Thursday, 21 March 2019

MAKALAH EPILEPSI (KEJANG, DEMAM)


MAKALAH
EPILEPSI (KEJANG, DEMAM)




KATA PENGANTAR

Puji sukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan Rahmat serta KaruniaNya kepada  kami sehingga kami berhasil  menyelesaikan Makalah  ini yang Alhamdulilah tepat pada waktunya yang berjudul EPILEPSI (KEJANG, DEMAM).
Diharapkan Makalah ini  dapat  memberikan  imformasi  kepada kita semua tentang Berbagai Konsep Sehat Sakit dilihat dari berbagai aspek.kami menyadari bahwa  Makalah ini masih jauh dari sempurna,oleh karena itu kritik dan saran  dari semua  pihak yang  bersipat  membangun selalu kami  harap kan demi kesempurnaan Makalah ini.
Akhir kata, kami sampai kan  terima kasih kepada semua  pihak yang telah  berperan serta  dalam penyusun Makalah ini dari awal sampai akhir.Semoga Allah SWT senantiasa meridhai  usaha kita. Amin


Banda Aceh,   April  2018


Penulis

DAFTAR ISI


BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.    Latar Belakang...................................................................................... 1
B.     Tujuan................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3
A.    Pengertian Epilepsi................................................................................ 3
B.     Sejarah Epilepsi..................................................................................... 4
C.     Klasifikasi Epilepsi................................................................................ 5
D.    Patofisiologi Epilepsi............................................................................ 7
E.     Jenis-jenis Serangan Epilepsi................................................................. 8
F.      Penyebab dan Pemicu Serangan Epilepsi............................................ 15
G.    Epidemiologi Epilepsi......................................................................... 18
H.    Diagnosa epilepsi................................................................................ 22
I.       Pengobatan Epilepsi............................................................................ 23

BAB III PENUTUP............................................................................................. 29
A.    Kesimpulan......................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 30

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Epilepsi telah dikenal sejak zaman dahulu, dalam tulisan dari tahun 2080 sm telah ditemukan pengenalan akan gejala-gejala epilepsi. Pada masa itu epilepsi masih dihubungkan dengan pengaruh gaib, roh jahat dan pengaruh dari luar lainnya yang menimpa  penderita. Anggapan ini terus berkembang sampai tahun 400 sm, Hippocrates pada bukunya “On The Sacred Disease” mengemukakan bahwa penyakit ini bukan disebabkan oleh tenaga supernatural atau pengaruh gaib tetapi disebabkan karena perubahan dalam otak.
Di negara kita pun sudah lama dikenal terbukti dengan adanya nama lokal untuk penyakit ini yang disebut sawan, ayan atau celengan dan hingga saat ini masih banyak yang menghubungkannya dengan hal gaib dan berusaha menyembuhkan dengan cara-cara mistik. Hingga saat inipun penatalaksanaan penderita epilepsi belum mencapai optimal, hal ini disebabkan karena pengertian yang salah mengenai epilepsi masih berkembang di masyarakat sehingga sebagian penderita tidak dibawa berobat malahan disembunyikan karena dianggap sakit jiwa, membawa sial, dan aib bagi keluarga. Sedangkan tenaga kesehatan sendiri masih banyak yang ragu-ragu mendiagnosa dan memberikan pengobatan.
Walaupun belum pernah dilakukan penyelidikan epidemiologis tentang epilepsi di Indonesia, dapat dikatakan bahwa epilepsi tidak jarang dijumpai dalam masyarakat. Jika dipakai angka-angka prevalensi dan insidens epilepsi yang didapatkan dalam kepustakaan, yakni prevalensi 5-10 per 1000 dan insidens 0,5 per 1000. Maka dapat diperkirakan bahwa di Indonesia yang berpenduduk sekitar 180 juta orang, terdapat 900.000-1.800.000 orang dengan epilepsi, sedangkan insidens adalah 90.000 kasus epilepsi baru tiap tahun. Angka-angka tersebut mengejutkan jika dibandingkan dengan angka prevalensi penyakit-penyakit lain yang terdapat di Indonesi. Ini cukup memprihatinkan, terutama bila para penyandang epilepsi tidak ditangani dengan baik sehingga menimbulkan masalah sosial dan menjadi beban bagi keluarganya dan masyarakat. Di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dimana jumlah spesialis masih kecil, sebagian besar penyandang epilepsi diharapkan dapat ditanggulangi oleh dokter umum. Dalam penanggulangan epilepsi pengobatan dengan obat-obat antikonvulsi menduduki tempat terpenting, meskipun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka yang menyandang epilepsi seperti faktor psikososial, lingkungan keluarga, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya perlu diperhatikan juga. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan terutama bidang kedokteran pengetahuan mengenai epilepsi pun berkembang dengan pesat sehingga penatalaksanaan pun semakin baik sehingga kualitas hidup penderita makin dapat ditingkatkan.

B.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui Pengertian Epilepsi
2.      Untuk mengetahui Sejarah Epilepsi
3.      Untuk mengetahui Klasifikasi Epilepsi
4.      Untuk mengetahui Patofisiologi Epilepsi
5.      Untuk mengetahui Jenis-jenis Serangan Epilepsi
6.      Untuk mengetahui Penyebab dan Pemicu Serangan Epilepsi
7.      Untuk mengetahui Epidemiologi Epilepsi
8.      Untuk mengetahui Diagnosa epilepsi
9.      Untuk mengetahui Pengobatan Epilepsi



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Epilepsi
            Epilepsi merupakan gangguan gangguan susunan syaraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung, dan occasional provoked seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemi.
            Epilepsi berdasarkan etiologi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu sebagai berikut.
a.       Epilepsi idiopatik, yaitu epilepsi yang tak ditemukan faktor penyebab bangkitan epilepsinya.
b.      Epilepsi simptomatik, yaitu epilepsi sebagai akibat atau gejala dari penyakit lain.
            Epilepsi idiopatik biasanya dimulai terjadi pada usia lebih dari 3 tahun, sedangkan yang simptomatik dapat dimulai dari neonatus hingga usia lanjut sebagai akibat kelainan kongenital, trauma kelahiran, gangguan metabolik dan infeksi, keracunan, kelainan struktural misalnya pada abses atau tumor otak, kelainan vaskuler dan cedera kepala sedangkan pada usia lanjut penyebab tersering adalah kelainan serebrovaskuler dan tumor serebri.
            Ditinjau dari segi klinik, patofisiologis dan praktis epilepsi dapat didefinisikan sebagai bangkitan yang diakibatkan oleh lepasnya muatan listrik neuron serebral yang berlebihan secara berkala, dapat memberikan gejala gangguan kesadaran, gerakan involunter, gangguan sensorik, motorik, peningkatan aktivitas otonom dan berbagai gangguan psikis.



B.       Sejarah Epilepsi
            Keterangan rinci tentang epilepsi yang paling tua terdapat di lembaran Babylon yang tersimpan di British Museum. Bab ini merupakan bagian dari buku teks kedokteran Babylon yang terdiri dari 40 lembar, dibuat pada tahun 2000 SM. Pada lembaran tadi termuat catatan berbagai jenis serangan epilepsi yang berbeda sebagaimana yang kita ketahui sekarang ini. Uraian tentang epilepsi tadi menekankan betapa epilepsi disebabkan atau dipengaruhi oleh kekuatan supranatural, dengan tiap jenis serangan dikaitkan dengan nama roh atau setan. Dengan demikian terapinya didasarkan atas kekuatan spritual.
            Kata epilepsi berasal dari Yunani epilepsia yang berarti serangan. Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hal ini merupakan latar belakang adanya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi. Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan menyulitkan upaya untuk membawa penderita epilepsi ke dalam kehidupan normal.
            Hippocrates percaya bahwa epilepsi bukanlah penyakit yang bersifat suci atau keramat. Dia menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak, pandangan ini merupakan suatu hal yang revolusioner. Dia menyarankan untuk memberi terapi fisik, bukan terapi spiritual, dan dia menyatakan bahwa bila penyakit menjadi kronis maka penyakit tadi tidak dapat disembuhkan. Pada pertengahan abad ke 19 epilepsi memperoleh perhatian secara sungguh-sungguh. Pada tahun 1857 Sir Charles Locock untuk pertama kalinya mengenalkan sedativa sebagai pengendali serangan epilepsi. Pada tahun 1870 John Hughlings Jackson mengenali korteks otak sebagai bagian yang terlibat dalam epilepsi. Pada tahun 1929 Hans Berger memperlihatkan bahwa gelombang listrik di otak manusia dapat direkam.
Hans Berger, seorang spesialis kedokteran jiwa, mengembangkan human electroencephalograph pada saat itu dikenal juga sebagai EEG brainswaves. Manfaat EEG tadi mulai dirasakan pada tahun 1930, yaitu dalam bidang epilepsi. EEG menunjukkan adanya cetusan listrik di otak, di samping itu EEG juga menunjukkan pola cetusan gelombang otak yang berbeda. EEG bermanfaat untuk menentukan letak sumber cetusan listrik di otak. Dalam perkembangannya EEG juga berperan dalam persiapan terapi bedah untuk epilepsi, hal demikian ini dikembangkan sejak tahun 1950 baik di London, Montreal, maupun di Paris.
            Pada pertengahan abad ke 20, EEG permukaan menjadi alat standar untuk menentukan diagnosis dan klasifikasi serangan. Namun demikian, sebagaimana setiap penemuan alat baru, banyak terjadi penyalahgunaan, penggunaan yang berlebihan, maupun kesalahan interpretasi yang berkaitan dengan EEG. Hal ini terutama terjadi pada orang-orang yang tidak berpengalaman. Selama pertengahan pertama abad ke 20, obat utama untuk epilepsi adalah fenobarbital (1912) dan fenitoin (1938). Kemudian sejak tahun 1960 ditemukan berbagai macam OAE baru. Penemuan tersebut didasarkan atas pengetahuan yang maju tentang aktivitas elektrokimia di otak, terutama neurotransmitter pemacu (excitatory) dan penghambat (inhibitory).
            Pendorong lain dalam bidang kemajuan pengetahuan dan terapi epilepsi adalah ditemukannya comuterized axial tomography (CAT) scan, magnetic, resonance imaging (MRI), MRI spectroscopy, dan positron emission tomography (PET). Alat-alat tadi mampu mengungkapkan lesi di otak yang bertanggung jawab atas terjadinya epilepsi.
The International League Against Epilepsi (ILAE), suatu organisasi profesional yang memikirkan segala aspek epilepsi, didirikan pada tahun 1909. Pada tahun 1962 didirikan organisasi yang setara dengan ILAE, diberi nama The International Bureau for Epilepsi (IBE). Pada tahun 1997 kedua organisasi tersebut bersama-sama dengan WHO menyelenggarakan Global Anti-epilepsi Campaign.

C.      Klasifikasi Epilepsi
            Klasifikasi bangkitan epilepsi (ILAE, 1981) dibuat berdasarkan gejala klinik gambaran EEG saat serangan (iktal) dan diluar serangan (interiktal).
1)                  Bangkitan fokal
a.       Sederhana
Manifestasi klinik dapat bervariasi tergantung dari susunan saraf pusat yang terkena, dapat menetap atau menyebar tetapi terbatas pada satu hemisfer sehingga bangkitan dapat terjadi pada salah satu bagian tubuh dan dapat menyebar pada sisi tubuh yang sama. Bangkitan ini dapat terlihat sebagai gangguan motorik dengan adanya kejang tonik-klonik pada satu bagian tubuh, terutama kepala atau mata, bangkitan postural dimana lengan atau tungkai menjadi kaku pada sikap tertentu, gangguan fonasi atau bicara. Bangkitan somato-sensorik berupa perasaan seperti ditusuk jarum, rasa sebal, rasa nyeri atau terbakar. Bangkitan sensorik khusus berupa bangkitan visual biasanya sederhana dan tidak terbentuk. Bangkitan auditorik berupa bisikan, bunyi lonceng. Bangkitan olfaktorik dengan tercium bau biasanya yang tidak menyenangkan seperti bau mayat, tinja dan lain-lain. Bangkitan gustatorik dengan halusinasi rasa kecap. Bangkitan vertigo dengan rasa berputar dapat dirinya atau benda disekitarnya, bangkitan otonom sebagai muntah, pucat, berkeringat, inkontinensia urine atau tinja dapat pula berupa bangkitan psikis berupa perubahan dari ingatan akan suatu perjalanan, waktu, keadaan seperti bermimpi, de javu (kembali ke keadaan lampau) dan jamais’vu (tak mengenal kembali kejadian lampau). Bangkitan gangguan kognitif dengan distorsi waktu dan depersonalisasi. Bangkitan dengan gejala afektif dengan rasa sangat senang, rasa takut, depresi.
b.      Kompleks
Bila bangkitan parsial sederhana disertai ganguan kesadaran. Yang dimaksud dengan gangguan kesadaran disini tidak hanya derajat kuantitatif saja (somnolent, sopor), juga perubahan derajat kesiagaan (awareness yaitu kontak penderita dengan kejadian dan kemampuan mengingat kembali kejadian dan respons penderita terhadap rangsang luar yaitu kemampuan penderita untuk melaksanakan suatu perintah atau gerakan yang dikehendaki).
c.       Umum sekunder
Bila bangkitan parsial sederhana atau parsial kompleks berkembang umum tonik klonik disertai gangguan kesadaran.



2)                  Bangkitan umum
a.       Lena (absence)
Dimana terjadi kehilangan kesadaran biasanya singkat sekali (beberapa detik sampai setengah menit) ditandai dengan penghentian aktifitas yang sedang berlangsung, pandangan kosong disertai rotasi bola mata ke atas, dapat disertai gerakan motorik ringan, misalnya kedutan pada kelopak mata atau sudut mulut, mulut mengecap-ngecap serangan biasanya sering, dalam satu hari dapat beberapa ratus kali. Biasanya terdapat pada anak-anak usia 3 sampai 15 tahun, gambaran EEG khas yaitu adanya gelombang 3 spd, dahulu dikenal sebagai petitmal, ditemukan pada 40% penderita lena.
b.      Mioklonik
Mioklonik terjadi kontraksi otot yang bersifat menyentak (jerking) serangan mioklonik dapat berulang dengan cepat atau hanya sekali-sekali.
c.       Tonik, klonik atau tonik-klonik
Bangkitan umum tonik, klonik atau tonik-klonik merupakan serangan berupa gangguan kesadaran dikuti oleh keadaan tonik sampai pada otot pernafasan sehingga terjadi stridor dan jeritan epileptic diikuti oleh kejang tonik klonik pada seluruh tubuh. Bangkitan ini telah dikenal sebagai granmal. Jenis bangkitan ini dapat dimulai ada masa anak-anak sampai dengan dewasa.
d.      Atonik
Bangkitan umum atonik, penderita kehilangan tonus otot secara mendadak sehingga terjatuh, bila berlangsung singkat terjadi drop attack.

D.      Patofisiologi Epilepsi
            Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan daripada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraselular, voltage-gated ion-channel opening, dan menguatnya sinkroni neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraselular dan intraselular, dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menerobos membran neuron.
            Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian “mengajak” neuron-neuron sekitarnya atau neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersama-sama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi membuktikan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat bervariasi.
            Beberapa keadaan yang dapat mencetuskan bangkitan epilepsi diantaranya faktor genetik dimana sel neuron mempunyai faktor instrinsik untuk terjadinya lepas muatan listrik yang abnromal, perubahan pada sel yang ditimbulkan oleh gangguan keseimbangan elektrolit misalnya anoksia, hipoksia, hipokapnia, hipoglikemia, hiperglikemia, hipokalssemia, dehidrasi, gangguan hormon adrenal dan progestron, gangguan pelepasan neurotransmitter misalnya pada kerusakan serebral atau adanya toksin

E.       Jenis-jenis Serangan Epilepsi
Serangan epilepsi sangat bervariasi, walaupun demikian secara individual serangan epilepsi bersifat stereotipik. Sebagian besar penderita epilepsi tidak menunjukkan kelainan fisik, serangan hanya berlangsung sepintas tanpa dapat diperkirakan sebelumnya. Sementara itu, serangan epilepsi bervariasi dalam waktu, tingkat penurunan kesadaran, perasaan subjektif (sensorik), manifestasi objektif (motorik, kejang), dan perubahan psikologis.
Serangan epilepsi yang nonkonvulsif lebih sulit dikenali daripada yang bersifat konvulsif dan akan lebih sulit lagi apabila serangan nonkonvulsif tadi disertai oleh perubahan status mental, perubahan tingkah laku, atau gejala psikiatrik lainnya. Hal demikian ini juga berlaku untuk status epilepatikus yang bersifat nonkonvulsif.
1)                  Epilepsi lobus temporalis (ELT)
Pada umumnya epilepsi yang tidak terdiagnosis termasuk dalam kelompok epilepsi parsial terutama yang tidak mempunyai gejala kejang. Dari kelompok ini yang paling menonjol adalah ELT atau epilepsi psikomotor. ELT meliputi sepertiga dari seluruh jenis epilepsi yang serangannya sering melibatkan unsur psikis. Manifestasi ELT sangat bervariasi, berupa sensasi epigastrik, halusinasi, gangguan memori, keadaan seperti mimpi, otomatisme primer, gangguan afektif dan hipergrafia.
a.       Sensasi epigastik
Sensasi epigastrik sebenarnya lebih merupakan halusinasi somatik, biasanya hanya berupa rasa tidak enak bercampur dengan perasaan takut. Sensasi epigastrik ini biasanya naik ke dada, tenggorokan, dan kemudian ke mulut. Variasi lainnya adalah munculnya sensasi tertentu di daerah mulut dan bibir sehingga mulut penderita berkomat-kamit atau mengecapkan lidah dan bibir berkali-kali. Gejala-gejala tersebut bersumber pada fokus epilepsi di lobus temporalis bagian anterior dan kadang-kadang melibatkan amigdala.
b.      Halusinasi
Pada ELT dapat terjadi halusinasi pembauan atau penghidupan, pengecapan lidah, pendengaran, penglihatan dan vestibular. Gangguan visual kadang-kadang lebih bersifat ilusi daripada halusinasi, misalnya benda-benda terlihat lebih kecil (mikropsia), terlihat lebih jauh atau terlihat terpilin. Pada beberapa penderita dapat terjadi perubahan orientasi visual secara mendadak ataupun perubahan dalam hal depth perception. Halusinasi kadang-kadang disertai oleh perubahan dalam apresiasi terhadap kecepatan atau intonasi bicara serta gangguan persepsi waktu. Fenomena vestibular dapat berupa vertigo paroksismal.
c.       Gangguan memori
Gangguan memori dan keadaan seperti mimpi meliputi dysmnesic syndrome (deja vu, jamais vu) dan keadaan seperti mimpi. Penderita sering merasa seakan-akan melayang-layang atau terapung-apung atau merasa bahwa antara jiwa dan raganya seolah-olah terpisah. Di samping itu sering pula terdapat gangguan afektif yang berupa perasaan takut, panik, cemas, ekstase, depresi atau kombinasi dari berbagai episoda tadi. Hal-hal tadi merupakan fenomena temporolimbik.
d.      Hipergrafia
Hipergrafia meliputi tiga hal pokok, ialah cara penulisan (misalnya memakai bayangan cermin, kode, warna tinta yang berbeda-beda kaligrafi), ritualized script exessive (misalnya panjang tulisan dan/atau frekuensi serta lamanya menulis), dan isi atau tema tulisan (misalnya filosofi, etika, moral, agama). Hipergrafia merupakan salah satu perubahan tingkah laku (yang lainnya adalah hiperemosionalisme, obsesionalisme, religiousity, perubahan tingkah laku seksual dan circumstantiality) yang terdapat pada ELT. Namun demikian hubungan antara disfungsi lobus temporalis dengan perubahan tingkah laku tadi masih belum jelas benar.
e.       Aura
Serangan epilepsi pada ELT dapat bersifat tunggal. Serangan tunggal ini dapat berfungsi sebagai aura apabila sesudah serangan tadi muncul serngan-serangan epilepsi lainnya. Dengan demikian aura merupakan tanda dari serangan parsial kompleks.
2)                  Epilepsi refleks
Di samping ELT maka ada jenis epilepsi lainnya yang sulit dikenali sehingga dapat lolos dari diagnosis epilepsi. Epilepsi refleks (ER) adalah salah satu contoh epilepsi yang dapat membingungkan penderita, keluarganya, atau bahkan dokter yang memeriksanya. Yang membingungkan bukan jenis serangannya melainkan kejadian-kejadian sebelum munculnya serangan. Pada ER terdapat serangan secara teratur, dalam bentuk serangan parsial maupun umum, sesudah penderita menerima rangsang tertentu yang jelas diketahui jenisnya. Fenomena ini seringkali dipergunakan dalam pemeriksaan EEG yang memanfaatkan stimulasi fotik dan hiperventilasi. Istilah ER mengandung makna yang luas. Sejak munculnya laporan tentang beberapa kasus ER sebagai akibat dari parasit dalam usus, masturbasi, dan lain-lain yang bersifat noncausative faktors maka terjadilah kebingungan dalam hal makna ER yang sebenarnya. Sehubungan dengan hal ini, Penfield dan Erickson pada tahun 1941 mengusulkan istilah yang dianggap lebih cermat dan speisifk, ialah sensory-precipitated seizures.
a.         Photic-induced epilepsi
Epilepsi jenis ini disebut pula sebagai photosensitive epilepsi, merupakan salah satu jenis ER yang membingungkan penderita, keluarga, maupun dokter yang memeriksanya. Epilepsi jenis ini dapat terjadi dalam berbagai keadaan misalnya perubahan sinar yang redup menjadi terang benderang, berkendaraan di sepanjang deretan pepohonan di mana sinar matahari menerobos sela-sela dedauanan, melihat roda berputar, melihat bandul berayun, melihat kedipan cahaya televisi atau lampu neon, dan bahkan dapat self-induced ialah ketika penderita melambaikan tangan di antara matanya dengan sumber cahaya. Jenis serangan epilepsi bervariasi dari gerakan yang tak bermakna, lena, sampai kejang umum.
b.         Pattern-evoked seizures
Sebagaimana photic-induced epilepsi maka jenis serangan seperti ini termasuk kelompok visually-induced epilepsi dan lebih jarang dijumpai. Apabila penderita melihat pola khusus atau tertentu misalnya kisi-kisi atau deretan garis vertikal atau horizontal, maka akan muncul serangan lena. Sebagai contoh, keluarga penderita tidak menyadari adanya fenomena ini, tetapi setelah ditelusuri secara retrospektif maka terungkap bahwa penderita mengalami serangan epilepsi berulang kali setiap kali dia mengenakan pakaian bermotif kotak-kotak atau bergaris.
c.         Eye-closure seizures
Jenis serangan ini juga termasuk kelompok visually-induced epilepsi, disebut pula dengan closing-the-eyes epilepsi. Kedipan atau tertutupnya mata dapat menginduksi paroxysmal discharges yang tampak pada EEG serta merangsang munculnya serangan epilepsi.
Ada beberapa pandangan mengenai mekanisme terjadinya serangan secara reflektorik tadi. Diperkirakan bahwa serangan tadi didasarai oleh mekanisme proprioseptif, kemudian ada pula yang berpendapat bahwa serangan tadi didasari oleh mekanisme hubungan antara menutupnya kelopak mata dengan pusat kesadaran di formasio retikularis. Di samping itu ada pula yang menduga bahwa mekanismenya didasari oleh penekanan tangsang visual secara mendadak. Namun demikian semuanya tadi tidak memberikan kejelasan. Kemudian muncul teori lain yang mengatakan bahwa serangan tadi mungkin disebabkan oleh cahaya yang menerobos sela-sela atau celah palpebra.
d.        Eating-evoked epilepsi
Serangan epilepsi diinduksi oleh aktifitas makan (mengunyah, menelan). Jenis epilepsi ini merupakan ER kompleks yang bersumber di lobus temporalis dan daerah suprasylvii. Pada umumnya penderita tidak menyadari adanya hubungan antara serangan epilepsi yang ada dengan aktivitas makan. Bagi yang menyadari fenomena ini maka penderita cenderung takut untuk makan dengan akibat berat badan menurun dan berikutnya terjadi gangguan nutrisi.
Serangan mioklonik pada jenis ER ini dirangsang oleh proses menelan makanan. Dalam hal ini rangsangan tidak dipengaruhi oleh suhu, rasa, susunan, makanan, lamanya makan atau tingkat proses menelan. Serangan epilepsi dimulai dengan kehilangan kesadaran secara singkat, sering diiringi oleh otomatisme dan kemudian diikuti oleh kelemahan otot faring, laring, lidah, wajah, dan leher. Dengan demikian terjadi kelemahan otot-otot bulbar, penderita tidak mampu menelan dan berbicara, sementara itu penderita masih tetap mengerti semua perintah yang bersifat kompleks. Serangan tadi disertai oleh gelombang paku (spike waves) pada EEG yang berasal dari fisura Sylvii kiri.
e.         Language epilepsi
Bentuk lain dari ER adalah language epilepsi yang didominasi oleh reading epilepsi. Dikenal dua jenis reading epilepsi ialah primary reading epilepsi (PRE) dan secondary reading epilepsi (SRE). Untuk pertama kali kasus PRE dilaporkan oleh Bickford et al. pada tahun 1956. Manifestasi PRE meliputi serangan mioklonik yang singkat pada otot rahang, wajah, dan lidah sering kali disertai vokalisasi, kehilangan kesadaran sejenak, serta kehilangan sebagian kalimat yang sedang dibacanya.s erangan berupa kejang tonik-klonik.
Ciri lain dari PRE adalah terjadi pada usia dasawarsa kedua, riwayat keluarga positif, tidak ada defisit neurologis. Ciri-ciri tadi untuk membedakan antara PRE dan SRE. Pada SRE serangannya tidak bergantung pada aktivitas membaca, tidak ada mioklonik otot rahang, dan resting EEG biasanya abnormal. Sementara itu pada PRE menunjukkan resting EEG yang normal dan ketika sedang membaca maka pada rekaman EEG muncul gelombang epileptiform.
Serangan pada reading epilepsi tidak berhubungan dengan materi yang sedang dibaca, namun demikian ada kasus yang mengalami serangan ketika sedang membaca bahasa asing di mana penderita berusaha untuk memahaminya. Ada pula kasus yang menunjukkan serangan pada saat sedang menulis, mengetik main piano, dan membaca notasi musik tanpa syair. Berdasarkan kasus-kasus tersebut timbul kesan bahwa reading epilepsi  merupakan suatu ganguan komunikasi dan serangannya dirangsang oleh aktivitas fungsi luhur.
f.          Auditory-evoked seizures
Rangsangan pada ER jenis ini bersifat spesifik misalnya dering pesawat telepon, suara tertentu, atau musik tertentu. Ada pula rangsangan yang tidak spesifik misalnya suara yang keras dan mendadak. Pada startle of acousticomotor seizures rangsangan suara bersifat sangat mengejutkan dengan gejala myoclonic jerk yang bersifat tunggal dan kemudian mncul berulang-ulang disusul oleh kejang tonik dan akhirnya kejang tonik-klonik. Pada musicogenic seizures timbul serangan psikomotor disertai adanya gelombang distrimik di daerah lobus temporalis.
g.         Eyelid myoclonia
Eyelid myoclonia (EM) ada yang disertai absence (EMA) dan ada yang tanpa absence. untuk pertama kali EMA dilaporkan oleh Jeavons pada tahun 1977. Sampai dengan tahun 1996 ada 9 laporan dan konfirmasi mengenai EMA tadi. Pada awalnya EMA disalahartikan sebagai tic atau manerisme. Gambaran klinisnya adalah sebagai berikut adalah mata berkedip-kedip bersama-sama dengan kepala mendongak tersentak-sentak dan bola mata melirik ke atas secara ritmis. Gerakan tersebut berlangsung singkat, dalam satu hari dapat terjadi ratusan kali, disertai dengan penurunan kesadaran, dipicu oleh sinar matahari atau cahaya yang berkedip-kedip.
3)                  Unclassified seizures
a.         Versive seizures
Serangan epilepsi dicirikan oleh gerakan memalingkan kepala ke arah satu sisi dan disertai oleh lirikan bola mata ke arah yang sama. Untuk pertama kalinya kasus ini dilaporkan oleh John Hughlings Jackson pada tahun 1880. Gerakan tersebut berlangsung beberapa detik yang kemudian diteruskan dengan kejang atau berhenti begitu saja. Kadang-kadang kepala dan badan bersama-sama bergerak memutar ke arah satu sisi, gerakan ini terjadi secara mendadak. Dikenal adanya contraversive seizures kepala berpaling ke arah yang berlawanan dengan fokus epilepsi. Sedang ipsiversive seizures kepala berpaling ke arah fokus epilepsi. Keduanya bersumber pada fokus epilepsi di lobus frontalis, temporalis, atau oksipitalis.
b.        Volvular epilepsi
Epilepsi jenis ini dicirikan oleh gerakan berputar, dengan langkah-langkah kecil, satu sampai dengan beberapa kali putaran, sementara itu penderita tetap sadar tetapi tidak mampu berbicara. Pada beberapa kasus dapat pula diakhiri dengan kejang umum dan penurunan kesadaran. Fokus epilepsi tidak terbatas di daerah temporal saja tetapi juga terdapat di daerah frontal bagian depan, parietal, dan oksipital.
Versive seizures dan volvular epilepsi menunjukkan gerakan mendadak dan aneh (terutama bagi awam) sehingga ada kemungkinan dicarikan pertolongan kepada ihak nonmedik. Sementara itu bagi klinis ada kemungkinan bahwa gerakan tersebut dianggap sebagai perubahan tingkah laku atau sekedaar sebagai suatu tortikolis spasmodik.
c.         Aphasic seizures
Jenis serangan ini bersifat sepintas dan dapat muncul sebagai satu-satunya manifestasi klinis. Pada beberapa kasus serangan afasia diikuti oleh gerakan klonik pada otot wajah. Komponen afasia ini pada umumnya merupakan suatu serangan yang dirangsang oleh musik dengan sifat suara tertentu. Dengan demikian ada yang mengganggap atau memasukkannya ke dalam jenis musicigenic epilepsi.
d.        Epileptic dizziness
Dizziness diartikan sebagai perasaaan kehilangan keseimbangan dalam waktu sepintas. Dizziness dapat muncul sebagai akibat gangguan fungsi sistem vestibular di sembarang tempat antara telinga dan korteks serebri. Di samping itu dapat pula terjadi pad multplesclerosis dan hiperventilasi yang berkaitan dengan kecemasan atau ketegangan emosional.
Epileptic dizziness diperkenalkan oleh John Hughllings Jackson dan kemudia oleh Gowers lebih dari 100 tahun yang lalu. Serangan ini sering mucnul sebagai bagian dari aura ada kejang umum. Namun demikian epilepsi jenis ini lebih spesifik untuk epilepsi lobus temporalis. Pada beberapa kasus serangan dapat bersifat tunggal yang muncul secara periodik dan didukung oleh gambaran EEG yang abnormal dengan berbagai jenis gelombang, tanpa disertai gangguan fungsi vestibular.

F.       Penyebab dan Pemicu Serangan Epilepsi
1.      Penyebab
            Pada epilepsi tidak ada penyebab tunggal. Banyak faktor yang dapat mencederai sel-sel saraf otak atau lintasan komunikasi antar sel otak. Lebih kurang 65 % dari seluruh kasus epilepsi tidak diketahui faktor penyebabnya. Beberapa faktor yang sudah diketahui yaitu : trauma kepala, demam tinggi, stroke, intoksikasi (termasuk obat-obatan tertentu), tumor otak, masalah kardivaskular, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi (ensefalitis, meningitis), dan infestasi parasit terutama cacing pita. Apabila diketahui faktor-faktor tersebut maka epilepsi yang ada disebut epilepsi simtomatik. Sementara itu epilepsi yang faktor penyebabnya tidak diketahui disebut epilepsi idiopatik.
            Untuk mencari faktor penyebab maka diperlukan anamnesis yang cermat dan lengkap. Kejang demam merupakan salah satu factor resiko yang sering diperdebatkan. Kejang demam sederhana terjadi pada 3-5 % anak-anak berusia 6 bulan sampai 5 tahun yang sebelumnya dalam keadaan sehat. Stroke merupakan faktor resiko epilepsi yang penting khususnya pada kelompok lanjut usia. Penderita yang mengalami stroke memiliki kemungkinan 20 kali lebih besar untuk epilepsi daripada populasi umum.
Faktor penyebab epilepsi sungguh sangat banyak, dapat bersifat tunggal maupun dalam bentuk kombinasi. Upaya untuk mencari faktor penyebab antara lain pemeriksaan darah, pemeriksaan cairan serebrospinal, CT scan, dan MRI. Berikut ini adalah daftar penyebab epilepsi.
1)                                         Idiopatik (penyebab tidak diketahui)
a.    Terjadi pada umur berapa saja, terutama kelompok umur 5-20 tahun.
b.    Tidak ada kelainan neurologis
c.    Ada riwayat epilepsy pada keluarganya
2)                 Defek kongenital dan cedera perinatal
Munculnya serangan pada usia bayi atau anak-anak
3)                 Kelainan metabolik
a.    Terjadi pada umur berapa saja
b.    Komplikasi dari diabetes melitus
c.    Ketidakseimbangan elektrolit
d.   Gagal ginjal dan uremia
e.    Defisiensi nutrisi
f.     Intoksikasi alkohol atau obat-obatan
4)                 Trauma kepala
a.    Terjadi pada umur berapa saja, terutama pada dewasa muda
b.    Terutama pada kontusio serebri
c.    Munculnya serangan biasanya 2 tahun pasca cedera
d.   Bila muncul awal (2 minggu pascacedera) biasanya tidak menjadi kronis
5)                 Tumor dan proses desak ruang lainnya
a.    Terjadi pada umur berapa saja, terutama umur di atas 30 tahun
b.    Pada awalnya berupa serangan parsial
c.    Kemudian berkembang menjadi serangan umum tonik-klinik
6)                                         Gangguan kardivaskular
Terutama karena stroke dan pada lanjut usia
7)                                         Infeksi
a.    Dapat terjadi pada umur berapa saja
b.    Mungkin bersifat reversible
c.    Dalam bentuk ensefalitis, meningitis, abses
d.   Dapat meruapakn akibat dari infeksi berat di bagian lain
e.    Infeksi kronis (sifilis)
f.     Komplikasi dari AIDS
8)                                         Penyakit degeneratif
a.    Terutama pada lanjut usia
b.    Demensia Alzheimer

2.      Pencetus serangan
            Dalam penatalaksanaan epilepsy perlu ditanyakan hal-hal yang terjadi sebelum muncul serangan, misalnya kelelahan fisik, kelelahan mental, kurang minum, kurang tidur, terkena sinar matahari secara langsung, dan sinar dari layar monitor televise maupun computer. Hal-hal tersebut sangat penting untuk mencegah terjadinya serangan.
1)      Cahaya tertentu
Cahaya tertentu dapat merangsang terjadinya serangan. Epilepsi demikian disebut sebagai epilepsi fotosensitif atau fotogenik. Cahaya yang mampu merangsang terjadinya serangan adalah cahaya yang berkedip-kedip atau menilaukan.
2)      Kurang tidur
Diduga bahwa kurang tidur dapat menurunkan ambang serangan yang kemudian memudahkan terjadinya serangan.
3)      Faktor makan dan minum
Faktor makan dan minum sehari-hari dapat menjadi masalah pada penderita epilepsi. Makan dan minum harus teratur, jangan sampai terlalu lapar dan  terlalu haus ataupun sebaliknya.
4)      Suara tertentu
Suara tertentu dapat merangsang terjadinya serangan. Epilepsi jenis ini disebut epilepsi audiogenik atau epilepsi musikogenik. Suara dengan nada tinggi atau berkualitas keras dapat menimbulkan serangan.
5)      Reading dan eating epilepsy
Reading epilepsy adalah serangan dirangsang oleh kegiatan membaca. Eating epilepsy menunjukkan bahwa serangan terjadi pada saat penderita mengunyah makanan.
6)      Lupa atau enggan minum obat
Lupa minum obat dapat menimbulkan serngan bahkan serangan yang muncul dapat lebih lama atau lebih berat.
7)      Drug abuse
Kokain dapat menimbulkan serangan dalam waktu beberapa detik, menit, atau jam sesudah mengkonsumsinya.
8)      Mensturasi
Hal ini berkaitan dengan kadar esterogen yang tinggi dan rendahnya kadar progesteron.
9)      Stres
Stress dapat mempengaruhi fungsi otak melalui berbagai cara. Stress berkaitan dengan berbagai jenis emosi yang tidak mengenakkan perasaan misalnya khawatir, takut, depresi, frustasi, dan marah.

G.      Epidemiologi Epilepsi
            Dibidang ilmu penyakit syaraf menduduki urutan kedua setelah gangguan peredaran darah otak. Insidens epilepsi diberbagai negara bervariasi antara 0,2% sampai 0,7% bahkan di negara berkembang diperkirakan mencapai 1%, sedangkan di Indonesia pada tahun 1983 diperkirakan terdapat 1 juta penderita, laki-laki lebih banyak daripada wanita. Bangkitan epilepsi dapat dimulai pada semua umur, tetapi terdapat perbedaan frekuensi yang menyolok pada kelompok umur tertentu 30%-32,9% penderita mendapat bangkitan pertama pada umur kurang dari 4 tahun, 50%-51,5% pada usia kurang dari 10 tahun dan 75%-83,4% pada umur kurang dari 20 tahun.
1.        Faktor Resiko
            Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yang penyebabnya bervariasi, terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi tidak diketahui faktor penyebabnya disebut idiopatik. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik, sedangkan epilepsi yang dapat ditentukan faktor penyebabnya disebut epilepsi simptomatik. Pada epilepsi idiopatik diduga adanya kelainan genetik. Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia serangan pertama kali, misalnya usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor adalah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat, struktural, penyakit metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit trauma kepala dan lain-lain. Diperkirakan epilepsi disebabkan oleh keadaan yang mengganggu stabilitas neuron-neuron otak yang dapat terjadi pada saat prenatal, perinatal atau postnatal. Faktor prenatal dan perinatal saling berkaitan dalam timbulnya gangguan pada janin atau bayi yang dilahirkan yang dapat menyebabkan epilepsi.
a.         Faktor Prenatal
b.         Faktor Natal
c.         Faktor Postnatal
d.        Faktor Herediter (Keturunan)
Faktor herediter memiliki pengaruh yang penting terhadap beberapa kasus epilepsi. Apabila seseorang mengidap epilepsi pada masa kecilnya, maka saudara kandungnya juga memiliki resiko tinggi menderita epilepsi. Demikian pula pada anak-anak yang akan dilahirkan.
e.                   Jenis kelamin
Lelaki lebih berisiko terkena epilepsi daripada wanita. Dari suatu penelitian yang dilakukan oleh Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, didapatkan bahwa pria lebih sering menderita kerusakan otak yang tidak fatal misalnya cedera kepala. Sedangkan penderita wanita lebih cepat  menyembunyikan penyakitnya dan tidak mencari pengoobatan.
f.                   Cedera kepala
Cedera ini bertanggung jawab pada banyak kasus epilepsi. Hal ini dapat dikurangi resikonya dengan selalu menggunakan sabuk pengaman ketika mengendarai mobil dan menggunakan helm ketika mengendarai motor, bermain ski, bersepeda atau melakukan aktifitas lain yang berisiko terkena cedera kepala.
g.                  Strok dan penyakit vaskular lain
Ini dapat menyebabkan kerusakan otak yang memicu epilepsi. Kita dapat mengambil beberapa langkah untuk mengurangi risiko penyakit-penyakit tersebut, termasuk adalah batasi untuk mengkonsumsi alkohol dan hindari rokok, makan makanan yang sehat dan selalu berolahraga.
h.                  Infeksi pada otak
Infeksi seperti meningitis, menyebabkan peradangan pada otak atau tulang belakang dan menyebabkan peningkatan risiko terkena epilepsi.
2.        Distribusi
  1. Orang
            Di Indonesia sendiri, belum ada angka pasti yang menunjukkan berapa prevalensi dan insidensi dari penyakit epilepsi. Namun, menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) tahun 2012, diperkirakan penderita epilepsi aktif saat ini adalah 1,8 juta per 220 juta penduduk Indonesia. Sedangkan perkiraan penderita baru yaitu 250.000 penderita pada tahun 2012. Selain itu, ada juga data dari WHO tahun 2005. Dilaporkan dari 108 negara meliputi 85,4% dari jumlah penduduk di dunia, ada sekitar 43.704.000 orang dengan epilepsi. Ini berarti jumlah rata-rata orang dengan epilepsi adalah 8,93 per 1000 penduduk. Jumlah rata-rata orang dengan epilepsi per 1.000  populasi bervariasi di seluruh wilayah. Penderita epilepsi lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. WHO menyatakan bahwa informasi mengenai jumlah orang dengan aktif epilepsi tidak diperoleh dan informasi mengenai jumlah orang dengan epilepsi pada kelompok-kelompok khusus misalnya anak-anak juga tidak diperoleh. Data mengenai jumlah orang dengan epilepsi tidak dikumpulkan dengan menggunakan metode penelitian yang ketat sebagaimana studi epidemiologi, metode tersebut mahal dan tidak mudah untuk melaksanakannya. Sumber informasi bervariasi dari seluruh negara yang melaporkan. Sebagai contoh, beberapa responden memberikan angka berdasarkan prevalensi umum atau temuan dari satu wilayah tertentu negara atau jumlah orang yang memenuhi syarat untuk memakai obat antiepilepsi.
  1. Tempat
            Insidens (jumlah kasus baru per tahun) epilepsi adalah 24-53 per 100.000 penduduk di negara maju. Di negara berkembang insidens epilepsi adalah 49,3-190 per 100 000 penduduk. Kasus baru lebih banyak terjadi di negara berkembang. Jumlah rata-rata orang dengan epilepsi di  negara berpenghasilan tinggi adalah berkisar 7,99 per 1.000  penduduk dan 9,50 di negara-negara berpenghasilan rendah. Berikut ini adalah grafik distribusi rata-rata jumlah penderita epilepsi di dunia.
            Dari data di atas dapat dilihat bahwa jumlah rata-rata orang yang menderita epilepsi di Amerika adalah 12,59 per 1000 penduduk, 11,29 per 1000 penduduk di Afrika, dan seterusnya.
  1. Waktu
Epilepsi dapat terjadi kapan saja, tidak ada batasan waktu tertentu.




H.           Diagnosa epilepsi
            Evaluasi penderita dengan gejala yang bersifat paroksismal, terutama dengan factor penyebab yang tidak diketahui, memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus untuk dapat menggali dan menemukan data yang relevan. Penegakan diagnosis harus dilaksanakan secara runtut dan terarah.
1)                 Anamnesis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.
a.    Kecermatan anamnesis
Laporan dari penderita dan saksi mata sangat bermanfaat untuk mengarahkan diagnosis. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis.
b.    Mode of onset
Mode of onset merupakan gambaran klinis yang harus dirinci secara jelas.
c.    Aura
Pemeriksaan harus mengajukan pertanyaan secara sistematik, baik kepada penderita maupun saksi mata tentang aura, yang mungkin bersifat samar-samar atau tidak menentu gambarannya. Bentuk-bentuk aura yang dapat digambarkan lebih jelas antara lain sensasi aneh di dalam perut, dada, atau kepala, perasaan kesemutan dan lainnya.
d.   Kejadian selama dan sesudah serangan
Kejadian selama serangan harus dirinci dideskripsikan secara tepat. Kondisi sesudah serangan bermanfaat untuk menentukan perjalanan serangan.
2)         Pemeriksaan fisik
            Pemeriksaan fisik harus menapis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada penderita yang lebih tua, auskultasi di daerah leher penting untuk mendeteksi penyakit vascular. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan pertumbuhan.
3)         Elektro-ensefalografi
            Elektroda yang ditempelkan ke kulit kepala dengan pasta konduktif dapat mendeteksi aktifitas listrik spontan di otak. EEG melukiskan aktifitas otak sebagai gelombang, frekuensi gelombang di ukur per detik (Hz). Pada epilepsy pola EEG dapat membantu untuk menentukan jenis dan lokasi serangan.
4)         Rekaman video-EEG
            Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningktkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan.
5)         Pemeriksaan radiologis
            Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging studies bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitive dan secara anatomic akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri. Di samping itu MRI juga dapat mengidentifikasi kelainan pertumbuhan otak, tumor yang berukuran kecil, malformasi vascular tertentu, dan penyakit demielinisasi.

I.         Pengobatan Epilepsi
            Serangan epilepsi dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah agar tidak kambuh. Obat yang dimaksud adalah obat antikonvulsan atau obat antiepilepsi. Pengobatan epilepsi berlangsung lama. Hal ini harus dicamkan oleh penderita dan keluarganya.
Tabel Obat antikonvulsan yang lazim digunakan
Nama Generik
Nama Dagang
Fenobarbital, Luminal

Fenitoin

Karbamazeptin
Dilantin
Diazepam
Tegretol, Temporol
Klonazepam
Stesolid, Valium
Primidon
Rivotril
Valproat
Epilim, Leptilan


1.      Fenobarbital (Luminal)
Fenobarbital mulai digunakan sebagai obat antikonvulsan pada tahun 1912. Harganya murah, toksisitasnya rendah (cukup aman) dan dapat diperoleh di semua apotek. Fenobarbital dapat digunakan terhadap hampir semua jenis epilepsi, misalnya : grandmal, psikomotor, fokal motor. Dosis bagi orang dewasa 60-180 mg tiap 24 jam. Dosis umum pada anak 5-8 mg/kg.obat ini biasanya diberikan sehari sekali waktu malam atau 2 x sehari.obat ini dinaikkan dosisnya 30 mg setiap minggu.
Efek samping dari fenobarbital adalah rasa kantuk. Ini dapat terjadi pada waktu permulaan pengobatan dan biasanya berkurang atau menghilang setelah beberapa hari pengobatan, rasa mengantuk ini dapat mengurangi kelincahan berfikir anak yang sedang bersekolah. Bila perlu penderita dapat minum kopi untuk mengurangi rasa mengantuk. Pada dosis yang lebih tinggi dapat terjadi gangguan koordinasi motorik (ataksia) dan nistagmus (gerakan-gerakan pada bola mata).
Pada anak, fenobarbital sering mengakibatkan hiperaktivitas. Anak menjadi banyak bergerak, sukar duduk diam untuk jangka waktu yang cuku, lama ia tidak dapat berkonsentrasi pada satu topik selama beberapa menit, karena perhatiannya mudah sekali beralih. Dan reaksi alergi sesekali dapat terjadi.
2.      Difenilhidantoin (Phenytoin, Dilantin)
Obat difenilhidantoin digunakan terhadap epilepsi sejak tahun 1938. Obat ini berkhasiat baik terhadap epilepsi jenis grandmal, jenis fokal dan psikomotor. Obat ini tidak berkhasiat terhadap jenis petit mal dan terhadap kejang demam.
Pada penderita epilepsi yang bersekolah atau bekerja, lebih cocok memakai obat difenilhidantoin (DFH) daripada fenobarbital. DFH kurang menyebabkan rasa mengantuk dibanding fenobarbital. Pada anak yang bersekolah dan orang dewasa yang bekerja rasa mengantuk harus dihindari agar mereka dapat berkonsentrasi dengan baik. Dosis DFH berkisar antara 4-10 mg/kilogram berat badan/hari. Pada orang dewasa ini dapat diberi satu kali atau dibagi dua kali sehari. Pada anak yang berat badannya kurang dari 30 kilogram, diberikan dalam 3 dosis sehari. Dengan dosis tersebut di atas diharapkan kadar DFH di dalam darah berada antara 10-20 mikrogram/ml (=kadar terapetik bagi DFH).
Efek samping dari DFH, pada dosis terapetik, yaitu pada kadar obat di dalam darah yang berkisar antara 10-20 mikrogram/ml, umumnya tidak terjadi rasa mengantuk. Pada dosis yang lebih tinggi, dengan kadar DFH di dalam darah yang lebih tinggi, dapat terjadi sedasi (mengantuk,tidur), nistagmus (gerak ritmik bola mata), ataksia (gangguan koordinasi sistem motorik).
Pada orang dewasa nistagmus umumnya muncul bila kadar obat di dalam darah lebih besar dari 20 mikrogram/ml. Ataksia timbul pada kadar lebih 30 mikrogram/ml, dan sedasi terlihat pada kadar lebih dari 40 mikrogram/ml. Pada anak gejala intoksikasi (keracunan) atau efek samping biasanya kurang tegas. Biasanya berupa kurang nafsu makan, mengantuk, prestasi sekolah menurun, ketidak stabilan dalam gerakan. Pada bayi sukar diketahui gejala intoksikasi DFH. Gejala ataksia dan diplopia (melihat kembar) yang sering merupakan gejala dini dari keracunan DFH, tidak mudah diketahui pada bayi. Itulah sebabnya DFH sebaiknya tidak digunakan pada bayi.
Reaksi alergi dijumpai pada kira-kira 5% penderita yang mendapat DFH, dengan gejala antara lain bercak-bercak merah di kulit. Bila didapatkan reaksi alergi, obat harus segera dihentikan. Gusi yang bertambah tebal (hiperplasia) kadang-kadang dijumpai pada penderita yang memakan obat DFH. Hal ini lebih sering dijumpai pada anak. Penebalan gusi ini mulai terlihat 2-3 bulan pengobatan. Timbulnya penebalan gusi ini dapat dicegah dengan meningkatkan kebersihan mulut dan gigi geligi. Penderita harus menggosok gigi secara teratur, 2-3 kali sehari. Bila perlu, hiperplasia gusi ini dapat diobati dengan pembedahan. Hipertrikhosis (rambut badan bertambah) dapat pula terjadi pada beberapa penderita yang mendapat DFH, dan mulai terlihat setelah mendapat obat lebih 2-3 bulan.
3.      Karbamazepin (Tegretol, Temporol)
Karbamazepin mulai digunakan sebagai obat antiepilepsi pada tahun 1974 di Amerika Serikat. Umumnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa karbamazepin merupakan antikonvulsan yang terutama efektif terhadap epilepsi jenis psikomotor. Namun, juga berkhasiat terhadap jenis grandmal dan jenis fokal motor. Karbamazepine tidak berkhasiat terhadap epilepsi jenis petit mal.
Karbamazepin juga mempunyaiefek psikotropik (berpengaruh baik terhadap keadaan psikis). Efek psikotropik ini dapat berupa penderitamenjadi lebih gesit, lebih bergairah, gangguan tingkah laku berkurang atau menghilang. Efek psikotropik ini dapat dijumpai pada segala jenis epilepsi. Karbamazepin kurang menyebabkan sedasi (rasa mengantuk) dibanding antikonvulsan lainnya. Efek psikotropik obat ini merupakan suatu keuntungan bagi anak yang menderita epilepsi jenis psikomotor, yang sering disertai gangguan tingkah laku.
Dosis karbamazepin ialah 10-30 mg/kilogram berat badan/hari pada anak, yang dibagi dalam 2-4 kali pemberian. Pada orang dewasa dosis berkisar antara 400-1600 mg/hari. Kadar terapetikdi dalam darah ialah 4,5-11 mikrogram/ml. Efek samping karbamazepin yang berkaitan dengan besarnya dosis ialah rasa capai, nistagmus, rasa puyeng (vertigo), gangguan koordinasi motorik (ataksia), bicara pelo dan melihat kembar (diplopia). Bila dosis dikurangi, gejala ini akan menghilang atau berkurang.
Dapat pula terjadi reaksi alergi, berkurangnya sel-sel darah putih dan trombosit, gangguan fungsi hati. Oleh karenanya harus diperiksa secara berkala keadaan darah dan fungsi hati. Dianjurkan agar pemeriksaan ini dilakukan tiap bulan selama tahun pertama pengobatan, dan setelah itu tiap tiga bulan. Bila terjadi reaksi alergi, obat harus segera dihentikan.
4.      Diazepam (Valium, Stesolid)-status epilepsi
Diazepam biasanya digunakan untuk kejang yang sedang berlangsung (status konvulsif) atau serangan epilepsi yang timbul secara beruntun (status epilepsi). Status epilepsi atau kejang yang berlangsung lama merupakan keadaan darurat. Keadaan ini harus segera diatasi dan diakhiri karena dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Serangan kejang atau epilepsinya dapat segera diakhiri dengan obat antikonvulsan diazepam, yang diberikan melalui pembuluh darah vena.
Bila pemberian melalui vena ini sulit (misalnya tenaga medis tidak ada, harus diberi oleh orang tuanya; atau mencari pembuluh darah vena sulit karena kecil pada bayi) diazepam dapat diberikan melalui dubur (per rektum). Dosis per rektum ini ialah 5 mg bagi bayi yang berat badannya kurang dari 10 kg, dan 10 mg bagi bayi atau anak yang berat badannya melebihi 10 kg untuk sekali pemberian. Bila kejang masih belum berhenti, pemberian diazepam dengan dosis yang sama dapat diulangi 15 menit kemudian.
Preparat diazepam yang dapat diberi per rektum yang dapat dibeli di apotek ialah Stesolid, dengan kemasan 5 mg dan 10 mg. jika anda mempunyai anak dengan epilepsi, mintalah resep dokter anda supaya ada persediaan obat tersebut di rumah.
Pemberian dilakukan dengan anak pada posisi miring menungging dan rektiol (preparat stesolid) diolesi ujungnya dengan minyak makan dan dimasukkan pipa saluran keluarnya ke dalam rektum (dubur) sedalam 3-5 cm. kemudian rektiol dipijat sampai kosong dan selanjutnya untuk beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara merapatkan kedua otot pantatnya. Penderita yang mengalami kejang lama atau serangan epilepsi beruntun harus dibawa ke rumah sakit guna pemeriksaan yang lebih teliti, mencari sebab-sebabnya serta mengobatinya.
5.      Klonazepam (Rivotril)
Klonazepam mulai diizinkan di Amerika Serikat pada tahun 1960 untuk epilepsi jenis petit mal, spasmus infantil, lena tidak khas, mioklonik dan akinetik. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa obat ini juga berkhasiat pada epilepsi lainnya yaitu grandmal, fokal motor dan psikomotor. Klonazepam biasanya sudah efektif dengan dosis yang rendah. Pengobatan dengan klonazepam dimulai dengan dosis rendah, yaitu 0,01-0,03 mg/kg berat badan/hari yang dibagi atas 2-3 kali pemberian. Bergantung kepada hasil pengobatan, maka dosis ini dapat ditingkatkan secara bertahap, misalnya tiap tiga hari. Umumnya dosis 0,1-0,2 mg/kg berat badan sudah memadai.
Pada orang dewasa biasanya kita mulai dengan dosis 1,5 mg sehari yang dibagi atas 3 kali pemberian. Bila belum berhasil dan bila gejala intoksikasi belum ada, dosis dapat dinaikkan tiap 3 hari dengan 0,5-1,0 mg. Dosis maksimal yang dianjurkan untuk dewasa ialah kira-kira 20 mg/hari. Pada beberapa penderita obat ini malah dapat pula mengakibatkan meningkatnya jumlah serangan. Toleransi terhadap obat ini dapat pula terjadi, yaitu setelah beberapa saat (1-6 bulan) klonazepam yang sebelumnya berkhasiat menekan serangan epilepsi, akhirnya menjadi kurang bermanfaat dan serangan mulai timbul lagi.
Efek samping yang sering dijumpai ialah rasa mengantuk dan rasa lemah. Dapat juga terjadi ataksia dan perubahan tingkah laku. Namun efek samping mengatuk dan ataksia ini dapat mengurang atau menghilang setelah beberapa hari memakan obat. Bila tidak menghilang, obat perlu dikurangi. Sampai saat ini belum ada dilaporkan akibat buruk obat ini terhadap sistem pembentukan darah, hati atau ginjal.
6.      Valporat (Epilim, Depakin, Leptilan)
Obat ini berkhasiat terhadap jenis epilepsi jenis absence (lena), namun obat ini juga dapat digunakan pada jenis lainnya, serta berkhasiat terhadap kejang demam. Pada anak, dosis obat ini berkisar dari15-60 mg/kg berat badan/hari. Pada orang dewaasa, besarnya dosis adalah sekitar 20 mg/kg berat badan/hari atau 900-1800 mg/hari. Dosis ini masih dapt ditingkatkan. Dianjurkan agar dosis dinaikkan bertahap. Kadar terapetik di dalam darah berkisar antara 50-100 mikrogram/mililiter.
Efek samping obat ini sedikit. Yang sering dijumpai ialah rasa mual dan mengantuk. Pada dosis yang tinggi dapat dijumpai ataksia dan tremor. Rambut rontok dapat terjadi, yang kadang-kadang berkaitan dengan besarnya dosis obat. Komplikasi yang berat, yang pernah terjadi ialah gagal hati.


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Epilepsi telah dikenal sejak zaman dahulu, dalam tulisan dari tahun 2080 sm telah ditemukan pengenalan akan gejala-gejala epilepsi. Pada masa itu epilepsi masih dihubungkan dengan pengaruh gaib, roh jahat dan pengaruh dari luar lainnya yang menimpa  penderita.
Epilepsi merupakan gangguan gangguan susunan syaraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala.
Epilepsi berdasarkan etiologi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu sebagai berikut.
a.       Epilepsi idiopatik, yaitu epilepsi yang tak ditemukan faktor penyebab bangkitan epilepsinya.
b.      Epilepsi simptomatik, yaitu epilepsi sebagai akibat atau gejala dari penyakit lain.


DAFTAR PUSTAKA

Rumah Sakit Hasan Sadikin. 1983. Pola Penderita Epilepsi. Bandung : Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
Shorvon, Simon. Alih Bahasa oleh Sidiarto, Lily. 1988. Epilepsi Untuk Praktek Umum. Jakarta : Ciba Geigy Pharma Indonesia.
Lumbantobing, S.M. 2002. Epilepsi (Ayan). Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Harsono. 2001. Epilepsi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Rumah Sakit Hasan Sadikin. 1989. Simposium Epilepsi. Bandung : Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.

No comments:

Post a Comment