ASUHAN
KEPERAWATAN ULKUS DUODENUM
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur ke hadirat Tuhan yang Maha kuasa. Atas limpahan rahmat dan taufik-Nya,
penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Makalah ini ditulis untuk
memenuhi tugas mata kuliah
Penulis
yakin bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang bersifat membangun senantiasa penulis harapkan.Semoga karya sederhana ini
bermanfaat bagi kita semua.
Banda Aceh, 03 November 2019
Penulis
Kelompok 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah..........................................................................................
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................
1.3 Tujuan......................................................................................................................
BAB 2 KONSEP TEORI DAN ASKEP
2.1 HIV AIDS
2.1.1
Definisi....................................................................................................................
2.1.2
Etiologi....................................................................................................................
2.1.3
Klasifikasi................................................................................................................
2.1.4
Manifestasi Klinis....................................................................................................
2.1.5
Patofisiologi.............................................................................................................
2.1.6
Pemeriksaan Penunjang...........................................................................................
2.1.7
Asuhan Keperawatan...............................................................................................
2.2 Rhinitis Alergi
2.2.1
Definisi....................................................................................................................
2.2.2
Etiologi....................................................................................................................
2.2.3
Manifestasi...............................................................................................................
2.2.4
Patofisiologi.............................................................................................................
2.2.5
Pemeriksaan Penunjang...........................................................................................
2.2.6
Asuhan Keperawatan...............................................................................................
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Bedasarkan penelitian bahwa 5%-15% dari populasi di Amerika Serikat
mengalami ulkus, tetapi hanya kira-kira setengahnya yang diketahui, kejadian
ini telah menurun sebanyak 50% selama 20 tahun terakhir. Ulkus duodenum terjadi
5 sampai 10 klai lebih sering dari pada ulkus lambung.
Penyakit ini terjadi dengan rekuensi paling besar pada individu antara
usia 40 – 60 tahun dan tetapi relatif jarang pada wanita menyusui, meskipun ini
telah dionservasi pada anak-anak dan bahkan pada bayi. Pria terkena tiga kali
lebih banyak dari pada wanita, tetapi terdapat beberapa bukti bahwa incident
pada wanita meningkat setelah menopause.
Di Indonesia juga terjadi hal demikian hampir sama dengan bahkan lebih
banyak dari pada Negara luar seperti amerika karena Negara Indonesia merupakan
Negara berkembang.
Dari data di atas maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam
tentang ulkus dan mengapa ulkus kerap terjadi di setiap individu serta
bagaimana cara mengatasinya. Maka dari itu penulis mengangkat sebuah makalah
dengan judul Askep Klien Dengan Ulkus Peptikum.
B. Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah
ini adalah :
- Tujuan
Umum :
1.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem
Pencernaan.
2.
Mengetahi cara pembuatan asuhan
keperawatan klien dengan penyakit ulkus peptikum.
- Tujuan
Khusus :
1.
Mengetahui
apa yang dimaksud dengan Ulkus peptikum tersebut
2.
Untuk
mengetahui bagaimana proses tindakannya dan bagaimana penatalaksanaan serta
pengobatannya
C. Manfaat
- Penulis
semakin terlatih dalam membuat makalah dan asuhan keperawatan.
- Menambah
pengetahuan dan wawasan penulis khususnya tentang penyakit Ulkus peptikum.
- Dapat menambah referensi bagi pembaca
tentang tentang konsep penyakit dan askep pada ulkus peptikum.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar Teori
a.
Anatomi
Fisiologi
Saluran
gastrointestinal (GI) adalah jalur (panjang totalnya 23-26 kaki) yang berjalan
dari mulut melalui esofagus, lambung dan usus sampai anus.
Fungsi
esophagus, yaitu: saluran pencernaan yang menjadi distensi bila makanan
melewatinya. Fungsi lambung, yaitu sebagai sekresi yang mengandung enzim pepsin
yang penting untuk memulai pencernaan protein, untuk memecah makanan menjadi
komponen yang lebih dapat diabsorpsi dan membantu destruksi kebanyakan bakteri
pencernaan. Fungsi usus halus, yaitu mengubah makanan yang dicerna, yang pada
awalnya dicerna dalam bentuk lemak, protein, dan karbohidrat dan dipecahkan menjadi
nutrisi unsur pokoknya melalui proses pencernaan. Fungsi kolon, adalah membantu
mengabsorpsi cairan dan elektrolit (Suddarth
& Brunner. 2002. hal.984).
b.
Pengertian
Pada tahun 350 SM, Diocles Of Carystos dipercaya sebagai orang yang
menyebutkan kondisi ulkus lambung pertama kali. Marcellus Donatus of Mantua
pada tahun 1586 menjadi orang pertama
yang mendeskripsikan ulkus lambung melalui autopsi, pada tahun 1688 Muralto
mendeskripsikan ulkus duodenal secara autopsi. Pada tahun 1737, Morgagni juga
menyebutkan kondisi ulkus pada lambung dan duodenum secara autopsi (Angel,
2006).
Ulkus peptikum atau ulkus peptikumum merupakan keadaan dimana
kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai di bawah epitel.
Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi,
walaupun sering kali dianggap juga sebagai ulkus(Fry, 2005). Menurut definisi,
ulkus peptikum dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena
getah asam lambung, yaitu esophagus, lambung, duodenum, jejunum,dan setelah
tindakan gastroenterostomi. Ulkus peptikum diklasifikasikan atas ulkus akut dan
ulkus kronik, hal tersebut menggambarkan tingkat tingkat kerusakan pada lapisan
mukosa yang terlibat( Aziz, 2008).
Walaupun aktivitas percernaan peptik oleh getah lambung merupakan
etiologi yang penting, terdapat bukti bahwa ini hanya merupakan salah satu dari
banyak factor yang berperan dalam pathogenesis ulkus peptikum (lewis,2000).
Oleh karena banyaknya persamaan serta perbedaan dalam konsep keperawatan antara
ulkus lambung dan ulkus duodenum, maka pada proses keperawatan ini akan dibahass bersamaan agar memudahkan
dalam asuhan keperawatan.
Ulkus peptikum adalah eksvasi ( area berlubang ) yang terbentuk dalam
dinding mukosa lambung, pylorus, duodenum atau esophagus. Ulkus peptikum sering
disebut sebagai ulkus lambung, duodenal atau esophageal tergantung pada
lokasinya ( Suddarth & Brunner. 2002. hal.1064).
Ulkus peptikum adalah ulkus yang terjadi pada mukosa, sub mukosa dan
kadang-kadang sampai lapisan muskularis, dari traktus gastrointestinalis yang
selalu berhubungan dengan asam lambung yang cukup mengandung HCl. Termasuk ini
ialah ulkus (tukak) yang terdapat pada bagian bawah dari esophagus, lambung dan
duodenum bagian atas ( first portion of the duodenum). Mungkin juga dijumpai di
tukak yeyunum yaitu penderita yang mengalami gastroyeyenostomi (Hadi Sujono.
2002. hal.204).
Ulkus peptikm merupakan putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluas
sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel
disebut sebagai erosi, walaupun sering dianggap sebagai “ulkus” (misalnya ulkus
karena stress). Menurut definisi, ulkus peptikum dapat terletak pada setiap
bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus, lambung,
duodenum, dan setelah gastroenterostomi, juga jejunum.( Sylvia, A. Price,
2006).
c. Etiologi
Sebab-sebab yang pasti dari ulkus peptikum yang belum
diketahui. Beberapa teori yang menerangkan tentang tukak peptik, antara lain
sebagai berikut :
1.
Asam getah lambung
terhadap resistensi mukosa.
Tukak peptik kronia tidak mungkin terjadi lama tanpa
adanya getah lambung. Sebagai contoh berdasarkan penyelidikan yang mengumpulkan
banyak penderita dengan anemia pernisiosa disertai dengan alkorida.
2.
Golongan darah
Penderita dengan golongan darah O lebih banyak
menderita tukak duodeni jikadibandingkan dengan pada tukak lambung. Adapun sebabnya belum
diketahui dengan benar. Dan hasil penelitian dilaporkan bahwa pada penderita
dengan golongan darah O kemunkinan
terjadinya tukak duodeni adalah 38%
lebih besar dibandingkan golngan lainnya. Kerusakan di daerah piepilorus
dapat dihubungkan dengan golongan darah
A, baik berupa tukak yang biasa ataupun karsinoma. Sedangkan pada
golongan darah O sering ditemukan kelainan pada korpus lambung.
3.
Susunan saraf pusat
Teori nerogen pada tukak peptik telah dibicarakan tahun
1959. Berdasarkan pengalaman dari Chusing, erosi akut dan tukak pada esofagus,
lambung dan duodenum dapat dihubungkan dengan kerusakan intrakranial, termasuk
neoplasma primer atau sekunder dan hiperensi maligna. Faktor kejiwaan dapat
menyebabkan timbulnya tukak peptik. Misalnya pada mereka yang psikisnya sangat
labil, pada ketegangan jiwa, emosi, mempunyai ambisi besar dan lain-lainnya
yang menyebabkan untuk hidup tidak wajar.
4.
inflamasi bakterial
Dari dasar tukak telah dibakkan untuk menyelidiki
mikroorganisme yang diduga sebagai penyebabnya, tetapi tidak ditemukan satu
macam bakteripun. Selanjutnya pada hasil pemeriksaan didapat bahwa inflamasi
non bakteri atau inflamasi khemis lebih besar dari pada inflamasi bakterial.
Tukak yang spesifik misalnya pada TBC dan sifilis disebabkan spesifik
mikrooganisme.
5.
Inflamasi non
bakterial
Teori yang menyatakan bahwa inflamasi non bakterial
sebagai penyebab didasarkannya inflamasi dan kurvatura minor, antrum dan bulbus
duodenia yang mana dapat disebutkan juga
antaral gasthritis, sering ditemukan dengan tukak. Dan sebagai penyebab dari
gasthritis
Sendiri belum jelas. Tukak yang kronis ialah sebagai
kelanjutan dari tukak yang akut. Berdasarkan pemeriksaan histologis ditemukan
perubahan yang nyata dari erosi akut ke tukak yang akut.
6.
Infark
Teori infark yang berdasarkan timbulnya kerusakan
semacam kawah, sering ditemukan pada otopsi. Adannya defek pada dinding serta
timbulnya infark, karena asam getah lambung dan dapat pula ditunjukkan adanya
jaringan trombose.
7.
Faktor hormonal.
Banyak teori yang menerangkan adanya pengaruh-pengaruh hormonal yang
dapat menimbulkan tukak peptik.
8.
Obat-obatan (drug induced peptic
ulcer).
9.
.Aspirin, alkohol, tembakau dapat menyebabkan
kerusakan sawar mukosa lambung.
Dari sekian banyak obat-obatan, yang paling sering menyebabkan adalah
golongan salisilat, yaitu menyebabkan kelainan pada mukosa lambung.
Phenylbutazon juga dapat menyebabkan timbulnya tukak
peptik, seperti halnya juga histamin, reseprin akan merangsang sekresi lambung.
Berdasarkan penyelidikan, ternyata golongan salisilat
hanya akan menyebabkan erosi lokal.
10.
Herediter.
Berdasarkan penelitian di dalam keluarga
ternyata bahwa tukak peptik ini ada pengaruhnya dengan herediter. Terbukti
bahwa dengan orang tua/ famili yang menderita tukak, jika dibandingkan
dengan mereka yang orang tuanya sehat. Oleh sebab
itu, family anamnesa perlu ditegakkan
11.
Berhubungan
dengan penyakit lain.
a.
Hernia diafrakmatika.
Pada hernia
diafrakmatika, mukosa pada lingkaran hernia mungkin merupakan tempat timbulnya erosi atau tukak.
b.
Sirosis hati.
Tukak peptik ditemukan juga pada penderita penyakit hepar terutama pada
sirosis lebih banyak jika dibandingkan
dengan orang normal. Tukak duodeni pada kaum wanita dengan sirosis biliaris ternyata bertambah, jika neutralisasi
dari isi duodenum berkurang.
c.
Penyakit paru-paru.
Frekuensi dari tukak yang kronis dengan TBC paru-paru sering ditemukan.
Bertambah banyaknya tukak peptik dapat dihubungkan dengan bertambah beratnya emfisema dan corpulmonale.
12.
Faktor daya
tahan jaringan.
Penurunan daya tahan jaringan mempermudah timbulnya ulkus. Daya tahan
jaringan dipengaruhi oleh banyaknya suplai
darah dan cepatnya regenerasi.
d. Patofisiologi
Penyebab Umum
Penyebab umum dari userasi peptikum adalah
ketidakseimbangan antara kecepatan sekresi dan lambung dan derajat perlindungan
yang diberikan oleh sawar mukosa gastroduodenal dan netralisasi asam lambung
oleh cairan duodenum. Semua daerah yang secara normal terpapar oleh cairan lambung dipasok dengan
baik oleh kelenjar mukus, antara lain kelenjar ulkus campuran pada esophagus
bawah dan meliputi sel mukus penutup pada mukosa lambung: sel mukus pada leher
kelenjar lambung; kelenjar pilorik profunda (menyekresi sebagian besar mukus):
dan akhirnya kelenjar Brunner pada duodenum bagian atas yang menyekresi mukus
yang sangat alkali (Guyton, 1996).
Sebagian tambahan terhadap perlindungan mukus dari mukosa, duodenum
dilindungi oleh sifat alkali dari sekresi usus halus, terutama adalah sekresi
pancreas yang mengandung sebagian besar natrium bikarbonat, berfungsi
menetralisir asam klorida cairan lambung sehingga menginaktifkan pepsin untuk
mencegah pencernaan mukosa. Sebagai tambahan, ion-ion bikarbonat disediakan
dalam jumlah besar oleh sekresi kelenjar Brunner yang terletak pada beberapa
inci pertama dinding duodenum dan didalam empedu yang berasal dari hati
(Lewis,2000). Akhirnya, dua mekanisme kontrol umpan balik memastikan bahwa
netralisasi cairan lambung ini sudah sempurna, meliputi hal-hal sebagai berikut
:
1.
Jika asam yang berlebihan memasuki
duodenum, secara refleks mekanisme ini menghambat sekresi dan peristaltic
lambung baik secara persarafan maupun secara hormonal sehingga menurunkan
kecepatan pengosongan lambung.
2.
Adanya asam pada usus halus memicu
pelepasan sekretin pada mukosa usus, kemudian melalui darah menuju pancreas
untuk menimbulkan sekresi yang cepat dari cairan pancreas- yang mengandung
natrium bikarbonat berkonsentrasi tinggi
- sehingga tersedia natrium bikarbonat untuk menetralisir asam.
Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwa ulkus peptikum dapat disebabkan oleh salah-satu
dari dua judul (10 sekresi asam dan pepsin yang berlebihan oleh mukosa lambung,
atau (2) berkurangnya kemampuan sawar mukosa gastroduodenalisn untuk berlindung
dari sifat pencernaan dari kompleks asam –pepsin.
- Penyebab khusus
1.
Infeksi bakteri H. pylori
Dalamlima
tahun terakhir, ditemukan paling sedikit 75% pasien ulkus peptikum menderita
infeksi kronis pada bagian akhir mukosa lambung, dan bagian mukosa duodenumoleh
bakteri H.pylori. Sekali pasien terinfeksi, maka infeksi dapat berlangsung
seumur hidup kecuali bila kuman diberantas dengan obat anti bacterial. Lebih lanjut lagi, bakteri dapat melakukan
penetrasi sawar mukosa lambung, baik dengan kemampuanya sendiri untuk menembus
sawar maupun dengan melepaskan enzin-enzim pencernaan yang mencairkan sawar.
Akibatnya, cairan asam kuat pencernaan yang disekresi oleh lambung dapat
berpenetrasi kedalam jaringan epithelium dan dapat mencernakan epitel, bahkan
juga jaringan-jaringan di sekitarnya. Keadaan ini dapat menuju pada kondisi
ulkus peptikum (Sibernagl, 2007).
2.
Peningkatan sekresi asam
Pada
kebanyakan pasien yang menderita ulkus peptikum dibagian awal duodenum, jumlah
sekresi asam lambung lebih banyak dari normal, bahkan sering dua kali lipat
dari normal. Walaupun setengah dari peningkatan asam ini mungkin disebabkan
oleh infeksi bakteri, percobaan pada hewan ditambah bukti adanya perangsangan
berlebihan sekresi asam lambung oleh saraf pada manusia yang menderita
ulkuspeptikum mengarah kepada sekresi cairan yang berlebihan (Guyton, 1996).
Predisposisi
peningkatan sekresi asam diantaranya
adalah factor psikogenik seperti pada saat mengalaami depresi atau
kecemasan dan merokok.
3.
Konsumsi obat-obatan.
Obat-obat
seperti OAINS/obat anti-inflamasi, nonsteroid- seperti Indometasin, Ibupropen,
Asam Salisilat- mempunyai efek penghambatan siklo-oksigenase sehingga
menghambat sintesis prostaglandin dari
asam arakhidonat secara sistemik- termasuk pada epitel lambung dan duodenum.
Pada sisi lain, hal ini juga menurunkan sekresi HCO3 sehingga memperlemah
perlindungan mukosa(Sibernagl, 2007). Efek lain dari obat ini adalah merusak
mukosa local melalui difusi non-ionik ke dalam sel mukosa. Obat ini juga berdampak
terhadap agregasi trombosit sehingga akan meningkatkan bahaya pendarahan ulkus
(Kee, 1995).
4.
Stress fisik yang disebabkan oleh
syok, luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan, gagal napas, gagal ginjal, dan
kerusakan susunan syaraf pusat (Lewis, 20000. Bila kondisi stress ini
berlanjut, maka kerusakan epitel akan meluas dan kondisi ulkus peptikum menjadi
lebih parah.
5.
Refluks usus-lambung dengan materi
garam empedu dan enzzim pancreas yang berlimpah dan memenuhi permukaan mukosa
dapat menjadi predisposisi kerusakan epitel mukosa.
Factor-faktor
diatas menyebabkan kerusakan epitel mulai dari erosi yang berlanjut pada ulkus
akut, kemudian ulkus kronis, dan terbentuknya jaringan parut; maka akan terjadi
penetrasi dari seluruh dinding lambung.
- Klasifikasi
No
|
Ulkus
duodenal
|
Ulkus
Lambung
|
1
|
Insidens
Usia 30-60 tahun
Pria:
wanita → 3:1
Terjadi lebih sering dari pada
ulkus lambung
|
Insiden
Biasanya
50 tahun lebih
Pria:wanita
→ 2:1
|
2
|
Tanda dan gejala
Hipersekresi
asam lambung
Dapat
mengalami penambahan berat badan
Nyeri
terjadi 2-3 jam setelah makan; sering
terbangun dari
tidur antara jam 1 dan 2 pagi.
Makan
makanan menghilangkan nyeri
Muntah
tidak umum
Hemoragi
jarang terjadi dibandingkan ulkus
lambung
tetapi bila ada milena lebih umum
daripada
hematemesis.
Lebih
mungkin terjadi perforasi daripada
ulkus lambung
|
Tanda dan
gejala
Normal sampai hiposekresi asam
lambung
Penurunan berat badan dapat
terjadi
Nyeri terjadi ½ sampai 1 jam
setelah
makan; jarang terbangun pada malam
hari;
dapat hilang dengan muntah.
Makan makanan tidak membantu dan
kadang meningkatkan nyeri.
Muntah umum terjadi
Hemoragi lebih umum terjadi
daripada
ulkus duodenal, hematemesis lebih
umum terjadi daripada milena.
|
3
|
Kemungkinan
Malignansi
Jarang
|
Kemungkinan
malignansi Kadang-kadang
|
4
|
Faktor
Risiko
Golongan darah O, PPOM, gagal
ginjal
kronis, alkohol, merokok, sirosis,
stress.
|
Faktor
Risiko
Gastritis, alkohol, merokok,
NSAID, stres
|
- WOC
- Manifestasi
Klinik
Secara umum pasien tukak gaster biasanya mengeluh
dispesia. Dispesia adalah suatu sindroma klinik / kumpulan keluhan, beberapa
penyakit saluran cerna seperti, mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati,
sendawa/terapan, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati dan cepat merasa kenyang.
Dispesia secara klinis dibagi atas : 1) Dispesia akibat gangguan motilitas, 2).
Dispesia akibat tukak: 3). Dispesia akibat refluks 4). Dispesia tidak spesifik.
Pasien tukak peptic memberikan ciri ciri keluhan
seperti nyeri ulu hati, rasa tidak nyaman/discomfort, disertai muntah. Pada
tukak duodeni rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit bisa
membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah pasien makan dan
minu obat antasida ( Hunger pain Food Relief = HPFR). Rasa sakit tukak gaster
yang timbul setelah makan, berbeda dengan tukak duodeni yang merasa enak
setelah makan, rasa sakit gaster sebelah kiri dan rasa sakit tukak gaster
sebelah kanan, garis tengah perut. Rasa sakit bermula pada satu titik (
pointing sign) akhirnya difus bisa menjalar ke punggung. Ini kemungkinan
disebabkan penyakit bertambah berat atau mengalami komplikasi berupa penetrasi
tukak ke organ pancreas.
Walaupun demikian rasa sakit saja tidak dapat
menegakkan diagnosis tukak gaster karena dipepsis nontukak juga gak bisa
menimbulkan rasa sakit yang sama, juga tidak dapat digunakan lokasi sakit
sebelah kiri atau kanan tengah perut. Adapun tukak akibat obat OAINS dan tukak
pada usia lanjut/manula biasanya tidak menimbulkan keluhan, hanya diketahui
melalui komplikasinya berupa perdarahan dan perporasi. Muntah kadang timbul
pada tukak peptic disebabkan edema dan spasme seperti tukak kanal pilorik
(obstruksi gastric outlet). Tukak prepilorik dan duodeni bisa menimbulkan
gastric outlet obstruction melalui terbentuknya fibrosis/oedem dan spasme.
- Pemeriksaan
Penunjang
1. Pemeriksaan
fisik mungkin ditemukan adanya nyeri, nyeri epigastrik,dan nyeri tekan abdomen
2. Bising usus
mungkin tidak ada
3. Pemeriksaan
dengan barium terhadap saluran GI atas dpat menunjukkan adanya ulkus, namun
endoskopi adalah pemeriksaan diagnostic pilihan
4. Endoskopi
atas digunakan untuk mengidentifikasikan perubahan inflamasi, ulkus dan lesi.
Melalui endoskopi mukosa dapat secara langsung dilihat dn biopsy didapatkan.
Endoskopi telah diketahui dapat mendeteksi beberapa lesi yang tidak terlihat
melalui pemeriksaan sinar X karenaukuran atau lokasinya.
5. Feces dapat
diambil setiap hari sampai laporan laboratorium adalah negative terhadap darah
samar.
6. Pemeriksaan
sekretori lambung merupakan nilai yang menentukan dalam mendiagnosis
aklorhidria (tidak terdapat asam hidroklorida dalam getah lambung) dan sindrom
zollinger-ellison. Nyeri yang hilang dengan makanan atau antasida dan tidak
adanya nyeri yang timbul juga mengidentifikasikan adanya ulkus.
7. Adanya H.
Pylori dapat ditemukan dengan biopsy dan histiologi melalui kultur, meskipun
hal ini merupakan tes laboratorium khusus. Serta tes serologis terhadap
antibody pada antigen H. pylori.
- Penatalaksanaan
Beberapa metode dapat digunakan untuk mengontrol
keasaman lambung termasuk perubahan gaya hidup, obat-obatan, dan tindakan
pembedahan.
· Penurunan
stress dan istirahat.
· Penghentian
merokok
· Modifikasi
diet, Air jeruk yang asam,coca cola,bir,kopi,tidak mempunyai pengaruh
userogenik pada mukosa lambung tapi dapat menambah sekresi asam lambung.
· Obat-obatan
· Intervensi
bedah
Penatalaksanaan
Farmakologis
Antagonis Reseptor H2/ARH2.
Struktur homolog
dengan histamine Mekanisme kerjanya memblokir efek histaminà sel parietal tidak
dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung.Inhibisi bersifat reversible.
- Dosis terapeutik :
Simetidin : 2 x 400 mg/800 mg malam hari,dosis maintenance 400
mg
Ranitidine : 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg
Nizatidine : 1 x 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg
Famotidine : 1 x 40 mg malam hari
Roksatidine : 2 x 75 mg / 150 mg malam hari,dosis maintenance 75 mg
malam hari.
- contoh-contoh obat anti ulkus
a.
Antasida:
Antasida mengurangi keasaman lambung, bereaksi dengan asam
hidroklorik,membentuk garam dan air untuk menghambat aktivitas peptik dengan
meningkatkan pH.
1. ACITRIL
(Interbat)
Komposisi: Tiap tablet/5ml, suspensi: Magnesium hidroksida 200 mg, Almunium hidroksida 200 mg, Simetikon 20 mg, Gel
200 mg
Indikasi: Tukak Peptik, hiperasiditas saluran cerna, kembung, dispepsia,
gastritis. Perhatian: Hati-hati pada kerusakan fungsi ginjal, diet rendah
fosfat. Efek samping: Gangguan saluran cerna: diare, sembelit. Interaksi obat:
Mengurangi absorpasi tetraksilin, Fe, antagonis H2, kuinidin, warfarin.
Kemasan: Tablet 100 tablet,
Suspensi 120 ml.
2.
ACTAL PLUS ( Valeant/Combiphar)
Komposisi:Almunium
hidroksida 200 mg, Magnesium
hidroksida 152 mg, Simetikon 25 mg. Indikasi: Tukak peptik,
hiperasiditas lambung, pirosis dan “heartburn” pada kehamilan.
Dosis: Tukak
peptik : 2-4 tablet dapat diulang sesuai
kebutuhan. Hiperaditas lambung : 1-2
tablet, ½ jam setelah makan atau sesuai kebutuhan. Pirosis dan “heartburn” pada
kehamilan : 1-2 tablet sebelum sarapan pagi dan ½ jam setelah makan atau sesuai
kebutuhan.Efek samping: sembelit, diare, pada dosis tinggi dapat menimbulkan
obstruksi usus. Kemasan: Tablet : 10 strip @ 10
tablet, 50 strip @ 10 tablet.
3.
ANTASIDA DOEN (Medipharma)
Komposisi :Tiap tablet kunyah atau tiap 5 ml suspensi mengandung : Gel
Aluminium Hidroksida kering 258,7 mg (setara dengan Aluminium Hidroksida) 200
mg, Magnesium Hidroksida 200 mg.
Indikasi :
Untuk mengurangi gejala-gejala yang
berhubungan dengan kelebihan asam lambung, gastritis, tukak lambung, tukak pada
duodenum dengan gejala-gejala.
- Komplikasi
Komplikasi ulkus peptikum adalah ulkus yang
“membandel”(intraktibilitas), perdarahan, perforasi, dan obstruksi pylorus. Setiap
komplikasi ini merupakan indikasi pembedahan (Price, 1996).
1. Intraktibilitas.
Komplikasi ulkus peptikum yang
paling sering adalah “intraktibilitas”, yang berarti
bahwa terapi medis telah gagal mengatasi gejala-gejala secaa
adekuat. Pasien dapat tergangu tidurnya oleh nyeri, kehilangan waktu untuk
bekerja, memerlukan perawatan di rumahsakit, atau hanya tidak mampu
mengikuti program terapi, intraktibilitas merupakan alasan
tersering untuk anjuran pembedahan. Perubahan menjadi ganas tidak perlu
terlalu dipertimbangkan baik untuk ulkus lambung maupun untuk ulkus
duodenum. Ulkus ganas sejak semula sudah bersifat ganas, paling tidak
menurut pengetahuan mutakhir. Ulkus yang memulai perjalanan
dengan jinak akan tanpa mengalami degenerasi ganas.
2. Perdarahan
Perdarahan merupakan komplikasi
ulkus peptikum yang sangat sering terjadi, sedikitnya ditemukan pada 25% kasus
selama perjalanan penyakit (Guyton, 1996). Walaupun ulkus pada setiap tempat
dapat mengalami perdarahan, namun yang tersering adalah di dinding posterior
bulbus duodenum, karena pada tempat ini dapat terjadi erosi arteria
pankretiduodenalis atau arteria gastroduodenalis. Gejala-gejala yang
dihubungkan dengan perdarhan ulkus tergantung pada kecepatan kehilangan darah.
Kehilangan darah yang ringan dan kronik dapat mengakibatkan anemia defisiensi
besi. Feses dapat positif dengan darah samara tau mungkin hitam dan seperti ter
(melena). Perdarahan massif dapat mengakibatkan hematemesis (muntah darah),
menimbulkan syok, dan memerlukan transfuse darah serta pembedahan darurat.
3. Perporasi.
Kira-kira 5% dari semua ulkus akan
mengalaminperporasi, dan komplikasi ini bertanggung jawab atas sekitar 65%
kematian akibat ulkus peptikum (Price, 1995). Ulkus biasanya terjadi pada
dinding anterior duodenum atau lambung karena daerah ini hanya diliputi oleh
peritoneum. Pada kondisi klinik, pasien dengan komplikasi perporasi datang
dengan keluhan nyerimendadak yang parah pada abdomen bagian atas. Dalam
beberapa menit, timbul peritonitis kimia akibat keluarnya asam lambung, pepsin,
dan makanan yang menyebabkan nyeri hebat. Kondisi nyeri tersebut yang
menyebabkan pasien takut bergerak atau bernafas. Auskultasi abdomen menjadi
senyap dan pada saat palpasi, abdomen mengeras seperti papan. Perporasi akut
biasanya dapat didiagnosis berdasarkan gejala-gejala saja diagnosis dipastika
melalui adanya udar bebas dalam rongga peritoneal, dinyatakan sebagai bulan
sabit translusen anatara bayangan hati dan diafragma. Udara tentu saja masuk
rongga peritoneal melalui ulkus yang mengalami perporasi (Azis, 2008).
4. Obstruksi
Obstruksi pintu keluar lambng akibat
peradangan dan edema, pilospasme, atau jaringan parut terjadi pada sekitar 5%
pasien ulkus peptikum. Obstruksi timbul lebih sering pada pasien ulkus
duodenum, tetapi kadang terjadi pada ulkus lambung terletak dekat dengan
sfingter pylorus. Anoreksia mual dan kembung setelah makan merupakan
gejala-gejala yang sering timbul kehilangan berat badan juga sering terjadi.
Bila obstruksi bertambah berat, dapat timbul nyeri dan muntah (Mineta,1983)
B. Konsep Dasar Askep
a.
Pengkajian
1. Identitas
Klien
Lakukan pengkajian meliputi: nama,
jenis kelamin,suku bangsa, tanggal lahir,agama dan tanggal pengkajian.
2. Keluhan
utama/alasan masuk RS:
Klien datang ke
RS dengan keluhan merasakan nyeri pada pada bagian perut, ulu hati dan mual
serta muntah.
3. Riwayat
kesehatan sekarang:
Faktor
pencetus:
Pasien
mengatakan bahwa nyeri timbul beberapa saat / beberapa jam
setelah
makan atau waktu lapar atau saat sedang tidur tengah malam
Sifat keluhan
(periodik/ tiba-tiba)
4. Riwayat kesehatan
keluarga
Penyakit yang pernah dialami (jenis penyakit, lama dan
upaya untuk mengatasi, riwayat masuk RS)
5. Riwayat
kesehatan dahulu
Penyakit menular atau keturunan dalam keluarga: Ibu
klien menderita tuka’ lambung.
6. Data Dasar Pengkajian pasien
b. Aktivitas/istirahat
Gejala : Keletihan, kelelahan, malaise.
Ketidak mampuan
melakukan aktivitas sehari – hari.
uan untuk
tidur.
Tanda : periode hiperaktivitas, latiihan keras
terus menerus.
c. Integritas Ego
Gejala : ketidak berdayaan, putus asa Marah ditekan
Tanda : Depresi, ansietas.
d. Eliminasi
Gejala : diare Konstipasi Nyeri abdomen tak jelas dan disteres,
kembung Penggunaan
laksatif/diuretic.
e. Makanan/Cairan
Gejala :
lapar terus menerus/menyangkal lapar Takut
penigkatan
berat badan.
Tanda : penurunan berat badan / anoreksia Penamplan urus,
kulit
kering, kuning
atau pucat dengan turgor buruk.
f. Higiene
Tanda : peningkatan pertumbuhan rambut pad
tubuh (lanugo).
- Neurosensori
Gejala : Sakit kepala,
pusing, vertigo, ketidakmampuan
berkonsentrasi. Kelemahan,
keseimbangan buruk.
Tanda :
Peka rangsang,
gelisah, depresi, apatis.
Mental : tak mampu berespon, lambat dan
dangkal.
Oftalmik : hemoragis retina.
Gangguan
koordinasi, ataksia: penurunan rasa getar dan
posisi
- Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen, seperti terbakar
- Keamanan
Tanda : penurunan
suhu tubuh akibat berulangnya prose infeksi.
- Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : Kecendrungan keluarga untuk anemia
Riwayat
penyakit maag, depresi.
- Pemeriksaan Fisik
a.
Keadaan umum :
Penampilan umum :Klien
tampak rapi
Klien tampak sehat/ sakit/ sakit berat : sakit
Kesadaran :
sadar
GCS :
E4V5M6
BB :
50 Kg
TB :
165 cm
b. Tanda- tanda
vital :
TD :
120/80 mmHg
ND :
80x/menit
RR :
20 x/menit
S :
37 oC
c. Kulit
Warna kulit (sianosis, ikterus, pucat,) : Pucat
Kelembapan :
kering
Turgor kulit :
baik
Ada/tidaknya oedema :
tidak ada oedema
d. Mata
Fungsi penglihatan :
baik
Palpebra : terbuka / tertutup
Ukuran pupil :
.Normal
Konjungtiva :
Sklera :
Lensa / iris :
Oedema palpebra : Tidak ada
oedema
Mulut dan tenggorok
Membran mukosa :
Kering
kebersihan mulut : Baik
Keadaan gigi :
Baik.
Tanda radang (bibir, gusi, lidah) : tidak ada
Trismus :
Kesulitan menelan :
Tidak ada
Abdomen
Inspeksi :
bentuk abdomen
simestris
atau tidak,
Palpasi :
ada/ tidak ada nyeri tekan
benjolan : batas
hepar,batas ginjal,batas lien,ada/tidaknya
penimbunan cairan diperut(kembung).
: bising usus, bising vena, pergesekan
hepar dan lien
Pada pemeriksaan abdomen, Nyeri epigastrik.Ini gejala paling menonjol
selama periode eksaserbasi. Pada ulkus duodenal, nyeri terjadi 2-3 jam setelah
makan dan sering disertai dengan mual dan muntah. Pada ulkus gastrik, nyeri
terjadi dengan segera setelah makan. Nyeri dapat digambarkan sebagai nangging,
tumpul, sakit, atau rasa terbakar. Ini sering hilang dengan makanan dan
meningkat dengan merokok dan stres emosi. Selama remisi pasien asimtomatik
a.
Diagnosa Keperawatan yang Mungkin
Muncul
1.
Nyeri b.d iritasi mukosa lambung,
perporasi mukosa, kerusakan jaringan
lunak pasca
operasi
2.
Resiko Tinggi syok hipovolemik b.d penurunan
volume darah sekunder
akibat
hematemesis dan melena massif
- Resiko
injuri b.d pascaprosedur bedah gastrektomi
- Resiko
ketidakefektifan jalan nafas b.d penurunan kemampuan batuk, nyeri pasca
operasi
- Resikotinggi
ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan
yang tidak adekuat
- Resiko
ketidakseimbangan elektrolit b.d keluarnya cairan akibat muntah
berlebihan, respon perubahan pasca bedah gastreoktomi
- Kecemasan
b.d prognosis penyakit, kesalahan interprestasi terhadap informasi, dan
rencana pembedahan.
C. Rencana Asuhan Keperawatan
No
|
Diagnosa Keperawatan
|
Tujuan
|
Kriteria
Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
1). Nyeri b.d iritasi mukosa
lambung, perporasi mukosa, kerusakan jaringan lunak pasca operasi
|
Dalam waktu 1 x 24 jam dan 3 x 24
jam pascabedah gastrekotomi, nyeri berkurang/hilang atau teradaptasi.
|
-secara
subjektib melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi.
-Skala
nyeri 0-1 (0-4).
Dapat
mengidentifikasi aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri.
-pasien
tidak gelisah
|
-Jelaskan
dan bantu pasien dengan memberikan pereda nyeri non farmakologi dan
noninvasive
-lakukan
manajemen nyeri.
1).
Istirahatkan pasien pada saat nyeri muncul
2). Ajrkan
tehnik relaksasi nafas pada saat nyeri
3).
Ajarkan tehnik distraksi pada saat nyeri
4).
Manajemen Lingkungan: Lingkungan tenang, batasi pengunjung, dan istirahatkan
pasien.
5). lakukanManajemen sentuhan
Kolaborasi
dengan tim medis untuk pemberian:
1).
Pemakaina penghambat H2 ( seperti Simetidin /Ranitidin).
2).
Antasida
|
-pendekatan
dengan menggunakan tehnik relaksasi dan terapi nonfarmakologi telah
menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
1).
istirahat secara fisiologis akan menurunkan kebutuhan oksigen yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan metabolism basal.
2).
Meningkatkan asupan oksigen sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dari
iskemia intestinal
3).
Distraksi (pengalihan Panggilan ) dapat menurunkan stimulus internal.
Lingkungan
tenang akan menurunkanstimulus nyeri eksternal dan pembatasan pengunjung akan
membantu meningkatkan oksigen ruanganyang akan berkurang apabila banyak
pengunjung yang berada di ruangan. Istirahat akan menurunkan kebutuhan
oksigen jaringan perifer.
5).
Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan dukungan psikologis dapat
membantu menurunkan nyeri.
Simetidin
penghambat histamine H2 menurunkan produksi asam lambun, meningkatkanpH
Lambung dan menurunkan iritasi pada mukosa lambung, penting untuk penyembuhan
dan pencegahan lesi.
2).
Antasida untuk mempertahankan pH lambung pada tingkat 4,5
|
2
|
Risiko
tinggi syok hipovolemik b.d penurunan volume darah sekunder akibat
hematemesis dan melena masif
|
Dalam
wkatu 3 x 24 jam tidak terjadi syok hivopolemik
|
-pasien
menunjukkan perbaikan sistem kardiovaskuler
-hematemesis
dan melena terkontrol
-konjungtivitis
tidak anemis
-pasien
tidak mengeluh pusing, memebran mukosa lembab, turgor kulit normal, dan akral
hangat.
-TTV dalam
batas normal, CRT > 3 detik, urine
> 600 ml/hari
Laboratorium:
nilai haemoglobin, sel darahmerah, hematokrit, dan BUN/kreatinin dalam batas
normal.
|
-Kaji
sumber dan respon perdarahan dari melena dan hematemesis.
-monitor
TT
Monitor
status cairan (turgor kulit, membrane mukosa dan keluaran urine).
Lakukan
kolaborasi pemberian paket sel darah
merah(PRC=Pocked Red Cells).
Evaluasi
adanya respon seklinik dari pemberian transfusi.
Lakukan gastric cooling.
Evaluasi
kondisi pasien setiap pergantian shift.
Kolaborasi
pemberian terapi endoskopik.
Lakukan
dokumentasi intervensi yang telahdilakukan dan dilaporkan apabila didapatkan
perubahan kondisi mendadak.
Kolaborasi
: dilakukan tindakan pembedahan gastrektomi.
|
Deteksi
awal mengenai sevberapa jauh tinkat pemberian intervensi yang diberikan
sesuai dengan kemampuan individu.
1).
Penurunan kualitas dan denyut jantung merupakan parameter penting gejala awal
syok
2).
Hipotensi dapat terjadi pada hipovolemia, hal tersebut memberikan manifestasi
terlibatnya sistem kardiovaskuler dalam melakukan kompensasi dalam
mempertahankan tekanaan darah.
3).
Peningkatan frekuensi nafas merupakan manifestasi dri kompensasi respirasi
untuk mengambil sebanyak-banyaknya oksigen, akibat penurunan kadar
haemoglobin sekunder dari penurunan volume darah.
4).
Hipotermi dapat terjadi pada perdarahan massif.
Jumlah dan
tipecairan penganti darah ditentukan dari keadaan status cairan. Penurunan
volume darah mengakibatkan menurunnya produksi urine, monitor yang ketat pada
produksi urine< 600ml/ hari merupakan tanda-tanda terjadinya syok
hipovolemik.
Pemberian
PRC disesuaikan dengan banyaknya darah yang keluar dan hasil pemeriksaan
hemoglobin. Apabila dalam kondsi kritis, sementara persediaan darah masih
belum didapatkan dari segera, maka pemberian cairan pengganti darah dapat
diberikan untuk menurunkan risiko syok.
Secara
fisiologis tubuh pasien akan bereaksi terhadap darah yang masuk melalui
transfuse sehingga memiliki kecenderungan menjadi reaksi alergi transfuse.
Perawat melakukan monitor untuk mencegah respon klinik pada pasien.
Intervensi
pemberian cairan ke lambung bertujuan untuk melakukan vasokontriksi pembuluh
darah lambung dan diharapkan dapat menurunkan pendarahan.
Perubahan
kardiovaskuler akibat hematemesis dan melena massif masih bisa bervariasi
sesuai dengan tingkat toleransi individu. Penemuan perubahan sebagai deteksi
awal untuk mencegah meningkatnya risiko syok.
Intervensi
terapi endoskopik dilakukan dengan melakukan hemostasis koagulasi atau thrombosis terapi. Beberapa intervensi
elektrokoagulasi, heater probe atau laser YAG dilakukan untuk mengontrol
perdarahan dari ulkus peptikum( Shoemaker, 1995).
Setiap
perubahan yang terjadi pada pasien harus diketahui oleh tim medis untuk
mendapat asuhan medis. Dokumentasi yang baik dapat menunjang asuhan yang
berkelanjutan.
Perporasi
ulkus peptikum yang tidak membaik dengan terapi farmakologi dan endoskopi akan
mendapatkan terapi bedah untuk menghilangkan sumber perdarahan pada lambung
dan duodenum.
|
3
|
Resiko
Injuri b.d pascaprosedur gastreoktomi
|
Dalam
waktu 2 x 24 jam pasca intervensi gastrektomi pasien tidak mengalamiinjuri.
|
-TTV dalam
batas normal.
-Tidak terjadi
infeksi pada daerah insisi.
|
-Lakukan
perawatan di ruang infensif.
-monitor
adanya komplikasi pascaoperasi gastrektomi.
-Kaji
factor-faktor yang meningkatkan risiko injuri.
- kaji
status neurologis dan laporkan apabial terdapat perubahan status neurologi.
-Perubahan
status hemodinamik yang optimal.
1).
Lakukan hidrasi awal pasca bedah.
2). Pantau
pengeluaran urine rutin.
3).
Evaluasikan secara hati-hati dan dokumentasikan intake atau output cairan.
-Monitor
kondisi selang pasca operasi.
-Monitor
kondisi selang nasogastrik
|
-menurunkan
risiko injuri dan memudahkan intervensi pasien selama 48 jam di ruang
intensif.
-Komplikasi
yang terjadi pada operasi ini adalahperdarahan, kebocoran pada daerah
anastosmis, infeksi luka operasi, gangguan respirasi, dan masalah yang
berkaitan dengan balance cairan dan
elektrolit
-keterampilan
keperawatan kritis diperlukan agar pengkajian vital dapat dilakukan secara
sistematis.
-Pengkajian
status neurologis dilakukan pada setiap. pergantian sift jaga. Setiap adanya
perubahan status neurologis merupakan salah-satu tanda terjadinya komplikasi
bedah. Penurunan resposivitas, perubahan pupil, gangguan atau kelemahan yang
bersifat satu sisi (unilateral), ketidakmampuan mengontrol nyeri, atau
perubahan neurologi lainnya perlu dilaporkan pada tim medis untuk mendapatkan
intervensi selanjutnya.
Pasien
akan mendapat cairan intravena sebagai pemeliharaan haemodinamik
1). Jenis
cairan yang digunakan adalah kombinasi dari NaCl 0,9% dan RL dengan jumlah
100-200 ml/jam dan dilakukan pada 12-16 jam setelah pembedahan.
Cairan ini
akan membantu memelihara sirkulasi yang adekuat dari volume darah sebagai
proteksi pada organ vital dan mencegah kondisi hivopolemia pascabedah.
Pasien
pascaoperasi gastrektomi akan mengalami transudasi cairan ke intertisisal.
Perawat akan memantau kondisi urine dalam kisaran 30 ml/ jamhidrasi optimal
sebagai batas dalam pemberian rehidrasi optimal. (Shoemarker, 1995).a
Perawat
mendokumentasikan jumlah urine dan waktu pencatatan, serta memeriksa kepatenan saluran urine
Drainase
pasca opeasi harus dipantau, perhatikan kepatenan selang dan aadanya
thrombosis, selang terlipat dan adanya perdarahan baru yang ada didalam
selang.
Secara
umum pasien pasca bedah gastroktomi akan terpasang selang nasogastrik.
Perawat berusaha untuk tidak mengangkat, mengubah posisi, meamnipulasi atau
engirigasi selang kecuali untuk terapi. Hal ini dilakukan untuk menurunkan
risiko kerusakan anastosmis.
|
3.
|
Resiko
ketidakefektifan jalan nafas b.dkemampuan batuk menurun, nyeri pascaoperasi.
|
Dalam
waktu 2 x 24 jam pascabedah gastrektomi, kebersihan jalan nafas pasien tetap
optimal.
|
-jalan
napas bersih dan tidak ada akumulasi darah.
- Suara
nafas normal, tidak ada bunyi nafas tambahan seperti stridor.
- tidak
ada penggunaan otot bantu pernafasan.
- RR dalam
batas normal 12-20x/menit.
|
-Kaji dan
monitor jalan napas.
-Beri
oksigen 3 liter/menit.
-bersihkan
sekresi pada jalan napas dan lakukan suctioning apabila kemampuan
mengevakuasi secret tidak efektif.
-Instruksikan
pasien untuk melakukan napas dalam dan batuk efektif.
-Lakukan
fisioterapi dada.
1) tetapkan
lokasi dari setiap segmen paru-paru.
2) Jaga
posisi pasien agar jangan sampai jatuh, gunakan pagar pengamanan yang ada
pada setiap sisi tempat tidur.
|
Deteksi
awal u/ intervensi slnjutnya. Salah- satu cara u/ melihat pasien bernafas/
tidal adalah dengan meletakkan telapak tangan diatas mulut/hidung pasien.
Pemenuhan
oksigen dapat membantu meningkatkan paO2 di cairan otak yang akan
mempengaruhi pengaturan pernafasan.
-kesulitan
napa sdapat terjadi apabila sekresi mucus yang berlebihan.
-pada
pasien pascabedah dengan toleransi yang baik, pernafasan difragma dapat
meningkatkan ekspansi paru.
U/
memperbesar ekspansi dada dan pertukaran gas, contohnya meminta pasien u/
menguap atau inspirasi maksimal.
-memfasilitasi
pembersihan jalan napas dari secret yang tidak dapat dikeluarkandengan batuk
efektif.
1) Lakukan
auskultasi agar dapat menentukan area paru dengan bunyi napas ronkhi.
2) apabila
tingkat toleransi dari pasien tidak optimal, perawat mencegah dan menjaga
trauma sekunder dari intervensi seperti memasang pagar pengaman.
|
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut definisi, ulkus peptikum dapat ditemukan pada
setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus,
lambung, duodenum, jejunum,dan setelah tindakan gastroenterostomi. Ulkus
peptikum diklasifikasikan atas ulkus akut dan ulkus kronik, hal tersebut
menggambarkan tingkat tingkat kerusakan pada lapisan mukosa yang terlibat(
Aziz, 2008).
Beberapa metode dapat digunakan untuk mengontrol
keasaman lambung termasuk perubahan gaya hidup, obat-obatan, dan tindakan
pembedahan.
- Penurunan stress dan istirahat.
- Penghentian merokok
- Modifikasi diet, Air jeruk yang asam,coca
cola,bir,kopi,tidak mempunyai pengaruh userogenik pada mukosa lambung tapi
dapat menambah sekresi asam lambung.
- Obat-obatan
- Intervensi bedah
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini juga penulis menyadari bahwa
dalam pebuatan makalah masih terdapat banyak kesalahan, kekurangan serta
kejanggalan baik dalam penulisan maupun dalam pengonsepan materi. Untuk itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar kedepan lebih
baik dan penulis berharap kepada semua pembaca mahasiswa khususnya, untuk lebih
ditingkatkan dalam pembuatan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Grace,
Pierce & Neil Borley. 2005. At a
glance ilmu bedah edisi ketiga.Jakarta :Erlangga
Mutaqqin,
Arif dan Kumala sari. 2011. Gangguan gastrointestinal Aplikasi Asuhan
keperawatan medikal bedah. Jakarta :Salemba Medika.
W. Sutoyo,
Aru. 2006. Ilmu penyakit dalam jilid 1
edisi keempat. Jakarta :Kedokteran indonesia
No comments:
Post a Comment