yaitu 5 tahunan, sedangkan komersial lebih diserahkan kepada judgement terkait
materialitas. Jika hasil nilai wajar berbeda secara material, maka baru
direvaluasi ulang, jika tidak, maka tidak perlu. Berapa tingkat
materialitasnya? Lihat definisi materialitas saja di PSAK No. 1 dan tentukan
secara internal. Namun, jika anda bekerja di multinational company atau publicly
listed entities, maka coba cari
tahu matriks materialitas atau guidance materialitas lain. Tentunya, hal ini
akan berbeda-beda di setiap perusahaan dengan banyak faktor yang
mempengaruhinya. Jadi, sekali lagi nilai revaluasi di suatu tahun dapat berbeda
antara komersial dan fiskal yang juga berdampak kepada pengukuran nilai aset
tetap dan depresiasinya.
Perbedaan No. 3 cukup jelas menurut
tabel di atas. Langsung kepada perbedaan No. 4, maka setelah direvaluasi, masa
manfaat menurut fiskal akan kembali lagi ke mas manfaat penuh sesuai dengan
kelompok aset tetapnya (sesuai dengan Kelompok Aset Tetap - Perpajakan),
sedangkan akuntansi berlaku prospektif, jadi didepresiasi berdasarkan sisa umur
manfaatnya saja. Jadi, akan ada perbedaan nilai depresiasi 'per bulan dan 'per
tahun serta akan menghasilkan konsekuensi pajak tangguhan (deferred tax).
Perbedaan No. 5 dan 6 juga cukup jelas menurut tabel di atas. Namun
khusus untuk No. 6 memang terlihat ketentuan fiskal agak out-scope, dimana sudah mengatur tentang nama akun penyajian
laporan keuangan, padahal surplus ini dalam neraca komersial. Selain itu,
pengaturannya harus memasukkan term "aktiva", padahal menurut
komersial sudah konsisten menggunakan term sesuai IFRS, yaitu "aset".
Pertanyaan yang mungkin timbul adalah apakah tidak ada yang dinamakan neraca
fiskal? Hal ini pernah saya singgung secara singkat di Kajian PMK No. 169 dan
191 Tahun 2015, jadi memang objek pengenaan pajak pada umumnya untuk perusahaan
berada pada komponen laporan laba-rugi, namun dalam kasus rekonsiliasi fiskal,
terdapat metode balance sheet approach
untuk menilai perbedaan temporer antara komersial dan fiskal (diatur dalam PSAK
No. 46) sehingga ada juga yang dinamakan neraca fiskal. Namun, tentu neraca ini
tidak dilaporkan secara resmi dimanapun karena dari sisi perpajakan sendiri
juga kita selalu melaporkan neraca versi komersial. Dan tentu juga kita tidak
dapat memaksakan agar neraca fiskal ini "balance" karena angkanya tidak selalu terbentuk atas jurnal
akuntansi yang normal, apalagi laba-rugi fiskal juga sudah merupakan hasil
koreksi sesuai ketentuan perpajakan. Mengenai perbedaan No. 7 tentang defisit
revaluasi juga sudah cukup jelas.
Perbedaan yang sangat menarik
adalah point No. 8 tentang kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aset
tetap (surplus revaluasi) menjadi
saham bonus. Secara sederhana, saham bonus dapat diartikan sebagai tambahan
pencatatan atas modal tanpa penyetoran baru. Hal ini merupakan objek pajak
menurut UU PPh No. 36 tahun 2008 pasal 4, namun tarifnya berbeda-beda
tergantung penerima saham bonus tersebut, dimana untuk OP dikenakan PPh 4(2)
final sebesar 10% dan untuk Badan dikenakan PPh 23 sebesar 15% (dengan catatan
berlaku untuk WP dalam negeri, hal ini juga sedikit dibahas dalam Kajian PMK
No. 169 dan 191 tahun 2015). Khusus untuk PMK ini, kapitalisasi yang berasal
dari surplus tersebut dianggap bukan sebagai objek pajak, jadi pengenaan PPh
nya dibebaskan. Tentu jika kita berbicara surplus revaluasi, exposure 10% atau
15% bisa jadi sangat besar sehingga insentif ini sangat "menggiurkan".
Setelah dibahas 'per point perbedaan di atas, masalah real akan dihadapi
oleh perusahaan akibat perbedaan substansial tersebut diantaranya adalah
sebagai berikut:
·
Depreciable
amount antara komersial dan fiskal berbeda, jika secara
fiskal tidak direvaluasi, namun secara komersial direvaluasi. Hal ini akan
menimbulkan beda tetap (permanent
difference) dalam rekonsiliasi fiskal dan perusahaan harus maintain sistem
pencatatan aset terpisah menjadi 2 (dua)
·
Estimasi masa manfaat antara komersial dan
fiskal berbeda. Hal ini akan menimbulkan beda waktu (temporary difference) dalam rekonsiliasi fiskal dengan catatan
tidak ada perbedaan depreciable amount. Dengan kata lain, ada unsur pajak
tangguhan
·
Klasifikasi komponen ekuitas akan
berbeda, dimana komersial mengakui dan menyesuaikan OCI secara kontinyu,
sedangkan fiskal dapat diklasifikasikan sebagai saham bonus. Dampaknya, jika
dinotarikan secara legal, maka posisi ekuitas komersial akan berbeda dengan
dokumentasi legal dan berujung kepada ketidaksesuaian dengan standar akuntansi
·
Tidak semua aset yang direvaluasi secara
fiskal akan dipertahankan perusahaan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun ke depan
dengan mempertimbangkan dinamika dunia bisnis dan strategic action plan
masing-masing perusahaan. Namun, jika dijual akan dikenakan tambahan PPh final
dengan tarif PPh tertinggi, yaitu 25% untuk Badan dan 30% untuk OP
Solusi yang dapat dikembangkan atau alternatif yang dapat
dipertimbangkan terhadap masalah di atas adalah:
·
Pertimbangkan untuk menyusutkan minimal
'per kelompok aset agar tidak ada perbedaan jenis aset yang direvaluasi antara
komersial dan fiskal. Jangan semata-mata memilih semua aset spesifik yang
kira-kira memiliki hasil surplus. Jika memang terjadi defisit revaluasi, namun
masih tolerable, maka lebih baik tetap direvaluasi semua aset dalam kelompok
terkait untuk menghilangkan risiko point 1 di atas
·
Review estimasi masa manfaat secara
akuntansi. Hal ini merupakan bagian dari estimasi akuntansi yang diatur dalam
PSAK No. 25 (2009). Jika memungkinkan, maka estimasi masa manfaat akan sama
dengan masa manfaat awal fiskal sehingga tidak ada perbedaan penyusutan setiap
bulan dan tahunnya. Misalkan suatu aset memiliki masa manfaat awal 8 tahun dan
sudah disusutkan selama 3 tahun, baik secara komersial maupun fiskal. Setelah
itu, aset direvaluasi, maka secara fiskal akan kembali menjadi 8 tahun,
sedangkan akuntansi karena berlaku prospektif, maka akan disusutkan selama 5
tahun saja. Saat itu, direview apakah masa manfaat yang tepat masih tersisa 8
tahun lagi sehingga secara akuntansi seharusnya dari awal ditetapkan 11 tahun
(3 tahun yang sudah disusutkan + 5 tahun sisa umur + 3 tahun estimasi tambahan
baru). Jika berhasil, maka akan menghilangkan risiko point 2 di atas
·
Tidak ada "jembatan tengah" untuk
risiko point 3. Satu-satunya cara adalah jangan sampai dikapitalisasi menjadi
saham bonus, apalagi dinotarikan secara legal karena hal ini malah akan
menimbulkan ketidaksesuaian signifikan dengan standar akuntansi dan dapat
menimbulkan risiko salah saji material. Jadi, perusahaan "stop" pada optimalisasi manfaat
penambahan ekuitas saja yang akan berdampak pada membaiknya DER dan insentif
tarif pajak atas revaluasi, jangan dilanjutkan ke saham bonus
·
Perusahaan harus mengkaji apakah
terdapat aset yang memenuhi PSAK 58 (Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk
Dijual). Jika memenuhi, maka lakukan reklasifikasi aset terkait ke dalam current assets, bukan sebagai aset tetap
lagi karena manfaat ekonominya akan dipulihkan melalui penjualan dibandingkan
pemakaian berlanjut, artinya sudah tidak memenuhi ketentuan aset tetap dan
tidak perlu direvaluasi secara komersial dan fiskal sehingga menghilangkan
risiko point 4 di atas
DAFTAR
PUSTAKA
PSAK
16 Aset Tetap per Januari 2015. Ikatan Akuntan Indonesia
Ikatan
Akuntan Indonesia 2016.Buletin Teknis
Revaluasi Aset Tetap
Siswati¸Susi . 2015. Revaluasi Aset
Tetap Berdasar Aspek Akuntansi Psak 16 (Revisi) Dan Aspek Perpajakan.
Universitas Kristen Immanuel Yogyakarta
No comments:
Post a Comment