MAKALAH
EPILEPSI (KEJANG,
DEMAM)
KATA
PENGANTAR
Puji sukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan Rahmat serta KaruniaNya
kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang Alhamdulilah tepat pada waktunya
yang berjudul EPILEPSI (KEJANG, DEMAM).
Diharapkan Makalah
ini dapat memberikan
imformasi kepada kita semua
tentang Berbagai Konsep Sehat Sakit dilihat dari berbagai aspek.kami menyadari
bahwa Makalah ini masih jauh dari
sempurna,oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersipat
membangun selalu kami harap kan
demi kesempurnaan Makalah ini.
Akhir kata, kami sampai
kan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusun Makalah ini dari awal sampai
akhir.Semoga Allah SWT senantiasa meridhai
usaha kita. Amin
Banda Aceh,
April 2018
Penulis
DAFTAR
ISI
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.
Latar
Belakang...................................................................................... 1
B.
Tujuan................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3
A.
Pengertian
Epilepsi................................................................................ 3
B.
Sejarah
Epilepsi..................................................................................... 4
C.
Klasifikasi
Epilepsi................................................................................ 5
D.
Patofisiologi
Epilepsi............................................................................ 7
E.
Jenis-jenis
Serangan Epilepsi................................................................. 8
F.
Penyebab
dan Pemicu Serangan Epilepsi............................................ 15
G.
Epidemiologi
Epilepsi......................................................................... 18
H.
Diagnosa
epilepsi................................................................................ 22
I.
Pengobatan
Epilepsi............................................................................ 23
BAB III PENUTUP............................................................................................. 29
A.
Kesimpulan......................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 30
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Epilepsi
telah dikenal sejak zaman dahulu, dalam tulisan dari tahun 2080 sm telah ditemukan
pengenalan akan gejala-gejala epilepsi. Pada masa itu epilepsi masih
dihubungkan dengan pengaruh gaib, roh jahat dan pengaruh dari luar lainnya yang
menimpa penderita. Anggapan ini terus
berkembang sampai tahun 400 sm, Hippocrates pada bukunya “On The Sacred Disease” mengemukakan bahwa penyakit ini bukan disebabkan
oleh tenaga supernatural atau pengaruh gaib tetapi disebabkan karena perubahan
dalam otak.
Di
negara kita pun sudah lama dikenal terbukti dengan adanya nama lokal untuk
penyakit ini yang disebut sawan, ayan atau celengan dan hingga saat ini masih
banyak yang menghubungkannya dengan hal gaib dan berusaha menyembuhkan dengan
cara-cara mistik. Hingga saat inipun penatalaksanaan penderita epilepsi belum
mencapai optimal, hal ini disebabkan karena pengertian yang salah mengenai
epilepsi masih berkembang di masyarakat sehingga sebagian penderita tidak
dibawa berobat malahan disembunyikan karena dianggap sakit jiwa, membawa sial,
dan aib bagi keluarga. Sedangkan tenaga kesehatan sendiri masih banyak yang
ragu-ragu mendiagnosa dan memberikan pengobatan.
Walaupun
belum pernah dilakukan penyelidikan epidemiologis tentang epilepsi di
Indonesia, dapat dikatakan bahwa epilepsi tidak jarang dijumpai dalam
masyarakat. Jika dipakai angka-angka prevalensi dan insidens epilepsi yang
didapatkan dalam kepustakaan, yakni prevalensi 5-10 per 1000 dan insidens 0,5 per
1000. Maka dapat diperkirakan bahwa di Indonesia yang berpenduduk sekitar 180
juta orang, terdapat 900.000-1.800.000 orang dengan epilepsi, sedangkan
insidens adalah 90.000 kasus epilepsi baru tiap tahun. Angka-angka tersebut
mengejutkan jika dibandingkan dengan angka prevalensi penyakit-penyakit lain
yang terdapat di Indonesi. Ini cukup memprihatinkan, terutama bila para
penyandang epilepsi tidak ditangani dengan baik sehingga menimbulkan masalah
sosial dan menjadi beban bagi keluarganya dan masyarakat. Di negara-negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia dimana jumlah spesialis masih kecil,
sebagian besar penyandang epilepsi diharapkan dapat ditanggulangi oleh dokter
umum. Dalam penanggulangan epilepsi pengobatan dengan obat-obat antikonvulsi
menduduki tempat terpenting, meskipun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kehidupan mereka yang menyandang epilepsi seperti faktor psikososial,
lingkungan keluarga, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya perlu diperhatikan
juga. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan terutama bidang kedokteran
pengetahuan mengenai epilepsi pun berkembang dengan pesat sehingga
penatalaksanaan pun semakin baik sehingga kualitas hidup penderita makin dapat
ditingkatkan.
B.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui Pengertian Epilepsi
2. Untuk
mengetahui Sejarah Epilepsi
3. Untuk
mengetahui Klasifikasi Epilepsi
4. Untuk
mengetahui Patofisiologi Epilepsi
5. Untuk
mengetahui Jenis-jenis Serangan Epilepsi
6. Untuk
mengetahui Penyebab dan Pemicu Serangan Epilepsi
7. Untuk
mengetahui Epidemiologi Epilepsi
8. Untuk
mengetahui Diagnosa epilepsi
9. Untuk
mengetahui Pengobatan Epilepsi
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Epilepsi
Epilepsi
merupakan gangguan gangguan susunan syaraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh
terjadinya serangan (seizure, fit,
attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked)
dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang
bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel
otak, bersifat sinkron dan berirama. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan
untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi selama
penyakit akut berlangsung, dan occasional
provoked seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemi.
Epilepsi berdasarkan etiologi dapat dibagi menjadi dua
golongan yaitu sebagai berikut.
a.
Epilepsi idiopatik, yaitu epilepsi yang
tak ditemukan faktor penyebab bangkitan epilepsinya.
b.
Epilepsi simptomatik, yaitu epilepsi
sebagai akibat atau gejala dari penyakit lain.
Epilepsi idiopatik biasanya dimulai terjadi pada usia
lebih dari 3 tahun, sedangkan yang simptomatik dapat dimulai dari neonatus
hingga usia lanjut sebagai akibat kelainan kongenital, trauma kelahiran,
gangguan metabolik dan infeksi, keracunan, kelainan struktural misalnya pada
abses atau tumor otak, kelainan vaskuler dan cedera kepala sedangkan pada usia
lanjut penyebab tersering adalah kelainan serebrovaskuler dan tumor serebri.
Ditinjau dari segi klinik, patofisiologis dan praktis
epilepsi dapat didefinisikan sebagai bangkitan yang diakibatkan oleh lepasnya
muatan listrik neuron serebral yang berlebihan secara berkala, dapat memberikan
gejala gangguan kesadaran, gerakan involunter,
gangguan sensorik, motorik, peningkatan aktivitas otonom dan berbagai gangguan
psikis.
B.
Sejarah
Epilepsi
Keterangan rinci
tentang epilepsi yang paling tua terdapat di lembaran Babylon yang tersimpan di
British Museum. Bab ini merupakan
bagian dari buku teks kedokteran Babylon yang terdiri dari 40 lembar, dibuat
pada tahun 2000 SM. Pada lembaran tadi termuat catatan berbagai jenis serangan
epilepsi yang berbeda sebagaimana yang kita ketahui sekarang ini. Uraian
tentang epilepsi tadi menekankan betapa epilepsi disebabkan atau dipengaruhi
oleh kekuatan supranatural, dengan tiap jenis serangan dikaitkan dengan nama
roh atau setan. Dengan demikian terapinya didasarkan atas kekuatan spritual.
Kata epilepsi berasal dari Yunani epilepsia yang berarti serangan. Masyarakat percaya bahwa epilepsi
disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya bahwa epilepsi merupakan penyakit
yang bersifat suci. Hal ini merupakan latar belakang adanya mitos dan rasa
takut terhadap epilepsi. Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan
menyulitkan upaya untuk membawa penderita epilepsi ke dalam kehidupan normal.
Hippocrates percaya bahwa epilepsi bukanlah penyakit yang
bersifat suci atau keramat. Dia menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit
yang didasari oleh adanya gangguan di otak, pandangan ini merupakan suatu hal
yang revolusioner. Dia menyarankan untuk memberi terapi fisik, bukan terapi spiritual,
dan dia menyatakan bahwa bila penyakit menjadi kronis maka penyakit tadi tidak
dapat disembuhkan. Pada pertengahan abad ke 19 epilepsi memperoleh perhatian
secara sungguh-sungguh. Pada tahun 1857 Sir Charles Locock untuk pertama
kalinya mengenalkan sedativa sebagai
pengendali serangan epilepsi. Pada tahun 1870 John Hughlings Jackson mengenali
korteks otak sebagai bagian yang terlibat dalam epilepsi. Pada tahun 1929 Hans
Berger memperlihatkan bahwa gelombang listrik di otak manusia dapat direkam.
Hans
Berger, seorang spesialis kedokteran jiwa, mengembangkan human electroencephalograph pada saat itu dikenal juga sebagai EEG brainswaves. Manfaat EEG tadi mulai
dirasakan pada tahun 1930, yaitu dalam bidang epilepsi. EEG menunjukkan adanya
cetusan listrik di otak, di samping itu EEG juga menunjukkan pola cetusan
gelombang otak yang berbeda. EEG bermanfaat untuk menentukan letak sumber
cetusan listrik di otak. Dalam perkembangannya EEG juga berperan dalam
persiapan terapi bedah untuk epilepsi, hal demikian ini dikembangkan sejak
tahun 1950 baik di London, Montreal, maupun di Paris.
Pada
pertengahan abad ke 20, EEG permukaan menjadi alat standar untuk menentukan
diagnosis dan klasifikasi serangan. Namun demikian, sebagaimana setiap penemuan
alat baru, banyak terjadi penyalahgunaan, penggunaan yang berlebihan, maupun
kesalahan interpretasi yang berkaitan dengan EEG. Hal ini terutama terjadi pada
orang-orang yang tidak berpengalaman. Selama pertengahan pertama abad ke 20,
obat utama untuk epilepsi adalah fenobarbital (1912) dan fenitoin (1938).
Kemudian sejak tahun 1960 ditemukan berbagai macam OAE baru. Penemuan tersebut
didasarkan atas pengetahuan yang maju tentang aktivitas elektrokimia di otak,
terutama neurotransmitter pemacu (excitatory)
dan penghambat (inhibitory).
Pendorong lain dalam bidang kemajuan pengetahuan dan
terapi epilepsi adalah ditemukannya comuterized
axial tomography (CAT) scan,
magnetic, resonance imaging (MRI), MRI spectroscopy,
dan positron emission tomography (PET).
Alat-alat tadi mampu mengungkapkan lesi di otak yang bertanggung jawab atas
terjadinya epilepsi.
The International League Against Epilepsi
(ILAE),
suatu organisasi profesional yang memikirkan segala aspek epilepsi, didirikan
pada tahun 1909. Pada tahun 1962 didirikan organisasi yang setara dengan ILAE,
diberi nama The International Bureau for Epilepsi
(IBE). Pada tahun 1997 kedua organisasi tersebut bersama-sama dengan WHO menyelenggarakan
Global Anti-epilepsi Campaign.
C.
Klasifikasi
Epilepsi
Klasifikasi
bangkitan epilepsi (ILAE, 1981) dibuat berdasarkan gejala klinik gambaran EEG
saat serangan (iktal) dan diluar serangan (interiktal).
1)
Bangkitan fokal
a. Sederhana
Manifestasi klinik
dapat bervariasi tergantung dari susunan saraf pusat yang terkena, dapat menetap
atau menyebar tetapi terbatas pada satu hemisfer sehingga bangkitan dapat
terjadi pada salah satu bagian tubuh dan dapat menyebar pada sisi tubuh yang
sama. Bangkitan ini dapat terlihat sebagai gangguan motorik dengan adanya
kejang tonik-klonik pada satu bagian tubuh, terutama kepala atau mata,
bangkitan postural dimana lengan atau tungkai menjadi kaku pada sikap tertentu,
gangguan fonasi atau bicara. Bangkitan somato-sensorik berupa perasaan seperti
ditusuk jarum, rasa sebal, rasa nyeri atau terbakar. Bangkitan sensorik khusus
berupa bangkitan visual biasanya sederhana dan tidak terbentuk. Bangkitan
auditorik berupa bisikan, bunyi lonceng. Bangkitan olfaktorik dengan tercium
bau biasanya yang tidak menyenangkan seperti bau mayat, tinja dan lain-lain.
Bangkitan gustatorik dengan halusinasi rasa kecap. Bangkitan vertigo dengan
rasa berputar dapat dirinya atau benda disekitarnya, bangkitan otonom sebagai
muntah, pucat, berkeringat, inkontinensia
urine atau tinja dapat pula berupa bangkitan psikis berupa perubahan dari
ingatan akan suatu perjalanan, waktu, keadaan seperti bermimpi, de javu (kembali ke keadaan lampau) dan jamais’vu (tak mengenal kembali kejadian
lampau). Bangkitan gangguan kognitif dengan distorsi waktu dan depersonalisasi.
Bangkitan dengan gejala afektif dengan rasa sangat senang, rasa takut, depresi.
b. Kompleks
Bila bangkitan parsial
sederhana disertai ganguan kesadaran. Yang dimaksud dengan gangguan kesadaran
disini tidak hanya derajat kuantitatif saja (somnolent, sopor), juga perubahan
derajat kesiagaan (awareness yaitu
kontak penderita dengan kejadian dan kemampuan mengingat kembali kejadian dan
respons penderita terhadap rangsang luar yaitu kemampuan penderita untuk
melaksanakan suatu perintah atau gerakan yang dikehendaki).
c. Umum
sekunder
Bila bangkitan parsial
sederhana atau parsial kompleks berkembang umum tonik klonik disertai gangguan
kesadaran.
2)
Bangkitan umum
a. Lena
(absence)
Dimana terjadi
kehilangan kesadaran biasanya singkat sekali (beberapa detik sampai setengah
menit) ditandai dengan penghentian aktifitas yang sedang berlangsung, pandangan
kosong disertai rotasi bola mata ke atas, dapat disertai gerakan motorik
ringan, misalnya kedutan pada kelopak mata atau sudut mulut, mulut
mengecap-ngecap serangan biasanya sering, dalam satu hari dapat beberapa ratus
kali. Biasanya terdapat pada anak-anak usia 3 sampai 15 tahun, gambaran EEG
khas yaitu adanya gelombang 3 spd, dahulu dikenal sebagai petitmal, ditemukan
pada 40% penderita lena.
b. Mioklonik
Mioklonik terjadi kontraksi otot yang
bersifat menyentak (jerking) serangan mioklonik dapat berulang dengan cepat
atau hanya sekali-sekali.
c. Tonik,
klonik atau tonik-klonik
Bangkitan umum tonik,
klonik atau tonik-klonik merupakan serangan berupa gangguan kesadaran dikuti
oleh keadaan tonik sampai pada otot pernafasan sehingga terjadi stridor dan
jeritan epileptic diikuti oleh kejang tonik klonik pada seluruh tubuh.
Bangkitan ini telah dikenal sebagai granmal. Jenis bangkitan ini dapat dimulai
ada masa anak-anak sampai dengan dewasa.
d. Atonik
Bangkitan umum atonik,
penderita kehilangan tonus otot secara mendadak sehingga terjatuh, bila
berlangsung singkat terjadi drop attack.
D.
Patofisiologi
Epilepsi
Serangan
epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan daripada
proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraselular, voltage-gated
ion-channel opening, dan menguatnya sinkroni neuron sangat penting artinya
dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas
neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraselular dan
intraselular, dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menerobos membran neuron.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil
neuron abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan
cetusan potensial aksi secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik
abnormal ini kemudian “mengajak” neuron-neuron sekitarnya atau neuron-neuron
yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak
apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara
bersama-sama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai
listrik tadi membuktikan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih
dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan
terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan
manifestasi yang sangat bervariasi.
Beberapa keadaan yang dapat mencetuskan bangkitan
epilepsi diantaranya faktor genetik dimana sel neuron mempunyai faktor
instrinsik untuk terjadinya lepas muatan listrik yang abnromal, perubahan pada
sel yang ditimbulkan oleh gangguan keseimbangan elektrolit misalnya anoksia,
hipoksia, hipokapnia, hipoglikemia, hiperglikemia, hipokalssemia, dehidrasi,
gangguan hormon adrenal dan progestron, gangguan pelepasan neurotransmitter
misalnya pada kerusakan serebral atau adanya toksin
E.
Jenis-jenis
Serangan Epilepsi
Serangan epilepsi
sangat bervariasi, walaupun demikian secara individual serangan epilepsi bersifat
stereotipik. Sebagian besar penderita epilepsi tidak menunjukkan kelainan
fisik, serangan hanya berlangsung sepintas tanpa dapat diperkirakan sebelumnya.
Sementara itu, serangan epilepsi bervariasi dalam waktu, tingkat penurunan
kesadaran, perasaan subjektif (sensorik), manifestasi objektif (motorik,
kejang), dan perubahan psikologis.
Serangan epilepsi yang
nonkonvulsif lebih sulit dikenali daripada yang bersifat konvulsif dan akan
lebih sulit lagi apabila serangan nonkonvulsif tadi disertai oleh perubahan
status mental, perubahan tingkah laku, atau gejala psikiatrik lainnya. Hal
demikian ini juga berlaku untuk status epilepatikus yang bersifat nonkonvulsif.
1)
Epilepsi lobus temporalis (ELT)
Pada umumnya epilepsi yang tidak
terdiagnosis termasuk dalam kelompok epilepsi parsial terutama yang tidak
mempunyai gejala kejang. Dari kelompok ini yang paling menonjol adalah ELT atau
epilepsi psikomotor. ELT meliputi sepertiga dari seluruh jenis epilepsi yang
serangannya sering melibatkan unsur psikis. Manifestasi ELT sangat bervariasi,
berupa sensasi epigastrik, halusinasi, gangguan memori, keadaan seperti mimpi,
otomatisme primer, gangguan afektif dan hipergrafia.
a. Sensasi
epigastik
Sensasi epigastrik sebenarnya lebih
merupakan halusinasi somatik, biasanya hanya berupa rasa tidak enak bercampur
dengan perasaan takut. Sensasi epigastrik ini biasanya naik ke dada,
tenggorokan, dan kemudian ke mulut. Variasi lainnya adalah munculnya sensasi
tertentu di daerah mulut dan bibir sehingga mulut penderita berkomat-kamit atau
mengecapkan lidah dan bibir berkali-kali. Gejala-gejala tersebut bersumber pada
fokus epilepsi di lobus temporalis bagian anterior dan kadang-kadang melibatkan
amigdala.
b. Halusinasi
Pada ELT dapat terjadi halusinasi
pembauan atau penghidupan, pengecapan lidah, pendengaran, penglihatan dan
vestibular. Gangguan visual kadang-kadang lebih bersifat ilusi daripada
halusinasi, misalnya benda-benda terlihat lebih kecil (mikropsia), terlihat
lebih jauh atau terlihat terpilin. Pada beberapa penderita dapat terjadi perubahan
orientasi visual secara mendadak ataupun perubahan dalam hal depth perception. Halusinasi
kadang-kadang disertai oleh perubahan dalam apresiasi terhadap kecepatan atau
intonasi bicara serta gangguan persepsi waktu. Fenomena vestibular dapat berupa
vertigo paroksismal.
c. Gangguan
memori
Gangguan memori dan keadaan seperti
mimpi meliputi dysmnesic syndrome (deja
vu, jamais vu) dan keadaan seperti mimpi. Penderita sering merasa
seakan-akan melayang-layang atau terapung-apung atau merasa bahwa antara jiwa
dan raganya seolah-olah terpisah. Di samping itu sering pula terdapat gangguan
afektif yang berupa perasaan takut, panik, cemas, ekstase, depresi atau
kombinasi dari berbagai episoda tadi. Hal-hal tadi merupakan fenomena
temporolimbik.
d. Hipergrafia
Hipergrafia meliputi tiga hal pokok,
ialah cara penulisan (misalnya memakai bayangan cermin, kode, warna tinta yang
berbeda-beda kaligrafi), ritualized
script exessive (misalnya panjang tulisan dan/atau frekuensi serta lamanya
menulis), dan isi atau tema tulisan (misalnya filosofi, etika, moral, agama).
Hipergrafia merupakan salah satu perubahan tingkah laku (yang lainnya adalah
hiperemosionalisme, obsesionalisme, religiousity,
perubahan tingkah laku seksual dan circumstantiality)
yang terdapat pada ELT. Namun demikian hubungan antara disfungsi lobus
temporalis dengan perubahan tingkah laku tadi masih belum jelas benar.
e. Aura
Serangan epilepsi pada ELT dapat
bersifat tunggal. Serangan tunggal ini dapat berfungsi sebagai aura apabila
sesudah serangan tadi muncul serngan-serangan epilepsi lainnya. Dengan demikian
aura merupakan tanda dari serangan parsial kompleks.
2)
Epilepsi refleks
Di samping ELT
maka ada jenis epilepsi lainnya yang sulit dikenali sehingga dapat lolos dari
diagnosis epilepsi. Epilepsi refleks (ER) adalah salah satu contoh epilepsi
yang dapat membingungkan penderita, keluarganya, atau bahkan dokter yang
memeriksanya. Yang membingungkan bukan jenis serangannya melainkan
kejadian-kejadian sebelum munculnya serangan. Pada ER terdapat serangan secara
teratur, dalam bentuk serangan parsial maupun umum, sesudah penderita menerima
rangsang tertentu yang jelas diketahui jenisnya. Fenomena ini seringkali
dipergunakan dalam pemeriksaan EEG yang memanfaatkan stimulasi fotik dan
hiperventilasi. Istilah ER mengandung makna yang luas. Sejak munculnya laporan
tentang beberapa kasus ER sebagai akibat dari parasit dalam usus, masturbasi,
dan lain-lain yang bersifat noncausative faktors
maka terjadilah kebingungan dalam hal makna ER yang sebenarnya. Sehubungan
dengan hal ini, Penfield dan Erickson pada tahun 1941 mengusulkan istilah yang
dianggap lebih cermat dan speisifk, ialah sensory-precipitated
seizures.
a.
Photic-induced epilepsi
Epilepsi jenis
ini disebut pula sebagai photosensitive epilepsi,
merupakan salah satu jenis ER yang membingungkan penderita, keluarga,
maupun dokter yang memeriksanya. Epilepsi jenis ini dapat terjadi dalam
berbagai keadaan misalnya perubahan sinar yang redup menjadi terang benderang,
berkendaraan di sepanjang deretan pepohonan di mana sinar matahari menerobos
sela-sela dedauanan, melihat roda berputar, melihat bandul berayun, melihat
kedipan cahaya televisi atau lampu neon, dan bahkan dapat self-induced ialah ketika penderita melambaikan tangan di antara
matanya dengan sumber cahaya. Jenis serangan epilepsi bervariasi dari gerakan
yang tak bermakna, lena, sampai kejang umum.
b.
Pattern-evoked
seizures
Sebagaimana photic-induced epilepsi maka jenis serangan seperti ini termasuk kelompok visually-induced epilepsi dan lebih jarang dijumpai. Apabila penderita
melihat pola khusus atau tertentu misalnya kisi-kisi atau deretan garis
vertikal atau horizontal, maka akan muncul serangan lena. Sebagai contoh,
keluarga penderita tidak menyadari adanya fenomena ini, tetapi setelah
ditelusuri secara retrospektif maka terungkap bahwa penderita mengalami
serangan epilepsi berulang kali setiap kali dia mengenakan pakaian bermotif
kotak-kotak atau bergaris.
c.
Eye-closure
seizures
Jenis serangan ini juga termasuk
kelompok visually-induced epilepsi,
disebut pula dengan closing-the-eyes epilepsi.
Kedipan atau tertutupnya mata dapat menginduksi paroxysmal discharges yang tampak pada EEG serta merangsang
munculnya serangan epilepsi.
Ada beberapa
pandangan mengenai mekanisme terjadinya serangan secara reflektorik tadi.
Diperkirakan bahwa serangan tadi didasarai oleh mekanisme proprioseptif,
kemudian ada pula yang berpendapat bahwa serangan tadi didasari oleh mekanisme
hubungan antara menutupnya kelopak mata dengan pusat kesadaran di formasio
retikularis. Di samping itu ada pula yang menduga bahwa mekanismenya didasari
oleh penekanan tangsang visual secara mendadak. Namun demikian semuanya tadi
tidak memberikan kejelasan. Kemudian muncul teori lain yang mengatakan bahwa
serangan tadi mungkin disebabkan oleh cahaya yang menerobos sela-sela atau
celah palpebra.
d.
Eating-evoked
epilepsi
Serangan epilepsi diinduksi oleh
aktifitas makan (mengunyah, menelan). Jenis epilepsi ini merupakan ER kompleks
yang bersumber di lobus temporalis dan daerah suprasylvii. Pada umumnya
penderita tidak menyadari adanya hubungan antara serangan epilepsi yang ada
dengan aktivitas makan. Bagi yang menyadari fenomena ini maka penderita
cenderung takut untuk makan dengan akibat berat badan menurun dan berikutnya
terjadi gangguan nutrisi.
Serangan
mioklonik pada jenis ER ini dirangsang oleh proses menelan makanan. Dalam hal
ini rangsangan tidak dipengaruhi oleh suhu, rasa, susunan, makanan, lamanya makan
atau tingkat proses menelan. Serangan epilepsi dimulai dengan kehilangan
kesadaran secara singkat, sering diiringi oleh otomatisme dan kemudian diikuti
oleh kelemahan otot faring, laring, lidah, wajah, dan leher. Dengan demikian
terjadi kelemahan otot-otot bulbar, penderita tidak mampu menelan dan
berbicara, sementara itu penderita masih tetap mengerti semua perintah yang
bersifat kompleks. Serangan tadi disertai oleh gelombang paku (spike waves) pada EEG yang berasal dari
fisura Sylvii kiri.
e.
Language
epilepsi
Bentuk lain dari
ER adalah language epilepsi yang
didominasi oleh reading epilepsi. Dikenal
dua jenis reading epilepsi ialah primary reading epilepsi (PRE) dan secondary reading epilepsi (SRE). Untuk
pertama kali kasus PRE dilaporkan oleh Bickford et al. pada tahun 1956. Manifestasi PRE meliputi serangan mioklonik
yang singkat pada otot rahang, wajah, dan lidah sering kali disertai
vokalisasi, kehilangan kesadaran sejenak, serta kehilangan sebagian kalimat
yang sedang dibacanya.s erangan berupa kejang tonik-klonik.
Ciri lain dari
PRE adalah terjadi pada usia dasawarsa kedua, riwayat keluarga positif, tidak
ada defisit neurologis. Ciri-ciri tadi untuk membedakan antara PRE dan SRE.
Pada SRE serangannya tidak bergantung pada aktivitas membaca, tidak ada
mioklonik otot rahang, dan resting EEG biasanya abnormal. Sementara itu
pada PRE menunjukkan resting EEG yang
normal dan ketika sedang membaca maka pada rekaman EEG muncul gelombang
epileptiform.
Serangan pada reading epilepsi tidak berhubungan dengan
materi yang sedang dibaca, namun demikian ada kasus yang mengalami serangan
ketika sedang membaca bahasa asing di mana penderita berusaha untuk
memahaminya. Ada pula kasus yang menunjukkan serangan pada saat sedang menulis,
mengetik main piano, dan membaca notasi musik tanpa syair. Berdasarkan
kasus-kasus tersebut timbul kesan bahwa reading
epilepsi merupakan suatu ganguan
komunikasi dan serangannya dirangsang oleh aktivitas fungsi luhur.
f.
Auditory-evoked
seizures
Rangsangan pada
ER jenis ini bersifat spesifik misalnya dering pesawat telepon, suara tertentu,
atau musik tertentu. Ada pula rangsangan yang tidak spesifik misalnya suara
yang keras dan mendadak. Pada startle of
acousticomotor seizures
rangsangan suara bersifat sangat mengejutkan dengan gejala myoclonic jerk yang bersifat tunggal dan kemudian mncul
berulang-ulang disusul oleh kejang tonik dan akhirnya kejang tonik-klonik. Pada
musicogenic seizures timbul serangan
psikomotor disertai adanya gelombang distrimik di daerah lobus temporalis.
g.
Eyelid
myoclonia
Eyelid
myoclonia (EM) ada yang disertai absence (EMA) dan ada yang tanpa absence. untuk pertama kali EMA dilaporkan oleh Jeavons pada tahun
1977. Sampai dengan tahun 1996 ada 9 laporan dan konfirmasi mengenai EMA tadi.
Pada awalnya EMA disalahartikan sebagai tic
atau manerisme. Gambaran klinisnya
adalah sebagai berikut adalah mata berkedip-kedip bersama-sama dengan kepala
mendongak tersentak-sentak dan bola mata melirik ke atas secara ritmis. Gerakan
tersebut berlangsung singkat, dalam satu hari dapat terjadi ratusan kali,
disertai dengan penurunan kesadaran, dipicu oleh sinar matahari atau cahaya
yang berkedip-kedip.
3)
Unclassified
seizures
a.
Versive
seizures
Serangan epilepsi dicirikan oleh gerakan
memalingkan kepala ke arah satu sisi dan disertai oleh lirikan bola mata ke
arah yang sama. Untuk pertama kalinya kasus ini dilaporkan oleh John Hughlings
Jackson pada tahun 1880. Gerakan tersebut berlangsung beberapa detik yang
kemudian diteruskan dengan kejang atau berhenti begitu saja. Kadang-kadang
kepala dan badan bersama-sama bergerak memutar ke arah satu sisi, gerakan ini
terjadi secara mendadak. Dikenal adanya contraversive
seizures kepala berpaling ke arah yang berlawanan dengan fokus epilepsi.
Sedang ipsiversive seizures kepala
berpaling ke arah fokus epilepsi. Keduanya bersumber pada fokus epilepsi di
lobus frontalis, temporalis, atau oksipitalis.
b.
Volvular
epilepsi
Epilepsi jenis
ini dicirikan oleh gerakan berputar, dengan langkah-langkah kecil, satu sampai
dengan beberapa kali putaran, sementara itu penderita tetap sadar tetapi tidak
mampu berbicara. Pada beberapa kasus dapat pula diakhiri dengan kejang umum dan
penurunan kesadaran. Fokus epilepsi tidak terbatas di daerah temporal saja
tetapi juga terdapat di daerah frontal bagian depan, parietal, dan oksipital.
Versive
seizures dan volvular epilepsi
menunjukkan gerakan mendadak dan aneh (terutama bagi awam) sehingga ada
kemungkinan dicarikan pertolongan kepada ihak nonmedik. Sementara itu bagi
klinis ada kemungkinan bahwa gerakan tersebut dianggap sebagai perubahan
tingkah laku atau sekedaar sebagai suatu tortikolis spasmodik.
c.
Aphasic
seizures
Jenis serangan
ini bersifat sepintas dan dapat muncul sebagai satu-satunya manifestasi klinis.
Pada beberapa kasus serangan afasia diikuti oleh gerakan klonik pada otot
wajah. Komponen afasia ini pada umumnya merupakan suatu serangan yang
dirangsang oleh musik dengan sifat suara tertentu. Dengan demikian ada yang
mengganggap atau memasukkannya ke dalam jenis musicigenic epilepsi.
d.
Epileptic
dizziness
Dizziness
diartikan
sebagai perasaaan kehilangan keseimbangan dalam waktu sepintas. Dizziness dapat muncul sebagai akibat
gangguan fungsi sistem vestibular di sembarang tempat antara telinga dan
korteks serebri. Di samping itu dapat pula terjadi pad multplesclerosis dan hiperventilasi yang berkaitan dengan kecemasan
atau ketegangan emosional.
Epileptic
dizziness diperkenalkan oleh John Hughllings Jackson dan
kemudia oleh Gowers lebih dari 100 tahun yang lalu. Serangan ini sering mucnul
sebagai bagian dari aura ada kejang
umum. Namun demikian epilepsi jenis ini lebih spesifik untuk epilepsi lobus
temporalis. Pada beberapa kasus serangan dapat bersifat tunggal yang muncul
secara periodik dan didukung oleh gambaran EEG yang abnormal dengan berbagai
jenis gelombang, tanpa disertai gangguan fungsi vestibular.
F.
Penyebab
dan Pemicu Serangan Epilepsi
1.
Penyebab
Pada
epilepsi tidak ada penyebab tunggal. Banyak faktor yang dapat mencederai
sel-sel saraf otak atau lintasan komunikasi antar sel otak. Lebih kurang 65 %
dari seluruh kasus epilepsi tidak diketahui faktor penyebabnya. Beberapa faktor
yang sudah diketahui yaitu : trauma kepala, demam tinggi, stroke, intoksikasi
(termasuk obat-obatan tertentu), tumor otak, masalah kardivaskular, gangguan
keseimbangan elektrolit, infeksi (ensefalitis, meningitis), dan infestasi
parasit terutama cacing pita. Apabila diketahui faktor-faktor tersebut maka
epilepsi yang ada disebut epilepsi simtomatik. Sementara itu epilepsi yang faktor
penyebabnya tidak diketahui disebut epilepsi idiopatik.
Untuk mencari faktor penyebab maka diperlukan anamnesis
yang cermat dan lengkap. Kejang demam merupakan salah satu factor resiko yang
sering diperdebatkan. Kejang demam sederhana terjadi pada 3-5 % anak-anak
berusia 6 bulan sampai 5 tahun yang sebelumnya dalam keadaan sehat. Stroke merupakan
faktor resiko epilepsi yang penting khususnya pada kelompok lanjut usia.
Penderita yang mengalami stroke memiliki kemungkinan 20 kali lebih besar untuk
epilepsi daripada populasi umum.
Faktor penyebab
epilepsi sungguh sangat banyak, dapat bersifat tunggal maupun dalam bentuk
kombinasi. Upaya untuk mencari faktor penyebab antara lain pemeriksaan darah,
pemeriksaan cairan serebrospinal, CT scan, dan MRI. Berikut ini adalah daftar
penyebab epilepsi.
1)
Idiopatik (penyebab tidak diketahui)
a. Terjadi
pada umur berapa saja, terutama kelompok umur 5-20 tahun.
b. Tidak
ada kelainan neurologis
c. Ada
riwayat epilepsy pada keluarganya
2)
Defek kongenital dan cedera perinatal
Munculnya serangan pada usia bayi
atau anak-anak
3)
Kelainan metabolik
a. Terjadi
pada umur berapa saja
b. Komplikasi
dari diabetes melitus
c. Ketidakseimbangan
elektrolit
d. Gagal
ginjal dan uremia
e. Defisiensi
nutrisi
f. Intoksikasi
alkohol atau obat-obatan
4)
Trauma kepala
a. Terjadi
pada umur berapa saja, terutama pada dewasa muda
b. Terutama
pada kontusio serebri
c. Munculnya
serangan biasanya 2 tahun pasca cedera
d. Bila
muncul awal (2 minggu pascacedera) biasanya tidak menjadi kronis
5)
Tumor dan proses desak ruang lainnya
a. Terjadi
pada umur berapa saja, terutama umur di atas 30 tahun
b. Pada
awalnya berupa serangan parsial
c. Kemudian
berkembang menjadi serangan umum tonik-klinik
6)
Gangguan kardivaskular
Terutama karena stroke dan pada
lanjut usia
7)
Infeksi
a. Dapat
terjadi pada umur berapa saja
b. Mungkin
bersifat reversible
c. Dalam
bentuk ensefalitis, meningitis, abses
d. Dapat
meruapakn akibat dari infeksi berat di bagian lain
e. Infeksi
kronis (sifilis)
f. Komplikasi
dari AIDS
8)
Penyakit degeneratif
a. Terutama
pada lanjut usia
b. Demensia
Alzheimer
2.
Pencetus
serangan
Dalam
penatalaksanaan epilepsy perlu ditanyakan hal-hal yang terjadi sebelum muncul
serangan, misalnya kelelahan fisik, kelelahan mental, kurang minum, kurang
tidur, terkena sinar matahari secara langsung, dan sinar dari layar monitor
televise maupun computer. Hal-hal tersebut sangat penting untuk mencegah
terjadinya serangan.
1) Cahaya
tertentu
Cahaya tertentu dapat merangsang
terjadinya serangan. Epilepsi demikian disebut sebagai epilepsi fotosensitif
atau fotogenik. Cahaya yang mampu merangsang terjadinya serangan adalah cahaya
yang berkedip-kedip atau menilaukan.
2) Kurang
tidur
Diduga bahwa kurang tidur dapat
menurunkan ambang serangan yang kemudian memudahkan terjadinya serangan.
3) Faktor
makan dan minum
Faktor makan dan minum sehari-hari
dapat menjadi masalah pada penderita epilepsi. Makan dan minum harus teratur,
jangan sampai terlalu lapar dan terlalu
haus ataupun sebaliknya.
4) Suara
tertentu
Suara tertentu dapat merangsang
terjadinya serangan. Epilepsi jenis ini disebut epilepsi audiogenik atau
epilepsi musikogenik. Suara dengan nada tinggi atau berkualitas keras dapat
menimbulkan serangan.
5)
Reading
dan eating epilepsy
Reading
epilepsy adalah serangan dirangsang oleh kegiatan membaca. Eating epilepsy menunjukkan bahwa
serangan terjadi pada saat penderita mengunyah makanan.
6) Lupa
atau enggan minum obat
Lupa minum obat dapat menimbulkan
serngan bahkan serangan yang muncul dapat lebih lama atau lebih berat.
7)
Drug
abuse
Kokain dapat menimbulkan serangan
dalam waktu beberapa detik, menit, atau jam sesudah mengkonsumsinya.
8) Mensturasi
Hal ini berkaitan dengan kadar
esterogen yang tinggi dan rendahnya kadar progesteron.
9) Stres
Stress dapat mempengaruhi fungsi
otak melalui berbagai cara. Stress berkaitan dengan berbagai jenis emosi yang
tidak mengenakkan perasaan misalnya khawatir, takut, depresi, frustasi, dan
marah.
G.
Epidemiologi
Epilepsi
Dibidang ilmu
penyakit syaraf menduduki urutan kedua setelah gangguan peredaran darah otak.
Insidens epilepsi diberbagai negara bervariasi antara 0,2% sampai 0,7% bahkan
di negara berkembang diperkirakan mencapai 1%, sedangkan di Indonesia pada
tahun 1983 diperkirakan terdapat 1 juta penderita, laki-laki lebih banyak
daripada wanita. Bangkitan epilepsi dapat dimulai pada semua umur, tetapi
terdapat perbedaan frekuensi yang menyolok pada kelompok umur tertentu
30%-32,9% penderita mendapat bangkitan pertama pada umur kurang dari 4 tahun,
50%-51,5% pada usia kurang dari 10 tahun dan 75%-83,4% pada umur kurang dari 20
tahun.
1.
Faktor
Resiko
Epilepsi dapat
dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yang penyebabnya bervariasi,
terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi tidak diketahui faktor penyebabnya
disebut idiopatik. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik,
sedangkan epilepsi yang dapat ditentukan faktor penyebabnya disebut epilepsi
simptomatik. Pada epilepsi idiopatik diduga adanya kelainan genetik. Untuk
menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia serangan pertama
kali, misalnya usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor adalah trauma
perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat, struktural, penyakit
metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit trauma kepala dan
lain-lain. Diperkirakan epilepsi disebabkan oleh keadaan yang mengganggu
stabilitas neuron-neuron otak yang dapat terjadi pada saat prenatal, perinatal
atau postnatal. Faktor prenatal dan perinatal saling berkaitan dalam timbulnya
gangguan pada janin atau bayi yang dilahirkan yang dapat menyebabkan epilepsi.
a.
Faktor Prenatal
b.
Faktor Natal
c.
Faktor Postnatal
d.
Faktor Herediter (Keturunan)
Faktor
herediter memiliki pengaruh yang penting terhadap beberapa kasus epilepsi.
Apabila seseorang mengidap epilepsi pada masa kecilnya, maka saudara kandungnya
juga memiliki resiko tinggi menderita epilepsi. Demikian pula pada anak-anak
yang akan dilahirkan.
e.
Jenis kelamin
Lelaki lebih berisiko terkena epilepsi daripada wanita. Dari
suatu penelitian yang dilakukan oleh Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung,
didapatkan bahwa pria lebih sering menderita kerusakan otak yang tidak fatal
misalnya cedera kepala. Sedangkan penderita wanita lebih cepat menyembunyikan penyakitnya dan tidak mencari
pengoobatan.
f.
Cedera kepala
Cedera ini bertanggung jawab pada banyak kasus epilepsi. Hal
ini dapat dikurangi resikonya dengan selalu menggunakan sabuk pengaman ketika
mengendarai mobil dan menggunakan helm ketika mengendarai motor, bermain ski,
bersepeda atau melakukan aktifitas lain yang berisiko terkena cedera kepala.
g.
Strok dan penyakit vaskular lain
Ini dapat menyebabkan kerusakan otak yang memicu epilepsi.
Kita dapat mengambil beberapa langkah untuk mengurangi risiko penyakit-penyakit
tersebut, termasuk adalah batasi untuk mengkonsumsi alkohol dan hindari rokok,
makan makanan yang sehat dan selalu berolahraga.
h.
Infeksi pada otak
Infeksi seperti meningitis, menyebabkan peradangan pada otak
atau tulang belakang dan menyebabkan peningkatan risiko terkena epilepsi.
2.
Distribusi
- Orang
Di Indonesia
sendiri, belum ada angka pasti yang menunjukkan berapa prevalensi dan insidensi
dari penyakit epilepsi. Namun, menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI) tahun 2012, diperkirakan penderita epilepsi aktif saat ini
adalah 1,8 juta per 220 juta penduduk Indonesia. Sedangkan perkiraan penderita
baru yaitu 250.000 penderita pada tahun 2012. Selain itu, ada juga data dari
WHO tahun 2005. Dilaporkan dari 108 negara meliputi 85,4% dari jumlah penduduk
di dunia, ada sekitar 43.704.000 orang dengan epilepsi. Ini berarti jumlah
rata-rata orang dengan epilepsi adalah 8,93 per 1000 penduduk. Jumlah rata-rata
orang dengan epilepsi per 1.000 populasi
bervariasi di seluruh wilayah. Penderita epilepsi lebih banyak terjadi pada
laki-laki dibandingkan perempuan. WHO menyatakan bahwa informasi mengenai
jumlah orang dengan aktif epilepsi tidak diperoleh dan informasi mengenai
jumlah orang dengan epilepsi pada kelompok-kelompok khusus misalnya anak-anak
juga tidak diperoleh. Data mengenai jumlah orang dengan epilepsi tidak
dikumpulkan dengan menggunakan metode penelitian yang ketat sebagaimana studi
epidemiologi, metode tersebut mahal dan tidak mudah untuk melaksanakannya.
Sumber informasi bervariasi dari seluruh negara yang melaporkan. Sebagai
contoh, beberapa responden memberikan angka berdasarkan prevalensi umum atau temuan
dari satu wilayah tertentu negara atau jumlah orang yang memenuhi syarat untuk memakai
obat antiepilepsi.
- Tempat
Insidens (jumlah kasus baru per tahun) epilepsi adalah
24-53 per 100.000 penduduk di negara maju. Di negara berkembang insidens
epilepsi adalah 49,3-190 per 100 000 penduduk. Kasus baru lebih banyak terjadi
di negara berkembang. Jumlah rata-rata orang dengan epilepsi di negara berpenghasilan tinggi adalah berkisar
7,99 per 1.000 penduduk dan 9,50 di
negara-negara berpenghasilan rendah. Berikut ini adalah grafik distribusi
rata-rata jumlah penderita epilepsi di dunia.
Dari data di atas dapat dilihat bahwa jumlah rata-rata
orang yang menderita epilepsi di Amerika adalah 12,59 per 1000 penduduk, 11,29
per 1000 penduduk di Afrika, dan seterusnya.
- Waktu
Epilepsi dapat terjadi kapan saja,
tidak ada batasan waktu tertentu.
H.
Diagnosa
epilepsi
Evaluasi penderita dengan gejala yang bersifat
paroksismal, terutama dengan factor penyebab yang tidak diketahui, memerlukan
pengetahuan dan keterampilan khusus untuk dapat menggali dan menemukan data
yang relevan. Penegakan diagnosis harus dilaksanakan secara runtut dan terarah.
1)
Anamnesis
Diagnosis epilepsi
didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dikombinasikan dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis.
a. Kecermatan
anamnesis
Laporan
dari penderita dan saksi mata sangat bermanfaat untuk mengarahkan diagnosis.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat
berarti dan merupakan kunci diagnosis.
b. Mode of onset
Mode
of onset merupakan gambaran klinis yang harus dirinci secara
jelas.
c. Aura
Pemeriksaan
harus mengajukan pertanyaan secara sistematik, baik kepada penderita maupun
saksi mata tentang aura, yang mungkin bersifat samar-samar atau tidak menentu
gambarannya. Bentuk-bentuk aura yang dapat digambarkan lebih jelas antara lain sensasi
aneh di dalam perut, dada, atau kepala, perasaan kesemutan dan lainnya.
d. Kejadian
selama dan sesudah serangan
Kejadian
selama serangan harus dirinci dideskripsikan secara tepat. Kondisi sesudah
serangan bermanfaat untuk menentukan perjalanan serangan.
2) Pemeriksaan
fisik
Pemeriksaan
fisik harus menapis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan
riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada penderita yang lebih tua, auskultasi di
daerah leher penting untuk mendeteksi penyakit vascular. Pada anak-anak,
pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan pertumbuhan.
3) Elektro-ensefalografi
Elektroda
yang ditempelkan ke kulit kepala dengan pasta konduktif dapat mendeteksi
aktifitas listrik spontan di otak. EEG melukiskan aktifitas otak sebagai
gelombang, frekuensi gelombang di ukur per detik (Hz). Pada epilepsy pola EEG
dapat membantu untuk menentukan jenis dan lokasi serangan.
4) Rekaman
video-EEG
Rekaman
EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami
serangan dapat meningktkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan.
5) Pemeriksaan
radiologis
Pemeriksaan
yang dikenal dengan istilah neuroimaging studies bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRI lebih sensitive dan secara anatomic akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat
untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri. Di samping itu MRI juga dapat
mengidentifikasi kelainan pertumbuhan otak, tumor yang berukuran kecil,
malformasi vascular tertentu, dan penyakit demielinisasi.
I.
Pengobatan
Epilepsi
Serangan
epilepsi dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah agar tidak kambuh.
Obat yang dimaksud adalah obat antikonvulsan atau obat antiepilepsi. Pengobatan
epilepsi berlangsung lama. Hal ini harus dicamkan oleh penderita dan
keluarganya.
Tabel Obat antikonvulsan yang lazim
digunakan
Nama Generik
|
Nama Dagang
|
Fenobarbital, Luminal
|
|
Fenitoin
|
|
Karbamazeptin
|
Dilantin
|
Diazepam
|
Tegretol, Temporol
|
Klonazepam
|
Stesolid, Valium
|
Primidon
|
Rivotril
|
Valproat
|
Epilim, Leptilan
|
1.
Fenobarbital
(Luminal)
Fenobarbital mulai
digunakan sebagai obat antikonvulsan pada tahun 1912. Harganya murah,
toksisitasnya rendah (cukup aman) dan dapat diperoleh di semua apotek.
Fenobarbital dapat digunakan terhadap hampir semua jenis epilepsi, misalnya :
grandmal, psikomotor, fokal motor. Dosis bagi orang dewasa 60-180 mg tiap 24
jam. Dosis umum pada anak 5-8 mg/kg.obat ini biasanya diberikan sehari sekali
waktu malam atau 2 x sehari.obat ini dinaikkan dosisnya 30 mg setiap minggu.
Efek samping dari
fenobarbital adalah rasa kantuk. Ini dapat terjadi pada waktu permulaan
pengobatan dan biasanya berkurang atau menghilang setelah beberapa hari
pengobatan, rasa mengantuk ini dapat mengurangi kelincahan berfikir anak yang
sedang bersekolah. Bila perlu penderita dapat minum kopi untuk mengurangi rasa
mengantuk. Pada dosis yang lebih tinggi dapat terjadi gangguan koordinasi
motorik (ataksia) dan nistagmus (gerakan-gerakan pada bola mata).
Pada anak, fenobarbital
sering mengakibatkan hiperaktivitas. Anak
menjadi banyak bergerak, sukar duduk diam untuk jangka waktu yang cuku, lama ia
tidak dapat berkonsentrasi pada satu topik selama beberapa menit, karena
perhatiannya mudah sekali beralih. Dan reaksi alergi sesekali dapat terjadi.
2.
Difenilhidantoin
(Phenytoin, Dilantin)
Obat difenilhidantoin
digunakan terhadap epilepsi sejak tahun 1938. Obat ini berkhasiat baik terhadap
epilepsi jenis grandmal, jenis fokal dan psikomotor. Obat ini tidak berkhasiat
terhadap jenis petit mal dan terhadap kejang demam.
Pada penderita epilepsi
yang bersekolah atau bekerja, lebih cocok memakai obat difenilhidantoin (DFH) daripada
fenobarbital. DFH kurang menyebabkan rasa mengantuk dibanding fenobarbital.
Pada anak yang bersekolah dan orang dewasa yang bekerja rasa mengantuk harus
dihindari agar mereka dapat berkonsentrasi dengan baik. Dosis DFH berkisar
antara 4-10 mg/kilogram berat badan/hari. Pada orang dewasa ini dapat diberi
satu kali atau dibagi dua kali sehari. Pada anak yang berat badannya kurang
dari 30 kilogram, diberikan dalam 3 dosis sehari. Dengan dosis tersebut di atas
diharapkan kadar DFH di dalam darah berada antara 10-20 mikrogram/ml (=kadar
terapetik bagi DFH).
Efek samping dari DFH,
pada dosis terapetik, yaitu pada kadar obat di dalam darah yang berkisar antara
10-20 mikrogram/ml, umumnya tidak terjadi rasa mengantuk. Pada dosis yang lebih
tinggi, dengan kadar DFH di dalam darah yang lebih tinggi, dapat terjadi sedasi
(mengantuk,tidur), nistagmus (gerak ritmik bola mata), ataksia (gangguan
koordinasi sistem motorik).
Pada orang dewasa
nistagmus umumnya muncul bila kadar obat di dalam darah lebih besar dari 20
mikrogram/ml. Ataksia timbul pada kadar lebih 30 mikrogram/ml, dan sedasi
terlihat pada kadar lebih dari 40 mikrogram/ml. Pada anak gejala intoksikasi
(keracunan) atau efek samping biasanya kurang tegas. Biasanya berupa kurang
nafsu makan, mengantuk, prestasi sekolah menurun, ketidak stabilan dalam
gerakan. Pada bayi sukar diketahui gejala intoksikasi DFH. Gejala ataksia dan
diplopia (melihat kembar) yang sering merupakan gejala dini dari keracunan DFH,
tidak mudah diketahui pada bayi. Itulah sebabnya DFH sebaiknya tidak digunakan
pada bayi.
Reaksi alergi dijumpai
pada kira-kira 5% penderita yang mendapat DFH, dengan gejala antara lain
bercak-bercak merah di kulit. Bila didapatkan reaksi alergi, obat harus segera
dihentikan. Gusi yang bertambah tebal (hiperplasia) kadang-kadang dijumpai pada
penderita yang memakan obat DFH. Hal ini lebih sering dijumpai pada anak.
Penebalan gusi ini mulai terlihat 2-3 bulan pengobatan. Timbulnya penebalan
gusi ini dapat dicegah dengan meningkatkan kebersihan mulut dan gigi geligi.
Penderita harus menggosok gigi secara teratur, 2-3 kali sehari. Bila perlu,
hiperplasia gusi ini dapat diobati dengan pembedahan. Hipertrikhosis (rambut
badan bertambah) dapat pula terjadi pada beberapa penderita yang mendapat DFH,
dan mulai terlihat setelah mendapat obat lebih 2-3 bulan.
3.
Karbamazepin
(Tegretol, Temporol)
Karbamazepin mulai
digunakan sebagai obat antiepilepsi pada tahun 1974 di Amerika Serikat.
Umumnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa karbamazepin merupakan
antikonvulsan yang terutama efektif terhadap epilepsi jenis psikomotor. Namun,
juga berkhasiat terhadap jenis grandmal dan jenis fokal motor. Karbamazepine
tidak berkhasiat terhadap epilepsi jenis petit mal.
Karbamazepin juga
mempunyaiefek psikotropik (berpengaruh baik terhadap keadaan psikis). Efek
psikotropik ini dapat berupa penderitamenjadi lebih gesit, lebih bergairah,
gangguan tingkah laku berkurang atau menghilang. Efek psikotropik ini dapat
dijumpai pada segala jenis epilepsi. Karbamazepin kurang menyebabkan sedasi
(rasa mengantuk) dibanding antikonvulsan lainnya. Efek psikotropik obat ini
merupakan suatu keuntungan bagi anak yang menderita epilepsi jenis psikomotor,
yang sering disertai gangguan tingkah laku.
Dosis karbamazepin
ialah 10-30 mg/kilogram berat badan/hari pada anak, yang dibagi dalam 2-4 kali
pemberian. Pada orang dewasa dosis berkisar antara 400-1600 mg/hari. Kadar
terapetikdi dalam darah ialah 4,5-11 mikrogram/ml. Efek samping karbamazepin
yang berkaitan dengan besarnya dosis ialah rasa capai, nistagmus, rasa puyeng
(vertigo), gangguan koordinasi motorik (ataksia), bicara pelo dan melihat
kembar (diplopia). Bila dosis dikurangi, gejala ini akan menghilang atau
berkurang.
Dapat pula terjadi
reaksi alergi, berkurangnya sel-sel darah putih dan trombosit, gangguan fungsi
hati. Oleh karenanya harus diperiksa secara berkala keadaan darah dan fungsi
hati. Dianjurkan agar pemeriksaan ini dilakukan tiap bulan selama tahun pertama
pengobatan, dan setelah itu tiap tiga bulan. Bila terjadi reaksi alergi, obat
harus segera dihentikan.
4.
Diazepam
(Valium, Stesolid)-status epilepsi
Diazepam biasanya
digunakan untuk kejang yang sedang berlangsung (status konvulsif) atau serangan
epilepsi yang timbul secara beruntun (status epilepsi). Status epilepsi atau
kejang yang berlangsung lama merupakan keadaan darurat. Keadaan ini harus
segera diatasi dan diakhiri karena dapat mengakibatkan kerusakan otak atau
kematian. Serangan kejang atau epilepsinya dapat segera diakhiri dengan obat
antikonvulsan diazepam, yang diberikan melalui pembuluh darah vena.
Bila pemberian melalui
vena ini sulit (misalnya tenaga medis tidak ada, harus diberi oleh orang
tuanya; atau mencari pembuluh darah vena sulit karena kecil pada bayi) diazepam
dapat diberikan melalui dubur (per rektum). Dosis per rektum ini ialah 5 mg
bagi bayi yang berat badannya kurang dari 10 kg, dan 10 mg bagi bayi atau anak
yang berat badannya melebihi 10 kg untuk sekali pemberian. Bila kejang masih
belum berhenti, pemberian diazepam dengan dosis yang sama dapat diulangi 15
menit kemudian.
Preparat diazepam yang
dapat diberi per rektum yang dapat dibeli di apotek ialah Stesolid, dengan
kemasan 5 mg dan 10 mg. jika anda mempunyai anak dengan epilepsi, mintalah
resep dokter anda supaya ada persediaan obat tersebut di rumah.
Pemberian dilakukan
dengan anak pada posisi miring menungging dan rektiol (preparat stesolid)
diolesi ujungnya dengan minyak makan dan dimasukkan pipa saluran keluarnya ke
dalam rektum (dubur) sedalam 3-5 cm. kemudian rektiol dipijat sampai kosong dan
selanjutnya untuk beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara merapatkan
kedua otot pantatnya. Penderita yang mengalami kejang lama atau serangan
epilepsi beruntun harus dibawa ke rumah sakit guna pemeriksaan yang lebih
teliti, mencari sebab-sebabnya serta mengobatinya.
5.
Klonazepam
(Rivotril)
Klonazepam mulai
diizinkan di Amerika Serikat pada tahun 1960 untuk epilepsi jenis petit mal,
spasmus infantil, lena tidak khas, mioklonik dan akinetik. Dari hasil
penelitian didapatkan bahwa obat ini juga berkhasiat pada epilepsi lainnya
yaitu grandmal, fokal motor dan psikomotor. Klonazepam biasanya sudah efektif
dengan dosis yang rendah. Pengobatan dengan klonazepam dimulai dengan dosis
rendah, yaitu 0,01-0,03 mg/kg berat badan/hari yang dibagi atas 2-3 kali
pemberian. Bergantung kepada hasil pengobatan, maka dosis ini dapat
ditingkatkan secara bertahap, misalnya tiap tiga hari. Umumnya dosis 0,1-0,2
mg/kg berat badan sudah memadai.
Pada orang dewasa
biasanya kita mulai dengan dosis 1,5 mg sehari yang dibagi atas 3 kali
pemberian. Bila belum berhasil dan bila gejala intoksikasi belum ada, dosis
dapat dinaikkan tiap 3 hari dengan 0,5-1,0 mg. Dosis maksimal yang dianjurkan
untuk dewasa ialah kira-kira 20 mg/hari. Pada beberapa penderita obat ini malah
dapat pula mengakibatkan meningkatnya jumlah serangan. Toleransi terhadap obat
ini dapat pula terjadi, yaitu setelah beberapa saat (1-6 bulan) klonazepam yang
sebelumnya berkhasiat menekan serangan epilepsi, akhirnya menjadi kurang
bermanfaat dan serangan mulai timbul lagi.
Efek samping yang
sering dijumpai ialah rasa mengantuk dan rasa lemah. Dapat juga terjadi ataksia
dan perubahan tingkah laku. Namun efek samping mengatuk dan ataksia ini dapat
mengurang atau menghilang setelah beberapa hari memakan obat. Bila tidak
menghilang, obat perlu dikurangi. Sampai saat ini belum ada dilaporkan akibat
buruk obat ini terhadap sistem pembentukan darah, hati atau ginjal.
6.
Valporat
(Epilim, Depakin, Leptilan)
Obat ini berkhasiat
terhadap jenis epilepsi jenis absence
(lena), namun obat ini juga dapat digunakan pada jenis lainnya, serta
berkhasiat terhadap kejang demam. Pada anak, dosis obat ini berkisar dari15-60
mg/kg berat badan/hari. Pada orang dewaasa, besarnya dosis adalah sekitar 20
mg/kg berat badan/hari atau 900-1800 mg/hari. Dosis ini masih dapt ditingkatkan.
Dianjurkan agar dosis dinaikkan bertahap. Kadar terapetik di dalam darah
berkisar antara 50-100 mikrogram/mililiter.
Efek samping obat ini
sedikit. Yang sering dijumpai ialah rasa mual dan mengantuk. Pada dosis yang
tinggi dapat dijumpai ataksia dan tremor. Rambut rontok dapat terjadi, yang
kadang-kadang berkaitan dengan besarnya dosis obat. Komplikasi yang berat, yang
pernah terjadi ialah gagal hati.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epilepsi telah dikenal
sejak zaman dahulu, dalam tulisan dari tahun 2080 sm telah ditemukan pengenalan
akan gejala-gejala epilepsi. Pada masa itu epilepsi masih dihubungkan dengan
pengaruh gaib, roh jahat dan pengaruh dari luar lainnya yang menimpa penderita.
Epilepsi merupakan
gangguan gangguan susunan syaraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya
serangan (seizure, fit, attack, spell)
yang bersifat spontan (unprovoked)
dan berkala.
Epilepsi
berdasarkan etiologi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu sebagai berikut.
a.
Epilepsi idiopatik, yaitu epilepsi yang
tak ditemukan faktor penyebab bangkitan epilepsinya.
b.
Epilepsi simptomatik, yaitu epilepsi
sebagai akibat atau gejala dari penyakit lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Rumah
Sakit Hasan Sadikin. 1983. Pola Penderita
Epilepsi. Bandung : Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
Shorvon,
Simon. Alih Bahasa oleh Sidiarto, Lily. 1988. Epilepsi Untuk Praktek Umum. Jakarta : Ciba Geigy Pharma Indonesia.
Lumbantobing,
S.M. 2002. Epilepsi (Ayan). Jakarta :
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Harsono.
2001. Epilepsi. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Rumah
Sakit Hasan Sadikin. 1989. Simposium
Epilepsi. Bandung : Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
No comments:
Post a Comment