Tuesday, 14 April 2020

ASUHAN KEPERAWATAN ULKUS DUODENUM


ASUHAN KEPERAWATAN ULKUS DUODENUM




KATA PENGANTAR


Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha kuasa. Atas limpahan rahmat dan taufik-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah
Penulis yakin bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa penulis harapkan.Semoga karya sederhana ini bermanfaat bagi kita semua.


       Banda Aceh, 03 November 2019
Penulis
 Kelompok 3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah..........................................................................................
1.2  Rumusan Masalah....................................................................................................
1.3  Tujuan......................................................................................................................
BAB 2 KONSEP TEORI DAN ASKEP
2.1  HIV AIDS
2.1.1   Definisi....................................................................................................................
2.1.2   Etiologi....................................................................................................................
2.1.3   Klasifikasi................................................................................................................
2.1.4   Manifestasi Klinis....................................................................................................
2.1.5   Patofisiologi.............................................................................................................
2.1.6   Pemeriksaan Penunjang...........................................................................................
2.1.7   Asuhan Keperawatan...............................................................................................
2.2  Rhinitis Alergi
2.2.1   Definisi....................................................................................................................
2.2.2   Etiologi....................................................................................................................
2.2.3   Manifestasi...............................................................................................................
2.2.4   Patofisiologi.............................................................................................................
2.2.5   Pemeriksaan Penunjang...........................................................................................
2.2.6   Asuhan Keperawatan...............................................................................................
BAB 3 PENUTUP
3.1  Kesimpulan..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Bedasarkan penelitian bahwa 5%-15% dari populasi di Amerika Serikat mengalami ulkus, tetapi hanya kira-kira setengahnya yang diketahui, kejadian ini telah menurun sebanyak 50% selama 20 tahun terakhir. Ulkus duodenum terjadi 5 sampai 10 klai lebih sering dari pada ulkus lambung.
Penyakit ini terjadi dengan rekuensi paling besar pada individu antara usia 40 – 60 tahun dan tetapi relatif jarang pada wanita menyusui, meskipun ini telah dionservasi pada anak-anak dan bahkan pada bayi. Pria terkena tiga kali lebih banyak dari pada wanita, tetapi terdapat beberapa bukti bahwa incident pada wanita meningkat setelah menopause.
Di Indonesia juga terjadi hal demikian hampir sama dengan bahkan lebih banyak dari pada Negara luar seperti amerika karena Negara Indonesia merupakan Negara berkembang.
Dari data di atas maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang ulkus dan mengapa ulkus kerap terjadi di setiap individu serta bagaimana cara mengatasinya. Maka dari itu penulis mengangkat sebuah makalah dengan judul Askep Klien Dengan Ulkus Peptikum.

B.  Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah :
  1. Tujuan Umum :
1.         Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Pencernaan.
2.         Mengetahi cara pembuatan asuhan keperawatan klien dengan penyakit ulkus peptikum.
  1. Tujuan Khusus :
1.         Mengetahui apa yang dimaksud dengan Ulkus peptikum tersebut
2.         Untuk mengetahui bagaimana proses tindakannya dan bagaimana penatalaksanaan serta pengobatannya

C.  Manfaat
  1. Penulis semakin terlatih dalam membuat makalah dan asuhan keperawatan.
  2. Menambah pengetahuan dan wawasan penulis khususnya tentang penyakit Ulkus peptikum.
  3. Dapat menambah referensi bagi pembaca tentang tentang konsep penyakit dan askep pada ulkus peptikum.
                                                                                    
























BAB II
TINJAUAN TEORI

A.  Konsep Dasar Teori
a.         Anatomi Fisiologi
Saluran gastrointestinal (GI) adalah jalur (panjang totalnya 23-26 kaki) yang berjalan dari mulut melalui esofagus, lambung dan usus sampai anus.
Fungsi esophagus, yaitu: saluran pencernaan yang menjadi distensi bila makanan melewatinya. Fungsi lambung, yaitu sebagai sekresi yang mengandung enzim pepsin yang penting untuk memulai pencernaan protein, untuk memecah makanan menjadi komponen yang lebih dapat diabsorpsi dan membantu destruksi kebanyakan bakteri pencernaan. Fungsi usus halus, yaitu mengubah makanan yang dicerna, yang pada awalnya dicerna dalam bentuk lemak, protein, dan karbohidrat dan dipecahkan menjadi nutrisi unsur pokoknya melalui proses pencernaan. Fungsi kolon, adalah membantu mengabsorpsi cairan dan elektrolit  (Suddarth & Brunner. 2002. hal.984).
b.   Pengertian
Pada tahun 350 SM, Diocles Of Carystos dipercaya sebagai orang yang menyebutkan kondisi ulkus lambung pertama kali. Marcellus Donatus of Mantua pada tahun 1586  menjadi orang pertama yang mendeskripsikan ulkus lambung melalui autopsi, pada tahun 1688 Muralto mendeskripsikan ulkus duodenal secara autopsi. Pada tahun 1737, Morgagni juga menyebutkan kondisi ulkus pada lambung dan duodenum secara autopsi (Angel, 2006).
Ulkus peptikum atau ulkus peptikumum merupakan keadaan dimana kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun sering kali dianggap juga sebagai ulkus(Fry, 2005). Menurut definisi, ulkus peptikum dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus, lambung, duodenum, jejunum,dan setelah tindakan gastroenterostomi. Ulkus peptikum diklasifikasikan atas ulkus akut dan ulkus kronik, hal tersebut menggambarkan tingkat tingkat kerusakan pada lapisan mukosa yang terlibat( Aziz, 2008).
Walaupun aktivitas percernaan peptik oleh getah lambung merupakan etiologi yang penting, terdapat bukti bahwa ini hanya merupakan salah satu dari banyak factor yang berperan dalam pathogenesis ulkus peptikum (lewis,2000). Oleh karena banyaknya persamaan serta perbedaan dalam konsep keperawatan antara ulkus lambung dan ulkus duodenum, maka pada proses keperawatan  ini akan dibahass bersamaan agar memudahkan dalam asuhan keperawatan.
Ulkus peptikum adalah eksvasi ( area berlubang ) yang terbentuk dalam dinding mukosa lambung, pylorus, duodenum atau esophagus. Ulkus peptikum sering disebut sebagai ulkus lambung, duodenal atau esophageal tergantung pada lokasinya ( Suddarth & Brunner. 2002. hal.1064).
Ulkus peptikum adalah ulkus yang terjadi pada mukosa, sub mukosa dan kadang-kadang sampai lapisan muskularis, dari traktus gastrointestinalis yang selalu berhubungan dengan asam lambung yang cukup mengandung HCl. Termasuk ini ialah ulkus (tukak) yang terdapat pada bagian bawah dari esophagus, lambung dan duodenum bagian atas ( first portion of the duodenum). Mungkin juga dijumpai di tukak yeyunum yaitu penderita yang mengalami gastroyeyenostomi (Hadi Sujono. 2002. hal.204).
Ulkus peptikm merupakan putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut sebagai erosi, walaupun sering dianggap sebagai “ulkus” (misalnya ulkus karena stress). Menurut definisi, ulkus peptikum dapat terletak pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroenterostomi, juga jejunum.( Sylvia, A. Price, 2006).
c.    Etiologi
Sebab-sebab yang pasti dari ulkus peptikum yang belum diketahui. Beberapa teori yang menerangkan tentang tukak peptik, antara lain sebagai berikut :
1.    Asam getah lambung terhadap resistensi mukosa.
Tukak peptik kronia tidak mungkin terjadi lama tanpa adanya getah lambung. Sebagai contoh berdasarkan penyelidikan yang mengumpulkan banyak penderita dengan anemia pernisiosa disertai dengan alkorida.
2.    Golongan darah
Penderita dengan golongan darah O lebih banyak menderita tukak duodeni jikadibandingkan dengan pada  tukak lambung. Adapun sebabnya belum diketahui dengan benar. Dan hasil penelitian dilaporkan bahwa pada penderita dengan golongan darah O kemunkinan  terjadinya tukak duodeni adalah 38%  lebih besar dibandingkan golngan lainnya. Kerusakan di daerah piepilorus dapat dihubungkan dengan golongan darah  A, baik berupa tukak yang biasa ataupun karsinoma. Sedangkan pada golongan darah O sering ditemukan kelainan pada korpus lambung.
3.    Susunan saraf pusat
Teori nerogen pada tukak peptik telah dibicarakan tahun 1959. Berdasarkan pengalaman dari Chusing, erosi akut dan tukak pada esofagus, lambung dan duodenum dapat dihubungkan dengan kerusakan intrakranial, termasuk neoplasma primer atau sekunder dan hiperensi maligna. Faktor kejiwaan dapat menyebabkan timbulnya tukak peptik. Misalnya pada mereka yang psikisnya sangat labil, pada ketegangan jiwa, emosi, mempunyai ambisi besar dan lain-lainnya yang menyebabkan untuk hidup tidak wajar.
4.    inflamasi bakterial
Dari dasar tukak telah dibakkan untuk menyelidiki mikroorganisme yang diduga sebagai penyebabnya, tetapi tidak ditemukan satu macam bakteripun. Selanjutnya pada hasil pemeriksaan didapat bahwa inflamasi non bakteri atau inflamasi khemis lebih besar dari pada inflamasi bakterial. Tukak yang spesifik misalnya pada TBC dan sifilis disebabkan spesifik mikrooganisme.
5.    Inflamasi non bakterial
Teori yang menyatakan bahwa inflamasi non bakterial sebagai penyebab didasarkannya inflamasi dan kurvatura minor, antrum dan bulbus duodenia yang mana  dapat disebutkan juga antaral gasthritis, sering ditemukan dengan tukak. Dan sebagai penyebab dari gasthritis
Sendiri belum jelas. Tukak yang kronis ialah sebagai kelanjutan dari tukak yang akut. Berdasarkan pemeriksaan histologis ditemukan perubahan yang nyata dari erosi akut ke tukak yang akut.
6.    Infark
Teori infark yang berdasarkan timbulnya kerusakan semacam kawah, sering ditemukan pada otopsi. Adannya defek pada dinding serta timbulnya infark, karena asam getah lambung dan dapat pula ditunjukkan adanya jaringan trombose.
7.    Faktor hormonal.
Banyak teori yang menerangkan adanya pengaruh-pengaruh hormonal yang dapat menimbulkan tukak peptik.
8.    Obat-obatan (drug induced peptic ulcer).
9.    .Aspirin, alkohol, tembakau dapat menyebabkan kerusakan sawar mukosa lambung.
Dari sekian banyak obat-obatan, yang paling sering menyebabkan adalah golongan salisilat, yaitu menyebabkan kelainan pada mukosa lambung. Phenylbutazon juga  dapat menyebabkan timbulnya tukak peptik, seperti halnya juga histamin, reseprin  akan merangsang sekresi lambung. Berdasarkan penyelidikan, ternyata golongan salisilat hanya akan menyebabkan erosi lokal.
10.     Herediter.
Berdasarkan penelitian di dalam keluarga ternyata bahwa tukak peptik ini ada pengaruhnya dengan herediter. Terbukti bahwa dengan orang tua/ famili yang menderita tukak, jika dibandingkan dengan mereka yang orang tuanya sehat. Oleh sebab itu, family anamnesa perlu ditegakkan
11.     Berhubungan dengan penyakit lain.
a.         Hernia diafrakmatika.
Pada hernia diafrakmatika, mukosa pada lingkaran hernia mungkin merupakan tempat timbulnya erosi atau tukak.
b.        Sirosis hati.
Tukak peptik ditemukan juga pada penderita penyakit hepar terutama pada sirosis lebih banyak jika dibandingkan dengan orang normal. Tukak duodeni pada kaum wanita dengan sirosis biliaris ternyata bertambah, jika neutralisasi dari isi duodenum berkurang.
c.         Penyakit paru-paru.
Frekuensi dari tukak yang kronis dengan TBC paru-paru sering ditemukan. Bertambah banyaknya tukak peptik dapat dihubungkan dengan bertambah beratnya emfisema dan corpulmonale.
12.     Faktor daya tahan jaringan.
Penurunan daya tahan jaringan mempermudah timbulnya ulkus. Daya tahan jaringan dipengaruhi oleh banyaknya suplai darah dan cepatnya regenerasi.
d.   Patofisiologi
Penyebab Umum Penyebab umum dari userasi peptikum adalah ketidakseimbangan antara kecepatan sekresi dan lambung dan derajat perlindungan yang diberikan oleh sawar mukosa gastroduodenal dan netralisasi asam lambung oleh cairan duodenum. Semua daerah yang secara normal  terpapar oleh cairan lambung dipasok dengan baik oleh kelenjar mukus, antara lain kelenjar ulkus campuran pada esophagus bawah dan meliputi sel mukus penutup pada mukosa lambung: sel mukus pada leher kelenjar lambung; kelenjar pilorik profunda (menyekresi sebagian besar mukus): dan akhirnya kelenjar Brunner pada duodenum bagian atas yang menyekresi mukus yang sangat alkali (Guyton, 1996).
Sebagian tambahan terhadap perlindungan mukus dari mukosa, duodenum dilindungi oleh sifat alkali dari sekresi usus halus, terutama adalah sekresi pancreas yang mengandung sebagian besar natrium bikarbonat, berfungsi menetralisir asam klorida cairan lambung sehingga menginaktifkan pepsin untuk mencegah pencernaan mukosa. Sebagai tambahan, ion-ion bikarbonat disediakan dalam jumlah besar oleh sekresi kelenjar Brunner yang terletak pada beberapa inci pertama dinding duodenum dan didalam empedu yang berasal dari hati (Lewis,2000). Akhirnya, dua mekanisme kontrol umpan balik memastikan bahwa netralisasi cairan lambung ini sudah sempurna, meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.      Jika asam yang berlebihan memasuki duodenum, secara refleks mekanisme ini menghambat sekresi dan peristaltic lambung baik secara persarafan maupun secara hormonal sehingga menurunkan kecepatan pengosongan lambung.
2.      Adanya asam pada usus halus memicu pelepasan sekretin pada mukosa usus, kemudian melalui darah menuju pancreas untuk menimbulkan sekresi yang cepat dari cairan pancreas- yang mengandung natrium bikarbonat berkonsentrasi tinggi  - sehingga tersedia natrium bikarbonat untuk menetralisir asam.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ulkus peptikum dapat disebabkan oleh salah-satu dari dua judul (10 sekresi asam dan pepsin yang berlebihan oleh mukosa lambung, atau (2) berkurangnya kemampuan sawar mukosa gastroduodenalisn untuk berlindung dari sifat pencernaan dari kompleks asam –pepsin.
  1. Penyebab khusus
1.      Infeksi bakteri H. pylori
Dalamlima tahun terakhir, ditemukan paling sedikit 75% pasien ulkus peptikum menderita infeksi kronis pada bagian akhir mukosa lambung, dan bagian mukosa duodenumoleh bakteri H.pylori. Sekali pasien terinfeksi, maka infeksi dapat berlangsung seumur hidup kecuali bila kuman diberantas dengan obat anti bacterial.  Lebih lanjut lagi, bakteri dapat melakukan penetrasi sawar mukosa lambung, baik dengan kemampuanya sendiri untuk menembus sawar maupun dengan melepaskan enzin-enzim pencernaan yang mencairkan sawar. Akibatnya, cairan asam kuat pencernaan yang disekresi oleh lambung dapat berpenetrasi kedalam jaringan epithelium dan dapat mencernakan epitel, bahkan juga jaringan-jaringan di sekitarnya. Keadaan ini dapat menuju pada kondisi ulkus peptikum (Sibernagl, 2007).

2.      Peningkatan sekresi asam
Pada kebanyakan pasien yang menderita ulkus peptikum dibagian awal duodenum, jumlah sekresi asam lambung lebih banyak dari normal, bahkan sering dua kali lipat dari normal. Walaupun setengah dari peningkatan asam ini mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri, percobaan pada hewan ditambah bukti adanya perangsangan berlebihan sekresi asam lambung oleh saraf pada manusia yang menderita ulkuspeptikum mengarah kepada sekresi cairan yang berlebihan (Guyton, 1996).
Predisposisi peningkatan sekresi asam diantaranya  adalah factor psikogenik seperti pada saat mengalaami depresi atau kecemasan dan merokok.
3.      Konsumsi obat-obatan.
Obat-obat seperti OAINS/obat anti-inflamasi, nonsteroid- seperti Indometasin, Ibupropen, Asam Salisilat- mempunyai efek penghambatan siklo-oksigenase sehingga menghambat sintesis prostaglandin  dari asam arakhidonat secara sistemik- termasuk pada epitel lambung dan duodenum. Pada sisi lain, hal ini juga menurunkan sekresi HCO3 sehingga memperlemah perlindungan mukosa(Sibernagl, 2007). Efek lain dari obat ini adalah merusak mukosa local melalui difusi non-ionik ke dalam sel mukosa. Obat ini juga berdampak terhadap agregasi trombosit sehingga akan meningkatkan bahaya pendarahan ulkus (Kee, 1995).
4.      Stress fisik yang disebabkan oleh syok, luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan, gagal napas, gagal ginjal, dan kerusakan susunan syaraf pusat (Lewis, 20000. Bila kondisi stress ini berlanjut, maka kerusakan epitel akan meluas dan kondisi ulkus peptikum menjadi lebih parah.
5.      Refluks usus-lambung dengan materi garam empedu dan enzzim pancreas yang berlimpah dan memenuhi permukaan mukosa dapat menjadi predisposisi kerusakan epitel mukosa.
Factor-faktor diatas menyebabkan kerusakan epitel mulai dari erosi yang berlanjut pada ulkus akut, kemudian ulkus kronis, dan terbentuknya jaringan parut; maka akan terjadi penetrasi dari seluruh dinding lambung.
  1. Klasifikasi
No
Ulkus duodenal
Ulkus Lambung
1
Insidens
Usia 30-60 tahun
Pria: wanita → 3:1
Terjadi lebih sering dari pada ulkus lambung
Insiden
Biasanya 50 tahun lebih
Pria:wanita → 2:1
2
Tanda dan gejala
Hipersekresi asam lambung
Dapat mengalami penambahan berat badan
Nyeri terjadi 2-3 jam setelah makan; sering
terbangun dari tidur antara jam 1 dan 2 pagi.
Makan makanan menghilangkan nyeri
Muntah tidak umum
Hemoragi jarang terjadi dibandingkan ulkus
lambung tetapi bila ada milena lebih umum
daripada hematemesis.
Lebih mungkin terjadi perforasi daripada
ulkus lambung
Tanda dan gejala
Normal sampai hiposekresi asam lambung
Penurunan berat badan dapat terjadi
Nyeri terjadi ½ sampai 1 jam setelah
makan; jarang terbangun pada malam hari;
dapat hilang dengan muntah.
Makan makanan tidak membantu dan
kadang meningkatkan nyeri.
Muntah umum terjadi
Hemoragi lebih umum terjadi daripada
ulkus duodenal, hematemesis lebih umum terjadi daripada milena.
3
Kemungkinan Malignansi
Jarang
Kemungkinan malignansi Kadang-kadang
4
Faktor Risiko
Golongan darah O, PPOM, gagal ginjal
kronis, alkohol, merokok, sirosis, stress.
Faktor Risiko
Gastritis, alkohol, merokok, NSAID, stres




  1. WOC
  2. Manifestasi Klinik
Secara umum pasien tukak gaster biasanya mengeluh dispesia. Dispesia adalah suatu sindroma klinik / kumpulan keluhan, beberapa penyakit saluran cerna seperti, mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa/terapan, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati dan cepat merasa kenyang. Dispesia secara klinis dibagi atas : 1) Dispesia akibat gangguan motilitas, 2). Dispesia akibat tukak: 3). Dispesia akibat refluks 4). Dispesia tidak spesifik.
Pasien tukak peptic memberikan ciri ciri keluhan seperti nyeri ulu hati, rasa tidak nyaman/discomfort, disertai muntah. Pada tukak duodeni rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit bisa membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah pasien makan dan minu obat antasida ( Hunger pain Food Relief = HPFR). Rasa sakit tukak gaster yang timbul setelah makan, berbeda dengan tukak duodeni yang merasa enak setelah makan, rasa sakit gaster sebelah kiri dan rasa sakit tukak gaster sebelah kanan, garis tengah perut. Rasa sakit bermula pada satu titik ( pointing sign) akhirnya difus bisa menjalar ke punggung. Ini kemungkinan disebabkan penyakit bertambah berat atau mengalami komplikasi berupa penetrasi tukak ke organ pancreas.
Walaupun demikian rasa sakit saja tidak dapat menegakkan diagnosis tukak gaster karena dipepsis nontukak juga gak bisa menimbulkan rasa sakit yang sama, juga tidak dapat digunakan lokasi sakit sebelah kiri atau kanan tengah perut. Adapun tukak akibat obat OAINS dan tukak pada usia lanjut/manula biasanya tidak menimbulkan keluhan, hanya diketahui melalui komplikasinya berupa perdarahan dan perporasi. Muntah kadang timbul pada tukak peptic disebabkan edema dan spasme seperti tukak kanal pilorik (obstruksi gastric outlet). Tukak prepilorik dan duodeni bisa menimbulkan gastric outlet obstruction melalui terbentuknya fibrosis/oedem dan spasme.


  1. Pemeriksaan Penunjang
1.      Pemeriksaan fisik mungkin ditemukan adanya nyeri, nyeri epigastrik,dan nyeri tekan abdomen
2.      Bising usus mungkin tidak ada
3.      Pemeriksaan dengan barium terhadap saluran GI atas dpat menunjukkan adanya ulkus, namun endoskopi adalah pemeriksaan diagnostic pilihan
4.      Endoskopi atas digunakan untuk mengidentifikasikan perubahan inflamasi, ulkus dan lesi. Melalui endoskopi mukosa dapat secara langsung dilihat dn biopsy didapatkan. Endoskopi telah diketahui dapat mendeteksi beberapa lesi yang tidak terlihat melalui pemeriksaan sinar X karenaukuran atau lokasinya.
5.      Feces dapat diambil setiap hari sampai laporan laboratorium adalah negative terhadap darah samar.
6.      Pemeriksaan sekretori lambung merupakan nilai yang menentukan dalam mendiagnosis aklorhidria (tidak terdapat asam hidroklorida dalam getah lambung) dan sindrom zollinger-ellison. Nyeri yang hilang dengan makanan atau antasida dan tidak adanya nyeri yang timbul juga mengidentifikasikan adanya ulkus.
7.      Adanya H. Pylori dapat ditemukan dengan biopsy dan histiologi melalui kultur, meskipun hal ini merupakan tes laboratorium khusus. Serta tes serologis terhadap antibody pada antigen H. pylori.
  1. Penatalaksanaan
Beberapa metode dapat digunakan untuk mengontrol keasaman lambung termasuk perubahan gaya hidup, obat-obatan, dan tindakan pembedahan.
·      Penurunan stress dan istirahat.
·      Penghentian merokok
·      Modifikasi diet, Air jeruk yang asam,coca cola,bir,kopi,tidak mempunyai pengaruh userogenik pada mukosa lambung tapi dapat menambah sekresi asam lambung.

·      Obat-obatan
·      Intervensi bedah
Penatalaksanaan Farmakologis
Antagonis Reseptor H2/ARH2.
Struktur homolog dengan histamine Mekanisme kerjanya memblokir efek histaminàsel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung.Inhibisi bersifat reversible.
  1. Dosis terapeutik :
Simetidin         : 2 x 400 mg/800 mg malam hari,dosis maintenance 400 mg
Ranitidine        : 300 mg malam hari,dosis maintenance  150 mg
Nizatidine        : 1 x 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg
Famotidine      : 1 x 40 mg malam hari
Roksatidine     : 2 x 75 mg / 150 mg malam hari,dosis maintenance 75 mg
malam hari.
  1. contoh-contoh  obat anti ulkus
a.              Antasida: Antasida mengurangi keasaman lambung, bereaksi dengan asam hidroklorik,membentuk garam dan air untuk menghambat aktivitas peptik dengan meningkatkan pH.
1.      ACITRIL (Interbat)  
Komposisi: Tiap tablet/5ml, suspensi: Magnesium hidroksida  200 mg, Almunium hidroksida  200 mg, Simetikon    20 mg, Gel  200 mg Indikasi: Tukak Peptik, hiperasiditas saluran cerna, kembung, dispepsia, gastritis. Perhatian: Hati-hati pada kerusakan fungsi ginjal, diet rendah fosfat. Efek samping: Gangguan saluran cerna: diare, sembelit. Interaksi obat: Mengurangi absorpasi tetraksilin, Fe, antagonis H2, kuinidin, warfarin. Kemasan: Tablet  100 tablet, Suspensi  120 ml.
2.      ACTAL PLUS ( Valeant/Combiphar)  
Komposisi:Almunium hidroksida  200 mg, Magnesium hidroksida  152 mg, Simetikon    25 mg. Indikasi: Tukak peptik, hiperasiditas lambung, pirosis dan “heartburn” pada kehamilan.
Dosis: Tukak peptik :  2-4 tablet dapat diulang sesuai kebutuhan. Hiperaditas lambung  : 1-2 tablet, ½ jam setelah makan atau sesuai kebutuhan. Pirosis dan “heartburn” pada kehamilan : 1-2 tablet sebelum sarapan pagi dan ½ jam setelah makan atau sesuai kebutuhan.Efek samping: sembelit, diare, pada dosis tinggi dapat menimbulkan obstruksi usus.  Kemasan: Tablet : 10 strip @ 10 tablet, 50 strip @ 10 tablet.
3.      ANTASIDA DOEN (Medipharma)  
Komposisi :Tiap tablet kunyah atau tiap 5 ml suspensi mengandung : Gel Aluminium Hidroksida kering 258,7 mg (setara dengan Aluminium Hidroksida) 200 mg, Magnesium Hidroksida 200 mg.
 Indikasi :
 Untuk mengurangi gejala-gejala yang berhubungan dengan kelebihan asam lambung, gastritis, tukak lambung, tukak pada duodenum dengan gejala-gejala.
  1. Komplikasi
Komplikasi ulkus peptikum adalah ulkus yang “membandel”(intraktibilitas), perdarahan, perforasi, dan obstruksi pylorus. Setiap komplikasi ini merupakan indikasi pembedahan (Price, 1996).
1.    Intraktibilitas.
Komplikasi ulkus peptikum yang paling sering adalah “intraktibilitas”, yang berarti bahwa terapi medis telah gagal mengatasi gejala-gejala secaa adekuat. Pasien dapat tergangu tidurnya oleh nyeri, kehilangan waktu untuk bekerja, memerlukan perawatan di rumahsakit, atau hanya tidak mampu mengikuti program terapi, intraktibilitas merupakan alasan tersering untuk anjuran pembedahan. Perubahan menjadi ganas tidak perlu terlalu dipertimbangkan baik untuk ulkus lambung maupun untuk ulkus duodenum. Ulkus ganas sejak semula sudah bersifat ganas, paling tidak menurut pengetahuan mutakhir. Ulkus yang memulai perjalanan dengan jinak akan tanpa mengalami degenerasi ganas.
2.    Perdarahan
Perdarahan merupakan komplikasi ulkus peptikum yang sangat sering terjadi, sedikitnya ditemukan pada 25% kasus selama perjalanan penyakit (Guyton, 1996). Walaupun ulkus pada setiap tempat dapat mengalami perdarahan, namun yang tersering adalah di dinding posterior bulbus duodenum, karena pada tempat ini dapat terjadi erosi arteria pankretiduodenalis atau arteria gastroduodenalis. Gejala-gejala yang dihubungkan dengan perdarhan ulkus tergantung pada kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah yang ringan dan kronik dapat mengakibatkan anemia defisiensi besi. Feses dapat positif dengan darah samara tau mungkin hitam dan seperti ter (melena). Perdarahan massif dapat mengakibatkan hematemesis (muntah darah), menimbulkan syok, dan memerlukan transfuse darah serta pembedahan darurat.
3.    Perporasi.
Kira-kira 5% dari semua ulkus akan mengalaminperporasi, dan komplikasi ini bertanggung jawab atas sekitar 65% kematian akibat ulkus peptikum (Price, 1995). Ulkus biasanya terjadi pada dinding anterior duodenum atau lambung karena daerah ini hanya diliputi oleh peritoneum. Pada kondisi klinik, pasien dengan komplikasi perporasi datang dengan keluhan nyerimendadak yang parah pada abdomen bagian atas. Dalam beberapa menit, timbul peritonitis kimia akibat keluarnya asam lambung, pepsin, dan makanan yang menyebabkan nyeri hebat. Kondisi nyeri tersebut yang menyebabkan pasien takut bergerak atau bernafas. Auskultasi abdomen menjadi senyap dan pada saat palpasi, abdomen mengeras seperti papan. Perporasi akut biasanya dapat didiagnosis berdasarkan gejala-gejala saja diagnosis dipastika melalui adanya udar bebas dalam rongga peritoneal, dinyatakan sebagai bulan sabit translusen anatara bayangan hati dan diafragma. Udara tentu saja masuk rongga peritoneal melalui ulkus yang mengalami perporasi (Azis, 2008).


4.    Obstruksi
Obstruksi pintu keluar lambng akibat peradangan dan edema, pilospasme, atau jaringan parut terjadi pada sekitar 5% pasien ulkus peptikum. Obstruksi timbul lebih sering pada pasien ulkus duodenum, tetapi kadang terjadi pada ulkus lambung terletak dekat dengan sfingter pylorus. Anoreksia mual dan kembung setelah makan merupakan gejala-gejala yang sering timbul kehilangan berat badan juga sering terjadi. Bila obstruksi bertambah berat, dapat timbul nyeri dan muntah (Mineta,1983)

B.  Konsep Dasar Askep
a.    Pengkajian
1.    Identitas Klien
Lakukan pengkajian meliputi: nama, jenis kelamin,suku bangsa, tanggal lahir,agama dan tanggal pengkajian.
2.    Keluhan utama/alasan masuk RS:
Klien datang ke RS dengan keluhan merasakan nyeri pada pada bagian perut, ulu hati dan mual serta muntah.
3.    Riwayat kesehatan sekarang:
Faktor pencetus:
Pasien mengatakan bahwa nyeri timbul beberapa saat / beberapa jam
setelah makan atau waktu lapar atau saat sedang tidur tengah malam
Sifat keluhan (periodik/ tiba-tiba)
4.    Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit yang pernah dialami (jenis penyakit, lama dan upaya untuk mengatasi, riwayat masuk RS)
5.    Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit menular atau keturunan dalam keluarga: Ibu klien menderita tuka’ lambung.
6.    Data Dasar Pengkajian pasien


b. Aktivitas/istirahat
Gejala    :             Keletihan, kelelahan, malaise.
Ketidak mampuan melakukan aktivitas sehari – hari.
uan untuk tidur.
Tanda :                 periode hiperaktivitas, latiihan keras terus menerus.
c.  Integritas Ego
Gejala :                ketidak berdayaan, putus asa Marah ditekan
Tanda :                 Depresi, ansietas.
d. Eliminasi
Gejala :              diare Konstipasi  Nyeri abdomen tak jelas dan disteres,
kembung Penggunaan laksatif/diuretic.
e.  Makanan/Cairan
Gejala    :             lapar terus menerus/menyangkal lapar Takut penigkatan
berat badan.
Tanda :                 penurunan berat badan / anoreksia Penamplan urus, kulit
kering, kuning atau pucat dengan turgor buruk.
f.  Higiene
Tanda :                peningkatan pertumbuhan rambut pad tubuh (lanugo).
  1. Neurosensori
Gejala :              Sakit kepala, pusing, vertigo, ketidakmampuan  
berkonsentrasi. Kelemahan, keseimbangan buruk.
Tanda  :              Peka rangsang, gelisah, depresi, apatis.
Mental :                          tak mampu berespon, lambat dan dangkal.
Oftalmik :           hemoragis retina.
Gangguan koordinasi, ataksia: penurunan rasa getar dan
 posisi
  1. Nyeri/kenyamanan
Gejala :             Nyeri abdomen, seperti terbakar
  1. Keamanan
Tanda  :           penurunan suhu tubuh akibat berulangnya prose infeksi.
  1. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala :            Kecendrungan keluarga untuk anemia
Riwayat penyakit maag, depresi.

  1. Pemeriksaan Fisik
a.       Keadaan umum :
Penampilan umum                                    :Klien tampak rapi
Klien tampak sehat/ sakit/ sakit berat      : sakit
Kesadaran                                                : sadar                                 
GCS                                                         : E4V5M6
BB                                                            : 50 Kg                                   
TB                                                            : 165 cm
b.      Tanda- tanda vital :
TD                                                            : 120/80  mmHg
ND                                                           : 80x/menit
RR                                                            : 20 x/menit
S                                                               : 37 oC
c.    Kulit
Warna kulit (sianosis, ikterus, pucat,)      : Pucat
Kelembapan                                             : kering
Turgor kulit                                              : baik
Ada/tidaknya oedema                              : tidak ada oedema
d.      Mata
Fungsi penglihatan                                   : baik                                      
Palpebra                                                   : terbuka / tertutup
Ukuran pupil                                            : .Normal                    
 Konjungtiva                                            :
 Sklera                                                      :
Lensa / iris                                                :
Oedema palpebra                                     : Tidak ada oedema
Mulut dan tenggorok
Membran mukosa                                     : Kering          
kebersihan mulut                                      : Baik
Keadaan gigi                                            : Baik.
Tanda radang (bibir, gusi, lidah)             : tidak ada
Trismus                                                     :          
Kesulitan menelan                                    : Tidak ada
Abdomen
Inspeksi                                                    : bentuk abdomen simestris
atau tidak,
Palpasi                                                      : ada/ tidak ada nyeri tekan
benjolan        : batas hepar,batas ginjal,batas lien,ada/tidaknya 
                       penimbunan cairan diperut(kembung).
: bising usus, bising vena, pergesekan hepar dan lien
Pada pemeriksaan abdomen, Nyeri epigastrik.Ini gejala paling menonjol selama periode eksaserbasi. Pada ulkus duodenal, nyeri terjadi 2-3 jam setelah makan dan sering disertai dengan mual dan muntah. Pada ulkus gastrik, nyeri terjadi dengan segera setelah makan. Nyeri dapat digambarkan sebagai nangging, tumpul, sakit, atau rasa terbakar. Ini sering hilang dengan makanan dan meningkat dengan merokok dan stres emosi. Selama remisi pasien asimtomatik
a.       Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1.    Nyeri b.d iritasi mukosa lambung, perporasi mukosa, kerusakan jaringan
lunak pasca operasi
2.    Resiko Tinggi syok hipovolemik b.d penurunan volume darah sekunder
akibat hematemesis dan melena massif
  1. Resiko injuri b.d pascaprosedur bedah gastrektomi
  2. Resiko ketidakefektifan jalan nafas b.d penurunan kemampuan batuk, nyeri pasca operasi
  3. Resikotinggi ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan yang tidak adekuat
  4. Resiko ketidakseimbangan elektrolit b.d keluarnya cairan akibat muntah berlebihan, respon perubahan pasca bedah gastreoktomi
  5. Kecemasan b.d prognosis penyakit, kesalahan interprestasi terhadap informasi, dan rencana pembedahan.

C.  Rencana Asuhan Keperawatan
No
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Kriteria
Hasil
Intervensi
Rasional
1
1). Nyeri b.d iritasi mukosa lambung, perporasi mukosa, kerusakan jaringan lunak pasca operasi
Dalam waktu 1 x 24 jam dan 3 x 24 jam pascabedah gastrekotomi, nyeri berkurang/hilang atau teradaptasi.
-secara subjektib melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi.
-Skala nyeri 0-1 (0-4).
Dapat mengidentifikasi aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri.
-pasien tidak gelisah 
-Jelaskan dan bantu pasien dengan memberikan pereda nyeri non farmakologi dan noninvasive
-lakukan manajemen nyeri.
1). Istirahatkan pasien pada saat nyeri muncul
2). Ajrkan tehnik relaksasi nafas pada saat nyeri
3). Ajarkan tehnik distraksi pada saat nyeri
4). Manajemen Lingkungan: Lingkungan tenang, batasi pengunjung, dan istirahatkan pasien.
5).  lakukanManajemen sentuhan













Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian:
1). Pemakaina penghambat H2 ( seperti Simetidin /Ranitidin).
2). Antasida
-pendekatan dengan menggunakan tehnik relaksasi dan terapi nonfarmakologi telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
1). istirahat secara fisiologis akan menurunkan kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan metabolism basal.
2). Meningkatkan asupan oksigen sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dari iskemia intestinal
3). Distraksi (pengalihan Panggilan ) dapat menurunkan stimulus internal.
Lingkungan tenang akan menurunkanstimulus nyeri eksternal dan pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan oksigen ruanganyang akan berkurang apabila banyak pengunjung yang berada di ruangan. Istirahat akan menurunkan kebutuhan oksigen jaringan perifer.
5). Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan dukungan psikologis dapat membantu menurunkan nyeri.


Simetidin penghambat histamine H2 menurunkan produksi asam lambun, meningkatkanpH Lambung dan menurunkan iritasi pada mukosa lambung, penting untuk penyembuhan dan pencegahan lesi.
2). Antasida untuk mempertahankan pH lambung pada tingkat 4,5
2
Risiko tinggi syok hipovolemik b.d penurunan volume darah sekunder akibat hematemesis dan melena masif
Dalam wkatu 3 x 24 jam tidak terjadi syok hivopolemik
-pasien menunjukkan perbaikan sistem kardiovaskuler
-hematemesis dan melena terkontrol
-konjungtivitis tidak anemis
-pasien tidak mengeluh pusing, memebran mukosa lembab, turgor kulit normal, dan akral hangat.
-TTV dalam batas normal, CRT > 3 detik, urine  > 600 ml/hari
Laboratorium: nilai haemoglobin, sel darahmerah, hematokrit, dan BUN/kreatinin dalam batas normal.
-Kaji sumber dan respon perdarahan dari melena dan hematemesis.

-monitor TT





















Monitor status cairan (turgor kulit, membrane mukosa dan keluaran urine).






Lakukan kolaborasi pemberian  paket sel darah merah(PRC=Pocked Red Cells).







Evaluasi adanya respon seklinik dari pemberian transfusi.






Lakukan gastric cooling.




Evaluasi kondisi pasien setiap pergantian shift.






Kolaborasi pemberian terapi endoskopik.







Lakukan dokumentasi intervensi yang telahdilakukan dan dilaporkan apabila didapatkan perubahan kondisi mendadak.

Kolaborasi : dilakukan tindakan pembedahan gastrektomi.
Deteksi awal mengenai sevberapa jauh tinkat pemberian intervensi yang diberikan sesuai dengan kemampuan individu.
1). Penurunan kualitas dan denyut jantung merupakan parameter penting gejala awal syok
2). Hipotensi dapat terjadi pada hipovolemia, hal tersebut memberikan manifestasi terlibatnya sistem kardiovaskuler dalam melakukan kompensasi dalam mempertahankan tekanaan darah.
3). Peningkatan frekuensi nafas merupakan manifestasi dri kompensasi respirasi untuk mengambil sebanyak-banyaknya oksigen, akibat penurunan kadar haemoglobin sekunder dari penurunan volume darah.
4). Hipotermi dapat terjadi pada perdarahan massif.
Jumlah dan tipecairan penganti darah ditentukan dari keadaan status cairan. Penurunan volume darah mengakibatkan menurunnya produksi urine, monitor yang ketat pada produksi urine< 600ml/ hari merupakan tanda-tanda terjadinya syok hipovolemik.
Pemberian PRC disesuaikan dengan banyaknya darah yang keluar dan hasil pemeriksaan hemoglobin. Apabila dalam kondsi kritis, sementara persediaan darah masih belum didapatkan dari segera, maka pemberian cairan pengganti darah dapat diberikan untuk menurunkan risiko syok.

Secara fisiologis tubuh pasien akan bereaksi terhadap darah yang masuk melalui transfuse sehingga memiliki kecenderungan menjadi reaksi alergi transfuse. Perawat melakukan monitor untuk mencegah respon klinik pada pasien.
Intervensi pemberian cairan ke lambung bertujuan untuk melakukan vasokontriksi pembuluh darah lambung dan diharapkan dapat menurunkan pendarahan.
Perubahan kardiovaskuler akibat hematemesis dan melena massif masih bisa bervariasi sesuai dengan tingkat toleransi individu. Penemuan perubahan sebagai deteksi awal untuk mencegah meningkatnya risiko syok.
Intervensi terapi endoskopik dilakukan dengan melakukan hemostasis koagulasi  atau thrombosis terapi. Beberapa intervensi elektrokoagulasi, heater probe atau laser YAG dilakukan untuk mengontrol perdarahan dari ulkus peptikum( Shoemaker, 1995).
Setiap perubahan yang terjadi pada pasien harus diketahui oleh tim medis untuk mendapat asuhan medis. Dokumentasi yang baik dapat menunjang asuhan yang berkelanjutan.
Perporasi ulkus peptikum yang tidak membaik dengan terapi farmakologi dan endoskopi akan mendapatkan terapi bedah untuk menghilangkan sumber perdarahan pada lambung dan duodenum.
3
Resiko Injuri b.d pascaprosedur gastreoktomi
Dalam waktu 2 x 24 jam pasca intervensi gastrektomi pasien tidak mengalamiinjuri.
-TTV dalam batas normal.
-Tidak terjadi infeksi pada daerah insisi.
-Lakukan perawatan di ruang infensif.


-monitor adanya komplikasi pascaoperasi gastrektomi.





-Kaji factor-faktor yang meningkatkan risiko injuri.

- kaji status neurologis dan laporkan apabial terdapat perubahan status neurologi.












-Perubahan status hemodinamik yang optimal.
1). Lakukan hidrasi awal pasca bedah.











2). Pantau pengeluaran urine rutin.








3). Evaluasikan secara hati-hati dan dokumentasikan intake atau output cairan.

-Monitor kondisi selang pasca operasi.




-Monitor kondisi selang nasogastrik
-menurunkan risiko injuri dan memudahkan intervensi pasien selama 48 jam di ruang intensif.
-Komplikasi yang terjadi pada operasi ini adalahperdarahan, kebocoran pada daerah anastosmis, infeksi luka operasi, gangguan respirasi, dan masalah yang berkaitan dengan balance cairan dan elektrolit
-keterampilan keperawatan kritis diperlukan agar pengkajian vital dapat dilakukan secara sistematis.
-Pengkajian status neurologis dilakukan pada setiap. pergantian sift jaga. Setiap adanya perubahan status neurologis merupakan salah-satu tanda terjadinya komplikasi bedah. Penurunan resposivitas, perubahan pupil, gangguan atau kelemahan yang bersifat satu sisi (unilateral), ketidakmampuan mengontrol nyeri, atau perubahan neurologi lainnya perlu dilaporkan pada tim medis untuk mendapatkan intervensi selanjutnya.
Pasien akan mendapat cairan intravena sebagai pemeliharaan haemodinamik
1). Jenis cairan yang digunakan adalah kombinasi dari NaCl 0,9% dan RL dengan jumlah 100-200 ml/jam dan dilakukan pada 12-16 jam setelah pembedahan.
Cairan ini akan membantu memelihara sirkulasi yang adekuat dari volume darah sebagai proteksi pada organ vital dan mencegah kondisi hivopolemia pascabedah.
Pasien pascaoperasi gastrektomi akan mengalami transudasi cairan ke intertisisal. Perawat akan memantau kondisi urine dalam kisaran 30 ml/ jamhidrasi optimal sebagai batas dalam pemberian rehidrasi optimal. (Shoemarker, 1995).a
Perawat mendokumentasikan jumlah urine dan waktu pencatatan, serta  memeriksa kepatenan saluran urine

Drainase pasca opeasi harus dipantau, perhatikan kepatenan selang dan aadanya thrombosis, selang terlipat dan adanya perdarahan baru yang ada didalam selang.
Secara umum pasien pasca bedah gastroktomi akan terpasang selang nasogastrik. Perawat berusaha untuk tidak mengangkat, mengubah posisi, meamnipulasi atau engirigasi selang kecuali untuk terapi. Hal ini dilakukan untuk menurunkan risiko kerusakan anastosmis.
3.
Resiko ketidakefektifan jalan nafas b.dkemampuan batuk menurun, nyeri pascaoperasi.
Dalam waktu 2 x 24 jam pascabedah gastrektomi, kebersihan jalan nafas pasien tetap optimal.
-jalan napas bersih dan tidak ada akumulasi darah.
- Suara nafas normal, tidak ada bunyi nafas tambahan seperti stridor.
- tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan.
- RR dalam batas normal 12-20x/menit.
-Kaji dan monitor jalan napas.




-Beri oksigen 3 liter/menit.



-bersihkan sekresi pada jalan napas dan lakukan suctioning apabila kemampuan mengevakuasi secret tidak efektif.
-Instruksikan pasien untuk melakukan napas dalam dan batuk efektif.






-Lakukan fisioterapi dada.



1)      tetapkan lokasi dari setiap segmen paru-paru.
2)      Jaga posisi pasien agar jangan sampai jatuh, gunakan pagar pengamanan yang ada pada setiap sisi tempat tidur.
Deteksi awal u/ intervensi slnjutnya. Salah- satu cara u/ melihat pasien bernafas/ tidal adalah dengan meletakkan telapak tangan diatas mulut/hidung pasien.
Pemenuhan oksigen dapat membantu meningkatkan paO2 di cairan otak yang akan mempengaruhi pengaturan pernafasan.
-kesulitan napa sdapat terjadi apabila sekresi mucus yang berlebihan.



-pada pasien pascabedah dengan toleransi yang baik, pernafasan difragma dapat meningkatkan ekspansi paru.
U/ memperbesar ekspansi dada dan pertukaran gas, contohnya meminta pasien u/ menguap atau inspirasi maksimal.
-memfasilitasi pembersihan jalan napas dari secret yang tidak dapat dikeluarkandengan batuk efektif.
1) Lakukan auskultasi agar dapat menentukan area paru dengan bunyi napas ronkhi.

2) apabila tingkat toleransi dari pasien tidak optimal, perawat mencegah dan menjaga trauma sekunder dari intervensi seperti memasang pagar pengaman.














BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Menurut definisi, ulkus peptikum dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus, lambung, duodenum, jejunum,dan setelah tindakan gastroenterostomi. Ulkus peptikum diklasifikasikan atas ulkus akut dan ulkus kronik, hal tersebut menggambarkan tingkat tingkat kerusakan pada lapisan mukosa yang terlibat( Aziz, 2008).
Beberapa metode dapat digunakan untuk mengontrol keasaman lambung termasuk perubahan gaya hidup, obat-obatan, dan tindakan pembedahan.
  1. Penurunan stress dan istirahat.
  2. Penghentian merokok
  3. Modifikasi diet, Air jeruk yang asam,coca cola,bir,kopi,tidak mempunyai pengaruh userogenik pada mukosa lambung tapi dapat menambah sekresi asam lambung.
  4. Obat-obatan
  5. Intervensi bedah

B.  Saran
Dalam pembuatan makalah ini juga penulis menyadari bahwa dalam pebuatan makalah masih terdapat banyak kesalahan, kekurangan serta kejanggalan baik dalam penulisan maupun dalam pengonsepan materi. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar kedepan lebih baik dan penulis berharap kepada semua pembaca mahasiswa khususnya, untuk lebih ditingkatkan dalam pembuatan makalah yang akan datang.





DAFTAR PUSTAKA


Grace, Pierce & Neil Borley. 2005. At a glance ilmu bedah edisi ketiga.Jakarta :Erlangga

Mutaqqin, Arif  dan Kumala sari. 2011. Gangguan gastrointestinal Aplikasi Asuhan keperawatan medikal bedah. Jakarta :Salemba Medika.

W. Sutoyo, Aru. 2006. Ilmu penyakit dalam jilid 1 edisi keempat. Jakarta :Kedokteran indonesia


No comments:

Post a Comment