Tuesday, 12 March 2019

MAKALAH ALIRAN HUKUM ALAM


 
i
 
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah dengan taufiq dan hidayah Allah swt. Saya telah menyelesaikan makalah ini. Shalawat beriring salam kepada Nabi Muhammad saw. beserta sahabat beliau yang telah menuntun manusia sepanjang masa dengan cahaya kebenaran. Berkat jasa beliau kita dapat merasakan indahnya kehidupan yang penuh ilmu pengetahuan.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk melengkapi tugas mata kuliah Menulis. Saya menulis sebuah makalah yang berjudul Penyalahgunaan Narkoba Berbasis Sekolah. Di dalam makalah ini, saya menulis tentang pengertian narkoba, pengaruhnya, dan penanggulangannya.
Penulisan makalah ini tidak terlepas dari dukungan teman-teman seperjuangan. Sepantasnya pula untaian terima kasih saya ucapkan kepada Drs. Denni Iskandar, M.Pd. sebagai dosen pembimbing yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk membantu penyempurnaan makalah ini.



DAFTAR ISI

ii
 
KATA PENGANTAR................................................................................        i
DAFTAR ISI...............................................................................................        ii
ALIRAN HUKUM ALAM........................................................................        1
1.      Aliran Hukum Alam di Zaman Yunani............................................        1
2.      Aliran Hukum Alam di Zaman Romawi..........................................        2
3.      Fungsi Hukum Alam........................................................................        6
4.      Hakikat Hukum Alam......................................................................        8
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................        10

ALIRAN HUKUM ALAM.

Aliran hukum alam atau yang biasa disebut mazhab hukum alam. Aliran dimaksud, dikembangkan oleh beberapa pakar yang ada di zaman Yunani dan Romawi.
1.        Aliran Hukum Alam di Zaman Yunani
Orang Yunani pada mulanya (abad ke-5 sebelum Masehi) masih bersifat primitif, yaitu hukum dipandang sebagai suatu keharusan alamiah (nomos); baik semesta  alam maupun hidup manusia. Sebagai contoh lelaki berkuasa dan memiliki  kemampuan politik;  budak harus tetap menjadi budak, sebab begitulah aturan  yang berlaku secara alamiah, dan sebagainya. Namun, pada abad ke-4 SM  para filsuf mulai insaf tentang peran manusia dalam membentuk hukum, misalnya Socrates. Socrates menuntut supaya para penegak hukum mengindahkan keadilan sebagai nilai yang melebihi manusia. Demikian juga pendapat Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (348-322 SM) yang mulai mempertimbangkan bahwa manakah aturan yang lebih adil yang harus menjadi alat untuk mencapai tujuan hukum, walaupun mereka juga tetap mau taat pada tuntutan-tuntutan alam sehingga zaman ini dikenal sebagai zaman dan/atau aliran hukum alam. Pendapat dari tokoh terkemuka di zaman ini diuraikan sebagai berikut.[1]
a.         Plain (427-347 SM) menulis dua buku hidup bernegara, yaitu Politea dan Nomoi. Buku Politea melukiskan suatu model tentang negara. Negara harus diatur secara seimbang menurut bagian-bagiannya supaya adil. Ncgara yang dimaksud oleh Plato adalah tiap-tiap golongan mempunyai tempat alamiahnya, sehingga timbul keadilan. Sebab, tiap-tiap kelompok (filsuf, tentara, pekerja, dan sebagainya) berbuat apa yang sesuai dengan tempat dan tugasnya. Selain itu, Plato berpendapat seperti idenya yang tertulis dalam buku Nomoi yang mengatakan bahwa petunjuk bagi dibentuknya suatu tata hukum yang membawa orang-orang kepada kesempurnaan, yaitu peraturan-peraturan yang berlaku supaya ditulis dalam suatu buku perundang-undangan. Kalau tidak, penyelewengan dari hukum sulit dihindarkan.
b.        Aristoteles (348-322) menulis tentang negara dan hukum dalam bukunya yang berjudul Politics. la berpendapat bahwa manusia, menurut wujudnya merupakan makhluk polis (zoon politikon). Oleh karena itu, seorang warga polis harus ikut serta dalam kegiatan politik. Hal ini, menunjukkan bahwa semua orang harus taat pada hukum polis, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa hukum harus dibagi kepada dua kelompok, yaitu (1) hukum alam atau hukum kodrat, yang mencerminkan aturan alam. Hukum alam itu merupakan suatu hukum yang selalu berlaku dan tidak pernah berubah karena kaitannya dengan alam; (2) hukum yang kedua adalah hukum positif, yaitu hukum yang dibuat oleh manusia.

2.        Aliran Hukum Alam di Zaman Romawi
Pada permulaan abad ke-8 sebelum Masehi, peraturan-peraturan Romawi hanya berlaku di kota Roma. Namun, berangsur-angsur peraturan negara itu menjadi universal keberlakuannya. Sebab, seluruh aturan yang berlaku di kota Roma harus sesuai pada semua wilayah kekuasaan Romawi. Peraturan-­peraturan yang berlaku secara universal disebut ius gentium, yaitu hukum yang diterima oleh semua bangsa sebagai dasar suatu kehidupan bersama yang beradab.
Namun demikian, dapat dipastikan bahwa hukum Romawi dalam abad­abad sebelum masehi lebih bersifat kasuistik. Artinya peraturan yang berlaku tidak diterapkan secara otomatis kepada semua perkara, tetapi lebih berfungsi sebagai pedoman atau contoh bagi para hakim. Perkembangan selanjutnya, peraturan-peraturan para kaisar menjadi undang-undang (abstrak dan umum) yang mengikat secara universal, selaras dengan perkembangan ini diciptakan juga  suatu ilmu hukum oleh para sarjana di bidang hukum, seperti Cicero (106-­43 SM), Gaius, Ulpianus, dan lain-lain.
Filsafat hukum yang menerangkan dan mendasari sistem hukum tersebut,
Hanya lebih bersifat idiil, yakni apa yang dianggap terpenting oleh para tokoh politik dan yuridis zaman itu bukanlah hukum yang telah ditentukan, melainkan hukum yang dicita-citakan dan dicerminkan dalam hukum sebagai ius. Ius itu belum tentu ditemukan dalam segala peraturan, akan tetapi terwujud dalam suatu hukum alamiah yang mengatur, baik alam maupun hidup manusia. Hal yang demikian, oleh para ahli yang menganut aliran Stoa hukum alam itu, yang melebihi hukum positif, dipandang sebagai pernyataan kehendak Ilahi.[2]
Aliran hukum alam dalam pemikiran di zaman Romawi dimunculkan oleh pemikir-pemikir yang dipengaruhi oleh pikiran-pikiran yang berkembang di Yunani, terutama oleh pikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles. Salah satu tokoh Romawi yang banyak mengemukakan pemikirannya tentang hukum alam adalah
Cicero, [3] seorang yuris dan seorang negarawan. Cicero (105-43 BC) mengajarkan konsepnya tentang a true law (hukum yang benar) yang disesuaikannya dengan right reason (penalaran yang benar), serta sesuai dengan alam, dan yang menyebar di antara kemanusiaan dan sifatnya immutable dan eternal. Hukum apa pun harus bersumber dari true law itu. Pada kesempatan lain Cicero mengatakan bahwa, kita lahir untuk keadilan. Dan hukum tidaklah didasarkan pada opini, tetapi pada man's very nature.
Selain Cicero sebagai salah seorang tokoh pemikir di zaman Yunani tersebut, maka salah seorang pemikir Romawi terkenal adalah Gaius. Gaius membcdakan antara ius civile dan ius gentium. Ins Civile adalah hukum yang bersifat khusus pada suatu negara tertentu; sedangkan ins gentium adalah hukum yang berlaku universal yang bersumber pada akal pemikiran manusia.[4]
Kedua zaman itu, Yunani dan Romawi mempunyai perbedaan yang konkret mengenai pandangan terhadap hukum. Menurut pendapat Achmad Ali, pemikiran Yunani tentang hukum lebih bersifat teoretis dan filosofis, sedangkan pemikiran Romawi lebih menitikberatkan pada hal-hal yang praktis dan berkaitan dengan hukum positif.[5] Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai pemikiran (okoh-tokoh Yunani mengenai hukum alam, di antarauya Plato, Aristoteles, dan Stoa.
Plato adalah tokoh dari pemikir aliran hukum alam yang muncul di zaman Yunani, ia mengeluarkan dua buah tulisan, yakni The Republic[6] dan The Law. Dari  dua buah buku tersebut telah mengalami perubahan pola pikir. Sebab, buku yang berjudul The Republic, tampak pemikiran Plato menganut pandangan bahwa  negara seyogianya dipimpin oleh para cendekiawan, yang bebas dan tidak terikat pada hukum positif, tetapi pada keadilan. Kemudian pada karyanya yang bedudul The Law, tampak pemikiran Plato meninggalkan idenya agar negara diperintah oleh orang-orang bebas dan cendekia. Oleh karena itu, tampak pemikiran Plato menyadari sulitnya mendapatkan orang yang mempunyai kualitas yang diisyaratkan itu. Selanjutnya, Plato mempunyai pandangan bahwa negara harus melaksanakan keadilan berdasarkan kaidah-kaidah hukum yang tertulis. Karena itu, ia berpendapat bahwa hukum alam harus tunduk pada hukum positif dan otoritas (negara). Bagi Plato, keadilan adalah pencerminan dari keharmonisan antara masyarakat di satu pihak dan individu di pihak lainnya.
Selain pemikiran Plato di atas, muncul pemikiran dari muridnya yang jenius, yaitu Aristoteles. Aristoteles mempunyai pokok-pokok pikiran seperti yang dikutip oleh Curzon, yaitu:[7]
a.         Man's ultimate aim should be the attainment of a "state of goodness and the political state is created by nature as a means to this end.
b.        A community's laws should assist in the attainment of the good life. The law giver assist the citizen to become "good" by habituating him, through law, to knowledge of the good. Law derives its validity from habit upon which obidience is founded.
c.         Law is just if 'it allows persons to develop their capacities within society. Laws of that kind will result only from the exercise of man's reason. Law can be determined only in relations to "the just".
d.        There is a perfect, immutable law reflecting human nature it is universal in mankind.
Selanjutnya, Aristoteles menurut Friedmann, bahwa ia menyumbangkan pemikiran yang paling penting terhadap teori hukum, yaitu
a.         formulasinya tentang problem esensial dari keadilan;
b.        formulasinya tentang perbedaan antara keadilan yang abstrak dengan equity;[8]
c.         uraiannya tentang perbedaan keadilan hukum dan keadilan alamiah (seperti "hukum positif" dan "hukum alam").[9]
Aristoteles sebagai seorang tokoh besar di zamannya, seringkali memunculkan pemikiran-pemikiran yang brilian, di antaranya menyangkut problem esensial keadilan. Aristoteles membuat perbedaan antara keadilan distributif, komutatif dan keadilan remedial. Hal itu akan diuraikan sebagai berikut.
a.         Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang berdasarkan profesinya atau jasanya. Pembagian barang-barang dan kehor­matan pada masing-masing orang sesuai dengan statusnya dalam masya­rakat. Keadilan ini menghendaki agar orang-orang yang mempunyai kedu­dukan yang sama memperoleh perlakuan yang sama pula di hadapan hukum.
b.        Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang memberikan hak kepada seseorang berdasarkan statusnya sebagai manusia.[10]
c.         Keadilan remedial, yaitu menetapkan kriteria dalam melaksanakan hukum sehari-hari, yaitu kita harus mempunyai standar umum untuk memulihkan akibat tindakan yang dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain. Sanksi pidana yang dijatuhkan, memulihkan yang telah dilakukan oleh pembuat kejahatan, dan ganti rugi telah memulihkan kesalahan perdata. Standar tersebut diterapkan tanpa membeda-bedakan orang.[11]
Selain kedua pemikir yang sangat ulung di atas, maka muncul pula satu aturan di zaman Yunani pada abad keempat sebelum masehi, yaitu aliran Stoa. Pemikiran aliran Stoa ini diwakili oleh Zeno (320-250 BC) yang mempunyai ajaran sebagai berikut. [12]
a.       Alam ini diperintah oleh pikiran yang rasional.
b.      Kerasionalan alam dicerminkan oleh seluruh manusia yang dengan kekuatan penalarannya memungkinkan menciptakan suatu natural lift yang didasarkan pada reasonable living.
c.       Hukum Alam dapat diidentikkan dengan moralitas tertinggi.
d.      Basis hukum adalah aturan Tuhan dan keadaan manusiawi.
e.       Penalaran manusia dimaksudkan agar la dapat membedakan yang benar dari salah dan hukum didasarkan pada konsep-konsep manusia tentang hak dan kewajiban.

3.        Fungsi Hukum Alam
Fungsi hukum alam pada zaman ini, masih banyak yang mempertanyakan menyaangkut aturannya, apakah masih diperlukan atau sudah tidak diperlukan. Menurut Friedmann[13] meskipun saat ini tidak mungkin lagi menerima berlakunya hukum  alam sebagai aturan, tetapi dalam sejarahnya, hukum alam telah memberikan sumbangan bagi kehidupan hukum saat ini. Sumbangan dimaksud, adalah sebagai berikut.
a.         It has been the principal instrument in the Transformation of  the old civil law of the Romans into a broad and cosmopolitan system. (la telah berfungsi sebagai instrumen utama di dalam, pentransformasian hukum perdata Romawi Kuno menjadi suatu sistem yang lebih luas dan bersifat kosmopolitan).
b.        It has been a weapon used by both sides in the fight between the medievel Church and the German emperors. (la telah menjadi penjara yang digunakan oleh kedua pihak dalam, pertarungan antara pihak gereja dengan pihak kekaisaran bangsa Jerman).
c.         In its name the validity of international law has been asserted (atas nama hukum alamlah maka kevalidan hukum internasional dapat ditegakkan).
d.        Again it was by appeal to principles of natural law that American judges, professing to interpret the Constitution, resisted the attempt of state legislation to modify and restrict the unfettered economic freedom of the individual. (Juga prinsip-prinsip hukum alam telah menjadi senjata ata para hakim Amerika ketika membuat interpretasi terhadap konstitusi mereka, yaitu dengan menolak campur tangan negara melalui perundang-undangan yang ditujukan untuk melakukan pembatasan di bidang ekonomi).
e.         And the appeal fbr freedom of individual against absolutism launched. (Dan hukum alam telah menjadi tumpuan pada saat prang melancarkan perjuangan bagi kebebasan individu berhadapan dengan keabsolutan).
Perkembangan hukum alam mengalami kemunduran di sekitar abad ke-16 dan muncul kcmbali pada abad ke-19, oleh seorang bangsa Jerman yang bernama Rudolf Stammler. Stammler memberikan pokok-pokok pikirannya mengenai hukum alam sebagai berikut.[14]
a.         Semua  hukum positif merupakan usaha menuju pada hukum yang adil.
b.        Hukum dam berusaha membuat suatu metode rasional yang dapat digunakan untuk menemukan kebenaran yang relatif dari hukum dalam setiap situasi.
c.         Metode itu diharapkan menjadi pemandu jika hukum itu gagal dalam ujian dan membawanya lebih dekat pada tujuannya.
d.        Hukum adalah suatu struktur yang sedemikian rupa, kita harus mengabstraksikan tujuan-tujuannya pada kehidupan social yang nyata. Kita harus menemukan asalnya dan bertanya pada diri sendiri, apakah yang merupakan hal pokok yang harus dilakukan untuk memahaminya sebagai suatu sistem tujuan yang harmonic dan teratur.
e.         Dengan bantuan analisis yang logis, kita akan menemukan asas penyusunan hukum (Juridicial Organization) tertentu yang mutlak sah, yang akan memanndu dengan aman dalam memberikan pengakuan oleh hukum dan hagaimanakah tujuan tersebut berhubungan satu sama lain secara hukum (Jurally Related).

4.        11akikat Hukum Alam
Kalau mencermati secara saksama mengenai hukum alam yang dikemukakan oleh beberapa pakar di atas, maka pada prinsipnya hukum alam bukanlah sesuatu aturan jenis hukum, melainkan merupakan kumpulan ide atau gagasan yang keluar dari pendapat para ahli hukum, kemudian diberikan sebuah Label yang bernama hukum alam. Hal ini sejalan dengan pandangan Satjipto Rahardjo[15] yang mengatakan bahwa istilah hukum alam ini didatangkan dalam berbagai artinya oleh berbagai kalangan dan pada masa yang berbeda-beda
Dengan demikian, hakikat hukum alam merupakan hukum yang berlaku universal dan abadi. Sebab menurut Friedmann, sejarah hukum alam adalah sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang disebut Absolute Justice  (keadilan yang mutlak) disamping kegagalan manusia dalam mencari keadilan. Pengertian hukum alam berubah-ubali sesuai dengan perubahan pola pikir masyarakat dan keadaan politik di zaman itu.[16]
Pendapat Friedmann di atas, sejalan dengan pendapat Dias yang mengatakan bahwa, hukum alam itu adalah.[17]
1.        Ideal-ideal yang menurut perkembangan hukum dan pelaksanaannya;
2.        Dasar dalam hukum, yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara yang ada sekarang dan yang seharusnya;
3.        metode untuk menemukan ht.t.kum yang sempurna;
4.        isi dari hukum yang sempurna, yang dapat didiskusikan melalui akal;
5.        kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum dalam masyarakat.
Selain Friedmann dan Dias yang merupakan penggagas aliran hukum alam, juga ada Thomas Aquinas, seorang filsuf yang terkenal melalui bukunya Summa Theologica dan De Regimene Principum. Pemikiran yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas mengenai hukum alam banyak mempengaruhi gereja bahkan menjadi dasarpemikiran gereja hingga saat ini. Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam empat golongan, yaitu.[18]
1.        Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh panca indra manusia.
2.        Lex Diving, bagian dari rasio Tuhan yang ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang diterimanya.
3.        Lex Naturalis, inilah yang merupakan hukum alam, yaitu yang penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia.
4.        Lex Positives, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang dipengaruhi oleh keadaan dunia.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. 2006. Filsafat Hukum. Sinar Grafika: Jakarta


[1]    Bandingkan uraian Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yokyakarta: Kanisius, Cet. Ke-3, 1995  hlm. 24
[2]    Lihat Ibid, hlm. 25
[3]    Lihat, Cicero dalam Achmad Ali, op, cit, hlm. 260
[4]    Ibid
[5]    Achmad Ali. Menguak Tabir Hukum; Suatu kajian Filosofis dan sosiologis, Jakarta: Gunung Agung, 2007). Hlm. 258
[6]    Ibid.
[7]    Lihat uraian Achmad Ali, op.cit., hlm. 258.

[8]    Equity. Aristoteles melihatnya sebagai alat untuk meluruskan arah hukum yang telah salah sebagai akibat sifatnya yang umum. Hukum tampil dengan bahasa yang umum, padahal tidak seluruh perkara in konkreto yang dapat dimasukkan ke dalam pengaturan yang bersifat umum tabpa risiko menimbulkan ketidakadilan. Oleh karena itu, para hakim kiranya memberlakukan sebagai suatu kasus khas dimana akan memberikan putusan seperti jika ia berada pada kursi pembuat hukum.
[9]    Friedmann, dalam Achmad Ali, ibid, hlm. 259
[10] I.J Van Apeldorn, Pengantar ilmu hukum, diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, Jakarta; Pradnya Paramita. 1971) hlm. 21
[11] Ibid, hlm 259
[12] Lihat Zeno dalam Achmad Ali. Ibid
[13] Lihat, Ibid hlm 261
[14] Lihat, Rudolf Stammler, dalam Achmad Ali, Ibid, hlm 262
[15] Lihat, Satjipto Rahadjo, dalam Achmad Ali, menguak tabir hukum Ibid
[16] Friedmann, dlam Lili Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung;Citra Aditya Bakti, 1996) hlm 49
[17] Dias, dalam Lili Rasyidi, Ibid hlm 263
[18] Thomas Aquinas, dalam Lili Rasyidi, Ibid dlm 50

No comments:

Post a Comment