Friday, 30 July 2021

MAKALAH TENTANG ASURANSI DALAM ISLAM

 

DAFTAR ISI

 

 

KATA PENGANTAR........................................................................................... i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

 

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1

A.    Latar Belakang............................................................................................. 1

B.    Masalah Pokok............................................................................................. 2

 

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3

A.    Sejarah Asuransi Dalam Islam...................................................................... 3

B.    Pengertian Asuransi...................................................................................... 5

C.    Prinsip-Prinsip Dalam Asuransi Islam.......................................................... 6

D.    Dasar Hukum dari Asuransi......................................................................... 7

E.     Perbedaan Asuransi Islam dan Asuransi Konvensional............................. 10

 

BAB III KESIMPULAN..................................................................................... 13

 

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 14

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Latar Belakang

Seiring dengan kemajuan zaman yang semakin melesat dan arus globalisasi yang sudah merasuk ke segala penjuru dunia bahkan sudah sampai ke desa-desa. Hal itu ditandai dengan menjamurnya alat teknologi dan gaya yang dibawa oleh pengaruhnya. Ada semacam peralihan sikap dan moral dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga dalam hal muamalah yang disebabkan oleh kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan sumber daya yang terbatas memunculkan masalah-masalah baru yang harus diketahui hukumnya menurut ajaran Islam.

kajian fiqih muamalah dewasa ini sudah mengalami perkembangan. Masalah tersebut belum dikenal pada masa mujtahid-mujtahid fiqih, sehingga hukumnya juga belum diketahui. Untuk itu diperlukan pemahaman dan kajian yang mendalam terhadap masalah tersebut. Salah satu masalah yang baru tersebut adalah masalah asuransi.

Masalah asuransi ini banyak sekali menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian para ulama berpendapat ada yang membolehkan, membolehkan sebagian dan mengharamkan praktek yang lain, syubhat, bahkan ada yang berpendapat bahwa asuransi itu haram dalam segala bentuknya. Hal itu membuat umat dihadapkan dalam keadaan yang bimbang. Indonesia merupakan masyarakat mayoritas Islam. Mereka semua membutuhkan kepastian hukum asuransi menurut Islam.

Asuransi juga terbagi dalam dua kategori. Ada asuransi kovensional dan ada juga asuransi syari’ah. Keduanya mempunyai asal usul dan sistem yang berbeda. Mana diantara keduanya yang harus dipilih oleh umat supaya mereka tidak terjebak dan terhindar dari kesalahfahaman pendapat. Mereka menginginkan hidup bermuamalah susuai ajaran Islam.

Pada saat ini umat Islam dihadapkan pada persoalan-persoalan ekonomi kontemporer, akibat dari perkembangan peradaban manusia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu ekonomi Islam harus bisa menghadapi atau menjawab serta memberikan solusi-solusi atau alternatif  terhadap masalah-masalah ekonomi yang semakin berkembang, salah satunya adalah pada persoalan asuransi Islam.

Asuransi merupakan suatu bentuk kerjasama pertanggungan tolong-menolong dalam menghadapi suatu resiko kerugian yang kemungkinan akan dihadapi oleh mereka yang berserikat. Hal ini merupakan suatu kebutuhan dasar bagi manusia karena kecelakaan dan konsekwensi finansialnya memerlukan santunan, karena asuransi merupakan bentuk organisasi atau perusahaan penyantun masalah-masalah universal, seperti kematian, cacat, kebakaran, banjir dan kecelakaan-kecelakaan yang bersangkutan dengan transportasi serta kerugian finansial yang disebabkannya.

Namun konsep dan perjanjian asuransi merupakan jenis akad baru yang belum pernah ada pada masa-masa pertama perkembangan fiqih Islam. Hal ini menimbulkan banyak perbincangan dan pendapat tentang keberadaan hukum asuransi menurut syariat Islam. Perbedaan pendapat bermunculan dari para ulama fiqih dan para cendikiawan muslim. Diantara mereka ada yang membolehkan dan menghalalkan asuransi dan sebagaian yang lainya ada yang mengharamkan semua jenis asuransi, serta ada sebagian kelompok yang hanya mengharamkan asuransi pada sebagian macamnya saja.

 

B.       Masalah Pokok

Berdasarkan pada uraian di atas maka masalah pokok yang dikemukakan dalam makalah ini adalah Asuransi dalam Islam? Sebagai mahasiswa itu merupakan tugas kita semua sebagai generasi bangsa dan calon pemimpin umat. Sedangkan masalah yang lainnya adalah bagaimana perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah? Kedua masalah tersebut menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini.


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.      Sejarah Asuransi Dalam Islam

Menurut Karnaen Perwataatmadja, “Praktek asuransi dalam Islam sebenarnya telah pernah dilakukan pada masa Nabi Yusuf as. yaitu pada saat ia menafsirkan mimpi dari Raja Fir’aun. Tafsiran yang ia sampaikan adalah bahwa Mesir akan mengalami 7 (tujuh) masa panen yang melimpah dan diikuti dengan 7 (tujuh) masa tahun paceklik. Untuk menghadapi masa kesulitan (paceklik) itu Nabi Yusuf menyarankan agar menyisihkan sebagian pendapatan dari hasil penen pada 7 (tujuh) masa tahun pertama berturut-turut. Saran dari Nabi Yusuf as. ini diikuti oleh Raja Fir’aun sehingga masa paceklik dapat ditangani dengan baik”. Sebagaimana Firman Allah yang dikisahkan dalam surat Yusuf (12): 43-49, yang artinya sebagai berikut:

Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): "Sesungguhnya Aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering." Hai orang-orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu jika kamu dapat mena'birkan mimpi."

Mereka menjawab: "(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak tahu menta'birkan mimpi itu."

Dan berkatalah orang yang selamat diantara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: "Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) mena'birkan mimpi itu, Maka utuslah Aku (kepadanya)."

 (Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): "Yusuf, Hai orang yang amat dipercaya, Terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya."

Yusuf  berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.

Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.

Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur."

Selanjutnya konsep asuransi juga sudah ada sejak zaman Rasulullah yang disebut dengan Aqilah. Menurut Muhsin Khan, kata aqilah berarti asabah yang menunjukkan hubungan ayah dengan pembunuh, artinya dimana suku Arab zaman dulu barang siapa yang membunuh harus siap untuk melakukan kontribusi finansial atas nama pembunuh untuk membayar pewaris korban. Hal ini sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab sejak zaman dahulu bahwa jika ada salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota dari suku lain, pewaris korban akan dibayar sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh.

Pada perkembangan selanjutnya, Muhammad Syakir Sula menceritakan dimana Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Baari, dengan datangnya Islam, sistem aqilah diterima oleh Rasulullah menjadi bagian dari hukum Islam. Sebagaimana hal tersebut dapat dikisahkan dalam pertengkaran antara dua wanita dari suku Huzail. Salah seorang dari mereka memukul yang lain dengan batu hingga mengakibatkan kematian wanita itu dan cabang bayi dalam rahimnya. Pewaris korban membawa kejadian itu ke pengadilan, Rasulullah memberikan keputusan bahwa kompensasi bagi pembunuh anak bayi adalah membebaskan seorang budak laki-laki atau wanita, sedangkan kompensasi atas membunuh wanita adalah uang darah (diyat) yang harus dibayar oleh aqilah (saudara pihak ayah dari yang tertuduh).

MM Billah dalam disertasi doktornya mengatakan bahwa piagam Madinah adalah konstitusi pertama di dunia yang dipersiapkan langsung oleh Nabi Muhammad setelah hijrah ke Madinah. Beberapa pasal memuat ketentuan tentang asuransi sosial dengan sistem aqilah. Dalam pasal 3 Konstitusi Madinah, Rasulullah membuat ketentuan mengenai penyelamatan jiwa para tawanan, yang menyatakan bahwa jika tawanan yang tertahan oleh musuh karena perang, harus membayar tebusan kepada musuh untuk membebaskan yang ditawan. Konstitusi tersebut merupakan bentuk lain dari asuransi sosial.

Seiring dengan perjalanan waktu, istilah asuransi semakin berkembang, baik perlindungan terhadap jiwa, barang dan lain sebagainya, dan bahkan ada produk investasi dalam asuransi.

 

B.       Pengertian Asuransi

Kata Asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie, dan dalam bahasa Inggris disebut insurance. Kata tersebut kemudian disalin dalam bahasa Indonesia dengan kata “pertanggungan”. Kemudian dalam bahasa Arab asuransi digunakan dengan istilah at-ta’min, penanggungnya disebut mu’ammin, dan tertanggung disebut dengan mu’amman lahu atau musta’min.

Menurut Adiwarman Karim, at’ta’min, asuransi atau pertanggungan adalah suatu akad yang konsekwensinya salah satu pihak menjanjikan pihak lain untuk menanggung kerugian yang mungkin dihadapinya sebagai imbalan dari apa yang diberikan kepadanya yang disebut premi asuransi.[7] Sementara dalam Kitab Undang-Undang Perniagaan (Wetboek van Koophandel) bahwa yang dimaksud dengan asuransi adalah suatu persetujuan dimana pihak yang meminjam berjanji kepada pihak yang dipinjam untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.

 Jadi Asuransi adalah sebuah akad pertanggungan yang mengharuskan penanggung (mu’amin) atau dalam hal ini adalah perusahaan untuk memberikan kepada nasabah atau kliennya (Mu’amman) sejumlah harta sebagai konsekwensi daripada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun sesuai dengan yang tertera dalam akad ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya yang tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin, berkala maupun secara kontan dari klien atau nasabah tersebut kepada perusahaan asuransi (mu’ammin) disaat hidupnya.

Dari definisi-definisi di atas asuransi bertujuan untuk mengadakan persiapan dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan kesulitan yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupannya, sehingga mendorong manusia berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan cara-cara yang aman untuk melindungi diri dan kepentingan mereka.

 

C.      Prinsip-Prinsip Dalam Asuransi Islam

Ada beberapa prinsip-prinsip atau nilai dasar yang melandasi praktek bermuamalat, khususnya pada asuransi Islam. Sebagai berikut:

  1. Prinsip Tauhid

Tauhid merupakan prinsip dasar dalam asuransi Islam. Karena pada haekekatnya setiap muslim harus melandasi dirinya dengan tauhid dalam menjalankan segala aktivitas kehidupannya, tidak terkecuali dalam bermuamalah.  Artinya bahwa niatan dasar ketika berasuransi Islam haruslah berlandaskan pada prinsip tauhid, mengharapkan keridhaan Allah SWT.  Sebagai contoh dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan dalam berasuransi Islam bukanlah semata-mata meraih keuntungan, atau menangkap peluang pasar yang sedang cenderung pada Islam. Namun lebih dari itu, niatan awalnya adalah untuk mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam dunia asuransi. Sedangkan dari sisi nasabah, berasuransi Islam adalah bertujuan untuk bertransaksi dalam bentuk tolong menolong yang berlandaskan asas Islam, dan bukan semata-mata mencari “perlindungan” apabila terjadi musibah.

  1. Prinsip Keadilan

Prinsip kedua yang menjadi nilai-nilai dalam pengimplementasian asuransi Islam adalah prinsip keadilan. Artinya bahwa asuransi Islam harus benar-benar bersikap adil, khususnya dalam membuat pola hubungan antara nasabah dengan nasabah, maupun antara nasabah dengan perusahaan asuransi Islam, terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing. Asuransi Islam tidak boleh mendzalimi nasabah dengan hal-hal yang akan menyulitkan atau merugikan nasabah. Ditinjau dari sisi asuransi  sebagai sebuah perusahaan, potensi untuk melakukan ketidak adilan sangatlah besar. Seperti adanya unsur dana hangus (pada saving produk), dimana nasabah yang sudah ikut asuransi (misalnya asuransi pendidikan) dengan periode tertentu, namun karena suatu hal ia membatalkan kepesertaannya di tengah jalan. Pada asuransi Islam, dana saving nasabah yang telah dibayarkan melalui premi harus dikembalikan kepada nasabah bersangkutan, berikut hasil investasinya.

  1. Prinsip tolong-menolong

Semangat tolong menolong merupakan aspek yang sangat penting dalam operasional asuransi Islam. Karena pada hekekatnya, konsep asuransi Islam didasarkan pada prinsip Tabarru’. Dimana sesama peserta bertabarru’ atau berderma untuk kepentingan nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Nasabah tidaklah berderma kepada perusahaan asuransi Islam, peserta berderma hanya kepada sesama peserta saja. Perusahaan asuransi Islam bertindak sebagai pengelola saja. Konsekwensinya, perusahaan tidak berhak mengklaim atau mengambil dana tabarru’ nasabah. Perusahaan hanya mendapatkan dari ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ tersebut, yang dibayarkan oleh nasabah bersamaan dengan pembayaran kontribusi (premi).  Perusahaan asuransi Islam mengelola dana tabarru’ tersebut, untuk diinvestasikan (secara Islam) lalu kemudia dialokasikan pada nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Dan dengan konsep seperti ini, berarti antara sesama nasabah telah mengimplementasikan saling tolong menolong, kendatipun antara mereka tidak saling bertatap muka.

 

D.      Dasar Hukum dari Asuransi

Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam Mengingat masalah asuransi ini sudah memasyarakat di Indonesia dan diperkirakan ummat Islam banyak terlibat di dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari sudut pandang agama Islam.

 

Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah. Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:

 

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Q. S. Hud: 6)

 

“……dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?……” (Q. S. An-Naml: 64)

 

“Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup, dan (kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” (Q. S. Al-Hijr: 20)

 

Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang. Manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya.

Melibatkan diri ke dalam asuransi ini, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk mengahadapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak dijelaskan secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan pendapat sukar dihindari.

Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:

 

 

 

1.      Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa

Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:

a)      Asuransi sama dengan judi

b)      Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.

c)      Asuransi mengandung unsur riba/renten.

d)     Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.

e)      Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.

f)       Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.

g)      Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.

2.      Asuransi konvensional diperbolehkan

Pendapat kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:

a)      Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi.

b)      Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.

c)      Saling menguntungkan kedua belah pihak.

d)     Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.

e)      Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)

f)       Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).

g)      Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.

3.      Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan

Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo).

Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).

Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.

Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang benar.

Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui. Jalan alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut ketentuan agama Islam.

Dalam keadaan begini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:

“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yagn tidak meragukan kamu.” (HR. Ahmad)

 

E.       Perbedaan Asuransi Islam dan Asuransi Konvensional

No

Prinsip

Asuransi Konvensional

Asuransi Islam

1.

Konsep

Perjanjian antara dua pihak
atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
pergantian kepada tertanggung.

Sekumpulan orang yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerja sama, dengan cara
masing-masing mengeluarkan dana tabarru’.

2.

Asal Usul

Dari masyarakat Babilonia
4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Dan tahun
1668 M di Coffee House London berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.

Dari Al-Aqilah, kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian disahkan oleh
Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah tertuang dalam konstitusi pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung oleh Rasulullah.

3.

Sumber Hukum

Bersumber dari pikiran
manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alami, dan contoh sebelumnya.

Bersumber dari wahyu Ilahi.
Sumber hukum dalam Islam Islam adalah Al Qur’an, Sunnah
atau kebiasaan Rasulullah, Ijma, Fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan,
Urf, tradisi, dan Mashalih Mursalah.

4.

“Maghrib” (Maysir, Gharar, dan Riba’)

Tidak sejalan dengan Islam Islami karena adanya
Maysir, Gharar, dan Riba’; hal yang diharamkan dalam muamalah.

Bersih dari adanya prakter
Maysir, Gharar, dan Riba’.

5.

DPS (Dewan Pengawas Islam)

Tidak ada, sehingga dalam banyak prakteknya bertentangan dengan
kaidah-kaidah syara’/Islam.

Ada, yang berfungsi untuk
mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktek-praktek muamalah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam

 

Ada tujuh perbedaan mendasar antara asuransi Islam dengan asuransi konvensional.

Perbedaan tersebut adalah:

1.      Asuransi syari'ah memiliki Dewan Pengawas Islam (DPS) yang betugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Islam ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.

2.      Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari'ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli

3.      Investasi dana pada asuransi syari'ah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya

4.      Kepemilikan dana pada asuransi syari'ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.

5.      Dalam mekanismenya, asuransi syari'ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk tabarru'.

6.      Pembayaran klaim pada asuransi syari'ah diambil dari dana tabarru' (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.

7.      Pembagian keuntungan pada asuransi syari'ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.

 


BAB III

KESIMPULAN

 

Berdasarkan keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hukum daripada asuransi ialah masih dalam perbincangan para ulama, karena permasalahan halal haram asuransi sebelumnya tidak ada dalil ayat ataupun hadis yang menyebutkannya secara detail. Namun, walaupun demikian kita bisa melihat beberapa hasil ijtihad pendapat ulama yang menurut akal atau logika mendekati kebenaran, misalnya, seperti pendapat Muhammad Abu Zahrah yang mengatakan bahwa “asuransi dibolehkan/halalkan apabila bersifat sosial dan dilarang/haramkan apabila pelaksanaannya bersifat komersial”. Hal ini dikarenakan bahwa jika asuransi dilaksanakan secara sosial maka tidak pihak yang merasa dirugikan melainkan saling menguntungkan antara lain sebagai salah satu tempat untuk berinvestasi. Sedangkan, jika asuransi dilaksanakan secara komersial maka banyak pihak yang akan dirugikan dan hal ini dapat dikategorikan ke dalam perjudian yang dapat merugikan sebelah pihak.

Dan juga kita sebagai umat islam yang berpegang teguh dan patuh terhadap al-Qur’an, Hadis dan juga para pemimpin (ulama) yang taat kepada Allah SWT. Maka sepantasnyalah kita menghargai dan mengikuti pendapat Ulama agar supaya kita tidak terombang-ambing oleh pendapat-pendapat selain mereka yang dapat menjerumuskan kita kearah yang tidak benar (sesat). Dan disamping itu, kita sebagai manusia yang diberikan akal dan pikiran, dengan akal tersebut kita dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, maka hendaklah kita selalu menggunakannya dalam setiap kali menghadapi masalah.


DAFTAR PUSTAKA

 

Aibak, Kutbuddin. Kajian Fiqih Kontemporer, Yogyakarta: TERAS, 2009.

Ajat, Sudrajat. Fiqih Aktual: Kajian Atas Persoalan-persoalan Hukum Islam Kontemporer, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008.

Hasan, M Ali. Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

Hendi, Suhendi. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Program internet. www. Halal dan haram asuransi. Com.

Program internet. www. Perbedaan asuransi syari’ah dan asuransi konvensional. Com.

Projodikoro, Wiryono. Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta: PT Munas, 1986.

 

No comments:

Post a Comment