BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sistem saraf pusat
(SSP) terdiri atas otak dan korda spinalis. Sistem saraf tepi (SST) terdiri
atas saraf sensorik dan motorik. Saraf sensorik terdiri dari serabut aferen.
Saraf motorik terdiri atas serabut eferen, yang bersifat somatic (volunter,
dikendalikan kehendak) dan otonom (involunter, tidak dipengaruhi kehendak).
Pusat bawah terletak dalam korda spinalis, pusat atas berada diotak.
Secara anatomis
otak dibagi atas otak besar (bagian besar) dan batang otak (di bawah otak
besar). Otak besar berfungsi melayani kebutuhan saraf tinggi seperti persepsi,
kendali motorik, emosi, kognisi dan bahasa. Otak besar terdiri atas 4 lobi :
lobis fronkalis, oksipikalis, parietalis dan temporalis (Ratna, 1996).
Pada orang dewasa
tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan perluasan isi
intrakronial. Tulang terdiri dari dua dinding atau tabula eksterna dan bagian
dalam disebut tabula interna. Tabula interna mengandung alur-alur yang berisi
arteria meningea arterial, media dan posterior. Apabila fraktur tulang
tengkorak menyebabkan terkoyaknya salah satu dari arteria-arteria ini,
perdarahan arterial yang diakibatnya yang tertimbun dalam tulang epidural,
dapat menimbulkan akibat yang fatal (Price & Wilson, 2005).
Otak dibungkus oleh
selaput yang disebut dengan selaput meningen, meningen terdiri dari tiga
lapisan yaitu yaitu dura meter, pia meter dan selaput arakhnold. Dura meter
merupakan selaput yang keras, terdiri dari jaringan ikat fibrosa yang melekat
erat pada permukaan dalam dan kronium. Karena tidak melekat erat pada permukaan
dalam dan kronium. Karena tidak melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya,
maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara dura
meter dan arakhnoid. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang barjalan
pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural-arteria-arteri meningea terletak antara dura
meter dan permukaan dalam dari kronium (ruang epidural). Adanya fraktur dari
tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri dan menyebabkan
perdarahan epidural. Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang, selaput ini terletak antara pia meter sebelah dalam dan dura meter
sebelah luar, perdarahan subarakhoid umumnya disebabkan oleh cedera (State of
Victoria, 2008).
Klasifikasi cedera
kepala berdasarkan GCS dibagi menjadi tiga, yaitu : pertama cederakepala
ringan, dengan GCS bernilai 14-15, tidak ada kehilangan kesadaran, pasien dapat
mengeluh nyeri kepala dan pusing, pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau
hematoma kulit kepala, tidak ada kriteria cedera sedang atau berat. Kedua
cedera kepala sedang dengan GCS 9 -13, amnesia pasca trauma muntah, tanda
kemungkinan fraktur kronium, kejang. Ketiga, Head Injury Grade III, dengan GCS
bernilai 3 – 8, penurunan derajat kesadaran secara progresif, tanda Geulima I
(Saraf)s fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kronium (Mansjoer,
2000).
Head Injury Grade
III merupakan cedera kepala dimana otak mengalami, dengan kemungkinan adanya
daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Gejala akan
muncul dan lebih khas, pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah,
pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat (Smeitzer & Bare, 2001).
Resiko utama pasien
yang mengalami Head Injury Grade III adalah kerusakan otak akibat perdarahan
atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakronial (TIK). Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
ditandai dengan perubahan kesadaran, kelainan Geulima I (Saraf)s sebagai akibat
dari kecelakaan (Smeltzer, 2001).
Perawatan awal pada
pasien Head Injury Grade III ditujukan pada pengamanan jalan nafas dan
memberikan oksigenasi dan ventilasi yang memadai. CT Scan kepala merupakan
metode pemeriksaan radioologi terpilih untuk mengevaluasi pasien cedera kepala
kriteria untuk melakukan intervensi bedah adalah memburuknya status Geulima I
(Saraf) secara cepat (Mansjoer, 2000).
Penatalaksanaan Head
Injury Grade III seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk
kerusakan primer akibat cedera, tapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak
sekunder akibat hipoksia, hipotensi dan tekanan intra kronial meningkat
(Mansjoer, 2000).
Pada Head Injury
Grade III setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera
pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi bedah saraf segera (Hematoma
intrakronial yang besar). Hematoma intrakronial adalah pengumpulan darah 25 ml
atau lebih dalam parenkim otak. Untuk mengevaluasi bekuan darah tersebut maka
dilakukan tindakan kraniotami (Smeltzer, 2001).
Berdasarkan data
yang diperoleh dari buku Register Ruang Rawat Inap Geulima I (Saraf) Rumah
Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh mulai Oktober 2008 – September
2009 jumlah total pasien yang dirawat inap di ruang Geulima I (Saraf) adalah
1.427 orang, yang mengalami Head Injury Grade III 55 orang (4%).
Berdasarkan uraian
diatas dan jumlah angka kecelakaan yang terjadi serta komplikasi yang mungkin
timbul, maka penulis tertarik untuk menyusun karya tulis ilmiah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Nn. R dengan Head
Injury Grade III di Ruang Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh”.
B.
Tujuan
Penulisan
1. Tujuan
Umum
Untuk mendapatkan gambaran dan
pengalaman nyata dalam memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif pada
pasien dengan kasus Head Injury Grade III di ruang rawat inap Geulima I (Saraf)
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
2. Tujuan
Khusus
a. Melakukan
pengkajian keperawatan secara komprehensif pada Nn. R dengan kasus Head Injury
Grade III di ruang rawat inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh.
b. Menegakkan
diagnosa keperawatan pada Nn. R dengan kasus Head Injury Grade III di ruang
rawat inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh.
c.
Menyusun
rencana tindakan keperawatan pada Nn. R dengan kasus Head Injury Grade III di
ruang rawat inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh sesuai dengan masalah keperawatan.
d.
Melaksanakan
tindakan keperawatan pada Nn. R dengan kasus Head Injury Grade III di ruang
rawat inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh.
e.
Mengevaluasi
dan memodifikasi tindakan keperawatan pada Nn. R dengan kasus Head Injury Grade
III di ruang rawat inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh.
f.
Mendokumentasikan
tindakan keperawatan pada Nn. R dengan kasus Head Injury Grade III di ruang
rawat inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh.
C.
Metode
Penulisan Karya Tulis Ilmiah
Metode yang dilaksanakan adalah
menggunakan metode studi kasus yaitu rancangan penelitian yang mencakup
pengkajian satu unit penelitian secara tunggal dan intensif. Studi kasus
tergantung dari keadaan kasus tetapi tetap mempertimbangkan waktu. Riwayat dan
pola perilaku pasien sebelumnya biasanya dikaji rinci (Nursalam, 2003). Hal ini
dilakukan melalui pendekatan sebagai berikut :
1. Studi
Kepustakaan
Mempelajari konsep teoritis melalui berbagai referensi
dan literatur yang ada hubungan dengan Head Injury Grade III
2. Studi
kasus
Melalui studi kasus ini penulis langsung melaksanakan
asuhan keperawatan pada Nn. R dengan kasus Head Injury Grade III di ruang rawat
inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara :
a.
Wawancara
Berupa proses tanya jawab yang penulis lakukan
dengan pasien atau keluarga, perawat dan dokter yang berhubungan dengan masalah
kesehatan pasien.
b.
Observasi
Berupa pengamatan langsung terhadap perkembangan pasien
dari asuhan keperawatan yang diberikan.
c.
Pemeriksaan fisik dan
penunjang
Untuk kasus ini secara khusus dilakukan inspeksi,
palpasi, auskultasi dan perkusi serta menilai hasil pemeriksaan penunjang baik
pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan radiologi.
d.
Dokumentasi
Memperlajari data yang sudah didokumentasikan pada
status pasien, Head Injury Grade III seperti data penunjang, hasil konsultasi
dan catatan perkembangan.
D.
Manfaat
Penulisan
1. Bagi Mahasiswa
a.
Menambah
wawasan, pengalaman dan pengetahuan tentang perawatan pasien Head Injury Grade
III.
b. Sebagai
salah satu syarat dalam penyelesaian pendidikan Diploma III Keperawatan.
2. Bagi
Institusi Pendidikan
a.
Menambah
bahan bacaan di perpustakaan
b.
Untuk
bahan bacaan atau pedoman khususnya bagi mahasiswa/i keperawatan.
3.
Bagi
Instansi Kesehatan, memberi gambaran umum tentang pelaksanaan asuhan
keperawatan pada pasien Head Injury Grade III.
E.
Sistematika penulisan
Adapun sistematika penulisan karya tulis ilmiah ini
terdiri dari :
BAB
I : Pendahuluan,
dimana dalam bab ini penulis menguraikan latar belakang, tujuan penulisan,
metode penulisan, manfaat dan sistematika penulisan.
BAB
II : Tinjauan
Kepustakaan, yang membahas tentang konsep dasar teoritis medis tentang gagal
ginjal kronik yang menjelaskan tentang pengertian, gejala klinis,
patofisiologi, etiologi, dan penatalaksanaan serta konsep dasar teoritis
keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi keperawatan pada pasien dengan Head Injury Grade III.
BAB III : Pembahasan, menjelaskan perbandingan antara
tinjauan teoritis dengan tinjauan kasus.
BAB IV : Penutup terdiri dari kesimpulan dan
saran-saran yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan
yang komprehensif pada pasien Head Injury
Grade III.
Daftar
Pustaka
Lampiran
:
Laporan
asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik
Riwayat hidup.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A.
Konsep Dasar Teoritis Medis
1.
Pengertian
Cedera kepala adalah suatu
trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau yang terjadi
akibat injuri baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi,
2000).
Cedera kepala merupakan suatu
peristiwa yang terjadi mengenai kulit kepala, tengkorak dan otak serta
mengakibatkan kelainan Geulima I (Saraf)s yang serius sebagai akibat dari
kecelakaan kenderaan.
Head Injury Grade III adalah
gangguan fungsi otak normal akibat trauma tumpul atau tusuk, defisit Geulima I
(Saraf)s dapat terjadi karena robeknya substansi alba, iskhemia dan pengaruh massa karena
haemoragik serta edema serebral disekitar jaringan otak (Nettina, 2002).
2.
Etiologi
Penyebab
cedera kepala adalah kecelakaan jatuh, kecelakaan kenderaan bermotor, sepeda,
mobil dan kecelakaan pada saat olah raga (Suriadi, 2001).
Penyebab cedera kepala antara
lain karena :
a.
Cedera langsung
pada tempat terpukul
b.
Cedera tak
langsung. Otak disangga secara longgar oleh dura meter dan gerakan kepala yang
sangat keras akibat pukulan (cedera akselerasi) atau kepala yang membentur
suatu benda (cedera deselerasi) menyebabkan distorsi dan pergerakan otak secara
tiba-tiba (Henderson, 1992).
3.
Klasifikasi
Cedera kepala dapat
diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan dan morfologi cedera.
1.
Mekanisme
berdasarkan adanya penetrasi aurameter
a.
Trauma tumpul :
kecepatan tinggi (tabrakan mobil)
kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
b.
Trauma tembus (luka
tembus peluru dan cedera tembus lainnya)
2.
Keparahan cedera
a.
Ringan : skala koma
Glasgow (Glasgow coma scale, GCS) 14-15
b.
Sedang : GCS 9 – 13
c.
Berat : GCS 3 – 8
3.
Morfologi
a.
Fraktur tengkorak ;
kranium : linear/stelatum; depresi/nondepresi
Basis : dengan / tanpa kebocoran
Cairan serebrospinal, dengan /
tanpa kelumpuhan nervus VII.
b.
Lest intrakranial :
Fokal : epideral, subdural, intraserebral.
Difus : konkusi ringan, konkusi klasik
Cedera aksonal difus (Mansjoer,
2000).
4.
Patofisiologi
Kerusakan otak
cedera hebat terjadi karena otak membengkak akibat perdarahan dan edema yang
terjadi. Pembengkakan yang dibatasi oleh tulang tengkorak ini dapat menimbulkan
kenaikan tekanan intracranial yang meningkat secara prograrif mempengaruhi
cortex cerebri, nervi cranialis khususnya nervus 111 dan akhirnya pusat kardiovaskuler
serta respirasi. Kedua pusat ini mengalami kelumpulan yang membawa kematian (Henderson,
1992).
5.
Gejala klinis
Menurut Henderson (1992) gejala
klinis dari cedera kepala terdiri dari:
a.
Komosio (commotio
cerebri, gegar otak)
Suatu gangguan ringan pada
saraf yang menyebabkan penurunan kesadaran yang seketika tetapi untuk sementara
waktu. Kepulihan total terjadi kemudian tanpa terlihat adanya gejala kerusakan
otak, namun selalu terdapat kehilangan daya ingat akan peristiwa yang baru saja
dialami (amnesia retrograde).
b.
Kontusio dan
laserasi (memar dan laserasi otak)
Penurunan kesadaran berlangsung
dalam dan lama, kecuali bila cedera nya amat terbatas, yakni cedera langsung.
Kepulihannya lambat dan acap kali tidak lengkap.
Sedangkan menurut Syamsuhidajat
(1997) gejala klinis dari cedera kepala antara lain :
Nyeri kepala merupakan keluhan
yang tidak khas yang dapat terjadi baik pada peningkatan tekanan intrakronial
maupun akibat peradangan otak dan selaputnya. Penurunan kesadaran merupakan
tanda penting dari kenaikan tekanan intrakronial yang mendadak. Tanda kelainan Geulima
I (Saraf)k seperti pupil mata an isokor, gangguan sensorik maupun motorik
merupakan gejala yang sering ditemukan. Kaku kuduk timbul akibat rangsangan
selaput otak. Udema pupila nervus optikus merupakan tanda yang paling
meyakinkan.
6.
Pengobatan dan Prognosa
a.
Pengobatan
Diet MB tinggi kalori, tinggi
protein, tinggi vitamin, mineral dan tinggi serat dengan kalori 2500 – 3000
kal/hari, vitamin B Komplek, vitamin C untuk pembentukan kalori dan
penyembuhan, vitamin D dan multivitamin penting untuk pembentukan kolagen dan
penyembuhan luka. Selain itu diberikan obat sesuai instruksi seperti Alinamin,
Mertigo, Mefentan, Ensephal pada jam-jam yang telah ditentukan (Carpenito,
1995).
b.
Prognosa
Cedera kepala sering mendapat
perhatian besar terutama pada pasien dengan cedera berat dengan skor Glasgow
Coma Scale (GCS) sewaktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostic yang
besar, skor pasien 3 – 4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam
kondisi vegetative, sedangkan pada pasien dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 12
atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetative hanya 5 – 10%. Sindrom pasca
konkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing,
ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas dan perubahan kepribadian yang
berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala sering bertumpang tindih
dengan gejala depresi (Mansjoer, 2000).
7.
Perawatan dan Pencegahan
a.
Perawatan
Menurut Mansjoer (2000)
perawatan yang dilakukan yaitu :
Pada semua pasien dengan cedera
kepala atau leher dilakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi antero
posterior, lateral dan adontoid), kolar servikal baru dilepas setelah
dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.
Pada semua pasien dengan cedera
kepala sedang dan berat dilakukan prosedur sebagai berikut :
1.
Pasang jalur
intravena dengan larutan normal salin, NaCl 0,9% atau ringer laktat, cairan
isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis
dan larutan ini tidak menambah edema serebri.
2.
Lakukan pemeriksaan
hematokrit, periksa darah prefer lengkap, trombosit, kimia darah, glukosa,
ureum dan kreatinin, masa protombin, masa tromboplastin parseal dan kadar
alkohol bila perlu.
b.
Pencegahan
Lakukan tindakan segera pada
cedera medulla spinalis, tujuannya adalah mencegah kerusakan lebih lanjut pada
medulla spinalis, sebagian cedera medulla spinalis diperburuk oleh penanganan
yang kurang tepat, efek hipotensi atau hipoksia pada jaringan saraf sudah
terganggu (Mansjoer. A, 2000).
B.
Konsep Dasar Teoritis Keperawatan
1.
Pengkajian
a.
Identitas pasien
Meliputi umur (sering terjadi
pada umur 15-44 tahun), jenis kelamin (sering terjadi pada laki-laki), agama,
pekerjaan, tempat tinggal, suku, nomor register dan tanggal masuk (Suriyadi,
2001).
b.
Riwayat Penyakit
1).
Riwayat penyakit
sekarang
Hilang kesadaran, kebingungan,
iritabel, pucat, mual dan muntah, pusing, nyeri kepala, terdapat hematoma, dan
sukar dibangunkan (Suriadi, 2001).
2).
Riwayat penyakit
dahulu
Tidak ada pengaruh riwayat
penyakit dahulu dengan timbulnya penyakit sekarang karena trauma kapitis adalah
suatu keadaan yang disebabkan oleh kecelakaan (Doenges, 1999).
3).
Riwayat penyakit
keluarga
Pasien dengan cedera keppala
tidak ada hubungannya dengan penyakit keluarga atau penyakit keturunan
(Doenges, 1999).
c.
Pola Fungsional
Kesehatan
1).
Pola nutrisi
Head Injury Grade III akan
mengalami perubahan pola makan dan pola minum jika terjadi mual, muntah dan
gangguan menelan (Doenges, 1999).
2).
Pola istirahat
Pola istirahat pada pasien mengalami gangguan karena
nyeri pada kepala, merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan, perubahan
kesadaran, letargi, masalah dalam keseimbangan, cedera ortopedi dan kehilangan
tonus otot (Doenges, 1999).
3).
Pola eliminasi
Inkontinensia kandung kemih atau mengalami gangguan fungsi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (Doenges, 1999).
4).
Pola aktivitas
Pasien tidak dapat melakukan aktivitas karena
terganggunnya fungsi motorik (Doenges, 1999).
d.
Data psikologis
Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau
dramatis), cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
impulsive (Doenges, 1999).
e.
Data sosial
Afasia sensorik dan motorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang (Doenges, 1999).
Pasien yang telah mengalami trauma kepala disertai dengan
gangguan kemampuan komunikasi, kerusakan ini akibat dari kombinasi efek-efek
disorganisasi dan kekacauan proses pikir dan gangguan khusus. Pasien yang telah
mengalami trauma dapat menunjukkan kehilangan kemampuan untuk menggunakan
bahasa (Hudak dan Gallo, 1997).
f.
Data spiritual
Keyakinan yang kuat dan rasa kepercayaan yang tinggi
serta motivasi yang kuat merupakan faktor pendukung dalam keberhasilan program
pengobatan dan perawatan yang dilaksanakan (Carpenito, 2000).
g.
Pemeriksaan umum
1.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien
dengan Head Injury Grade III didapatkan aspek nilai GCS (Glasgow Coma Scale)
yaitu antara 3-8 (Mansjoer. A 2000).
2.
Pemeriksaan Nervus
Pemeriksaan saraf kranial
menurut Bates, B (2000) pada Head Injury Grade III
a.
Nervus optikus :
didapatkan bahwa reflek pupil terhadap cahaya anisokor.
b.
Nervus fasialis :
wajah pasien simetris
c.
Nervus
Glossofaringeus dan vagus didapatkan bahwa pasien sukar untuk menelan.
d.
Nervus assesorius
didapatkan bahwa pasien dapat memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri dengan
baik.
3.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
Laboratorium
Biasanya dilakukan pemeriksaan
darah lengkap, hematokrit, ureum pH >7,6 radiologi, biasanya dilakukan
pemeriksaan computer comografi otak (ct scan), karena scan memiliki keandalan
yang tinggi dalam hal ini dapat ditampilkan secara jelas lokasi dan adanya
pendarahan intracranial, edema kontusi udara, serta pergeseran (Listiona,
2000).
2.
Pengelompokan Data dan Diagnosa Keperawatan
Pengelompokan data yang muncul
pada pasien Head Injury Grade III menurut Doenges (1999) :
a.
Aktivitas /
istirahat
-
Gejala : merasa
lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
-
Tanda : perubahan
kesadaran, lerargi, hemiparese, quadriplegia, ataksia, cara berjalan tak tegap,
masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma ortopedi), kehilangan tonus otot,
otot plastik.
b.
Sirkulasi
-
Gejala : perubahan tekanan
darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
c.
Integritas ego
-
Gejala : perubahan
tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
-
Tanda : cemas,
mudah tersinggung, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
d.
Eliminasi
-
Gejala :
inkontinensia kandung kemih / usus atau mengalami gangguan fungsi.
e.
Makanan / cairan
-
Gejala : mual,
muntah dan mengalami gangguan selera
-
Tanda : muntah
(mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia).
f.
Neurosensori
-
Gejala : kehilangan
kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstrimitas. Perubahan dalam penglihatan
seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia, gangguan
pengecapan dan juga penciuman.
-
Tanda :
perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi /
tingkah laku dan memori). Perubahan pupil ( respons terhadap cahaya, simetri ),
deviasa pada mata, ketidak mampuan mengikuti. Kehilangan pengindraan, seperti
pengecapan, penciuman dan pendengaran. Wajah tidak simetri. Genggaman lemah,
tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada atau lemah. Apraksia, hemiparese,
quadeplegia. Postur ( dekortikasi,
deserebrasi ). Kejang sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan. Kehilangan
sensasi sebagian tubuh. Kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
g.
Nyeri / kenyamanan
-
Gejala : sakit
kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda, biasanya lama.
-
Tanda : wajah
menyeringai respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
istirahat, merintih.
h.
Pernafasan
-
Tanda : perubahan
pada nafas ( apnea yang diselingi oleh hiperventilasi ), nafas berbunyi,
stidor, tersedak. Ronki, mengi positif ( kemungkinan karena aspirasi ).
i.
Keamanan
-
Gejala : trauma
baru / trauma karena kecelakaan
-
Tanda : fraktur /
dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna,
seperti “raccon eye”, tanda battle disekitar telinga ( merupakan tanda adanya
trauma ). Adanya aliran cairan ( drainase ) dan telinga / hidung (CSS).
Gangguan kognitif. Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara
umum mengalami paralisis, demama, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
j.
Interaksi sosial
-
Tanda : afasia
motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang – ulang, disartria
anomia
k.
Penyuluhan /
pembelajaran
-
Gejala : pengguna
alkohol / obat lain.
3.
Diagnosa Keperawatan Dan Perencanaan
Adapun rencana tindakan
keperawatan yang akan dilakukan menurut Doenges, 1999 terhadap masalah yang
muncul :
a.
Perubahan perpusi
jaringan berhubungan dengan penghentian aliran darah otak.
Tujuan :
Perubahan perpusi jaringan
serebral dapat diatasi.
Kriteria hasil :
Mempertahankan tingkat
kesadaran normal, mempertahankan kognisi dan fungsi motorik / sensorik.
Intervensi :
1). Pantau
status secara teratur
Rasionalisasi : mengkaji
kesadaran dan potensial peningkatan TIK bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan
dan perkembangan kerusakan SSP.
2). Pantau tanda – tanda vital
Rasionalisasi : kehilangan
autoregulasi dapat mengikuti kerusakan
Vaskularisasi serebral
local menyebabkan peningkatan tekanan darah sistemik dan diikuti penularan tekanan darah diastolik,
merupakan tanda peningkatan TIK.
3). Evaluasi keadaan pupil, cacat ukuran, ketajaman
dan kesamaan.
Rasionalisasi
: menentukan adanya kerusakan batang otak.
4).
Catat adanya reflek-reflek tertentu
(seperti menelan, batuk, babinski, dan lain-lain).
5). Pertahankan kepala dan leher dalam posisi
anatomis.
Rasionalisasi :
kepala yang miring dapat menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah
vena.
6). Berikan cairan melalui jalur intravena
Rasionalisasi :
dapat mengganti kehilangan cairan melalui pendarahan.
7). Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
Rasionalisasi
: dapat menurunkan hipokservia
8). Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan.
Rasionalisasi
: dapat mempercepat proses penyembuhan
9). Pantau GDA/ tekanan oksimetri.
Rasionalisasi
: menentukan terjadinya acidosis metabolic.
b.
Resiko tinggi
terhadap ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler ( cedera pada pusat pernafasan otak ).
Tujuan : mempertahankan pola
pernafasan normal.
Kriteria hasil : bebas sionasis
dan GDA dalam batas normal.
Intervensi :
1). Pantau frekuensi, irama, kedalaman
pernafasan, catat ketidakteraturan pernafasan.
2). Angkat kepala tempat tidur sesuai dengan
indikasi
Rasionalisasi
: untuk memudahkan ekspansi paru / ventilasi paru.
3). Lakukan penghisapan dengan hati-hati.
Rasionalisasi
: penghisapan dapat membersihkan jalan nafas.
4). Auskultasi
suara nafas
Rasionalisasi
: untuk mengidentifikasi adanya masalah paru.
5). Kolaborasi dalam melakukan ronsen toraks
Rasionalisasi
: foto ronsen melihat kembali keadaan
ventilasi dan tanda – tanda komplikasi yang berkembang.
6). Berikan oksigen
Rasionalisasi
: memaksimalkan oksigen pada darah
arteri dan membantu pencegahan hipoksia.
c.
Perubahan persepsi
sensori berhubungan dengan defisit Geulima I (Saraf)s
Tujuan :
Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan
fungsi persepsi
Kriteria hasil :
Mendomentrasikan perubahan
prilaku /gaya hidup untuk mengkompensasi / defisit hasil.
Intervensi :
1). Pantau secara teratur perubahan orientasi
Rasionalisasi
: kerusakan serebral bagian atas biasanya mempengaruhi fungsi kognitif.
2). Observasi
respon prilaku
Rasionalisasi
: selama proses penyembuhan trauma muncul tingkah laku emosi yang labil,
prustasi dan apatis.
3). Berikan kesempatan lebih banyak berkomunikasi
Rasionalisasi
: komunikasi dapat menurunkan frustasi
4). Kolaborasi dengan ahli fisioterapi, terapi
okupasi, wicara, dan terapi kognitif.
Rasionalisasi
: mempercepat proses penyembuhan dalam berbicara dan kognitif.
d.
Perubahan proses
pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis dan konflik psikologis
Tujuan :
Mempertahankan orientasi mental
dan realita biasanya.
Kriteria hasil :
Mengerti perubahan prilaku,
berpatisipasi dalam aturan teurapelitik.
Interverisi :
1). Cacat tingkat ansietas pasien
Rasionalisasi : kemampuan berkonsentrasi
mungkin memendek menyebabkan potensi terjadinya ansiebas yang mempengaruhi
proses pikir pasien.
2). Berikan penjelasan mengenai prosedur –
prosedur tindakan dan berikan informasi tentang proses penyakit.
Rasionalisasi
: kurang pengetahuan dapat menimbulkan ketakutan.
3). Kurangi
stimulus yang merangsang, kritik yang negatif, argumentasi dan konfrontasi.
Rasionalasasi
: menurunkan resiko terjadinya respon
pertengkaran / penolakan.
4). Anjurkan untuk melakukan teknik relaksi,
berikan aktifitas yang beragam.
Rasionalisasi
: dapat membantu untuk memfokuskan kembali perhatian pasien.
5). Anjurkan pada orang terdekat untuk memberikan
berita baru / keadaan keluarga.
Rasionalasasi
: meningkatkan terpeliharanya kontak dengan keadaan yang biasa terjadi yang
akan meningkatkan orientasi realitas dan berfikir normal.
e.
Kerusakan mobilitas
fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
Tujuan :
Mempertahankan posisi fungsi
optimal
Kriteria hasil :
Mempertahankan/meningkatkan
kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit. Mampu beraktivitas, mempertahankan
integritas kulit, kandung kemih dan fungsi usus.
Intervensi :
1). Kaji derajat mobilisasi dengan menggunakan
skala ketergantungan (0 – 4).
2). Pertahankan kesejajaran tubuh secara
fungsional
Rasionalisasi
: dapat menghindari terjadinya cedera lanjut.
3). Bantu pasien dalam penggunaan alat
mobilisasi.
Rasionalisasi
: dapat mempercepat proses kemampuan mobilisasi.
4). Berikan matias udara/air.
Rasionalisasi
: menghindari terjadinya dekubitus.
f.
Resiko tinggi
berhubungan dengan adanya jaringan trauma.
Tujuan :
Tidak adanya tanda infeksi
Kriteria hasil :
Mencapai penyembuhan tepat
waktu.
Intervensi :
1). Berikan perawatan aseptic dan antiseptic dan
pertahankan teknik cuci tangan yang baik
Rasionaslisasi
: dapat menghindari terjadinya infeksi nasokomial
2). Observasi daerah kulit yang mengalami
kerusakan
Rasionalisasi
: deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan
dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
3). Pantau suhu tubuh secara teratur
Rasionalisasi
: dapat mengidentifikasi perkembangan sepsis
4). Berikan antibiotik sesuai indikasi
Rasionalisasi
: dapat mempercepat proses penyembuhan, mencegah terjadinya infeksi.
g.
Resiko perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
untuk mengunyah
Tujuan :
Pemenuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil :
Tidak ada tanda-tanda
malnutrisi, dan nilai laboratorium dalam batas normal.
Intervensi :
1). Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah,
menelan, batuk dan mengatasi sekresi.
Rasionalisasi
: faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien harus
terlindung dari aspirasi.
2). Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasionalisasi
: mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
3). Konsultasi dengan ahli gizi
Rasionalisasi
: merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan
kalori/nutrisi.
4). Berikan makanan melalui oral atau NGT
Rasionalisasi
: fungsi saluran cerna biasanya tetap baik pada kasus cedera kepala
5). Akultasi bising usus, catat adanya
penurunan/hilangnya/suara yang hiperaktif
Rasionalisasi
: fungsi saluran pencernaan biasanya tetap baik pada kasus cedera kepala, jadi
bising usus membantu dalam menentukan respon untuk makan atau berkembangnya
komplikasi, seperti paralitik ileus.
h.
Perubahan proses
keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional.
Tujuan :
Mulai mengekspresikan perasaan
dengan bebas dan cepat.
Kriteria hasil :
Perubahan proses keluarga tidak
terjadi.
Intervensi :
1). Anjurkan keluarga untuk mengemukakan hal-hal
yang menjadi perhatian tentang keseriusan kondisi.
Rasionalisasi
: pengungkapan tentang rasa takut secara terbuka dapat menurunkan ansietas.
2). Dengarkan
keluhan pasien
Rasionalisasi
: mendengarkan keluhan dapat meningkatkan rasa kepercayaan.
3). Libatkan keluarga dalam perencanaan
keperawatan.
Rasionalisasi
: memungkinkan keluarga untuk menjadi bagian integral dan rehabilitasi dan
memberikan rasa kontra.
4). Berikan dukungan terhadap keluarga yang merasa
kehilangan anggotanya.
Rasionalisasi
: dukungan dapat meningkatkan rasa kepercayaan.
i.
Kurang pengetahuan
mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan
informasi.
Tujuan :
Mengerti tentang kondisi,
aturan pengobatan, potensial komplikasi.
Kriteria hasil :
Mampu melakukan prosedur yang
diperlukan dengan benar, pengungkapan pemahaman tentang kondisi, aturan
pengobatan potensial komplikasi.
Intervensi :
1). Evaluasi kemampuan pasien
Rasionalisasi
: memungkinkan kemampuan tentang pemahaman pasien tentang penyakit yang dialami
sekarang.
2). Berikan informasi yang berhubungan dengan
trauma.
Rasionalisasi
: meningkatkan pemahaman pada keadaan saat ini dan kebutuhannya.
3). Berikan
intruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat-obatan dan
faktor-faktor penting lainnya.
Rasionalisasi
: memberikan penguatan visual dan rujukan setelah sembuh.
4). Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan
perawatan dini.
Rasionalisasi
: berbagai tingkat bantuan mungkin perlu direncanakan yang didasarkan atas
kebutuhan yang bersifat individual.
- Implementasi
Menurut Doenges (1999) sasaran
untuk pasien meliputi tetap siap mendapat beberapa bentuk mobilitas,
pemeliharaan kesehatan, kulit utuh, tetap siap untuk perubahan keadaan pasien
terutama perubahan berupa indikasi peningkatan tekanan intrakranial,
mempertahankan tanda-tanda vital mengarah pemulihan, mencegah komplikasi, dan
meningkatkan pemulihan yang menyeluruh. Biopsika-sosial dan spiritual
semaksimal mungkin dengan mengajak keluarga bekerja sama dalam tahap
rehabilitasi, kolaborasi yang erat antara perawat, dokter, tenaga analisi dan
ahli gizi.
Prioritas keperawatan
a.
Memaksimalkan
perfusi atau fungsi cerebral
b.
Mencegah atau
meminimalkan komplikasi
c.
Mengoptimalkan
fungsi otak/mengembalikan pada keadaan sebelum terjadi trauma.
d.
Menyokong proses
koping dan pemulihan keluarga.
e.
Memberikan
informasi mengenai proses/prognosis penyeakit rencana tindakan dan sumber daya
yang ada.
- Evaluasi
Menurut Doenges (1999), hasil
yang diharapkan adalah :
a.
Perubahan perfusi
jaringan serebrial tidak terjadi
b.
Perubahan pola
pernafasan tidak terjadi
c.
Mempertahankan
tingkat kesadaran biasanya dan fungsi bersepsi
d.
Mempertahankan
orientasi mental dan realita biasanya
e.
Mempertahankan
fungsi optimal
f.
Tidak adanya tanda
infeksi
g.
Pemenuhan nutrisi
terpenuhi
h.
Mulai
mengekspresikan perasaan dengan bebas dan tepat
i.
Mengerti tentang
kondisi, aturan pengobatan, potensial komplikasi.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas
kasus tentang asuhan keperawatan pada Nn. R dengan kasus Head Injury Grade III
di ruang rawat inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh, mulai 14 Oktober sampai dengan tanggal 17 Oktober 2009 yang
dihubungkan dengan teori-teori terkait. Data penulis peroleh dari sumber
sekunder (keluarga, keperawatan atau kesehatan, disamping dan catatan medis
lainnya), sedangkan data sumber primer yaitu data dan keluhan pasien sendiri.
Agar lebih terarah pembahasan ini penulis lakukan secara sistematis sesuai
dengan tahap-tahap proses keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa
keperawatan, rencana keperawatan, pelaksanaan tindakan keperawatan dan evaluasi
keperawatan.
A.
Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal
dalam proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam
pengumpulan data, dan berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001).
Berdasarkan pengkajian yang
penulis lakukan pada tanggal 14 Oktober 2009 didapatkan data sebagai berikut :
pasien bernama Nn. R berumur 19 tahun jenis kelamin perempuan, agama Islam
belum menikah, suku Aceh, pendidikan kuliah, pekerjaan swasta, alamat Geumpang,
Sigli, di rawat di Ruang Rawat Inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah
Dr. Zainoel Abidin tanggal 10 Oktober 2009 dengan diagnosa medis Head Injury
Grade III.
Cedera kepala merupakan salah
satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada manusia dan sebagian besar
terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (tabrakan otomobil), akibat trauma tumpul
seperti terjatuh atau terpukul dan cedera tembus seperti luka tembus peluru
(Mansjoer, 2000).
Keluhan utama yang dirasakan
oleh Nn. R menurut keterangan dari keluarga adalah pasien gelisah, sering
mengeluh pusing kepala dan terdapat hematoma kepala.
Keluhan utama yang dirasakan
oleh Nn. R dengan trauma kepala seperti tersebut diatas sesuai dengan teoritis
yang dikemukakan oleh Pahria (1996) dimana umumnya pasien dengan trauma kepala
datang ke rumah sakit dengan keluhan penurunan kesadaran, bingung muntah, sakit
kepala dan lemah.
Pada riwayat penyakit sekarang
menurut keterangan keluarga pasien pada tanggal 7 Oktober 2009 pulang dari kuliah
mengalami kecelakaan lalu lintas pasien mengalami penurunan kesadaran, gelisah
dan meraung-raung.
Penurunan kesadaran yang
dialami oleh Nn. R di atas disebabkan oleh terjadinya gangguan aliran darah ke
otak akibat trauma kepala yang dialaminya. Hal ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Smeltzer (2001), bahwa pasien cedera kepala mengalami
penurunan tingkat kesadaran disebabkan karena tersumbatnya aliran darah ke otak
yang menyebabkan kurangnya oksigen dan glukosa sehingga perfusi jaringan otak
terganggu.
Pada riwayat penyakit dahulu
keluarga pasien mengatakan sebelumnya pasien belum pernah mengalami kecelakaan
seperti ini, hanya sakit biasa saja. Menurut Doenges (1999), tidak ada
hubungannya riwayat penyakit dahulu, penyakit keluarga/keturunan dengan kasus
cedera kepala.
Pada pengkajian pola kebiasaan
sehari-hari, sebelum dirawat pasien makan 3 kali sehari dengan menu nasi,
sayur-sayuran, lauk-pauk dan terkadang ditambah dengan buah-buahan. Selama
dirawat keluarga pasien mengatakan pasien hanya sanggup makan nasi 2 sendok
tipa porsi yang disediakan ditambah dengan snack lainnya. Menurut Doenges
(1999), pada pasien dengan trauma kepala, gangguan pola makan salah satunya
diakibatkan oleh kesulitan menelan dan otot mengunyah lambat, karena ada
gangguan pada glossfaringeal, jadi tidak ada perbedaan kasus dengan teoritis.
Pola minum, sebelum dirawat
keluarga mengatakan pasien minum 8 – 9 gelas sehari, selama dirawat pasien
hanya 5 – 6 gelas air putih sehari. Menurut teoritis kebutuhan cairan bagi
tubuh orang dewasa perhari adalah 1500 – 3500 cc/hari (Elizabeth, 2000).
Pada pengkajian pola aktivitas,
menurut keterangan keluarga pasien sebelum sakit beraktivitas dengan baik,
namun selama dalam rawatan pasien bedrest total dan semua kebutuhan pasien
seperti makan, minum berpakaian dan lain-lain sangat tergantung pada keluarga
dan perawat, tingkat ketergantungan adalah : 4.
Menurut Doenges (1999), keterbatasan
aktivitas
disebabkan oleh kelemahan fisik penurunan
kesadaran. Untuk mengukur tingkat aktivitas seseorang digunakan skala tingkat
ketergantungan 0–4 dengan kategori :
-
0 : pasien mampu
mandiri
-
1 : memerlukan
bantuan atau peralatan minimal
-
2 : memerlukan
bantuan dengan pengawasan atau diajarkan
-
3 : memerlukan
bantuan dengan peralatan terus-menerus dan alat khusus
-
4 : tergantung secara
total pada pemberian pelayanan keperawatan.
Berdasarkan tinjauan kasus
ketergantungan Nn. R kepada orang lain dalam hal pemenuhan kebutuhan
sehari-hari dan proses perawatannya maka dapat disimpulkan bahwa tingkat
ketergantungan Nn. R berada pada skala 4 karena segala kebutuhan Nn. R harus
dibantu oleh orang lain baik keluarganya maupun perawat.
Pada pengkajian pola istirahat/tidur,
menurut keterangan keluarga bahwa sebelum dirawat pasien tidur 8 – 9 jam sehari
dan kadang-kadang juga tidur siang. Selama dirawat kelurga mengatakan pasien tidak
mengalami gangguan pola tidur, yaitu pasien tidur 7 – 8 jam sehari.
Secara teoritis kebutuhan
istirahat atau tidur pada orang dewasa ada 7 – 9 jam sehari, pada tinjauan
kasus ditemukan tidak adanya gangguan dimana Nn. R istirahat atau tidur 7 – 8
jam per hari.
Pada pola eliminasi, menurut
keterangan keluarga pasien belum dirawat BAB 1 – 2 x sehari dengan konsistensi
lunak, berwarna kuning dan berbau khas, dan BAK 3 – 4 x sehari dengan warna
yang kuning dan berbau khas. Namun selama dirawat keluarga pasien mengatakan
bahwa pasien BAB 2 hari 1 x dengan konsistensi keras, berwarna kuning dan
berbau khas, BAK pasien selama dirawat melalui kateter karena tidak bisa ke
kamar mandi, dan haluaran urin dalam satu hari sebanyak 1500 cc dengan warna
kuning dan berbau khas.
Secara teoritis warna normal
feses adalah coklat dan frekuensinya bervariasi dari 1 – 3 kali per hari dan
warna normal urine kuning atau jernih, haluaran urine dalam 24 jam adalah 1200
– 1500 ml, feses berkisar antara 100-400 gram setiap harinya atau bervariasi
sesuai dengan diit (Hidayat, 2005).
Pada tinjauan kasus ditemukan
ada dan tidak sesuai dengan tinjauan teoritis dimana Nn. R buang air besar atau
BAB 2 hari 1 x dan buang air kecil normal yaitu 1500 cc/hari.
Pada personal hygiene pasien,
sebelum dirawat keluarga mengatakan pasien mandi dan menyikat gigi 2 kali
sehari dengan memakai sabun dan odol keramas 3 kali dalam seminggu dengan
menggunakan shampoo. Selama dirawat keluarga mengatakan pasien jarang
dimandikan hanya diseka sesekali oleh kelurga dan perawat dengan kain basah dan
tanpa menggosok gigi.
Menurut teoritis personal hygiene
adalah tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
kesejahteraan fisik dan psikis (Carpenito, 2000).
Pada tinjauan kasus ditemukan
personal hygiene yang kurang baik pada Nn. R disebabkan karena ketidak mampuan
pasien dalam memenuhi kebutuhannya secara mandiri akibat kelemahan dan
penurunan kesadaran yang dialaminya.
Data psikologis pada saat
pengkajian, keluarga mengatakan pasien gelisah dan meraung-raung dengan berkata
bahwa yang dapat menyembuhkannya hanya Allah SWT.
Data sosial, menurut keterangan
keluarga bahwa pasien adalah salah seorang anak dari 4 bersaudara, pasien orang
yang ramah dan baik dalam keluarga maupun dalam berhubungan dengan masyarakat
sekitar tempatnya. Pasien menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa sehari-hari
dirumah, selama dirawat pasien bersikap acuh tak acuh, kurang perhatian dan
tampak gelisah.
Sedangkan data spiritual,
menurut keterangan keluarga, sebelum dirawat pasien rajin melaksanakan ibadah
shalat 5 waktu dan mengaji bersama adik-adiknya. Selama dirawat pasien tidak
dapat melaksanakan ibadah seperti biasanya berhubung dengan kondisi pasien yang
lemah.
Pemeriksaan fisik yang
dilakukan baik melalui inspeksi, palpasi, perkusi dan aukultasi ditemukan data
sebagai berikut : keadaan umum sedang, kesadaran apatis, tekanan darah 120/70
mmHg, denyut nadi 78 x/i , respirasi 22 x/i
dan suhu 36,3 oC. Pemeriksaan fisik meliputi : kepala : rambut
hitam, bentuk simetris, adanya memar di kepala. Wajah : simetris, mata;
konjungtiva pucat, skleura tidak ikterik, reaksi pupil terhadap cahaya normal.
Hidung ; bentuk simetris, tidak ada serumen. Telinga; bentuk simetris, serumen
tidak ada dan tidak ada kelainan. Mulut; bentuk simetris, mukosa mulut kering,
gigi lengkap dan kebersihan gigi kurang. Leher bentuk simetris, pembesaran
kelenjar tiroid tidak ada, dan dapat digerakkan ke kiri dan ke kanan. Thorak
bentuk simetris, pergerakan dada normal, BJ I > BJ II (dalam batas normal).
Abdomen bentuk simetris, tidak ada distensi dan tidak ada nyeri tekan.
Ekstremitas atas dan bawah, kanan dan kiri sama panjang, tidak ada cacat,
terdapat luka lecet yang telah mengering tidak ada udema dan sianosis.
Genitalia tidak ada kelainan, kateter terpasang, kebersihan bersih.
Dan hasil pemeriksaan Geulima I
(Saraf)s data yang penulis dapatkan yaitu Glasgow Coma Scale (GCS) E = 3
membuka mata bila ada rangsangan suara/dipanggil, M = 2 timbul ekstensi
abnormal bila dirangsang nyeri, V = 3 dengan rangsangan hanya ada kata-kata
tapi tidak berbentuk kalimat. Secara teoritis GCS normal 15, dimana (E = Eye)
membuka mata spontan = 4 membuka mata terhadap bicara = 3, membuka mata
terhadap rangsangan nyeri = 2, tidak ada reaksi = 1, (M = Motorik), menuruti
perintah = 6, menunjuk lokasi nyeri = 5, reaksi menghindar = 4, reaksi fleksi =
3, reaksi ekstensi = 2, tidak ada reaksi = 1, dan (V = verbal) bicara baik = 5,
disorientasi waktu, tempat dan orang = 4, bicara kacau = 3, hanya suara
mengerang = 2, tidak ada jawaban = 1 (Smeltzer, 2001).
Pada pemeriksaan kekuatan otot
atas dan bawah (kiri dan kanan) didapat hasil 5. Secara teoritis score
tertinggi derajat kekuatan otot 5 dan terendah 0, dengan menggunakan range
derajat kekuatan obat 0 – 5, O paralisis sempurna, 1 tidak ada kontraksi dengan
sedikit topangan, 3 dapat melawan gravitasi tanpa tahanan, 4 dapat melawan
gravitasi bumi dengan sedikit tahanan, 5 dapat melawan gravitasi bumi dengan
tahanan penuh (Smeltzer, 2001).
Pada pemeriksaan reflek
fisiologis didapat hasil : (++) normal. Secara teoritis, simbol yang digunakan
dalam pemeriksaan reflek yaitu : (0) arefleksi (tidak ada kontraksi), ( +
) hynorefleksi (ada kontraksi tidak ada pergerakan sendi), (++) reflek normal,
(+++) hyperrefleksi (kontraksi otot dan pergerakan sendi yang berlebihan)
(Smeltzer, 2001).
Pada pemeriksaan nervus kronial
yang penulis dapatkan dari Nn. R dimulai dari Nervus I sampai Nervus XII adalah Nervus I. Pasien
berespon terhadap benda yang diciumkan ke hidungnya, Nervus II pasien dapat
melihat dengan baik, Nervus III pergerakan mata secara bersamaan terkoordinir,
Nervus IV pergerakan mata ke bawah dan ke atas baik, Nervus V pergerakan otot
mengunyah lambat, Nervus VI pergerakan mata kearah samping kiri dan kanan baik,
Nervus VII pasien mampu memperlihatkan giginya, Nervus VIII pasien dapat
mendengar dengan baik, Nervus IX pasien dapat menelan dengan baik, Nervus X
ucapan pasien kurang jelas, Nervus XI pasien mampu mengangkat tangan dan bahu
dan Nervus XII pasien mampu menjulurkan lidah.
Secara teoritis saraf kronial,
terbagi atas 12 yaitu Nervus Afaktorius merupakan syaraf pada hidung yang
berfungsi sebagai alat penciuman, nervus optikus untuk bola mata yang berfungsi
untuk penglihatan, nervus okulomotorius berfungsi sebagai penggerak bola mata
dan mengangkat bola mata, nervus troklearis berfungsi untuk memutar mata,
nervus trigeminus berfungsi unuk kelopak mata atas, nervus trigeminus berfungsi
untuk rahang atas, nervus mandibularis berfungsi untuk rahang bawah dan lidah,
nervus abdusen untuk mata yang berfungsi sebagai penggoyang sisi mata, nervus
fasialis untuk menggerakkan lidah, nervus vestibularis untuk rangsangan
pendengaran, nervus glossofaringeus untuk faring, laring, paru-paru dan
esofagus, nervus fagus untuk tonsil dan lidah / berbicara dengan baik, nervus
asesorius untuk leher dan bahu dan nervus hipoglassus untuk gerakan lidah dan
cita rasa (Syaifuddin, 2006).
Pada pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada Nn. R diperoelh hasil Hb : 9,7 gr/dl, leukosit : 11,4 103/ui,
LED : 47, hematokrit : 30 %, creatin darah : 0,7, trombosit : 396 103/ui.
Menurut tinjauan teoritis
pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk mengetahui kemungkinan Hb meningkat
menunjukkan adanya hemokonsentrasi akibat dehidrasi atau penurunan menunjukkan
adanya anemia, leukosit meningkat merupakan adanya infeksi. Hematokrit menurun
menunjukkan adanya trauma, glukosa meningkat menunjukkan adanya penyakit
diabetes mellitus, peningkatan trombosit mengidentifikasikan adanya perdarahan
akut (Hidayat, 2005).
Pada penatalaksanaan medis yang
dilakukan pada Nn.R dengan Head Injury Grade III adalah pemberian infus RI dengan
kecepatan 20 tetes per menit, yang bertujuan untuk memberikan kebutuhan cairan
tubuh dan zat-zat makanan, ranitidine 1 Amp/12 jam untuk mencegah terjadinya
peningkatan asam lambung, novalgin 1 Amp/12 jam, Nicholin 1 Amp/12 jam dan
cefriaxone 1 gr / 12 jam.
Berdasarkan pengkajian diatas,
didapatkan analisa data sebagai berikut : data subjektif keluarga mengatakan
pasien sering merintih, memegang kepala dan selalu mengeluh pusing, data
objektif adanya memar di kepala, pasien tampak gelisah, kesadaran apatis.
Data subjektif keluarga
mengatakan pasien hanya tidur berbaring di tempat tidur, aktivitas dibantu
keluarga, data objektif bedrest, tangan kanan dan kaki kanan diikat, kurang
perawatan diri, k/u : lemah, skala ketergantungan 4, masalah keperawatan yang
timbul adalah gangguan ADL dengan etiologi penurunan tingkat kesadaran.
Data subjektif keluarga
mengatakan pasien nafsu makannya kurang, tidak mampu mengunyah, data objektif
hanya menghabiskan ¼ dari porsi yang disediakan, sehingga masalah keperawatan yang
timbul adalah perubahan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan
etiologi otot mengunyah lambat dan anoreksia.
B.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah
suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia (status individu dan perubahan
pola) dan individu atau kelompok dimana keperawatan secara akuntabilitas dapat
mengidentifikasikan dan memberi intervensi secara pasti untuk menjaga status
kesehatan manurun, membatasi, mencegah dan merubah (Carpenito, 1999).
Berdasarkan analisa data maka
diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus Nn. R sesuai prioritas masalah
adalah perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan terhambatnya
aliran darah ke otak, gangguan ADL berhubungan dengan penurunan kesadaran,
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesukaran
menelan.
Menurut teoritis, diagnosa yang
mungkin timbul pada pasien dengan cedera kepala antara lain adalah sebagai
berikut : gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan terhambatnya
aliran darah ke otak, edema otak, hipoksia, gangguan metabolik, tidak
efektifnya pola nafas berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, perubahan
perfusi sensori, penglihatan, pendarahan pada mata, kerusakan saraf berhubungan
dengan kerusakan defisit trauma Geulima I (Saraf), gangguan mobilitas fisik
berhubungan dengan penurunan fungsi saraf motorik, gangguan proses fikir
berhubungan dengan kerusakan psikologis, konflik psikologis, perubahan
pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan
kesadaran atau kesukaran menelan, defisit perawatan diri berhubungan dengan
keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan, kurangnya pengetahuan pasien/keluarga
tentang penyakitnya berhubungan dengan kurangnya informasi, kerusakan
komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, ganguan rasa
nyaman, nyeri vertigo dan pusing berhubungan dengan kerusakan jaringan otak dan
pendarahan otak atau peningkatan intrakranial (Doenges, 1999).
Apabila dibandingkan diagnosa
keperawatan pada pasien dengan diagnosa yang dikemukakan oleh Doenges, jelaslah
bahwa tidak semua diagnosa keperawatan pada pasien cedera kepala data ditemukan
di lahan praktek seperti kurang pengetahuan. Hal ini disebabkan tidak terdapat
data yang mendukung untuk penegakan diagnosa keperawatan.
C.
Tahap Perencanaan
Perencanaan merupakan tahap
selanjutnya setelah pengkajian dan penentuan diagnosa keperawatan. Perencanaan
yang ditujukan perawat untuk mengatasi, mencegah, mengurangi dan memantau
masalah kolaboratif (Carpenito, 1999).
Perencanaan yang diberikan pada
Nn. R berdasarkan masalah yang timbul dan disesuaikan dengan tinjauan teoritis
dari Doenges (1999) yaitu perubahan perfusi jaringan cerebral dengan
terhambatnya aliran darah ke otak, tujuan yang diharapkan adalah fungsi
serebral meningkat dengan kriteria hasil GCS normal, intervensi keperawatan
yang dapat diberikan adalah lihat pucat, sianosis, kulit dingin, catat kekuatan
nadi.
Untuk diagnosa gangguan ADL
berhubungan dengan penurunan kesadaran, tujuan yang diharapkan adalah
tercapainya peningkatan kebutuhan ADL terpenuhi dengan kriteria hasil pasien
mampu beraktivitas secara mandiri. Rencana tindakan keperawatan yang dapat
diberikan antara lain adalah kaji kemampuan dan tingkat ketergantungan untuk
melakukan kebutuhan sehari-hari dengan
menggunakan skala ketergantungan, rasionalnya mengidentifikasi
kekuatan/kelemahan, dapat memberikan informasi mengenai pemulihan, tingkatkan
aktivitas sesuai toleransi, bantu melakukan latihan rentang gerak sendi
aktif/pasif, rasionalisasinya arah baring yang terlalu lama dapat menurunkan
kemampuan aktivitas pasien, ini dapat terjadi karena keterbatasan aktivitas
yang menganggu periode istirahat, ubah posisi tidur dengan sering, rasionalnya
menurunkan resiko terjadinya trauma/iskemik jaringan dan kaji respon pasien terhadap
aktivitas, rasionalnya menetapkan kemampuan/kebutuhan pasien dan memudahkan
pilihan intervensi.
Untuk diagnosa perubahan pada
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesukaran menelan dan
anoreksia, tujuan yang diharapkan adalah terpenuhinya kebutuhan nutrisi dengan
kriteria hasil nafsu makan pasien dan adanya perubahan dalam pemilihan cara
pemberian makanan menjadi makanan lunak atau makanan biasa.
Rencana keperawatan yang dapat
dirumuskan adalah kaji kemampuan pasien dalam mengunyah dan menelan,
rasionalnya untuk menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien
terlindung dari aspirasi, aukultasi bising usus, catat adanya
penurunan/hilangnya atau suara yang hiperaktif, rasionalnya untuk membantu
dalam menentukan respon untuk makan atau berkembangnya komplikasi seperti
paralitik ileus, dan anjurkan pada keluarga untuk memberikan makanan sonde
sesuai jadwal, rasionalnya meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien
terhadap nutrisi yang diberikan.
D.
Implementasi Keperawatan
Menurut Doenges (1999) yaitu :
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Nn. R untuk
diagnosa perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan terhambatnya
aliran darah ke otak, adalah melihat kondisi pasien sianosis, kulit
dingin/lembab, mencatat kekuatan nadi dengan memantau keadaan pasien setiap 1
jam sekali.
Pada diagnosa gangguan ADL
berhubungan dengan penurunan kesadaran, tindakan keperawatan yang dilakukan
pada Nn. R adalah mengkaji kemampuan dan tingkat ketergantungan pasien dalam
memenuhi kebutuhannya dengan menggunakan skala ketergantungan 0 – 4, dimana
didapatkan bahwa tingkat ketergantungan pasien berada pada skala 4, yaitu
pasien mengalami ketergantungan total kepada orang lain dalam hal pemenuhan
kebutuhannya sehari-hari, meningkatkan aktivitas pasien secara bertahap sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki pasien seperti melakukan gerakan sendi
aktif/pasif pada anggota tubuh yang
tidak sakit seperti menggerak-gerakkan tangan, leher, bahu dan pergelangan
tangan 3 – 4 kali sehari. Menjelaskan kepada keluarga tentang manfaat latihan
aktif/pasif yang dilakukan pada pasien dan memberikan contoh pergerakan
aktif/pasif yang mungkin dilakukan pada pasien untuk dapat dipraktekkan kembali
oleh keluarga, mengubah posisi tidur pasien dengan sering, seperti mengubah
posisi dalam posisi sim kanan dan sim kiri serta mengkaji respon pasien
terhadap aktivitas yang diberikan kepadanya.
Untuk diagnosa perubahan
pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan otot mengunyah
lambat dan anoreksia adalah mengkaji kemampuan pasien untuk membuka mulut dan
mengunyah, menganjurkan pasien untuk makan makanan yang tinggi kalori dan mudah
dicerna, dan memberikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering kepada pasien
serta memberikan penjelasan kepada pasien tentang; pentingnya nutrisi bagi
tubuh dan dampak dari kekurangan zat gizi bagi kesehatan tubuh.
E.
Evaluasi
Menurut Doenges (1999) pada
tahap evaluasi yang diharapkan adalah pada tinjauan teoritis dengan tinjauan
kasus tidak berbeda jauh, terutama dalam tuntutan rencana keperawatan yang
dibuat. Adapun evaluasi yang diharapkan pada tinjauan teoritis yaitu :
- Perubahan perfusi jaringan serebral, evaluasi yang
diharapkan adalah keadaan pasien dengan faktor-faktor yang muncul tidak
terjadi dengan kriteria hasil GCS pasien normal.
- Gangguan ADL, evaluasi yang diharapkan adalah pasien
mengalami peningkatan kebutuhan secara mandiri dengan kriteria hasil;
pasien mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya secara mandiri.
- Perubahan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh, diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria hasil
status nutrisi pasien meningkat dan adanya perubahan dalam pemilihan cara
pemberian makanan dari cair menjadi makanan lunak atau makanan biasa.
Pada tinjauan kasus
evaluasi atau hasil yang didapat secara
langsung dari pasien yaitu :
- Perubahan perfusi jaringan serebral evaluasi yang didapatkan yaitu
pasien tampak sedikit rileks, GCS = 9, kesadaran apatis, sehingga
disimpulkan bahwa masalah teratasi sebagian dan tindakan keperawatan
dilanjutkan.
- Gangguan ADL, hasil yang didapatkan yaitu pasien belum mampu
berkativitas secara mandiri, aktivitas pasien dibantu oleh keluarganya,
perawat, keadaan umum pasien sedang dan skala ketergantungan pasien masih
berada pada skala 3, masalah belum teratasi sebagian dan tindakan keperawatan
dilanjutkan.
- Perubahan pemenuhan nutrisi, hasil yang didapatkan yaitu keadaan umum
pasien sedang, infus masih terpasang, sudah sanggup menghabiskan ½ dari
porsi yang disediakan ditambah lagi dengan snack, meskipun masih tidak
bisa mengunyah dengan baik. Masalah teratasi sebagian, rencana tindakan
dilanjutkan.
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan
uraian-uraian yang telah ditemukan dalam laporan studi kasus pada Nn. R maka
dengan ini penulis mengambil beberapa kesimpulan dan saran dengan harapan
adanya suatu peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan pada pasien dimasa
yang akan datang.
A.
Kesimpulan
1.
Dari hasil
pengkajian diperoleh data-data pada Nn. R yaitu antara lain sebagai berikut;
keadaan umum sedang kesadaran apatis tidak dapat berbicara, nilai GCS 8,
bedrest total, kebutuhan sehari-hari dibantu sepenuhnya oleh orang lain, tingkat
ketergantungan kepada orang lain berada pada skala 4.
2.
Masalah keperawatan
yang timbul pada Nn. R adalah perubahan perpusi jaringan selebral berhubungan
dengan terhambatnya aliran darah ke otak gangguan ADL berhubungan dengan
kelemahan penurunan kesadaran, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kesukaran menelan.
3.
Intervensi
keperawatan pada Nn. R dilakukan berdasarkan masalah yang didapat dan tujuan yang
diinginkan, yang mencakup antara lain memberikan tindakan untuk memenuhi
kebutuhan pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, melakuakan tindakan
untuk meningkatkan derajat kebersihan dan perawatan diri pasien.
4.
Pelaksanaan
tindakan keperawatan yang dilakukan pada Nn. R yaitu sesuai dengan diagnosa
yang muncul. Pada diagnosa perubahan perfusi jaringan selebral berhubungan
dengan terhambatnya aliran darah ke otak tindakan keperawatan yang dilakukan
antara lain adalah adalah melihat kondisi pasien, sianosis, kulit dingin
mencatat kekuatan nadi dengan memantau keadaan pasien 1 jam sekali. Pada
diagnosa ADL berhubungan dengan penurunan kesadaran, tindakan yang dilakukan
antara lain adalah mengkaji kemampuan dan tingkat ketergantungan pasien dalam
memenuhi kebutuhannya, meningkatkan aktifitas pasien secara bertahap sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki pasien, menjelaskan kepada keluarga tentang
mamfaat latihan aktif dan pasif yang dilakukan kepada pasien, mengubah posisi
tidur dengan sering dan mengkaji respon pasien terhadap aktifitas yang
diberikan kepadanya pada diagnosa perubahan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang
dan kebutuhan tubuh, tindakan yang dilakukan antara lain adalah mengkaji
kemampuan pasien untuk menelan dan mengunyah, mengatur posisi kepala pasien
pada saat memberikan makanan. Mengkaji kemampuan pasien untuk membuka mulut dan
mengunyah, memberikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering kepada pasien dan
melakukan kolaborasi dengan tim gizi.
5.
Hasil evaluasi yang
didapat berdasarkan asuhan keperawatan pada Nn. R dengan kasus cedera kepala
sedang selama tiga hari adalah : perubahan perfusi jaringan cerebral teratasi
sebagian sehingga tindakan tetap dilanjutkan, gangguan ADL belum teratasi
sehingga rencana tindakan keperawatan dilanjutkan. Perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh masalah teratasi sebagian tindakan keperawatan tetap
dilanjutkan.
B.
Saran-saran
Berdasarkan
kesimpulan di atas, maka ada beberapa saran yang mungkin bermanfaat dalam
pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus cedera kepala sedang
sebagai berikut :
1.
Diharapkan kepada
mahasiswa agar lebih meningkatkan ilmu keperawatan dengan kasus cedera kepala
khususnya dan Head Injury Grade III agar lebih mudah dalam hal memberikan
asuhan keperawatan.
2.
Kepada Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh diharapkan kepada pemegang kebijakan
agar lebih memperhatikan lagi tentang kebutuhan tenaga perawat dan
kebutuhan-kebutuhan alat serta barang-barang yang dibutuhkan untuk kelancaran
proses pelayanan keperawatan.
3.
Diharapkan kepada
seluruh tim kesehatan, khususnya perawat agar dapat mengembangkan diri
memperluas wawasan melalui buku-buku media agar dapat meningkatkan mutu
pelayanan keperawatan khususnya dalam merawat pasien dengan Head Injury Grade
III.
4.
Diharapkan kepada
Akademi agar dapat menambah sarana dan prasarana seperti penambahan buku-buku
keperawatan yang menyangkut dengan medikal bedah khususnya kasus Head Injury
Grade III.
DAFTAR PUSTAKA
Bater. B 2000, Pemeriksaan
Fisik & Riwayat Kesehatan. Edisi 2,
EGC.
Carpenito LJ. 1999, Diagnosa
: Aplikasi Pada Praktek Klinis. Edisi 6, Jakarta EGC.
Doenges, E. M. 1999, Rencana
Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Edisi 3, Jakarta. EGC.
Elizabet, J. Corwin, 2000. Patofisiologi,
Jakarta EGC.
Henderson, 1992, Ilmu
Bedah Untuk Perawat, Penerbit Yayasan Essentia Medica, Yogyakarta.
Hudak dan Gallo, 1997, Keperawatan
Kritis, edisi VI Jakarta. EGC.
Listiono Djoko, 1998, Ilmu
Bedah Saraf, Edisi III, Jakarta. EGC.
Mansjoer, A. 2000. Kapita
Selekta Kedokteran, Edisi 3 Jakarta : Medica Aesculapius.
Nursalam. 2001, Proses
Dokumentasi Keperawatan (Konsep dan Praktik). Salemba Medika, Jakarta.
Price, Sylvia dan Wilson M.
2005, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta :
EGC.
Ratna, 1996, Susunan
Saraf Otak Manusia, Jakarta.
Smeltzer, S dan Bare. 2001, Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jilid 2 Jakarta: EGC.
Suriadi, 2001, Asuhan
Keperawatan Pada Anak, Edisi 1
S. Taslim, 1999, Buku
Ajar Geulima I (Saraf), Jakarta.
No comments:
Post a Comment