DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I LAPORAN PENDAHULUAN POLIO.................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN POLIO......................................................................... 3
A. Konsep Medik.............................................................................................. 3
B. Asuhan Keperawatan ................................................................................ 10
BAB III LAPORAN PENDAHULUAN TETANUS....................................... 14
A. Latar Belakang........................................................................................... 14
B. Permasalahan.............................................................................................. 14
C. Tujuan......................................................................................................... 14
BAB IV PEMBAHASAN TETANUS............................................................... 16
A. Konsep Medis............................................................................................ 16
B. Asuhan Keperawatan................................................................................. 21
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. 30
A. Kesimpulan ................................................................................................ 30
B. Saran .......................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 31
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN POLIO
A.
Latar
Belakang Masalah
Polio
(kependekan dari poliomyelitis) adalah penyakit yang dapat merusak sistem saraf
dan menyebabkan paralysis. Polio adalah penyakit yang sangat menular
yang disebabkan oleh virus. Polio dapat menyebabkan kelumpuhan total dalam
hitungan jam. Virus ini memasuki tubuh melalui mulut dan berkembang biak dalam
usus. Gejala awal adalah demam, kelelahan, sakit kepala, muntah, kekakuan pada
leher dan nyeri pada anggota badan. Satu dari 200 infeksi menyebabkan
kelumpuhan ireversibel (biasanya di kaki). Di antara mereka yang lumpuh, 5%
sampai 10% meninggal ketika otot pernapasan mereka lumpuh.
Di Indonesia banyak dijumpai penyakit polio terlebih pada anak-anak hal ini disebabkan
oleh asupan gizi yang kurang. Disamping asupan gizi juga dapat dipengaruhi oleh
faktor keturunan dari orang tua, apalagi dengan kondisi di negeri ini yang
masih banyak dijumpai keluarga kurang mampu sehingga kebutuhan gizi anaknya kurang mendapat
perhatian.
Peran serta
pemerintah disini sangat diharapkan untuk membantu dalam menangi masalah gizi
buruk yang masih banyak ditemui khususnya di daerah terpencil atau yang jauh
dari fasilitas pemerintah, sehingga sulit terjangkau oleh masyarakat pinggiran.
Kalau hal ini tidak mendapat perhatian, maka akan lebih banyak lagi anak-anak
Indonesia yang menderita penyakit polio.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini
adalah :
1. Apa
etiologi terjadinya Polio ?
2. Ada
berapa jenis Polio ?
3. Bagaimana
patofisiologi dari Polio ?
4. Apa
saja manifestasi klinis bagi penderita Polio ?
5. Pemeriksaan
apa saja yang dapat menunjang bagi penentuan diagnosa medis Polio ?
6. Bagaimana
tindakan penatalaksanaan medis pada penderita Polio ?
7. Bagaimana
proses Asuhan Keperawatan pada penderita Polio ?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui etiologi terjadinya Polio
2. Untuk
mengetahui jenis-jenis Polio
3. Untuk
mengetahui patofisiologi dari Polio
4. Untuk
mengetahui manifestasi klinis bagi penderita Polio
5. Untuk
mengetahui pemeriksaan penunjang bagi penentuan diagnosa medis Polio
6. Untuk
mengetahui tindakan penatalaksanaan medis pada penderita Polio
7. Untuk
mengetahui proses Asuhan Keperawatan pada penderita Polio
BAB II
PEMBAHASAN POLIO
A. Konsep Medik
1.
Definisi
Polio, singkatan dari poliomyelitis, adalah penyakit yang dapat merusak sistem saraf
dan menyebabkan paralysis. Penyakit ini paling sering terjadi pada anak-anak di
bawah umur 2 tahun. Infeksi virus ini mulai timbul seperti demam yang disertai
panas, muntah dan sakit otot. Kadang-kadang hanya satu atau beberapa tanda
tersebut, namun sering kali sebagian tubuh menjadi lemah dan lumpuh
(paralisis).Kelumpuhan ini paling sering terjadi pada salah satu atau kedua
kaki. Lambat laun, anggota gerak yang lumpuh ini menjadi kecil dan tidak tumbuh
secepat anggota gerak yang lain.
Polio
(Poliomielitis) adalah penyakit menular yang akut disebabkan oleh virus polio
dengan predileksi pada sel anterior massa kelabu sumsum tulang belakang dan
inti motorik batang otak, dan akibat kerusakan bagian susunan syaraf tersebut
akan terjadi kelumpuhan serta atropi otot.
Poliomielitis
atau polio, adalah penyakit paralysis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus.
Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk
ketubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki
aliran darah dan mengalir kesistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan
kadang kelumpuhan (paralysis).
2.
Klasifikasi
a. Polio
non-paralisis
Polio non-paralisis menyebabkan
demam, muntah, sakit perut, lesu, dan sensitif. Terjadi kram otot pada leher
dan punggung. Otot terasa lembek jika disentuh.
b. Polio
Paralisis
Kurang dari 1% orang yang terinfeksi virus
polio berkembang menjadi polio paralisis atau menderita kelumpuhan.
Polio paralisis dimulai dengan demam.
Lima sampai tujuh hari berikutnya akan muncul gejala dan tanda-tanda
lain, seperti : sakit kepala, kram otot leher dan punggung,
sembelit/konstipasi, sensitif terhadap rasa raba.
Polio paralisis dikelompokkan sesuai dengan lokasi terinfeksinya, yaitu :
1)
Polio Spinal
Strain poliovirus ini menyerang
saraf tulang belakang, menghancurkan sel tanduk anterior yang mengontrol pergerakan pada batang tubuh dan otot tungkai. Meskipun strain ini dapat menyebabkan kelumpuhan permanen, kurang
dari satu penderita dari 200 penderita akan mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan
paling sering ditemukan terjadi pada kaki. Setelah poliovirus menyerang usus,
virus ini akan diserap oleh kapiler darah pada dinding ususdan diangkut ke
seluruh tubuh. Poliovirus menyerang saraf tulang belakang dan motorneuron yang
mengontrol gerak fisik. Pada periode inilah muncul gejala seperti flu. Namun,
pada penderita yang tidak memiliki kekebalan atau belum d iv aksinasi, virus
ini biasanya akan menyerang seluruh bagian batang saraf tulang belakang dan
batang otak. Infeksi ini akan mempengaruhi sistem saraf pusat dan menyebar sepanjang serabut saraf. Seiring dengan berkembang
biaknya virus dalam sistem saraf pusat, virus akan menghancurkan motorneuron.
Motorneuron tidak memiliki kemampuan regenerasi dan otot yang berhubungan dengannya tidak akan bereaksi terhadap perintah dari sistem saraf
pusat. Kelumpuhan pada kaki menyebabkan tungkai menjadi lemas. Kondisi ini
disebut acute flaccid paralysis (AFP). Infeksi parah pada sistem saraf pusat
dapat menyebabkan kelumpuhan pada batang tubuh dan otot pada dada dan perut,
disebut quadriplegia. Anak-anak dibawah umur 5 tahun biasanya akan menderita
kelumpuhan 1 tungkai, sedangkan jika terkena orang dewasa, lebih sering
kelumpuhan terjadi pada kedua lengan dan tungkai.
2)
Polio Bulbar
Polio jenis ini disebabkan oleh tidak
adanya kekebalan alami sehingga batang otak ikut terserang. Batang otak
mengandung motorneuron yang mengatur pernapasan dan saraf otak, yang mengirim sinyal ke berbagai otot yang mengontrol pergerakan bola mata; saraf trigeminal dan saraf muka yang berhubungan
dengan pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori yang mengatur pendengaran; saraf glossofaringeal yang membantu proses menelan dan
berbagai fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang
mengirim sinyal ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur
pergerakan leher. Tanpa
alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat menyebabkan kematian. Lima hingga
sepuluh persen penderita yang menderita polio bulbar akan meninggal ketika otot
pernapasan mereka tidak dapat bekerja. Kematian biasanya terjadi setelah
terjadi kerusakan pada saraf otak yang bertugas mengirim ‘perintah bernapas’ ke
paru-paru. Penderita juga dapat meninggal karena kerusakan pada fungsi penelanan; korban dapat ‘tenggelam’ dalam sekresinya
sendiri kecuali dilakukan penyedotan atau diberi perlakuan trakeostomi untuk menyedot cairan yang disekresikan sebelum masuk ke
dalam paru-paru. Namun trakesotomi juga sulit dilakukan apabila penderita telah
menggunakan ‘paru-paru besi’ (iron lung). Alat ini membantu paru-paru yang
lemah dengan cara menambah dan mengurangi tekanan udara di dalam tabung. Kalau
tekanan udara ditambah, paru-paru akan mengempis, kalau tekanan udara dikurangi, paru-paru akan mengembang. Dengan demikian udara
terpompa keluar masuk paru-paru.Infeksi
yang jauh lebih parah pada
otak dapat menyebabkan koma dan kematian.Tingkat kematian karena polio bulbar.
3.
Etiologi
Agen pembawa
penyakit polio adalah sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk ke
tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus dan menyebar ke sistem saraf yang
dibawa melalui aliran darah.
4.
Patofisiologi
Virus hanya
menyerang sel-sel dan daerah susunan syaraf tertentu. Tidak semua neuron yang
terkena mengalami kerusakan yang sama dan bila ringan sekali dapat terjadi
penyembuhan fungsi neuron dalam 3-4 minggu sesudah timbul gejala.
Daerah yang
biasanya terkena polio ialah :
a. Medula
spinalis terutama kornu anterior
b. Batang
otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf cranial serta formasio
c. retikularis
yang mengandung pusat vital
d. Sereblum
terutama inti-inti virmis
e. Otak tengah “midbrain” terutama masa kelabu substansia nigra dan kadang-
f. kadang
nucleus rubra
g. Talamus
dan hipotalamus
h. Palidum,
dan
i. Korteks
serebri, hanya daerah motoric
Terjadinya
wabah polio biasanya adalah akibat :
a. Sanitasi
yang jelek
b. Padatnya
jumlah penduduk
c. Tingginya
pencemaran lingkungan oleh tinja
d. Pengadaan
air bersih yang kurang
Penularan
polio dapat melalui beberapa cara, yaitu :
a. Inhalasi
b. Makanan
dan Minuman
c. Bermacam
serangga seperti lipas dan lalat.
Penyebaran
dipercepat bila ada wabah atau pada saat yang bersamaan dilakukan pula tindakan
bedah seperti tonsilektomi ,ekstraksi gigi dan penyuntikan. Walaupun penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang
harus segera dilaporkan, Namun data epidemiologi yang sukar di dapat. Dalam salah satu symposium imunisasi di jakarta
(1979) dilaporkan bahwa :
a. Jumlah
anak berumur 0-4 tahun yang tripel negative
makin bertambah (10%)
b. Insiden
polio berkisar 3,5-8/100.000 penduduk.
c. Paralytic
rate pada golongan 0-14tahun dan setiap tahun bertambah dengan 9.000 kasus.
Namun, 10 tahun terakhir terjadi penurunan drastic penyakit ini akibat gencarnya program imunisasi diseluruh dunia maupun
Indonesia.
Mortalitas
tinggi terutama pada poliomyelitis tipe paralitik, disebabkan oleh komplikasi
berupa kegagalan nafas, sedangkan untuk tipe ringan tidak dilaporkan adanya
kematian. Walaupun kebanyakan poliomyelitis tidak jelas/inapparent (90-95%) ;
hanya 5-10% yang memberikan gejala poliomyelitis.
5.
Manifestasi
Klinis
Polio terbagi menjadi empat bagian
yaitu :
a. Poliomielitis
asimtomatis : Setelah masa inkubasi 7-10 hari, tidak terdapat gejala karena daya
tahan tubuh cukup baik, maka tidak terdapat gejala klinik sama sekali.
b. Poliomielitis
abortif : Timbul mendadak langsung beberapa jam sampai beberapa hari. Gejala
berupa infeksi virus seperti malaise, anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala,
nyeri tenggorokan, konstipasi dan nyeri abdomen.
c. Poliomielitis
non paralitik : Gejala klinik hampir sama dengan poliomyelitis abortif ,
hanya nyeri kepala, nausea dan muntah lebih hebat. Gejala ini timbul 1-2 hari kadang-kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau
masuk kedalam fase ke2 dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini dengan
hipertonia, mungkin disebabkan oleh lesi pada batang otak, ganglion spinal dan
kolumna posterior.
d. Poliomielitis
paralitik : Gejala sama pada poliomyelitis non paralitik disertai kelemahan
satu atau lebih kumpulan otot skelet atau cranial. Timbul paralysis akut pada
bayi ditemukan paralysis fesika urinaria dan antonia usus.
Adapun bentuk-bentuk
gejalanya antara lain :
§ Bentuk
spinal : Gejala kelemahan/paralisys atau paresis otot leher, abdomen, tubuh,
diagfragma, thorax dan terbanyak ekstremitas.
§ Bentul
bulbar : Gangguan motorik satu atau lebih syaraf otak dengan atau tanpa
gangguan pusat vital yakni pernafasan dan sirkulasi.
§ Bentuk
bulbospinal : didapatkan gejala canpuran anatar bentuk spinal dan bentuk
bulbar.
§ Kadang
ansepalitik : Dapat disertai gejala delirium, kesadaran menurun, tremor dan
kadang kejang.
Berikut fase-fase infeksi virus tersebut :
tadium
akut
a. Stadium Akut
Yaitu fase sejak adanya gejala klinis
hingga 2 minggu. Ditandai dengan suhu tubuh yang meningkat. Kadang disertai
sakit kepala dan muntah-muntah. Kelumpuhan terjadi akibat kerusakan sel-sel motor
neuron di bagian tulang belakang (medula spinalis) lantaran invasi virus.
Kelumpuhan ini bersifat asimetris sehingga cenderung menimbulkan gangguan
bentuk tubuh (deformitas) yang menetap atau bahkan menjadi lebih berat.
Kelumpuhan yang terjadi sebagian besar pada tungkai kaki (78,6%), sedangkan
41,4% pada lengan.Kelumpuhan ini berlangsung bertahap sampai sekitar 2 bulan
sejak awal sakit.
b. stadium subakut
Yaitu fase 2 minggu sampai 2 bulan. Ditandai
dengan menghilangnya demam dalam waktu 24 jam. Kadang disertai kekakuan otot dan nyeri otot ringan. Terjadi
kelumpuhan anggota gerak yang layuh dan biasanya salah satu sisi saja.
c. stadium convalescent
Yaitu fase pada 2 bulan sampai dengan 2
tahun. Ditandai dengan pulihnya kekuatan otot yang sebelumnya lemah. Sekitar 50-70 persen fungsi
otot pulih dalam waktu 6-9 bulan setelah fase akut. Selanjutnya setelah 2 tahun
diperkirakan tidak terjadi lagi pemulihan kekuatan otot.
d. stadium kronik
Yaitu
lebih dari 2
tahun. Kelumpuhan otot
yang terjadi sudah bersifat permanen.
6.
Penatalaksanaan
Medis
Begitu
penyakit mulai timbul, kelumpuhan
sering kali tidak tertangani lagi karena ketidakadaan obat yang dapat
menyembuhkannya. Antibiotika yang biasanya digunakan untuk membunuh virus juga
tidak mampu berbuat banyak. Rasa sakit dapat diatasi dengan memberikan aspirin
atau acetaminophen, dan mengompres dengan air hangat pada otot-otot yang sakit.
a. Poliomielitis
abortif
- Diberikan analgetk dan sedative
- Diet adekuat
- Istirahat sampai suhu normal untuk beberapa hari, sebaiknya
dicegah aktivitas yang berlebihan selama 2 bulan kemudian diperiksa neuskeletal
secara teliti.
b. Poliomielitis non paraliti
- Sama seperti abortif
- Selain
diberikan analgetika dan sedative dapat di kombinasikan dengan kompres hangat
selama kurang lebih 15-30 menit setiap, 2-4 jam.
c. Poliomielitis paralitik
- Perawatan dirumah sakit
- Istirahat total
- Selama fase akut kebersihan mulut dijaga
- Fisioteraf
- Akupuntur
- Interferon
Poliomielitis
asimtomatis tidak perlu perawatan. Poliomielitis abortif diatasidengan
istirahat 7 hari jika tidak terdapat gejala kelainan aktifitas dapat dimulai
lagi.Poliomielitis paralitik/non paralitik diatasi dengan istirahat mutlak
paling sedikit 2 minggu perlu pemgawasan yang teliti karena setiap saat dapat terjadi paralysis pernapasan. Fase akut :
Analgetik untuk rasa nyeri otot. Lokal diberi pembalut hangat sebaiknya
dipasang footboard (papan penahan pada telapak kaki) agar kaki terletak pada sudut yang sesuai terhadap tungkai..Pada
poliomielitis tipe bulbar kadang- kadang
reflek menelan tergaggu sehingga dapat timbul bahaya pneumonia aspirasi dalam
hal ini kepala anak harus ditekan lebih rendah dan dimiringkan kesalah satu
sisi.
Sesudah fase akut : Kontraktur. Atropi, dan attoni otot dikurangi denga fisioterafy.
Tindakan ini dilakukan setelah 2 hari demam hilang.
B. Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian
a.
Identitas Pasien
Nama Pasien :
No. RM :
Tempat Tanggal Lahir :
Umur :
Agama :
Status Perkawinan :
Pendidikan :
Alamat :
Pekerjaan :
Jenis Kelamin :
Suku :
Diagnosa Medis :
Tanggal Masuk RS :
Tanggal Pengkajian :
b.
Penanggung Jawab
Nama :
Tempat
Tanggal Lahir :
Umur :
Agama :
Alamat :
Pekerjaan :
Jenis
Kelamin :
Hubungan
dengan Pasien:
No. Telepon :
c.
Riwayat kesehatan
Riwayat pengobatan penyakit-penyakit dan riwayat imunitas
d.
Pemeriksaan fisik
- Nyeri kepala
- Paralisis
- Refleks tendon berkurang
- Kaku kuduk
- Brudzinky
MENDETEKSI LUMPUH
LAYUH
§ Bayi
1. Perhatikan
posisi tidur. Bayi normal menunjukkan posisi tungkai menekuk pada lutut
dan pinggul. Bayi yang lumpuh akan menunjukkan tungkai lemas dan lutut
menyentuh tempat tidur.
2. Lakukan
rangsangan dengan menggelitik atau menekan dengan ujung pensil pada telapak
kaki bayi. Bila kaki ditarik berarti tidak terjadi kelumpuhan.
3. Pegang bayi
pada ketiak dan ayunkan.
Bayi normal akan menunjukkan gerakan kaki menekuk, pada bayi
lumpuh tungkai tergantung lemas.
§ Anak-anak
1. Mintalah
anak berjalan dan perhatikan apakah pincang atau tidak.
2. Mintalah
anak berjalan pada ujung jari atau tumit. Anak yang mengalami kelumpuhan
tidak bisa melakukannya. Mintalah
anak meloncat pada
satu kaki. Anak
yang lumpuh tak
bisa melakukannya.
3. Mintalah
anak berjongkok atau duduk di lantai kemudian bangun kembali.
4. Anak yang
mengalami kelumpuhan akan
mencoba berdiri dengan berpegangan merambat pada
tungkainya.
5. Tungkai
yang mengalami lumpuh pasti lebih kecil.
e.
Pemeriksaan Fisik (B6)
1. B1 (breath) : RR normal, Tidak ada penggunaan otot bantupernafasan
Suhu (38,9 °C)
2. B2 (blood) : normal
3. B3(brain) : gelisah (rewel) dan pusing
4. B4 (bladder) : normal
5. B5 (bowel) : mual muntah, anoreksia, konstipasi
6. B6 (bone) : letargi atau kelemahan, tungkai kanan/kiri lumpuh,
pasien tidak mampu berdiri dan berjalan
f.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Viral
Isolation
Polio virus dapat di deteksi secara biakan jaringan, dari bahan yang di
peroleh pada tenggorokan satu minggu sebelum dan sesudah paralisis dan tinja
pada minggu ke 2-6 bahkan 12 minggu setelah gejala klinis.
2. Uji
Serologi
Uji serologi
dilakukan dengan mengambil sampel darah dari penderita, jika pada darah ditemukan zat antibodi polio maka diagnosis orang tersebut terkena
polio benar. Pemeriksaan pada fase akut dapat dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan antibodi immunoglobulin M (IgM) apabila terkena polio akan
didapatkan hasil yang positif.
3. Cerebrospinal
Fluid (CSF)
Cerebrospinal
Fluid pada infeksi poliovirus terdapat peningkatan jumlah sel darah putih yaitu
10-200 sel/mm3 terutama sel limfosit,
dan terjadi kenaikan kadar protein sebanyak 40-50 mg/100 ml (Paul, 2004).
Pemeriksaan
Radiologis
g.
Pemeriksaan
Radiologis
Pemeriksaan
ini hanya menunjang diagnosis poliomielitis lanjut. Pada anak yang sedang
tumbuh, di dapati tulang yang pendek, osteoporosis dengan korteks yang tipis
dan rongga medulla yang relative lebar, selain itu terdapat penipisan epifise, subluksasio
dan dislokasi dari sendi.
II.
Diagnosa
Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang
muncul pada Asuhan Keperawatan Polio adalah sebagai berikut :
1. Ketidakefektifan
pola napas
2. Hambatan
mobilitas fisik
3. Nyeri
Akut
4. Risiko
infeksi
5. Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
6. Gangguan
citra tubuh
7. Ansietas
BAB III
LAPORAN PENDAHULUAN TETANUS
A. Latar
Belakang
Tetanus adalah penyakit infeksi yang di akibatkan toksin
kuman Clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal,
diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada
otot masseter dan otot-otot rangka. Tetanus adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh toksin kuman clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan
kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus
otot ini selalu nampak pada otot masester dan otot rangka.
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin
kuman clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara
proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu
nampak pada otot masester dan otot rangka.
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk
batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4 – 0,5 mili mikron. Kuman ini berspora
termasuk golongan Gram positif dan hidupnya anaerob. Spora dewasa mempunyai
bagian yang ber bentuk bulat yang letaknya di ujung, penabuh genderang (drum
stick). Kuman mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanospasmin)
mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Toksin mi
labil pada pemaanasan, pada suhu 650C akan hancur dalam 5 menit.
Di samping itu dikenai pula tetanolisin yang bersifat
hemolisis, yang perannya kurang berarti dalam proses penyakit.
B. Permasalahan
Adapun permasalahan yang kami angkat dalam makalah ini adalah
“Apakah yang dimaksud dengan Tetanus dan Bagaimana Asuhan Keperawatan pada
pasien dengan Tetanus?”
C. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan malah
ini adalah :
1.
Mengetahui Pengertian dari Tetanus
2. Mengetahui
Etiologi dari Tetanus
3. Mengetahui
Patofisiologi dari Tetanus
4. Mengetahui
Tanda dan gejala dari Tetanus
5. Mengetahui
Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus
6. Mengetahui
Pemeriksaan Diagnostik pada Tetanus
7. Mengetahui
Komplikasi pada Tetanus
8. Mengetahui
Prognosa dari Tetanus
9. Mengetahui
Pencegahan dari Tetanus
10. Mengetahui
Penatalaksanaan pada Tetanus
11. Mengetahui
Askep pada pasien anak dengan Tetanus
BAB IV
PEMBAHASAN
TETANUS
A. Konsep Medis
1. Pengertian
Tetanus
Penyakit tetanus adalah penyakit
infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani, bermanisfestasi
dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh badan.
Kekakuan tonus otot massater dan otot-otot rangka.
Penyakit tetanus merupakan salah
satu infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi sistem urat
saraf dan otot. Kata tetanus diambil dari bahasa
Yunani yaitu tetanos dari teinein yang
berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di mana spasme otot
tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum,
melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang dan spasme dan
paralisis pernapasan.
2. Etiologi
Tetanus
Clostiridium tetani adalah
kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang berspora, golongan gram
positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik
(tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf
perifer setempat. Timbulnya tetanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang
didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah.
Faktor predisposisi :
1.
Umur tua atau anak-anak
2.
Luka yang dalam dan kotor
3.
Belum terimunisasi
3. Patofisiologi
Tetanus
Suasana yang memungkinkan organisme
anaerob berploriferasi dapat disebabkan berbagai keadaan antara lain :
a.
Luka tusuk dalam, misalnya luka tusuk karena paku,
kuku, pecahan kaleng, pisau, cangkul dan lain-lain.
b.
Luka karena kecelakaan kerja (kena parang0, kecelakaan
lalu lintas.
c.
Luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata,
telinga dan tonsil.
Cara kerja toksin
Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui
sumbu limbik masuk ke sirkulasi darah dan masuk ke Susunan Saraf Pusat (SSP).
Toksin bersifak antigen , sangat mudah diikat jaringan syaraf dan bila dalam
keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh toksin spesifik. Toksin yang
bebas dalam darah sangat mudah dinetrakan oleh antitoksin spesifik.
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin)
dari bakteri Gram positif anaerob, Clostridium tetani,
dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke dalam
darah tubuh yang mengalami cedera (periode inkubasi). Penyakit ini merupakan 1
dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari
pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme).
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di
tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Tempat
masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan
kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang
terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan
dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.
4. Tanda dan
Gejala pada
a.
Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-21 hari
b.
Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)
c.
Kesukaran membuka mulut (trismus)
d.
Kaku kuduk (epistotonus), kaku dinding perut dan
tulang belakang
e.
Saat kejang tonik tampak risus sardonikus
Timbulnya gejala klinis biasanya mendadak, didahului
dengan ketgangan otot terutama pada rahang dan leher. Kemudian timbul kesukaran
membuka mulut (trismus) karena spsme otot massater. Kejang otot ini akan
berlanjut ke kuduk (opistotonus) dinding perut dan sepanjang tulang belakang.
Bila serangan kejang tonik sedang berlangsung serimng tampak risus sardonukus
karena spsme otot muka dengan gambaran alsi tertarik ke atas, sudut mulut
tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi. Gambaran umum
yang khas pada tetanus adalah berupa badan kaku dengan epistotonus, tungkai
dalam ekstrensi lengan kaku dan tangan mengapal biasanya kesadaran tetap baik.
Serangan timbul proksimal, dapat dicetus oleh rangsangan suara, cahaya maupun
sentuhan, akan tetapi dapat pula timbul spontan. Karena kontraksi otot sangat
kuat dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin bahkan dapat terjadi
fraktur collumna vertebralis (pada anak). Kadang dijumpai demam yang ringan dan
biasanya pada stadium akhir.
5. Tanda dan
Gejala
1.
Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-21 hari
2.
Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)
3.
Kesukaran membuka mulut (trismus)
4.
Kaku kuduk (epistotonus), kaku dinding perut dan
tulang belakang
5.
Saat kejang tonik tampak risus sardonikus
Timbulnya gejala klinis biasanya
mendadak, didahului dengan ketgangan otot terutama pada rahang dan leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus) karena spsme otot massater.
Kejang otot ini akan berlanjut ke kuduk (opistotonus) dinding perut dan
sepanjang tulang belakang. Bila serangan kejang tonik sedang berlangsung
serimng tampak risus sardonukus karena spsme otot muka dengan gambaran alsi
tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan
kuat pada gigi. Gambaran umum yang khas pada tetanus adalah berupa badan kaku
dengan epistotonus, tungkai dalam ekstrensi lengan kaku dan tangan mengapal
biasanya kesadaran tetap baik. Serangan timbul proksimal, dapat dicetus oleh
rangsangan suara, cahaya maupun sentuhan, akan tetapi dapat pula timbul
spontan. Karena kontraksi otot sangat kuat dapat terjadi asfiksia dan sianosis,
retensi urin bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak).
Kadang dijumpai demam yang ringan dan biasanya pada stadium akhir.
6. Gambaran
Umum yang Khas pada Tetanus
1.
Badan kaku dengan epistotonus
2.
Tungkai dalam ekstensi
3.
Lengan kaku dan tangan mengepal
4.
Biasanya keasadaran tetap baik
5.
Serangan timbul proksimal dan dapat dicetuskan oleh
karena :
a. Rangsang
suara, rangsang cahaya, rangsang sentuhan, spontan.
b. Karena
kontriksi sangat kuat dapat terjadi aspiksia, sianosis, retensi urine, fraktur
vertebralis (pada anak-anak), demam ringan dengan stadium akhir. Pada saat
kejang suhu dapat naik 2-4 derakat celsius dari normal, diaphoresis, takikardia
dan sulit menelan.
7. Pemeriksaan
diagnostik pada Tetanus
1)
Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot
yang khas terutama pada rahang.
2)
Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/L,
peninggian tekanan otak, deteksi kuman sulit.
3)
Pemeriksaan ECG dapat terlihat gambaran aritmia
ventrikuler.
8.
Komplikasi pada
Tetanus
1)
Bronkopneumoni
2)
Asfiksia dan sianosis
9. Prognosa
Sangat buruk bila ada OMP (Otitis
Media Purulenta), luka pada kulit kepala. Tetanus memiliki angka kematian
sampai 50%. Kematian biasanya terjadi pada penderita yang sangat muda, sangat
tua dan pemakai obat suntik. Jika gejalanya memburuk dengan segera atau jika
pengobatan tertunda, maka prognosisnya buruk.
Dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat memperburuk keadaan yaitu :
1. Masa
Inkubasi yang pendek (kurang dari 7 hari)
2. Neonatus dan
usia tua (lebih dari 5tahun)
3. Frekuensi
kejang yang sering
4. Kenaikan
suhu badan yang tinggi
5. Pengobatan
terlambat
6. Periode
trismus dan kejang yang semakin sering
7. Adanya
penyulit spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas
10.
Pencegahan pada Tetanus
Pencegahan penyakit tetanus meliputi :
1)
Anak mendapatkan imunisasi DPT diusia 3-11 Bulan
2)
Ibu hamil mendapatkan suntikan TT minimal 2 kali
3)
Pencegahan terjadinya luka & merawat luka secara
ade kuat
4)
Pemberian anti tetanus serum.
11. Penatalaksanaan
pada Tetanus
a. Umum
Tetanus merupakan keadaan darurat, sehingga pengobatan
dan perawatan harus segera diberikan :
1)
Netralisasi toksin dengan injeksi 3000-6000 iu immunoglobulin tetanus disekitar
luka tidak boleh diberikan IV).
2)
Sedativa-terapi relaksan ; Thiopental sodium
(Penthotal sodium) 0,4% IV drip ; Phenobarbital (luminal) 3-5 mg/kg BB
diberikan secara IM, iV atau PO tiap 3-6 jam, paraldehyde panal) 0,15 mg/kg BB
Per-im tiap 4-6 jam.
3)
Agen anti cemas ; Diazepam (valium) 0,2 mg/kg BB IM
atau IV tiap 3-4 jam, dosis ditingkatkan dengan beratnya kejang sampai 9,5
mg/kg BB/24 jam untuk dewasa.
4)
Beta-adrenergik bolcker ; propanolol inderal 0,2 mg
aliquots, untuk total dari 2 mg IV untuk dewasa atau 10 mg tiap 8 jam
intragastrik, digunakan untuk pengobatan sindroma overaktivitas sempatis
jantung.
5)
Penanggulangan kejang ; isolasi penderita pada tempat
yang tenang, kurangi rangsangan yang membuat kejang, kolaborasi pemeberian obat
penenang.
6)
Pemberian Penisilin G cair 10-20 juta iu (dosis
terbagi0 dapat diganti dengan tetraciklin atau klinamisin untuk membunuh
klostirida vegetatif.
7)
Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit.
8)
Diit tKTP melalui oral/ sounde/parenteral
9)
Intermittent positive pressure breathing (IPPB) sesuai
dengan kondisi klien.
10)
Indwelling cateter untuk mengontrol retensi urine.
11)
Terapi fisik untuk mencegah kontraktur dan untuk
fasilitas kembali fungsi optot dan ambulasi selama penyembuhan.
12.
Pembedahan
1) Problema pernafasan
; Trakeostomi (k/p) dipertahankan beberapa minggu ; intubasi trakeostomi atau
laringostomi untuk bantuan nafas.
2) Debridemen
atau amputasi pada lokasi infeksi yang tidak terdeteksi
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Keperawatan
a.
Identitas
-
Identitas pasien : nama, umur, tanggal lahir, jenis
kelamin, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnosa medik, rencana
terapi.
-
Identitas orang tua:
Ayah : nama, usia, pendidikan, pekerjaan, agama,
alamat.
Ibu : nama, usia, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat.
b.
Keluhan utama/alasan masuk RS.
c. Riwayat
Kesehatan
1.
Riwayat kesehatan sekarang
2.
Riwayat kesehatan masa lalu
3.
Ante natal care
4.
Natal
5.
Post natal care
6.
Riwayat kesehatan keluarga
d.
Riwayat imunisasi
e.
Riwayat tumbuh kembang
1.
Pertumbuhan fisik
2.
Perkembangan tiap tahap
f.
Riwayat Nutrisi
1.
Pemberin asi
2.
Susu Formula
3.
Pemberian makanan tambahan
4.
Pola perubahan nutrisi tiap tahap usia sampai nutrisi
saat ini
g.
Riwayat Psikososial
h.
Riwayat Spiritual
i.
Reaksi Hospitalisasi
1.
Pemahaman keluarga tentang sakit yang rawat nginap
j.
Aktifitas sehari-hari
1.
Nutrisi
2.
Cairan
3.
Eliminasi BAB/BAK
4.
Istirahat tidur
5.
Olahraga
6.
Personal Hygiene
7.
Aktifitas/mobilitas fisik
8.
Rekreasi
k.
Pemeriksaan Fisik
1.
Keadaan umum klien
2.
Tanda-tanda vital
3.
Antropometri
4.
Sistem pernafasan
5.
Sistem Cardio Vaskuler
6.
Sistem Pencernaan
7.
Sistem Indra
8.
Sistem muskulo skeletal
9.
Sistem integument
10.
Sistem Endokrin
11.
Sistem perkemihan
12.
Sistem reproduksi
13.
Sistem imun
14.
Sistem saraf : Fungsi cerebral, fungsi kranial, fungsi
motorik, fungsi sensorik, fungsi cerebelum, refleks, iritasi meningen
l.
Pemeriksaan tingkat perkembangan
1.
0 – 6 tahun dengan menggunakan DDST (motorik kasar,
motorik halus, bahasa, personal sosial)
2.
Tahun keatas (perkembangan kognitif, Psikoseksual,
Psikososial)
m. Tes
Diagnostik
n.
Terapi
2. Diagnosa
Keperawatan
1.
Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan
dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan.
2.
Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas
terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan.
3.
Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan
dengan efeks toksin (bakterimia)
4.
Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan kekakuan otot pengunyah.
5.
Risiko terjadi cedera berhubungan dengan sering
kejang.
6.
Risiko terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
berhubungan dengan intake yang kurang dan oliguria.
7.
Hubungan interpersonal terganggu berhubungan dengan
kesulitan bicara.
8.
Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan
dengan kondisi lemah dan sering kejang.
9.
Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang
penyakit tetanus dan penanggulangannya berhbungan dengan kurangnya informasi.
10.
Kurangnya kebutuhan istirahat berhubungan dengan
seringnya kejang.
3. Intervensi
Keperawatan
Dx.1. Kebersihan jalan
nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame
otot pernafasan, ditandai dengan ronchi, sianosis, dyspneu, batuk tidak efektif
disertai dengan sputum dan atau lendir, hasil pemeriksaan lab, Analisa Gasa
Darah abnormal (Asidosis Respiratorik)
Tujuan : Jalan nafas efektif
Kriteria :
-
Klien tidak sesak, lendir atau sleam
tidak ada
-
Pernafasan 16-18 kali/menit
-
Tidak ada pernafasan cuping hidung
-
Tidak ada tambahan otot pernafasan
-
Hasil pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah
dalam batas normal (pH= 7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100 mmHg)
No |
Intervensi |
Rasional |
1. |
Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi |
Secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk
meluruskan rongga pernafasan sehingga proses respiransi tetap berjalan lancar
dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas. |
2. |
Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengarkan suara
nafas (adakah ronchi) tiap 2-4 jam sekali |
Ronchi menunjukkan adanya gangguan pernafasan akibat atas
cairan atau sekret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga
perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas. |
3. |
Bersihkan mulut dan saluran nafas dari sekret dan lendir
dengan melakukan suction |
Suction merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan
sekret, sehingga mempermudah proses respirasi |
4. |
Oksigenasi |
Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan
cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia. |
5. |
Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam |
Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas
disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary
refill time yang memanjang/lama. |
6. |
Observasi timbulnya gagal nafas |
Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan
intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical
ventilation) |
7. |
Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer sekresi(mukolitik) |
Obat mukolitik dapat mengencerkan sekret yang kental
sehingga mempermudah pengeluaran dan memcegah kekentalan |
Dx.2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan
jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan, yang ditandai dengan
kejang rangsanng, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya lendir dan sekret yang
menumpuk.
Tujuan : Pola nafas teratur dan normal
Kriteria :
-
Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan
kebutuahn oksigen
-
Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit
-
Tidak sianosis.
No |
Intervensi |
Rasional |
1. |
Monitor irama pernafasan dan respirati rate |
Indikasi adanya penyimpangan atau kelaianan dari pernafasan
dapat dilihat dari frekuensi, jenis pernafasan,kemampuan dan irama nafas. |
2. |
Atur posisi luruskan jalan nafas. |
Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses
respirasi dapat berjalan dengan lancar. |
3. |
Observasi tanda dan gejala sianosis |
Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi
ketidakadekuatan suply O2 pada jaringan tubuh perifer |
4. |
Oksigenasi |
Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan
memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia |
5. |
Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam |
Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas
disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary
refill time yang memanjang/lama. |
6. |
Observasi timbulnya gagal nafas. |
Ketidak mampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan
intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical
ventilation). |
7. |
Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah. |
Kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan
perfusi jaringan dapat |
Dx.3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia)
berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia) yang dditandai dengan suhu tubuh
38-40 oC, hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000/mm3.
Tujuan : Suhu tubuh normal
Kriteria : 36-37oC, hasil lab sel darah putih (leukosit) antara
5.000-10.000/mm3
No |
Intervensi |
Rasional |
1. |
Atur suhu lingkungan yang nyaman |
Iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh
individu sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi. |
2. |
Pantau suhu tubuh tiap 2 jam |
Identifikasi perkembangan gejala-gajala ke arah syok
exhaution |
3. |
Berikan hidrasi atau minum ysng cukup adequat |
Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan
kompresi badan dari dalam |
4. |
Lakukan tindakan teknik aseptik dan antiseptik pada
perawatan luka. |
Perawatan lukan mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih
berada disekitar luka. |
5. |
Berikan kompres dingin bila tidak terjadi ekternal
rangsangan kejang. |
Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan
suhu tubuh dengan cara proses konduksi. |
6. |
Laksanakan program pengobatan antibiotik dan antipieretik |
Obat-obat antibakterial dapat mempunyai spektrum lluas
untuk mengobati bakteeerria gram positif atau bakteria gram negatif.
Antipieretik bekerja sebagai proses termoregulasi untuk mengantisipasi panas. |
7. |
Kolaboratif dalam pemeriksaan lab leukosit. |
Hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 10.000
/mm3 mengindikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan
pengobatan yang diprogramkan. |
Dx.4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah yang ditandai dengan intake kurang,
makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan
berat badan menurun ddiserta hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari
3,5 mg%.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria :
-
BB optimal
-
Intake adekuat
-
Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %
No |
Intervensi |
Rasional |
1. |
Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam makan dan
pentingnya makanabagi tubuh |
Dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot
pengunyah sehingga klien mengalami kesulitan menelan dan kadang timbul
refflek balik atau kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang adequat
diharapkan klien dapat berpartsipatif dan kooperatif dalam program diit. |
2. |
Kolaboratif : Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur kasar. Pemberian carian per IV line Pemasangan NGT bila perlu |
Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari
tingkat membuka mulut dan proses mengunyah. Pemberian cairan perinfus diberikan pada klien
dengan ketidakmampuan mengunyak atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga
kebutuhan nutrisi terpenuhi. NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga
untuk memberikan obat |
Dx.5. Resiko injuri berhubungan dengan aktifitas
kejang
Tujuan : Cedera tidak terjadi
Kriteria :
-
Klien tidak ada cedera
-
Tidur dengan tempat tidur yang terpasang pengaman
No |
Intervensi |
Rasional |
1. |
Identifikasi dan hindari faktor pencetus |
Menghindari kemungkinan terjadinya cedera akibat dari
stimulus kejang |
2. |
Tempatkan pasien pada tempat tidur pada pasien yang memakai
pengaman |
Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang |
3. |
Sediakan disamping tempat tidur tongue spatel |
Antisipasi dini pertolongan kejang akan mengurangi resiko
yang dapat memperberat kondisi klien |
4. |
Lindungi pasien pada saat kejang |
Mencegah terjadinya benturan/trauma yang memungkinkan
terjadinya cedera fisik |
5. |
Catat penyebab mulai terjadinya kejang |
Pendokumentasian yang akurat, memudah-kan pengontrolan dan
identifikasi kejang |
Dx.6. Defisit velume cairan berhubungan dengan
intake cairan tidak adekuat
Tujuan : Anak tidak memperlihatkan kekurangan velume cairan yang dengan
Kriteria : Membran mukosa lembab, Turgor kulit baik
No |
Intervensi |
Rasional |
1. |
Kaji intake dan out put setiap 24 jam |
Memberikan informasi tentang status cairan/volume sirkulasi
dan kebutuhan penggantian |
2. |
Kaji tanda-tanda dehidrasi, membran mukosa, dan turgor
kulit setiap 24 jam |
Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler |
3. |
Berikan dan pertahankan intake oral dan parenteral sesuai
indikasi ( infus 12 tts/m, NGT 40 cc/4 jam) dan disesuaikan dengan
perkembangan kondisi pasien |
Mempertahankan kebutuhan cairan tubuh |
4. |
Monitor berat jenis urine dan pengeluarannya |
Mempertahankan intake nutrisi untuk kebutuhan tubuh |
5. |
Pertahankan kepatenan NGT |
Penurunan keluaran urine pekat dan peningkatan berat jenis
urine diduga dehidrasi/ peningkatan kebutuhan cairan |
4. Implementasi
Keperawatan
Lakukanlah apa yang harus anda
lakukan pada saat itu. Dan catat apa yang telah anda lakukan tidakan pada
pasien.
5. Evaluasi
Keperawatan
Evaluasi semua tindakan yang telah
anda berikan pada pasien. Jika dengan tindakan yang diberikan pasien mengalami
perubahan menjadi lebih baik. Maka tindakan dapat dihentikan. Jika sebaliknya
keadaan pasien menjadi lebih buruk, kemungkinan besar tindakan harus mengalami
perubahan atau perbaikan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam makalah asuhan keperawatan Polio ini, Tim Penulis dapat menarik beberapa
kesimpulan bahwa :
1. Polio
(Poliomielitis) adalah penyakit menular yang akut disebabkan oleh virus polio
dengan predileksi pada sel anterior massa kelabu sumsum tulang belakang dan
inti motorik batang otak, dan akibat kerusakan bagian susunan syaraf tersebut
akan terjadi kelumpuhan serta atropi otot.
2. Polio
terbagi menjadi 2, yaitu polio paralisis dan polio non-paralisis. Polio
paralisis terbagi lagi menjadi 2, yaitu polio paralisis spinal dan polio
paralisis bulbar.
3. Agen pembawa
penyakit polio adalah sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk ke
tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus dan menyebar ke sistem saraf yang
dibawa melalui aliran darah.
4. Penularan
polio dapat melalui beberapa cara, yaitu inhalasi, makanan dan minuman, dan
bermacam serangga seperti lipas dan lalat.
5. Manifestasi klinis dari polio dapat ditinjau berdasarkan klasifikasi pada masing-masing
polio
B. Saran
Melalui
kesimpulan diatas, adapun saran yang diajukkan oleh Tim Penulis adalah Perawat atau calon perawat harus mengetahui secara detil
pengkajian asuhan keperawatan pada pasien Penderita Polio mengingat
pemberian tindakan keperawatan pada pasien harus dilakukan dengan tepat Perawat harus melakukan tindakan asuhan keperawatan dengan baik
pada pasien penderita Polio sehingga kesembuhan pasien dapat tercapai
dengan baik Perawat maupun calon perawat harus memahami konsep dasar dari
Penyakit Polio dan ruang lingkupnya sehingga dalam proses memberikan asuhan keperawatan pada
pada Penderita Polio dapat terlaksana dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiansyah,
Teungku. 2013. Ask The Master UKDI. Tangerang : BINARUPA AKSARA Publisher
Ganong, W.F.
2008.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22.Jakarta : EGC
Sudoyo W.,
dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu penyakit dalam. Jakarta : internapublishing
PAPDI. 1996.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
Www.
Google.Com /Asuhan Keperawatan Polio.2014
Www.
Infokes.Com/Program Studi Keperawatan. 2014
Doenges, ME.
2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi.3.Jakarta: EGC
http://
likalikuluke.multiply.com/journal/item/9+pengertian+Tetanus
http://keperawatan-agung.blogspot.com/2009/05/askep-tetanus.htmlhttp://id.wikipedia.org/wiki/Tetanus
http://7hidayat2.wordpress.com/2009/04/23/askep-tetanus/+askep+tetanus
http://keperawatan-gun.blogspot.com/2008/05/asuhan-keperawatan-dengan-tetanus.html
No comments:
Post a Comment