DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.
Latar
Belakang ............................................................................................ 1
B.
Tujuan
Penulisan.......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3
A.
Tinjauan
Islam Tentang Ilmu Kesehatan...................................................... 3
B.
Aborsi
dalam Pandangan Islam.................................................................... 5
C.
Adopsi
dalam pandangan Islam dan Penjelasan ayat Tentang Adopsi...... 11
D.
Inseminasi
Dalam Pandangan Islam dan ayat Tentang Inseminasi............ 22
E.
Eutanasia
dalam Pandangan Islam serta Penjelasan Ayat.......................... 25
BAB III PENUTUP............................................................................................. 35
A.
Kesimpulan................................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 37
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam sangat
memperhatikan dunia kesehatan guna menolong orang yang sakit dan meningkatkan
kesehatan. Anjuran islam untuk hidup bersih juga menunjukkan obsesi islam untuk
mewujudkan kesehatan masyarakat , sebab kebersihan pangkal kesehatan, dan
kebersihan dipandang sebagai bagian dari iman. Jadi walaupun seseorang sudah
menjaga kesehatannya sedemikian rupa, risiko kesakitan masih besar, disebabkan
faktor eksternal yang diluar kemampuannya menghindari.
Islam menaruh perhatian
yang besar terhadap dunia kesehatan. Kesehatan merupakan modal utama untuk
bekerja, beribadah dan melaksanakan aktivitas lainnya. Ajaran Islam yang selalu
menekankan agar setiap orang memakan makanan yang baik dan halal menunjukkan
apresiasi Islam terhadap kesehatan, sebab makanan merupakan salah satu penentu
sehat tidaknya seseorang. Sebagaimana Firman Allah yang terdapat dalam Q.S. Al
Baqarah : 168 yang artinya : “wahai
sekalian manusia, makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
di bumi. Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa yang baik-baik yang
Kami rezekikan kepadamu.” (Q.S.Al-Baqarah: 168).
Anjuran Islam untuk bersih
juga menunjukkan obsesi Islam untuk mewujudkan kesehatan masyarakat, sebab
kebersihan pangkal kesehatan, dan kebersihan di pandang sebagai bagian dari
iman. Itu sebabnya ajaran Islam sangat melarang pola hidup yang mengabaikan
kebersihan, seperti buang kotoran dan sampah sembarangan, membuang sampah dan
limbah di sungai atau sumur yang airnya tidak mengalir dan sejenisnya, dan
Islam sangat menekankan Kesucian atau Al-thaharah, yaitu kebersihan atau
kesucian lahir dan batin. Dengan hidup bersih, maka kesehatan akan semakin
terjaga, sebab selain bersumber dari perut sendiri, penyakit sering kali
berasal dari lingkungan yang kotor.
Islam adalah suatu
agama yang mengutamakan kebersihan, yang bertujuan untuk mewujudkan kesehatan
bagi pemeluknya. Oleh karna itu kesehatan sangatlah penting bagi kita. Sebagai
umat islam kita hendaknya mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan kesehaan
dalam tinajauan agama Islam.
B.
Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk :
1.
Mengetahui
tentang Tinjauan Islam Tentang Ilmu Kesehatan
2.
Mengetahui
tentang Aborsi dan Penjelasan ayat tentang Aborsi
3.
Mengetahui
tentang Adopsi dan Penjelasan ayat Tentang Adopsi
4. Mengetahui tentang Inseminasi dan Penjelasan ayat
Tentang Inseminasi
5.
Mengetahui
tentang Eutanasia dalam Pandangan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan Islam Tentang Ilmu Kesehatan
Ilmu kesehatan termasuk
salah satu ilmu penting dalam kehidupan, dalam prakteknya terbukti banyak
bermanfaat untuk menjaga kesehatan dan menghindarkan diri dari penyakit badan.
Dengan kondisi sehat setiap Muslim dapat menunaikan kewajibannya, mengisi
seluruh waktunya pada hal-hal yang positif, bertaqwa kepada Allah. Setiap orang
sangat memerlukan kondisi demikian, kapan dan di mana pun mereka berada. Karena
sangat besar manfaatnya inilah maka syariat Islam membolehkan menyatakan bahwa
ilmu kesehatan adalah ilmu teoritis praktis yang diperkenankan dalam syariat
Islam untuk mempelajarinya, karena ia menjaga kesehatan dan menghindarkan diri
dari penyakit.
Sebagaimana dinyatakan
oleh para ulama’ ushul bahwa syariat Islam dibangun untuk menjadi rahmat, dan
menekankan menolak al-masyaqqat (kepayahan) dan al-haraj (kesempitan) dalam
memikul syariat.
Ajaran Islam memberikan
perhatian yang sangat besar terhadap masalah menghilangkan penyakit, memelihara
manusia dari segala yang akan menyakitkannya, baik dalam tubuhnya sendiri
maupun dari luar.
Islam mengajarkan
umatnya untuk senantiasa menjaga kebersihan, baik diri sendiri maupun
lingkungan sekitarnya.
Rasulullah SAW
bersabda, ''Kebersihan itu adalah sebagian daripada iman.'' Jika kebersihan
diri dan lingkungan sudah terjaga, tentu kesehatan akan diperoleh.
Dalam ajaran Islam,
menjaga kebersihan diri dapat dilakukan dengan cara selalu menyucikan diri
setiap kali selesai berhadas besar ataupun kecil, berwudhu setiap kali akan
melaksanakan shalat, dan mandi. Sementara itu, kebersihan lingkungan di
antaranya dapat dilakukan dengan tidak membuang sampah di sembarang tempat.
Jalaluddin Al-Suyuti
memberi penjelasan dalam kitabnya yang bertajuk Mukhtashar Al-Tibb Al-Nabawi.
Menurutnya, selain menjaga kebersihan, Rasulullah SAW juga telah mencontohkan
upaya-upaya lainnya dalam menjaga kesehatan.
Upaya tersebut, dalam
dunia kesehatan modern saat ini, disebut sebagai tindakan pencegahan
(preventif). Al-Suyuti menguraikan langkah preventif yang dicontohkan
Rasulullah SAW, seperti mengonsumi makanan yang halal, berolahraga, dan kontrol
diet untuk mencegah berat badan berlebihan.
Mengingat kebutuhan
manusia terhadap ilmu kesehatan tersebut, banyak pernyataan ulama’ tentang
keutamaannya. Sejak masa lalu, ulama’ memberikan kedudukan tinggi terhadap ilmu
kesehatan. Al-Imam Al-Syafi’i membagi ilmu dalam dua kategori, yaitu ilmu agama
dan ilmu badan atau ilmu kesehatan. Di kalangan Syi’i, mengutip ucapan ‘Ali ibn
Abi talib yang menyejajarkan urgensi ilmu kesehatan setingkat dengan ilmu hukum
Islam, ia berkata : Ada emapat ilmu pengetahuan, yaitu ilmu tentang hukum
Islam, ilmu kesehatan badan, gramatika bahasa dan ilmu perbintangan untuk
mengetahui musim dan pergantiannya.
Pada masa awal Islam,
ahli pengobatan yang disebut para thabib, sebagian besar mereka memperoleh
pengetahuan pengobatan berdasarkan adat turun temurun. Sebagian mereka ada yang
berprofesi sebagai dokter, ada juga yang sebagai pedagang atau guru yang mengajarkan
tentang al-Quran dan penerapannya.
Dalam hadist Nabi
banyak dijumpai informasi bahwa Nabi berobat jika sakit dan memerintahkan para
sahabat untuk berobat. Nabi juga menganjurkan untuk mencari pertolongan tenaga
medis yang menguasai di bidangnya. Musa Al-Khathib menyatakan Nabi menganjurkan
belajar ilmu kesehatan, hukum mempelajarinya, meliputi teori dan prakteknya
dalam Islam, menurut pandangan para ulama’ termasuk fardhu kifayah, yang wajib
dikerjakan oleh sebagian umat Islam dan berdosalah semuanya jika mengabaikannya
dan jika tidak seorang pun mengerjakannnya.
Di dalam Islamic Code
of Medical Ethics diterangkan bahwa pengobatan merupakan profesi mulia. Allah
menghormatinya melalui mukjizat Nabi Isa bin Maryam dan Nabi Ibrahim yang
pandai mengobati penyakit dan selalu menyebut nama Allah sebagai penyembuh
penyakitnya. Sama halnya dengan semua aspek ilmu pengetahuan, ilmu kesehatan
adalah sebagian dari ilmu Allah, karena Allah-lah yang mengajarkan kepada
manausia apa yang tidak diketahuinya. Allah berfirman: Iqra wa rabbukal akram,
alladzi allama bil qalam, allamal insana ma lam ya’lam: Bacalah dan Tuhanmulah
yang paling mulia, yang mengajar manusia dengan perantaraan qalam (baca tulis),
dan Dia mengajarkan kepada manusia segala apa yang tidak diketahuinya. (QS
al-Alaq: 3-5). Melalui ayat ini Allah menyuruh mempelajari alam semesta beserta
segenap organisme dan anorganisme yang ada di dalamnya dengan nama dan
kemuliaan Tuhan, melalui baca tulis, eksperimen, penelitian, diagnonis, dsb.
Ini terbukti dengan semakin banyaknya studi di bidang kesehatan, semakin
terungkap tanda-tanda kekuasaan Allah terhadap makhluk-makhluk-Nya.
B.
Aborsi dalam Pandangan Islam
1.
Pengertian Aborsi
Istilah aborsi secara
bahasa berarti keguguran kandungan, pengguguran kandungan, atau membuang janin.
Dalam terminologi kedokteran, aborsi berarti terhentinya kehamilan sebelum 28
(dua puluh delapan) minggu. Dalam istilah hukum, berarti pengeluaran hasil
konsepsi dari rahim sebelum waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah).
Meskipun istilah ini tentunya memerlukan penjelasan yang lebih terinci lagi,
utamanya dalam relatifitas batas terhentinya kehamilan dan terkait dengan
proses yang melatarbelakangi pengguguran
dan/atau keguguran kandungan, namun data dipastikan bahwa pada umumnya memiliki
substansi pemaknaan yang hampir sama. Definisi senada diungkapkan oleh Sardikin
Ginaputra (Fakultas Kedokteran UI), abortus ialah pengakhiran kehamilan atau
hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan.6 Sedangkan menurut
Prof. M. A. Hanafiah ialah keluarnya isi rahim ibu yang telah mengandung
(hamil) hidup insani sebelum waktunya.
Ilmu kedokteran pada
pokoknya membedakan abortus ke dalam dua macam, yaitu :
a.
Spontaneus
Abortus (Aborsi spontan), yaitu abortus yang tidak disengaja. Abosrtus spontan
bisa terjadi karena salah satu pasangan berpenyakit kelamin, kecelakaan, dan
sebagainya.
b.
Provocatus
Abortus (Aborsi yang disengaja). Aborsi semacam ini terbagi dua, yaitu :
1)
Abortus
artificialis therapicus, yakni aborsi yang dilakukan oleh dokter atas dasar
indikasi medis. Misalnya jika kehamilan diteruskan bisa membahayakan jiwa si
calon ibu, karena misalnya penyakit-penyakit yang berat, antara lain TBC yang
berat dan penyakit ginjal yang berat.
2)
Abortus
provocatus criminalis, ialah aborsi yang dilakukan tanpa dasar indikasi media.
Misalnya aborsi yang dilakukan untuk meniadakan hasil hubungan seks di luar
perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki.8
2.
Aborsi dalam Pandangan Hukum Islam
Dalam menentukan hukum
suatu persoalan, seorang mujtahid haruslah menempuh beberapa hal.
Tahapan-tahapan penelusuran hukum permasalahan tertentu haruslah sesuai dengan
runtutan atau urutan dasar hukum Islam. Hal ini menjadi sebuah keharusan bagi
seorang mujtahid yang betul-betul ingin mengkaji Alquran dengan tetap
menjadikan Alquran dan Hadis sebagai acuan dan rujukan. Sebab, sangatlah naif
kiranya seorang yang ingin mengkaji dan menggali makna atau kandungan Alquran
kemudian tidak kembali merujuk pada sumber utama dan paling utama tersebut.
- Uraian
Alquran tentang Aborsi
Uraian Alquran tentang
proses pembuahan tidak diungkapkan secar terinci, mulai dari awal sampai akhir,
melainkan dikemukakan secara umum dan global. Ayat yang biasa dijadikan acuan
ketika berbicara mengenai aborsi antara lain, sebagai berikut :
1)
Redaksi ayat
dalam QS. al-Isra’ (17): 31 dan 33, dikemukakan:
Terjemahnya :
“Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan. Kami yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada kamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”
Terjemahnya :
“ Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah melainkan dengan haq. Dan barangsiapa dibunuh secara dhalim, maka
sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah
keluarganya melampaui batasa dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
dimenangkan.”
2)
Redaksi ayat
dala QS. al-An’am (6): 151, dikemukakan:
Terjemahnya :
“ Katakanlah: „Marilah kubacakan apa yang diharamkan
Allah atas kamu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan-Nya, dan kepada
kedua ibu bapak melakukan kebaktian. Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu
karena kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepada kamu dan kepada mereka; dan
janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di
antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah kecuali berdasar sesuatu yang benar. Demikian itu yang
diwasiatkan kepada kamu, supaya kamu memahami.”
- Uraian
Hadis tentang Aborsi
Uraian hadis sebagai
sumber hukum Islam yang kedua, sekaligus sebagai sumber rujukan dalam
mengaplikasikan segala persoalan yang dapat dijadikan hujjah dalam kehidupan,
maka sudah barang tentu sangat dibutuhkan dalam mengkaji persoalan aborsi.
Ditemukan beberapa beberapa redaksi hadis dengan derivasi periwayatan yang
beragam, dapat ditelusuri di berbagai sumber kitab hadis yang muktabarah,
antara lain sebagai berikut:
1)
Redaksi hadis
dalam Shahih Bukhari,
Kitab Bad’ al-Khalq,10
dikemukakan:
Artinya :
…Dari Abdullah ibnu Mas‟ud: “Proses kejadian manusia
pertama-tama merupakan bibit yang telah dibuahi dalam rahim ibu selama 40 hari,
kemudian berubah menjadi ‘alaqah yang memakan waktu selama 40 hari, kemudian
berubah menjadi mudgah yang memakan waktu 40 hari pula. Setelah itu Allah
mengutus malaikat yang diperintahkan menuliskan empat hal, yaitu tentang
amalnya, rezekinya, ajalnya, dan nasibnya celaka atau bahaya yang kemudian
kepadanya ditiupkan roh...
2)
Redaksi hadis daam Shahih Muslim, Kitab al-Hudud,
11 dikemukakan:
Artinya :
…Dari „Ubadah bin Shamit berkata: Kami bersama
dengan Rasulullah saw. Di sebuah majelis, lalu ia bersabda: “aku dibai‟at untuk
tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu, janganlah engkau berzina, mencuri,
dan janganlah kamu membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan haq…
3.
Pandangan Ulama tentang Aborsi
a.
Aborsi sebelum
ditiupkan roh
Kalangan Ulama fiqhi
berbeda pendapat dalam menetapkan hukum terhadap aborsi yang dilakukan sebelum
ditiupkan roh. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1)
Dibolehkan
secara mutlak tanpa dikaitkan dengan uzur
sama sekali. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama mazhab Zaidiyah,
sebagian mazhab Hanafi, dan sebagian mazhab Syafi‟i.
2)
Dibolehkan
apabila ada uzur, dan makruh
hukumnya apabila tanpa uzur. Uzur
yang dimaksudkan adalah mengeringnya air susu ibu ketika kehamilan sudah mulai
kelihatan, sementara sang ayah tidak mampu membiayai anaknya untuk menyusu
kepada wanita lain apabila anaknya lahir nanti. Pendapat ini dikemukakan oleh
sebagian mazhab Hanafi dan sebagian mazhab Syafi‟i.
3)
Makruh secara
mutlak apabila belum ditiupkan roh. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab
Maliki.
4)
Haram melakukan
aborsi, sekalipun belum ditiupkan roh, karena air mani apabila telah menetap
dalam rahim, meskipun belum melalui masa 40 hari, tidak boleh dikeluarkan.
Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama mazhab Maliki dan mazhab Zahiri.
b.
Aborsi setelah
ditiupkan roh
Ulama fiqhi sepakat
bahwa melakukan aborsi terhadap kandungan yang telah menerima roh hukumnya
haram. Mereka mengemukakan alasan sebagaimana keumuman makna dalam firman Allah
QS. al-Isra’ (17): 31 dan 33, serta QS. al-An’am (6): 151, sebagaimana yang
telah dikemukakan.
Para ulama juga sepakat
mengenai sanksi hukum bagi wanita yang melakukan aborsi setelah ditiupkannya
roh, yaitu dengan membayar gurrah (budak laki-laki atau perempuan). Demikian
pula jika yang melakukannya orang lain dan sekalipun suami sendiri. Di samping
membayar gurrah, sebagian ulama fiqhi di antaranya mazhab Zahiri, bahwa pelaku
aborsi juga dikenai sanksi hukum kaffarat, yaitu memerdekakan budak dan jika
tidak mampu wajib berpuasa dua bulan berturut-turut, dan apabila masih tidak
mampu juga, wajib memberi makan fakir miskin 60 orang.
c.
Aborsi karena
darurat
Aborsi yang dilakukan
apabila ada uzur yang benar-benar tidak mungkin dihindari, yang dalam istilah
fiqhi disebut keadaan “darurat”, seperti apabila janin dibiarkan tumbuh dalam
rahim akan berakibat kematian ibu. Ulama sepakat bahwa aborsi dalam hal ini
hukumnya mubah. Kebolehannya ini guna menyelamatkan nyawa sang ibu. Pendapat
ini didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal
dan Ibnu Majah, bahwa Rasulullah Saw., menganjurkan agar orang jangan berbuat
sesuatu yang membahayakan diri sendiri atau orang lain. Kaidah fiqhi juga
mengatakan bahwa apabila terdapat dua hal yang merugikan, padahal tidak mungkin
dihindari keduanya, maka harus ditentukan pilihan kepada yang lebih ringan
kerugiannya.
Apabila aborsi
dilakukan karena sebab-sebab lain yang sama sekali tidak terkait dengan keadaan
darurat, seperti untuk menghindarkan rasa malu atau karena faktor ekonomi, maka
hukumnya haram. Betapapun aborsi seringkali dipandang sebagai sesuatu yang
sudah menjadi lazim atau sudah tidak dianggap sebagai sesuatu yang tabuh di
tengah-tengah masyarakat, maka tetap hukum keharamannya tidak dapat ditolerir.
Persoalannya adalah terletak pada faktor adanya unsur kesengajaan, sementara
unsur kesengajaan ini seringkali diselubungkan dengan alasan “kedok” darurat.
Misalnya dengan alasan jatuh, kecelakaan, pendarahan, dan semacamnya. Dengan
demikian, apabila terdapat alasan yang menyertakan “berupa motivasi-akibat”
sehingga terjadi unsur “keadaan darurat” maka tetap hukumnya adalah haram.
Hasil dari beberapa
uraian dasar hukum yang telah dikemukakan di atas, penulis menyimpulkan
pandangan mengenai hukum aborsi sebagai berikut:
a.
Aborsi tanpa
sengaja, maka tidak dikenakan hukum. Dasar hukum yang penulis jadikan rujukan
adalah QS. al-Thagabun (64):11 bahwa segala yang menimpa manusia itu adalah
seizin Allah SWT. Redaksi ayat yang dimaksud, sebagai berikut:
Terjemahnya:
Tidak ada suatu musibah
pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang
beriman kepada Allah niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
b.
Aborsi yang
disengaja:
1)
Aborsi tanpa
uzur sama sekali, haram hukumnya. Apakah aborsi itu sebelum atau sesudah
ditiupkannya roh pada janin. Dasar hukum keharamannya adalah QS. al-Isra’ (17):
31 dan 33, serta QS. al-An’am (6):151. Hal ini ditunjang pula oleh hadis Rasulullah
Saw., sebagaimana telah disebutkan di atas. Selanjutnya, penulis pun beralasan
adalah dalam kondisi kekinian, aborsi sudah seharusnya dipertegas keharamannya,
karena hal yang sudah diharamkan saja masih sering dilakukan, apatah lagi
hal-hal yang masih ditolerir keharamannya. Aborsi dalam keumuman makna lafal
ayat tersebut berarti membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain secara
sengaja, dan hal itu hukumnya adalah haram.
2)
Aborsi karena
kondisi tertentu/darurat, hukumnya
mubah.
Rujukanya adalah QS. al-Baqarah (2): 195, sebagai
berikut:
Terjemahnya:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah,
dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang berbuat baik.
C.
Adopsi dalam pandangan Islam dan Penjelasan ayat
Tentang Adopsi
1.
Pengertian Adopsi
Secara etimologis
adopsi atau pengangkatan anak disebut ”tabanni” (ﺗﺒﻨﻲ)
yang menurut Prof . Mahmud Yunus diartikan dengan ”mengambil anak angkat”.
Sedangkan dalam kamus Munjid diartikan dengan ”ittikhodzu ibnan” (اﺑﻨﺎ اﺗﺨﺎذ) yaitu menjadikannya
sebagai anak.2
Secara terminologis
adopsi menurut Mahmud Syalthut mempunyai dua pengertian, ialah :
a.
Mengambil anak
orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang,
dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri tanpa memberi
status anak kandung kepadanya,
b.
Mengambil anak
orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai
nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak
lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.
Pada pengertian yang
pertama, anak angkat yang dididik dan dibesarkan dengan penuh perhatian dan
kasih sayang oleh orang tua angkatnya hanya diperlakukan seperti anak sendiri,
dengan tidak memberikan status anak kandung, begitu juga anak angkat tidak
dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya. Adopsi seperti itulah yang
diatur oleh hukum Islam.
Kemudian pada
pengertian yang kedua, anak angkat selain dididik dan diberi kasih sayang
layaknya anak kandung, ia juga diberi status anak kandung. Anak angkat dalam
pengertian ini juga dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya. Hal
inilah yang dilarang oleh Islam. Dengan demikian adopsi dalam pengertian yang kedua
ini tidak sesuai dengan syari’at Islam.
Dalam hal ini Islam
mengambil pengertian yang pertama sebagai pengertian adopsi. Pengertian pertama
inilah yang lebih sesuai dengan tujuan syari’at Islam sebab dalam pengertian
yang pertama memberikan penekanan pada perlakuan sebagai anak dalam segi
kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan, dan pelayanan dalam segala kebutuhan,
bukan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri. Sedangkan pada pengertian
yang kedua, lebih sesuai dengan adopsi pada zaman jahiliyah sebelum Islam
datang.
Sedangkan Abdul Hamid
dan Muhammad Muhyiddin
mendefinisikan
Artinya :”Adopsi adalah
: persandaran atau pengangkatan anak yang jelas nasabnya kepada bapaknya ( yang
asli ) oleh seorang laki-laki. Kemudian dihubungkan nasab si anak kepada
dirinya ( si laki-laki atau pengadopsi ), atau dapat pula diartikan persandaran
atau pengangkatan anak yang jelas nasabnya kepada ibunya ( yang asli) oleh
seorang wanita (ibu), lalu dihubungkan nasab si anak kepada dirinya ( si wanita
tersebut atau pengadopsi ) dan anak yang semisal diatas disebut anak angkat
atau anak adopsi ( yang dipanggil dengan bapak-bapak atau ibu-ibu mereka yang
asli ).
Dari definisi adopsi
diatas menimbulkan pertanyaan, apakah sama antara anak adopsi dengan anak
pungut.
Dalam bahasa Arab anak
pungut berasal dari laqatha’ yang berarti mengambil anak pungut atau disebut
juga tabanni, dengan arti yang sama. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
pengertian anak pungut yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan
anaknya. Jika kita memperhatikan pada definisi secara bahasa, maka terdapat
kesamaan arti antara mengangkat anak dengan memungut anak.
Sedangkan menurut
Hilman Hadi, anak pungut adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh
orang tua yang memungutnya dengan resmi menurut hukum adat setempat, dengan
tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan harta kekayaan rumah
tangga. Mahmud Syalthut dalam mendefinisikan anak pungut memberikan pengertian
yang sama dengan anak angkat. Kemudian anak asuh, ia memiliki pengertian yang
sama dengan adopsi, tabanni, atau luqatha’. Sedangkan seperti kita ketahui
tabanni dan luqatha’ adalah kata lain dari adopsi. Jadi antara anak angkat,
anak pungut, dan anak asuh memiliki pengertian dan maksud yang sama.
Sejalan dengan itu,
diantara ahli hukum ada yang membedakan pengertian adopsi dengan pengangkatan
anak. Dalam pengangkatan anak, seorang anak angkat dipelihara dan tidak
mendudukkannya sama dengan anak kandung dalam hal waris. Sebaliknya dalam
adopsi, anak angkat mempunyai kedudukan yang sama.
Dalam memberikan
pengertian tentang lembaga anak angkat menurut hukum Islam, maka menurut
penulis perlu dijelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan lembaga ini
yaitu at-Tabanni dan al- Laqith.
At-Tabanni adalah
mengangkat anak orang lain sebagai anak, sehingga berlakulah bagi anak tersebut
hukum-hukum yang berlaku atas anak kandung. Pengertian ini sama dengan
pengertian adopsi yang berlaku di Indonesia. Sedangkan al- Laqith mengandung
arti pemungutan anak yang belum dewasa ditemukan di jalan dan tidak diketahui
keluarganya. Laqith berarti seorang ayah memungut seorang anak yatim atau
mendapat di jalan kemudian dijadikan sebagai anak sendiri baik diasuh dan,
diberi makan, pakaian oleh dia, maupun diajarkan, diajak bergaul seperti
anaknya sendiri. Bedanya ia tidak menisbathkan anak tersebut pada dirinya dan
tidak diperlakukan padanya hukum-hukum seperti anak kandung sendiri seperti:
menjadi mahram, haram dikawini, dan berhak mendapat waris.
Dari perbedaan
pengertian di atas maka dapat diambil pengertian kedua bentuk adopsi, tabanni
dan luqatha’, terdapat perbedaan-perbedaan. Tabanni lebih mengutamakan
materilnya dari pada sosialnya, dan ini dapat dilihat pada:
a.
Tabanni
memutuskan hubungan antara si anak dengan orang tua kandungnya, sedangkan
luqatha’ tidak.
b.
Tabanni
menjadikan anak angkat sebagai anak kandung, sedangkan luqatha’ tidak
memberikan kedudukan hukum sebagai anak kandung tetapi hanya terletak pada
pemeliharaan dan pengurusan seperti anak kandung.
c.
Tabanni
mengadakan ikatan dengan ditandai oleh peresmian pengangkatan di depan umum,
sedangkan luqatha’ tidak.
d.
Tabanni di
samping menjaga keselamatan anak juga untuk tujuan lain, sedangkan luqatha’
tidak. Dasar utamanya menyelamatkan anak tersebut dari hal-hal yang tidak diinginkan,
di samping pemeliharaan dan pendidikan demi masa depan tanpa mengharapkan
sesuatu darinya.
e.
Tabanni
memberikan hak mewarisi dan diwarisi, sedangkan luqatha’ hanya memberikan
wasiat.
Maka dari itu dapat
dipahami bahwa pengertian anak angkat menurut hukum Islam adalah anak yang
diangkat untuk dipelihara, dibiayai pendidikannya, dan dipenuhi segala
kebutuhannya oleh orang tua angkat. Disitu terjadi suatu peralihan tanggung
jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat berdasarkan putusan pengadilan.
2.
Sejarah Adopsi
a.
Adopsi Pada Masa
Pra-Islam
Adopsi sudah dikenal
jauh sebelum Islam berkembang. Masayarakat jahiliyah sudah lebih dahulu
mengenal adopsi daripada masyarakat Islam setelahnya. Adopsi sangat erat
kaitannya dengan waris dan mewarisi. Adopsi menjadi salah satu sebab mewarisi
dari dua sebab yang berlaku pada masa itu.
Sebab yang pertama,
berdasarkan garis keturunan atau kekerabatan, adalah warisan yang diturunkan
kepada anak laki-laki dewasa yang ditandai dengan kemampuan menunggang kuda,
bertempur, dan meraih harta rampasan perang. Apabila anak lelaki tidak
ditemukan, mereka memberikan kepada ahli waris ashabah yang memiliki hubungan
kekerabatan yang terdekat, seperti saudara laki- laki, paman, dan lainnya.
Dengan demikian bangsa Arab jahiliyah, tidak memberikan warisan kepada kaum
perempuan dan anak-anak baik laki-laki maupun perempuan.
Sedangkan sebab yang
kedua, berdasarkan sebab atau alasan tertentu, adalah warisan yang diberikan
kepada ahli waris melalui jalur adopsi. Kedudukan anak angkat sama dengan anak
kandung yang mewarisi dari ayahnya. Adopsi merupakan salah satu adat bangsa
Arab yang sudah dikenal pada masa jahiliyah. Mereka menetapkan jalur adopsi
melalui dua cara. Pertama, mereka menjadikan adopsi sebagai salah satu
penghalang dibolehkan nikah dengan perempuan (istri) dari orang tua yang
mengadopsinya. Anak laki-laki yang diadopsi haram menikahi istri orang yang
mengadopsinya, sama dengan keharamannya menikahi anak perempuan dari orang yang
mengadopsinya, apabila keduanya dicerai atau ditinggal mati. Kedua, mereka
menjadikan adopsi sebagai salah satu alasan pelaksanaan hukum waris.
Selain itu, dalam
masyarakat Arab Jahiliyah sebab atau alasan tertentu yang dapat menyebabkan
saling mewarisi adalah perjanjian. Sebagai akibat dari perjanjian ini bila
salah seorang dari mereka meninggal dunia, pihak yang masih hidup berhak
mewarisi harta peninggalan rekannya yang telah meninggal dunia.
b.
Adopsi pada masa
Islam
Pada masa permulaan
Islam, untuk dapat mewarisi masih berlaku landasan pengangkatan anak dan sumpah
setia. Kemudian diberlakukan alasan ikut hijrah, lalu alasan dipersaudarakannya
sahabat Muhajirin dengan sahabat Anshor. Yang dimaksud dengan alasan ikut
hijrah adalah jika seorang sahabat Muhajirin meninggal dunia maka yang
mewarisinya adalah keluarganya yang ikut hijrah, sedang keluarga yang tidak
ikut hijrah tidak ikut mewarisi.
Kemudian jika sahabat
Muhajirin yang meninggal dunia tidak memiliki kerabat yang ikut hijrah maka
yang berhak mewarisi adalah sahabat Anshor.
Pada masa itu juga
berlaku pewarisan harta terhadap harta orang yang memerdekakan budak terhadap
mantan budak yang pada waktu sebelumnya dimerdekakannya dengan sistem wala’ (hak
mewarisi pada mantan majikannya terhadap mantan budak yang dimerdekakannya) dengan
catatan bahwa sistem wala’ tidak berlaku timbal balik.
Akhirnya yang berlaku
dalam kewarisan Islam adalah sistem nasab-kerabat yang berlandaskan kelahiran (
nasab, qarabah, rahm). Hal ini dijelaskan dalam surat
Artinya :”Dan
orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu
maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya ( daripada
yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu”. ( Al- Anfal/8: 75)
Sebagaimana kita
ketahui Islam adalah agama yang menyempurnakan
agama-agama sebelumnya. Dalam Islam telah diatur segala aspek yang berkaitan
dengan kehidupan kita, termasuk di dalamnya mengenai pengangkatan anak.
Pada tahun 8 H/ 625 M,
Zaid bin Haritsah diperjualbelikan di pasar Ukad. Ia dan pemuda-pemuda lain
dibeli dari pasar ini oleh Hakim, kemenakan Khadijah. Suatu ketika Khadijah
berkunjung ke rumah Hakim dan ditawari memilih salah seorang dari budak tersebut.
Ia memilih Zaid. Pada saat pernikahannya dengan Muhammad SAW, ia memberikan
Zaid kepada Muhammad SAW sebagai hadiah. Muhammad SAW kemudian membebaskan Zaid
dan mengangkatnya sebagai anaknya sendiri. 13
Ketika mengetahui Zaid
ada di Mekah, ayahnya Haritsah dan saudaranya Ka’ab, datang menemui Nabi SAW
untuk menebusnya. Nabi SAW mengembalikan Zaid tanpa tebusan . hanya saja Zaid
sendiri yang menolak untuk kembali kepada orang tuanya. Ia memilih tetap
bersama Rasulullah SAW yang sudah dipandang sebagai orang tuanya sendiri.
Harisah dan saudaranya tidak keberatan, karena Zaid dijadikan orang terhormat.
Sejak itu masyarat menyebutnya Zaid bin Muhammad sampai kemudian datang wahyu
yang melarang menasabkan orang lain kepada orang tua kandungnya.
Beberapa waktu setelah
Muhammad diutus menjadi Rasul, turunlah wahyu yang menegaskan masalah itu,
yaitu Surat Al-Ahzab ayat 4-5:
Artinya :”Allah
sekali-kal tidaki menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan
Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu dan Dia
tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu(sendiri). Yang
demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak
angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada
sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggillah
mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa
yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
”. ( Al-Ahzab/33: 4-5)
Sesudah itu turun pula wahyu yang menetapkan
peraturan waris mewarisi yakni surat Al-Ahzab ayat 6 yang kemudian membatalkan
pewarisan lewat jalur pengangkatan anak.
3.
Syarat-syarat Adopsi Menurut Hukum Islam
Berdasarkan Al-qur’an
surat Al-Ahzab ayat 4,5,dan 37, jelas bahwa Islam melarang mengangkat anak
orang lain menjadi anak kandung dalam segala hal. Islam dengan tegas melarang
perbuatan itu karena :
a.
Mengangkat anak
adalah suatu kebohongan di hadapan Allah SWT dan di hadapan manusia dan hanya
merupakan kata-kata yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak mungkin akan
menimbulkan kasih sayang yang sesungguhnya sebagaimana kasih sayang yang timbul
di kalangan ayah, ibu, dan keluarga yang sebenarnya.
b.
Mengangkat anak
sering dijadikan sebagai suatu cara untuk menipu dan menyusahkan kaum keluarga.
Misalnya, seorang laki-laki mengangkat anak yang akan menjadi pewaris dari
harta kekayaannya. Dengan demikian berarti orang itu tidak memberikan bagian
dari hartanya kepada saudara-saudaranya, dan ahli waris yang lain, yang
mempunyai hak dalam harta pusaka itu menurut ketentuan Allah. Hal inilah yang
menyebabkan perbuatan itu dilarang.
c.
Mengangkat anak
dan menetapkan statusnya sama dengan anak kandung, kadang- kadang menjadi beban
dan tugas yang berat bagi keluarga ayah angkat. Bila ayah angkatnya meninggal,
maka keluarganya bertugas memberi nafkah kepadanya. Hal ini menyebabkan
pelimpahan tugas- tugas mereka yang pada akhirnya menyebabkan yang halal
menjadi haram dan sebaliknya.
Salah satu tujuan atau
sasaran hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan bagi manusia. Tidak ada
suatu perkara pun yang disyari’atkan oleh Islam melalui Al-Qur’an dan
As-Sunnah, melainkan terkandung maslahat yang hakiki. 14 Maslahat ini mengacu
pada pemeliharaan terhadap lima hal, yaitu memelihara kemaslahatan beragama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta
benda dan kehormatan.15 Dalam hal pemeliharaan keturunan,Islam sangat menjaga
kemurnian nasab seseorang. Hal inilah yang menjadi sebab mengapa adopsi
diharamkan dalam Islam.
Menurut hukum Islam
pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
a.
Tidak memutuskan
hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua biologis dan
keluarga.
b.
Anak angkat
tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat, melainkan tetap
sebagai pewaris dari orang tua kandung, demikian juga orang tua angkat tidak
berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya.
c.
Anak angkat
tidak boleh menggunakan nama orang tua angkatnya secara langsung kecuali
sekadar sebagai tanda pengenal/alamat.
d.
Orang tua angkat
tidak dapat bertindak sebagai wali dalam pernikahan terhadap anak angkatnya.
e.
Hubungan
kehartabendaan antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat hendaknya
untuk dalam hubungan hibah dan wasiat.
f.
Pengangkatan
yang dilakukan oleh orang yang berlainan agama tidak dibenarkan.
Dari ketentuan tersebut
di atas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam
adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai
terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Rasulullah SAW
bersabda bahwa orang yang memelihara anak orang lain terlebih lagi anak
tersebut yatim maka akan mendapat ganjaran surga:
Artinya :” Dari Abu
Hurairah RA, dia berkata, ” Rasulullah SAW telah bersabda, Pengasuh anak yatim,
anaknya sendiri, ataupun anak orang lain, aku dan dia seperti dua jari ini di
surga kelak. ”Malik RA memperagakan jari telunjuk dan jari tengahnya.(Riwayat
Muslim) 17
4.
Kedudukan Anak Adopsi Menurut Hukum Islam
Pada zaman jahiliyah,
jika seseorang mengangkat anak, maka otomatis nasabnya disambungkan kepada ayah
angkatnya dan nasab kepada orang tua kandungnya terputus, bahkan anak angkat
mendapatkan hak waris. Pengangkatan anak menurut hukum Islam tidak merubah
kedudukan seorang anak terhadap beberapa hal, di antaranya:
a.
Tidak memutuskan
hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua biologisnya dan
keluarga.
b.
Anak angkat
tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat, tetapi ahli waris
dari orang tua kandung, demikian juga sebaliknya orang tua angkat tidak menjadi
ahli waris dari anak angkat.
c.
Anak angkat
tidak diperkenankan memakai nama orang tua angkatnya (panggilan anak-anak
angkat) secara langsung sebagai tanda pengenal/alamat.
d.
Orang tua angkat
tidak bisa bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya.
Pengangkatan anak dalam
Islam bersumber langsung pada Firman Allah SWT dalam Surat Al-Ahzab ayat 4-5
sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Asbabun nuzul ayat tersebut
adalah untuk memperbaiki kesalahan Nabi Muhammad SAW dalam mengangkat anak yang
disesuaikan adat istiadat dan tradisi yang berlaku dalam keridupan bangsa Arab
Jahiliyah. 19 Allah menurunkannya sebagai petunjuk untuk memanggil angkat disertai
nama bapak kandungnya.
Dari rumusan ayat
tersebut, dapat diketahui bahwa Islam melarang menyamakan anak angkat dengan
anak kandung. Oleh karena itu untuk memperkuat bahwa anak kandung tidak sama
dengan anak angkat, Nabi dibolehkan menikahi bekas istri anak angkatnya (
Zainab binti Jahsy) . Firman Allah dalam surat Al- Ahzab ayat 37:
Artinya :”Dan (ingatlah), ketika kamu berkata
kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni’mat kepadanya dan kamu (juga)
telah memberi ni’mat kepadanya: ”Tahanlah terus istrimu dan bertaqwalah kepada
Allah” , sedang kamu menyembunyikan didalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih
berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya
terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia, supaya tidak
ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) istri-istri anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripaa
istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (Al-Ahzab/33: 37)
Selain itu ada hal lain
mengapa Nabi memilih Zainab bin Jahsy sebagai istri anak angkatnya. Beliau
ingin menghapus perbedaan antara berbagai kelas dan meniadakan pengkotakan yang
terjadi di kalangan orang-orang Arab antara kaum atas dan hamba sahaya, antara
miskin dan kaya. Oleh karena itu, Nabi memilih sepupunya untuk menjadi model
bagi perempuan-perempuan Arab di mana Zainab bin Jahsy adalah perempuan dari
golongan terhormat dan mulia sedangkan Zaid bin Haritsah adalah seorang hamba
sahaya.
Rumusan ayat berikutnya
dari Surat Al-Ahzab ayat 40 menyatakan bahwa tidak dibenarkan anak angkat
dipanggil menurut nama bapak angkatnya:
Artinya :”Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (Al-Ahzab/33: 40)
Dan banyak hadits yang
melarang tentang hal ini, diantaranya:
Artinya :”Dari Abu Dzar
ra, ia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda : ” Seorang yang mengatakan mengaku
keturunan selain ayahnya, padahal ia tahu (dia bukan ayah kandungnya) maka
orang itu kafir. Maka barang siapa yang mengatakan bahwa ia keturunan suatu
kaum bukan menurut hubungan keturunan mereka, maka hendaklah mereka menempati
tempatnya di neraka.” (Riwayat Bukhori)
Artinya :”Dari
Waatsilah ibn Atsqo’i bersabda Rasulullah SAW : Sesungguhnya ada beberapa hal
yang termasuk dosa besar yaitu memanggil bapak selain kepada ayahnya sendiri,
melihat dengan matanya padahal tidak melihat, menyatakan pernyataannya dari
Nabi padahal bukan perkataan Nabi”. (Riwayat Bukhori)
Berdasarkan surat
Al-Ahzab dan hadits diatas dapat diketahui bahwa :
a.
Prinsip-prinsip
pengangkatan anak dalam Islam bertujuan untuk memelihara anak dan
mensejahterakannya. Dalam kasus Zaid , Nabi SAW memeliharanya sekaligus
membebaskannya dari perbudakan dan menjadikannya hidup layak sebagaimana
manusia merdeka. Sedangkan tujuan lainnya adalah ingin menolong sesama manusia.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
Artinya :”....dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesunggyhnya Allah
amat berat siksa-Nya. ” (Al-Maidah/5: 2)
b.
Dengan tidak
diperbolehkan menisbatkan ayah kepada anak angkat, mengandung arti bahwa
pengangkatan anak dalam Islam bertujuan untuk memelihara dan melestarikan
keutuhan keluarga dan menjaga asal-usul seseorang.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam
hukum Islam anak angkat tidak dapat disamakan dengan anak kandung. Seperti
diketahui, Islam sangat mementingkan hubungan nasab. Oleh karena itu status
anak angkat tidak dapat menjadikan anak tersebut sebagai ahli waris. Karena
antara anak angkat dengan orang tua angkat adalah orang lain dan tidak ada
hubungan nasab. Meskipun antara anak angkat dengan orang tua angkat ada jalinan
kasih sayang yang kuat seperti layaknya dengan orang tua kandung, tetapi mereka
tetap saja tidak ada hubungan darah. Karena hubungan darah tidak akan pernah
terputus antara orang tua kandung dengan anaknya. Oleh karena itu, antara anak
adopsi dan hak waris tidak ada hubungan sama sekali. Hal ini dikarenakan pada
prinsipnya pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan
anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita
dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
5.
Tujuan Adopsi Menurut Hukum Islam
Suatu perbuatan pasti
memiliki tujuan yang akan dicapai. Begitu pula seseorang dalam mengangkat
seorang anak pasti memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai. Memang banyak
faktor mengapa seseorang melakukan pengangkatan anak. Namun lazimnya latar
belakang pengangkatan anak dilakukan oleh orang yang tidak diberikan keturunan.
Pengangkatan anak dilakukan guna memenuhi instingtif manusia yang berkehendak
menyalurkan kasih sayangnya kepada anak yang dirasakan akan merupakan kelanjutan
hidupnya.
Motivasi pengangkatan
anak dalam Islam adalah lebih kepada memberikan perlakuan dan menyalurkan rasa
kecintaan serta kasih sayang kepada anak, pemberian nafkah, pendidikan, dan
pelayanan segala kebutuhan, bukan memperlakukannya sebagai anak kandungnya
sendiri dengan segala konsekuensi hukumnya.
Dalam Islam, ajaran
agar selalu peduli kepada sesama merupakan suatu hal yang memang harus selalu
diamalkan, terlebih lagi terhadap anak-anak terlantar dan anak yatim. Islam
mengajarkan umatnya untuk selalu menyantuni dan memelihara anak-anak yang tidak
mampu, miskin, terlantar, dan sebagainya. Tetapi perbuatan penyantunan dan
pemeliharaan anak-anak tersebut tidak sampai pada pemutusan hubungan keluarga
dan hak-hak orang tua kandungnya. Pemeliharaan tersebut harus didasarkan pada
penyantunan semata. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah SWT, dalam
firman-Nya
Artinya :”Dan mereka
memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang
yang ditawan”. (Al-Insan/76: 8)
D.
Inseminasi Dalam Pandangan Islam dan ayat Tentang
Inseminasi
1.
Inseminasi Menurut Pandangan Islam
Memiliki keturunan
merupakan salah satu tujuan pernikahan dalam Islam, namun tidak semua orang
bisa mencapai tujuan tersebut, hingga akhirnya hal tersebutlah yang mendorong
manusia untuk mencari dan menemukan solusi dari persoalan tersebut.
Di dalam sumber syariat
Islam (Al-Qur’an dan hadits) memang dijelaskan bahwasannya proses penciptaan
manusia yaitu dengan pembuahan antara sel telur dan sperma melalui senggama.
Namun, manusia pun telah menemukan beberapa cara dan jalan keluar bagi pasangan
suami istri yang tidak dapat memiliki keturunan karena suatu masalah, maka hal
tersebut telah teratasi pada era modern ini. Yaitu dengan cara inseminasi dan
bayi tabung.
Dan berikut adalah
beberapa pandangan Islam terhadap inseminasi :
- Dalam hukum Islam, Inseminasi
diperbolehkan
Inseminasi
diperbolehkan dalam Islam, apabila karena keadaan darurat dan pembuahan
tersebut berasal dari sel telur dan sperma pasangan suami istri yang sah.
- Dalam Islam tidak memperbolehkan
Inseminasi
Ada sebagian para ulama
yang tidak memperbolehkan inseminasi, karena mereka mengangap hal tersebut
menyalahi kodrat sebagai manusia dan mereka yang tidak memperbolehkan berkiblat
kepada beberapa dalil berikut ini :
(QS. Al-Isra’ ayat 70)
: “Sungguh, Kami telah memuliakan anak-cucu Adam, dan Kami angkut mereka di
darat maupun laut, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami
ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”
Dalam ayat tersebut
dijelaskan bahwasannya Allah lah yang menciptakan manusia dengan kelebihan dan
kesempurnaan.
(QS. At-Tin ayat 4),
Allah SWT. berfirman : “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
sebaik-baiknya.”
Dalam hadits tersebut
pun firman Allah menjelaskan bahwasannya Allah lah yang telah menciptakan
manusia dengan rupa dan bentuk yang sebaik-baiknya.
2.
Inseminasi bertentangan dengan ajaran Islam
Dalam Islam diajarkan
dan dikatakan, bahwa Allah lah Sang Maha Pencipta dan Maha Kuasa, lalu jika
manusia dapat menciptakan keturunan dengan teknologi temuannya dan dengan
tangannya, apakah hal tersebut tidak bertentangan dengan apa yang diajarkan
oleh Islam? Hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam mengenai bahwa Allah
adalah Maha Pencipta.
a.
Inseminasi dapat
membuat manusia mengingkari keberadaa dan kuasa Allah
Dengan adanya inseminasi, manusia dapat campur
tangan dalam pembuatan keturunan, hal tersebut dapat saja membuat manusia
mengingkari keberadaan dan kuasa Allah SWT.
b.
Inseminasi dapat
merendahkan harkat martabat manusia
Manuia diciptakan Allah sebagai makhluk mulia. Allah
SWT. telah berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia
menghormati dan menghargai martabatnya sebai manusia. Dalam hal ini, donor
sperma atau sel telur pada inseminasi pada hakikatnya akan merendahkan harkat
martabat manusia.
c.
Menimbulkan dosa
besar
Inseminasi dengan cara menyemprotkan sperma pria
lain kepada sel telur pasangan yang bukan muhrimnya atau sebaliknya dianggap
zina dalam Islam, dan dapat menimbulkan dosa besar.
3.
Sebagai jalan keluar medis
Ketika manusia sudah
berusaha untuk memiliki keturunan dengan cara yang alami yaitu melalui hubungan
seksual namun tetap tidak bisa mendapatkan keturunan dikarenakan duatu masalah,
maka inseminasi menjadi salah satu jalan keluar atau upaya medis yang
diperbolehkan, namun dengan syarat dan ketentuan dalam Islam.
4.
Inseminasi Memiliki
kebaikan dan keburukan
Inseminasi memiliki
kebaikan atau manfaat jika dilihat dari sudut untuk membantu pasangan suami
istri yang sah untuk memiliki keturunan, mengandung keburukan apabila dalam
pelaksanaannya terdapat hal-hal yang melanggar larangan Allah dan keluar dari
ketentuan dan syarat dalam Islam.
Perkara inseminasi
memang tidak dibahas dan dijelaskan secara gamblang dalam Al-Qur’an maupun
hadits, namun para ulama telah melakukan kajian guna memecahkan masalah terkait
hal inseminasi tersebut agar umat Islam tidak mengalami kebimbangan dan
terjerumus dalam dosa ketika dihadapkan pada perkara tersebut.
E.
Eutanasia dalam Pandangan Islam serta Penjelasan
Ayat
1.
Pengertian Eutanasia
Euthanasia merupakan
upaya yang mana dilakukan untuk dapat membantu seseorang dalam mempercepat
kematiannya secara mudah akibat ketidakmampuan menanggung derita yang panjang
dan tidak ada lagi harapan untuk hidup atau disembuhkan. Hal tersebut memunculkan
kontroversi yang menyangkut isu etika euthanasia (perilaku sengaja dan sadar
mengakhiri hayat seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan)
tidak saja santer didiskusikan di kalangan dunia medis, akan tetapi telah
merambah kemana-mana terutama para ulama Islam.
2.
Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran
Tugas profesional
seorang dokter itu begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama manusia dan
tanggungjawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-kemajuan yang mana
dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter perlu
menghayati etik kedokteran, sehingga kemuliaan profesi dokter tersebut tetap
terjaga dengan baik. Para dokter, umumnya semua pejabat dalam bidang kesehatan,
harus memenuhi segala syarat keahlian dan pengertian tentang susila jabatan.
Keahlian di bidang ilmu dan teknik baru dapat memberi manfaat yang
sebesar-besarnya kalau dalam prakteknya disertai oleh norma-norma etik dan
moral. Hal tersebut diinsyafi oleh para dokter di seluruh dunia, dan
hampir-hampir tiap negara telah mempunyai Kode Etik Kedokteran sendiri-sendiri.
Pada umumnya kode etik tersebut didasarkan pada sumpah Hipocrates, yang
dirumuskan kembali di pernyataan Himpunan Dokter se-Dunia di London bulan
Oktober 1949 dan diperbaiki oleh sidang ke-22 himpunan tersebut di Sydney bulan
Agustus 1968 (Joko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, 1984:79).
Sejak permulaan sejarah
kedokteran, seluruh umat manusia serta mengakui akan adanya beberapa sifat
fundamental yang melekat secara mutlak pada diri seseorang yang baik dan
bijaksana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan dalam bekerja, kerendahan hati
serta integritas ilmiah dan sosial yang tidak diragukan. Secara universal,
kewajiban dokter tersebut telah tercantum di dalam Declaration of Genewa pada
bulan September 1948. Dan juga kewajiban dokter tersebut tercantum pula dalam
Bab II Pasal 10 dari Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang menyatakan seorang
dokter harus senantiasa ingat kewajiban melindungi hidup makhluk insani
(Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 434/Men.Kes/SK/X/1983, 1988:8).
Dengan demikian,
berarti di negara manapun di dunia ini seorang dokter mempunyai kewajiban untuk
menghormati setiap hidup insani mulai saat terjadinya pembuahan. Dalam hal ini
berarti pula bahwasanya bagaimanapun gawatnya sakit seorang pasien, setiap
dokter tetap harus melindungi dan mempertahankan hidup dari pasien tersebut.
Dalam keadaan demikian mungkin pasien ini sebenarnya sudah tidak dapat
disembuhkan lagi, atau sudah dalam keadaan sekarat berbulan-bulan lamanya. Akan
tetapi dalam hubungan ini dokter tidak boleh melepaskan diri dari kewajiban
untuk selalu melindungi hidup manusia, sebagaimana yang diucapkan dalam
sumpahnya.
Karena naluri terkuat
dari manusia itu adalah mempertahankan hidupnya, dan ini juga termasuk salah satu
tugas dari seorang dokter, maka menurut etik kedokteran, dokter itu tidaklah
diperbolehkan: menggugurkan kandungan (abortus provocatus); mengakhiri hidup
seseorang pasien, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh
lagi (euthanasia) (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 434/Men.Kes/SK/X/1983,
1988:18). Di dalam ranah ilmu kedokteran, kata euthanasia dipergunakan di dalam
tiga arti, yaitu: Pertama, berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa
penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah SWT di bibir; Kedua, pada
waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan
obat penenang; Ketiga, yaitu mengakhiri penderitaan hidup seseorang dengan
sengaja atas permintaan pasien dan/atau permintaan dari pihak keluarganya
(Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 434/Men.Kes/SK/X/1983, 1988:21).
3.
Esensi Euthanasia dan Kedudukannya dalam Hukum Islam
Euthanasia adalah
istilah yang didapati dalam dunia kedokteran, diartikan sebagai pembunuhan
tanpa penderitaan terhadap pasien yang sedang kritis (akut) atau menderita
penyakit menahun serta tipis harapannya untuk sembuh kembali. Seorang pasien
yang sedang sakit parah dan tidak sanggup lagi, lalu bermohon agar dokter
mengakhiri hayatnya, maka dikabulkanyalah permohonan itu atas pertimbangan
pasien tersebut tipis harapannya untuk dapat sembuh. Kalau pada orang seperti
ini dimatikan maka kita melakukan euthanasia, yang sekarang ini tidak atau
belum diterima di Indonesia, dan negara-negara lain pun masih ada yang belum
menerimanya. Meskipun euthanasia itu juga demi rasa kemanusiaan yakni
membebaskan orang yang hidup padahal tidak ada harapan lagi untuk hidup.
Kehidupan orang secara vegetatif ini membutuhkan juga perawatan, biaya, dan
sebagainya. Itu alasan-alasan yang dipertimbangkan bagi euthanasia (Ahmad Watik
Pratiknya dan Abdul Salam M. Sofro, 1986:41).
Esensi daripada
dilakukan euthanasia ini adalah untuk meringankan penderitaan si pasien yang
telah mengalami penyakit menahun (akut) dan sudah tipis harapan untuk sembuh.
Di samping itu alasan-alasan yang dipertimbangkan sehingga terjadi euthanasia
adalah untuk dapat meringankan pula keluarga pasien yang ditinggalkan apalagi
kalau kehidupan mereka tergolong ekonomi lemah.
Ada beberapa contoh
kejadian yang mengarahkan perhatian umum kepada masalah euthanasia, karena
dengan panjang lebar akan diliput oleh media massa. Tahun 1984 Gubernur Lamm
dari Negara Bagian Colorado menyarankan bahwa, warga negara yang sudah tua
barangkali mempunyai satu kewajiban untuk meninggal dunia. Sehingga mereka
tidaklah menghabiskan bagi orang lain sumber daya yang langka. Elizabeth
Bouvia, berumur 26 tahun menderita kelumpuhan total akibat trauma otak dan
minta agar diizinkan mati kelaparan saja dengan menghentikan infus. Dan tahun
1985, Roswell Gilbert menjadi orang Amerika pertama yang mana didakwa dengan
alasan pembunuhan karena melakukan euthanasia langsung. Istrinya mengidap
penyakit Alzhaimer dan Osteoporosis, sehingga ia kehilangan semangat hidup dan
menderita banyak. Setelah ia memberitahukan kepada suaminya bahwa ia ingin
pergi dari dunia ini, Roswell lalu menembaknya (Thomas A. Shannon, 1995:68).
Manusia sebagai makhluk
sosial selain mampu berfikir untuk maju juga mempunyai afeksi, simpati atau
empati terhadap penderitaan manusia lainnya yang bisa menyebabkan timbulnya
euthanasia.
Dalam hal masalah
euthanasia ini, para tokoh Islam Indonesia sangat menentang dilakukannya
euthanasia. Namun diantara sekian banyak ulama yang menantang euthanasia ini,
ada beberapa ulama yang mana mendukungnya. Menurut pendapat para ulama, bahwa
euthanasia boleh dilakukan apalagi terhadap penderita penyakit menular apalagi
kalau tidak bisa disembuhkan. Pendapat Ibrahim Hosen ini disandarkan kepada
suatu kaidah ushul fiqh: Al- Irtifaqu Akhaffu Dlarurain, melakukan yang teringan
dari dua mudlarat. Jadi katanya, langkah ini boleh dipilih karena ia merupakan
pilihan dari dua hal yang buruk. Pertama, penderita mengalami penderitaan.
Kedua, jika menular membahayakan sekali. Artinya dia menjadi penyebab orang
lain menderita karena tertular penyakitnya, dan itu dosa besar. Dan beliau
bukan hanya menganjurkan euthanasia pasif tapi juga euthanasia aktif (Luthfi
Assyaukanie, 1998:180).
Sedangkan menurut Hasan
Basri pelaksanaan euthanasia bertentangan, baik dari sudut pandang agama,
undang-undang, maupun etik kedokteran. Dan lebih lanjut beliau menjelaskan
bahwa persoalan hidup mati sepenuhnya hak Allah SWT. Manusia tidak bisa
mengambil hak Allah SWT itu (Majalah Panji Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari
1996:60)
Di beberapa negara
Eropa dan Amerika sudah mulai banyak terdengar suara yang pro euthanasia,
mereka mengadakan gerakan untuk mengukuhkannya ke dalam undang-undang.
Sebaliknya mereka yang kontra euthanasia, bahwa tindakan demikian sama dengan
pembunuhan. Kita di Indonesia ini sebagai umat beragama dan berPancasila
percaya kepada kekuasaan yang mutlak dari Tuhan Yang Esa segala sesuatu yang
diciptakanNya dan penderitaan yang dibebankan kepada makhlukNya mengandung
makna dan maksud tertentu. Dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan
kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan juga memelihara hidup akan
tetapi tidak untuk mengakhirinya (Oemarsono Adji, 1991:219).
Menurut pendapatnya
Syukron Makmun bahwa kematian itu merupakan urusan dari Allah SWT, manusia
tidak dapat mengetahui kapan kematian itu menimpa dirinya. Soal sakit,
menderita dan tidak kunjung sembuh itu adalah qudratullah. Kewajiban kita hanya
berikhtiar. Mempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas dokter adalah
menyembuhkan, bukanlah membunuh. Kalau dokter tidak sanggup, kembalikan kepada
keluarga (Majalah Amanah, No. 27, 16-29 Juni 1989:14).
Lalu bagaimana dengan
kaidah ushul fiqh yang menyatakan bahwa Al-Irtifaqu Akhaffu Dlarurain,
melakukan yang teringan dari dua mudlarat. Ataukah kaidah ushul yang menyatakan
Darurat membolehkan yang haram. Berdasarkan beberapa pendapat ulama di atas dan
juga pembahasan batasan-batasan darurat yang
telah dijelaskan pada bab terdahulu, tidak ada ditemukan pendapat yang
membenarkan euthanasia ini. Dan menurut Hasan Basri sendiri kaidah itu sama
sekali tidaklah dibenarkan. Kaidah tersebut dengan sendirinya bisa saja gugur
bila tidak dijumpai dalil qath’i, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits (Majalah
Panji Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari 1996:61). Lagi pula dalam Islam, hak
dan martabat manusia itu sangat dijunjung tinggi meskipun penderita misalnya
banyak mengundang mudarat atau tidak.
Para ulama telah
sepakat bahwa apapun alasannya, apabila tindakan itu berupa euthanasia aktif,
yang berarti suatu tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang
bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan, Islam
mengharamkannya.
Sedangkan terhadap
euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana,
maupun para ulama sepakat membolehkannya. Bagi mereka yang tidak setuju dengan
tindakan euthanasia lebih melihat pada alasan dan perdebatan klasik. Mereka
percaya bahwa yang berhak menentukan kematian itu hanyalah Allah SWT. Tugas
manusia hanya berikhtiar. Seorang dokter yang melakukan euthanasia bisa saja
diajukan ke pengadilan karena tuduhan membunuh, sekalipun tindakan tersebut
dilakukan berdasarkan permintaan pasien.
Tetapi kelompok yang
mana menyetujui praktek euthanasia ini lebih melihat pada sisi maslahat dan
keadaan yang menuntut. Seorang penderita secara kronis, hanyalah akan terus
menderita tanpa bisa disembuhkan. Satu-satunya cara untuk meringankan beban
pasien dalam kondisi semacam itu adalah memberikan kepadanya kematian yang
damai (mercy killing). Tanpa tindakan ini, para dokter dan kerabat keluarga
hanya akan menyiksa atau membiarkan penderitaan sang pasien.
4.
Konsep Euthanasia dalam Hukum Islam
Kontroversi yang mana
menyangkut isu etika euthanasia (perilaku sengaja dan sadar mengakhiri hayat
seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan) tidak saja santer
didiskusikan di kalangan dunia medis, tetapi telah merambah kemana- mana
terutama para ulama Islam. Isu euthanasia selalu muncul, salah satunya karena
praktek tersebut bukan hanya melibatkan pertimbangan hidup mati. Tetapi,
termasuk juga pertimbangan hukum, perasaan dan etika kedokteran. Selama jenis
penyakit pada manusia terus berkembang dan penyembuhan terhadapnya diyakini
mustahil (apalagi dengan kadar penularan yang tinggi), para ahli medis dan
hukum mulai melirik kemungkinan-kemungkinan euthanasia. Euthanasia, tidak
ubahnya dengan menghabisi pasien yang menderita tanpa sama sekali mengakhiri
penderitaan mereka. Dengan kata lain, pengobatan terhadap rasa sakit atau nyeri
yang tak terbendung bukan semata dapat dilakukan dengan pembunuhan, tetapi
dapat pula ditempuh dengan terapi lain. Tentu saja faktor agama akan sangat
menentukan sikap seseorang terhadap derita sakit dan juga nyeri yang
dialamainya. Filsafat Budha menyatakan bahwa derita sakit bersumber dari
frustasi. Bagi kaum Hindu yang menyakini bahwa pain (rasa sakit dan nyeri yang
berasal dari bahasa Latin poena) berarti siksaan akan lebih merasakan
penderitaan nyeri dibanding seorang Muslim yang menilai penderitaan sebagai
cobaan dari Tuhan atau bahkan pembersihan diri sebelum menghadap kepadaNya
(Alwi Shihab, 1999:169).
Ketika orang-orang yang
mana pro euthanasia menganggap bahwa kebebasan untuk melakukan apa saja
terhadap diri seseorang adalah hak yang paling utama bagi mereka yang berdaya
tinggi. Sebagaimana saya berhak memilih kapal untuk berlayar, atau rumah untuk
dihuni, sayapun berhak untuk memilih kematian untuk dapat meninggalkan
kehidupan ini. Maka Islam justru tidak sejalan dengan filosofis tersebut. Islam
mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah
Allah SWT kepada manusia. Hanya Allah SWT yang dapat menentukan kapan seseorang
lahir dan kapan ia mati. Bagi mereka yang menderita bagaimanapun bentuk dan
kadarnya Islam tidak membenarkan merenggut kehidupan baik melalui praktek
euthanasia apalagi bunuh diri.
Islam akan menghendaki
kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis dalam menghadapi setiap musibah.
Sebab seorang mu’min dicipta justru untuk berjuang, bukanlah untuk tinggal
diam, dan untuk berperang bukan untuk lari. Iman dan budinya tidak mengizinkan
dia lari dari arena kehidupan. Sebab setiap mukmin mempunyai kekayaan yang
tidak bisa habis, yaitu senjata iman dan kekayaan budi. Tidak sedikit anjuran
bagi para penderita untuk bersabar dan menjadikan penderitaan sebagai sarana
pendekatan diri kepada Yang Maha Kuasa.
Agar supaya meringankan
derita sakit seorang muslim diberi pelipur lara oleh Nabi Saw. dengan sabdanya,
Jika seseorang dicintai Tuhan maka ia akan dihadapkan kepada cobaan yang
beragam. Lain halnya dengan mereka yang tidak mendapatkan alternatif lain dalam
mengatasi penderitaan dan rasa putus asa, Islam memberi jalan keluar dengan
menjanjikan kasih sayang dan rahmat Tuhan, sebagaimana firman Allah SWT dalam
QS. Az-Zumar ayat 53:
”Katakanlah: Hai
hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu
berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi yang Maha Penyayang.”
(Departemen Agama RI, 1992:753)
Disinilah pentingnya
peranan hukum Islam dalam menetapkan hal-hal yang halal dan haramnya suatu
sikap yang diambil dalam hal euthanasia. Ketika orang diombang-ambing oleh
keadaan yang sangat mendesak, karena dipengaruhi oleh tuntutan zaman atau
kemajuan teknologi, dimana orang seenaknya saja bertindak, yang asalkan menurut
mereka hal itu merupakan keputusan rasional tanpa melihat apakah tindakan
mereka itu benar atau tidak menurut hukum, agama maupun etika.
Dalam berbagai studi
dan literatur Islam, mengenai pandangan terhadap tindakan euthanasia, nampaknya
ada suatu kesepakatan atau paling tidak terdapat kesamaan persepsi mengenai
pengertian euthanasia. Euthanasia adalah suatu upaya yang dilaksanakan untuk
dapat membantu seseorang dalam mempercepat kematiannya secara mudah akibat ketidakmampuan
menanggung derita yang panjang dan tidak ada lagi harapan untuk hidup atau
disembuhkan.
Begitu pula dari para
tokoh Islam di Indonesia, seperti Amir Syarifuddin bahwa euthanasia adalah
pembunuhan seseorang bertujuan menghilangkan penderitaan si sakit (Chuzaimah T.
Yanggo, 1995: 61). Euthanasia yang sering terjadi pada umumnya dalam dunia
kedokteran misalnya tindakan dokter dengan memberi obat atau suntikan. Para
tokoh Islam juga sepakat bahwa eutahanasia ada dua macam yaitu euthanasia aktif
dan euthanasia pasif. Euthansia aktif adalah tindakan mengakhiri hidup manusia
pada saat yang bersangkutan masih menunjukkan tanda- tanda kehidupan (Chuzaimah
T. Yanggo, 1995:62). Sedangkan euthanasia pasif adalah tindakan tindakan yang
dilakukan oleh dokter atau orang lain untuk tidak lagi memberikan bantuan medis
yang memperpanjang hidup pasien (Kartono Muhammad, 1992:31).
Rumusan euthanasia yang
dirumuskan di atas sejalan dengan pengertian yang dirumuskan oleh komisi dari
fatwa MUI, bahwa euthanasia adalah pembunuhan dengan didampingi oleh
pertimbangan medis bagi seorang penderita atau mengidap penyakit yang mana
tidak mungkin lagi disembuhkan (Majalah Panji Masyarakat, No. 846, 01-15
Januari 1996: 60). Sebenarnya dalam menelaah berbagai konsep euthanasia yang
telah dirumuskan oleh para ahli, baik dari kalangan atau pakar Islam maupun
diluar Islam, dasar-dasar perumusannya dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an
maupun Hadits Nabi. Hal ini sejalan dengan fleksibilitas akan sumber ajaran
Islam tersebut. Misalnya dalam Al-Qur’an pada QS. Al- An’am ayat 151:
”Dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
sebab yang benar.” (Departemen Agama RI, 1992:214)
Membunuh yang
dimaksudkan dalam ayat di atas mengandung pengertian segala macam bentuk dan
jenis pembunuhan, termasuk juga membunuh dengan jalan euthanasia itu termasuk
dalam kategori ayat tersebut, yaitu membunuh secara sengaja terhadap seseorang
dengan bantuan dari orang lain. Dalam pengertian ini ada subjek, yaitu orang
yang membantu melakukan proses pembunuhan dan ada obyek yaitu pasien yang
tengah mengalami penderitaan yang dinilai cukup tragis.
Akan tetapi pada Surat
Al-An’am ayat 151 di atas ada pengecualian pembunuhan yang tidak termasuk
euthanasia seperti membunuh saat berperang melawan orang kafir. Inilah yang
diisyaratkan membunuh dengan alasan yang dibenarkan. Dalam pengertian yang
lebih eksklusif yang mana mengarah kepada euthanasia pasif sebenarnya dapat
pula ditemukan dasarnya di dalam Al-Qur’an. Karena akan dianggap tindakan bunuh
diri, dimana pasien meminta sendiri untuk mempercepat kematiannya dengan diberi
obat yang bisa mempercepat kematiannya, keadaan yang demikian berarti berputus
asa dan mengingkari rahmat Allah SWT, sebagaimana firmanNya dalam QS. An- Nisa
ayat 29 yang berbunyi:
”Dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”
Nyawa merupakan barang
titipan Allah SWT, oleh karenanya tidak boleh diabaikan apalagi untuk
menghilangkan secara sengaja. Islam menghendaki setiap muslim untuk dapat
selalu optimis sekalipun ditimpa suatu penyakit yang sangat berat. Jadi Islam pulalah
memahami bahwa euthanasia adalah suatu keinginan dalam usaha mempercepat
kematian akibat ketidakmampuan menahan penderitaan.
Jadi euthanasia merupakan
suatu usaha untuk membantu seseorang yang sedang mengalami sakit atau
penderitaan yang tidak mungkin disembuhkan untuk dapat mempercepat kematian
dengan alasan membantu menghilangkan penderitaan yang kian dirasakan, padahal
sama sekali tidak dapat mengakhiri penderitaannya. Jadi hukum Islam dalam
menanggapi euthanasia secara umum ini memberikan suatu konsep bahwa untuk
menghindari terjadinya euthanasia, utamanya euthanasia aktif umat Islam
diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang memandang segala
musibah (termasuk penderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah
SWT. Hal ini hendaknya dihadapi dengan penuh kesabaran dan tawakal. Dan
diharapkan kepada dokter untuk tetap berpegang kepada kode etik kedokteran dan
sumpah jabatannya. Dan beberapa ulama memberikan suatu konsep tentang
euthanasia secara khusus bagi penderita yang penyakitnya menular. Contohnya
saja bagi penderita AIDS, menurut AF. Ghazali dan salah seorang Ketua MUI Pusat
HS. Prodjokusumo mengatakan bahwa, mengisolasi penderita AIDS dipandang
penyelesaian yang terbaik ketimbang harus dihilangkan nyawanya (di euthanasia)
(Majalah Panji Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari 1996:61). Hal ini berarti
bahwa kalau sedapat mungkin euthanasia dapat dihindari, mengapa tidak dilakukan.
Karena pepatah mengatakan dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan. Kalau
dokter sudah menyerah untuk mengobati pasiennya lebih baik dikembalikan kepada
keluarganya tanpa bermaksud untuk menghentikan bantuan kepada si pasien.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Aborsi dalam pandangan
Islam pada dasarnya adalah haram, karena telah dengan sengaja menghilangkan
nyawa orang lain. Meskipun demikian,
hukum Islam sangatlah fleksibel dan luwes. Dalam hal-hal tertentu atau darurat,
maka aborsi dibolehkan. Kebolehan ini diberikan oleh Islam, hanya dapat
ditempuh apabila sudah tidak ada alternatif lain yang lebih mengurangi resiko
buruk bagi si ibu dan janinnya. Motivasi
pengangkatan anak dalam Islam adalah lebih kepada memberikan perlakuan dan
menyalurkan rasa kecintaan serta kasih sayang kepada anak, pemberian nafkah,
pendidikan, dan pelayanan segala kebutuhan, bukan memperlakukannya sebagai anak
kandungnya sendiri dengan segala konsekuensi hukumnya.
Dalam Islam, ajaran
agar selalu peduli kepada sesama merupakan suatu hal yang memang harus selalu
diamalkan, terlebih lagi terhadap anak-anak terlantar dan anak yatim. Islam
mengajarkan umatnya untuk selalu menyantuni dan memelihara anak-anak yang tidak
mampu, miskin, terlantar, dan sebagainya. Tetapi perbuatan penyantunan dan
pemeliharaan anak-anak tersebut tidak sampai pada pemutusan hubungan keluarga
dan hak-hak orang tua kandungnya.
Ada sebagian para ulama
yang tidak memperbolehkan inseminasi, karena mereka mengangap hal tersebut
menyalahi kodrat sebagai manusia dan mereka yang tidak memperbolehkan berkiblat
kepada beberapa dalil berikut ini :
(QS. Al-Isra’ ayat 70)
: “Sungguh, Kami telah memuliakan anak-cucu Adam, dan Kami angkut mereka di
darat maupun laut, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan
dengan kelebihan yang sempurna.”
Dalam ayat tersebut
dijelaskan bahwasannya Allah lah yang menciptakan manusia dengan kelebihan dan
kesempurnaan.
(QS. At-Tin ayat 4),
Allah SWT. berfirman : “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
sebaik-baiknya.”
Para ulama telah
sepakat bahwa apapun alasannya, apabila tindakan itu berupa euthanasia aktif,
yang berarti suatu tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang
bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan, Islam
mengharamkannya.
Sedangkan terhadap
euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana,
maupun para ulama sepakat membolehkannya. Bagi mereka yang tidak setuju dengan
tindakan euthanasia lebih melihat pada alasan dan perdebatan klasik. Mereka percaya
bahwa yang berhak menentukan kematian itu hanyalah Allah SWT. Tugas manusia
hanya berikhtiar. Seorang dokter yang melakukan euthanasia bisa saja diajukan
ke pengadilan karena tuduhan membunuh, sekalipun tindakan tersebut dilakukan
berdasarkan permintaan pasien.
DAFTAR
PUSTAKA
Basyir,
Ahmad Azhar. Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum,
Politik dan Ekonomi. Cet. I; Bandung: Mizan, 1993.
Hasan.
M. Ali, Masa’il Fiqhiyah al-Haditsah pada Masaalah-Masalah Kontemporer Hukum
Islam. Jakarta: Raga Grafindo Persada, 1998.
Khallaf. Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ushul Fiqh).
Bandung: Penerbit Risalah, 1985.
Zuhdi,
Masyfuk. Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam. Cet. III; Jakarta: CV.
Haji Masagung, 1992
Ulfah
Anshor, Maria. Fikih Aborsi: Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan.
Jakarta: Penerbit Kompas, 2006.
Abdurrahman,
.H.SH.MH, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : AKAPRESS, 2004, Cet.
ke-4.
Al-Albani,
Muhammad Nashirudin, Ringkasan Shahih Muslim, (terj) Subhan LC, Imran Rosadi,
Beirut, Almaktab Al-Islamy,tth, jilid 2.
Ali
Hasan, M, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2000, Cet. ke-4.
Azhar
Basyir, Ahmad, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, Bandung : PT Al-
Ma’rif, 1972.
Budiarto.
M, Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum, Jakarta : AKAPRESS, 1991, Cet.
II.
Djamil.
Faturrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam Ajaran , Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Gosita,
Arif. Dr.SH, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer, 2004,
Cet ke-3.
Hamid,
Abdul dan Muhammad Muhyiddin, Al-Akhwal Asy-Syakhsiyyah fi Syari’ah Al-Islamy,
Mesir : Maktabah Muhammad Ali Sobih, 1996, Cet. ke-3.
Hamidy,
Zainudin,H, dkk, Terjemah Shahih Bukhari, Jakarta : Widjaya, Jilid III, 1986,
Cet. ke-4.
Komite
Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, Jakarta : Senayan Abadi
Publishing, 2004, Cet. ke-1.
Mohd.
Fachruddin, Fuad, Masalah Anak Dalam Hukum Islam, Jakarta : CV Pedoman Ilmu
Jaya, 1991, Cet. ke-2.
S.
Meliala, Djaja, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Bandung : PT Tarsito,
1996.
Simorangkir.
J.C.T, dkk, Kamus Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2004, Cet. ke-8. Soekanto.
Soerjono, Intisari Hukum Keluarga, Bandung : Alumni, 1973.
Soimin.
Soedharyo.SH, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Jakarta : Sinar Grafika,
2004, Cet. ke-2.
Syukrie.
Erna Sofwan, Pengaturan Adopsi International, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman, 1992.
Adji,
Oemarsono, 1991, Profesi Dokter, Cetakan I, Jakarta: Erlangga.
Amir,
Amri, 1997, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika.
Aseri,
Akh. Fauzi, 1995, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana
dan Hukum Islam, dalam Problematika Hukum Kontemporer, Editor oleh Chuzaimah T.
Yanggo dan Hafiz Anshary, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Assyaukanie,
Luthfi, 1998, Politik, HAM, dan Isu- isu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer, Cet.
I, Bandung: Pustaka Hidayah.
Basyir,
Ahmad Azar, 2001, Ikhtisar Fiqh Jinayah Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: UII
Press.
Hardinal,
1996, Euthanasia dan Persentuhannya dengan Hukum Kewarisan Islam, Mimbar Hukum
No. 6 Tahun VII, Jakarta: Ditbanpera Islam.
Moeljanto,
1978, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Muhammad,
Kartono, 1992, Teknologi Kedokteran dan Tantangannya terhadap Bioetika, Cet. I,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prakoso,
Djoko dan Djaman Andhi Nirwanto, 1984, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum
Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Pratiknya,
Ahmad Watik dan Abdul Salam M. Sofro, 1986, Islam Etika dan Kesehatan, Cet. I,
Jakarta: Rajawali.
Shannon,
Thomas A., 1995, Bioethics Escort, Terjemahan K. Bertens, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Yanggo,
Chuzaimah T., 1995, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Cet. II, Jakarta: PT.
Pustaka Firdaus.
Zuhdi, Masjfuk, 1996, Penderita
AIDS Tidak Boleh Dieuthanasia, Mimbar Hukum No. 6 Tahun VII, Jakarta:
Ditbanpera Islam.
No comments:
Post a Comment