DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.
Latar
Belakang............................................................................................. 1
B.
Masalah
Pokok............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3
A.
Sejarah
Asuransi Dalam Islam...................................................................... 3
B.
Pengertian
Asuransi...................................................................................... 5
C.
Prinsip-Prinsip
Dalam Asuransi Islam.......................................................... 6
D.
Dasar
Hukum dari Asuransi......................................................................... 7
E.
Perbedaan
Asuransi Islam dan Asuransi Konvensional............................. 10
BAB III KESIMPULAN..................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 14
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring
dengan kemajuan zaman yang semakin melesat dan arus globalisasi yang sudah
merasuk ke segala penjuru dunia bahkan sudah sampai ke desa-desa. Hal itu
ditandai dengan menjamurnya alat teknologi dan gaya yang dibawa oleh
pengaruhnya. Ada semacam peralihan sikap dan moral dalam kehidupan masyarakat.
Begitu juga dalam hal muamalah yang disebabkan oleh kebutuhan manusia yang
tidak terbatas dengan sumber daya yang terbatas memunculkan masalah-masalah
baru yang harus diketahui hukumnya menurut ajaran Islam.
kajian
fiqih muamalah dewasa ini sudah mengalami perkembangan. Masalah tersebut belum
dikenal pada masa mujtahid-mujtahid fiqih, sehingga hukumnya juga belum
diketahui. Untuk itu diperlukan pemahaman dan kajian yang mendalam terhadap
masalah tersebut. Salah satu masalah yang baru tersebut adalah masalah
asuransi.
Masalah
asuransi ini banyak sekali menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Sebagian para ulama berpendapat ada yang membolehkan, membolehkan sebagian dan
mengharamkan praktek yang lain, syubhat, bahkan ada yang berpendapat bahwa
asuransi itu haram dalam segala bentuknya. Hal itu membuat umat dihadapkan
dalam keadaan yang bimbang. Indonesia merupakan masyarakat mayoritas Islam.
Mereka semua membutuhkan kepastian hukum asuransi menurut Islam.
Asuransi
juga terbagi dalam dua kategori. Ada asuransi kovensional dan ada juga asuransi
syari’ah. Keduanya mempunyai asal usul dan sistem yang berbeda. Mana diantara
keduanya yang harus dipilih oleh umat supaya mereka tidak terjebak dan
terhindar dari kesalahfahaman pendapat. Mereka menginginkan hidup bermuamalah
susuai ajaran Islam.
Pada
saat ini umat Islam dihadapkan pada persoalan-persoalan ekonomi kontemporer,
akibat dari perkembangan peradaban manusia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Untuk itu ekonomi Islam harus bisa menghadapi atau menjawab serta
memberikan solusi-solusi atau alternatif
terhadap masalah-masalah ekonomi yang semakin berkembang, salah satunya
adalah pada persoalan asuransi Islam.
Asuransi
merupakan suatu bentuk kerjasama pertanggungan tolong-menolong dalam menghadapi
suatu resiko kerugian yang kemungkinan akan dihadapi oleh mereka yang
berserikat. Hal ini merupakan suatu kebutuhan dasar bagi manusia karena
kecelakaan dan konsekwensi finansialnya memerlukan santunan, karena asuransi
merupakan bentuk organisasi atau perusahaan penyantun masalah-masalah
universal, seperti kematian, cacat, kebakaran, banjir dan kecelakaan-kecelakaan
yang bersangkutan dengan transportasi serta kerugian finansial yang disebabkannya.
Namun
konsep dan perjanjian asuransi merupakan jenis akad baru yang belum pernah ada
pada masa-masa pertama perkembangan fiqih Islam. Hal ini menimbulkan banyak
perbincangan dan pendapat tentang keberadaan hukum asuransi menurut syariat
Islam. Perbedaan pendapat bermunculan dari para ulama fiqih dan para
cendikiawan muslim. Diantara mereka ada yang membolehkan dan menghalalkan
asuransi dan sebagaian yang lainya ada yang mengharamkan semua jenis asuransi,
serta ada sebagian kelompok yang hanya mengharamkan asuransi pada sebagian
macamnya saja.
B. Masalah Pokok
Berdasarkan
pada uraian di atas maka masalah pokok yang dikemukakan dalam makalah ini
adalah Asuransi dalam Islam? Sebagai mahasiswa itu merupakan tugas kita semua
sebagai generasi bangsa dan calon pemimpin umat. Sedangkan masalah yang lainnya
adalah bagaimana perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah?
Kedua masalah tersebut menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Asuransi Dalam Islam
Menurut
Karnaen Perwataatmadja, “Praktek asuransi dalam Islam sebenarnya telah pernah
dilakukan pada masa Nabi Yusuf as. yaitu pada saat ia menafsirkan mimpi dari
Raja Fir’aun. Tafsiran yang ia sampaikan adalah bahwa Mesir akan mengalami 7
(tujuh) masa panen yang melimpah dan diikuti dengan 7 (tujuh) masa tahun
paceklik. Untuk menghadapi masa kesulitan (paceklik) itu Nabi Yusuf menyarankan
agar menyisihkan sebagian pendapatan dari hasil penen pada 7 (tujuh) masa tahun
pertama berturut-turut. Saran dari Nabi Yusuf as. ini diikuti oleh Raja Fir’aun
sehingga masa paceklik dapat ditangani dengan baik”. Sebagaimana Firman Allah
yang dikisahkan dalam surat Yusuf (12): 43-49, yang artinya sebagai berikut:
Raja
berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): "Sesungguhnya Aku
bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh
ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh
bulir lainnya yang kering." Hai orang-orang yang terkemuka:
"Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu jika kamu dapat
mena'birkan mimpi."
Mereka
menjawab: "(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak
tahu menta'birkan mimpi itu."
Dan
berkatalah orang yang selamat diantara mereka berdua dan teringat (kepada
Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: "Aku akan memberitakan kepadamu
tentang (orang yang pandai) mena'birkan mimpi itu, Maka utuslah Aku
(kepadanya)."
(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia
berseru): "Yusuf, Hai orang yang amat dipercaya, Terangkanlah kepada kami tentang
tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi
betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya
yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka
mengetahuinya."
Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh
tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu
biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.
Kemudian
sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang
kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit
gandum) yang kamu simpan.
Kemudian
setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup)
dan dimasa itu mereka memeras anggur."
Selanjutnya
konsep asuransi juga sudah ada sejak zaman Rasulullah yang disebut dengan
Aqilah. Menurut Muhsin Khan, kata aqilah berarti asabah yang menunjukkan
hubungan ayah dengan pembunuh, artinya dimana suku Arab zaman dulu barang siapa
yang membunuh harus siap untuk melakukan kontribusi finansial atas nama
pembunuh untuk membayar pewaris korban. Hal ini sudah menjadi kebiasaan bangsa
Arab sejak zaman dahulu bahwa jika ada salah satu anggota suku yang terbunuh
oleh anggota dari suku lain, pewaris korban akan dibayar sejumlah uang darah
(diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh.
Pada
perkembangan selanjutnya, Muhammad Syakir Sula menceritakan dimana Syekh Ibnu
Hajar al-Asqalani dalam Fathul Baari, dengan datangnya Islam, sistem aqilah
diterima oleh Rasulullah menjadi bagian dari hukum Islam. Sebagaimana hal
tersebut dapat dikisahkan dalam pertengkaran antara dua wanita dari suku
Huzail. Salah seorang dari mereka memukul yang lain dengan batu hingga
mengakibatkan kematian wanita itu dan cabang bayi dalam rahimnya. Pewaris korban
membawa kejadian itu ke pengadilan, Rasulullah memberikan keputusan bahwa
kompensasi bagi pembunuh anak bayi adalah membebaskan seorang budak laki-laki
atau wanita, sedangkan kompensasi atas membunuh wanita adalah uang darah
(diyat) yang harus dibayar oleh aqilah (saudara pihak ayah dari yang tertuduh).
MM
Billah dalam disertasi doktornya mengatakan bahwa piagam Madinah adalah
konstitusi pertama di dunia yang dipersiapkan langsung oleh Nabi Muhammad
setelah hijrah ke Madinah. Beberapa pasal memuat ketentuan tentang asuransi
sosial dengan sistem aqilah. Dalam pasal 3 Konstitusi Madinah, Rasulullah
membuat ketentuan mengenai penyelamatan jiwa para tawanan, yang menyatakan
bahwa jika tawanan yang tertahan oleh musuh karena perang, harus membayar
tebusan kepada musuh untuk membebaskan yang ditawan. Konstitusi tersebut
merupakan bentuk lain dari asuransi sosial.
Seiring
dengan perjalanan waktu, istilah asuransi semakin berkembang, baik perlindungan
terhadap jiwa, barang dan lain sebagainya, dan bahkan ada produk investasi
dalam asuransi.
B. Pengertian Asuransi
Kata
Asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie, dan dalam bahasa Inggris
disebut insurance. Kata tersebut kemudian disalin dalam bahasa Indonesia dengan
kata “pertanggungan”. Kemudian dalam bahasa Arab asuransi digunakan dengan
istilah at-ta’min, penanggungnya disebut mu’ammin, dan tertanggung disebut
dengan mu’amman lahu atau musta’min.
Menurut
Adiwarman Karim, at’ta’min, asuransi atau pertanggungan adalah suatu akad yang
konsekwensinya salah satu pihak menjanjikan pihak lain untuk menanggung
kerugian yang mungkin dihadapinya sebagai imbalan dari apa yang diberikan
kepadanya yang disebut premi asuransi.[7] Sementara dalam Kitab Undang-Undang
Perniagaan (Wetboek van Koophandel) bahwa yang dimaksud dengan asuransi adalah
suatu persetujuan dimana pihak yang meminjam berjanji kepada pihak yang
dipinjam untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang
mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang
belum jelas akan terjadi.
Jadi Asuransi adalah sebuah akad pertanggungan
yang mengharuskan penanggung (mu’amin) atau dalam hal ini adalah perusahaan
untuk memberikan kepada nasabah atau kliennya (Mu’amman) sejumlah harta sebagai
konsekwensi daripada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, gaji atau ganti rugi
barang dalam bentuk apapun sesuai dengan yang tertera dalam akad ketika terjadi
bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya yang tertera dalam
akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin,
berkala maupun secara kontan dari klien atau nasabah tersebut kepada perusahaan
asuransi (mu’ammin) disaat hidupnya.
Dari
definisi-definisi di atas asuransi bertujuan untuk mengadakan persiapan dalam
menghadapi kemungkinan-kemungkinan kesulitan yang dihadapi oleh manusia dalam
kehidupannya, sehingga mendorong manusia berupaya dengan sungguh-sungguh untuk
mendapatkan cara-cara yang aman untuk melindungi diri dan kepentingan mereka.
C. Prinsip-Prinsip Dalam Asuransi Islam
Ada
beberapa prinsip-prinsip atau nilai dasar yang melandasi praktek bermuamalat,
khususnya pada asuransi Islam. Sebagai berikut:
- Prinsip
Tauhid
Tauhid
merupakan prinsip dasar dalam asuransi Islam. Karena pada haekekatnya setiap
muslim harus melandasi dirinya dengan tauhid dalam menjalankan segala aktivitas
kehidupannya, tidak terkecuali dalam bermuamalah. Artinya bahwa niatan dasar ketika berasuransi
Islam haruslah berlandaskan pada prinsip tauhid, mengharapkan keridhaan Allah
SWT. Sebagai contoh dilihat dari sisi
perusahaan, asas yang digunakan dalam berasuransi Islam bukanlah semata-mata
meraih keuntungan, atau menangkap peluang pasar yang sedang cenderung pada Islam.
Namun lebih dari itu, niatan awalnya adalah untuk mengimplementasikan
nilai-nilai Islam dalam dunia asuransi. Sedangkan dari sisi nasabah,
berasuransi Islam adalah bertujuan untuk bertransaksi dalam bentuk tolong
menolong yang berlandaskan asas Islam, dan bukan semata-mata mencari
“perlindungan” apabila terjadi musibah.
- Prinsip
Keadilan
Prinsip
kedua yang menjadi nilai-nilai dalam pengimplementasian asuransi Islam adalah
prinsip keadilan. Artinya bahwa asuransi Islam harus benar-benar bersikap adil,
khususnya dalam membuat pola hubungan antara nasabah dengan nasabah, maupun
antara nasabah dengan perusahaan asuransi Islam, terkait dengan hak dan
kewajiban masing-masing. Asuransi Islam tidak boleh mendzalimi nasabah dengan
hal-hal yang akan menyulitkan atau merugikan nasabah. Ditinjau dari sisi
asuransi sebagai sebuah perusahaan,
potensi untuk melakukan ketidak adilan sangatlah besar. Seperti adanya unsur
dana hangus (pada saving produk), dimana nasabah yang sudah ikut asuransi
(misalnya asuransi pendidikan) dengan periode tertentu, namun karena suatu hal
ia membatalkan kepesertaannya di tengah jalan. Pada asuransi Islam, dana saving
nasabah yang telah dibayarkan melalui premi harus dikembalikan kepada nasabah
bersangkutan, berikut hasil investasinya.
- Prinsip
tolong-menolong
Semangat
tolong menolong merupakan aspek yang sangat penting dalam operasional asuransi Islam.
Karena pada hekekatnya, konsep asuransi Islam didasarkan pada prinsip Tabarru’.
Dimana sesama peserta bertabarru’ atau berderma untuk kepentingan nasabah
lainnya yang tertimpa musibah. Nasabah tidaklah berderma kepada perusahaan
asuransi Islam, peserta berderma hanya kepada sesama peserta saja. Perusahaan
asuransi Islam bertindak sebagai pengelola saja. Konsekwensinya, perusahaan
tidak berhak mengklaim atau mengambil dana tabarru’ nasabah. Perusahaan hanya
mendapatkan dari ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ tersebut, yang
dibayarkan oleh nasabah bersamaan dengan pembayaran kontribusi (premi). Perusahaan asuransi Islam mengelola dana
tabarru’ tersebut, untuk diinvestasikan (secara Islam) lalu kemudia
dialokasikan pada nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Dan dengan konsep
seperti ini, berarti antara sesama nasabah telah mengimplementasikan saling
tolong menolong, kendatipun antara mereka tidak saling bertatap muka.
D. Dasar Hukum dari Asuransi
Asuransi
dalam Sudut Pandang Hukum Islam Mengingat masalah asuransi ini sudah
memasyarakat di Indonesia dan diperkirakan ummat Islam banyak terlibat di
dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari sudut pandang
agama Islam.
Di
kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yang
melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah.
Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada
makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:
“Dan
tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yang memberi
rezekinya.” (Q. S. Hud: 6)
“……dan
siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di
samping Allah ada Tuhan (yang lain)?……” (Q. S. An-Naml: 64)
“Dan
kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup, dan (kami
menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki
kepadanya.” (Q. S. Al-Hijr: 20)
Dari
ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan
segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai
khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang.
Manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya.
Melibatkan
diri ke dalam asuransi ini, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk
mengahadapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak
dijelaskan secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah
ijtihadi, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan
pendapat sukar dihindari.
Ada
beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam.
Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
1.
Asuransi itu haram dalam segala macam
bentuknya, temasuk asuransi jiwa
Pendapat
ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf
Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang
mereka kemukakan ialah:
a)
Asuransi sama dengan judi
b)
Asuransi mengandung ungur-unsur tidak
pasti.
c)
Asuransi mengandung unsur riba/renten.
d)
Asurnsi mengandung unsur pemerasan,
karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan
hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
e)
Premi-premi yang sudah dibayar akan
diputar dalam praktek-praktek riba.
f)
Asuransi termasuk jual beli atau tukar
menukar mata uang tidak tunai.
g)
Hidup dan mati manusia dijadikan objek
bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
2.
Asuransi konvensional diperbolehkan
Pendapat
kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar
Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa
(guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa
(pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
a)
Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah)
yang melarang asuransi.
b)
Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah
pihak.
c)
Saling menguntungkan kedua belah pihak.
d)
Asuransi dapat menanggulangi kepentingan
umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk
proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
e)
Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi
hasil)
f)
Asuransi termasuk koperasi (Syirkah
Ta‘awuniyah).
g)
Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan
sistem pensiun seperti taspen.
3.
Asuransi yang bersifat sosial di
perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan
Pendapat
ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam
pada Universitas Cairo).
Alasan
kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial
(haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang
bersifat sosial (boleh).
Alasan
golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang
tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.
Dari
uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam
masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang
keragu-raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat
kepada ketentuan hukum yang benar.
Sekiranya
ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui.
Jalan alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut ketentuan agama
Islam.
Dalam
keadaan begini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:
“Tinggalkan
hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yagn tidak meragukan
kamu.” (HR. Ahmad)
E. Perbedaan Asuransi Islam dan
Asuransi Konvensional
No |
Prinsip |
Asuransi Konvensional |
Asuransi Islam |
1. |
Konsep |
Perjanjian antara dua pihak |
Sekumpulan orang yang saling membantu,
saling menjamin, dan bekerja sama, dengan cara |
2. |
Asal Usul |
Dari masyarakat Babilonia |
Dari Al-Aqilah, kebiasaan suku Arab
jauh sebelum Islam datang. Kemudian disahkan oleh |
3. |
Sumber Hukum |
Bersumber dari pikiran |
Bersumber dari wahyu Ilahi. |
4. |
“Maghrib” (Maysir, Gharar, dan Riba’) |
Tidak sejalan dengan Islam Islami
karena adanya |
Bersih dari adanya prakter |
5. |
DPS (Dewan Pengawas Islam) |
Tidak ada, sehingga dalam banyak
prakteknya bertentangan dengan |
Ada, yang berfungsi untuk |
Ada
tujuh perbedaan mendasar antara asuransi Islam dengan asuransi konvensional.
Perbedaan
tersebut adalah:
1.
Asuransi syari'ah memiliki Dewan
Pengawas Islam (DPS) yang betugas mengawasi produk yang dipasarkan dan
pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Islam ini tidak ditemukan dalam
asuransi konvensional.
2.
Akad yang dilaksanakan pada asuransi
syari'ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional
berdasarkan jual beli
3.
Investasi dana pada asuransi syari'ah
berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional
memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya
4.
Kepemilikan dana pada asuransi syari'ah
merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk
mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah
(premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi
investasinya.
5.
Dalam mekanismenya, asuransi syari'ah
tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional.
Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan
ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukan
dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk
tabarru'.
6.
Pembayaran klaim pada asuransi syari'ah
diambil dari dana tabarru' (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal
telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana
tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi
konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
7.
Pembagian keuntungan pada asuransi
syari'ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil
dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional
seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hukum daripada asuransi ialah
masih dalam perbincangan para ulama, karena permasalahan halal haram asuransi
sebelumnya tidak ada dalil ayat ataupun hadis yang menyebutkannya secara
detail. Namun, walaupun demikian kita bisa melihat beberapa hasil ijtihad
pendapat ulama yang menurut akal atau logika mendekati kebenaran, misalnya,
seperti pendapat Muhammad Abu Zahrah yang mengatakan bahwa “asuransi dibolehkan/halalkan
apabila bersifat sosial dan dilarang/haramkan apabila pelaksanaannya bersifat
komersial”. Hal ini dikarenakan bahwa jika asuransi dilaksanakan secara sosial
maka tidak pihak yang merasa dirugikan melainkan saling menguntungkan antara
lain sebagai salah satu tempat untuk berinvestasi. Sedangkan, jika asuransi
dilaksanakan secara komersial maka banyak pihak yang akan dirugikan dan hal ini
dapat dikategorikan ke dalam perjudian yang dapat merugikan sebelah pihak.
Dan
juga kita sebagai umat islam yang berpegang teguh dan patuh terhadap al-Qur’an,
Hadis dan juga para pemimpin (ulama) yang taat kepada Allah SWT. Maka
sepantasnyalah kita menghargai dan mengikuti pendapat Ulama agar supaya kita
tidak terombang-ambing oleh pendapat-pendapat selain mereka yang dapat
menjerumuskan kita kearah yang tidak benar (sesat). Dan disamping itu, kita
sebagai manusia yang diberikan akal dan pikiran, dengan akal tersebut kita
dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, maka hendaklah kita selalu
menggunakannya dalam setiap kali menghadapi masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Aibak, Kutbuddin. Kajian Fiqih
Kontemporer, Yogyakarta: TERAS, 2009.
Ajat, Sudrajat. Fiqih Aktual: Kajian
Atas Persoalan-persoalan Hukum Islam Kontemporer, Ponorogo: STAIN Ponorogo
Press, 2008.
Hasan, M Ali. Masail Fiqhiyah: Zakat,
Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Hendi, Suhendi. Fiqih Muamalah, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Program internet. www. Halal dan haram
asuransi. Com.
Program internet. www. Perbedaan
asuransi syari’ah dan asuransi konvensional. Com.
Projodikoro, Wiryono. Hukum Asuransi di
Indonesia, Jakarta: PT Munas, 1986.
No comments:
Post a Comment