DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A. Latar
Belakang............................................................................................. 1
B. Rumusan
masalah......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3
A. Pengertian
pajak........................................................................................... 3
B. Manfaat
Pajak.............................................................................................. 6
C. Pajak
Penghasilan......................................................................................... 6
D. Perlakuan
PPh atas pengalihan tanah........................................................... 7
BAB III PENUTUP............................................................................................. 12
A. Kesimpulan................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban
kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan
nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya
merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut
berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan
pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai
pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota
masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai
dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia.
Eksistensi pajak merupakan sumber pendapatan utama
sebuah negara, karena itu merupakan isu strategis yang selalu menjadi pantauan
masyarakat. Apalagi sekarang telah dilakukan pembahasan RUU Pajak yang baru
yang akan menggantikan UU No. 16/2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Penduduk Indonesia sebesar 215 juta jiwa merupakan potensi pajak
yang berlimpah. Ironisnya, hingga 2004 jumlah wajib pajak/ pembayar pajak hanya
mencapai 3.670.060 jiwa dengan perincian 2.622.184 pembayar pajak orang pribadi
dan 1.047.876 lainnya pembayar pajak badan. Hal ini menandakan bahwa kebijakan perpajakan tidak cukup kuat untuk
melakukan ekstensifikasi pajak di samping proses pendataan wajib pajak yang
kurang gencar dilakukan.
Urgensi pajak bagi kelangsungan pembangunan tak lagi
disangsikan. Karena itu wajar jika pemerintah terus berupaya menggali berbagai
potensi tax coverage (lingkup/cakupan pajak) sekaligus menekankan tax compliance
(kepatuhan pajak) dari masyarakat. Namun demikian, kepatuhan pajak yang
bersumber dari kesadaran masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar pajak
itu tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan
yang kerap muncul, baik yang bersumber dari wajib pajak (masyarakat), aparatur
pajak (fiscus), maupun yang bersumber dari sistem perpajakan itu sendiri
menunjukkan bahwa persoalan pajak merupakan hal yang kompleks. Oleh karena itu,
penanganannya perlu diupayakan secara sinergis dan komprehensif.
Dengan sendirinya, berbagai upaya untuk menciptakan
masyarakat agar memiliki apresiasi yang baik terhadap kewajiban membayar pajak
tidak terpaku pada wajib pajak belaka, tapi perlu mempertimbangkan aspek-aspek
lainnya secara korelatif. Dengan pertimbangan yang simultan, solusi alternatif
yang signifikan akan lebih memungkinkan. Dari begitu banyak dan keanekaragaman
hak dan kewajiban wajib pajak, salah satunya adalah wajib pajak orang pribadi
yaitu orang yang memperoleh penghasilan
baik sebagai seorang direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan
perusahaan atau seorang pemegang saham atau komisaris atau pegawai menengah
atau pegawai rendah atau pekerja mandiri seperti dokter, notaris , pengacara.
Sebelum sampai pada pembahasan tentang Wajib Pajak
Pribadi, sebagai cakrawala pengetahuan perpajakan perlu diketahui terlebih
dahulu tentang pengertian, jenis dan macam pajak serta manfaat pajak yang
berlaku di Indonesia.
B.
Perumusan
Masalah
Wajib Pajak Pribadi adalah orang yang memperoleh penghasilan
baik sebagai seorang direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan
perusahaan atau seorang pemegang saham atau komisaris atau pegawai menengah
atau pegawai rendah atau pekerja mandiri seperti dokter, notaries , pengacara .
Wajib Pajak Orang Pribadi memiliki resiko mengalami pemeriksaan pajak . Namun
sering kali terjadi berbagai permasalahan mengenai pembyaran pajak pribadi itu
sendiri.
- Bagaimanakah
Perlakuan PPh atas pengalihan tanah?
- Bagimanakah
Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
pajak
Beberapa ahli memberikan pengertian antara pajak antara yang satu dengan
yang lainnya. Diantara beberapa pengertian yang diberikan oleh para ahli adalah
sebgai berikut.
Menurut Sommerfeld: pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang
wajib dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan
peraturan tanpa mendapat suatu imabalan kemabali yang langsung dan seimbang,
agar pemerintah dapat melaksanakan tugas tugasnya dalam pemerintahan
Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro: pajak adalah pengalihan kekayaan dari
pihak rakyat kepad negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya
digunakan untuk ‘public saving’ yang merupakan sumber utama untuk membiayai
‘public investment’. Dari pengertian itu dapat disimpulkan unsur-unsur yang
terdapat dalam pajak ialah:
Pajak dipungut
berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya;
- Sifatnya
dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran perpajkan
dapat dikenakan sanksi;
- Dalam
pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra[restai secara
langsung oleh pemerintah;
- Pajak
dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun daerah;
- Pajak
diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai public
investment.
Menurut Prof. DR. M.J.H. Smeets: pajak adalah prestasi kepada pemerintah
yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa ada
kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal individual; maksudnya adalah
untuk membiayai pengeluaran pemerintah’
Menurut Ray M. Sommer, Hershel M. Andersen dan Horace
R. Brock: “A tax can be defined meaningfully as any nonpenal yet compulsory
transfer of recourses from the private to the public sector, levied on the
basis of predetermined criteria without reference to specific benefits
receifed, so as to accomplish some of a nation’s economic and social
objectives”
Sebenarnya masih
banyak lagi para ahli dan pakar perpajakan yang mengemukakan pengertian pajak
dengan menggunakan kalimat masing-masing.
Jenis Pajak
Secara umum,
pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak
Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang
dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen
Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh
Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Beberapa
jenis pajak dapat dibagi menjadi :
1. Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah
pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut atas penghasilan dari semua
orang yang berada di wilayah Republik Indonesia .
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah
pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di
dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang
mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada
dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak,
kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
3. PajakPenjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong
mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah adalah :
b. barang tersebut bukan merupakan barang
kebutuhan pokok.
c. Barang tersebut dikonsumsi oleh
masyarakat tertentu
d. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi
oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
e. Barang tersebut dikonsumsi untuk
menunjukkan status
f. Apabila dikonsumsi dapat merusak
kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
4. Bea Meterai Bea Meterai adalah pajak yang
dikenakan atas dokumen, dengan menggunakan benda materai atau benda lainya
contohnya dengan menggunakan mesin teraan, pemeteraian, kemudian dan surat
setoran pajak bentuk KPU 35 Kode 006.
5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah
atas harta tak bergerak yang terdiri atas tanah dan bangunan (property tax).
6. Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB adalah pajak yang dikenakan
atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun
BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB
seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.
Selain
pajak-pajak yang dikelola pemerintah daerah diatas juga terdapat pajak yang
dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara
lain:
1. Pajak Propinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan
Diatas Air,
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan Diatas Air,
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air
Bawah Tanah dan Air Permukaan,
2. Pajak Kabupaten Kota
a. Pajak Hotel,
b. Pajak Restoran,
c. Pajak Hiburan,
d. Pajak Reklame,
e. Pajak Penerangan Jalan,
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan
C,
g. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air
Bawah Tanah dan Air Permukaan,
Selain yang
dibahas diatas, dalam parktek sering dikenakan pungutan yang disebut sumbangan
wajib. Sumbangan wajib biasanya tidak memiliki kejelasan balas jasa maupun
imabalanya. Sumbangan atau sumangan wajib yang didasarkan atas ketentuan yang
sah dan hasilnya masuk ke kas negara maka pungutan tersebut merupakan pungutan
yang legal.
B.
Manfaat
Pajak
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga,
perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos
pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak,
sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang
pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek
pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah,
rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang
berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka
memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai
saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau
pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari
pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara
menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan
pembiayaan pembangunan.
Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga
melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai
kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih
rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk
tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan
ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.
C.
Pajak
Penghasilan
Pajak penghasilan adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut pada seseorang atas pengahsilan dari
semua orang yang berda di wilayah Indonesia. Pajak Penghasilan merupakan pajak
yang dipungut setiap akhir tahun atau setelah tahun pajak berakhir. Pajak
penghasilan diatur dalam undang-undang diantaranya adalah
Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentangperubahan
atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan
Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang
pembayaran pajak penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak keluar negri
UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak
untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang
UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No.
9/1994
UU No. 7 Tahun 1983 ttg PPh jo. UU No.
10/1994
UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No.
11/1994
UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah
dengan UU no. 12 Tahun 1994
UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai
UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah
dengan UU No. 20 tahun 2007
Dalam
Undang-Unadang Pajak Penghasilan sendiri tidak dijelaskan apa yang dimaksud
dengan subjek PPh, namun secara umum pengertian Subjek Pajak adalah siapa yang
dikenakan pajak. UU PPh menegaskan ada tiga kelompok yang menjadi Subjek PPh
yaitu:
1. Orang pribadi dan warisan yang belum
terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Badan yang terdiri dari Perseroan
Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainya, BUMN dan BUMD dengan nama dan
dalam bentuk apapun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi Yayasan
atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, dan Bentuk Badan Usaha
lainnya.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
BUT adalah
bentuk usaha yang dikenakan orang pribadi yang tidak beretempat tinggal di
Indonesia atau bertempat tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan
di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
D.
Perlakuan
PPh atas pengalihan tanah.
1
Pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan
tanah dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang No. 10/1994 diatur pada Pasal
4 ayat (2). “Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan
lainnya, penghasilan dari transaksi
saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta
berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan
pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
UU No. 10/1994
tersebut merupakan UU yang mengubah UU No. 7/1983. Dalam UU No.7/1983 pasal 4
ayat (2) hanya mencakup pengenaan PPh atas bunga deposito berjangka dan
tabungan lainnya. Kemudian di dalam perubahan UU yang dituangkan dalam UU
No.10/1994, cakupan Pasal 4 ayat (2) diperluas sehingga mencakup juga
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek,
penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta
penghasilan tertentu lainnya. Walaupun tidak ditegaskan penghasilan-penghasilan
yang dicakup oleh Pasal 4 ayat (2) diperlakukan sebagai final, pada
kenyataannya hampir semua penghasilan dimaksud dikenakan PPh final. Pengenaan
pajak atas penghasilan-penghasilan yang dicakup di Pasal 4 ayat (2) tersebut
diatur dengan peraturan pemerintah.
Perlakuan pajak
atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan telah
mengalami perubahan sejak diterbitkannya PP 48/1994 sampai yang terakhir yaitu
PP 79/1999, khususnya yang menyangkut orang pribadi. Berdasarkan PP 48/1994
orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/bangunan dikenai PPh
final sebesar 5% dari jumlah bruto. Perlakuan PPh tersebut diterapkan kepada
semua orang pribadi, tanpa membedakan apakah orang yang bersangkutan mempunyai
kegiatan usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Perlakuan PPh
ini kemudian diubah dengan PP 27/1996 yang membedakan antara orang pribadi yang
usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dengan
orang pribadi selain yang mempunyai usaha tersebut.
Berdasarkan PP
27/1996 pengenaan PPh final diterapkan terhadap:
1. orang pribadi yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan
2. orang pribadi yang mempunyai penghasilan
diatas PTKP, yang melakukan pengalihan hak dengan nilai kurang dari Rp60 juta.
PP 27/1996 tidak
secara jelas mengatur perlakuan PPh atas pengalihan hak tersebut apabila
dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai penghasilan di atas PTKP dan nilai
pengalihannya melebihi Rp60 juta. Apabila disimak bunyi Pasal 8 dari PP
dimaksud maka perlakuan PPh final hanya terbatas kepada dua kelompok wajib
pajak sebagaimana disebutkan di atas.
Dengan demikian,
apabila seorang wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan menjual hak
atas tanah dan/atau bangunan, maka keuntungan dari pengalihan tersebut akan
dikenakan PPh dengan tarif umum. Perlakuan ini sama dengan ketentuan dari PP
79/1999. Perlakuan PPh terhadap orang pribadi yang usaha pokoknya bukan jual
beli hak atas tanah dan/atau bangunan memperoleh perlakuan yang kurang adil
bila dibandingkan dengan orang pribadi yang mempunyai usaha pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan. Pengenaan PPh yang tidak final berarti bahwa PPh yang
disetor sebesar 5% dari nilai pengalihan merupakan pembayaran pendahuluan dari
seluruh PPh yang terutang dalam tahun yang bersangkutan.
Kesulitan akan
timbul dalam menghitung keuntungan dari pengalihan tersebut, terutama untuk
harta yang telah dimiliki dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini akan
menyebabkan ketidakadilan dari segi beban pajak yang ditanggung terutama untuk
harta yang sudah dimiliki dalam kurun waktu yang lama. Harga perolehan yang
relatif jauh lebih rendah dari harga peralihannya akan menyebabkan beban pajak
yang lebih tinggi. Faktor penyebabnya adalah bahwa Undang-Undang Pajak
Penghasilan tidak menerapkan indeksasi untuk harta tetap untuk menentukan harga
perolehan dari harta tetap untuk keperluan perpajakan.
Di samping itu,
wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha cenderung untuk tidak
melakukan pencatatan sehingga kemungkinan besar sulit untuk mentrasir kembali
harga perolehan dari harta dimaksud termasuk dokumen pendukungnya. Sebaliknya
wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha jual beli tanah dan bangunan
diterapkan pengenaan pajak yang bersifat final, padahal wajib pajak kelompok
ini seharusnya mempunyai catatan atau pembukuan, sehingga harga perolehannya
seharusnya dapat diketahui.
PP 27/1996
kemudian diubah dengan PP 79/1999 yang sepanjang menyangkut orang pribadi,
memberi penegasan bahwa wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan
dari jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan, keuntungan dari pengalihan
dimaksud dikenai pajak tetapi tidak final.
3.2 Perlakuan
PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam.
Pasal 6
Undang-undang PPh mengatur bahwa untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak,
penghasilan bruto dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan
pekerjaan atau jasa seperti misalnya upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi
dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya
perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan
pajak kecuali PPh penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya
disahkan oleh Menteri Keuangan, kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs
mata uang asing, biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia, biaya bea siswa, magang, dan pelatihan, piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih, sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu;
Rincian dari
biaya-biaya yang boleh dikurangkan sebagaimana disebutkan di atas yang
menyangkut "kerugian" adalah: kerugian karena penjualan atau
pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang
dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari
selisih kurs mata uang asing. Salah satu jenis kerugian yang dapat dikurangkan
sebagai biaya adalah kerugian karena penjualan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam usaha. Kerugian yang diderita karena harta yang dipergunakan
dalam usaha menjadi rusak akibat bencana harus dibebankan melalui mekanisme
yang diatur di dalam Pasal 11 ayat (8).
Pasal 11 ayat
(8) mengatur dua hal, yaitu penarikan harta karena harta tersebut dijual atau
dialihkan dan penarikan harta karena sebab lain Dalam hubungannya dengan
bencana alam, maka penarikan harta karena sebab lain cocok untuk situasi
tersebut. Jadi apabila harta tersebut adalah harta yang dapat disusutkan, maka
jumlah nilai sisa bukunya dibebankan sebagai kerugian. Apabila harta dimaksud
diasuransikan maka jumlah penggantian asuransinya dibukukan sebagai
penghasilan.
Bagaimana
perlakuannya terhadap harta yang tidak dapat disusutkan atau harta yang tidak
dipakai dalam usaha? UU PPh secara umum memperlakukan semua jenis penghasilan
sama artinya UU ini tidak menganut pemajakan berdasarkan jenis penghasilan
seperti misalnya pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha berbeda dengan
capital gains. Atas dasar pemikiran yang demikian maka kerugian karena
kehilangan harta yang disebabkan oleh bencana alam seharusnya juga dapat
dibebankan sebagai biaya. Apabila dalam suatu bencana yang terjadi juga
memusnahkan barang persediaan, seharusnya wajib pajak dapat membebankannya
sebagai kerugian Masalahnya adalah menghitung besarnya kerugian yang diderita
karena kehilangan persediaan barang tersebut.
UU PPh mengatur
tentang penilaian persediaan barang di Pasal 10 ayat (8). Penjelasan dari pasal
itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan persediaan barang meliputi tiga
jenis barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses
produksi, bahan baku dan bahan pembantu. Ketentuan tersebut mengatur bahwa
untuk keperluan penghitungan harga pokok, metode yang diperbolehkan adalah
dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat
pertama. Sejalan dengan ketentuan tersebut, untuk menghitung kerugian yang
diderita karena bencana cara yang sama juga sebaiknya diperbolehkan. Penerapan
cara penilaian barang yang sama terhadap kerugian karena rusaknya persediaan
barang akan memberikan perlakuan yang seimbang dan netral. Apabila ketentuan
dalam UU PPh memungkinkan untuk memberi kesempatan mengklaim kerugian, masalah
yang perlu dipikirkan adalah menentukan dokumen-dokumen yang harus disajikan
sebagai bukti bahwa telah terjadi kerugian karena bencana. Dokumen yang
menunjuk kan bahwa wajib pajak benar-benar merugi karena terjadinya bencana,
diperlukan dalam beberapa hal, antara lain untuk: penyesuaian terhadap setoran
PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25); kompensasi kerugian yang terjadi pada
saat terjadinya bencana; bukti pada saat dilakukannya pemeriksaan pajak; dan
penundaan pemasukan SPT Tahunan (bila diperlukan)
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Perlakuan PPh atas keuntungan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan terhadap wajib pajak orang pribadi menimbulkan
ketidakadilan bagi wajib pajak orang pribadi biasa. Yang dimaksud dengan wajib
pajak orang pribadi biasa adalah mereka yang tidak melakukan kegiatan usaha
jual-beli hak atas tanah dan/atau bangunan. Wajib pajak kelompok ini akan
memikul beban pajak yang lebih besar dari pada mereka yang mempunyai usaha
pokok jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan.
Undang-undang PPh hanya mengatur bahwa kerugian yang
boleh dibebankan sebagai biaya adalah:
1.
kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (Pasal 6 ayat (1) huruf d)
2.
kerugian dari selisih kurs mata uang asing
(Pasal 6 ayat (1) huruf e)
3.
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
sepanjang memenuhi persyaratan tertentu
Pasal 6 ayat (1) huruf h
Ketentuan diatas belum mencakup hak wajib pajak untuk
membebankan kerugian yang diderirta karena bencana alam oleh karena itu perlu
dipertimbangkan untuk memperluas cakupan Pasal 6 sehingga mencakup kerugian
yang diderita karena bencana dimaksud.
Pengertian-pengertian dan pemahaman mengenai pajak
seperti diatas yang perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat lewat
kampanye sadar pajak dalam berbagai bentuknya, seperti seminar, diskusi,
penataran, lokakarya, simulasi, dan bentuk aktifitas lainnya Dengan upaya ini
diharapkan tumbuhnya apresiasi positif masyarakat terhadap pajak yang pada
akhirnya sampai pada suatu keinsyafan bahwa sadar pajak merupakan kunci
pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Soemitro,
Rochmat. 1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
Muqodim, 2000.
Perpajakan Buku Satu, UII Press dan Ekonesia , Jogyakarta
Brotodiharjo
Santoso R, 1993. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
Burton, Richard
dan Ilyas Wirawan B. 2001. Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta
Alrasid,Harun.
Naskah UUD 1945, 2003. Universitas Indonesia, UII Press
Hostaritua,
Situmorang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
Pandiangan,
Liberti. 2002. Undang-Undang Perpajakan Indonesia,Erlangga,
Soemitro,
Rocmat.1991. Pajak Ditinjau Dari SegiHukum, PT Eresco, Bandung
No comments:
Post a Comment