BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Ada dua masalah dalam
bidang kedikteran atau kesehatan yang berkaitan dengan aspek hukum yang selalu
aktual dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat digolongkan ke dalam
masalah klasik dalam bidang kedokteran yaitu tentang abortus provokatus dan
euthanasia. Dlam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates (460-377
SM), kedua masalah ini telah ditulis dan telah diingatkan. Sampai kini tetap
saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi
atau diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yangdapat diteroma
oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia pada
beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan sementara di lain pihak tindakan
ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan agama.
Mengenai masalah
euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan masalahnya sudah ada sejak
kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan, sementara pasien
sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian tidak jarang
pasien memohon agar dibebaskan dari
penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau di lain
keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien yang
penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak
meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat
kematian. Dari sinilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan
seseorang agar terbebas dari penderitaan atau mati secara baik.
Masalah makin sering
dibicarakan dan menarik banyak perhatian
karena semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat
terutama setelah ditemukannya tindakan didalam dunia pengobatan dengan
mempergunakan tegnologi canggih dalam menghadapi keadaan-keadaan gawat dan
mengancam kelangsungan hidup. Banyak kasus-kasus di pusat pelayanan
kesehatanterurtama di bagian gawat darurat dan di bagian unit perawatan
intensif yang pada masa lalu sudah merupakn kasus yang sudah tidak dapat
dibantu lagi.
1.2.RUMUSAN MASALAH
1.2.1. Apa pengertian dari Euthanasia?
1.2.2. Apa saja jenis-jenis Euthanasia?
1.2.3. Bagaimana tinjauan Etis terhadap
Euthanasia?
1.2.4. Bagaimana tinjauan Yuridis terhadap
Euthanasia?
1.3.TUJUAN
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian dari
Euthanasia
1.3.2. Untuk mengetahui jenis-jenis Euthanasia
1.3.3. Untuk mengetahui tinjauan etis tehadap
euthanasia
1.3.4. Untuk mengetahui tinjauan yuridis
terhadap euthanasia
1.2 Rumusan Masalah
Apa saja prinsip dan
asas etik keperawatan?
Apa definisi aborsi?
Apa saja jenis-jenis
aborsi?
Apa penyebab yang
mendorong terjadinya aborsi?
Bagaimana dampak
aborsi?
Apa contoh kasus aborsi
yang terjadi di Indonesia?
Bagaimana menanggapi
kasus yang ada berdasarkan prinsip dan asas etik keperawatan?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas
mata kuliah Ilmu Keperawatan Dasar 1
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui prinsip dan
asas etik keperawatan
Mengetahui definisi
aborsi
Mengetahui faktor yang
mendorong terjadinya aborsi
Mengetahui dampak
aborsi
Mengetahui contoh kasus
aborsi yang terjadi di Indonesia
Mengetahui menanggapi
kasus yang ada berdasarkan prinsip dan asas etik keperawatan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Dan
Sejarah Euthanasia
Istilah euthanasia
berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, tanpa
penderitaan dan thanatos berarti mati.
Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan.
Ada yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita.
Secara etimologis
euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari itu dalam
mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun
untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi
kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan
dengan panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya,
sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi
kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan
menghendakinya.
Dewasa ini orang
menilai eutanasia terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan
penderitaan orang sakit atau orang yang berada di sakratul maut. Kadang-kadang
proses “meringankan penderitaan” ini disertai dengan bahaya mengakhiri hidup
sebelum waktunya. Dalam arti yang lebih sempit, eutanasia dipahami sebagai
mercy killing, membunuh karena belas kasihan, entah untuk mengurangi
penderitaan, entah terhadap anak tak normal, orang sakit jiwa, atau orang sakit
tak tersembuhkan. Tindakan itu dilakukan agar janganlah hidup yang dianggap tak
bahagia itu diperpanjang dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat.
Dari perjalanan arti
eutanasia sendiri kelihatan adanya suatu pergeseran arti. Eutanasia yang pada
awalnya berarti kematian yang baik, dewasa ini diartikan sebagai tindakan untuk
mempercepat kematian. Kiranya penting memahami arti eutanasia itu sendiri
sebelum dinilai secara etis maupun moral. Oleh karena itu, kiranya perlu
dilihat arti eutanasia menurut Gereja. Dalam arti tertentu, kalau Gereja
menyerukan arti eutanasia, kita tahu dengan pasti apa yang dimaksud dengan
eutanasia itu sendiri. Gereja sendiri yang dalam hal ini diwakili oleh
kongregasi suci untuk ajaran iman mendefinisikan eutanasia sebagai sebuah
tindakan atau tidak bertindak yang menurut hakikatnya atau dengan maksud
sengaja mendatangkan kematian, untuk dengan demikian menghentikan rasa sakit.
unsur-unsur euthanasia
adalah sebagai berikut:
a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau
tidak memperpanjang hidup pasien.
c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit
untuk disembuhkan kembali.
d. Atas atau tanpa
permintaan pasien atau keluarganya.
e. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
Sejarah Euthanasia
Sebenarnya, persoalan
euthanasia bukanlah hal yang baru. Sepanjang sejarah manusia, euthanasia sudah
diperdebatkan dan dipraktekkan. Sejarah euthanasia dapat dilihat antara lain
sebagai berikut :
Ø Lingkup Budaya Yunani-Romawi Kuno
Perdebatan euthanasia
dalam era ini dapat dilihat dari pandangan beberapa tokoh kuno. Posidippos,
seorang pujangga yang hidup sekitar tahun 300-an sebelum Masehi, menulis, “Dari
apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih baik
daripada kematian yang baik (Fr. 18)”. Philo, seorang filsuf Yahudi yang hidup
sekitar tahun 20 BC – 50 AD, mengatakan bahwa euthanasia adalah ‘kematian
tenang dan baik’.
Suetonius, seorang ahli
sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Masehi memberitakan kematian Kaisar
Agustus sebagai berikut: “Ia mendapat kematian yang mudah seperti yang selalu
diinginkannya. Karena ia hampir selalu biasa mohon kepada dewa-dewa bagi
dirinya dan bagi keluarganya ‘euthanasia’ bila mendengar bahwa seseorang dapat
meninggal dengan cepat dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya”
(Divus Augustus 99). Cicero, seorang sastrawan, hidup sekitar tahun 106 BC,
memakai istilah euthanasia dalam arti ‘kematian penuh kehormatan, kemuliaan dan
kelayakan’ (Surat kepada Atticus 16.7.3). Seneca, yang bunuh diri tahun 65 M
malah menganjurkan, “lebih baik mati daripada sengsara merana“.
Ø Zaman Renaissance
Pada zaman renaissance,
pandangan tentang euthanasia diutarakan oleh Thomas More dan Francis Bacon.
Francis Bacon dalam Nova Atlantis, mengajukan gagasan euthanasia medica, yaitu
bahwa dokter hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya untuk
menyembuhkan, melainkan juga untuk meringankan penderitaan menjelang kematian.
Ilmu kedokteran saat itu dimasuki gagasan euthanasia untuk membantu orang yang
menderita waktu mau meninggal dunia. Thomas More dalam “the Best Form of
Government and The New Island of Utopia” yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan
gagasan untuk mengakhiri kehidupan yang penuh sengsara secara bebas dengan cara
berhenti makan atau dengan racun yang membiuskan.
Ø Abad XVII-XX
David Hume (1711-1776)
yang melawan argumentasi tradisional tentang menolak bunuh diri (Essays on the
suicide and the immortality of the soul etc. ascribed to the late of David
Hume, London 1785), rupanya mempengaruhi dan membuka jalan menuju gagasan
euthanasia.
Tahun 20-30-an abad XX
dianggap penting karena mempersiapkan jalan masalah euthanasia zaman nasional-sosialisme
Hittler. Karl Binding (ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche (psikiater)
membenarkan euthanasia sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas
hidup. Gagasan ini terdapat dalam bukunya yang berjudul : Die Freigabe der
Vernichtung lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920. Dengan demikian, terbuka jalan
menuju teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara
mengakhiri hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo) ternyata
sungguh dilaksanakan dengan sebutan Aktion T4 dengan dasar hukum Oktober 1939
yang ditandatangani Hitler.
2.2. Jenis-Jenis
Euthanasia
Euthanasia bisa
ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana datang
permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis besar euthanasia
dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif.
Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah
perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup
seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan
penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan. Euthanasia aktif
terbagi menjadi dua golongan
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara
pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung
mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan
zat yang segera mematikan
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang
menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri
hidup pasien, tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri
hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
2. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah
perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu
untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal
setelah tindakan pertolongan dihentikan.
3. Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini
adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas
permintaan sendiri.
4. Euthanasia involunter
Euthanasia involunter
adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar
yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap
famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan.
Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain kategori empat
macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam yang lain, hal ini
diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi
seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia
selain euthanasia secara garis besarnya, yaitu:
1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk
memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek kehidupannya. Kedalamnya
termasuk semua usaha perawatan agar yang bersangkutan dapat mati dengan
"baik".
2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha
untuk memperingan kematian dengan efek samping, bahwa pasien mungkin mati
dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya termasuk pemberian segala macam obat
narkotik, hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto" dapat
memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja
3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat
kematian atas persetujuan atau permintaan pasien. Adakalanya hal itu tidak
harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan
bertentangan dengan pasien.
4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu
mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien yang disampaikan oleh atau
melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau atas keputusan
2.3. Pandangan Etika
Mengenai Euthanasia
Etik berasal dari kata
Yunani ethos, yang berarti ”yang baik, yang layak”. Etik merupakan morma-norma,
nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi terentu dalam memberikan
pelayanan jasa kepada masyarakat.
Etik merupakan prinsip
yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk dalam hubungan dengan orang
lain.
Etik merupakan studi
tentang perilaku, karakter dan motif yang baik serta ditekankan pada penetapan
apa yang baik dan berharga bagi semua orang. Secara umum, terminologi etik dan
moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang berbeda dengan moral bila
istilah etik mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau
kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku
aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu.
Etik juga dapat
digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik merefleksikan
sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional.
Cara hidup moral perawat telah dideskripsikan sebagai etik perawatan.
Berdasarkan uraian
diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan untuk
merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya
dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Dari sudut pandang
etika, euthanasia dan aborsi menghadapi kesulitan yang sama. Suatu prinsip
etika yang sangat mendasar ialah kita harus menghormati kehidupan manusia.
Bahkan kita harus menghormatinya dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita
mengorbankan manusia kepada suatu tujuan lain.
Dalam etika, prinsip
ini sudah lama dirumuskan sebagai "kesucian kehidupan" (The Sanctity
Of Life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut, karena
itu di mana-mana harus selalu dihormati. Jika kita dengan konsekuen mengakui
kehidupan manusia sebagai suci, menjadi sulit untuk membenarkan eksperimentasi
laboratorium dengan embrio muda, meski usianya baru beberapa hari, dan menjadi
sulit pula untuk menerima praktik euthanasia dan aborsi, yang dengan sengaja
mengakhiri kehidupan manusia. Prinsip kesucian kehidupan ini bukan saja
menandai suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi dalam salah satu bentuk
dicantumkan juga dalam sistem hukum beberapa Negara.
(PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup
manusia adalah dasar dari segala sesuatu. Tanpa hidup, manusia tidak punya
apapun, termasuk hak-haknya. Karena itu, hidup manusia adalah hak dasar dan sumber
segala kebaikan. Martabat manusia tidak berubah meskipun dia dalam keadaan
koma. Ia tetap manusia yang bermartabat. Dia bukan “vegetatif”=tumbuh-tumbuhan.
Oleh karena itu, ia tetap harus dihormati.
Penilaian etika
euthanasia telah diperdebatkan tentang kebenarannya dalam decade sekarang ini.
Larangan untuk membunuh merupakan suatu norma moral yang sangat fundamental
untuk umat manusia. Tidak mengherankan, kalau dalam segala aspek kebudayaan
diberi tekanan besar pada norma ini, termasuk dalam bidang agama. Malah boleh
dikatakan, ini norma moral yang paling penting, sebagaimana pelanggarannya juga
merupakan kejahatan paling besar. Namun demikian norma moral ini pun tidak
bersifat absolute. Rasanya dalam etika tidak ada norma moral yang sama sekali
absolute. Karena itu disekitar norma ini pun selalu masih ada hal-hal yang
dipermasalahkan. Dizaman sekarang menyangkut hukuman mati dan euthanasia,
tetapi berlawanan. Apakah pantas Hukuman mati dipertahankan sebagai
pengecualian atas larangan untuk membunuh sedangkan tentang euthanasia
dipersoalkan tidak perlu diakui adanya pengecualian atas larangan untuk
membunuh.
Di dalam Kode Etik
Kedokteran yang ditetapkan Mentri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983
disebutkan pada pasal 10: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.” Kemudian di dalam penjelasan
pasal 10 itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada setiap makhluk
yang bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu
merupakan tugas seorang dokter. Dokter harus berusaha memelihara dan
mempertahankan hidup makhluk insani, berarti bahwa baik menurut agama dan
undang-undang Negara, maupun menurut Etika Kedokteran, seorang dokter tidak
dibolehkan:
a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).
b. Mengakhiri hidup
seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh
lagi (euthanasia).
Jadi sangat tegas, para
dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode etika itu
tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala
kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara
hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.
Ketua umum pengurus
besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu
pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan
bahwa : Eutanasia atau “pembunuhan tanpa penderitaan” hingga saat ini belum
dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.
“Eutanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa
dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP (Wikipedia, 2012).
Utomo (2009)
mengutarakan bahwa dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan
eutanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya eutanasia dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan
(sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan
serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien atau
keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya
persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter
dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak
lain menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu
sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan
merupakan tindak pidana, yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan
oleh Undang-undang.
Di dalam Wikipedia
(2009) dinyatakan bahwa di dunia ini terdapat beberapa negara yang telah
melegalkan tindakan eutanasia dengan beberapa persyaratan dan pertanyaan yang
harus dipenuhi oleh pasien ataupun keluarganya, diantaranya Belgia, Belanda dan
negara bagian Oregon di Amerika. Di dalamnya juga disebutkan bahwa Senator
Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun
rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita
secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh
untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.
2.4. Pandangan
Kesehatan Masyarakat Mengenai Euthanasia
Banyak pakar etika
menolak euthanasia dan assisted suicide. Salah satu argumentasinya menekankan
bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan pengecualian atas
larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa dipakai juga terhadap orang
cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang dianggap tidak berguna lagi.
Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu kita harus menghormati
kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu
tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan sebagai “kesucian kehidupan” (the
sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut
dan karena itu dimana-mana harus dihormati.
Masing-masing orang
memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara intrinsik (ada
bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan berakhirnya manusia).
Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan orang, artinya ia ada
entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masing-masing orang harus
mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh karena itu
masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak
pernah boleh dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan
tertentu oleh orang lain.
Meski demikian, tidak
sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang banyak dipakai adalah
hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka, jika pasien sudah sampai
akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa
hari yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri
dengan bantuan hanya sekedar mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan
“kematian yang baik”, tanpa penderitaan yang tidak perlu. Sedangkan menurut
pakar kesehatan mengenai pengertian kematian :
Apabila nadi tidak
bergerak, maka jantung sudah tidak berfungsi, karena jantung merupakan alat
pemompa darah ke seluruh tubuh. bahwa jantung ternyata digerakkan oleh pusat
saraf penggerak yang terletak pada bagian batang otak kepala.
Apabila terjadi
perdarahan pada batang otak, maka denyut jantung terganggu. Tetap perdarahan
pada otak yang bersangkutan tidak mati, kata Prof. Dr. Mahar Mardjono (eks
Rektor UI). Jadi, kalau hanya terjadi perdarahan pada otak, penderita tidak
mati, jika batang otak betul-betul mati, maka harapan hidup seseorang sudah
terputus.
Menurut Dr. Yusuf
Misbach (ahli saraf) terdapat 2 macam kematian otak yaitu kematian korteks otak
yang merupakan pusat kegiatan intelektual dan kematian batang otak. Kerusakan
batang otak lebih fatal karena terdapat pusat saraf penggerak motor semua saraf
tubuh.
Menurut Dr. Kartono Muhammad (wakil ketua
Ikatan Dokter Indonesia) mengatakan seseorang mati bila batang otak
menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi.
Para fuqaha menurut Dr.
Peunoh Daly menentukan ukuran hidup matinya seseorang dengan empat fenomena.
Pertama, adanya gerak/nafas, gerakan sedikit/banyak. Kedua, adanya suara maupun
bunyi, yang terdapat pada mulut, jeritan tangis, dan rasa haus. Ketiga,
mempunyai kemampuan berfikir terutama bagi orang dewasa. Keempat, mempunyai
kemampuan merasakan lewat panca indra dan hati.
2.5. Hukum Mengenai
Euthanasia
Di Indonesia dilihat
dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam bentuk
undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun
karena masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa
manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya
sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat
dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia.
Kitab undang-undang
Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum jika ia
menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati.
Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif
tedapat padapasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa
menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
Ketentuan ini harus
diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat untuk
membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup
pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
Untuk jenis euthanasia
aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui
oleh dokter, yaitu:
Pasal 338 KUHP:
Barangsiapa dengan
sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan
penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP:
Barangsiapa dengan
sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum,
karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara
selama-lamanya seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 KUHP:
Barang siapa karena
salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun
atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya di bawah
ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan
untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia, yaitu:
Pasal 345 KUHP:
Barang siapa dengan
sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan
itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara
selama-lamanya empat tahun.
Kalau diperhatikan
bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam KUHP
tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk
undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa
manusia sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu setiap
perbuatan apapun motif dan macamnya
sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia,
maka hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan
sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan ideologi,
tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh
undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di Indonesia masalah
euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan
mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan
mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis.
Munculnya permintaan tindakan medis euthanasia
hakikatnya menjadi indikasi, betapa masyarakat sedang mengalami pergeseran
nilai kultural. Disini Penulis menentang dilakukannya euthanasia atas dasar
etika, agama, moral dan legal, dan juga dengan pandangan bahwa apabila
dilegalisir, euthanasia dapat disalahgunakan. Kelompok pro-euthanasia mungkin
akan menentang pendapat ini dengan menggunakan argumen quality of life, dan
hukum. Namun demikian, pernyataan yang telah dikemukakan, pertama secara etika,
tugas seorang dokter adalah untuk menyembuhkan, bukan membunuh; untuk
mempertahankan hidup, bukan untuk mengakhirinya. Dari dasar agama adalah di
mana dokter percaya kesucian dan kemuliaan kehidupan manusia. Dari segi respek
moral, pilihan untuk membunuh, baik orang lain maupun diri sendiri adalah imoral
karena merupakan tindak sengaja untuk membunuh seorang manusia. Dari segi
legal, seorang dokter yang melakukan euthanasia atau membantu orang yang bunuh
diri telah melakukan tindakan melanggar hukum. Pernyataan terakhir adalah
sulitnya untuk melegalisir euthanasia karena sulitnya membuat standar prosedur
yang efektif. Selanjutnya hal ini juga
dapat memberikan tekanan kepada mereka yang merasa diabaikan atau merasa
sebagai beban keluarga atau teman.
Jadi di Indonesia
Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari kode etik kedokteran,
undang-undang hukum pidana, maupun menurut setiap agama, yang menghukumkannya
haram. Sedangkan Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi pasien
berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal.
B. Saran
Apabila hukum di
Indonesia kelak mau menjadikan persoalan eutanasia sebagai salah satu materi
pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya,
baik sosial, etika, maupun moral.
DAFTAR PUSTAKA
http:/Pandangan Etika
Dan Perundang-Undangan Tentang Euthanasia ” _ Fatmanadia.Htm
http://wimuliasih.blogspot.com/2013/05/euthanasia.html
http://bebenta.blogspot.com/2012/06/etika-euthanasia.html
www.Tugas-Tugas
Kuliah makalah euthanasia.htm\
No comments:
Post a Comment