Makalah
F I L A R I A S I S
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb,
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan rahmat,taufik dan hidayah-Nya
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok dalam membuat
makalah yang berjudul “Filariasis.” Makalah ini disusun
sebagai bahan diskusi kelompok kami.
Makalah ini disususun
berdasarkan hasil diskusi kelompok kerja kami dan pengupulan data dari beberapa
buku panduan yang ada, serta dengan
bantuan dari dunia maya yaitu melalui situs internet, dan yang lainnya.
kami menyadari bahwa
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu dengan adanya
bantuan dari semua pihak yang terkait.
Dalam penyusunan makalah
ini kami sudah berusaha menyajikan semaksimal mungkin, namun kami menyadari
bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini, maka kami mengharapkan masukan
ataupun saran dari Dosen pembimbing serta teman-teman lainnya dalam
menyempurnakan penulisan makalah kami agar dapat bermamfaat bagi seluruh
pembaca.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Aceh Besar,
Januari 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.
Latar Belakang............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3
A.
Pengertian..................................................................................................... 3
B.
Pengelompokan............................................................................................ 3
C.
Gejala klinis ......................................................................................... ....... 4
D.
Respon imun pada filariasis ................................................................. ....... 6
E.
Diagnosis ................................................................................................... 11
F.
Pengobatan .......................................................................................... ..... 12
G.
Pemberantasan filariasis............................................................................. 13
H.
Epidemiologi filaria di Indonesia............................................................... 14
BAB III PENUTUP............................................................................................. 17
A.
Kesimpulan................................................................................................. 17
B.
Saran........................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Filariasis merupakan salah satu penyakit
yang termasuk endemis di Indonesia. Seiring dengan terjadinya perubahan pola enyebaran
penyakit di negara-negara sedang berkembang, penyakit menular masih berperan sebagai
penyebab utama kesakitan dan kematian. Salah satu penyakit menular adalah
penyakit kaki gajah (Filariasis). Penyakit
ini merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria. Di
dalam tubuh manusia cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening(limfe), dapat menyebabkan gejala
klinis akut dan gejala kronis. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk.
Akibat yang ditimbulkan pada stadium lanjut (kronis) dapat menimbulkan cacat menetap seumur hidupnya berupa
pembesaran kaki (seperti kaki gajah) dan pembesaran bagian bagian tubuh yang
lain seperti lengan, kantong buah zakar, payudara dan alat kelamin wanita
Pada tahun 1994 World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa penyakit
kaki gajah dapat di eleminasi dan
dilanjutkan pada tahun 1997 World
Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi penyakit kaki gajah dan pada tahun 2000 WHO telah
menetapkan komitmen global untuk mengeliminasi penyakit kaki gajah (“The Global Goal of Elimination of
Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the year 2020”).
Di Indonesia
penyakit kaki gajah pertama kali ditemukan di Jakarta pada tahun 1889.
Berdasarkan rapid mapping kasus
klinis kronis filariasis tahun
2000 wilayah Indonesia yang menempati ranking
tertinggi kejadian filariasis adalah Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi
Nusa Tenggara Timur dengan jumlah kasus masing-masing 1908 dan 1706 kasus
kronis. Menurut Barodji dkk (1990 –1995) Wilayah Kabupaten Flores Timur
merupakan daerah endemis penyakit
kaki gajah yangdisebabkan oleh cacing Wuchereria
bancrofti dan Brugia timori.
Selanjutnya oleh Partono dkk (1972) penyakit kaki gajah ditemukan di Sulawesi.
Di Kalimantan oleh Soedomo dkk (1980) Menyusul di Sumatra oleh Suzuki dkk
(1981) Sedangkan penyebab penyakit kaki gajah yang ditemukan di Sulawesi,
Kalimantan dan Sumatra tersebut adalah dari spesies Brugia malayi.
Selain ke tiga
wilayah kepulauan tersebutdiatas sebagaimana yang termuat didalam modul
eleminasi penyakit kaki gajah yang di terbitkan oleh Depkes. RI melalui Ditjen
PPM & PLDirektorat P2B2 Subdit Filariasis
dan Schistosomiasis (2002)
endemisitas kejadian filariasis juga terdapat dibeberapa
propinsi lainya di Indonesia, diantaranya Kabupaten Bekasi Propinsi Jawa Barat,
Kabupaten Pekalongan Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Lebak Tangerang Propinsi
Banten, Batam Propinsi Riau, Lampung Timur Propinsi Lampung, Mamuju Propinsi
Sulawesi Selatan, Donggala Propinsi Sulawesi Tengah, Kab. Pontianak Propinsi
Kalimantan Barat, Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah, dan Kota Baru
Propinsi Kalimantan Selatan. Menurut Harijani AM. (1981) ditemukan Brugia malayi di Kalimantan Selatan
bersifat Zoonosis karena dari
penangkapan berbagai binatang, kucing, monyet daun mengandung Brugia malayi stadium dewasa dan
vektornyadapat menggigit baik manusia maupun hewan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Filariasis adalah penyakit zoonosis
menular yang banyak ditemukan di wilayah tropika seluruh dunia. Penyebabnya
adalah infeksi oleh sekelompok cacing nematoda parasit yang tergabung dalam
superfamilia Filarioidea. Gejala yang umum terlihat adalah terjadinya elefantiasis, berupa membesarnya tungkai bawah (kaki)
dan kantung zakar (skrotum), sehingga penyakit ini secara awam dikenal sebagai penyakit kaki gajah (elephantiasis). Filariasis
limfatik di Indonesia disebabkan oleh W. bancrofti, B. malayi dan B. timori, menyerang kelenjar dan pembuluh getah bening. Penularan
terjadi melalui vektor nyamuk Culex
spp., Anopheles spp., Aedes spp. dan Mansonia spp.
Filariasis adalah masalah
global, masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di India, Cina dan Indonesia. Ketiga negara selama kurang lebih dua-pertiga dari total
jumlah penduduk dunia diperkirakan terinfeksi. Di
daerah endemik, 10% mungkin menderita filariasis. Di India, filariasis
limfatik disebabkan oleh Wuchereria bancrofti, vektor yang adalah nyamuk Culex
quinquefasciatus (C. fatigans).
B.
Pengelompokan
Filariasis biasanya dikelompokkan menjadi tiga macam, berdasarkan bagian
tubuh atau jaringan yang menjadi tempat bersarangnya: filariasis limfatik, filariasis
subkutan (bawah jaringan kulit), dan filariasis rongga serosa (serous
cavity). Filariasis limfatik disebabkan Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori[1].
Gejala elefantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan di
bawahnya) sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis limfatik ini. B. timori diketahui jarang menyerang
bagian kelamin, tetapi W. bancrofti
dapat menyerang tungkai dada, serta alat kelamin. Filariasis subkutan
disebabkan oleh Loa loa (cacing mata Afrika), Mansonella streptocerca, Onchocerca volvulus, dan Dracunculus medinensis (cacing guinea). Mereka menghuni lapisan lemak yang ada di bawah lapisan kulit. Jenis filariasis yang terakhir disebabkan
oleh Mansonella perstans dan Mansonella ozzardi, yang menghuni
rongga perut. Semua parasit ini disebarkan melalui nyamuk atau lalat pengisap darah, atau, untuk Dracunculus,
oleh kopepoda (Crustacea).
Dean dan Kosta,
meneliti pada tahun 1942
menunjukkan, 10,8% pasien ditemukan
embrio cacing dari pemeriksaan
darah pada 5.000 orang tersebar di beberapa lingkungan di kota. Para penulis yang sama juga menemukan bahwa Culex
fatigans merupakan tempat utama
Filariasis, dan hampir semua
nyamuk di rumah di beberapa lingkungan
di mana mengandung parasit microfilaremia, dan kemudian memeriksa 1014
spesimen, 11,6% terdapat W. Bancrofti.
Daur hidup Wuchereria bancrofti.
C.
Gejala klinis
Gejala klinis filariasis disebabkan oleh
cacing dewasa pada sistem limfatik dan oleh reaksi hiperresponsif berupa occult filariasis. Dalam
perjalanan penyakit filariasis bermula dengan adenolimfangitis akuta berulang
dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari sistem limfatik.
Perjalanan penyakit tidak jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya tetapi
bila diurut dari masa inkubasi maka dapat dibagi menjadi :
1.
Masa
prepaten
Masa prepaten, masa antara masuknya
larva infektif sampai terjadinya mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan.
Hanya sebagian saja dari penduduk di daerah endemik yang menjadi
mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik inipun tidak semua kemudian
menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk kelompok yang
asimtomatik amikrofi laremik dan asimtomatik mikrofilaremik.
2.
Masa
inkubasi
Masa inkubasi, masa antara masuknya
larva infektif sampai terjadinya gejala klinis berkisar antara 816 bulan.
3.
Gejala
klinik akut
Gejala klinik akut merupakan
limfadenitis dan limfangitis disertai panas dan malaise. Kelenjar yang terkena
biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis akut dapat amikrofi laremik
maupun mikrofilaremik.
Filariasis
bancrofti pembuluh limfe alatkelamin laki-laki sering terkena
disusul funikulitis, epididimitis dan orchids. Adenolimfangitis inguinal atau
aksila, sering bersama dengan limfangitis retrograd yang umumnya sembuh sendiri
dalam 315 hari dan serangan terjadi beberapa kali dalam setahun.
Filariasis
brugia Limfadenitis paling sering mengenai
kelenjar inguinal, sering terjadi setelah bekerja keras. Kadang-kadang disertai
limfangitis retrograd. Pembuluh limfe menjadi keras dan nyeri dan sering
terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki. Penderita tidak mampu bekerja
selama beberapa hari. Serangan dapat terjadi 12 X/tahun sampai beberapa kali
perbulan. Kelenjar limfe yang terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk
ulkus dan meninggalkan parut yang khas, setelah 3 minggu 3 bulan.
4.
Gejala
menahun
Gejala menahun terjadi 1015 tahun
setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini,
sedangkan adenolimfangitis masih dapat terjadi. Gejala menahun ini menyebabkan
terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita serta membebani
keluarganya.
Filariasis
bancrofti hidrokel paling banyak ditemukan. Di
dalam cairan hidrokel ditemukan mikrofilaria. Limfedema dan elefantiasis
terjadi di seluruh tungkai atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah dada,
dan ukuran pembesaran di tungkai dapat 3 kali dari ukuran asalnya.
Chyluria terjadi tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita menyebabkan penurunan berat badan dan kelelahan. Filariasis brugia elefantiasis terjadi di tungkai bawah di bawah lutut dan
lengan bawah, sedang ukuran pembesaran ektremitas tidak lebih dari 2 kali
ukuran asalnya.
D.
Respon imun pada filariasis
Pada filariasis sistim imun yang berperan adalah sistim seluler dan
humoral, kedua sistim ini berjalan dan saling berkoordinasi karena pengaruh
sitokin. Respon imun filariasis yang humoral maupun seluler terhadap
mikrofilaria terlihat lebih baik pada kelompok amikrofilaremik dibandingkan
kelompok mikrofilaremik
1. Respon Seluler
Respon imun seluler filariasis telah banyak dipelajari. Peran sel limfosit
pada respon seluler sangat penting. Hilangnya mikrofilaria di peredaran darah
dan di organ-organ tempat parasit tinggal disebabkan oleh peristiwa ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity). Secara in vitro telah
dibuktikan bahwa bila terdapat
antibodi spesifik yang menempel di permukaan badan mikrofilaria, sel-sel
limfosit terangsang untuk menempel di permukaan badan mikrofilaria, disusul
matinya mikrofilaria.
Proses ini diperkirakan merupakan mekanisme pertahanan pada filariasis.
Kegagalan respon seluler dapat terjadi pada penyakit yang telah berjalan lama
(menahun); parasit berhasil hidup dan mempertahankan diri di dalam tubuh hospes.
Dalam usaha beradaptasi diri, parasit mengeluarkan antigen yang dapat
mempengaruhi respon imun, dan ratio jumlah sel limfosit supresor (CD8+) dan sel limfosit helper (CD4+) berubah. Sel CD4+ yang
jumlahnya rendah mengakibatkan produksi antibodi spesifik rendah.
2. Respon Imunoglobulin
Penelitian respon humoral pada filariasis, menunjukkan bahwa secara kuantitatif
penduduk daerah endemis yang amikrofilaremik pada umumnya mempunyai kandungan
IgG anti filaria yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk yang
mikrofilaremik. Secara kualitatif gambaran yang ditunjukkan lebih kompleks;
yaitu pada penderita filariasis bancrofti yang mikrofilaremik, IgG anti filaria
yang ada mengenal komponen protein cacing dewasa terutama pada berat molekul
< 80 Kd; pada penderita elefantiasis terutama pada berat molekul 180 Kd - 20
Kd pada penderita tropical
eosinophilia (TPE) komponen protein yang dikenal berat molekul 200 Kd -
25 Kd. Pada penderita filariasis malayi
IgG anti filaria dari penduduk yang amikrofilaremik dengan gej ala klinis
mengenal komponen protein mikrofilaria malayi pada berat molekul 125 Kd secara
mencolok, sedangkan penduduk amikrofilaremik tanpa gejala klinis IgG yang ada
mengenal komponen 75 Kd dan 25 Kd.
Empat macam subkelas IgG mempunyai struktur bentuk, fungsi dan derajat
partisipasi pada respon imun yang masing-masing sangat berbeda; hal ini memberi
indikasi bahwa perbedaan tipe respon imun yang terjadi pada perjalanan penyakit
filariasis ditentukan oleh masing-masing subkelas IgG yang berperan. Secara
kuantitatif kadar IgG 1 pada penderita elephantiasis lebih tinggi dibandingkan
pada penderita yang mikrofilaremik. Secara kualitatif pola pengenalan yang
ditunjukkan sangat berbeda. Komponen protein cacing dewasa B. malayi yang dikenal oleh IgGl dan
IgG3 dari penderita elephantiasis adalah berat molekul > 68 Kd, sedangkan pada penderita yang
mikrofilaremik komponen protein yang dikenal < 68 Kd.
IgG3 mempunyai kemampuan mengikat komplemen paling besar di antara subkelas
yang lain. Bila terjadi ikatan IgG3 dengan antigen baik spesifik atau
nonspesifik dapat menyebabkan teraktivasinya sistim komplemen dengan
serangkaian reaksi, hal ini dapat menyebabkan rusaknya antigen tersebut. Hasil
ini menimbulkan dugaan bahwa peran IgG3 pada filariasis adalah sebagai
imunoprotektor. Tentunya hal ini perlu didukung oleh penelitian lebih lanjut.
Peran IgG2 pada filariasis masih sangat diragukan, mengingat kemampuan IgG2
untuk mengikat komplemen sangat rendah, di samping ternyata IgG2 juga mempunyai
kemampuan kuat mengikat polisakharida. Respon IgG4 banyak dikaitkan dengan
respon IgE. Bila kadar IgG4 tinggi dalam darah, hal ini dapat sebagai indikator
keadaan infeksi yang aktif dan ditemukannya mikrofilaria di dalam darah.
Biasanya keadaan ini disertai dengan rendahnya kemampuan respon seluler. Pola
pengenalan IgG4 terhadap komponen protein cacing filaria banyak dikaitkan
dengan IgE. Komponen protein cacing filaria dewasa maupun mikrofilaria yang
dikenal oleh IgG4 juga dikenal oleh IgE.
Seperti diketahui, di permukaan sel basophil dan sel mast terdapat reseptor untuk IgE.
Bila ikatan IgE dan sel basophil atau sel mast banyak beredar dalam darah, kemudian bertemu dengan antigen
spesifikmaka akan terjadi robekan permukaan sel-sel tersebut dan terjadi
pembebasan histamin. Bila IgG4 hadir dalam jumlah banyak di dalam darah akan
terjadi dua kemungkinan; pertama kompetisi antara IgE dan IgG4 dalam mengikat
antigen; bila terjadi ikatan antigen-IgG4 maka ikatan antigen-IgE-sel basophil
tidak terjadi sehingga tidak ada pembebasan histamin dan reaksi alergi,
kemungkinan ke dua bila IgG4 setelah mengikat antigen kemudian menempel pada
reseptor di permukaan sel basophil atau sel mast sehingga IgE
tidak dapat menempel pada permukan sel sehingga pembebasan histamin tidak terjadi.
Pada filariasis konsentrasi IgE umumnya tinggi.
Konsentrasi tertinggi terdapat pada penderita TPE (8630 µg/ml), penderita
elephantiasis dan kelompok tanpa gejala klinis baik yang mikrofilaremik maupun
amikrofilaremik mempunyai kandungan IgE dua kali normal. Meskipun semua bentuk
klinis filariasis mempunyai kadar IgE tinggi, gejala alergi hanya terjadi
padaTPE saja; hal ini karena adanya faktor bloking oleh IgG4.
3. Peran Sitokin
Fungsi sitokin pada filariasis masih belum banyak
diketahui. Pada dasarnya sitokin adalah suatu protein yang diproduksi oleh sel
limfosit T dan memegang peran penting pada pengaturan respon imun penyakit.
Penelitian tentang respon imun pada infeksi parasit menunjukkan bahwa sel CD+4
dan CD+8 adalah sel limfosit yang berperan sebagai mediator sistim proteksi dan
imunopatologik. Berdasarkan sitokin yang dihasilkan dalam kaitannya dengan
respon imun, sel CD+4 dibagi menjadi dua kelompok sel : Thl dan Th2. Sitokin
penting yang diproduksi oleh sel Thl adalah IL-2 (Interleukin-2) dan IFN gama
(Interferon gama). IL-2 terutamaberperan dalam proses diferensiasi sel limfosit
sitotoksik (CTL), dan sel B. IFN gama berperan terutama untuk mekanisme
pertahanan, yaitu: proses aktivasi makrofag, meningkatkan proses killing intraseluler, meningkatkan proses ADCC (AntibodyDependent Cell Cytotoxicity), menstimulasi proliferasi sel B, meningkatkan produksi
IgG2 oleh sel B dan menetralkan efek IL-4 pada sel B.
Sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 adalah: IL-4,
IL-5 dan IL-6; IL-4 terutama berperan sebagai faktor perkembangan dan aktivasi
sel B, perkembangan sel mast, meningkatkan
produksi IgE dan MHC kelas II dari sel B. IL-5 berperan pada perkembangan sel B
untuk berproliferasi, meningkatkan produksi IgA. Peran IL-6 adalah menstimulasi
proliferasi sel-sel plasmasitoma dan hibridoma, timosit dan sel-sel hemipoetik
progenitor, stimulasi sel B untuk memproduksi antibodi.
Dikemukakan 4 macam kemungkinan
mekanisme respon imun;
Mekanisme pertama dalam
respon imun hanya melibatkan sel Th l saja, karena sel Th2 tidak berperan dalam
sekresi sitokin maka terjadi sekresi IFN gama, IL-2 dan LT yang berlebih,
akibatnya terjadi inaktivasi sel B, tidak ada sekresi antibodi, aktivasi
makrofag, respon DTH kuat dan supresi sel Th2, keadaan ini mengakibatkan
parasit-parasit intrasel dapat terbunuh dengan efektif.
Mekanisme kedua, bila
terjadi respon sel Th1 yang kuat tetapi
disertai dengan sedikit respon sel Th2, pengaruh IFNgama, IL-2 dan LT berkurang
karena adanya pengaruh IL-4, IL-5 dan IL-6 yang diproduksi oleh sel Th2.
Terjadi aktivasi sel B dan produksi antibodi, respon DTH tidak sekuat pada
mekanisme pertama.
Mekanisme ketiga, yaitu
bila terjadi respon sel Th2 yang kuat,
tetapi sedikit respon sel Th1. Terjadi sekresi IL-4, IL-5 mungkin masih
terjadi, mungkin juga tidak banyak
dilakukan, tetapi umumnya belum didapatkan jawaban yang memuaskan. Penelitian
yang dilakukan oleh Freedman dan kawan-kawan menunjukkan bukti bahwa pada
filariasis komponen utama yang terlibat dalam respon imun adalah sel-sel
endothelium yang terdapat pada dinding pembuluh vaskuler maupun limfatik, di
bawah pengaruh sitokin. Dalam penelitiannya ditunjukkan IFN gama yang tinggi, filariasis menunjukkan bahwa penderita tanpa
filaremik mmpunyai kadar IFN gama 238 pg,
hal ini menunjukkan bahwa bila
terdapat kandungan ini akan menstimulasi sel-sel endothel untuk mengkspresikan
MHC kelas I pada permukaan selnya. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya
kepekaan anti filaria CTL (sel imfosit sitotoksik), terutama di lokasi radang
di mana didapatan juga agen parasitnya. Bertambahnya aktivitas CTL spesifik
akan meningkatkan pula mekanisme ADCC, yang akan menyebabkan aktivitas killing dari limfosit lebih efektif.
Mekanisme keempat, bila respon imun hanya
melibatkan sel Th2 saja, pada mekanisme ini terjadi sekresi dan
IL-6 yang cukup, dapat menyebabkan sekresi antibodi lebih baik dibandingkan
dengan yang terjadi pada mekanisme 1 dan 2. Produksi IgG2a, IgG 1 karena
pengaruh IL-4, IgE tidak mencolok karena masih ada pengaruh IFN gama.
Penelitian respon sitokin pada filariasis, antibodi dalam konsentrasi yang
tinggi, tidak terjadi aktivasi DTH. Karena terdapat IL-4 dalam jumlah banyak
maka terjadi sekresi IgE dalam jumlah banyak, makrofag juga teraktivasi tetapi
tidak sama dengan keadaan bila respon imun karena pengaruh sel Thl, adanya IL-5
menyebabkan aktivasi fungsi eosinophil, dengan demikian gambaran klinis yang
timbul adalah gejala alergi.
E.
Diagnosis
1.
Diagnosis Klinik
Ditegakkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik penting dalam menentukan angka kesakitan
akut dan menahun (Acute and Chronic
Disease Rate). Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang
mendukung dalam diagnosis filariasis adalah gejala dan pengalaman limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang dan
gejala menahun.
2.
Diagnosis Parasitologik
Ditemukan mikrofilaria pada pemeriksaan darah jari pada malam hari.
Pemeriksaan dapat dilakukan slang hari, 30 menit setelah diberi
dietilkarbamasin 100 mg. Dari mikrofilaria secara morfologis dapat ditentukan
species cacing filaria.
Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi,
amikrofilaremia dengan gejala menahun, occult
filariasis, maka deteksi antibodi dan/atau antigen dengan cara immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang diagnosis.
Adanya antibodi tidak menunjukkan korelasi positif dengan mikrofilaremi,
tidak membedakan infeksi dini dan infeksi lama. Deteksi antigen merupakan
deteksi metabolit, ekskresi dan sekresi parasit tersebut, sehingga lebih
mendekati diagnosis parasitologik, antibodi monokional terhadap O.gibsoni menunjukkan korelasi yang
cukup baik dengan mikrofilaremia W. bancrofti di Papua New Guinea.
3.
Diagnosis
Epidemiologik
Endemisitas filariasis suatu daerah
ditentukan dengan menentukan microfilarial
rate (mf rate), Acute Disease Rate (ADR) dan Chronic Disease Rate (CDR) dengan
memeriksa sedikitnya 10% dari jumlah penduduk.
Pendekatan praktis untuk menentukan
daerah endemis filariasis dapat melalui penemuan penderita elefantiasis. Dengan ditemukannya satu penderita elefantiasis di antara
1000 penduduk, dapat diperkirakan ada 10 penderita klinis akut dan 100 yang
mikrofilaremik.
F. Pengobatan
Dietilkarbamasin adalah satu-satunya
obat filariasis yang ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi,
bersifat makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini ampuh, aman dan murah,
tidak ada resistensi obat, tetapi memberikan reaksi samping sistemik dan lokal
yang bersifat sementara dan mudah diatasi dengan obat simtomatik.
Dietilkarbamasin tidak dapatdipakai untuk khemoprofilaksis.
Pengobatan diberikan oral sesudah makan
malam, diserap cepat mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 3 jam, dan
diekskresi melalui air kemih. Dietilkarbamasin tidak diberikanpada anak berumur
kurang dari 2 tabula, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat atau dalam
keadaan lemah.
Pada filariasis bancrofti,
Dietilkarbamasin diberikan selama 12 hari sebanyak 6 mg/kg berat badan,
sedangkan untuk filariasis malayi diberikan 5 mg/kg berat badan selama 10 hari.
Pada occult
filariasis dipakai dosis 5 mg/kg BB selama 23
minggu.
Pengobatan sangat baik hasilnya pada
penderita dengan mikrofilaremia, gejala akut, limfedema, chyluria dan elephantiasis dini.
Sering diperlukan pengobatan lebih dari 1 kali untuk mendapatkan penyembuhan
sempurna. Elephantiasis dan hydrocele memerlukan penanganan ahli bedah.
Reaksi samping Dietilkarbamasin sistemik
berupa demam, sakit kepala, sakit pada otot dan persendian, mual,
muntah,menggigil, urtikaria, gejala asma bronkial sedangkan gejala lokal berupa
limfadenitis, limfangitis, abses, ulkus, funikulitis, epididimitis, orchitis
dan limfedema. Reaksi samping sistemik terjadi beberapa jam setelah dosis
pertama, hilang spontan setelah 25 hari dan lebih sering terjadi pada
penderita mikrofilaremik.
G.
Pemberantasan
filariasis
Pemberantasan filariasis ditujukan pada
pemutusan rantai penularan dengan cara pengobatan untuk menurunkan morbiditas
dan mengurangi transmissi.
Pemberantasan filariasis di Indonesia
dilaksanakan oleh Puskesmas dengan tujuan :
1.
Menurunkan Acute Disease Rate (ADR) menjadi 0%
2.
Menurunkan nf rate menjadi < 5%
3.
Mempertahankan Chronic Disease Rate (CDR)
4.
Kegiatan
pemberantasan nyamuk terdiri atas :
a. Pemberantasan nyamuk dewasa
Anopheles : residual
indoor spraying
Aedes : aerial spraying
b. Pemberantasan jentik nyamuk
Anopheles : Abate 1%
Culex : minyak tanah
Mansonia : melenyapkan tanaman air tempatperindukan,
mengeringkan rawa dan saluran air
c. Mencegah gigitan nyamuk
Menggunakan kawat nyamuk/kelambuMenggunakan repellent Kegiatan pemberantasan
nyamuk dewasa dan jentik tidak masuk dalam program pemberantasan filariasis
diPuskesmas yang dikeluarkan oleh P2MPLP pada tahun 1992.
Penyuluhan tentang penyakit filariasis dan penanggulangannya perlu
dilaksanakan sehingga terbentuk sikap dan perilaku yang baik untuk menunjang
penanggulangan filariasis.
Sasaran penyuluhan adalah penderita filariasis beserta keluarga dan seluruh
penduduk daerah endemis dengan harapan bahwa penderita dengan gejala klinik
filariasis segera memeriksakan diri ke Puskesmas, bersedia diperiksa darah jari dan minum obat DEC secara lengkap dan teratur serta menghindarkan diri dari gigitan nyamuk.
Evaluasi hasil pemberantasan dilakukan setelah 5 tahun, dengan melakukan
pemeriksaan vektor dan pemeriksaan darah tepi untuk deteksi mikrofilaria.
H.
Epidemiologi filaria di indonesia
Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit filaria
yang menyerang kelenjar dan pembuluh getah bening Di Indonesia filariasis
limfatik disebabkan oleh Wuchereria bancrofti (filariasis bancrofti) serta Brugia malayi dan Brugiatimori
(filariasis brugia) dan dikenal umum sebagai penyakit kaki gajah atau demam kaki gajah. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan
ditemukan mikrofilaria dalam peredaran darah.
W. bancrofti dan B. timori hanya ditemukan pada manusia. Berdasarkan sifat biologik B. malayi di
Indonesia didapatkan dua bentuk yaitu bentuk zoophilic dan anthropophilic. Periodisitas
mikrofilaria di peredaran darah pada jenis infeksi yang hanya ditemukan pada
manusia bersifat noktumal, sedangkan yang ditemukan pada manusia dan hewan
(kera dan kucing) dapat aperiodik, sub-periodik atau periodik.
Filariasis ditularkan melalui vektor nyamuk Culex quinque-fasciatus di daerah perkotaan dan oleh Anopheles spp., Aedes spp. dan Mansonia spp. di daerah pedesaan. Di dalam nyamuk, mikrofilaria yang terisap bersama darah berkembang menjadi
larva infektif. Larva infektif masuk secara aktif ke dalam tubuh hospes waktu
nyamuk menggigit hospes dan berkembang menjadi dewasa yang melepaskan
mikrofilaria ke dalam peredaran darah. Filariasis ditemukan di berbagai daerah
dataran rendah yang berawa dengan hutan-hutan belukar yang umumnya didapat di
pedesaan di luar JawaBali. Filariasis brugia hanya ditemukan di pedesaan
sedangkan filariasis bancrofti didapatkan juga di perkotaan. Prevalensi
filariasis bervariasi antara 2% sampai 70% pada tahun 1987.
Penyakit kaki gajah di Indonesia disebabkan oleh
tiga spesies cacing filaria yaitu Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi, Brugiatimori, sedangkan vektor penyakitnya
adalah nyamuk. Nyamuk yang menjadi vektor filaria di Indonesia hingga saat ini
telah diketahui terdapat 23 spesies nyamuk dari genus Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres. Menurut Soedarto (1989) sejumlah nyamuk yang termasuk
dalam genus Culex dikenal
sebagai vektor penyakit menular. Culex
gunguefasciatus atau Culex
fatigans menyukai air tanah dan rawa-rawa sebagai tempat berkembang
biaknya, vektor ini dapat menularkan demam kaki gajah pada manusia. Beberapa
jenis culex lainnya berkembang
biaknya berbeda-beda jenisnya baik berupa air hujan dan air lainnya yang
mempunyai kadar bahan organik yang tinggi. Umumnya menyukai segala jenis
genangan air terutama yang terkena sinar matahari. Menurut Hudoyo (1983) Anopheles barbirotris tempat
perkembangannya adalah di air tawar yang tergenang di tempat terbuka baik
alamiah (rawa-rawa) maupun buatan atau kolam, di air mengalir yang
perlahan-lahan ditumbuhi tanaman air. Di
beberapa daerah, terutama di pedesaan penyakit ini masih endemis. Sumber
penularnya adalah penderita penyakit kaki gajah baik yang sudah menimbulkan
gejala-gejala ataupun tidak, karena didalam darah terdapat mikrofilaria yang dapat ditularkan
oleh nyamuk.
Menurut Menkes (2009) menyebutkan, saat ini di
Indonesia tercatat 11 ribu orang menderita penyakit kaki gajah yang tampak,
dimana telah terjadi pembesaran di kaki dan kelenjar getah bening lainnya.
Pendudu yang terinfeksi tentunya jauh lebih banyak, mereka akan diketahui
setelah dilakukan tes darah.
Tetapi hal
ini juga sulit dilakukan karena micro filaria hanya dapat terdeteksi pada malam
hari, sehingga penemuan kasus Filariasis menjadi sulit. Dijelaskannya,
filariasis ditularkan melalui nyamuk, karena sifatnya yang demikian maka hal
yang harus dilakukan yakni, jika ada seseorang di suatu daerah terkena kaki
gajah maka harus dilakukan pengobatan bagi seluruh penduduk dengan pemberian
obat (pengobatan masal) satu kali selama satu tahun berturut turut hingga lima
tahun.
Di Indonesia sebenarnya sudah memiliki program
pengobatan masal hasil rekomendasi WHO ini sejak tahun 1970-an dan sudah ada
maping yang menunjukkan bahwa filariasis terjadi di 386 kab/kota bukan hanya di
kantong-kantong tetapi sudah merata, sejak tahun 2002 juga sudah dilakukan
pengobatan masal, ada sekitar 32 juta orang yang sudah meminum obat. Untuk itu
menurutnya, filariasis harus diatasi secara serius karena selain menyebabkan
orang menjadi tidak produktif, meskipun dapat sembuh namun akan terjadi kecacatan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Filariasis
di Indonesia masih merupakan problem kesehatan Masyarakat yang memberikan
dampak ekonomi sosial yang negatif berupa produktivitas kerja yang menurun dan
beban ekonomi sosial bagi yang menderita elephantiasis.
2.
Pemberantasan
filariasis perlu dilaksanakan dengan tujuan menghentikan transmisi, diperlukan
program yang berkesinambungan dan memakan waktu lama, mengingat masa hidup dari
cacing dewasa yang cukup lama.
3.
Meskipun
filariasis menunjukkan spektrum manifestasiklinik yang luas, pengobatan dengan
dietilkarbamasin diberikan dalam regimen yang sama.
4.
Tingkat
kesembuhan tinggi bila penemuan dalam fase awal dan belum ada gejala menahun.
5.
Deteksi
daerah endemis dilakukan melalui penemuan penderita elephantiasis dan
pemberantasan dilaksanakan oleh Puskesmas melalui pengobatan dan penyuluhan.
B.
Saran
1. Menjaga kebersihan diri dan
lingkungan merupakan syarat utama untuk menghindari infeksi filariasis.
2. Pemberantasan nyamuk dewasa
dan larva perlu dilakukan sesuai aturan dan indikasi.
3. Meningkatkan surveilans
epidemiologi di tingkat Puskesmas untuk penemuan dini kasus Filariasis,
sehingga dapat meningkatkan kesembuhan. Evaluasi pemberantasan dilaksanakan
setelah 5 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
BARR, A. R. 1969. 1970. In: Proceedings of the 37th Annual Conference of the
California Mosquito Control Association Inc.,
Basundari Sri Utami, 1990, Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Cartel JL, et al. 1992. Wuchereria
bancrofti infection in human
and mosquito populations of a Polynesian village ten years after interruption
of mass chemoprophylaxix with diethylcarbamazine. Trans R Soc Trop Med Hyg.
Chandra G et al, 1996. Age composition of filarial vector Culex quinquefasciatus (Diptera: Culicidae) in Calcutta. Bull Ent Res.
Das SC, Bhuyan M, Chakraborty BC. 1988. Field trials on the
relative efficacy of three repellents against mosquitoes. Indian J Med Res
De Meillon B et al, 1967, Evaluation of Wuchereria bancrofti infection
in Culex pipiens fatigans in Rangoon, Burma. Bull World Health Organ.
Dedeine F, et all, 2001.
Removing symbiotic Wolbachia bacteria specifically inhibits oogenesis in a
parasitic wasp. Proc
Natl Acad Sci U S A.
Departemen Kesehatan
RI. 1988. Petunjuk Pelaksanaan Pemberantasan Penyakit Kaki Gajah di Puskesmas,
Departemen
Kesehatan RI. 1992 Petunjuk Pelaksanaan Pemberantasan Penyakit Kaki Gajah di
Puskesmas,.
Depkes
RI,Ditjen PPM & PL- Direktorat P2B2 Subdit Filariasis &
Schistosomiasis, 2002, Pedoman
Pengobatan Massal Penyakit Kaki Gajah (Filariasis), Jakarta.
Hoerauf A, et all.
2002.Antibiotics for the treatment of onchocerciasis and other filarial
infections. Curr Opin
Investig Drugs.
ILTIS, W. G. ET AL. 1956. Bulletin of the World Health
Organization.
Katrina Volume 13, , 2005 New
Treatment for Elephantitis: Antibiotics, The
Journal of Young Investigators
McLaren
DJ et al, 1975 Micro-organisms in filarial larvae (Nematoda). Trans R Soc Trop Med Hyg.
Partono
F Pumomo, 1987, Periodicity studies of B. malayi in Indonesia: recent findings
and a modified classification of the parasite. Trans Roy Soc Trop Med Hyg.
Rutledge LC, Moussa et al, 1978. Comparative sensitivity of
mosquito species and strains to repellent Diethyltoluamide. J Med Entomol
Schreck CE, et all, 1984, The effectiveness of Permethrin
and Deet, alone or in combination, for protection against Aedes taeniorhynchus.
Am J Trop. Med Hyg
Sholdt LL, et all 1988 I.Fieldbioassays of Permethrintreated
uniforms and new extended duration repellent against mosquitoes Pakistan. J Am
Mosq Control Assoc
Soedarto, 1990 Entomologi Kedokteran, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
Srisasi
Gandahusada, dkk 1988Parasitologi Kedokteran. Eds I lahude.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,.
Taylor MJ et all 2001. A new
approach to the treatment of filariasis. Curr Opin Infect Dis.
The Carter Center, 2007, Summary of the Third Meeting of the International Task
Force for Disease Eradication
WHO.
1984 Lymphatic filariasis. Techn Rep Ser ,.
No comments:
Post a Comment