LAPORAN
PENDAHULUAN
HALUSINASI
A. Masalah
Utama
Halusinasi
B. Proses
Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Halusinasi
adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan
perubahan sensori persepsi: halusinasi merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, penciuman, perabaan atau pengdihungan. Pasien merasakan stimulus
yang tidak ada (Keliat, 2010).
Halusinasi
adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal
(pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Pasien memberi persepsi atau
pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata (Farida,
2010).
2. Manifestasi
klinis
Data
subjektif dan objektif menurut, Trimelia, (2011) adalah:
1) Menyeringai
atau tertawa yang tidak sesuai
2) Menggerakkan
bibirnya tanpa menimbulkan suara
3) Gerakan
mata cepat
4) Respon
lambat atau diam
5) Diam
dan dipenuhi oleh sesuatuyang mengasyikan
6) Terlihat
bicara sendiri
7) Bergerak
seperti membuang atau mengambil sesuatu
8) Duduk
terpaku, memandang sesuatu,tiba-tiba berlari keruangan lain
9) Disorientasi
(waktu, tempat, orang)
10) Perubahan
kemampuan dan memecahkan masalah
11) Perubahan
perilaku dan pola komunikasi
12) Gelisah,
ketakutan, ansietas
13) Peka
rangsangan
3. Rentang
respon
Rentang
respon halusinasi (Direja, 2011)
Respon adaptif |
|
Respon
maladaptif |
- Pikiran
logis |
- Kadang-kadang
proses pikir terganggu (distorsi pikiran) |
- Gangguan
proses pikir atau waham |
- Persepsi
akurat |
- Ilusi |
- Halusinasi |
- Emosi
konsisten dengan pengalaman |
- Menarik
diri |
- Kesukaran
proses emosi |
- Perilaku
sesuai |
- Emosi
tidak stabil |
- Perilaku
tidak berorganisasi |
- Hubungan
sosial harmonis |
- Perilaku
tidak biasa |
- Isolasi
sosial |
4. Faktor
predisposisi
Menurut
yosep (2011), faktor predisposisi sebagai berikut:
1) Faktor
perkembangan
Perkembangan
pasien yang terganggu misalnya kurangnya mengontrol emosi dan keharmonisan
keluarga menyababkan pasien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi,
hilang percaya diri.
2) Faktor
sosial budaya
Seseorang merasa
tidak diterima dilingkungan sejak bayi akan membekas diingatannya sampai dewasa
dan ia akan merasa disingkirkan, kesepian dan tidak percaya pada lingkungannya.
3) Faktor
psikologis
Tipe kepribadian
yang lemah tidak bertanggung jawab akan mudah terjerumus pada penyalahgunaan
zat adaptif. Pasien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata.
4) Faktor
genetik
Faktor keluarga
menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh.
5. Faktor
presipitasi
Menurut
yosep (2011), faktor presipitasi sebagai berikut:
1) Dimensi
fisik
Halusinasi dapat
ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa,
penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium dan kesulitan untuk tidur dalam
waktu yang lama.
2) Dimensi
emosional
Perasaan cemas
yang berlebihan atas dasar masalah yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab
halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berubah perintah memaksa dan
menakutkan. Pasien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut sehingga
dengan kondisi tersebut.
3) Dimensi
intelektual
Dalam dimensi
intelektual ini merangsang bahwa individu dengan halusinasi kan memperlihatkan
adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego
sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian pasien.
4) Dimensi
sosial
Pasien
menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan. Pasien
asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak di
dapatkan dalam dunia nyata.
5) Dimensi
spiritual
Klien mulai
dengan kemampuan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah
dan jarang berupanya secara spiritual untuk menyucikan diri. Ia sering memaki
takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan
orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.
6. Sumber
koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam
menanggapi stressor.
7. Mekanisme
koping
Malas
beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain, dan asik dengan stimulus
internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan mengalihkan tanggung
jawab kepada orang lain.
C. Pohon
masalah
|
|
Harga
diri rendah |
|
Isolasi
sosial |
|
|
|
Resiko
mencederai diri, orang lain dan lingkungan |
D. Masalah
keperawatan yang mungkin muncul
-
Resiko mencederai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan
- Perubahan
sensori perseptual: halusinasi
- Isolasi
sosial: menarik diri
E. Data
yang perlu dikaji
Data yang perlu
dikaji |
|
Resiko
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan |
Ds: - klien
mengatakan melihat/ mendengar
sesuatu. Klien tidak mampu mengenal tempat, waktu, orang. Do: - tampak
bicara dan ketawa sendiri - mulut
bicara tetapi tidak keluar suara - berhenti
bicara seolah mendengan atau melihat sesuatu. Gerakan mata yang cepat |
Isolasi
sosial: menarik diri |
Ds: - klien
mengatakan merasa kesepian - klien
mengatakan tidak dapat berhubungan sosial - klien
mengatakan tidak berguna - klien
mengungkapkan takut Do: - tidak
tahan terhadap kontak yang lama - tidak
konsentrasi dan pikiran mudah beralih saat bicara - tidak
ada kontak mata - ekspresi
wajah murung, sedih - tampak
larut dalam pikiran dan ingatannya sendiri - kurangnya
aktivitas - tidak
komunikatif |
Perubahan
sensori perseptual: halusinasi |
Ds: - klien
mengungkapkan apa yang dilihat dan didengar mengancam dan membuatnya takut Do: - wajah
klien tampak tegang, merah - mata
merah dan meloto - rahang
mengatup - tangan
mengepal - mondar
mandir |
F. Diagnosa
keperawatan
G. Intervensi
TUJUAN |
INTERVENSI |
|
Gangguan persepsi
sensori: halusinasi |
Setelah
dilakukan Tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien mampu mengontrol
halusinasi. Kriteria
hasil: - Klien
dapat membina hubungan saling percaya - Klien
dapat mengenal halusinasinya: jenis, isi, waktu, dan frekuensi, respon, dan
tindakan yang dilakukan - Klien
dapat menyebutkan dan mempraktekkan cara mengontrol halusinasi yaitu dengan
menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain, terlibat atau melakukan
kegiatan, dan minum obat - Klien
dapat dukungan keluarga dalam mengontrol emosinya - Klien
dapat minum obat dengan bantuan minimal - Klien
dapat mengungkapkan halusinasi sudah hilang atau terkontrol. |
TINDAKAN
PSIKOTERAPEUTIK Klien - Bina
hubungan saling percaya - Adakan
kontak sering dan singkat secara bertahap - Observasi
tingkah laku klien terhadap halusinasinya - Tanyakan
keluhan yang dirasakan klien - Jika
klien sedang tidak berhalusinasi klarifikasi tentang adanya pengalaman
halusinasi, diskusikan dengan klien tentang halusinasinya meluputi: SP
1 · Identifikasi
jenis halusinasi klien · Identifikasi
isi halusinasi klien · Identifikasi
waktu halusinasi klien · Identifikasi
frekuensi halusinasi klien · Identifikasi
situasi yang menimbulkan halusinasi · Identifikasi
respon klien terhadap halusinasi · Ajarkan
klien menghardik halusinasi · Anjurkan
klien memasukkan cara menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian SP
2 · Evaluasi
jadwal kegiatan harian klien · Melatih
klien mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain. · Anjurkan
klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian klien SP
3 · Evaluasi
jadwal kegiatan harian klien · Latih
klien mengendalikan halusinasi dengan melakukan kegiatan (kegiatan yang biasa
dilakukan klien dirumah) · Anjurkan
klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian SP
4 · Evaluasi
jadwal harian klien · Berikan
Pendidikan Kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur · Anjurkan
memasukkan dalam jadwal kegiatan harian · Beri
pujian jika klien menggunakan obat dengan benar Keluarga - Diskusikan
masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien - Jelaskan
pengertian tanda dan gejala, dan jenis halusinasi yang dialami klien serta
proses terjadinya - Jelaskan
dan latih cara-cara merawat klien halusinasi - Latih
keluarga melakukan cara merawat klien halusinasi secara langsung - Discharge
planning jadwal aktivitas dan minum obat |
H. Daftar
Pustaka
Keliat, B.A. 2006.
Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:EGC
Maramis, W.F. 2005.
Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edc.9 Surabaya: Erlangga University Press
LAPORAN
PENDAHULUAN
PERILAKU
KEKERASAN
A. Masalah
utama
Perilaku
kekerasan
B. Proses
terjadinya masalah
Perilaku kekerasan
adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara
fisik maupun psikologis bisa di lakukan secara verbal, di arahkan pada diri
sendiri, orang lain dan lingkungan (Amatiria, 2012). Perilaku kekerasan
merupakan suatu keadaan di mana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan (Elshy Pangden Rabba, Dahrianis, 2014).
Perilaku kekerasan
merupakan suatu keadaan seseorang melakukan Tindakan yang dapat membahayakan
secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan yang timbul
sebagai kecemasan dan ancaman (Hadiyanto, 2016).
2. Manifestasi
klinis
Menurut Direja, 2013
tanda gejala pada perilaku kekerasan yaitu :
a. Fisik
Mata
melotot, pandangan tajam,tangan menggepal, rahang mengatup, wajah memerah dan
tegang, serta postur tubuh kaku.
b. Verbal
Mengancam,
mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras, kasar dan ketus.
c. Perilaku
Menyerang
orang lain, melukai diri sendiri atau orang lain, merusak lingkungan, amuk atau
agresif.
Tidak
adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi,
cerewet, kasar, berdebat, dan meremehkan.
f. Spiritual
Merasa
diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral dan kreativitas
terhambat.
g. Sosial
Menarik
diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.
h. Perhatian
Bolos,
melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual.
3. Rentang
respon
Menurut
Direja, 2011 rentang respon perilaku kekerasan sebagai berikut:
Asertif |
Frustasi |
Pasif |
Agresif |
Kekerasan |
a. Asertif
Individu
dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberi ketenangan.
b. Frustasi
Individu
gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat menemukan alternatif.
c. Pasif
Individu
tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
d. Agresif
Perilaku
yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi masih terkonrol.
e. Kekerasan
Perasaan
marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol.
Faktor-faktor yang
mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan adalah faktor biologis,
psikologis dan sosiokultural.
1. Faktor
Biologis
- Instinctual
Drive Theory (Teori Dorongan Naluri)
Teori
ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu dorongan
kebutuhan dasar yang sangat kuat.
- Psychosomatic
Theory (Teori Psikosomatik)
Pengalaman
marah adalah akibat dari respon psikologi terhadap stimulus eksternal, internal
maupun lingkungan. Dalam hal ini sistim limbik berperan sebagai pusat untuk
mengekspresikan maupun menghambat rasa marah (Deden dan Rusdin, 2013).
2. Faktor
Psikologis
- Frustation
Aggresion Theory (Teory Agresif-Frustasi)
Menurut
teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustasi.
Frustasi terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu gagal atau
menghambat. Keadaan tersebut dapat mendorong individu berprilaku agresif karena
perasaan prustasi akan berkurang melalui perilaku kekerasan.
- Behavior
Theory (Teori Perilaku)
Kemarahan
adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila tersedia fasilitas/situasi
yang mendukung.
- Eksistensial
Theory (Teori Eksistensi)
Bertingkah
laku adalah kebutuhan dasar manusia, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat
terpenuhi melalui berprilaku konstruktif, maka individu akan memenuhi melalui
berprilaku destruktif.
3. Faktor
Sosiokultural
- Sosial
Environment Theory (Teori Lingkungan Sosial)
Lingkungan
sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah. Norma
budaya dapat mendukung individu untuk merespon asertif atau agresif.
- Sosial
Learning Theory (Teori Belajar Sosial)
Perilaku
kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui proses
sosialisasi(Deden dan Rusdin, 2013).
Stressor yang
mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat unik. Stressor
tersebut dapat disebabkan dari luar (serangan fisik, kehilangan, kematian)
amaupun dalam (putus hubungan dengan orang yang berarti, kehilangan rasa cinta,
takut terhadap penyakit fisik). Selain itu lingkungan yang terlalu rebut,
padat, kritikan yang mengaruh pada penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu
perilaku kekerasan (Deden dan Rusdin, 2013).
6. Sumber
koping
-
Kesehatan dan
energi
-
Dukungan spiritual
-
Keyakinan positif
-
Keterampilan
menyelesaikan masalah dan sosial
-
Sumber daya sosial
dan material
-
Kesejahteraan fisik
7. Mekanisme
koping
Perawat perlu
mengidentifikasi mekanisme koping klien sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan
mekanisme koping yang kontstruktif dalam mengekspresikan marahnya. Mekanisme
koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti
“Displancement”, sublimasi, proyeksi, represi, denial dan reaksi formasi (Deden
dan Rusdin, 2013).
C. Pohon
masalah
|
Causa |
|
|
|
|
Perilaku
kekerasan |
|
Core
problem |
|
|
|
Resiko
perilaku kekerasan terhadap diri sendiri dan orang lain |
|
Effect |
Prabowo, 2014
D. Masalah
keperawatan yang akan muncul
-
Perilaku kekerasan
-
Resiko mencederai diri sendiri,
orang lain dan lingkungan
-
Perubahan persepsi
sensori: halusinasi
-
Harga diri rendah
kronis
-
Isolasi sosial
-
Berduka disfungsional
-
Penatalaksanaan redimen
terapeutik inefektif
-
Koping keluarga
inefektif
E. Data
yang perlu dikaji
Data
yang perlu dikaji |
|
Perilaku
kekerasan |
DS: - Klien
mengatakan ingin memukul orang lain - Klien
mengatakan ingin membunuh - Klien
mengatakan benci semua orang DO: - Sikap
tampak kaku dan tegang - Agresif,
agitasi - Mengamuk - Peningkatan
aktivitas motorik - Mengepalkan
tinju - Merusak
benda disekitar |
F. Diagnosa
keperawatan
-
Resiko perilaku
kekerasan
G. Rencana
Tindakan keperawatan
TUJUAN |
INTERVENSI |
|
Resiko
perilaku kekerasan |
Selama
perawatan diruangan, pasien tidak memperlihatkan perilaku kekerasan. Kriteria
hasil: - Membina
hubungan saling percaya - Dapat
mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala, bentuk, akibat perilaku
kekerasan yang sering dilakukan - Dapat
mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara: · Fisik · Sosial
dan verbal · Spiritual · Minum
obat teratur - Dapat
menyebutkan dan mendemonstrasikan cara mencegah perilaku kekerasan yang
sesuai - Dapat
memilih cara mengontrol perilaku kekerasan yang efektif dan sesuai - Dapat
melakukan cara yang sudah dipilih untuk mengontrol perilaku kekerasan - Mesukkan
cara yang sudah dipilih dalam kegiatan harian - Dapat
dukungan dari keluarga untuk mengontrol perilaku kekerasan - Dapat
terlibat dalam kegiatan diruangan |
Bina
hubungan saling percaya SP
1: - Diskusikan
penyebab, tanda dan gejala, bentuk dan akibat perilaku kekerasan yang
dilakukan pasien. - Latih
pasien mencegah perilaku kekerasan dengan cara fisik (Tarik nafas dalam dan
memukul bantal) - Masukkan
dalam jadwal harian SP
2: - Diskusikan
jadwal harian - Latih
pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara social - Latih
pasien cara menolak dan meninta yang asertif - Masukkan
dalam jadwal kegiatan harian SP
3: - Diskusikan
jadwal harian - Latih
cara spiritual untuk mencegah perilaku kekerasan - Masukkan
dalam jadwal kegiatan harian SP
4: - Diskusikan
jadwal harian - Diskusikan
tentang manfaat obat dan kerugian jika tidak minum obat secara teratur - Masukkan
dalam jadwal kegiatan harian. |
H. Daftar
Pustaka
Anggraini,
Vany. 2017. “Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan Di
Kelurahan Surau Gadang Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Kota Padang” Karya
Tulis Ilmiah
Dewi
Rahmadani, Kartika. 2019. “Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Klien Dengan Perilaku
Kekerasan Di Ruang Tiung Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda”
Karya Tulis Ilmiah
Fajar
Suhantara, Yahya. 2020. “Studi Dokumentasi Risiko Perilaku Kekerasan Pada
Pasien Dengan Skizofrenia” Karya Tulis Ilmiah
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL
A. Masalah
Utama
Isolasi sosial
B. Proses
Terjadi Masalah
Isolasi
sosial merupakan pertahanan diri seseorang terhadap orang lain maupun
lingkungan yang menyebabkan kecemasan pada diri sendiri dengan cara menarik
diri secara fisik maupun psikis. Isolasi sosial adalah gangguan dalam
berhubungan yang merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam
dirinya dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan.
Isolasi sosial merupakan upaya mengindari komunikasi dengan orang lain karena
merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi
rasa, pikiran dan kegagalan (Rusdi,2013).
2. Manifestasi
klinis
- Klien
menceritakan perasaan kesepian
- Respon
verbal kurang dan sangat singkat
- Klien
tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
- Klien
merasa tidak berguna
- Klien
merasa di tolak
- Klien
banyak diam dan tidak mau bicara
- Tidak
mengikuti kegiatan
- Klien
menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat
- Kontak
mata kurang
- Aktivitas
menurun
3. Rentang
respon
Rentang respon Isolasi Sosial, menurut
Ermawati Dalami,2009:
|
Respon maladaptif |
|
|
||
Solitude Autonom Kebersamaan Saling
ketergantungan |
Kesepian Menarik diri Ketergantungan |
Manipulasi Impulsif Narkisime |
4. Faktor
predisposisi
Menurut
Pusdiklatnakes (2012) kegagalan-kegagalan yang terjadi sepanjang daur kehidupan
dapat mengakibatkan perilaku menarik diri:
a.
Faktor Biologis
Adanya
faktor herediter yang mengalami gangguan jiwa,adanya resiko, riwayat penyakit
trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA.
b.
Faktor Psikologis
Ditemukan pengalaman negatif klien terhadap
gambaran diri, tidak jelasnya atau berlebihnya peran yang dimiliki, kegagalan
dalam mencapai harapan atau cita-cita, krisis identitas dan kurangnya
penghargaan baik dari diri sendiri maupun lingkungan,yang dapat menyebabkan
gangguan dalam berinteraksi dengan orang lain,dan akhirnya menjadi masalah
isolasi sosial.
c.
Faktor Sosial Budaya
Pada
klien isolasi sosial biasanya ditemukan dari kalangan ekonomi rendah,riwayat
penolakan lingkungan pada usia perkembangan anak,tingkat penididikan rendah dan
kegegalan dalam berhubungan sosial.
Biasanya
ditemukan riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis,atau kelaianan struktur
otak,kekerasan dalam keluarga,kegagalan dalam hidup, kemiskinan, atau adanya
tuntutan di keluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan klien,konflik
antar masyarakat. Faktor pencetus pada umumnya mencakup kejadian kehidupan yang
penuh stress seperti kehilangan, yang mempengaruhi kemampuan individu untuk
berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas.
6. Sumber
koping
Menurut
Gall W. Stuart (2006), sumber koping yaang berhubungan dengan respon sosial
maladaptif meliputi keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luasan teman,
hubungan dengan hewan peliharaan dan penggunaan kreatifitas untuk
mengekspresikan stress interpersonal misalnya kesenian, musik atau tulisan.
7. Mekanisme
koping
Individu
yang mengalami respon sosial maladiptif menggunakan berbagai mekanisme dalam
upaya untuk mengatasi ansietas. Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua jenis
masalah hubungan yang spesifik (gall,W Stuart 2006). Koping yang berhubungan
dengan gangguan kepribadian antisosial antara lain proyeksi, spliting dan
merendahkan orang lain, koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian
ambang spliting, formasi reaksi, proyeksi, isolasi, idealisasi orang lain, merendahkan
orang lain dan identifikasi proyektif.
C. Pohon
Masalah
|
Causa |
|
|
||
Harga diri rendah |
||
|
||
Isolasi sosial |
|
Core problem |
|
|
Effect |
|
||
|
||
Resiko perilaku
kekerasan |
D.
Masalah keperawatan
yang akan muncul
-
Gangguan persepsi
sensori: halusinasi
-
Isolasi sosial
-
Gangguan konsep diri:
harga diri rendah
E. Data
yang perlu dikaji
Data yang perlu
dikaji |
|
Isolasi sosial |
DS: - Klien
mengatakan takut dengan teman-temannya - Klien
mengatakan malu terhadap diri sendiri DO: - Klien
lebih suka menyendiri - Klien
suka melamun - Klien
tampak sedih |
-
Isolasi sosial
G. Rencana
tindakan keperawatan
TUJUAN |
INTERVENSI |
|
Isolasi
sosial |
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan klien dapat berinteraksi dengan orang lain
baik secara individu maupun secara berkelompok. Kriteria
hasil: - Klien
dapat membina hubungan saling percaya - Dapat
menyebutkan penyebab isolasi sosial - Dapat
menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain - Dapat
menyebutkan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain - Dapat
berkenalan dan bercakap-cakap dengan orang lain secara bertahap - Terlibat
dalam aktivitas sehari-hari |
SP
1 - Bina
hubungan saling percaya - Identifikasi
penyebab isolasi sosial SP 2 - Diskusikan
Bersama klien keuntungan berinteraksi dengan orang lain dan kerugian tidak
berinteraksi - Ajarkan
kepada klien cara berkenalan dengan satu orang - Anjurkan
kepada klien untuk kegiatan berkenalan dengan orang lain dalam jadwal
kegiatan harian SP 3 - Evaluasi
pelaksanaan dari jadwal kegiatan harian klien - Beri
kesempatan kepada klien mempraktekan cara berkenalan dengan dua orang - Ajarkan
klien berbincang-bincang dengan dua orang tentang topik tertentu - Anjurkan
kepada klien untuk memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain
dengan jadwal kegiatan harian SP 4 - Evaluasi
pelaksanaan dari jadwal kegiatan harian klien - Jelaskan
tentang obat yang diberikan (jenis, dosis, waktu, manfaat, dan efek samping
obat) - Anjurkan
klien memasukkan kegiatan bersosialisasi dalam jadwal kegiatan harian - Anjurkan
klien untuk bersosialisasi dengan orang lain |
H. Daftar
Pustaka
Marlindawani, Jeney.
2002. “Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Masalah Psikososial Dengan Gangguan
Jiwa”
Thoyib Ibnu. 2015. “Asuhan
Keperawatan Jiwa Pada Tn.S Dengan Gangguan Isolasi Sosial Menarik Diri Di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Surakarta” Karya Tulis Ilmiah
LAPORAN
PENDAHULUAN
HARGA
DIRI RENDAH
A. Masalah
utama
Harga
diri rendah
1. Pengertian
Harga diri rendah
adalah penilaian tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh
perilaku sesuai dengan ideal diri. Perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri
dan kemampuan diri (Fajariyah, 2012).
Harga diri rendah
adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan
diri. Adanya hilang percaya diri, merasa gagal karena karena tidak mampu
mencapai keinginansesuai ideal diri (Keliat, 2008).
2. Manifestasi
klinis
-
Perasaan yang negatif
terhadap diri sendiri
-
Hilangnya percaya diri
dan harga diri
-
Merasa gagal mencapai
keinginan
-
Mengkritik diri sendiri
-
Penurunan produktivitas
-
Destruktif yang
diarahkan pada orang lain
-
Perasaan tidak mampu
-
Mudah tersinggung
-
Menarik diri secara
sosial
3. Rentang
respon
|
|
|||
|
||||
Aktualisasi diri |
Konsep diri positif |
Harga diri rendah |
Keracunan identitas |
Depersonalisasi |
Menurut Kemenkes RI
(2012) faktor predisposisi ini dapat dibagi sebagai berikut:
a. Faktor
Biologis
Pengaruh
faktor biologis meliputi adanya faktor herediter anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa, riwayat penyaakit atau trauma kepala.
b.
Faktor psikologis
Pada
pasien yang mengalami harga diri rendah, dapat ditemukan adanya pengalaman masa
lalu yang tidak menyenangkan, seperti penolakan dan harapan orang tua yang
tidak realisitis, kegagalan berulang, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain, penilaian negatif pasien terhadap gambaran
diri, krisis identitas, peran yang terganggu, ideal diri yang tidak realisitis,
dan pengaruh penilaian internal individu.
c.
Faktor sosial budaya
Pengaruh
sosial budaya meliputi penilaian negatif dari lingkungan terhadap pasien yang
mempengaruhi penilaian pasien, sosial ekonomi rendah, riwayat penolakan
lingkungan pada tahap tumbuh kembang anak, dan tingkat pendidikan rendah.
Menurut Kemenkes RI
(2012) faktor presipitasi harga diri rendah antara lain:
a. Trauma:
penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan peristiwa yang mengancam
kehidupan.
b. Ketegangan
peran: berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dan individu
mengalaminya sebagai frustasi.
c. Transisi
peran perkembangan: perubahan normatif yang berkaitan dengan pertumbuhan.
d. Transisi
peran situasi: terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota keluarga
melalui kelahiran atau kematian.
e. Transisi
peran sehat-sakit: sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat dan keadaan
sakit. Transisi ini dapat dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh; perubahan
ukuran, bentuk, penampilan atau fungsi tubuh; perubahan fisik yang berhubungan
dengan tumbuh kembang normal; prosedur medis dan keperawatan.
6. Sumber
koping
- Aktivitas
luar rumah dan olahraga
- Hobi
dan kerajinan tangan
- Aktivitas
seni
- Kesehatan
dan asuhan mandiri
- Pendidikan
dan pelatihan
- Pekerjaan
- Bakat
khusus
- Kepandaian
- Imajinasi
dan kreativitas
- Hubungan
interpersonal
Mekanisme koping pasien
harga diri rendah menurut Ridhyalla Afnuhazi (2015) adalah:
a. Jangka
pendek
- Kegiatan
yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis: pemakaian obat-obatan, kerja
keras, nonton TV terus menerus.
- Kegiatan
mengganti identitas sementara (ikut kelompok sosial, keagaman, politik).
- Kegiatan
yang memberi dukungan sementara (kompetisi olahraga kontes popularitas).
- Kegiatan
mencoba menghilangkan identitas sementara (penyalahgunaan obat).
b. Jangka
Panjang
- Menutup
identitas
- Identitas
negatif: asumsi yang bertentangan dengan nilai dan harapan masyarakat.
C. Pohon
masalah
Gangguan Konsep diri:
Harga Diri Rendah |
Isolasi Sosial:
menarik diri |
Penurunan motivasi
diri |
Gangguan citra tubuh |
D. Masalah
keperawatan yang mungkin muncul
- Harga
diri rendah
- Koping
individu tidak efektif
- Isolasi
sosial
- Perubahan
persepsi sensori: halusinasi
- Resiko
perilaku kekerasan
-
E.
Data yang perlu dikaji
Data yang perlu
dikaji |
|
Harga diri rendah |
DS: -
Mengungkapkan bahwa
dirinya merasa tidak berguna -
Mengungkapkan bahwa
dirinya merasa tidak mampu -
Mengungkapkan dirinya
malas melakukan perawatan diri (mandi, berhias, makan atau toileting) DO: - Mengkritik
diri sendiri - Perasaan tidak mampu - Pandangan hidup pesimis - Tidak menerima pujian - Penurunan produktivitas - Penolakan terhadap kemampuan diri - Kurang perhatain perawatan diri - Berpakaian tidak rapi - Berkurang selera makan - Tidak
berani menatap lawan bicara - lebih
banyak menunduk - bicara
lambat dengan nada suara |
-
Harga diri rendah
G.
Rencana tindakan
keperawatan
DIAGNOSA
KEPERAWATAN |
TUJUAN |
INTERVENSI |
Harga diri rendah |
Setelah 2x pertemuan pasien mampu - Mengidentifikasi
kemampuan dan aspek positif yang dimiliki - Memiliki
kemampuan yang dapat digunakan - Memlilih
kegiatan yang sesuai kemampuan - Melakukan
kegiatan yang sudah dipilih - Merencankan
kegiatan - Terlibat
dalam aktivitas sehari-hari |
SP 1 - Identifikasi
kemampuan positif yang dimiliki - Nilai
kemampuan yang dapat dillakukan saat ini - Pilih
kemampuan yang akan dilatih - Diskusikan
dengan pasien beberapa aktifitas yang dapat dilakukan dan dipilih sebagai kegiatan
yang akan pasien lakukan sehari-hari - Bantu
pasien menetapkan aktifitas mana yang dapat pasien lakukan secara mandiri - Nilai
kemampuan pertama yang telah dipilih - Masukkan
dalam jadwal kegiatan pasien SP
2 - Evaluasi
kegiatan yang lalu (SP 1) - Pilih
kemampuan kedua yang dapat dilakukan - Latih
kemampuan yang dipilih - Masukkan
dalam jadwal kegiatan pasien SP 3 - Evaluasi
kegiatan yang lalu (SP 1 & 2) - Memilih
kemampuan ketiga yang dapat dilakukan - Masukkan
dalam jadwal kegiatan pasien |
Febriana, Riska. 2018.
“Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Keluarga Dengan Harga Diri Rendah Kronis di
Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Padang” Karya Tulis Ilmiah
Fitria, N. 2009.
“Prinsip Dasar & Aplikasi Laporan Pendahuluan & Srategi Pelaksana
Tindakan Keperawatan (LP&SP) Untuk 7 Diagnosa”. Jakarta: Salemba Medika
Laila Maghfiroh,
Arrofi. 2017. “Asuhan Keperawatan Tn. M Dan Tn. H Yang Mengalami Harga Diri
Rendah Dengan Pemberian Strategi Pelaksanaan 1 Dan 2 Di Ruang Abimanyu Rumah
Sakit Jiwa Dr. Arif Zainudin Surakarta”
LAPORAN
PENDAHULUAN
DEFISIT
PERAWATAN DIRI
A. Masalah
utama
Defisit
perawatan diri
B. Proses
terjadinya masalah
Defisit perawatan diri
merupakan suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan kemampuan dalam
melengkapi aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti mandi, berhias,
makan dan BAK/BAB (Khaeriyah,2013).
Menurut Yusuf (2015)
Defisit perwatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalami kelainan dalam
kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari
secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur, tidak menyisir
rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas dan penampilan tidak rapi.
2. Manifestasi
klinis
Menurut Depkes (2000,
dalam Dermawan, 2013) tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri
adalah:
a.
Fisik
- Badan
bau, pakaian kotor.
- Rambut
dan kulit kotor.
- Kuku
panjang dan kotor.
- Gigi
kotor disertai mulut bau.
- Penampilan
tidak rapi.
b.
Psikologis
- Malas,
tidak ada inisiatif.
- Menarik
diri, isolasi diri.
- Merasa
tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
- Interaksi
kurang.
- Kegiataan
kurang.
- Tidak
mampu berperilaku sesuai norma.
- Cara
makan tidak teratur, BAK dan BAB di sembaraang tempat, gosok gigi dan mandi
tidak mampu mandiri.
3. Rentang
respon
Menurut Dermawan
(2013), adapun rentang respon defisit perawatan diri sebagai berikut:
|
Maladptif |
|
|
||
Pola perawatan diri
seimbang |
Kadang perawatan
diri, kadang tidak |
Tidak melakukan perawatan
diri pada saat stress |
a. Pola
perawatan diri seimbang: saat klien mendapatkan stresor dan mampu untuk
berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien
masih melakukan perawatan diri.
b. Kadang
perawatan diri kadang tidak: saat klien mendapatkan stresor kadang – kadang
klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
c. Tidak
melakukan perawatan diri: klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak bisa
melakukan perawatan saat stresor.
4. Faktor
predisposisi
a.
Perkembangan Keluarga
terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif
terganggu.
b.
Biologis Penyakit
kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
c.
Kemampuan realitas
turun Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
d.
Sosial Kurang dukungan
dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi lingkungan
mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
5. Faktor
presipitasi
Yang
merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami
individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2000, dalam Dermawan, 2013), faktor-faktor yang mempengaruhi
personal hygiene adalah:
a.
Body image
Gambaran
individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan
adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan
dirinya.
b.
Praktik sosial
Pada anak-anak
selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi perubahan
pola personal hygiene.
c.
Status sosial ekonomi
Personal hygiene
memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat
mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
d.
Pengetahuan
Pengetahuan
personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan
kesehatan. Misalnya pada pasien menderita diabetes melitus ia harus menjaga
kebersihan kakinya.
e.
Budaya
Di sebagian
masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
f.
Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan
orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan
sabun, sampo dan lain-lain.
g.
Kondisi fisik atau
psikis
Pada keadaan
tertentu/sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk
melakukannya.
6. Sumber
koping
Sumber
koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang.
Individu dapat mengatasi stress dan ansietas dengan menggunakan sumber koping
yang ada di lingkungannya. Sumber koping tersebut dijadikan sebagai modal untuk
menyelesaikan masalah. Dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat membantu
seorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stressdan mengadopsi
strategi koping yang efektif.
7. Mekanisme
koping
Mekanisme
koping pada pasien dengan defisit perawatan diri adalah sebagai berikut:
a.
Regresi, menghindari
stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembali, seperti pada perilaku
perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya
untuk mengulangi ansietas (Dermawan, 2013).
b.
Penyangkalan (Denial),
melindungi diri terhadap kenyataan yang tak menyenangkan dengan menolak
menghadapi hal itu, yang sering dilakukan dengan cara melarikan diri seperti
menjadi “sakit” atau kesibukan lain serta tidak berani melihat dan mengakui
kenyataan yang menakutkan (Yusuf dkk, 2015).
c.
Menarik diri, reaksi
yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis, reaksi fisk yaitu
individu pergi atau lari menghindar sumber stresor, misalnya: menjauhi, sumber
infeksi, gas beracun dan lain-lain. Reaksi psikologis individu menunjukkan perilaku
apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut dan
bermusuhan (Dermawan, 2013).
d.
Intelektualisasi, suatu
bentuk penyekatan emosional karena beban emosi dalam suatu keadaan yang
menyakitkan, diputuskan, atau diubah (distorsi) misalnya rasa sedih karena
kematian orang dekat, maka mengatakan “sudah nasibnya” atau “sekarang ia sudah
tidak menderita lagi” (Yusuf dkk, 2015)
C. Pohon
masalah
|
|
Causa |
|
|
|
|
|
Core
problem |
|
|
|
|
|
Effect |
D. Masalah
keperawatan yang mungkin muncul
-
Defisit perawatan diri
-
Harga diri rendah
-
Isolasi sosial
E. Data
yang perlu dikaji
Masalah
keperawatan |
Data
yang perlu dikaji |
Defisit
keperawatan diri |
DS: -
Pasien merasa lemah -
Malas untuk beraktivitas -
Merasa tidak berdaya DO: -
Rambut kotor, acak-acakan -
Badan dan pakaian kotor dan bau -
Mulut dan gigi bau -
Kulit kusam dan kotor -
Kuku panjang dan tidak terawat |
F. Diangnosa
keperawatan
-
Defisit perawatan diri
G. Rencana
tindakan keperawatan
Rencana tindakan keperawatan
merupakan suatu proses penyusunan berbagai intervensi keperawatan yang
dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan, dan mengurangi masalah pasien (Hidayat,
2010). Menurut Sutejo (2017) Perencanaan keperawatan pada klien dengan defisit
perawatan diri yaitu:
1.
Tujuan
jangka Panjang
Pasien
dapat memelihara atau merawat kebersihan secara mandiri.
a.
Bina
hubungan saling percaya
Rasional:
Kepercayaan
dari pasien merupakan hal yang akan memudahkan perawatan dalam melakukan
pendekatan keperawatan.
1.
Tujuan
jangka pendek: Setelah dilakukan interaksi selama 3 kali, pasien mampu
menunjukkan tanda-tanda percaya kepada perawat dengan kriteria hasil:
-
Ekspresi
wajah bersahabat
-
Menunjukkan
rasa senang
-
Bersedia
berjabat tangan
-
Bersedia
menyebutkan nama
-
Ada kontak
mata
-
Bersedia
duduk berdampingan
-
Bersedia
mengutarakan masalah yang dihadapi
2.
Intervensi:
Bina
hubungan saling percaya dengan prinsip komunikasi terapeutik:
-
Sapa pasien
dengan ramah, baik verbal maupun non verbal
-
Perkenalkan
diri dengan sopan
-
Tanyakan
nama lengkap pasien dan nama panggilan
-
Jelaskan
tujuan pertemuan
-
Jujur dan
menempati janji
-
Tunjukkan
sikap empati dan menerima pasien apa adanya
-
Beri
perhatian pada pemenuhan kebetuhan dasar pasien
b.
Latih
pasien cara-cara perawatan diri
Rasional:
Pengetahuan tentang pentingnya perawatan
diri dapat meningkatkan motivasi pasien.
1.
Tujuan
jangka pendek: Setelah dilakukan interaksi selama 2 kali,pasien mampu melakukan
kebersihan diri secara mandiri dengan kritetia hasil:
-
pasien
dengan aman melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri.
2.
Intervensi:
Melatih pasien cara-cara perawatan diri
dengan cara:
-
Menjelaskan
pentingnya kebersihan diri.
-
Menjelaskan
alat-alat untuk menjaga kebersihan diri.
-
Menjelaskan
cara-cara melakukan kebersihan diri.
-
Melatih
pasien mempraktikan cara menjaga kebersihan diri.
c.
Latih
pasien berdandan
Rasional:
Membiasakan diri untuk melakukan
perawatan diri sendiri.
1.
Tujuan
jangka pendek:
Setelah dilakukan interaksi selama 2
kali, pasien mampu melakukan tindakan perawatan, berupa berhias dan berdandan secara
baik dengan kriteria hasil:
-
pasien
dengan aman melakukan atau mempertahankan aktivitas perawatan diri berupa
berhias dan berdandan
-
pasien
berusaha untuk memelihara kebersihan diri.
2.
Intervensi:
Melatih pasien berdandan, dengan
rincian:
-
untuk
pasien laki-laki, latihan meliputi: berpakaian, menyikat rambut, bercukur.
-
Memantau
kemampuan pasien dalam berpakaian dan berhias
-
Memonitor
atau mengidentifikasi adanya kemunduran sensori, kognitif, dan psikomotor yang
menyebabkan pasien mempunyai kesulitan dalam berpakaian dan berhias.
-
Diskusikan
dengan pasien kemungkinan adanya hambatan dalam berpakaian dan berhias.
-
Menggunakan
komunikasi/instruksi yang mudah dimengerti.
-
Sediakan
baju bersih, sisir, dsb.
-
Dorong
pasien untuk mengenakan baju sendiri dan memasang kancing dengan benar.
-
Memberikan
bantuan kepada pasien jika perlu.
-
Evaluasi
perasaan pasien setelah mampu berpakaian dan berhias.
d.
Berikan
reinforcemen atau pujian atas keberhasilan pasien berpakaian
Rasional:
Identifikasi
mengenai penyebab pasien tidak mau makan menentukan intervensi perawat
selanjutnya.
1.
Tujuan
jangka pendek: Setelah dilakukan interaksi selama 3 kali, pasien mampu
melakukan kegiatan makan dengan baik dengan kriteria hasil:
-
kebutuhan
personal hygiene pasien terpenuhi.
-
Pasien
mampu melakukan kegiatan makan secara mandiri dan tepat dengan mengungkapkan
kepuasan.
2.
Intervensi:
-
Memantau
kemampuan pasien makan.
-
Identifikasi
bersama pasien faktor-faktor penyebab pasien tidak mmau makan.
-
Identifikasi
adanya hambatan makan.
-
Diskusikan
dengan pasien akibat kurang/tidak mau makan.
-
Diskusikan
dengan pasien fungsi makanan bagi kesehatan.
-
Menjelaskan
cara mempersiapkan makanan kepada pasien.
-
Menjelaskan
personal hygiene tentang pola makan.
-
Menjelaskan
cara makan yang tertib.
e.
Kaji budaya
pasien ketika mempromosikan aktivitas perawatan diri.
Rasional:
Mengetahui kebiasaan pasien dalam
toileting dalam membantu perawat melakukan intervensi selanjutnya.
1.
Tujuan
jangka pendek: Setelah dilakukan interaksi selama 3 kali, pasien mampu
melakukan BAB/BAK secara mandiri dengan kriteria hasil:
-
Mampu duduk
dan turun dari toilet
-
Mampu
membersihkan diri setelah eleminasi secara mandiri/dibantu.
2.
Intervensi:
-
Bantu
pasien ke toilet
-
Berikan
pengetahuan tentang personal hygiene dalam kaitannya dengan toileting
-
Menjelaskan
temmpat BAB/BAK yang sesuai.
-
Menjelaskan
cara membersihkan diri setelah BAB/BAK
-
Menjelaskan
cara membersihkan tempat BAB dan BAK
f.
Diskusikan
dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang dibutuhkan oleh pasien
Rasional:
Memberikan kesempatan kepada keluarga
untuk membantu pasien dan member motivasi.
1.
Tujuan
jangka pendek: Setelah interaksi selama 4 kali, keluarga mampu merawat anggota
keluarganya yang mengalami masalah kurang perawatan diri dengan kriteria hasil:
-
Keluarga
dapat mengetahui defisit perawatan diri pasien dan cara memberikan dukungan
dalam memberikan dukungan pada pasien dalam melakukan perawatan diri.
2.
Intervensi:
-
Anjurkan
keluarga untuk terlibat dalam merawat diri pasien dan membantu mengingatkan
pasien dalam merawat diri.
-
Anjurkan
keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan pasien dalam merawat diri.
Tujuan tindakan keperawatan
pada pasien defisit perawatan diri, antara lain: pasien mampu melakukan
kebersihan diri secara mandiri, pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara
baik, pasien mampu melakukan makan dengan baik dan pasien mampu melakukan
defekasi/berkemih secara mandiri (Keliat, 2011, p.221).
Tindakan keperawatan yang dilakukan
adalah (Keliat, 2011, p.221):
1. Melatih
pasien cara-cara perawatan kebersihan diri.
Dilakukan dengan
cara menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri, menjelaskan alat-alat untuk
menjaga kebersihan diri, menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri dan
melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri.
2. Melatih
pasien berdandan/berhias.
Dilakukan dengan
cara melatih pasien berdandan. Untuk pasien laki-laki latihan
meliputi:berpakaian, menyisir rambut dan bercukur. Adapun untuk pasien wanita,
latihannya meliputi: berpakaian, menyisir rambut dan berhias.
3. Melatih
pasien makan secara mandiri.
Dilakukan dengan
cara menjelaskan cara mempersiapkan makan, menjelaskan cara makan yang tertib,
menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan dan praktek makan
sesuai dengan tahapan makan yang baik.
4. Mengajarkan
pasien melakukan defekasi/berkemih secara mandiri.
Dilakukan dengan cara
menjelaskan tempat defekasi/berkemih yang sesuai, menjelaskan cara membersihkan
diri setelah defekasi/berkemih dan menjelaskan cara membersihkan tempat
defekasi/berkemih.
H. Daftar Pustaka
Astuti,
L. I. (2019). Gambaran Defisit Perawatan Diri Pada Pasien Dengan Skizofernia Di
Wisma Sadewarsj Grhasia Daerah Iatimewa Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiah,
16-25.
Saputra,
D. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Defisit Perawatan
Diri Di Ruang Dahlia Rumah Sakit Jiwa Prof. HB. Sa'anin Padang. Karya Tulis
Ilmiah, 9-22.
No comments:
Post a Comment