BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Epidemiologi secara komprehensif
merupakan ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan-determinan frekuensi
penyakit dan status kesehatan pada populasi manusia. Definisi tersebut
mengisyaratkan bahwa epidemiologi pada dasarnya adalah ilmu empirik
kuantitatif, yang banyak melibatkan pengamatan dan pengukuran yang sistematik
tentang frekuensi penyakit dan sejumlah faktor-faktor yang dipelajari
berhubungan dengan penyakit. Kebutuhan akan analisis kuantitatif, mulai dari
perhitungan yang paling sederhana hingga analisis yang paling canggih,
menyebabkan epidemiologi berhubungan erat dengan sebuah ilmu yang disebut
biostatistik (Murti, 2013).
Salah satu unsur pokok penting dalam
epidemiologi adalah pengukuran kejadian penyakit. Terdapat beberapa ukuran yang
dipakai dalam mengukur kejadian penyakit dan ukuran yang dipakai tergantung
tujuan dari pengukuran. Pengukuran kejadian penyakit dapat dilakukan dari hasil
penemuan masalah kesehatan yang ada di masyarakat. Secara umum, tujuan
pengukuran kejadian penyakit digunakan untuk menilai keadaan kesehatan,
mengetahui potensi-potensi untuk menanggulangi masalah kesehatan, dan
mendeteksi kelompok mana yang berisiko terkena penyakit. Hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pengukuran
kejadian penyakit antara lain: ketepatan pengukuran, sensitivitas, spesivitas,
dan isu etika (Hasmi, 2011).
B.
Tujuan:
1.
Mengetahui ukuran dasar epidemiologi
2.
Mengetahui ukuran frekuensi
epidemiologi
3.
Mengetahui ukuran kekuatan hubungan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Ukuran Dasar Epidemiologi
Data
kesehatan masyarakat sangat dibutuhkan oleh pemerintah dan kementerian
kesehatan secara khusus untuk menyusun setiap program kesehatan guna
meningkatkan derajat kesehatan. Berbagai indikator kesehatan yang dipakai untuk
mengevaluasi program kesehatan antara lain rate,
rasio, dan proporsi (Djaja, 2012).
1. Rate
Nilai rate dalam epidemiologi menunjukkan besarnya peristiwa yang terjadi
terhadap jumlah keseluruhan penduduk dan peristiwa tersebut berlangsung dalam
suatu batas waktu tertentu. Ada tiga unsur utama dalam penentuan nilai rate, yaitu: jumlah mereka yang terkena
peristiwa, kelompok penduduk tempat peristiwa tersebut terjadi, dan batas waktu
tertentu yang berkaitan dengan kejadian tersebut (Noor, 2008).
Rate merupakan konsep yang lebih komplek
dibandingkan dengan dua bentuk pecahan. Rate
yang sesungguhnya merupakan kemampuan berubah suatu kuantitas lain. Kuantitas
lain yang digunakan sebagai patokan ini biasanya adalah kuantitas waktu. Bentuk
ukuran ini sering dicampur adukkan dengan proporsi (Saepudin, 2011).
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014) Rate (Rr) adalah angka yang menyatakan
hubungan (relasio). Jumlah berapa kali (frekuensi) suatu kejadian (penyakit)
tertentu itu terjadi di antara sejumlah orang yang mempunyai peluang terekpos
dalam suatu waktu tertentu.
Rr =
Perbandingan suatu peristiwa dengan populasi yang mempunyai
risiko berkaitan dengan peristiwa dimaksud. Hal-hal yang termasuk dalam
kelompok rate adalah sebagai berikut:
a.
Insidens
b.
Prevalens
c.
Attack Rate (AR)
d.
Case Fatality Rate (CFR)
e.
Crude Birth Rate (CBR)
f.
Crude Death Rate (CDR)
g.
Infant Mortality Rate (IMR)
h.
Maternal Mortality Rate (MMR)
2.
Proporsi
Proporsi merupakan perbandingan yang mengukur kemungkinan
terjadinya peristiwa tertentu, dimana membandingkan suatu peristiwa dibagi
dengan jumlah penduduk yang mungkin terkena peristiwa yang dimaksud dalam waktu
yang sama yang dinyatakan dalam persen atau permil (Hasmi, 2011).
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014) Proporsi (P) adalah
jumlah orang (dengan sifat kualitatif tertentu) dibandingkan dengan sejumlah
populasi seluruhnya.
P=
Keterangan:
a. X merupakan bagian dari Y, di mana
Y= 100%
b. merupakan bagian dari 100%
c. sering dinyatakan dalam persentase
(%)
Contoh: pada suatu kejadian luar
biasa keracunan makanan terdapat 32 orang penderita dan 12 diantaranya adalah
anak-anak maka proporsi anak terhadap orang dewasa adalah = 0,375
3.
Rasio
Rasio merupakan tipe ukuran lainnya
yang secara spesifik harus mencakup konsep waktu di dalam ukuran. Rasio
menggambarkan jumlah kasus yang terjadi dibagi dengan populasi berisiko
(Magnus, 2007).
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014)
Rasio (R) adalah jumlah orang (dengan sifat kualitatif tertentu) dibandingkan
dengan sejumlah orang lain (dengan sifat kualitatif lain pula).
R=
Keterangan:
a.
X tidak mempunyai keterkaitan dengan
Y
b. harus merupakan bilangan yang lebih kecil atau sama dengan satu
c.
tidak dinyatakan dalam prosentasi, melainkan
sebagai suatu pecahan di mana y harus lebih besar daripada x (suatu angka
pecahan) atau sama.
Contoh:
pada suatu kejadian luar biasa keracunan makanan terdapat 32 orang penderita
dan 12 diantaranya adalah anak-anak maka rasio anak terhadap orang dewasa
adalah = 0,6
Perbandingan pengertian Rasio,
Proporsi dan Rate menurut Ryadi dan
Wijayanti (2014) adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Perbandingan Pengertian
Rasio, Proporsi dan Rate
Rasio = R |
Proporsi = P |
Rate = Rr |
R= |
P= |
Rr= |
X tidak mempunyai keterkaitan
dengan Y |
X merupakan bagian dari Y. Y= 100% |
X mempunyai keterkaitan secara
tidak langsung dengan Y Y= 100% (total populasi) |
X harus merupakan Y, perbandingan
≤ 1 |
= ≤ 1 atau ≤ 100% |
= ≤ 100% |
Tidak dinyatakan dalam persentase |
Bisa/ boleh dinyatakan dalam
persentase |
Dinyatakan dalam persentase,
permil, atau per 100 ribu populasi |
B. Ukuran Frekuensi Epidemiologi
1. Insidensi
Insidensi adalah kejadian atau kasus
penyakit yang baru saja memasuki fase klinik dalam riwayat alamiah penyakit.
Ukuran frekuensi insidensi penyakit dapat dibedakan menjadi insidensi kumulatif
dan laju insidensi (Murti, 2013).
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014)
Insidens (Incidence Rate) adalah
indicator yang paling banyak digunakan di dalam epidemiologi bila dikaitkan
dengan penderita baru dalam kurun waktu tertentu. Insidens dapat dihitung
dengan formula sebagai berikut:
IR=
Angka insidens dapat digunakan untuk penyakit akut menular
berjangka pendek. Di samping untuk memantau penyakit akut, dapat juga untuk
penyakit-penyakit kronis berjangka panjang.
a.
Insidensi kumulatif (cumulative incidence)
Menurut Rajab (2009) Cumulative Incidence (CI) adalah
probabilitas dari seseorang yang tidak sakit selama periode waktu tertentu,
dengan syarat orang tersebut tidak mati oleh karena penyebab lain. Risiko ini
biasanya digunakan untuk mengukur serangan penyakit yang pertama pada orang
sehat tersebut.
CI =
Baik pembilang maupun penyebut dalam perhitungan ini adalah
individu yang tidak sakit pada permulaan periode pengamatan, sehingga mempunyai
risiko untuk terserang. Ciri dari cumulative
incidence ini adalah:
1) Berbentuk proporsi
2) Tidak memiliki satuan
3) Besarnya berkisar antara 0 dan 1
4) Lamanya periode pengamatan harus
selalu diikutsertakan
Menurut Murti (2013) kegunaan
insidensi kumulatif adalah:
1) Sebagai ukuran alternative laju
insidensi (ID) dalam mempelajari etiologi penyakit,
2) Mengetahui risiko populasi untuk
mengalami prognosis (akibat lanjut penyakit),
3) Mengetahui kelompok-kelompok dalam
populasi yang memerlukan intervensi kesehatan.
b. Densitas insidens (Incidence Density)
Incidence
density adalah
jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada suatu jangka waktu
tertentu (umumnya satu tahun) dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mungkin
terkena penyakit baru tersebut pada pertengahan jangka waktu yang bersangkutan
dalam persen atau permil (Saepudin, 2011).
Menurut Lapau (2009) yang diukur incidence density adalah jumlah individu
yang bergerak dari bebas penyakit menjadi status penyakit selama periode waktu
tertentu, sebagai hasil dari 3 faktor:
1)
Besar populasi
2)
Lama periode waktu (waktu
mempengaruhi kejadian penyakit)
3)
Kekuatan yang menyebabkan penyakit
Menurut
Rajab (2009) Incidence Density (ID)
adalah potensi perubahan status penyakit per satuan waktu relative terhadap
besarnya populasi individu yang sehat pada waktu itu.
ID=
Jumlah orang-waktu merupakan jumlah
dari waktu saat individu masih belum terserang penyakit.
2. Prevalens
Noor (2008) menyatakan bahwa
Prevalens merupakan angka kejadian penyakit pada populasi tertentu dalam jangka
waktu tertentu pula. Perbedaannya adalah pada pembilangnya yang meliputi jumah
semua orang yang baru sakit dan juga orang telah sakit sebelum masa jeda
tersebut dan masih sakit (kasus lama). Perbedaan yang lain pada penyebutnya
meliputi seluruh populasi tempat kejadian/ penyakit tetapi tidak hanya terbatas
pada mereka yang terancam.
Budiarto dan Anggraeni (2003)
menyatakan bahwa terdapat dua ukuran dalam prevalens, yaitu point of prevence (prevalens sesaat) dan
periode prevalence (prevalens
periode). Magnus (2007) menyatakan Denominator pada kedua prevalens tersebut
adalah jumlah orang di dalam populasi selama periode waktu yang sama.
a. Point
of prevalence
Point of prevalence adalah jumlah
penderita lama dan baru pada suatu saat dibagi dengan jumlah penduduk pada saat
itu dalam persen atau permil (Saepudin, 2011).
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014)
Pada point of prevalence,
denominatornya adalah jumlah penduduk total yang diperiksa/diteliti saat itu,
dengan rumus sebagai berikut:
Point
of Prevalens =
b. Periode of prevalence
Prevalensi periode merupakan
perpaduan prevalensi titik dan insidensi. Prevalensi periode adalah
probabilitas individu dari populasi untuk terkena penyakit pada saat dimulainya
pengamatan, atau selama jangka waktu pengamatan (Murti, 2013).
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014)
Pada period prevalence, denominatornya
adalah seluruh penduduk selama kurun waktu tertentu, dengan rumus sebagai
berikut:
PP=
Menurut Budiarto dan Anggraeni
(2003) ukuran prevalensi suatu penyakit dapat digunakan untuk:
1) Menggambarkan tingkat keberhasilan
program pemberantasan penyakit
2) Penyusun perencanaan pelayanan
kesehatan, misalnya penyediaan sarana obat-obatan, tenaga, dan ruangan
3) Menyatakan banyaknya kasus yang
dapat didiagnosis
Salah satu karakteristik prevalens
dan insidens adalah hubungan mereka dapat dikuantifikasi dan intuitif (Magnus,
2007). Menurut Budiarto dan Anggraeni (2003) angka prevalensi dipengaruhi
tingginya insidensi dan lamanya sakit. Lamanya sakit adalah periode mulai
didiagnosanya penyakit sampai berakhirnya penyakit tersebut yaitu sembuh, mati,
kronis. Hubungan antara prevalensi, insidensi, dan lamanya sakit dapat
dinyatakan dengan rumus:
P = I x D
Keterangan:
P = prevalensi
I = insidensi
D = lamanya sakit
Tabel 2.2 Perbedaan Insidens dan
Prevalens
Insidens |
Prevalens |
Hanya menghitung kasus baru |
Menghitung kasus yang ada (baru
dan lama) |
Tingkat tidak tergantung durasi
rata-rata penyakit |
Tergantung pada rata-rata lama
(durasi) sakit |
Dapat diukur sebagai rate atau
proporsi |
Selalu diukur sebagai proporsi |
Merefleksikan kemungkinan menjadi
penyakit sepanjang waktu |
Merefleksikan kemungkinan terjadi
penyakit pada satu waktu tertentu |
Sering digunakan bila melakukan
studi etiologi penyakit |
Sering digunakan bila melakukan
studi utilisasi pelayanan kesehatan |
3. Attack Rate
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014) Attack rate analog dengan Point of Prevalens Rate. Bila point of prevalens rate digunakan pada
penyakit-penyakit yang berlangsung tidak akut (lama), maka Attack rate justru digunakan pada kejadian akut, yaitu pada letupan
atau kejadian luar biasa (KLB).
Rumus Attack Rate
dapat dinyatakan sebagai berikut:
Attack Rate =
4. Mortalitas
Bustan (2006) menyatakan bahwa angka
kematian adalah suatu ukuran frekuensi terjadinya kematian dalam suatu populasi
tertentu selama suatu waktu tertentu. Angka mortalitas sering digunakan sebagai
salah satu indikator dari tingkat keparahan dan kesakitan (Smink, 2012). Status
derajat kesehatan masyarakat dapat tercermin dari angka kematian, kesakitan,
dan status gizi. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di
Indonesia masih cukup tinggi (Tazkiah dkk, 2013).
Menurut Noor (2008) Beberapa angka
kematian yang sering digunakan adalah:
Tabel 2.3 Angka Kematian
Angka kematian |
Pembilang |
Penyebut |
Angka kematian umum (CDR) |
Jumlah seluruh kematian dalam setahun |
Jumlah penduduk pertengahan tahun |
Angka kematian bayi (AKB/IMR) |
Jumlah kematian bayi (umur<1 tahun) dalam 1 tahun |
Jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama |
Angka kematian neonatal (NMR) |
Jumlah kematian neonatal (umur<29 hari) dalam 1 tahun |
Jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama |
Angka kematian |
Pembilang |
Penyebut |
Angka kematian perinatal (PMR) |
Jumlah kematian perinatal (janin dalam kandungan usia 28
minggu sampai bayi usia 1 minggu) dalam 1 tahun |
Jumlah seluruh kelahiran pada tahun yang sama |
Angka kematian ibu (AKI/MMR) |
Jumlah kematian ibu karena proses reproduksi dalam 1 tahun |
Jumlah kelahiran hidup tahun yang sama |
Angka kematian sebab khusus (SCDR) |
Jumlah kematian karena satu sebab tertentu dalam satu
tahun |
Jumlah penduduk pertengahan tahun |
Angka kematian pada penyakit tertentu (CFR) |
Jumlah kematian karena penyakit tertentu |
Jumlah penderita penyakit tersebut pada periode yang sama |
C. Ukuran Kekuatan Hubungan
1. Relative risk
Salah satu kegunaan epidemiologi
adalah mencari penyebab kejadian yang berkaitan dengan kesehatan suatu
populasi. Hubungan sebab akibat tidak hanya membutuhkan adanya hubungan
statistik, namun mempunyai beberapa persyaratan yang salah satunya adalah bukti
tentang keeratan hubungan antara faktor yang dicurigai sebagai akibat faktor
tersebut. Keeratan ini tercermin dari besarnya incidence (risiko) orang-orang
yang terpapar dengan faktor itu dibandingkan dengan incidence di kalangan orang
yang tidak terpapar (Saepudin, 2011).
Relative
Risk (RR) sesungguhnya adalah rumus
asosiasi antara atribut/ karakteristik kelompok (atau populasi) dengan penyakit
tertentu. Relative Risk adalah rasio
angka insidensi penyakit karena pajanan dibandingkan dengan angka insidensi
penyakit yang sama tanpa pajanan, dengan rumus sebagai berikut:
Relative Risk=
Relative risk digunakan hanya sebagai pengukur
peluang (probabilitas). Dengan probabilitas ini dapat dipertanyakan berapa
probabilitas sebagian kelompok menjadi sakit kalau mereka terpajan dan berapa
probabilitas yang tidak kena sakit kalau tidak terpajan (Ryadi dan Wijayanti,
2014).
Contoh soal Relative Risk dalam Ryadi dan Wijayanti (2014):
Suatu bahan cat tertentu bila digunakan dalam jangka waktu
lama dapat menimbulkan kanker kulit. Untuk mewaspadai sifat karsinogenik kini
diadakan studi Kohort. Pada penelitian diambil sampel 1.000 pegawai di
perusahaan cat tersebut yang sehari-harinya mengalami kontak langsung terhadap
bahan yang dicurigai sebagai kelompok terpapar. Sebagai kelompok control adalah
mereka yang dianggap tidak terpapar, diambil 2.000 pegawai perusahaan (yang
sehari-harinya tidak mengalami kontak dnegan bahan cat tersebut). Dari kelompok
terpapar ternyata 100 di antaranya setelah 10 tahun mengalami kanker kulit.
Sebaliknya dalam jangka waktu yang sama pada kelompok tidak terpapar hanya
terdapat 25 orang yang mengalami tanda-tanda kanker kulit.
Tabel 2.4 Pengaruh bahan zat X
terhadap kanker kulit
Kanker Kulit |
Eksposur (Bahan X) |
Total |
|
(+) |
(-) |
||
(+) |
100 |
25 |
125 |
(-) |
900 |
1.975 |
2.875 |
Total |
1.000 |
2.000 |
3.000 |
a. Kelompok terpapar = = 0,1
b. Kelompok tidak terpapar = = 0,0125
c. RR= = 8 kali
d. Hal ini berarti bahwa mereka yang
mengalami kontak langsung dengan bahan cat tersebut cenderung memiliki peluang
8 kali lebih besar untuk mendapatkan kanker kulit daripada yang tidak mengalami
kontak
2. Odds ratio
Odds
ratio adalah
ukuran yang digunakan untuk menjelaskan asosiasi yang didapatkan dalam
penelitian kasus-kontrol. Ukuran ini menggunakan table 2x2 dengan notasi yang
sama untuk menjelaskannya (Magnus, 2007).
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014)
Dalam penelitian case-control study,
apabila tidak terdapat data insidensi, melainkan data prevalensi, maka rumus RR
yang digunakan adalah rumus RR yang disebut Odds
Ratio (OR) sebagai nama sesungguhnya pada case control study.
OR=
Contoh soal Odds Ratio:
Di suatu RW terjadi wabah demam berdarah yang ditandai
dengan panas tinggi 3-5 hari. Diduga kuat bahwa penyebab DHF ini dimungkinkan
karena adanya container di rumah-rumah penduduk yang tidak higienis. Peristiwa
ini baru satu bulan kemudian sempat dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Tingkat
II. Untuk ini Dinas Kesehatan mengadakan penelitian dengan mengambil sampel di
lapangan. Dari 240 soma yang anggotanya pernah menderita panas ternyata 200 soma
yang memiliki container yang berserakan. Sebaliknya pada 220 soma yang tidak
mengalami keluhan pada anggota keluarganya ternyata hanya 20 soma yang memiliki
container yang tidak dikuras.
Tabel 2.5 Hubungan Kontainer dan
Timbulnya DHF
Pemilikan Kontainer dalam Soma |
Penyakit DHF (keluhan panas 3-5
hari) |
Total |
|
(+) |
(-) |
||
(+) |
200 |
20 |
220 |
(-) |
40 |
200 |
240 |
Total |
240 |
220 |
460 |
Rasio
(angka) DHF pada kelompok:
a.
Terekspos =
b. Non terekspos =
c.
Rasio ODDS = = 50 kali
d. Dengan diketemukan ODDS 50 kali
berarti bahwa rumah tangga (soma) yang memelihara container mempunyai
kesempatan 50 kali untuk dijangkiti DHF pada anggota keluarganya
3.
Ukuran dampak potensial
a.
Attribute fraction (exposed)
Bila suatu faktor menjadi penyebab
penyakit, pasti ada penderita yang dapat dihindarkan bila faktor tersebut
dihilangkan dari populasi. Proporsi penderita yang dapat dihilangkan adalah
sebesar (incidence yang terpapar-incidence tak terpapar) atau attribute risk dibagi incidence terpapar, atau dapat
dituliskan:
Attribute fraction exposed =
Ukuran ini sangat berguna dalam
menentukan prioritas masalah dalam program kesehatan masyarakat, maka faktor attribute fraction yang besar yang
mendapat prioritas lebih tinggi dalam penanggulangan (Saepudin, 2011).
b. Population attribute risk
Menurut Ryadi dan Wijayanti (2014)
Population attribute risk merupakan attribute
risk keseluruhan penduduk dalam daerah penelitian yang terekspos. Besarnya Population attribute risk (P.AR) sama
dengan attribute risk dikalikan
dengan proporsi kasus mereka terekspos terhadap total kasus (baik terekspos
maupun non-terekspos), yang kemudian hasilnya dibagi oleh insidens total
penderita-tahun.
P.AR
=
Contoh soal Attribute Fraction dan Population
Attribute Risk dalam Ryadi dan Wijayanti (2014):
Tabel 2.6 Hubungan merokok dengan
insiden stroke pada penelitian Kohort terhadap 118.530 wanita
Kategori merokok |
Jumlah kasus stroke |
Jumlah orang-tahun pada pengamatan
(8 tahun) |
Insiden stroke (rate) per 100.000
orang/tahun |
1. Tidak pernah merokok |
70 |
395.594 |
17.7 |
2. Eks- perokok (pernah merokok) |
65 |
232.712 |
27.9 |
3. Perokok |
139 |
280.141 |
49.6 |
Total |
274 |
908.447 |
30.2 |
1) Attribute
Risk = 49,6-17,7 = 31,9 kasus per
100.000 penduduk
2) Attribute
Fraction = x 100% = 64%
3) Population
Attribute Risk
=
=
=
= x 100%
= 53%
4) Kesimpulannya adalah kurang lebih
53% dari semua kasus stroke di dalam masyarakat dapat dicegah bila perokok
(eksposur) dihentikan seluruhnya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ukuran dalam epidemiologi digunakan
untuk mempermudah petugas kesehatan dalam mengolah data-data. Hasil dari
pengolahan data-data dapat membantu dalam mengidentifikasi wabah, menghitung
kebutuhan pelayanan kesehatan, masalah keterjangkauan, perubahan diagnosis, dan
mengamati perubahan dalam pengobatan. Beberapa ukuran dalam epidemiologi yang
digunakan untuk mengukur derajat kesehatan masayarakat antara lain ukuran dasar
epidemiologi, ukuran frekuensi epidemiologi, dan ukuran kekuatan hubungan dimana
ketiganya memiliki karakteristik yang berbeda.
B. Saran
Hasil dari data yang telah diolah
menggunakan ukuran dalam epidemiologi seharusnya digunakan oleh pemerintah
dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Petugas kesehatan bersama pemerintah sebaiknya juga mengevaluasi
program kesehatan yang sudah berjalan dan merencanakan progam berkelanjutan
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pengambilan data yang akurat
memerlukan kerjasama dari semua pihak baik masyarakat, petugas kesehatan,
maupun pemerintah.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiarto, Eko, dan Dewi Anggraeni.
2003. Pengantar Epidemiologi.
Jakarta: EGC.
Djaja, Sarimawar. 2012.”Transisi
Epidemiologi di Indonesia dalam Dua Dekade Terakhir dan Implikasi Pemeliharaan
Kesehatan menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga, Suskernas, Riskesdas
(1986-2007)”.Pusat Teknologi Intervensi
Kesehatan Masyarakat. Nomor 142.
Hasmi. 2011. Dasar-Dasar Epidemiologi. Jakarta: Trans Info Media.
Lapau, Buchari. 2009. Prinsip dan Metode Epidemiologi.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Magnus, Manya. 2007. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.
Murti, Bhisma. 2013. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi: Edisi
ke 3. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Noor, Nur Nasry. 2008. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Rajab, Wahyudin. 2009. Buku ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa
Kebidanan. Jakarta: EGC
Ryadi, A.L. Slamet dan Wijayanti, T.
2014. Dasar-dasar Epidemiologi.
Jakarta: Salemba Medika
Saepudin, Malik. 2011. Prinsip-Prinsip Epidemiologi. Jakarta:
Trans Info Media.
Smink, Frederique R.E, Daphne van
Hoeken, dan Hans W. Hoek. 2012. “Epidemiology of Eating Disorders: Incidence,
Prevalens and Mortality Rates. Springer
Current Psychiatry. Nomor 14(4): 406-414.
Tazkiah, dkk. 2013. “Determinan
Epidemiologi Kejadian BBLR pada Daerah Endemis Malaria di Kabupaten Banjar
Provinsi Kalimantan Selatan”. Epidemiological
Determinants Low
No comments:
Post a Comment