DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................... 2
2.1 Etiologi........................................................................................................... 2
2.2 Epidemologi .................................................................................................. 2
2.3 Patofisiologi................................................................................................... 3
2.4 Manifestasi Klinis.......................................................................................... 3
2.5 Komplikasi..................................................................................................... 4
2.6 Diagnosis........................................................................................................ 6
2.7 Pengobatan..................................................................................................... 6
2.8 Pencegahan.................................................................................................... 7
BAB III PENUTUP................................................................................................. 8
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 9
BAB I
PENDAHULUAN
Askariasis
merupakan infeksi cacing yang paling sering ditemui. Diperikan prevalensinya di
dunia sekitar25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia. Biasanya bersifat
asimtomatis. Prevalensi paling besar pada daerah tropis dan di negara
berkembang di mana sering terjadi kontaminasi tanah oleh tinja sebagai pupuk.
Gejala penyakitnya sering berupa pertumbuhan yang terhanbat, pneumonitis,
obstruksi intestinal atau hepatobiliar dan pancreatic injury.(soegeng
soegijanto,2005)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Etiologi
Askariasis disebabkan oleh Ascariasis lumbricoides. Cacing Ascariasis
lumbricoides dewasa tinggal di dalam lumen usus kecil dan memiliki umur 10-2
bulan. Cacing betina dapat menghasilkan 200.000 telur setiap hari. Telur fertil
berbentuk oval dengan panjang 45-70 µm. Setelah keluar bersama tinja, embrio
dalam telur akan berkembang menjadi infektif dalam 5-10hari pada kondisi
lingkungan yang mendukung.
2.2 Epidemologi
Askariasis
merupakan infeksi cacing pada manusia yang angka kejadian sakitnya tinggi
terutama di daerah tropis dimana tanahnya memiliki kondisi yang sesuai untuk
kematangan telur di dalam tanah. Diperkirakan hampir 1 miliar penduduk yang
terinfeksi dengan 4 juta kasus di Amerika Serikat. Prevalensi pada
komunitas-komunitas tertentu lebih besar dari 80%. Prevalensi dilapokan terjadi
di lembah sungai Yangtze di Cina. Masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi yang
rendah memiliki prevalensi infeksi yang tinggi, demikian juga pada masyarakat
yang menggunakan tinja sebagai pupuk dan dengan kondisi geografis yang
mendukung. Walaupun infeksi dapat menyerang semua usia, infeksi tertinggi
terjadi pada anak-anak pada usia sebelum sekolah dan usia sekolah.
Penyebarannya terutama melalui tangan ke mulut (hand to mouth) dapat juga
melalui sayuran atau buah yang terkontaminasi. Telur askaris dapat bertahan
selama 2 tahun pada suhu 5-10 ºC. Empat dari 10 orang di Afrika, Asia, dan
Amerika Serikat terinfeksi oleh cacing ini.
Prevalensi dan
intensitas gejala simtomatis yang paling tinggi terjadi pada anak-anak. Pada
anak-anak obstruksi intestinal merupakan manifestasi penyakit yang paling
sering ditemui. Diantara anak-anak usia 1-12 tahun yang berada di rumah sakit
Cape Town dengan keluhan abdominal antara 1958-1962, 12.8 % dari infeksinya
disebabkan oleh Ascariasis lumbricoides. Anak-anak dengan askariasis kronis
dapat menyebabkan pertumbuhan lambat berkaitan dengan penurunan jumlah makanan
yang dimakan.
Menurut World
Health Organization (WHO), intestinal obstruction pada anak-anak menyebabkan
komplikasi fatal, menyebabkan 8000 sampai 100,000 kematian per tahun.
2.3 Patofisiologi
Ascariasis
lumbricoides adalah nematoda terbesar yang umumnya menginfeksi manusia. Cacing
dewasa berwarna putih atau kuning sepanjang 15-35 cm dan hidup selama 10-24
bulan di jejunum dan bagian tengah ileum. Cacing betina menghasilkan 240.000
telur setiap hari yang akan terbawa bersama tinja.
Telur fertil jika
jatuh pada kondisi tanah yang sesuai, dalam waktu 5-10 hari telur tersebut
dapat menginfeksi manusia. Telur dapat bertahan hidup di dalam tanah selama 17
bulan. Infeksi umumnya terjadi melalui kontaminasi tanah pada tangan atau
makanan. Kemudian masuk pada usus dan akan menetas pada usus kecil (deudenum). Pada
tahap kedua larva akan melewati dinding usus dan akan berpindah melalui sistem
portal menuju hepar (4d) dan kemudian paru. Infeksi yang berat dapat di ikuti
pneumonia dan eosinifilia. Larva kemudian dibatukkan dan tertelan kembali
menuju jejunum. Diperlukan waktu 65 hari untuk menjadi cacing dewasa.
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi
klinis tergantung pada intensitas infeksi dan organ yang terlibat. Pada
sebagian besar penderita dengan infeksi rendah sampai sedang gejalanya
asimtomatis atau simtomatis. Gejala klinis paling sering ditemui berkaitan
dengan penyakit paru atau sumbatan pada usus atau saluran empedu. Gejala klinis
yang nyata biasanya berupa nyeri perut, berupa kolik di daerah pusat atau
epigastrum, perut buncit (pot belly), rasa mual dan kadang-kadang muntah,
cengeng, anoreksia, susah tidur dan diare.
Telur cacing
askariasis akan menetas didalam usus. Larva kemudian menembus dinding usus dan
bermigrasi ke paru melalui sirkulasi dalam vena. Parasit dapat menyebabkan
Pulmonari ascariasis ketika memasuki alveoli dan bermigrasi melalui bronki dan
trakea. Manifestasi infeksi pada paru mirip dengan sindrom Loffler dengan
gejala seperti batuk, sesak, adanya infiltrat pada paru dan eosinofilia. Cacing
dewasa akan memakan sari makanan hasil pencernaan host. Anak-anak yang
terinfeksi dan memiliki pola makanan yang tidak baik dapat mengalami kekurangan
protein, kalori, atau vitamin A, yang akhirnya dapat mengalami pertumbuhan
terlambat. Obstruksi usus, saluran empedu dan pankreas dapat terjadi akibat
sumbatan oleh cacing yang besar. Cacing ini tidak berkembang biak pada host.
Infeksi dapat bertahan selama umur cacing maksimal (2 tahun), serta mudah
terjadi infeksi berulang.
2.5 Komplikasi
Spoilative
action. Anak yang menderita askariasis umumnya dalam keadaan distrofi. Pada
penyelidikan ternyata askariasis hanya mengambil sedikit karbohidrat ”hospes”,
sedangkan protein dan lemak tidak diambilnya. Juga askariasis tidak mengambil
darah hospes. Dapat ditarik kesimpulan bahwa distrofi pada penderita askariasis
disebabkan oleh diare dan anoreksia.
Toksin. Chimura
dan Fuji berhasil menbuat ekstrak askaris yang disebut askaron yang kemudian
ketika disuntikkan pada binatang percobaan (kuda) menyebabkan renjatan dan
kematian, tetapi kemudian pada penyelidikan berikutnya tidak ditemukan toksin
yang spesifik dari askaris. Mungkin renjatan yang terjadi tersebut disebabkan
oleh protein asing.
Alergi. Terutama
disebabkan larva yang dalam siklusnya masuk kedalam darah, sehingga sesudah
siklus pertama timbul alergi terhadap protein askaris. Karenanya pada siklus
berikut dapat timbul manifestasi alergi berupa asma bronkiale, ultikaria,
hipereosinofilia, dan sindrom Loffler. Simdrom Loffler merupakan kelainan
dimana terdapat infiltrat (eosinofil) dalam paru yang menyerupai
bronkopneumonia atipik. Infiltrat cepat menghilang sendiri dan cepat timbul
lagi dibagian paru lain. Gambaran radiologisnya menyerupai tuberkulosis
miliaris.Disamping itu terdapat hiperesinofilia (40-70%). Sindrom ini diduga
disebabkan oleh larva yang masuk ke dalam lumen alveolus, diikuti oleh sel
eosinofil. Tetapi masih diragukan, karena misalnya di indonesia dengan infeksi
askaris yang sangat banyak, sindrom ini sangat jarang terdapat, sedangkan di
daerah denagn jumlah penderita askariasis yang rendah, kadang-kadang juga
ditemukan sindrom ini.
Traumatik action.
Askaris dapat menyebabkan abses di dinding usus, perforasi dan kemudian
peritonitis. Yang lebih sering terjadi cacing-cacing askaris ini berkumpul
dalam usus, menyebabkan obstuksi usus dengan segala akibatnya. Anak dengan
gejala demikian segera dikirim ke bagian radiologi untuk dilakukan pemeriksaan
dengan barium enema guna mengetahui letak obstruksi. Biasanya dengan tindakan
ini cacing-cacing juga dapat terlepas dari gumpalannya sehingga obstruksi dapat
dihilangkan. Jika cara ini tidak menolong, maka dilakukan tindakan operatif.
Pada foto rontgen akan tampak gambaran garis-garis panjang dan gelap (filling
defect).
Errantic action.
Askaris dapat berada dalam lambung sehingga menimbulkan gejala mual, muntah,
nyeri perut terutama di daerah epigastrium, kolik. Gejala hilang bila cacing
dapat keluar bersama muntah. Dari nasofaring cacing dapat ke tuba Eustachii
sehingga dapat timbul otitis media akut (OMA) kemudian bila terjadi perforasi,
cacing akan keluar. Selain melalui jalan tersebut cacing dari nasofaring dapat
menuju laring, kemudian trakea dan bronkus sehingga terjadi afiksia. Askaris
dapat menetap di dalam duktus koledopus dan bila menyumbat saluran tersebut,
dapat terjadi ikterus obstruktif. Cacing dapat juga menyebabkan iritasi dan
infeksi sekunder hati jika terdapat dalam jumlah banyak dalam kolon maka dapat
merangsang dan menyebabkan diare yang berat sehingga dapat timbul apendisitis
akut.
Irritative
Action. Terutama terjadi jika terdapat banyak cacing dalam usus halus maupun
kolon. Akibat hal ini dapat terjadi diare dan muntah sehingga dapat terjadi
dehidrasi dan asidosis dan bila berlangsung menahun dapat terjadi malnutrisi.
Komplikasi lain.
Dalam siklusnya larva dapat masuk ke otak sehingga timbul abses-abses kecil; ke
ginjal menyebabkan nefritis; ke hati menyebabkan abses-abses kecil dan
hepatitis. Di indonesia komplikasi ini jarang terjadi tetapi di srilangka dan
Filipina banyak menyebabkan kematian.
2.6 Diagnosis
1)
Ditegakkan dengan :
i.
Menemukan telur Ascaris lumbricoides dalam tinja.
ii.
Cacing ascaris keluar bersama muntah atau tinja penderita
2)
Pemeriksaan Laboratorium
i.
Pada pemeriksaan darah detemukan periferal eosinofilia.
ii.
Detemukan larva pada lambung atau saluran pernafasan pada
tenyakit paru.
iii. Pemeriksaan
mikroskopik pada hapusan tinja dapat digunakan untuk memeriksa sejumlah besar
telur yang di ekskresikan melalui anus.
3)
Pemeriksaan Foto
i.
Foto thoraks menunjukkan gambaran otak pada lapang pandang
paru seperti pada sindrom Loeffler
ii.
Penyakit pada saluran empedu
a)
Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)
memiliki sensitivitas 90% dalam membantu mendiagnosis biliary ascariasis.
b)
Ultrasonography memiliki sensitivitas 50% untuk membantu
membuat diagnosis biliary ascariasis.
2.7 Pengobatan
1.
Obat pilihan: piperazin sitrat (antepar) 150 mg/kg BB/hari,
dosis tunggal dengan dosis maksimum 3 g/hari
2.
Heksil resorsinol dengan dosis100 mg/tahun (umur)
3.
Oleum kenopodii dengan dosis 1 tetes/tahun (umur)
4.
Santonin : tidak membinasakan askaris tetapi hanya
melemahkan. Biasanya dicampur dengan kalomel (HgCl= laksans ringan) dalam
jumlah yang sama diberikan selama 3 hari berturut-turut.
Dosis : 0-1tahun
= 3 x 5 mg
1-3 tahun = 3 x
10 mg
3-5 tahun = 3 x
15 mg
Lebih dari 5
tahun =3 x 20 mg
Dewasa = 3 x 25
mg
5.
Pirantel pamoat (combantrin) dengan dosis 10 mg/ kg BB/hari
dosis tunggal.
6.
Papain yaitu fermen dari batang pepaya yang kerjanya
menghancurkan cacing. Preparatnya : Fellardon.
7.
Pengobatan gastrointestinal ascariasis menggunakan
albendazole (400 mg P.O. sekali untuk semua usia), mabendazole (10 mg P.O.
untuk 3 hari atau 500 mg P.O. sekali untuk segala usia) atau yrantel pamoate
(11 mg/kg P.O. sakali, dosis maksimum 1 g). Piperazinum citrate (pertama : 150
mg/kg P.O. diikuti 6 kali dosis 6 mg/kg pada interval 12 hari)
Prognosis : baik,
terutama jika tidak terdapat komplikasi dan cepat diberikan pengobatan.
2.8 Pencegahan
Program pemberian
antihilmitik yang dilakukan dengan cara sebagai berikut.
- Memberikan
pengobatan pada semua individu pada daerah endemis
- Memberikan
pengobatan pada kelompok tertentu dengan frekuensi infeksi tinggi seperti
anak-anak sekolah dasar.
- Memberikan
pengobatan pada individu berdasarkan intensitas penyakit atau infeksi yang
telah lalu.
- Peningkatan
kondisi sanitasi
- Menghentikan
penggunaan tinja sebagai pupuk.
- Memberikan
pendidikan tentang cara-cara pencegahan ascariasis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Askariasis
merupakan infeksi cacing yang paling sering ditemui. Diperikan prevalensinya di
dunia sekitar25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.
Askariasis
disebabkan oleh Ascariasis lumbricoides. Cacing Ascariasis lumbricoides dewasa
tinggal di dalam lumen usus kecil dan memiliki umur 10-2 bulan. Cacing betina
dapat menghasilkan 200.000 telur setiap hari. Telur fertil berbentuk oval
dengan panjang 45-70 µm.
Askariasis
merupakan infeksi cacing pada manusia yang angka kejadian sakitnya tinggi
terutama di daerah tropis dimana tanahnya memiliki kondisi yang sesuai untuk
kematangan telur di dalam tanah.
Ascariasis
lumbricoides adalah nematoda terbesar yang umumnya menginfeksi manusia.
Manifestasi
klinis tergantung pada intensitas infeksi dan organ yang terlibat. Pada
sebagian besar penderita dengan infeksi rendah sampai sedang gejalanya
asimtomatis atau simtomatis.
DAFTAR PUSTAKA
Soegijanto,
Soegeng.2005.Kumpulan Makalah Penyakit Tropis Dan Infeksi Di Indonesia Jilid 4.
Surabaya: Airlangga University Press
Staf Pengajar Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2002. Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak 2.Jakarta :P ercetakan Info Medika Jakarta
No comments:
Post a Comment