BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Menurut
World Health Organization (WHO), Angka Kematian Ibu (AKI) di dunia pada tahun
2015 adalah 261 per 100.000 kelahiran hidup atau diperkirakan jumlah kematian
ibu adalah 303.000 kematian dengan jumlah tertinggi berada di negara berkembang
yaitu sebesar 302.000 kematian. Angka kematian ibu berkembang 20 kali lebih
tinggi dibandingkan angka kematian ibu di negara maju yaitu 239 per 100.000
kelahiran hidup sedangkan di negara maju hanya 12 per 100.000 kelahiran hidup,
penyabab utama kematian ibu ialah tekanan darah tinggi (hipertensi) dalam
kehamilan (32%) serta perdarahan setelah persalinan (20%). Sedangkan AKB
mencapai 22 per 1000 kelahiran hidup
(WHO, 2015).
Survei
Demografi kesehatan Indonesia (SDKI) 2015 dalam Profil Kesehatan Indonesia AKI
di Indonesia 305 per 100.000 kelahiran hidup. Dan AKB pada tahun 2017 di Indonesia adalah 15 per
1000 kelahiran hidup. Disebabkan berbagai penyakit, seperti ISPA (infeksi
saluran pernapasan akut), panas tinggi hingga diare. Langkah bidan dalam
menurunkan penyebab AKI dan AKB yang
mengutamakan kesinambungan pelayanan (continuity of care). Sangat penting bagi
wanita untuk mendapatkan pelayanan dari seorang profesional, sebab dengan begitu
maka perkembangan kondisi mereka setiap saat akan terpantau dengan baik selain
juga mereka menjadi lebih percaya dan terbuka karena merasa sudah mengenal si
pemberi asuhan (Walyani, 2016).
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
cara mengenali dan mengatasi perdarahan
pada kehamilan muda ?
C. Tujuan
Umum
1.
Untuk mengetahui
karakteristik Perdarahan kepada ibu hamil.
D. Tujuan
Khusus
1. Untuk
mengetahui umur rata-rata ibu penderita kehamilan ektopik, Abortus, dan
blighted ovum
2. Untuk
mengetahui keluhan utama yang di rasakan oleh ibu hamil karena terjadinya perdarahan
pada saat kehamilan.
3. Untuk
memberikan asuhan kebidanan terkait masalah perdarahan pada ibu hamil sesuai
usia kehamilan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Abortus
1. Pengertian
abortus
Menurut
Prawirohardjo (2012) abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan
kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
2. Patofisiologi
Pada
permulaan abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis diikuti oleh
nekrosis jaringan di sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi
terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan bagian benda asing dalam
uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Pada
kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi itu biasanya dikeluarkan
seluruhnya karena villi koriales belum menembus desidua secara mendalam. Pada
kehamilan antara 8-14 minggu villi koriales menembus desidua lebih dalam,
sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat menyebabkan
banyak perdarahan. Pada kehamilan 14
minggu ke atas umumnya yang mula-mula dikeluarkan setelah
ketuban pecah janin, disusul beberapa waktu
kemudian oleh plasenta yang telah lengkap terbentuk. Perdarahan tidak banyak
jika plasenta segera terlepas dengan lengkap.
3. Klasifikasi
Klasifikasi
Abortus Menurut terjadinya, Prawirohardjo (2012) membagi abortus menjadi tiga
jenis yaitu:
a. Abortus
provokatus Didefinisikan sebagai
prosedur untuk mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan baik oleh orang-orang
yang tidak memiliki ketrampilan yang diperlukan atau dalam lingkungan yang
tidak memenuhi standar medis minimal atau keduanya.
b. Abortus
terapeutik Abortus terapeutik adalah
abortus buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Pertimbangan demi
menyelamatkan nyawa ibu dilakukan oleh minimal 3 dokter spesialis yaitu
spesialis Kebidanan dan Kandungan, spesialis Penyakit Dalam, dan spesialis
Jiwa. Bila perlu dapat ditambah pertimbangan oleh tokoh agama terkait.
c. Abortus
Spontan Abortus spontan adalah abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa
adanya tindakan apa pun.
d. Abortus
Imminens Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus,
ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi
masih baik dalam kandungan.2
e. Abortus
insipiens Abortus insipiens ialah peristiwa peradrahan uterus pada kehamilan
sebelum 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi
hasil konsepsi masih daltam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih
sering dan kuat, perdarahan bertambah. Pengeluaran hasil konsepsi dapat
dilaksanakan dengan kuret vakum atau dengan cunam ovum, disusul dengan kerokan.
Pada kehamilan lebih dari 12 minggu biasanya perdarahan tidak banyak dan bahaya
peforasi pada kerokan lebih besar, maka sebaiknya proses abortus dipercepat
dengan pemberian infus oksitosin.
f. Abortus
inkomplit Abortus inkomplit ialah pengeluaran sebagan hasil konsepsi pada
kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus.
Perdarahan pada abortus inkomplit dapat banyak sekali sehingga menyebabkan syok
dan perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa konsepsi dikeluarkan.
g. Abortus
komplit Pada abortus komplit semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan. Pada
penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup, dan uterus
sudah banyak mengecil.
h. Missed
abortion Missed abortion ialah kematian janin berusia sebelum 20 minggu, tetapi
janin mati itu tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih. Etiologi missed
abortion tidak diketahui, tetapi diduga pengaruh hormon progesteron. Pemakaian
hormon progesteron pada abortus imminens mungkin juga dapat menyebabkan missed
abortion.2
i.
Abortus habitualis Abortus habitualis ialah abortus spontan yang
terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut. Penderita abortus habitualis pada
umumnya tidak sulit untuk menjadi hamil kembali, tetapi kehamilannya berakhir
dengan keguguran/abortus secara berturut-turut. Abortus habitualis disebabkan
oleh adanya kelainan yang menetap yang paling mungkin adalah kelainan genetik,
kelainan anatomis saluran reproduksi, kelainan hormonal, infeksi, kelainan
faktor imunologis atau penyakit sistemik.
j.
Abortus Infeksius, Abortus Septik
Abortus Infeksius ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia.
Abortus septik ialah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran
darah tubuh atau peritoneum (septikemia atau peritonitis). Kejadian ini
merupakan salah satu komplikasi tindakan abortus yang paling sering terjadi
apalagi bila dilakukan kurang memperhatikan asepsis dan antisepsis.
k. Kehamilan
Anembrionik (Blighted Ovum) Kehamilan anembrionik merupakan kehamilan patologi
dimana mudigah tidak terbentuk sejak awal walaupun kantong gestasi tetap
terbentuk. Di samping mudigah, kantong kuning telur juga tidak ikut terbentuk.
Kelainan ini merupakan suatu kelainan kehamilan yang baru terdeteksi setelah
berkembangnya ultrasonografi.
4.
Etiologi
a.
Faktor Janin Kelainan yang paling
sering dijumpai pada abortus adalah gangguan pertumbuhan zigot, embrio, janin
atau plasenta. Kelainan tersebut biasanya menyebabkan abortus pada trimester
pertama, yakni: Kelainan telur, telur kosong (blighted ovum), kerusakan embrio,
atau kelainan kromosom (monosomi, trisomi, atau poliploidi); Embrio dengan
kelainan local ; Abnormalitas pembentukan plasenta (hipoplasi trofoblas).
b.
Faktor maternal Infeksi maternal dapat
membawa risiko bagi janin yang sedang berkembang, terutama pada akhir trimester
pertama atau awal trimester kedua. Tidak diketahui penyebab kematian janin
secara pasti, apakah janin yang terinfeksi atau toksin yang dihasilkan oleh
mikroorganisme penyebabnya. Penyakit- penyakit yang dapat menyebabkan abortus
adalah: Virus, misalnya rubella, sitomegalovirus, virus herpes simpleks,
varicella zoster, vaccinia, campak, hepatitis, polio, dan ensefalomielitis.
Bakteri, misalnya Klamidia trakomatis, Ureaplasma urelitikum, Bakterial
vaginosis, dan Salmonella typhi Parasit, misalnya Toxoplasma gondii,
Plasmodium Penyakit vaskular, misalnya
hipertensi vaskular. Kelainan endokrin Abortus spontan dapat terjadi bila
produksi progesterone tidak mencukupi atau pada penyakit disfungsi tiroid;
defisiensi insulin. Faktor imunologis Ketidakcocokan (inkompatibilias) system
HLA (Human Leukocyte Antigen). Kelainan uterus dan serviks Hipoplasia uterus, mioma (terutama mioma
submukosa), serviks inkompeten dan kelainan serviks
c.
Faktor psikosomatik.
5.
Diagnosis
Pada
pemeriksaan fisik, abdomen perlu diperiksa untuk menentukan lokasi nyeri.
dengan pemeriksaan inspekulo dan pemeriksaan vaginal toucher kemudian tentukan perdarahan
berasal dari dinding vagina, permukaan serviks atau keluar melalui ostium uteri
eksterna. Pada pemeriksaan dalam, bila nyeri pada pergerakan serviks (+),
kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik perlu dipertimbangkan. Jika ditemukan
ostium uteri interna telah membuka, kemungkinan yang terjadi adalah abortus
insipiens, inkomplit maupun abortus komplit. Pemeriksaan pada uterus juga perlu
dilakukan, tentukan besar, konsistensi uterus serta pada adneksa, adakah nyeri
tekan atau massa. Bila didapatkan adanya sekret vagina abdominal, sebaiknya
dibuat pemeriksaan biologisnya. Pada kasus abortus, selain menghentikan
perdarahannya, perlu dicari penyebab terjadinya abortus dan menentukan sikap
dalam penanganannya selanjutnya.
Pemeriksaan penunjang yang dapat kita lakukan antara lain : - HCG, pemeriksaan
kadar Hb dan Ht, pemeriksaan golongan darah dan skrining antibody, pemeriksaan
kadar progesteron serum.
6.
Penanganan
a.
Abortus imminens
·
Istirahat baring agar aliran darah ke
uterus bertambah dan rangsang mekanik berkurang.
·
Progesteron 10 mg sehari untuk terapi
substitusi dan untuk mengurangi kerentanan otot-otot rahim.
·
Tes kehamilan dapat dilakukan. Bila
hasil negatif, mungkin janin sudah mati.
·
Pemeriksaan USG untuk menentukan apakah
janin masih hidup.
·
Berikan obat penenang, biasanya
fenobarbital 3 x 30 mg.
·
Pasien tidak boleh berhubungan seksual
dulu sampai lebih kurang 2 minggu.
b.
Abortus insipiens
·
Bila ada tanda-tanda syok maka atasi
dulu dengan pemberian cairan dan transfusi darah.
·
Pada kehamilan kurang dari 12 minggu,
yang biasanya disertai perdarahan, tangani dengan pengosongan uterus memakai
kuret vakum atau cunam abortus, disusul dengan kerokan memakai kuret tajam.
Suntikkan ergometrin 0,5 mg intramuskular.
·
Pada kehamilan lebih dari 12 minggu,
berikan infus oksitosin 10 IU dalam dekstrose 5% 500 ml dimulai 8 tetes per
menit dan naikkan sesuai kontraksi uterus sampai terjadi abortus komplet.
·
Bila janin sudah keluar, tetapi
plasenta masih tertinggal, lakukan pengeluaran plasenta secara digital yang dapat
disusul dengan kerokan.
·
Memberi antibiotik sebagai profilaksis.
c.
Abortus inkomplet
·
Bila disertai syok karena perdarahan,
berikan infus cairan NaCl fisiologis atau ringer laktat yang disusul dengan
ditransfusi darah.
·
Setelah syok diatasi, lakukan kerokan
dengan kuret lalu suntikkan ergometrin 0,2 mg intramuskular untuk
mempertahankan kontraksi otot uterus.
·
Berikan antibiotik untuk rnencegah
infeksi.
d.
Abortus komplet
·
Bila pasien anemia, berikan hematinik
seperti sulfas ferosus atau transfusi darah.
·
Berikan antibiotik untuk mencegah
infeksi.
·
Anjurkan pasien diet tinggi protein,
vitamin. dan mineral.
B. Molahidatidosa
1.
Pengertian
molahidatidosa
Molahidatidosa
adalah suatu kehamilan di mana hasil konsepsi tidak berkembang menjadi
embrio, tetapi terjadi proliferasi dari villi koriales disertai dengan
degenerasi hidropik (Fadlun , 2013).
2.
Etiologi
a.
Umur
Molahidatidosa banyak ditemukan
pada wanita hamil yang berusia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun.
b.
Genetik
Wanita dengan balanced tranlocation
merupakan risiko paling tinggi.
c.
Gizi
Molahidatidosa banyak ditemukan
pada mereka yang kekurangan protein,β-carotene, dan vitamin A.
d.
Penggunaan kontrasepsi
oral.
Penggunaan kontrasepsi oral dalam
jangka waktu lama dapat meningkatkan resiko terjadinya kehamilan mola
hidatidosa.
e.
Paritas tinggi
Ibu dengan paritas tinggi, memiliki
kemungkinan terjadinya abnormalitas pada kehamilan berikutnya, sehingga ada
kemungkinan kehamilan berkembang menjadi mola hidatidosa.
f.
Keadaan sosial-ekonomi
yang rendah
Keadaan sosial ekonomi akan
mempengaruhi terhadap pemenuhan gizi ibu yang pada akhirnya akan mempengaruhi
pembentukan ovum abnormal yang mengarah pada pembentukkan mola hidatidosa
(Norwitz, 2012).
3. Patofisiologi
Uterus
adalah organ yang tebal, berotot, berbentuk buah pear, terletak dalam rongga
panggul kecil diantara kandung kemih dan anus,ototnya disebut miometrium dan
selaput lendir yang melapisi bagian dalamnya disebut endometrium. Peritonium
menutupi sebagaian besar permukaan luar uterus, letak uterus sedikit anteflexi pada
bagian lehernya dan anteversi (meliuk agak memutar ke depan) dengan fundusnya
terletak diatas kandung kencing. Bagian bawah bersambung dengan vagina dan
bagian atasnya tube uterin masuk ke dalamnya. Ligamentum latum uteri dibentuk
oleh dua lapisan pertoneum, di setiap sisi uterus terdapat ovarium dan tuba
uterina. Panjang 5-8 cm dengan berat 60-80 gram. Uterus terbagi atas 3 bagian
yaitu Fundus : bagian lambung di atas muara uterine, Badan uterus : melebar
dari fundus ke serviks, terletak antara badan dan serviks.
Untuk
menahan ovum yang telah dibuahi selama perkembangan sebutir ovum, sesudah
keluar dari overium diantarkan melalui tuba uterin ke uterus (pembuahan ovum
secara normal terjadi dalam tuba uterin) sewaktu hamil yang secara normal
berlangsung selama 40 minggu,uterus bertambah besar, tapi dindingnya menjadi
lebih tipis tetapi lebih kuat dan
membesar sampai keluar pelvis, masuk ke dalam rongga abdomen pada masa fetus. Pada
umumnya setiap kehamilan berakhir dengan lahirkan bayi yang sempurna. Tetapi
dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Sering kali perkembangankehamilan
mendapat gangguan. Demikian pula dengan penyakit trofoblast, pada hakekatnya
merupakan kegagalan reproduksi. Di sini kehamilan tidak berkembang menjadi
janin yang sempurna, melainkan berkembang menjadi keadaan patologik yang
terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan, berupa degenerasi hidrifik dari
jonjot karion, sehingga menyerupai gelembung yang disebut “Molahidatidosa”.Pada
umumnya penderita “Molahidatidosa akan menjadi baik kembali,tetapi ada
diantaranya yang kemudian mengalami degenerasi keganasan yang berupa karsinoma.
4. Klasifikasi
Mola hidatidosa
dapat terbagi menjadi 2 jenis yaitu :
1. Molahidatidosa
komplet (Klasik), yaitu penyimpanan pertumbuhan perkembangan kehamilan yang
tidak disertai janin dan seluruh vili
korialis mengalami perubahan hidropik.
2. Molahidatidosa
inkomplet (Parsial), yaitu sebagian pertumbuhan dan perkembangan vili korialis
berjalan dengan normal sehingga janin dapat tumbuh dan berkembangbahkan sampai aterm
(Nugroho,2013).
5. Gambaran
klinik
a. Amenorea
dan tanda-tanda kehamilan Perdarahan pervaginam berulang.
b. Darah
cenderung berwarna coklat. Pada keadaan lanjut kadang keluar gelembung mola.
c. Mual
dan muntah lebih sering terjadi dan durasinya lebih lama.
d. Pembesaran
uterus lebih besar dari usia kehamilan.
e. Tidak
terabanya bagian janin pada palpasi dan tidak terdengarnya DJJ sekalipun uterus
sudah membesar setinggi pusat atau lebih.
f. Preeklampsia
atau eklampsia yang terjadi sebelum kehamilan 24 minggu.
g. Sesak
nafas
h. Tidak
ada aktivitas janin
i.
Kadar hormon korionik
gonadotropin (HCG) tinggi dalam darah dan air kencing ibu (Sukarni, 2013).
6. Diagnosis
Gejala hamil muda yang sangat
menonjol.
a. Emesis
gravidarum/hiperemesis gravidarum.
b. Terdapat
komplikasi. Tirotoksikosis (2-5%), Hipertensi/preeklamsia, Anemia akibat
perdarahan, pemeriksaan palpasi
c. Uterus
Lebih besar dari usia kehamilan (50%-60%), Besarnya sama dengan usia kehamilan
(20–25 %), Lebih kecil dari pada usia kehamilan (5-10% ), Palpasi lunak
seluruhnya, Tidak ada teraba janin. Terdapat bentuk asimetris. Bagian menonjol agak padat.
d. Pemeriksaan
USG
Sudah
dipastikan mola hidatidosa tampak seperti tv
rusak, Tidak terdapat janin, Akan ada kelihatan bayangan badai salju,
Tampak sebagaian plasenta normal dan kemungkinan dapat tampak janin, Genitalia
eksternal : pemeriksaan genetalia
eksternal dilakukan inspekulo menggunakan speculum terlihat adanya pengeluaran
darah pervaginam dan terlihat gelembung-gelembung mola seperti buah anggur
(Esti,2013)
7. Prognosis
Risiko kematian/kesakitan pada penderita
molahidatidosa meningkat karena perdarahan, Perforasi uterus, pre-eklamsia
berat atau infeksi. Akan tetapi,kematian karena mola hidatidosa sudah jarang
sekali. Sebagaian besar penderita mola hidatidosa akan kembali pada saat
kuretase. Bila hamil lagi, umumnya berjalan normal. Mola hidatidosa berulang
dapat terjadi, tetapi jarang. Walaupun demikian 15-20 % dari penderita pasca
mola hidatidosa dapat mengalami degenerasi keganasan menjadi tumor trofoblast
gestasional, baik berupa mola insatif, koriokarsinoma,maupun placental site
trophoblast, keganasan ini biasanya terjadi pada satu tahun pertama setelah
terjadi mola yang terbanyak adalah enam bulan pertama. Molahidatidosa parsial
lebih jarang terjadi keganasan (Sastrawinata, 2012).
8. Penanganan
a. Menentukan
diagnosa dini
b. Melakukan
pemeriksaan USG, jika fasilitas
pemeriksaan USG terbatas maka dapat dilakukan :
·
Evaluasi klinik
·
Riwayat haid terakhir
dan kehamilan
·
Perdarahan tidak
teratur atau spotting
·
Pembesaran abnormal
uterus
·
Perlunakan serviks dan
korpus uterus,Kajian uji kehamilan dengan pengeceran urin, Pastikan tidak ada
janin (Ballotement) atau denyut jantung janin
c. Lakukan
pengosongan jaringan mola dengan segera
d. Antisipasi
Komplikasi (perdarahan hebat dan perforasi uterus)
e. Lakukan
pengamatan lanjut hingga minimal 1tahun pasca evakuasi)
9. Penanganan
khusus
a. Segera
lakukan evakuasi jaringan mola dan semestara proses evakuasi berlangsung,
berikan infus 10 IU oksitosia dalam 500 ml NS atau RL dengan kecepatan 40-60
tetes/menit (sebagai tindakan preventif terhadap perdarahan hebat dan
efektifitas kontraksi terhadap pengosongan uterus secara cepat )
b. Pengosongan
dengan Aspirasi Vakum lebih amam dari Kuretase tajam, Bila sumber vakum adalah
tabung manual, siapkan peralatan AVM minimal 3 set agar dapat digunakan secara
bergantian hingga pengosongan kavum uteri selesai.
c. Kenali
dan tangani komplikasi penyerta seperti tiritoksikosis atau krisis tiroid baik
sebelum, selama dan setelah prosedur evakuasi.
d. Anemia
sedang cukup diberikan sulfas ferosus 600 mg/hari, untuk anemia berat lakukan
transfusi.
e. Kadar
Hcg diatas 100.000 IU/L praevakuasi dianggap sebagai risiko tinggi untuk
perubahan ke arah ganas, pertimbangan untuk memberikan methatrexale (MTX) 35
mg/kg BB atau 25 mg IM dosis tunggal.
f. Lakukan
pemantauan kadar hCG hingga minimal 1 tahun pascaevakuasi. Kadar yang menetap
atau meninggi setelah 8 minggu pascaevakuasi menunjukkan masih terdapat
trofoblas aktif (di luar uterus atau invasif ) : berikan kemoterapi MTX dan
pantau β-hCG serta besar uterus secara klinik dan USG tiap 2 minggu.
g. Selama
pemantauan, pasien dianjurkan untuk menggunakan kontrasepsi hormonal (apabila
masih ingin anak) atau tubektomi apabila ingin menghentikan fertilitas.
C. Blighted
ovum
1. Pengertian
Blighted ovum merupakan
kehamilan tanpa janin (anembrionik pregnancy) jadi hanya ada kantong gestasi
atau kantong kehamilan dan air ketuban saja. Kehamilan anembrionik mengacu pada
kehamilan yang dimana kantong kehamilan berkembang didalam rahim namun kantong
kosong dan tidak mengandung embrio. Penjelasan yang paling mungkin adalah bahwa
embrio berhenti berkembang pada tahap yang sangat awal dan itu kehambali
diserap (Sukarni dan Margareth, 2013).
Blighted ovum juga dikenal sebagai kehamilan
tanpa embrio.Pada saat terjadi pembuahan, sel-sel tetap membentuk kantung
ketuban, plasenta, namun telur yang telah dibuahi (konsepsi) tidak berkembang
menjadi sebuah embrio. Pada kondisi blighted ovum kantung kehamilan akan terus
berkembang, layaknya kehamilan biasa, namun sel telur yang telah dibuahi gagal
untuk berkembang secara sempurna. Maka pada ibu hamil yang mengalami blighted
ovum, akan merasakan bahwa kehamilan yang dijalaninya biasa-biasa saja, seperti
tidak terjadi sesuatu, karena memang kantung kehamilan berkembang seperti biasa
(Fransisca, 2014).
2. Etiologi Blighted ovum
terjadi saat awal kehamilan. Penyebab
dari blighted ovum saat ini belum diketahui secara pasti, namun diduga karena
beberapa faktor. Faktor-faktor blighted ovum adalah sebagai berikut (Dwi W,
2013).
a.
Adanya kelainan kromosom
dalam pertumbuhan sel sperma dan sel telur.
b.
Meskipun prosentasenya
tidak terlalu besar, infeksi rubella, infeksi TORCH, kelainan imunologi, dan
diabetes melitus yang tidak terkontrol.
c.
Faktor usia dan
paritas. Semakin tua usia istri atau suami dan semakin banyak jumlah anak yang
dimiliki juga dapat memperbesar peluang terjadinya kehamilan kosong.
d.
Kelainan genetik
e.
Kebiasaan merokok dan
alkohol.
3. Patosisiologi
Pada saat pembuahan,
sel telur yang matang dan siap dibuahi bertemu sperma. Namun dengan berbagai
penyebab (diantaranya kualitas telur/sperma yang buruk atau terdapat infeksi
TORCH, maka unsur janin tidak berekembang sama sekali. Hasil konsepsi ini akan
tetap tertanam didalam rahim lalu rahim yang berisi hasil konsepsi tersebut
akan mengirimkan sinyal pada indung telur dan otak sebagai pemberitahuan bahwa
sudah terdapat hasil konsepsi di dalam rahim. Hormon yang dikirimkan oleh hasil
konsepsi tersebut akan menimbulkan gejala - gejala kehamilan seperti mual,
muntah, dan lainnya seperti hal umumnya yang dialami ibu hamil ( Sukarni dan
Margareth, 2013).
Untuk blighted ovum
pada kehamilan awal kehamilan berjalan baik dan normal tanpa ada tanda - tanda
kelaina. Kantung kehamilan terlihat jelas,
tes kehamilan urine positif. blighted ovum terdeteksi saat ibu melakukan
USG pada usia kehamilan memasuki 7-8 minggu (Sukarni, 2014).
4. Diagnosis
Blighted Ovum
Ada kemungkinan bagi seseorang yang
mengalami blighted ovum pada tahap awal kehamilan merasa bahwa dirinya sedang
mengalami kehamilan secara normal. Hal ini dikarenakan blighted ovum memiliki
gejala yang sama dengan kehamilan, seperti haid yang terlambat disertai hasil
tes kehamilan yang positif. Pasien dapat terus merasa dalam keadaan hamil
hingga terjadi pendarahan dari vagina. Waspadai gejala selain pendarahan yang
dapat menjadi tandatanda keguguran, yaitu volume menstruasi yang lebih banyak
dari biasanya, kram pada daerah perut serta munculnya flek. Dokter biasanya
akan mencari tahu level hormon hCG (human chorionic gonadotropin) utnuk memastikan
adanya kehamilan. Hormon ini dihasilkan oleh plasenta dan levelnya dapat terus
bertambah hingga beberapa waktu. Dokter juga akan melakukan tes USG untuk
memastikan kantong kehamilan yang telah terbentuk, berisi embrio atau tidak.
Biasanya dokter akan melakukan USG kembali sepuluh hari setelah tes USG pertama
untuk memantau perkembangan embrio dan kondisi kehamilan. Untuk memastikan
diagnosis blighted ovum, kantong kehamilan dan embrio harus memenuhi beberapa
kriteria ukuran, yaitu diameter 25 mm atau lebih untuk kantong kehamilan dan
tidak memiliki kantung yolk sac (ovum) atau embrio. Gambaran lainnya adalah
ketika embrio memiliki panjang lebih dari 15 mm namun tidak memiliki aktivitas
jantung yang sehat. Ditegakkan saat usia kehamilan 7 - 8 minggu bila pada
pemeriksaan USG didapatkan kantong gestasi tidak berkembang atau pada diameter
2,5 cm yang tidak disertai gambaran mudigah maka evaluasi 2 minggu kemudian
tapi bila tidak dijumpai struktur mudigah atau kantong kuning telur dan
diameter gestasi sudah mencapai 25 mm, maka dinyatakan sebagai kehamilan
anembrionik atau blighted ovum.
5. Penanganan
blighted ovum
Untuk penanganan
kehamilan pada blighted ovum tidak ada jalan lain kecuali mengeluarkan hasil
konsepsi dari dalam rahim. Caranya bisa dilakukan dengan kuretase atau dengan
menggunakan obat. Tetapi kuretase dianggap memiliki kelebihan karena dapat
mencegah terjadinya infeksi dan juga pemeriksaan kromosom (Fadillah, 2013).
Salah satu prosedur penanganan yang dilakukan setelah seseorang didiagnosis blighted
ovum adalah dengan membuka kemudian mengangkat embrio dan jaringan plasenta
yang tidak berkembang dari dalam rahim. Prosedur ini dinamakan dilatase dan
kuretase.Selain itu, obat-obatan dapat digunakan sebagai pilihan selain
prosedur operasi. Kedua cara tersebut memiliki efek samping kram perut. Pasien
yang mengalami blighted ovum perlu mempelajari dan mengetahui bahwa dia
bukanlah penyebab dari keguguran yang dialaminya. Dirinya sendiri harus
menyadari bahwa keguguran adalah proses alami yang tidak bisa dicegah ketika
tubuh mendeteksi ketidaknormalan pada proses kehamilan. Dengan memahami hal
ini, kesehatan tubuh dan jiwa pasien dapat kembali pulih dengan cepat.
D. Kehamilan
Ektopik
1. Pengertian
Kehamilan ektopik
suatu keadaan dimana
hasil konsepsi berimplantasi, tumbuh dan berkembang di luar endometrium kavum
uteri.Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat impantasi/ nidasi/
melekatnya buah kehamilan di luar tempat yang normal, yakni di luar rongga
rahim.Sedangkan kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan ektopik yang
mengalami abortus rupture pada dinding tuba. Kehamilan ektopik dapat terjadi di
luarrahim misalnya dalam tuba, ovarium atau rongga perut, tetapi dapat juga
terjadi di dalam rahim di tempat yang luar biasa misalnya dalam servik, pars
intertistialis atau dalam tanduk rudimeter rahim.
2. Etiologi
Kehamilan ektopik terjadi karena
hambatan pada perjalanan sel telur dari indung telur (ovarium) ke rahim
(uterus). Dari beberapa studi faktor risiko yang diperkirakan sebagai
penyebabnya adalah:
a. Infeksi
saluran telur (salpingitis), dapat menimbulkan gangguan pada motilitas saluran
telur.
b. Riwayat
operasi tuba.
c. Cacat
bawaan pada tuba, seperti tuba sangat panjang. d) Kehamilan ektopik sebelumya.
d. Aborsi
tuba dan pemakaian IUD.
e. Kelainan
zigot yaitu kelainan kromosom.
f. Bekas
radang pada tuba menyebabkan perubahan-perubahan pada endosalping, sehingga
walaupun fertilisasi dapat terjadi, gerakan ovum ke uterus terlambat.
g. Operasi
plastik pada tuba.
h. Abortus
buatan
3. Klasifikasi
Klasifikasi kehamilan ektopik
berdasarkan tempat terjadinya implantasi darikehamilan ektopik, dapat dibedakan
menurut :
1.
Kehamilan tuba
merupakan kehamilan ektopik pada setiap bagian tuba fallopi. Merupakan bagian
jenis terbanyak gestasi ekstra uterin yang paling sering terjadi sekitar 95%
dari kehamilan ektopik.11,19 Kehamilan tuba akan menghasilkan salah satu dari
ketiga hal ini : Kematian ovum dalam stadium dini , ovum ini kemudian bisa di
absorpsi seluruhnya atau tetap tinggal sebagai mola tuba, Abortus tuba, yaitu hasil akhir yang paling
sering ditemukan, bersama-sama ovum (dan kemungkinan pula darah) akan
dikeluarkan dari tuba untuk masuk ke dalam uterus atau keluar ke dalam kavum
peritoneum, Ruptura tuba erosi dan akhirnya rupture tuba terjadi kalau ovum
terus tumbuh hingga melampaui kemampuan peregangan otot tuba.
2.
Kehamilan ovarial
merupakan kehamilan pada ovarium, perdarahan terjadi bukan saja disebabkan oleh
pecahnya kehamilan ovarium tetapi juga rupture tuba korpus luteum, torsi dan
endometriosis.11,19 Meskipun dayaakomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih
besar daripada daya akomodasi tuba, kehamilan ovarium umumnya mengalami ruptur
pada trimester awal.
3.
Kehamilan uterus
merupakan kehamilan pada uterus tidak pada tempat yang tepat, pada endometrium
kavum uteri sebab implantasi terjadi pada kanalis servikalis (gestasi pada
servikal uteri), diverticulum (gestasi pada invertikulum uteri), kurnua
(gestasi pada kornu uteri), tanduk rudimenter (gestasi pada tanduk rudimenter).
4.
Kehamilan servikal
adalah jenis dari kehamilan ektopik yang jarang terjadi.Nidasi terjadi dalam
selaput lendir serviks. Dengan tumbuhnya telur, serviks mengembang. Kehamilan
serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu sehingga umumnya hasil konsepsi
masih kecil.
5.
Kehamilan Abdominal
terbagi menjadi dua yaitu :
a. Primer,dimana
impantasi sesudah dibuahi langsung di peritoneum atau cavum abdominal.
b. Sekunder,
yaitu pembentukan zigot terjadi ditempat yang lain misalnya didalam saluran
telur atau ovarium yang selanjutnya berpindah ke dalam rongga abdomen oleh
karena terlepas dari tempat asalnya.
Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik
sekunder akibat rupture atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga
abdomen. Walaupun ada kalanya kehamilan abdominal mencapai umur cukup bulan,
hal ini jarang terjadi, yang lazim ialah bahwa janin mati sebelum tercapai
maturitas (bulan ke 5 atau ke 6) karena pengambilan makanan kurang sempurna.
6.
Kehamilan Heterotopik
adalah kehamilan intrauterin yang dapat terjadi dalam waktu berdekatan dengan
kehamilan ektopik. Kehamilan heterotopik dapat di bedakan atas :
a. Kehamilan
kombinasi (Combined Ectopik Pregnancy) yaitu kehamilan yang dapat berlangsung
dalam waktu yang sama dengan kehamilan intrauterin normal.
b. Kehamilan
ektopik rangkap (Compound Ectopic Pregnancy) yaitu terjadinya kehamilan
intrauterin setelah lebih dahulu terjadi kehamilan ektopik yang telah mati atau
pun ruptur dan kehamilan intrauterin yang terjadi kemudian berkembang seperti
biasa.
7.
Kehamilan interstisial
yaitu implantasi telur terjadi dalam pars interstitialis tuba. Kehamilan ini
juga disebut sebagai kehamilan kornual (kahamilan intrauterin, tetapi
implantasi plasentanya di daerah kornu, yang kaya akan pembuluh darah. Karena
lapisan miometrium di sini lebih tebal maka ruptur terjadi lebih lambat
kira-kira pada bulan ke 3 atau ke 4.
8.
Kehamilan
intraligamenter berasal dari kehamilan ektopik dalam tuba yang pecah (bagian
yang berada di antara kedua lapisan peritoneum visceral yang membentuk
ligamentum latum).
9.
Kehamilan tubouterina
merupakan kehamilan yang semula mengadakan implantasipada tuba pars
interstitialis, kemudian mengadakan ekstensi secara perlahan-lahanke dalam
kavum uteri.
10. Kehamilan
tuboabdominal berasal dari tuba, dimana zigot yang semula mengadakan implantasi
di sekitar bagian fimbriae tuba, secara berangsur mengadakan ekstensi ke kavum
peritoneal.
11. Kehamilan
tuboovarial digunakan bila kantung janin sebagian melekat pada tubadan sebagian
pada jaringan ovarium.
4. Patofisiologi
1. Pengaruh
faktor mekanik Faktor-faktor mekanis yang menyebabkan kehamilan ektopik antara
lain: riwayat operasi tuba, salpingitis, perlekatan tuba akibat operasi
nonginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap diethylstilbestrol,
salpingitis isthmica nodosum (penonjolan-penonjolan kecil ke dalam lumen tuba
yang menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Hal-hal
tersebut secara umum menyebabkan perlengketan intra- maupun ekstraluminal pada
tuba, sehingga menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor mekanik
lain adalah pernah menderita kehamilan ektopik, pernah mengalami operasi pada
saluran telur seperti rekanalisasi atau tubektomi parsial, induksi abortus
berulang, tumor yang mengganggu keutuhan saluran telur.
2. Pengaruh
faktor fungsional Faktor fungsional
yaitu perubahan motilitas tuba yang berhubungan dengan faktor hormonal. Dalam
hal ini gerakan peristalsis tuba menjadi lamban, sehingga implantasi zigot
terjadi sebelum zigot mencapai kavum uteri. Gangguan motilitas tuba dapat
disebabkan oleh perobahan keseimbangan kadar estrogen dan progesteron serum.
Dalam hal ini terjadi perubahan jumlah dan afinitas reseptor adrenergik yang
terdapat dalam uterus dan otot polos dari saluran telur.
3. Kegagalan
kontrasepsi Alat kontrasepsi dalam rahim selama ini dianggap sebagai penyebab
kehamilan ektopik. Namun ternyata hanya AKDR yang mengandung progesteron yang
meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik. AKDR tanpa progesteron tidak
meningkatkan risiko kehamilan ektopik, tetapi bila terjadi kehamilan pada wanita
yang menggunakan AKDR, besar kemungkinan kehamilan tersebut adalah kehamilan
ektopik.
4. Peningkatan
afinitas mukosa tuba Dalam hal ini terdapat elemen endometrium ektopik yang
berdaya meningkatkan implantasi pada tuba.
5. Pengaruh
proses bayi tabung Beberapa kejadian kehamilan ektopik dilaporkan terjadi pada
proses kehamilan yang terjadi dengan bantuan teknik-teknik reproduksi (assisted
reproduction). Kehamilan tuba dilaporkan terjadi pada GIFT (gamete
intrafallopian transfer), IVF (in vitro fertilization), ovum transfer, dan
induksi ovulasi. Induksi ovulasi dengan human pituitary hormone dan hCG dapat
menyebabkan kehamilan ektopik bila pada waktu ovulasi terjadi peningkatan
pengeluaran estrogen urin melebihi 200 mg sehari.
6. Diagnosis
1. Anamesis
Pada anamneses, terdapat trias KET yaitu
amenorea yang disertai tanda hamil muda, nyeri perut, bahu, tenesmus dan
perdarahan pervaginam.
2. Pemeriksaan
Fisik
Pada pemeriksaan dijumpai penderita
tampak kesakitan, pucat, anemis, gelisah, gejala penimbunan darah dalam kavum
abdomen, perdarahan dalam rongga perut dapat ditemukan tanda-tanda syok, gejala
gangguan kardiovaskuler, dan gejala perubahan sistem pernafasan. Pada
pemeriksaan dalam/ ginekologi terasa nyeri tekan dan nyeri goyang pada serviks,
forniks posterior menonjol dan nyeri, uterus dapat teraba agak membesar,
terdapat tumor dengan batas tidak jelas disekitar uterus, dan kavum douglas
menonjol, berisi darah dan nyeri bila ditekan.
3. Pemeriksaan
Laboratorium
a.
Hemoglobin, Hematokrit,
dan Hitung Leukosit Setelah perdarahan, volume darah yang berkurang
dikembalikan kearah normal oleh hemodilusi yang berlangsung dalam satu atau
beberapa hari. Oleh karena itu, pemeriksaan hemoglobin atau hematokrit pada
awalnya mungkin hanya memperlihatkan sedikit penurunan. Pada kehamilan ektopik
terganggu, derajat leukositosis sangat bervariasi. Pada sekitar separuh wanita,
dapat ditemukan leukositosis hingga 30.000/μL.
b.
Pemeriksaan Urine untuk
Kehamilan Pemeriksaan urine yang tersering digunakan adalah pemeriksaan
latexagglutination inhibition (hambatan penggumpalan lateks) menggunakan
slidedengan sensitivitas untuk gonadotropin korion (hCG) dalam kisaran 500
hingga 800 mIU/mL. pada kehamilan ektopik, kemungkinan positif hanyalah 50
hingga 60 persen. Jika digunakan tabung, deteksi hCG adalah dalam kisaran 150
hingga 250 mIU/mL, dan uji ini positif pada 80 hingga 85 persen kehamilan
ektopik. Uji yang menggunakan enyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
sensitive hingga 10 sampai 50 mIU/mL dan positif pada 95 persen kehamilan
ektopik.
c.
Pemeriksaan β-hCG Serum
Radioimmunoassay, dengan sensitivitas 5 sampai 10 mIU/mL merupakan metode
paling tepat untuk mendeteksi kehamilan. Karena satu kali hasil pemeriksaan
serum yang positif tidak menyingkirkan kehamilan ektopik maka dirancanglah
beberapa metode yang menggunakan nilai serum kuantitatif serial untuk
menegakkan diagnosis. Metode ini sering digunakan bersama dengan sonografi.
d.
Progesteron Serum Satu
kali pengukuran progesteron sering dapat digunakan untuk memastikan kehamilan
yang berkembang normal. Nilai yang melebihi 25 ng/mL menyingkirkan kemungkinan
kehamilan ektopik dengan sensitivitas 97,5 persen. Nilai yang kurang dari
5ng/mL mengisyaratkan bahwa mudigah-janin telah meninggal, tetapi tidak
menunjukkan lokasinya. Kadar progesterone antara 5 dan 25 ng/mL bersifat
inkonklusif.
4. Pencitraan
Ultrasound
a. Sonografi
Abdomen Kehamilan di tuba falopi sulit diidentifikasi dengan sonografi abdomen.
Tidak adanya kehamilan di uterus secara sonografis, uji kehamilan yang positif,
adanya cairan di cul-de-sac, dan adanya massa abnormal di panggul, menunjukkan
kehamilan ektopik. Sayangnya ultrasound mungkin memberi gambaran kehamilan
intrauterus pada sebagian kasus kehamilan ektopik saat bekuan darah atau
silinder desidua memberi gambaran seperti suatu kantong intrauterus kecil. Hal
yang utama, suatu kehamilan intrauterus biasanya tidak terdeteksi dengan
ultrasound abdomen hingga 5 atau 6 minggu haid atau konsentrasi β-hCG serum
lebih dari 6000 mIU / mL.
b. Sonografi
Vagina Sonografi dengan transduser vagina dapat mendeteksi kehamilan uterus
paling awal 1 minggu setelah terlambat haid jika kadar β-hCG serum lebih dari
1500 mIU / mL . Uterus yang kosong dengan konsentrasi β-hCG serum 1500 mIU / mL
atau lebih sangat akurat untuk mengidentifikasi kehamilan ektopik. Identifikasi
kantong gestasi dengan ukuran 1 hingga 3 mm atau lebih, yang terletak eksentrik
di uterus, dan dikelilingi oleh reaksi desidua-korion mengisyaratkan kehamilan
intrauterus.
c. Ultrasound
Doppler Warna dan Berpulsa Pada teknik ini dilakukan identifikasi atas letak
warna vascular intra- atau ekstrauterus dalam bentuk khas yang disebut pola
ring-of-fire dan pola aliran kecepatan-tinggi impendansi-rendah yang sesuai
dengan perfusi plasenta. Jika pola ini terlihat di luar rongga uterus maka ditegakkan
diagnosis kehamilan ektopik.
5. Prognosis
Pada umumnya kelainan
yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat bilateral. Sebagian wanita menjadi
steril, setelah mengalami kehamilan ektopik, atau dapat mengalami kehamilan
ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang berulang
dilaporkan 0% sampai 14,6 %. Untuk wanita dengan anak yang sudah cukup,
sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomia bilateralis. Dengan sendirinya
hal ini perlu disetujui oleh suami-isteri sebelumnya.
6. Penanganan
1. Operasi
laparoskopi
adalah cara yang dilakukan untuk mengangkat
embrio dan memperbaiki kerusakan akibat perdarahan pada kondisi kehamilan
ektopik. Operasi ini dilakukan dengan membuat sayatan kecil dibuat di perut.
Letak sayatannya di dekat pusar. Selanjutnya, dokter kandungan akan menggunakan
tabung tipis yang dilengkapi dengan lensa kamera dan cahaya untuk melihat
kondisi tuba fallopi.Untuk mengatasi kehamilan ektopik, bagian tuba fallopi
yang rusak akan diangkat (salpingektomi) dan diperbaiki (salpingostomi). Setelah
melakukan operasi ini, Anda diharuskan beristirahat total selama 1 sampai 2
hari.
2. Operasi
darurat
Jika kehamilan ektopik menyebabkan perdarahan
hebat, Anda mungkin perlu operasi darurat yang dilakukan dengan cara menyayat
sayatan perut (laparotomi). Dalam beberapa kasus, kerusakan pada tuba falopi
dapat diperbaiki. Jika tuba dan indung telur rusak parah, Anda mungkin
memerlukan operasi pengangkatan (salpingektomi).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kehamilan
merupakan suatu proses fertilisasi atau bertemunya
spermatozoa dan ovum, lalu tertanam
di dalam lapisan rahim, kemudian menjadi janin, Perdarahan hamil muda adalah
pada saat perdarahan yang melalui jalan lahir yang terjadi sebelum umur
kehamilan 16 – 28 minggu
(menurut beberapa buku sumber yang
berbeda yaitu minimal 16 minggu
dan maksimal 28 minggu). Perdarahan
uterus merupakan tanda yang paling utama dan dapat beragam mulai dari bercak
darah sampai perdarahan yang profus. Perdarahan dapat terjadi saat sebelum abortus,
atau yang lebih sering,terjadi secara intermitten berminggu-minggu atau
berbulan-bulan
B. Saran
1. Bagi
penulis
selanjutnya, dibutuhkan waktu serta kesabaran serta keahlian dalam memberikan asuhan yang berkesinambungan.
2. Bagi
calon ibu
hendaknya mempersiapkan gizi pranatal yang baik
sehingga dapat terhindar dari anemia. Bagi ibu hamil hendaknya memeriksakan
kehamilan secara teratur di fasilitas pelayanan kesehatan untuk meminimalisir
faktor risiko yang dimiliki sehingga ibu dan bayi sehat.
3. Bagi
bidan
sebaiknya melibatkan keluarga dalam
memberikan asuhan kebidanan berkesinambungan.
DAFTAR
PUSTAKA
Fadlun, dan Ahmad feryanto, 2013. Asuhan Kebidanan
Patologis. Cetakan I. Salemba
Medika, Jakarta, Halaman 47.
Icesmi Sukarni, 2013 . Kehamilan
Persalinan dan Nifas. Cetakan I. Nuha Medika, Jakarta, Halaman 178-183.
Margareth ZH, 2013 Kehamilan
Persalinan dan Nifas. Cetakan I. Nuha medika, Jakarta.
Nugroho, 2013 Kasus mergency
Kebidanan untuk Kebidanan dan Keperawatan. Cetakan I. Nuha Medika. Halaman
107-115.
Nugraheny Esti, 2013 Asuhan
Kebidanan Patologi. Yogyakarta : Cetakan I. Pustaka Rihama, Halaman 60-65.
Norwitz E.R, 2012 Obstretics dan
Gynaecology at a Glance. Cetakan I. Wiley Blackwell, Jakarta. Halaman
95-104.
Prawirohardjo, 2012. Ilmu Kebidanan.
Penerbit Bina Pustaka, Jakarta : EGC.
No comments:
Post a Comment