Makalah
PENDIDIKAN KESEHATAN PADA LANSIA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya.
Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul Penkes
Pada Lansia pada Mata Kuliah Gerontik
Kami telah menyusun
makalah ini dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin. Namun tentunya
sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Harapan kami,
semoga bisa menjadi koreksi di masa mendatang agar lebih baik lagi dari sebelumnya.
Tak lupa ucapan terima
kasih kami sampaikan kepada Dosen Pembimbing atas bimbingan, dorongan dan ilmu
yang telah diberikan kepada kami. Sehingga kami dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dan insya Allah sesuai yang kami
harapkan. Dan kami ucapkan terimakasih pula kepada rekan-rekan dan semua pihak
yang terkait dalam penyusunan makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini
bisa memberikan sumbang pemikiran sekaligus pengetahuan bagi kita semuanya.
Amin.
Aceh
Besar, Oktober 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.
Latar Belakang.................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah............................................................................... 2
C.
Tujuan................................................................................................. 2
BAB II
PEMBAHASAN....................................................................................... 3
A.
Definisi Lansia.................................................................................... 3
B.
Perubahan Pada
Lansia Dalam Semua Sistem Dan Implikasi Klinik 4
C.
Strategi Dalam
Pendidikan Kesehatan Dan Kesejahteraan Lansia 5
D.
Aspek Aspek Yang
Perlu Diperhatikan Dalam Melaksanakan Pendidikan Kesehatan Pada Lansia ..... 14
E. Aspek
Aspek Yang Perlu Diperhatikan Dalam Melaksanakan Pendidikan Kesehatan Pada Lansia 22
BAB III PENUTUP............................................................................................. 26
A.
Kesimpulan....................................................................................... 26
B.
Saran................................................................................................. 27
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................... 28
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Manusia
adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya orang lain.
Pada dasarnya manusia hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya karena manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk
bersosialisasi. Manusia akan berinteraksi dengan masyarakat lainnya, tidak
hanya dalam satu wilayah melainkan dengan wilayah yang lain. Masyarakat di
suatu daerah akan berinteraksi dengan masyarakat di daerah lain, masyarakat di
suatu Negara akan berinteraksi dengan masyarakat di Negara lain sesuai dengan
kebutuhannya.
Disamping
itu manusia juga merupakan makhluk individu yang mempunyai privasi, hak dan
kewajiban. Hak yang dimiliki manusia merupakan hak yang diberikan oleh Tuhan
sejak di dalam kandungan. Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia
yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya
di dalam kehidupan bermasyarakat1.
Hak yang
dimiliki setiap manusia adalah sama. Hak asasi ini dimiliki setiap manusia
tanpa melihat perbedaan apapun baik agama, suku bangsa, ras, jenis kelamin,
warna kulit dan bentuk fisik. Hak-hak ini tidak dapat dicabut oleh siapapun,
dan mempunyai tujuan untuk menjamin martabat setiap manusia. Tuhan menciptakan
manusia berbeda-beda, tidak semua individu terlahir dengan sempurna, beberapa
diantaranya mengalami keterbatasan dan ketidaksempurnaan (cacat), baik fisik
ataupun mental. Dengan kondisi yang seperti itu kaum penyandang cacat sering
mengalami masalah diskriminasi dalam hidup bermasyarakat, baik dalam lingkup
negara maupun internasional.
Kaum
penyandang cacat adalah manusia dengan kemampuan yang berbeda dengan
ketidaksempurnaan fisik. Dalam masyarakat internasional disebut sebagai Difable
(Different ability people). Ada banyak sekali kaum difabel diseluruh dunia.
Menurut data WHO, dari total penduduk dunia, 15% diantaranya adalah kaum
difabel. Mungkin sangat sedikit jika diprosentasekan namun jika dikonfersi
jumlah difabel tersebut mencapai satu miliar orang2. Kaum difabel butuh untuk
berinteraksi dengan manusia lainnya. Sama dengan manusia yang tidak mengalami
ketidaksempurnaan fisik, kaum difabel juga membutukan orang lain bahkan mereka
membutuhkan perhatian yang lebih. Namun tidak sedikit masyarakat yang
mengabaikan kaum difabel, mereka lupa bahwa kaum difabel sama dengan manusia
normal lainnya yang juga mempunyai hak yang sama sebagai manusia.
Pada tahun
2006 United Nation dibawah UNICEF dan WHO menyelenggarakan CRPD ( Convention on
The Rigths of Person with Disabilities) yang merupakan konvensi Internasional
Hak- Hak penyandang cacat yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada sidang ke-61
dengan tujuan untuk melindungi dan memenuhi hak- hak dasar kaum difabel.
Konvensi ini di Indonesia di ratifikasi pada tanggal 30 November 2011 yang
selanjutnya diadopsi menjadi UU No.19 Tahun 20113.
- Tujuan
Untuk
mengetahui pengertian dari Disabilitas dan lainnya
BAB II
PEMBAHSASNNNN
- Penyandang Disabilitas
Istilah
disabilitas secara terus menerus berkembang, baik itu pandangan maupun
pendekatan pengembangannya. Terminologi yang digunakan juga berbeda pada tiap
Negara dan wilayah. Ekspresi yang tidak sesuai atau bahkan menghina harus di
hindari, meskipun jika hal tersebut masih digunakan pada instansi pemerintah.
Disabilitas
diartikan sebagai hasil dari interaksi antara orang dengan malfungsi organ
tubuh, sikap, dan batasan lingkungan yang menghalangi mereka untuk secara penuh
dan efektif berpartisipasi dalam masyarakat setara dengan orang lain. Malfungsi
organ tubuh atau impairment adalah masalah pada fungsi atau struktur tubuh yang
secara signifikan terganggu atau bahkan hilang, misalnya fungsi tubuh, fungsi
mental, fungsi sensor dan rasa sakit, fungsi suara dan kemampuan berbicara,
fungsi kardiovaskular, amputasi, ataupun penyakit-penyakit lainnya (Schranz,
dkk, 2009). Kemudian yang disebut dengan penyandang disabilitas adalah mereka
yang dalam jangka panjang mengalami disabilitas. Penyandang disabilitas selalu
berinteraksi dengan pandangan dan sikap serta batasan-batasan lingkungan yang
antaranya lingkungan alam, etika dan norma, kepercayaan, kebiasaan, kebijakan,
hukum, sumberdaya keuangan, dogma, dan lain-lain.
Disabilitas
fisik, mental, atau fisik/mental memiliki gangguan tertentu sebagai akibat dari
terdapat bagian, peralatan, sistem syaraf, struktur tulang, sendi, dan otot,
serta metabolisme tubuh yang tidak/kurang mampu difungsikan sebagaimana
mestinya. Penyebabnya dapat karena faktor internal seperti penyakit,
genetik/keturunan ataupun faktor eksternal seperti kecelakaan, bencana alam,
dan kelalaian manuasia. Di Indonesia, terdapat dua jenis pendefinisian
disabilitas yaitu secara medis dan hukum (JICA, 2002). Secara hukum,
disabilitas didefinisikan seperti pada UURI Penyandang Cacat yang membagi disabilitas
menjadi tiga yaitu disabilitas fisik, mental, dan gabungan fisik-mental. Secara
hukum, gangguan mental adalah mereka yang secara intelektual terganggu dan
mengalami gangguan tingkah laku baik itu bawaan maupun disebabkan oleh suatu
penyakit. Secara hukum juga dijelaskan bahwa orang dengan disabilitas mental
disebabkan faktor intrinsik dan ekstrinsik yang menghalangi pertumbuhan secara
normal dan baik, hal ini kemudian menyebabkan ketidakmampuan intelektual,
kurangnya kemauan, akal, penyesuaian sosial, dan kesulitan lainnya.
Secara
medis (JICA, 2002), disabilitas dikelompokkan menurut jenis kekurangan yang
dialami yaitu fisik, visual, pendengaran, intelektual, kejiawaan, dan gabungan.
Disabilitas fisik yaitu mereka yang menderita ke kekurangan motorik dari bagian
tubuh termasuk tulang, otot, dan gabungan dari struktur dan fungsi sehingga
mereka tidak dapat melakukan aktivitas secara normal. Disabilitas visual yaitu
mereka yang secara visual tidak dapat menghitung objek dari jarak satu meter.
Menurut WHO, disabilitas visual adalah orang yang tidak menghitung jari dari
jarak tiga meter atau lebih. Disabilitas pendengaran yaitu orang yang mengalami
gangguan pendengaran dan fungsi bicara sehingga ia tidak dapat berkomunikasi
dengan baik. Disabilitas intelektual yaitu orang yang menderita penyimpangan
pertumbuhan dan perkembangan mental yang terjadi pada masa kehamilan ataupun
saat masih anak-anak dimana gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis,
organis, ataupun fungsional. Disabilitas kejiwaan adalah orang yang menderita gangguan kejiwaan
dikarenakan faktor biologis, organis atau fungsional yang menyebabkan perubahan
pola pikir, suasana hari, ataupun tindakan. Sedangkan disabilitas gabungan
adalah orang yang menderita gangguan fisik, mental, atau penyimpangan emosi
sehingga membutuhkan perawatan yang intensif dan menyeluruh.
Walaupun
penyandang disabilitas didefinisikan sebagai orang yang memiliki kekurangan dan
keterbatasan, penyandang disabilitas juga memiliki keinginan dan kebutuhan yang
sama dengan orang tanpa disabilitas. Mereka memiliki kapasitas, kemampuan, dan
ide-ide yang dapat mendukung pembangunan dan kesejahteraan sosial. Konsorsium
Nasional Untuk Hak Difabel Indonesia melakukan analisis terhadap kebijakan
nasional yang berkaitan dengan penyandang disabilitas dan realitas hidup
sehari-hari para penyandang disabilitas. Analisa ini dilakukan berdasarkan
pasal-pasal dalam Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention on the
Rights of Persons with Disabilities/CRPD) untuk menemukan permasalahan yang
masih ada, dengan harapan dapat memberikan pemahaman bahwa masih ada
kesenjangan antara Konvensi yang telah diratifikasi oleh Negara Republik
Indonesia pada tanggal 10 November 2011 ke dalam Undang-undang nomor 19 tahun
2011 dengan upaya pemajuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak
penyandang disabilitas di Indonesia.
Analisis
masalah dan rekomendasi dikelompokkan ke dalam delapan ranah penting dalam
hidup sehari-hari penyandang disabilitas yang termaktub dalam CRPD, yaitu
mobilitas; bencana alam (situasi darurat); rehabilitasi, habilitasi, jaminan
sosial; informasi dan komunikasi; pendidikan; kesehatan; ketenagakerjaan; dan
olahraga, budaya, rekreasi dan hiburan. Ranah-ranah tersebut telah diatur dalam
peraturan perundangan dan kebijakan di Indonesia namun masih belum menyeluruh,
tidak konsisten, bahkan belum memiliki perspektif hak penyandang disabilitas.
Dalam penanggulangan bencana, Indonesia dinilai belum melibatkan secara penuh
penyandang disabilitas dalam perencanaan dan pelatihan khususnya disaster risk
management and disability risk reduction program.
- Penanggulangan Bencana
berbasis Penyandang Disabilitas
Penyandang
disabilitas sangat rentan saat terjadi bencana. Kerentanan sosio-ekonomi dan
fisik membuat mereka lebih rawan terhadap bencana. Namun disayangkan,
penyandang disabilitas cenderung diabaikan dalam sistem kesiapsiagaan dan
registrasi keadaan darurat. Penyandang disabilitas seringkali tidak
diikutsertakan dalam usaha-usaha kesiapsiagaan dan tanggap darurat. Hal ini
menyebabkan mereka kekurangan kesadaran dan pemahaman terhadap bencana serta
bagaimana mengatasinya. Dikarenakan keterbatasan kemampuan fisik; bantuan
mobilitas atau pendampingan yang tepat, penyandang disabilitas seringkali
sangat kekurangan pertolongan dan pelayanan evakuasi; akses kemudahan, lokasi
pengungsian yang baik, air dan sanitasi serta pelayanan lainnya. Kondisi
emosional dan trauma akibat bencana selama situasi krisis terkadang berakibat
fatal dan jangka panjang bagi penyandang disabilitas. Kesalahan interpretasi
atas situasi dan gangguan komunikasi membuat penyandang disabilitas lebih
rentan pada saat situasi bencana.
Penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa pencantuman kebutuhan dan aspirasi penyandang
disabilitas disemua tahap manajemen bencana, khususnya perencanaan dan
kesiapsiagaan, secara signifikan dapat mengurangi kerentanan mereka dan
meningkatkan efektivitas usaha tanggap darurat dan recovery yang dilakukan
pemerintah (United Nations, 2012). Pelibatan penyandang disabilitas dalam perencanaan
dalam rangka menanggulangi bencana menjadi penting karena mereka lebih tahu
kebutuhan mereka sendiri. Penyandang disabilitas, walaupun merupakan kelompok
rentan, berhak dan pantas untuk berada di lini depan usaha pengurangan risiko
bencana melalui pendekatan inklusif dan menyeluruh untuk mengurangi kerentanan
bencana.
Perlu
diperhatikan, bahwa bencana alam memunculkan kelompok penyandang disabilitas,
yaitu korban luka dan/atau malfungsi organ tubuh yang akan mengalami
disabilitas apabila tidak ditangani dengan baik; penyandang disabilitas sebelum
bencana; dan orang dengan malfungsi organ tubuh sebelum bencana yang akan
mengalami disabilitas bila akses dan sarana prasarana kesehatan mereka rusak
akibat bencana. Kelompok tersebut mengalami persoalan yang hampir sama dalam
situasi bencana, saat fasilitas dan penanganan yang diperoleh tidak tepat
dengan kebutuhan mereka sehingga penderitaan dan kerentanan yang dialami
menjadi berlipat jika dibanding korban bencana lain.
Penghargaan
hak-hak asasi manusia penyandang disabilitas haruslah tercermin dalam semua
aspek kehidupan, termasuk dalam usaha manajemen penanggulangan bencana
(Njelesani dkk, 2012) . Hal tersebut dalam dilakukan melalui:
1. Membuat kesepakatan dengan penyandang
disabilitas, secara teratur meninjau ulang komitmen tersebut
2. Melibatkan penyandang disabilitas pada
posisi kepemimpinan dan proses perumusan kebijakan
3. Melatih staf dan pegawai dalam
menghadapi dan menangani penyandang disabilitas
4. Membangun sebanyak mungkin desain
bangunan dengan prinsip-prinsip yang universal, misalnya jalan yang landai di
fasilitas umum seperti terminal, bandara, stasiun, dan jalan umum lainnya.
Dalam
menangani kerentanan fisik, banyak cara mudah dan murah dapat dilakukan.
Pertama dengan mengindentifikasi penyandangnya, jenis disabilitasnya, dan
bagaimana hal tersebut dapat meningkatkan risiko bencana. Langkah selanjutnya
adalah dengan meningkatkan kesadaran penyandang disabilitas terhadap risiko
yang mereka hadapi dan cara menghadapinya, meningkatkan keamanan rumah dan
tempat kerja, menindahkan mereka ke tempat yang aman saat terjadi bencana, dan
memenuhi kebutuhan khusus mereka setelah keadaan darurat. Dalam menghadapi
bencana, metode yang digunakan terutama dalam mengkomunikasikan risiko dan
sistem peringatan dini adalah berbeda pada tiap jenis disabilitas. Kekhususan
dan kompleksitas yang dimiliki tiap jenis disabilitas membuat penanganan dan
kebutuhan mereka spesifik pula. Tabel 1 menunjukan sistem peringatan yang
disesuaikan dengan jenis disabilitas yang umum.
Dari Tabel
1 diketahui bahwa harus disediakan format auditori dan visual dalam sistem
peringatan dini untuk mencakup semua kalangan dan semua jenis disabilitas yang
ada. Pemberitahuan secara door to door juga diperlukan untuk mengidentifikasi
kerentanan dan kapasitas masyarakat termasuk penyandang disabilitas secara
sekaligus (melalui pendekatan VCA). Sistem peringatan dini penyandang
disabilitas secara inklusif diperlukan dalam tahap persiapan oleh penyandang
disabilitas itu sendiri.
- Pengurangan Risiko Bencana
Inklusif bagi Penyandang Disabilitas
PRB
Inklusif merupakan PRB yang dirancang secara khusus untuk meningkatkan
partisipasi dan melindungi hak kelompok rentan bencana. Kelompok rentan bencana
tersebut adalah penyandang disabilitas, lansia, ibu hamil, perempuan, dan
anak-anak, hal tersebut diungkapkan oleh, Andriani (2014, h.1). Latar belakang
adanya PRB inklusif bagi penyandang disabilitas dikarenakan penyandang
disabilitas yang menerima dampak bencana tidak sesuai dengan kapasitasnya. Kepentingannya
sering diabaikan dan tidak terpenuhinya hak asasi manusia.
Permasalahan
penyandang disabilitas dalam mengakses manajemen bencana antara lain: (1)
Kurang adanya program persipan bencana yang sensitif bagi penyandang
disabilitas; (2) Kurangnya aksesabilitas informasi dan materi ajar/belajar
terkait dengan PRB. Informasi yang tersedia kurang dapat diakses oleh
penyandang disabilitas dengan kriteria tertentu seperti, tuna netra, gangguan
intelektual, dan tuna rungu; (3) dalam tindakan penyelamatan ketika terjadi
bencana, lingkungan terdekat penyandang
disabilitas
kurang cepat dan tepat dalam membantu evakuasi; dan (4) Kurangnya pendataan
yang spesifik mengenai identitas dan kondisi penyandang disabilitas hal
tersebut diungkapkan dalam Konsorsium Nasional untuk Hak Difabel (2012,
h.23-27).
Menurut
Andriani (2014, h.7-11) kegiatan dalam PRB Inklusif bagi penyandang disabilitas
antara lain:
a. Situasi Sebelum Bencana
Kegiatan
yang seharusnya dilaksanakan pada situasi sebelum bencana antara lain: (1)
Koordinasi
dan diskusi dengan komuitas/organiasi penyandang disabilitas terkait risiko
bencana dan membuat persiapan apabila teradi bencana; (2) Membuat pemetaan
kebutuhan panyandang disabilitas ada saat bencana alam; dan (3) Melatih
penyandang disabilitas dan kerabat terdekat tentang kegiatan PRB.
b. Situasi Saat Bencana
Kegiatan
yang dilakukan pada situasi saat bencana antara lain: (1) Melakukan evakuasi
bagi penyandang disabilitas untuk menjauh dari lokasi bencana; (2) Mengevakuasi
penyandang disabilitas yang ditinggal oleh keluarganya saat terjadi bencana;
(3) Menampung di pengungsian;
(4) Membawa korban ke rumah sakit; (5)
Melakukan pendataan dan penilaian; (6) Memberikan konseling; dan (7) Memberikan
terapi.
c. Early Recovery
Early
recovery dalam PRB inklusif bagi penyandang disabilitas antara lain: (1)
Melibatkan diri secara aktif dalam posko pemberian layanan dalam bencana dan
(2) Pemberian pelatihan penyelamatan diri bagi penyandang disabilitas.
d. Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Kegiatan
dalam rehabilitasi dan rekonstruksi antara lain: (1) Melaksanakan penilaian
kebutuhan untuk rehabilitasi dan rekonsiliasi dalam bidang ekonomi dan sarana
prasarana; (2) Konseling bagi penyandang disabilitas untuk meminimalisir
trauma; (3) Asistensi activity daily living serta sosialisasi kepada
masyarakat; dan (4) Asistensi pemberdayaan ekonomi.
3. Pemikiran Ulang Tentang Disabilitas
Entah dari mana istilah penyandang
disabilitas
pertama kali muncul, yang jelas kemunculan istilah ini kemudian seolah-olah membawa
kesepakatan bahwa penyandang disabilitas dianggap sebagai kelompok yang rentan,
lemah dan tidak berdaya. Pandangan inilah yang kemudian banyak disepakati oleh
masyarakat. Istilah ini ternyata memiliki peranan yang sangat penting dalam
mengonstruksi
pemahaman,
pernyataan tersebut diungkapkan oleh, Syafi’ie (2014, h.3). Konstruksi ini
kemudian membawa persepsi dan perilaku yang berbeda-beda. Istilah yang sering
digunakan antara lain, penyandang cacat, penyandang disabilitas, dan difabel.
Dalam realitanya penyandang disabilitas adalah sama dengan non disabilitas
apabila diberikan fasilitas yang adil.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat membangi tipe disabilitas menjadi
tiga kelompok (a) disabilitas fisik; (b) disabilitas mental; dan (c)
disabilitas fisik dan mental. Disabilitas disebabkan karena terjadi gangguan
tertentu pada bagian peralatan, saraf, struktur tulang sendi, otot serta
metabolisme tubuh yang tidak memiliki fungsi sebagai mestinya. Terdapat
beberapa penyebab
terjadinya
disabilitas. Disabilitas bisa dikarenakan faktor keturunan penyakit ataupun
kecelakaan, kelalaian manusia dan bencana alam.
- Perlindungan terhadap
kelompok rentan (
wanita, anak, minoritas,
Kenyataan
menunjukkan bahwa di Indonesia banyak sekali peraturan atau perundang- undangan
yang mengatur kelompok rentan, tetapi dalam pelaksanaanya sebagian undang-
undang tersebut masih sangat lemah, sehingga adanya undang- undang tersebut
tidak banyak memberikan manfaat bagi masyarakat dan kelompok rentan itu
sendiri. Selain itu dalam undang- undang yang mengatur kelompok rentan tersebut
masih belum mampu mengakomodasi berbagai hal yang menjadi kebutuhan bagi
perlindungan kelompok rentan. Untuk itu diperlukan tindakan berupa penegakan
hukum guna melindungi hak- hak dan kepentingan- kepentingan mereka.
Selama ini
kebijakan pemerintah hanya sebatas pada pemenuhan dan perlindungan Hak Sipil
Politik dan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, namun penegakan hukum untuk
perlindungan dan pemenuhan hak-hak terhadap kelompok rentan, perempuan ,anak,
penyandang cacat dan kelompok minoritas masih belum diprioritaskan. Mengenai
perlindungan terhadap kelompok rentan, berbagai upaya untuk memenuhi hak
kelompok rentan telah dilakukan, namun dalam pelaksanaanya masih banyak kendala
seperti kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah, belum adanya
sosialisasi yang baik, dan kemiskinan yang masih dialami masyarakat.
Salah satu
masalah social yang dihadapi bangsa ini menurut Ir. Iskandar Hosein antara lain
adalah masalah penyandang cacat. Sama seperti masyarakat yang lain, penyandang
cacat juga mempunyai hak yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, mereka
mempunyai hak untuk dilindungi oleh hukum, mendapatkan pekerjaan untuk
kelangsungan hidupnya, pelayanan kesehatan, hak dalam berpolitik dsb. Namun
dalam kenyataanya masyarakat masih mengabaikan hal tersebut. Masyarakat masih
kurang memperhatikan penyandang cacat bahkan sering kali menganggapnya sebagai
beban.
Dalam hal
pekerjaan penyandang cacat masih didiskriminasi, banyaknya lapangan pekerjaan
yang belum bisa menerima pekerja yang menyandang kecacatan. Hal ini menjadi
masalah tersendiri bagi penyandang cacat. Penyandang cacat diharapkan mampu
mengembangkan dan meningkatkan kemampuan fisik, mental dan social sehingga bisa
bekerja sesuai dengan tingkat kemampuan, pendidikan dan ketrampilan yang
dimiliki. Karena bagaimanapun penyandang cacat juga berhak mendapatkan
pekerjaan untuk kelangsungan hidupnya. Dalam pasal 31 PP no.43 tahun 1998
tentang “upaya peningkatan kesejahteraan penyandang cacat” mewajibkan bahwa
setiap pengusaha yang memiliki jumlah karyawan 200 orang atau lebih pada
perusahaannya wajib mempekerjakan minimal satu orang penyandang cacat utnuk
memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan, atau kurang dari 100
orang jika perusahaan tersebut menggunakan teknologi tinggi. Dan bagi pengusaha
yang tidak mematuhi aturan tersebut akan dikenai sanksi pidana karena peraturan
tersebut memiliki daya paksa.
Dengan
upaya pemberdayaan penyandang cacat melalui kuota tenaga kerja tersebut bisa
efektif untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang cacat di Indonesia. Kendala
lain yang dihadapi oleh penyandang cacat di Indonesia yaitu masih minimnya
perhatian pemerintah pusat maupun daerah terhadap ketersediaan fasilitas umum
yang bersahabat dengan penyandang cacat.
Kesimpulan
dari makalah tersebut adalah, Melihat berbagai perangkat peraturan
perundang-undangan diatas sebenarnya sudah cukup memadai untuk menyelesaikan
persoalan. Pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap anak, kelompok perempuan
rentan, penyandang cacat dan kelompok minoritas belum sepenuhnya tertangani
dengan baik. Hal ini disebabkan anatara lain penegakan hukum dan implementasi
atas perangkat hukum yang masih ada belum maksimal disamping sosialisasi
terhadap perangkat perundangan tersebut belum dilakukan ke seluruh lapisan
masyarakat. Kemudian, Kelemahan penegakan hukum dapat disebabkan karena
peraturan perundang- undangan kurang responsif dan aspiratif terhadap kebutuhan
perlindungan dan pemenuhan HAM. Hal ini merupakan akibat kurangnya penelitian
yang seksama sebelum disusun suatu rancangan peraturan perundang-undangan.
Dalam
makalah yang disampaikan Ir. Iskandar Hoesin mengutamakan perlindungan terhadap
kelompok rentan yang di dalamnya termasuk penyandang cacat dalam perspektif
HAM. Perlindungan disini menurut hukum yang berlaku dan kurangnya kesadaran
dari masyarakat sehingga menimbulkan adanya kelemahan hukum yang menjamin
kelompok-kelompok rentan. Sedangkan penelitian yang akan diajukan oleh penulis
lebih terfokus pada pengaruh CRPD (Convention on The Right Person with
Disabilities) terhadap pemenuhan hak- hak dasar kaum difabel di Indonesia,
dimana CRPD merupakan konvesi hak- hak penyandang cacat. Dan Indonesia
merupakan salah satu Negara yang ikut menandatangani naskah CRPD dan ikut
meratifikasi naskah konvensi tersebut.
- Disabilitas - Diffable
(Different Ability People)
Definisi
disabilitas telah menjadi issu dari banyak perdebatan di Eropa dan bahkan di
seluruh dunia. Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia sekalipun, secara
internasional tidak ada definisi universal mengenai disabilitas. Menurut hasil
studi mengenai definisi disability, terdapat variasi perbedaan definisi
mengenai disabilitas antara negara-negara di dunia. Hal ini disebabkan oleh
kategori yang beragam dan skup definisi yang luas pada permasalahan penyandang
cacat atau kaum disabilitas atau juga disebut kaum difable dan lain sebagainya.
Namun dari keragaman tersebut dapat penulis definisikan bahwa disabilitas
adalah:
“Ketidakmampuan
untuk terlibat dalam setiap kegiatan yang secara substansial menguntungkan baik
karena alasan medis yang ditentukan baik secara fisik, mental, maupun penurunan
nilai atau tingkat harapan hidup yang dapat menghasilkan kematian atau
menurunnya tingkat harapan hidup”.10
Dalam
pengertian lain yang hampir sama, disabilitas adalah seseorang dengan
keterbatasan atau kurangnya kemampuan untuk melakukan suatu kegiatan dengan
cara atau dalam rentang dianggap normal bagi manusia, yang diperlakukan sebagai
penyandang cacat. Hal tidak termasuk sakit atau cedera yang sementara
mengurangi kemampuan untuk melihat, mendengar, berbicara atau bergerak.
perilaku.
Sebutan yang digunakan untuk menyebut para kaum disabilitas ini dalam
masyarakat internasional disebut sebagai Diffable (Different ability people).
Terminologi
diffable dianggap lebih sesuai untuk menggambarkan perbedaan kemampuan fisik
kaum penyandang cacat.12 Cara pandang masyarakat yang cenderung
mendiskriminasikan penyandang cacat sebagaimana tersebut di atas, berimplikasi
besar terhadap kesulitan mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak untuk
keberlangsungan hidup mereka.
Cacat
sangat tergantung pada konteks dan memilki konsekuensi dari diskriminasi,
prasangka dan dijauhkan dari sesuatu yang dianggap normal (segregasi).
Penekanannya adalah bagamana individu penyandang cacat terbatas dalam
lingkungan dan dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan dalam masyarakat,
misalnya informasi, komunikasi dan pendidikan, yang mencegah para penyandang
cacat memilki akses untuk berpartisipasi dalam lingkungannya.
Di
Indonesia istilah-istilah tersebut di atas dapat diwakili dengan istilah ”anak
cacat” sedangkan dalam dunia pendidikan lebih dikenal dengan istilah ”anak luar
biasa” untuk menunjuk individu yang memiliki kelainan pada fisik, emosi,
sosial, dan intelektual yang memerlukan layanan pendidikan secara khusus.
Individu yang memerlukan layanan pendidikan khusus dapat dikategorikan sebagai
berikut:
1. Kelainan indera (yaitu tunanetra dan
tunarungu)
2. Kelainan kecerdasan (yaitu tunagrahita
dan gifted)
3. Kelainan komunikasi (gangguan bahasa
dan bicara)
4. Berkesulitan belajar (Learning
disabiliy)
5. Gangguan tingkah laku (behavior
disorder)
6. Cacat fisik dan gangguan kesehatan
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Kaum
penyandang cacat adalah manusia dengan kemampuan yang berbeda dengan
ketidaksempurnaan fisik. Dalam masyarakat internasional disebut sebagai Difable
(Different ability people). Ada banyak sekali kaum difabel diseluruh dunia.
Menurut data WHO, dari total penduduk dunia, 15% diantaranya adalah kaum
difabel. Mungkin sangat sedikit jika diprosentasekan namun jika dikonfersi
jumlah difabel tersebut mencapai satu miliar orang2. Kaum difabel butuh untuk
berinteraksi dengan manusia lainnya.
Istilah
disabilitas secara terus menerus berkembang, baik itu pandangan maupun
pendekatan pengembangannya. Terminologi yang digunakan juga berbeda pada tiap
Negara dan wilayah. Ekspresi yang tidak sesuai atau bahkan menghina harus di
hindari, meskipun jika hal tersebut masih digunakan pada instansi pemerintah.
Disabilitas
diartikan sebagai hasil dari interaksi antara orang dengan malfungsi organ
tubuh, sikap, dan batasan lingkungan yang menghalangi mereka untuk secara penuh
dan efektif berpartisipasi dalam masyarakat setara dengan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Agenda, 2011. Disabilitas di
Negara-negara Asia Tenggara.
(http://www2.agendaasia.org/index.php/id/informasi/disabilitas-di-negara-negara-asean/103-disabilitas-di-negara-negara-asia-tenggara,
diakses November 19, 2012).
Bahrul, Fuad, 2010. Difabel
dan Bencana Alam.
(http://cakfu.info/2010/08/difabel-sebuah-simbol-perlawanan-idiologis/, diakses
November 12, 2012).
Handicap International.
(2005). How To Include Disability Issues in Disaster Management. Dhaka:
Handicap International Bangladesh.Handicap International-Philippines Program. A
Basis Guide To Disability and Disaster Risk Reduction. Makati City: Handicap
International.
Japan International
Cooperation Agency, 2002. Country Profile on Disability: Republc of Indonesia.
Tokyo: Planning&Evacuation Department Japan JICA
Kementerian Sosial RI, 2010.
dari Seminar Menyambut Hari Penyandang Cacat Internasional 2010:
(http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=1097,
diakses November 12, 2012).
Kementerian Kesehatan RI,
2002. Pedoman Pemeriksaan dan Kemampuan Fungsional Penyandang Cacat. Dalam
JICA, Country Profile on Disability: Republic of Indonesia (hal. 8). Tokyo:
Planning&Evacuation Department of JICA.
Muhammadun, A.S., 2011.
Difabel dan Konstruksi Ketidakadilan Sosial.
(budisansblog.blogspot.com/2011/12/difabel-dan-konstruksi-ketidakadilan.html,
diakses November 12, 2012)
No comments:
Post a Comment