SUMBER
AJARAN AGAMA ISLAM
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati penulis memanjatkan puji
syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan Tugas Makalah ini yang berjudul “SUMBER AJARAN AGAMA
ISLAM”.
Mungkin dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan
baik itu dari segi penulisan, isi dan lain sebagainya, maka penulis sangat
mengharapokan kritikan dan saran guna perbaikan untuk pembuatan makalah untuk
hari yang akan datang.
Demikianlah sebagai pengantar kata, dengan iringan serta harapan
semoga tulisan sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca. Atas
semua ini penulis mengucapkan ribuan terima kasih yang tidak terhingga, semoga
segala bantuan dari semua pihak mudah – mudahan mendapat amal baik yang
diberikan oleh Allah SWT.
Banda Aceh, April 2011
Penulis,
FITRI
AGUSTINA ADNAN
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR......................................................................... 1
DAFTAR ISI......................................................................................... 2
SUMBER AJARAN AGAMA ISLAM.............................................. 3
A. Hukum Taklify................................................................................. 3
1. Fardhu (Wajib).............................................................................. 4
2. Sunnah (Mandup).......................................................................... 4
3. Haram............................................................................................ 5
4. Makruh.......................................................................................... 5
5. Mubah............................................................................................ 5
B. Hukum Wad’i................................................................................... 5
1. Sebab............................................................................................. 5
2. Syarat............................................................................................. 5
3. Mani’ (Penghalang)....................................................................... 5
KESIMPULAN..................................................................................... 12
SUMBER AJARAN AGAMA
ISLAM
Sebelum membahas pengertian sumber hukum Islam, terlebih dahulu kita
harus mengetahui pengertian hukum Islam. Hukum artinya menetapkan
sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Hukum Islam disebut juga syariat atau
hukum Allah SWT, yaitu hukum atau undang-undang yang ditentukan Allah SWT
sebagaimana terkandung dalam kitab suci Alquran dan hadis (sunah). Syariat
Islam juga merupakan hukum dan aturan Islam yang
mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik muslim maupun bukan muslim.
Menurut ulama usul fikih, hukum adalah tuntutan Allah SWT (Alquran dan
hadis) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang sudah balig dan
berakal sehat), baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu
sebagai syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah (kemudahan) atau azimah.
Sedangkan menurut ulama fikih, hukum adalah akibat yang
ditimbulkan oleh syariat (Alquran dan hadis) berupa al-wujub, al-mandub,
al-hurmah, al-karahah, dan al-ibahah. Perbuatan yang dituntut tersebut disebut
wajib, sunah (mandub), haram, makruh, dan mubah.
Ulama usul fikih membagi hukum Islam menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifiy
dan hukum wadh’iy, sebagai berikut :
- Hukum Taklify
Yang dimaksud dengan hukumtaklify adalah
tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan perintah untuk melakukan suatu
perbuatan atau meninggalkannya. Hukum
taklify tersebut dibagi menjadi lima macam, yaitu:
1.
Al ijab yaitu tuntutan secara pasti dari syariat untuk
dilaksanakan dan tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang
meninggalkannya dikenai hukuman.
2.
an nadab yaitu
tuntutan dari syariat untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu
tidak secara pasti. Jika tuntutan itu dikerjakan maka pelakunya akan mendapat
pahala (kebaikan), tetapi jika ditinggalkan tidak akan mendapat hukuman (tidak
berdosa).
3.
Al-ibahah yaitu
firman Allah (Alquran dan hadis) yang mengandung pilihan untuk melakukan
suatu perbuatan atau meninggalkannya.
4.
Al-karahah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu
diungkapkan melalui untaian kata yang tidak pasti. Hal itu menjadikan tuntutan
tersebut sebagai al-karahah, yakni anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan,
tetapi kalau perbuatan itu dikerjakan juga, maka pelakunya tidak dikenai
hukuman.
5.
At-tahrim, yaitu
tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti
sehingga tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan itu wajib dipenuhi. Jika
perbuatan itu dikerjakan maka pelakunya akan mendapat hukuman (dianggap
berdosa).
Sedangkan menurut ulama fikih perbuatan mukallaf (orang yang dibebani
hukum yaitu orang yang sudah balig dan berakal sehat) itu jika ditinjau dari
syariat (hukum Islam) dibagi menjadi menjadi lima macam, yaitu:
1. Fardhu (wajib), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya
mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan akan mendapat hukuman (dianggap
berdosa). Perbuatan wajib ditinjau dari segi orang yang melakukannya dibagi
menjadi dua, yaitu:
a.
Fardu ‘ain: perbuatan yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf,
seperti salat lima waktu.
b.
Fardu kifayyah: perbuatan yang harus dikerjakan oleh salah seorang
anggota masyarakat, maka anggota-anggota masyarakat lainnya tidak dikenai
kewajiban lagi. Namun, apabila perbuatan yang hukumnya fardu kifayyah itu,
tidak dikerjakan oleh seorang pun dari anggota masyarakat, maka seluruh anggota
masyarakat dianggap berdosa. Contohnya: memandikan, mengafani, mensalatkan dan
menguburkan jenazah seorang muslim, membangun mesjid dan rumah sakit.
2. Sunnah (mandub), yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan,
pelakunya akan mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan tidak mendapat
siksa. Perbuatan sunnah dibagi dua:
a. Sunnah ‘ain: perbuatan yang dianjurkan untuk
dikerjakan oleh setiap individu. Misalnya: salat sunnah rawatib.
b. Sunnah kifayyah: perbuatan yang dianjurkan untuk
dikerjakan oleh salah seorang (beberapa orang) dari golongan masyarakat.
Misalnya: mendoakan muslim/muslimah dan memberi salam.
3. Haram, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya dianggap berdosa
dan akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan
mendapat pahala. Misalnya: berzina, mencuri, membunuh.
4. Makruh, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya tidak akan mendapat
siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala.
Misalnya: meninggalkan salat Dhuha.]
5. Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan.
Misalnya: usaha-usaha yang halal melebihi kebutuhan pokoknya dan memilih warna
pakaian penutup auratnya.
B.
Hukum Wad’i
Adalah perintah Allah SWT, yang mengandung pengertian, bahwa terjadinya
sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu (hukum). Ulama usul fikih berpendapat bahwa hukum wad’iy itu terdiri dari 3 macam:
sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu (hukum). Ulama usul fikih berpendapat bahwa hukum wad’iy itu terdiri dari 3 macam:
1.
Sebab,
yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan oleh nas (Alquran dan
hadis), bahwa keberadaannya menjadi sebab tidak adanya hukum. Misalnya:
tergelincirnya matahri menjadi sebab wajibnya Salat Zuhur, terbenamnya matahari
menjadi sebab wajibnya Salat Magrib. Dengan demikian, jika matahari belum
tergelincir maka Salat Zuhur belum wajib dilakukan.
2.
Syarat,
yaitu sesuatu yang berada di luar hukum syarak, tetapi keberadaan hukum syarak
tergantung kepadanya. Jika syarat tidak ada, maka hukum pun tidak ada.
Misalnya: genap satu tahun (haul), adalah syarat wajibnya harta perniagaan.
Jika tidak ada haul, tidak ada kewajiban zakat harta perniagaan tersebut.
3.
Mani` (penghalang), yaitu sesuatu yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau
tidak adanya sebab bagi hukum. Misalnya: najis yang ada di badan atau pakaian
orang yang sedang mengerjakan salat menyebabkan salatnya tidak sah (menghalangi
sahnya salat).
Setelah kita mengetahui pengertian hukum atau syariat Islam, barulah
kita mengetahui pengertian sumber hukum Islam. Yang dimaksud sumber hukum
adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai
kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi
yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1). Dengan demikian, sumber hukum Islam
adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat Islam.
Pada umumnya ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum Islam
adalah Alquran dan Hadis. Dalam sabdanya Nabi SAW menyatakan, “Aku tinggalkan
bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama
kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah (Alquran) dan sunahku
(Hadis).” (H.R. Al Baihaki). Di samping itu pula, para ulama fikih
menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum Islam, setelah Alquran dan
hadis.
Seluruh hukum produk manusia adalah subyektif. Hal ini dikarenakan
minimnya ilmu yang diberikan Allah Swt. tentang kehidupan dunia dan
kecenderungan untuk menyimpang. Sedangkan hukum Allah Swt. adalah peraturan
yang lengkap dan sempurna serta sejalan dengan fitrah manusia.
Sumber ajaran Islam dirumuskan dengan jelas dalam percakapan Nabi
Muhammad dengan sahabat beliau Mu’az bin Jabal, yakni terdiri dari tiga sumber
yaitu al-Qur’an (kitabullah), as-Sunnah (kini dihimpun dalam hadis), dan ra’yu
atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
Ketiga sumber ajaran ini merupakan satu rangkaian kesatuan dengan
urutan yang tidak boleh dibalik.
1.
Al Qur’an
Secara etimologis, al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u,
qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun
(al-dlammu). Huruf-huruf
serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur dikatakan
al-Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari
ilmu pengetahuan. Allah SWT berfirman :
“ Sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya”.
(al Qiyamah [75]:17-18).
Sedangkan
menurut para ulama klasik, al-Qur’an didefinisikan sebagai berikut:
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan pada
Rasulullah dengan bahasa Arab, merupakan mu’jizat dan diriwayatkan secara
mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Adapun
pokok-pokok kandungan dalam al-Qur’an antara lain:
- Tauhid, yaitu kepercayaan terhadap ke-Esaan Allah
dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya.
- Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai
manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid.
- Janji dan ancaman (al wa’d wal wa’iid), yaitu janji pahala bagi orang yang percaya
dan mau mengamalkan isi al-Qur’an dan ancaman siksa bagi orang yang
mengingkarinya.
- Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiarkan
risalah Allah maupun kisah orang-orang shaleh ataupun orang yang
mengingkari kebenaran al-Qur’an agar dapat dijadikan pembelajaran bagi
umat setelahnya.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
- Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan
rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan
akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
- Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah
hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia,
serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam
Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu
Fikih.
- Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku
normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau
makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangakan khusus hukum syara dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yakni:
- Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah SWT, misalnya salat, puasa, zakat, haji, dank urban.
- Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan
sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk
ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
- Hukum munakahat (pernikahan).
2. Hukum
faraid (waris).
3. Hukum jinayat (pidana).
4. Hukum hudud (hukuman).
5. Hukum jual-beli dan perjanjian.
6. Hukum al-khilafah (tata
Negara/kepemerintahan).
7. Hukum makanan dan penyembelihan.
- Hukum aqdiyah (pengadilan).
- Hukum jihad (peperangan).
- Hukum dauliyah (antarbangsa).
- As-Sunnah atau Hadis
Sunnah menurut istilah syar’i adalah sesuatu
yang berasal dari Rasulullah Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, dan
penetapan pengakuan. Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat al-Qur’an yang
kurang jelas atau sebagai penentu beberapa hukum yang tidak terdapat dalam
al-Qur’an.
As-Sunnah dibagi menjadi empat macam, yaitu:
- Sunnah Qauliyah,
yaitu semua perkataan Rasulullah
- Sunnah
Fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah
- Sunnah
Taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Nabi terhadap pernyataan
ataupun perbuatan orang lain
- Sunnah
Hammiyah, yakni sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi
tidak sampai dikerjakan.
Ada beberapa ahli hadis yang mengatakan bahwa istilah hadis
dipergunakan khusus untuk sunnah qauliyah (perkataan Nabi), sedangkan sunnah
fi’liyah (perbuatan) dan sunnah taqririyah tidak disebut hadis, tetapi sunnah
saja.
- Sumber Pelengkap Ar-Ra’yu
Secara
garis besar ayat-ayat al-Qur’an dibedakan atas ayat muhkamat dan ayat
mutasyabihat. Ayat
muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas dan terang maksudnya dan hukum yang
dikandungnya tidak memerlukan penafsiran. Pada umumnya bersifat perintah,
seperti penegakkan shalat, puasa, zakat dan haji.
Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang memerlukan
penafsiran lebih lanjut walaupun dalam bunyinya sudah jelas mempunyai arti,
seperti ayat mengenai gejala alam yang terjadi setiap hari. Adanya ayat mutasyabihat
mengisyaratkan manusia untuk mempergunakan akalnya dengan benar serta berpikir
mengenai ketetapan hukum peristiwa tertentu yang tidak disebutkan secara
eksplisit dalam al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah.
Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan
pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan Ijtihad sendiri berarti
mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari
dalil-dalil syarak, yaitu Al Quran dan Hadist. Orang yang menetapkan hukum dengan
jalan ini disebut mujtahid. Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum Islam
yang ketiga setelah Al Quran dan Hadist.
Walaupun Islam adalah agama yang berdasarkan wahyu dari Allah SWT,
Islam sangat menghargai akal. Hal ini terbukti dengan banyaknya ayat Al Quran
yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal pikirannya, seperti pada
surat An Nahl ayat 67 yang artinya:
“Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang
memikirkannya”.(QS. An an Nahl ayat 62)
Oleh karena itu, apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat
di Al Quran maupun Hadist, maka diperintahkan untuk berijtihad dengan
menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu kepada Al Quran dan Hadist.
Adapun macam-macam bentuk ijtihad yang dikenal dalam syariat Islam, yaitu:
1.
Ijma’,
menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut
istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah
beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara
musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama
dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2.
Qiyas yang
berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain
Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu
perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang
sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan
‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap
meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti
hati orang tua.
3.
Istihsan yang
berarti suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang
lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk
mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara
yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita
dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan
tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan)
bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan
barangnya dikirim kemudian.
4.
Mushalat Murshalah, menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapum menurut istilah
adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia.
Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan
untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
5.
Sududz Dzariah, menurut
bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan
memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk,
padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar
jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi
kebiasaan.
6.
Istishab yang
berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di
masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya,
seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti
ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu
sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
7.
Uruf. berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Contohnya dalah dalam hal jual beli. Si pembeli
menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa
mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan
pembeli.
Ijtihad mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam dan
merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran dan Hadist. Dengan
ijtihad itu umat Islam menyelesaikan persoalan-persoalan yang hukumnya tidak
ada dalam Al Quran maupun Hadist. Setelah Rasulullah wafat, tidak ada lagi
sosok yang dapat ditanya secara langsung tentang masalah-masalah Islam. Oleh
karena itu, ijtihad dijadikan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut
dengan tetap mengacu pada Al Quran dan Hadist.
KESIMPULAN
Syariat islam merupakan
suatu asas yang telah ditetapkan oleh Allah agar ummat tidak melenceng dari
ajaran yang sebenarnya. yang namun ketika semua orang berpegang pada hukum
islam akan hidup selamat baik hidup didunia maupun diakhirat. Untuk pedoman hidup agar tidak melenceng dari ajaran
maka itu tidak terlepas dalam dari dua sumber utama yaitu al Quran dan Hadis. Disamping
du sumber hukum tersebut para ulama menambahkan dengan Ijmak dan Qias, ini
merupakan sumber al quran hukum yang sehingga dengan ada sumber ini menjadi
pedoman bagi kita agar tercapainya kebahagian dunia dan kahirat.
No comments:
Post a Comment