Monday, 27 December 2021

MAKALAH PANDANGAN ISLAM TERHADAP MEDIS

 

DAFTAR ISI

 

 

KATA PENGANTAR........................................................................................... i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

 

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1

A.    Latar Belakang ............................................................................................ 1

B.    Tujuan Penulisan.......................................................................................... 2

 

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3

A.    Tinjauan Islam Tentang Ilmu Kesehatan...................................................... 3

B.    Aborsi dalam Pandangan Islam.................................................................... 5

C.    Adopsi dalam pandangan Islam dan Penjelasan ayat Tentang Adopsi...... 11

D.    Inseminasi Dalam Pandangan Islam dan ayat Tentang Inseminasi............ 22

E.     Eutanasia dalam Pandangan Islam serta Penjelasan Ayat.......................... 25

 

BAB III PENUTUP............................................................................................. 35

A.    Kesimpulan................................................................................................. 35

 

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 37

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Islam sangat memperhatikan dunia kesehatan guna menolong orang yang sakit dan meningkatkan kesehatan. Anjuran islam untuk hidup bersih juga menunjukkan obsesi islam untuk mewujudkan kesehatan masyarakat , sebab kebersihan pangkal kesehatan, dan kebersihan dipandang sebagai bagian dari iman. Jadi walaupun seseorang sudah menjaga kesehatannya sedemikian rupa, risiko kesakitan masih besar, disebabkan faktor eksternal yang diluar kemampuannya menghindari.

Islam menaruh perhatian yang besar terhadap dunia kesehatan. Kesehatan merupakan modal utama untuk bekerja, beribadah dan melaksanakan aktivitas lainnya. Ajaran Islam yang selalu menekankan agar setiap orang memakan makanan yang baik dan halal menunjukkan apresiasi Islam terhadap kesehatan, sebab makanan merupakan salah satu penentu sehat tidaknya seseorang. Sebagaimana Firman Allah yang terdapat dalam Q.S. Al Baqarah : 168 yang artinya :  “wahai sekalian manusia, makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi. Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa yang baik-baik yang Kami rezekikan kepadamu.” (Q.S.Al-Baqarah: 168).

Anjuran Islam untuk bersih juga menunjukkan obsesi Islam untuk mewujudkan kesehatan masyarakat, sebab kebersihan pangkal kesehatan, dan kebersihan di pandang sebagai bagian dari iman. Itu sebabnya ajaran Islam sangat melarang pola hidup yang mengabaikan kebersihan, seperti buang kotoran dan sampah sembarangan, membuang sampah dan limbah di sungai atau sumur yang airnya tidak mengalir dan sejenisnya, dan Islam sangat menekankan Kesucian atau Al-thaharah, yaitu kebersihan atau kesucian lahir dan batin. Dengan hidup bersih, maka kesehatan akan semakin terjaga, sebab selain bersumber dari perut sendiri, penyakit sering kali berasal dari lingkungan yang kotor.

Islam adalah suatu agama yang mengutamakan kebersihan, yang bertujuan untuk mewujudkan kesehatan bagi pemeluknya. Oleh karna itu kesehatan sangatlah penting bagi kita. Sebagai umat islam kita hendaknya mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan kesehaan dalam tinajauan agama Islam.

 

B.     Tujuan Penulisan

Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk :

1.      Mengetahui tentang Tinjauan Islam Tentang Ilmu Kesehatan

2.      Mengetahui tentang Aborsi dan Penjelasan ayat tentang Aborsi

3.      Mengetahui tentang Adopsi dan Penjelasan ayat Tentang Adopsi

4.      Mengetahui tentang Inseminasi dan Penjelasan ayat Tentang Inseminasi

5.      Mengetahui tentang Eutanasia dalam Pandangan Islam

           


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.      Tinjauan Islam Tentang Ilmu Kesehatan

Ilmu kesehatan termasuk salah satu ilmu penting dalam kehidupan, dalam prakteknya terbukti banyak bermanfaat untuk menjaga kesehatan dan menghindarkan diri dari penyakit badan. Dengan kondisi sehat setiap Muslim dapat menunaikan kewajibannya, mengisi seluruh waktunya pada hal-hal yang positif, bertaqwa kepada Allah. Setiap orang sangat memerlukan kondisi demikian, kapan dan di mana pun mereka berada. Karena sangat besar manfaatnya inilah maka syariat Islam membolehkan menyatakan bahwa ilmu kesehatan adalah ilmu teoritis praktis yang diperkenankan dalam syariat Islam untuk mempelajarinya, karena ia menjaga kesehatan dan menghindarkan diri dari penyakit.

Sebagaimana dinyatakan oleh para ulama’ ushul bahwa syariat Islam dibangun untuk menjadi rahmat, dan menekankan menolak al-masyaqqat (kepayahan) dan al-haraj (kesempitan) dalam memikul syariat.

Ajaran Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap masalah menghilangkan penyakit, memelihara manusia dari segala yang akan menyakitkannya, baik dalam tubuhnya sendiri maupun dari luar.

Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa menjaga kebersihan, baik diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya.

Rasulullah SAW bersabda, ''Kebersihan itu adalah sebagian daripada iman.'' Jika kebersihan diri dan lingkungan sudah terjaga, tentu kesehatan akan diperoleh.

Dalam ajaran Islam, menjaga kebersihan diri dapat dilakukan dengan cara selalu menyucikan diri setiap kali selesai berhadas besar ataupun kecil, berwudhu setiap kali akan melaksanakan shalat, dan mandi. Sementara itu, kebersihan lingkungan di antaranya dapat dilakukan dengan tidak membuang sampah di sembarang tempat.

Jalaluddin Al-Suyuti memberi penjelasan dalam kitabnya yang bertajuk Mukhtashar Al-Tibb Al-Nabawi. Menurutnya, selain menjaga kebersihan, Rasulullah SAW juga telah mencontohkan upaya-upaya lainnya dalam menjaga kesehatan.

Upaya tersebut, dalam dunia kesehatan modern saat ini, disebut sebagai tindakan pencegahan (preventif). Al-Suyuti menguraikan langkah preventif yang dicontohkan Rasulullah SAW, seperti mengonsumi makanan yang halal, berolahraga, dan kontrol diet untuk mencegah berat badan berlebihan.

Mengingat kebutuhan manusia terhadap ilmu kesehatan tersebut, banyak pernyataan ulama’ tentang keutamaannya. Sejak masa lalu, ulama’ memberikan kedudukan tinggi terhadap ilmu kesehatan. Al-Imam Al-Syafi’i membagi ilmu dalam dua kategori, yaitu ilmu agama dan ilmu badan atau ilmu kesehatan. Di kalangan Syi’i, mengutip ucapan ‘Ali ibn Abi talib yang menyejajarkan urgensi ilmu kesehatan setingkat dengan ilmu hukum Islam, ia berkata : Ada emapat ilmu pengetahuan, yaitu ilmu tentang hukum Islam, ilmu kesehatan badan, gramatika bahasa dan ilmu perbintangan untuk mengetahui musim dan pergantiannya.

Pada masa awal Islam, ahli pengobatan yang disebut para thabib, sebagian besar mereka memperoleh pengetahuan pengobatan berdasarkan adat turun temurun. Sebagian mereka ada yang berprofesi sebagai dokter, ada juga yang sebagai pedagang atau guru yang mengajarkan tentang  al-Quran dan penerapannya.

Dalam hadist Nabi banyak dijumpai informasi bahwa Nabi berobat jika sakit dan memerintahkan para sahabat untuk berobat. Nabi juga menganjurkan untuk mencari pertolongan tenaga medis yang menguasai di bidangnya. Musa Al-Khathib menyatakan Nabi menganjurkan belajar ilmu kesehatan, hukum mempelajarinya, meliputi teori dan prakteknya dalam Islam, menurut pandangan para ulama’ termasuk fardhu kifayah, yang wajib dikerjakan oleh sebagian umat Islam dan berdosalah semuanya jika mengabaikannya dan jika tidak seorang pun mengerjakannnya.

Di dalam Islamic Code of Medical Ethics diterangkan bahwa pengobatan merupakan profesi mulia. Allah menghormatinya melalui mukjizat Nabi Isa bin Maryam dan Nabi Ibrahim yang pandai mengobati penyakit dan selalu menyebut nama Allah sebagai penyembuh penyakitnya. Sama halnya dengan semua aspek ilmu pengetahuan, ilmu kesehatan adalah sebagian dari ilmu Allah, karena Allah-lah yang mengajarkan kepada manausia apa yang tidak diketahuinya. Allah berfirman: Iqra wa rabbukal akram, alladzi allama bil qalam, allamal insana ma lam ya’lam: Bacalah dan Tuhanmulah yang paling mulia, yang mengajar manusia dengan perantaraan qalam (baca tulis), dan Dia mengajarkan kepada manusia segala apa yang tidak diketahuinya. (QS al-Alaq: 3-5). Melalui ayat ini Allah menyuruh mempelajari alam semesta beserta segenap organisme dan anorganisme yang ada di dalamnya dengan nama dan kemuliaan Tuhan, melalui baca tulis, eksperimen, penelitian, diagnonis, dsb. Ini terbukti dengan semakin banyaknya studi di bidang kesehatan, semakin terungkap tanda-tanda kekuasaan Allah terhadap makhluk-makhluk-Nya.

 

B.       Aborsi dalam Pandangan Islam

1.        Pengertian Aborsi

Istilah aborsi secara bahasa berarti keguguran kandungan, pengguguran kandungan, atau membuang janin. Dalam terminologi kedokteran, aborsi berarti terhentinya kehamilan sebelum 28 (dua puluh delapan) minggu. Dalam istilah hukum, berarti pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah). Meskipun istilah ini tentunya memerlukan penjelasan yang lebih terinci lagi, utamanya dalam relatifitas batas terhentinya kehamilan dan terkait dengan proses yang melatarbelakangi  pengguguran dan/atau keguguran kandungan, namun data dipastikan bahwa pada umumnya memiliki substansi pemaknaan yang hampir sama. Definisi senada diungkapkan oleh Sardikin Ginaputra (Fakultas Kedokteran UI), abortus ialah pengakhiran kehamilan atau hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan.6 Sedangkan menurut Prof. M. A. Hanafiah ialah keluarnya isi rahim ibu yang telah mengandung (hamil) hidup insani sebelum waktunya.

Ilmu kedokteran pada pokoknya membedakan abortus ke dalam dua macam, yaitu :

a.       Spontaneus Abortus (Aborsi spontan), yaitu abortus yang tidak disengaja. Abosrtus spontan bisa terjadi karena salah satu pasangan berpenyakit kelamin, kecelakaan, dan sebagainya.

b.      Provocatus Abortus (Aborsi yang disengaja). Aborsi semacam ini terbagi dua, yaitu :

1)      Abortus artificialis therapicus, yakni aborsi yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis. Misalnya jika kehamilan diteruskan bisa membahayakan jiwa si calon ibu, karena misalnya penyakit-penyakit yang berat, antara lain TBC yang berat dan penyakit ginjal yang berat.

2)      Abortus provocatus criminalis, ialah aborsi yang dilakukan tanpa dasar indikasi media. Misalnya aborsi yang dilakukan untuk meniadakan hasil hubungan seks di luar perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki.8

2.      Aborsi dalam Pandangan Hukum Islam

Dalam menentukan hukum suatu persoalan, seorang mujtahid haruslah menempuh beberapa hal. Tahapan-tahapan penelusuran hukum permasalahan tertentu haruslah sesuai dengan runtutan atau urutan dasar hukum Islam. Hal ini menjadi sebuah keharusan bagi seorang mujtahid yang betul-betul ingin mengkaji Alquran dengan tetap menjadikan Alquran dan Hadis sebagai acuan dan rujukan. Sebab, sangatlah naif kiranya seorang yang ingin mengkaji dan menggali makna atau kandungan Alquran kemudian tidak kembali merujuk pada sumber utama dan paling utama tersebut.

  1. Uraian Alquran tentang Aborsi

Uraian Alquran tentang proses pembuahan tidak diungkapkan secar terinci, mulai dari awal sampai akhir, melainkan dikemukakan secara umum dan global. Ayat yang biasa dijadikan acuan ketika berbicara mengenai aborsi antara lain, sebagai berikut :

1)      Redaksi ayat dalam QS. al-Isra’ (17): 31 dan 33, dikemukakan:

Terjemahnya :

“Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada kamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”

Terjemahnya :

“ Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan haq. Dan barangsiapa dibunuh secara dhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah keluarganya melampaui batasa dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang dimenangkan.”

2)      Redaksi ayat dala QS. al-An’am (6): 151, dikemukakan:

Terjemahnya :

“ Katakanlah: „Marilah kubacakan apa yang diharamkan Allah atas kamu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan-Nya, dan kepada kedua ibu bapak melakukan kebaktian. Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepada kamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali berdasar sesuatu yang benar. Demikian itu yang diwasiatkan kepada kamu, supaya kamu memahami.”

  1. Uraian Hadis tentang Aborsi

Uraian hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua, sekaligus sebagai sumber rujukan dalam mengaplikasikan segala persoalan yang dapat dijadikan hujjah dalam kehidupan, maka sudah barang tentu sangat dibutuhkan dalam mengkaji persoalan aborsi. Ditemukan beberapa beberapa redaksi hadis dengan derivasi periwayatan yang beragam, dapat ditelusuri di berbagai sumber kitab hadis yang muktabarah, antara lain sebagai berikut:

1)      Redaksi   hadis    dalam    Shahih    Bukhari,    Kitab   Bad’   al-Khalq,10

dikemukakan:

Artinya :

…Dari Abdullah ibnu Mas‟ud: “Proses kejadian manusia pertama-tama merupakan bibit yang telah dibuahi dalam rahim ibu selama 40 hari, kemudian berubah menjadi ‘alaqah yang memakan waktu selama 40 hari, kemudian berubah menjadi mudgah yang memakan waktu 40 hari pula. Setelah itu Allah mengutus malaikat yang diperintahkan menuliskan empat hal, yaitu tentang amalnya, rezekinya, ajalnya, dan nasibnya celaka atau bahaya yang kemudian kepadanya ditiupkan roh...

2)      Redaksi     hadis    daam   Shahih Muslim,           Kitab   al-Hudud, 11 dikemukakan:

Artinya :

…Dari „Ubadah bin Shamit berkata: Kami bersama dengan Rasulullah saw. Di sebuah majelis, lalu ia bersabda: “aku dibai‟at untuk tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu, janganlah engkau berzina, mencuri, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan haq…

3.        Pandangan Ulama tentang Aborsi

a.       Aborsi sebelum ditiupkan roh

Kalangan Ulama fiqhi berbeda pendapat dalam menetapkan hukum terhadap aborsi yang dilakukan sebelum ditiupkan roh. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1)      Dibolehkan secara mutlak tanpa dikaitkan dengan uzur  sama sekali. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama mazhab Zaidiyah, sebagian mazhab Hanafi, dan sebagian mazhab Syafi‟i.

2)      Dibolehkan apabila ada uzur, dan makruh  hukumnya  apabila tanpa uzur. Uzur yang dimaksudkan adalah mengeringnya air susu ibu ketika kehamilan sudah mulai kelihatan, sementara sang ayah tidak mampu membiayai anaknya untuk menyusu kepada wanita lain apabila anaknya lahir nanti. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian mazhab Hanafi dan sebagian mazhab Syafi‟i.

3)      Makruh secara mutlak apabila belum ditiupkan roh. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Maliki.

4)      Haram melakukan aborsi, sekalipun belum ditiupkan roh, karena air mani apabila telah menetap dalam rahim, meskipun belum melalui masa 40 hari, tidak boleh dikeluarkan. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama mazhab Maliki dan mazhab Zahiri.

b.      Aborsi setelah ditiupkan roh

Ulama fiqhi sepakat bahwa melakukan aborsi terhadap kandungan yang telah menerima roh hukumnya haram. Mereka mengemukakan alasan sebagaimana keumuman makna dalam firman Allah QS. al-Isra’ (17): 31 dan 33, serta QS. al-An’am (6): 151, sebagaimana yang telah dikemukakan.

Para ulama juga sepakat mengenai sanksi hukum bagi wanita yang melakukan aborsi setelah ditiupkannya roh, yaitu dengan membayar gurrah (budak laki-laki atau perempuan). Demikian pula jika yang melakukannya orang lain dan sekalipun suami sendiri. Di samping membayar gurrah, sebagian ulama fiqhi di antaranya mazhab Zahiri, bahwa pelaku aborsi juga dikenai sanksi hukum kaffarat, yaitu memerdekakan budak dan jika tidak mampu wajib berpuasa dua bulan berturut-turut, dan apabila masih tidak mampu juga, wajib memberi makan fakir miskin 60 orang.

c.       Aborsi karena darurat

Aborsi yang dilakukan apabila ada uzur yang benar-benar tidak mungkin dihindari, yang dalam istilah fiqhi disebut keadaan “darurat”, seperti apabila janin dibiarkan tumbuh dalam rahim akan berakibat kematian ibu. Ulama sepakat bahwa aborsi dalam hal ini hukumnya mubah. Kebolehannya ini guna menyelamatkan nyawa sang ibu. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah, bahwa Rasulullah Saw., menganjurkan agar orang jangan berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri atau orang lain. Kaidah fiqhi juga mengatakan bahwa apabila terdapat dua hal yang merugikan, padahal tidak mungkin dihindari keduanya, maka harus ditentukan pilihan kepada yang lebih ringan kerugiannya.

Apabila aborsi dilakukan karena sebab-sebab lain yang sama sekali tidak terkait dengan keadaan darurat, seperti untuk menghindarkan rasa malu atau karena faktor ekonomi, maka hukumnya haram. Betapapun aborsi seringkali dipandang sebagai sesuatu yang sudah menjadi lazim atau sudah tidak dianggap sebagai sesuatu yang tabuh di tengah-tengah masyarakat, maka tetap hukum keharamannya tidak dapat ditolerir. Persoalannya adalah terletak pada faktor adanya unsur kesengajaan, sementara unsur kesengajaan ini seringkali diselubungkan dengan alasan “kedok” darurat. Misalnya dengan alasan jatuh, kecelakaan, pendarahan, dan semacamnya. Dengan demikian, apabila terdapat alasan yang menyertakan “berupa motivasi-akibat” sehingga terjadi unsur “keadaan darurat” maka tetap hukumnya adalah haram.

Hasil dari beberapa uraian dasar hukum yang telah dikemukakan di atas, penulis menyimpulkan pandangan mengenai hukum aborsi sebagai berikut:

a.       Aborsi tanpa sengaja, maka tidak dikenakan hukum. Dasar hukum yang penulis jadikan rujukan adalah QS. al-Thagabun (64):11 bahwa segala yang menimpa manusia itu adalah seizin Allah SWT. Redaksi ayat yang dimaksud, sebagai berikut:

Terjemahnya:

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

b.      Aborsi yang disengaja:

1)      Aborsi tanpa uzur sama sekali, haram hukumnya. Apakah aborsi itu sebelum atau sesudah ditiupkannya roh pada janin. Dasar hukum keharamannya adalah QS. al-Isra’ (17): 31 dan 33, serta QS. al-An’am (6):151. Hal ini ditunjang pula oleh hadis Rasulullah Saw., sebagaimana telah disebutkan di atas. Selanjutnya, penulis pun beralasan adalah dalam kondisi kekinian, aborsi sudah seharusnya dipertegas keharamannya, karena hal yang sudah diharamkan saja masih sering dilakukan, apatah lagi hal-hal yang masih ditolerir keharamannya. Aborsi dalam keumuman makna lafal ayat tersebut berarti membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain secara sengaja, dan hal itu hukumnya adalah haram.

2)      Aborsi   karena    kondisi    tertentu/darurat,    hukumnya    mubah.

Rujukanya adalah QS. al-Baqarah (2): 195, sebagai berikut:

Terjemahnya:

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang berbuat baik.

 

C.    Adopsi dalam pandangan Islam dan Penjelasan ayat Tentang Adopsi

1.      Pengertian Adopsi

Secara etimologis adopsi atau pengangkatan anak disebut ”tabanni” (ﺗﺒﻨﻲ) yang menurut Prof . Mahmud Yunus diartikan dengan ”mengambil anak angkat”. Sedangkan dalam kamus Munjid diartikan dengan ”ittikhodzu ibnan” (اﺑﻨﺎ اﺗﺨﺎذ) yaitu menjadikannya sebagai anak.2

Secara terminologis adopsi menurut Mahmud Syalthut mempunyai dua pengertian, ialah :

a.       Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri tanpa memberi status anak kandung kepadanya,

b.      Mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.

Pada pengertian yang pertama, anak angkat yang dididik dan dibesarkan dengan penuh perhatian dan kasih sayang oleh orang tua angkatnya hanya diperlakukan seperti anak sendiri, dengan tidak memberikan status anak kandung, begitu juga anak angkat tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya. Adopsi seperti itulah yang diatur oleh hukum Islam.

Kemudian pada pengertian yang kedua, anak angkat selain dididik dan diberi kasih sayang layaknya anak kandung, ia juga diberi status anak kandung. Anak angkat dalam pengertian ini juga dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya. Hal inilah yang dilarang oleh Islam. Dengan demikian adopsi dalam pengertian yang kedua ini tidak sesuai dengan syari’at Islam.

Dalam hal ini Islam mengambil pengertian yang pertama sebagai pengertian adopsi. Pengertian pertama inilah yang lebih sesuai dengan tujuan syari’at Islam sebab dalam pengertian yang pertama memberikan penekanan pada perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan, dan pelayanan dalam segala kebutuhan, bukan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri. Sedangkan pada pengertian yang kedua, lebih sesuai dengan adopsi pada zaman jahiliyah sebelum Islam datang.

Sedangkan Abdul   Hamid   dan   Muhammad   Muhyiddin   mendefinisikan

Artinya :”Adopsi adalah : persandaran atau pengangkatan anak yang jelas nasabnya kepada bapaknya ( yang asli ) oleh seorang laki-laki. Kemudian dihubungkan nasab si anak kepada dirinya ( si laki-laki atau pengadopsi ), atau dapat pula diartikan persandaran atau pengangkatan anak yang jelas nasabnya kepada ibunya ( yang asli) oleh seorang wanita (ibu), lalu dihubungkan nasab si anak kepada dirinya ( si wanita tersebut atau pengadopsi ) dan anak yang semisal diatas disebut anak angkat atau anak adopsi ( yang dipanggil dengan bapak-bapak atau ibu-ibu mereka yang asli ).

Dari definisi adopsi diatas menimbulkan pertanyaan, apakah sama antara anak adopsi dengan anak pungut.

Dalam bahasa Arab anak pungut berasal dari laqatha’ yang berarti mengambil anak pungut atau disebut juga tabanni, dengan arti yang sama. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pengertian anak pungut yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya. Jika kita memperhatikan pada definisi secara bahasa, maka terdapat kesamaan arti antara mengangkat anak dengan memungut anak.

Sedangkan menurut Hilman Hadi, anak pungut adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua yang memungutnya dengan resmi menurut hukum adat setempat, dengan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan harta kekayaan rumah tangga. Mahmud Syalthut dalam mendefinisikan anak pungut memberikan pengertian yang sama dengan anak angkat. Kemudian anak asuh, ia memiliki pengertian yang sama dengan adopsi, tabanni, atau luqatha’. Sedangkan seperti kita ketahui tabanni dan luqatha’ adalah kata lain dari adopsi. Jadi antara anak angkat, anak pungut, dan anak asuh memiliki pengertian dan maksud yang sama.

Sejalan dengan itu, diantara ahli hukum ada yang membedakan pengertian adopsi dengan pengangkatan anak. Dalam pengangkatan anak, seorang anak angkat dipelihara dan tidak mendudukkannya sama dengan anak kandung dalam hal waris. Sebaliknya dalam adopsi, anak angkat mempunyai kedudukan yang sama.

Dalam memberikan pengertian tentang lembaga anak angkat menurut hukum Islam, maka menurut penulis perlu dijelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan lembaga ini yaitu at-Tabanni dan al- Laqith.

At-Tabanni adalah mengangkat anak orang lain sebagai anak, sehingga berlakulah bagi anak tersebut hukum-hukum yang berlaku atas anak kandung. Pengertian ini sama dengan pengertian adopsi yang berlaku di Indonesia. Sedangkan al- Laqith mengandung arti pemungutan anak yang belum dewasa ditemukan di jalan dan tidak diketahui keluarganya. Laqith berarti seorang ayah memungut seorang anak yatim atau mendapat di jalan kemudian dijadikan sebagai anak sendiri baik diasuh dan, diberi makan, pakaian oleh dia, maupun diajarkan, diajak bergaul seperti anaknya sendiri. Bedanya ia tidak menisbathkan anak tersebut pada dirinya dan tidak diperlakukan padanya hukum-hukum seperti anak kandung sendiri seperti: menjadi mahram, haram dikawini, dan berhak mendapat waris.

Dari perbedaan pengertian di atas maka dapat diambil pengertian kedua bentuk adopsi, tabanni dan luqatha’, terdapat perbedaan-perbedaan. Tabanni lebih mengutamakan materilnya dari pada sosialnya, dan ini dapat dilihat pada:

a.       Tabanni memutuskan hubungan antara si anak dengan orang tua kandungnya, sedangkan luqatha’ tidak.

b.      Tabanni menjadikan anak angkat sebagai anak kandung, sedangkan luqatha’ tidak memberikan kedudukan hukum sebagai anak kandung tetapi hanya terletak pada pemeliharaan dan pengurusan seperti anak kandung.

c.       Tabanni mengadakan ikatan dengan ditandai oleh peresmian pengangkatan di depan umum, sedangkan luqatha’ tidak.

d.      Tabanni di samping menjaga keselamatan anak juga untuk tujuan lain, sedangkan luqatha’ tidak. Dasar utamanya menyelamatkan anak tersebut dari hal-hal yang tidak diinginkan, di samping pemeliharaan dan pendidikan demi masa depan tanpa mengharapkan sesuatu darinya.

e.       Tabanni memberikan hak mewarisi dan diwarisi, sedangkan luqatha’ hanya memberikan wasiat.

Maka dari itu dapat dipahami bahwa pengertian anak angkat menurut hukum Islam adalah anak yang diangkat untuk dipelihara, dibiayai pendidikannya, dan dipenuhi segala kebutuhannya oleh orang tua angkat. Disitu terjadi suatu peralihan tanggung jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat berdasarkan putusan pengadilan.

2.      Sejarah Adopsi

a.       Adopsi Pada Masa Pra-Islam

Adopsi sudah dikenal jauh sebelum Islam berkembang. Masayarakat jahiliyah sudah lebih dahulu mengenal adopsi daripada masyarakat Islam setelahnya. Adopsi sangat erat kaitannya dengan waris dan mewarisi. Adopsi menjadi salah satu sebab mewarisi dari dua sebab yang berlaku pada masa itu.

Sebab yang pertama, berdasarkan garis keturunan atau kekerabatan, adalah warisan yang diturunkan kepada anak laki-laki dewasa yang ditandai dengan kemampuan menunggang kuda, bertempur, dan meraih harta rampasan perang. Apabila anak lelaki tidak ditemukan, mereka memberikan kepada ahli waris ashabah yang memiliki hubungan kekerabatan yang terdekat, seperti saudara laki- laki, paman, dan lainnya. Dengan demikian bangsa Arab jahiliyah, tidak memberikan warisan kepada kaum perempuan dan anak-anak baik laki-laki maupun perempuan.

Sedangkan sebab yang kedua, berdasarkan sebab atau alasan tertentu, adalah warisan yang diberikan kepada ahli waris melalui jalur adopsi. Kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung yang mewarisi dari ayahnya. Adopsi merupakan salah satu adat bangsa Arab yang sudah dikenal pada masa jahiliyah. Mereka menetapkan jalur adopsi melalui dua cara. Pertama, mereka menjadikan adopsi sebagai salah satu penghalang dibolehkan nikah dengan perempuan (istri) dari orang tua yang mengadopsinya. Anak laki-laki yang diadopsi haram menikahi istri orang yang mengadopsinya, sama dengan keharamannya menikahi anak perempuan dari orang yang mengadopsinya, apabila keduanya dicerai atau ditinggal mati. Kedua, mereka menjadikan adopsi sebagai salah satu alasan pelaksanaan hukum waris.

Selain itu, dalam masyarakat Arab Jahiliyah sebab atau alasan tertentu yang dapat menyebabkan saling mewarisi adalah perjanjian. Sebagai akibat dari perjanjian ini bila salah seorang dari mereka meninggal dunia, pihak yang masih hidup berhak mewarisi harta peninggalan rekannya yang telah meninggal dunia.

b.      Adopsi pada masa Islam       

Pada masa permulaan Islam, untuk dapat mewarisi masih berlaku landasan pengangkatan anak dan sumpah setia. Kemudian diberlakukan alasan ikut hijrah, lalu alasan dipersaudarakannya sahabat Muhajirin dengan sahabat Anshor. Yang dimaksud dengan alasan ikut hijrah adalah jika seorang sahabat Muhajirin meninggal dunia maka yang mewarisinya adalah keluarganya yang ikut hijrah, sedang keluarga yang tidak ikut hijrah tidak ikut mewarisi.

Kemudian jika sahabat Muhajirin yang meninggal dunia tidak memiliki kerabat yang ikut hijrah maka yang berhak mewarisi adalah sahabat Anshor.

Pada masa itu juga berlaku pewarisan harta terhadap harta orang yang memerdekakan budak terhadap mantan budak yang pada waktu sebelumnya dimerdekakannya dengan sistem wala’ (hak mewarisi pada mantan majikannya terhadap mantan budak yang dimerdekakannya) dengan catatan bahwa sistem wala’ tidak berlaku timbal balik.

Akhirnya yang berlaku dalam kewarisan Islam adalah sistem nasab-kerabat yang berlandaskan kelahiran ( nasab, qarabah, rahm). Hal ini dijelaskan dalam surat

Artinya :”Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya ( daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. ( Al- Anfal/8: 75)

Sebagaimana kita ketahui Islam adalah agama yang          menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Dalam Islam telah diatur segala aspek yang berkaitan dengan kehidupan kita, termasuk di dalamnya mengenai pengangkatan anak.

Pada tahun 8 H/ 625 M, Zaid bin Haritsah diperjualbelikan di pasar Ukad. Ia dan pemuda-pemuda lain dibeli dari pasar ini oleh Hakim, kemenakan Khadijah. Suatu ketika Khadijah berkunjung ke rumah Hakim dan ditawari memilih salah seorang dari budak tersebut. Ia memilih Zaid. Pada saat pernikahannya dengan Muhammad SAW, ia memberikan Zaid kepada Muhammad SAW sebagai hadiah. Muhammad SAW kemudian membebaskan Zaid dan mengangkatnya sebagai anaknya sendiri. 13

Ketika mengetahui Zaid ada di Mekah, ayahnya Haritsah dan saudaranya Ka’ab, datang menemui Nabi SAW untuk menebusnya. Nabi SAW mengembalikan Zaid tanpa tebusan . hanya saja Zaid sendiri yang menolak untuk kembali kepada orang tuanya. Ia memilih tetap bersama Rasulullah SAW yang sudah dipandang sebagai orang tuanya sendiri. Harisah dan saudaranya tidak keberatan, karena Zaid dijadikan orang terhormat. Sejak itu masyarat menyebutnya Zaid bin Muhammad sampai kemudian datang wahyu yang melarang menasabkan orang lain kepada orang tua kandungnya.

Beberapa waktu setelah Muhammad diutus menjadi Rasul, turunlah wahyu yang menegaskan masalah itu, yaitu Surat Al-Ahzab ayat 4-5:

Artinya :”Allah sekali-kal tidaki menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ”. ( Al-Ahzab/33: 4-5)

 Sesudah itu turun pula wahyu yang menetapkan peraturan waris mewarisi yakni surat Al-Ahzab ayat 6 yang kemudian membatalkan pewarisan lewat jalur pengangkatan anak.

3.      Syarat-syarat Adopsi Menurut Hukum Islam

Berdasarkan Al-qur’an surat Al-Ahzab ayat 4,5,dan 37, jelas bahwa Islam melarang mengangkat anak orang lain menjadi anak kandung dalam segala hal. Islam dengan tegas melarang perbuatan itu karena :

a.       Mengangkat anak adalah suatu kebohongan di hadapan Allah SWT dan di hadapan manusia dan hanya merupakan kata-kata yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak mungkin akan menimbulkan kasih sayang yang sesungguhnya sebagaimana kasih sayang yang timbul di kalangan ayah, ibu, dan keluarga yang sebenarnya.

b.      Mengangkat anak sering dijadikan sebagai suatu cara untuk menipu dan menyusahkan kaum keluarga. Misalnya, seorang laki-laki mengangkat anak yang akan menjadi pewaris dari harta kekayaannya. Dengan demikian berarti orang itu tidak memberikan bagian dari hartanya kepada saudara-saudaranya, dan ahli waris yang lain, yang mempunyai hak dalam harta pusaka itu menurut ketentuan Allah. Hal inilah yang menyebabkan perbuatan itu dilarang.

c.       Mengangkat anak dan menetapkan statusnya sama dengan anak kandung, kadang- kadang menjadi beban dan tugas yang berat bagi keluarga ayah angkat. Bila ayah angkatnya meninggal, maka keluarganya bertugas memberi nafkah kepadanya. Hal ini menyebabkan pelimpahan tugas- tugas mereka yang pada akhirnya menyebabkan yang halal menjadi haram dan sebaliknya.

Salah satu tujuan atau sasaran hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan bagi manusia. Tidak ada suatu perkara pun yang disyari’atkan oleh Islam melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah, melainkan terkandung maslahat yang hakiki. 14 Maslahat ini mengacu pada pemeliharaan terhadap lima hal, yaitu memelihara kemaslahatan beragama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta benda dan kehormatan.15 Dalam hal pemeliharaan keturunan,Islam sangat menjaga kemurnian nasab seseorang. Hal inilah yang menjadi sebab mengapa adopsi diharamkan dalam Islam.

Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a.       Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua biologis dan keluarga.

b.      Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandung, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya.

c.       Anak angkat tidak boleh menggunakan nama orang tua angkatnya secara langsung kecuali sekadar sebagai tanda pengenal/alamat.

d.      Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam pernikahan terhadap anak angkatnya.

e.       Hubungan kehartabendaan antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat hendaknya untuk dalam hubungan hibah dan wasiat.

f.       Pengangkatan yang dilakukan oleh orang yang berlainan agama tidak dibenarkan.

Dari ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Rasulullah SAW bersabda bahwa orang yang memelihara anak orang lain terlebih lagi anak tersebut yatim maka akan mendapat ganjaran surga:

 

Artinya :” Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, ” Rasulullah SAW telah bersabda, Pengasuh anak yatim, anaknya sendiri, ataupun anak orang lain, aku dan dia seperti dua jari ini di surga kelak. ”Malik RA memperagakan jari telunjuk dan jari tengahnya.(Riwayat Muslim) 17

4.      Kedudukan Anak Adopsi Menurut Hukum Islam

Pada zaman jahiliyah, jika seseorang mengangkat anak, maka otomatis nasabnya disambungkan kepada ayah angkatnya dan nasab kepada orang tua kandungnya terputus, bahkan anak angkat mendapatkan hak waris. Pengangkatan anak menurut hukum Islam tidak merubah kedudukan seorang anak terhadap beberapa hal, di antaranya:

a.       Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua biologisnya dan keluarga.

b.      Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat, tetapi ahli waris dari orang tua kandung, demikian juga sebaliknya orang tua angkat tidak menjadi ahli waris dari anak angkat.

c.       Anak angkat tidak diperkenankan memakai nama orang tua angkatnya (panggilan anak-anak angkat) secara langsung sebagai tanda pengenal/alamat.

d.      Orang tua angkat tidak bisa bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya.

Pengangkatan anak dalam Islam bersumber langsung pada Firman Allah SWT dalam Surat Al-Ahzab ayat 4-5 sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Asbabun nuzul ayat tersebut adalah untuk memperbaiki kesalahan Nabi Muhammad SAW dalam mengangkat anak yang disesuaikan adat istiadat dan tradisi yang berlaku dalam keridupan bangsa Arab Jahiliyah. 19 Allah menurunkannya sebagai petunjuk untuk memanggil angkat disertai nama bapak kandungnya.

Dari rumusan ayat tersebut, dapat diketahui bahwa Islam melarang menyamakan anak angkat dengan anak kandung. Oleh karena itu untuk memperkuat bahwa anak kandung tidak sama dengan anak angkat, Nabi dibolehkan menikahi bekas istri anak angkatnya ( Zainab binti Jahsy) . Firman Allah dalam surat Al- Ahzab ayat 37:

 Artinya :”Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni’mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni’mat kepadanya: ”Tahanlah terus istrimu dan bertaqwalah kepada Allah” , sedang kamu menyembunyikan didalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia, supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripaa istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (Al-Ahzab/33: 37)

Selain itu ada hal lain mengapa Nabi memilih Zainab bin Jahsy sebagai istri anak angkatnya. Beliau ingin menghapus perbedaan antara berbagai kelas dan meniadakan pengkotakan yang terjadi di kalangan orang-orang Arab antara kaum atas dan hamba sahaya, antara miskin dan kaya. Oleh karena itu, Nabi memilih sepupunya untuk menjadi model bagi perempuan-perempuan Arab di mana Zainab bin Jahsy adalah perempuan dari golongan terhormat dan mulia sedangkan Zaid bin Haritsah adalah seorang hamba sahaya.

Rumusan ayat berikutnya dari Surat Al-Ahzab ayat 40 menyatakan bahwa tidak dibenarkan anak angkat dipanggil menurut nama bapak angkatnya:

Artinya :”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab/33: 40)

Dan banyak hadits yang melarang tentang hal ini, diantaranya:

Artinya :”Dari Abu Dzar ra, ia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda : ” Seorang yang mengatakan mengaku keturunan selain ayahnya, padahal ia tahu (dia bukan ayah kandungnya) maka orang itu kafir. Maka barang siapa yang mengatakan bahwa ia keturunan suatu kaum bukan menurut hubungan keturunan mereka, maka hendaklah mereka menempati tempatnya di neraka.” (Riwayat Bukhori)

Artinya :”Dari Waatsilah ibn Atsqo’i bersabda Rasulullah SAW : Sesungguhnya ada beberapa hal yang termasuk dosa besar yaitu memanggil bapak selain kepada ayahnya sendiri, melihat dengan matanya padahal tidak melihat, menyatakan pernyataannya dari Nabi padahal bukan perkataan Nabi”. (Riwayat Bukhori)

Berdasarkan surat Al-Ahzab dan hadits diatas dapat diketahui bahwa :

a.       Prinsip-prinsip pengangkatan anak dalam Islam bertujuan untuk memelihara anak dan mensejahterakannya. Dalam kasus Zaid , Nabi SAW memeliharanya sekaligus membebaskannya dari perbudakan dan menjadikannya hidup layak sebagaimana manusia merdeka. Sedangkan tujuan lainnya adalah ingin menolong sesama manusia. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :

Artinya :”....dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesunggyhnya Allah amat berat siksa-Nya. ” (Al-Maidah/5: 2)

b.      Dengan tidak diperbolehkan menisbatkan ayah kepada anak angkat, mengandung arti bahwa pengangkatan anak dalam Islam bertujuan untuk memelihara dan melestarikan keutuhan keluarga dan menjaga asal-usul seseorang.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam hukum Islam anak angkat tidak dapat disamakan dengan anak kandung. Seperti diketahui, Islam sangat mementingkan hubungan nasab. Oleh karena itu status anak angkat tidak dapat menjadikan anak tersebut sebagai ahli waris. Karena antara anak angkat dengan orang tua angkat adalah orang lain dan tidak ada hubungan nasab. Meskipun antara anak angkat dengan orang tua angkat ada jalinan kasih sayang yang kuat seperti layaknya dengan orang tua kandung, tetapi mereka tetap saja tidak ada hubungan darah. Karena hubungan darah tidak akan pernah terputus antara orang tua kandung dengan anaknya. Oleh karena itu, antara anak adopsi dan hak waris tidak ada hubungan sama sekali. Hal ini dikarenakan pada prinsipnya pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

5.      Tujuan Adopsi Menurut Hukum Islam

Suatu perbuatan pasti memiliki tujuan yang akan dicapai. Begitu pula seseorang dalam mengangkat seorang anak pasti memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai. Memang banyak faktor mengapa seseorang melakukan pengangkatan anak. Namun lazimnya latar belakang pengangkatan anak dilakukan oleh orang yang tidak diberikan keturunan. Pengangkatan anak dilakukan guna memenuhi instingtif manusia yang berkehendak menyalurkan kasih sayangnya kepada anak yang dirasakan akan merupakan kelanjutan hidupnya.

Motivasi pengangkatan anak dalam Islam adalah lebih kepada memberikan perlakuan dan menyalurkan rasa kecintaan serta kasih sayang kepada anak, pemberian nafkah, pendidikan, dan pelayanan segala kebutuhan, bukan memperlakukannya sebagai anak kandungnya sendiri dengan segala konsekuensi hukumnya.

Dalam Islam, ajaran agar selalu peduli kepada sesama merupakan suatu hal yang memang harus selalu diamalkan, terlebih lagi terhadap anak-anak terlantar dan anak yatim. Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menyantuni dan memelihara anak-anak yang tidak mampu, miskin, terlantar, dan sebagainya. Tetapi perbuatan penyantunan dan pemeliharaan anak-anak tersebut tidak sampai pada pemutusan hubungan keluarga dan hak-hak orang tua kandungnya. Pemeliharaan tersebut harus didasarkan pada penyantunan semata. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah SWT, dalam firman-Nya

Artinya :”Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan”. (Al-Insan/76: 8)

 

D.    Inseminasi Dalam Pandangan Islam dan ayat Tentang Inseminasi

1.      Inseminasi Menurut Pandangan Islam

Memiliki keturunan merupakan salah satu tujuan pernikahan dalam Islam, namun tidak semua orang bisa mencapai tujuan tersebut, hingga akhirnya hal tersebutlah yang mendorong manusia untuk mencari dan menemukan solusi dari persoalan tersebut.

Di dalam sumber syariat Islam (Al-Qur’an dan hadits) memang dijelaskan bahwasannya proses penciptaan manusia yaitu dengan pembuahan antara sel telur dan sperma melalui senggama. Namun, manusia pun telah menemukan beberapa cara dan jalan keluar bagi pasangan suami istri yang tidak dapat memiliki keturunan karena suatu masalah, maka hal tersebut telah teratasi pada era modern ini. Yaitu dengan cara inseminasi dan bayi tabung.

Dan berikut adalah beberapa pandangan Islam terhadap inseminasi :

  1. Dalam hukum Islam, Inseminasi diperbolehkan

Inseminasi diperbolehkan dalam Islam, apabila karena keadaan darurat dan pembuahan tersebut berasal dari sel telur dan sperma pasangan suami istri yang sah.

  1. Dalam Islam tidak memperbolehkan Inseminasi

Ada sebagian para ulama yang tidak memperbolehkan inseminasi, karena mereka mengangap hal tersebut menyalahi kodrat sebagai manusia dan mereka yang tidak memperbolehkan berkiblat kepada beberapa dalil berikut ini :

(QS. Al-Isra’ ayat 70) : “Sungguh, Kami telah memuliakan anak-cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat maupun laut, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwasannya Allah lah yang menciptakan manusia dengan kelebihan dan kesempurnaan.

(QS. At-Tin ayat 4), Allah SWT. berfirman : “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya.”

Dalam hadits tersebut pun firman Allah menjelaskan bahwasannya Allah lah yang telah menciptakan manusia dengan rupa dan bentuk yang sebaik-baiknya.

2.      Inseminasi bertentangan dengan ajaran Islam

Dalam Islam diajarkan dan dikatakan, bahwa Allah lah Sang Maha Pencipta dan Maha Kuasa, lalu jika manusia dapat menciptakan keturunan dengan teknologi temuannya dan dengan tangannya, apakah hal tersebut tidak bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Islam? Hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam mengenai bahwa Allah adalah Maha Pencipta.

a.       Inseminasi dapat membuat manusia mengingkari keberadaa dan kuasa Allah

Dengan adanya inseminasi, manusia dapat campur tangan dalam pembuatan keturunan, hal tersebut dapat saja membuat manusia mengingkari keberadaan dan kuasa Allah SWT.

b.      Inseminasi dapat merendahkan harkat martabat manusia

Manuia diciptakan Allah sebagai makhluk mulia. Allah SWT. telah berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia menghormati dan menghargai martabatnya sebai manusia. Dalam hal ini, donor sperma atau sel telur pada inseminasi pada hakikatnya akan merendahkan harkat martabat manusia.

c.       Menimbulkan dosa besar

Inseminasi dengan cara menyemprotkan sperma pria lain kepada sel telur pasangan yang bukan muhrimnya atau sebaliknya dianggap zina dalam Islam, dan dapat menimbulkan dosa besar.

3.      Sebagai jalan keluar medis

Ketika manusia sudah berusaha untuk memiliki keturunan dengan cara yang alami yaitu melalui hubungan seksual namun tetap tidak bisa mendapatkan keturunan dikarenakan duatu masalah, maka inseminasi menjadi salah satu jalan keluar atau upaya medis yang diperbolehkan, namun dengan syarat dan ketentuan dalam Islam.

4.      Inseminasi  Memiliki kebaikan dan keburukan

Inseminasi memiliki kebaikan atau manfaat jika dilihat dari sudut untuk membantu pasangan suami istri yang sah untuk memiliki keturunan, mengandung keburukan apabila dalam pelaksanaannya terdapat hal-hal yang melanggar larangan Allah dan keluar dari ketentuan dan syarat dalam Islam.

 

Perkara inseminasi memang tidak dibahas dan dijelaskan secara gamblang dalam Al-Qur’an maupun hadits, namun para ulama telah melakukan kajian guna memecahkan masalah terkait hal inseminasi tersebut agar umat Islam tidak mengalami kebimbangan dan terjerumus dalam dosa ketika dihadapkan pada perkara tersebut.

 

E.     Eutanasia dalam Pandangan Islam serta Penjelasan Ayat

1.      Pengertian Eutanasia

Euthanasia merupakan upaya yang mana dilakukan untuk dapat membantu seseorang dalam mempercepat kematiannya secara mudah akibat ketidakmampuan menanggung derita yang panjang dan tidak ada lagi harapan untuk hidup atau disembuhkan. Hal tersebut memunculkan kontroversi yang menyangkut isu etika euthanasia (perilaku sengaja dan sadar mengakhiri hayat seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan) tidak saja santer didiskusikan di kalangan dunia medis, akan tetapi telah merambah kemana-mana terutama para ulama Islam.

2.      Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran

Tugas profesional seorang dokter itu begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama manusia dan tanggungjawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-kemajuan yang mana dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter perlu menghayati etik kedokteran, sehingga kemuliaan profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan baik. Para dokter, umumnya semua pejabat dalam bidang kesehatan, harus memenuhi segala syarat keahlian dan pengertian tentang susila jabatan. Keahlian di bidang ilmu dan teknik baru dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya kalau dalam prakteknya disertai oleh norma-norma etik dan moral. Hal tersebut diinsyafi oleh para dokter di seluruh dunia, dan hampir-hampir tiap negara telah mempunyai Kode Etik Kedokteran sendiri-sendiri. Pada umumnya kode etik tersebut didasarkan pada sumpah Hipocrates, yang dirumuskan kembali di pernyataan Himpunan Dokter se-Dunia di London bulan Oktober 1949 dan diperbaiki oleh sidang ke-22 himpunan tersebut di Sydney bulan Agustus 1968 (Joko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, 1984:79).

Sejak permulaan sejarah kedokteran, seluruh umat manusia serta mengakui akan adanya beberapa sifat fundamental yang melekat secara mutlak pada diri seseorang yang baik dan bijaksana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan dalam bekerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan sosial yang tidak diragukan. Secara universal, kewajiban dokter tersebut telah tercantum di dalam Declaration of Genewa pada bulan September 1948. Dan juga kewajiban dokter tersebut tercantum pula dalam Bab II Pasal 10 dari Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang menyatakan seorang dokter harus senantiasa ingat kewajiban melindungi hidup makhluk insani (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 434/Men.Kes/SK/X/1983, 1988:8).

Dengan demikian, berarti di negara manapun di dunia ini seorang dokter mempunyai kewajiban untuk menghormati setiap hidup insani mulai saat terjadinya pembuahan. Dalam hal ini berarti pula bahwasanya bagaimanapun gawatnya sakit seorang pasien, setiap dokter tetap harus melindungi dan mempertahankan hidup dari pasien tersebut. Dalam keadaan demikian mungkin pasien ini sebenarnya sudah tidak dapat disembuhkan lagi, atau sudah dalam keadaan sekarat berbulan-bulan lamanya. Akan tetapi dalam hubungan ini dokter tidak boleh melepaskan diri dari kewajiban untuk selalu melindungi hidup manusia, sebagaimana yang diucapkan dalam sumpahnya.

Karena naluri terkuat dari manusia itu adalah mempertahankan hidupnya, dan ini juga termasuk salah satu tugas dari seorang dokter, maka menurut etik kedokteran, dokter itu tidaklah diperbolehkan: menggugurkan kandungan (abortus provocatus); mengakhiri hidup seseorang pasien, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia) (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 434/Men.Kes/SK/X/1983, 1988:18). Di dalam ranah ilmu kedokteran, kata euthanasia dipergunakan di dalam tiga arti, yaitu: Pertama, berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah SWT di bibir; Kedua, pada waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang; Ketiga, yaitu mengakhiri penderitaan hidup seseorang dengan sengaja atas permintaan pasien dan/atau permintaan dari pihak keluarganya (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 434/Men.Kes/SK/X/1983, 1988:21).

3.        Esensi Euthanasia dan Kedudukannya dalam Hukum Islam

Euthanasia adalah istilah yang didapati dalam dunia kedokteran, diartikan sebagai pembunuhan tanpa penderitaan terhadap pasien yang sedang kritis (akut) atau menderita penyakit menahun serta tipis harapannya untuk sembuh kembali. Seorang pasien yang sedang sakit parah dan tidak sanggup lagi, lalu bermohon agar dokter mengakhiri hayatnya, maka dikabulkanyalah permohonan itu atas pertimbangan pasien tersebut tipis harapannya untuk dapat sembuh. Kalau pada orang seperti ini dimatikan maka kita melakukan euthanasia, yang sekarang ini tidak atau belum diterima di Indonesia, dan negara-negara lain pun masih ada yang belum menerimanya. Meskipun euthanasia itu juga demi rasa kemanusiaan yakni membebaskan orang yang hidup padahal tidak ada harapan lagi untuk hidup. Kehidupan orang secara vegetatif ini membutuhkan juga perawatan, biaya, dan sebagainya. Itu alasan-alasan yang dipertimbangkan bagi euthanasia (Ahmad Watik Pratiknya dan Abdul Salam M. Sofro, 1986:41).

Esensi daripada dilakukan euthanasia ini adalah untuk meringankan penderitaan si pasien yang telah mengalami penyakit menahun (akut) dan sudah tipis harapan untuk sembuh. Di samping itu alasan-alasan yang dipertimbangkan sehingga terjadi euthanasia adalah untuk dapat meringankan pula keluarga pasien yang ditinggalkan apalagi kalau kehidupan mereka tergolong ekonomi lemah.

Ada beberapa contoh kejadian yang mengarahkan perhatian umum kepada masalah euthanasia, karena dengan panjang lebar akan diliput oleh media massa. Tahun 1984 Gubernur Lamm dari Negara Bagian Colorado menyarankan bahwa, warga negara yang sudah tua barangkali mempunyai satu kewajiban untuk meninggal dunia. Sehingga mereka tidaklah menghabiskan bagi orang lain sumber daya yang langka. Elizabeth Bouvia, berumur 26 tahun menderita kelumpuhan total akibat trauma otak dan minta agar diizinkan mati kelaparan saja dengan menghentikan infus. Dan tahun 1985, Roswell Gilbert menjadi orang Amerika pertama yang mana didakwa dengan alasan pembunuhan karena melakukan euthanasia langsung. Istrinya mengidap penyakit Alzhaimer dan Osteoporosis, sehingga ia kehilangan semangat hidup dan menderita banyak. Setelah ia memberitahukan kepada suaminya bahwa ia ingin pergi dari dunia ini, Roswell lalu menembaknya (Thomas A. Shannon, 1995:68).

Manusia sebagai makhluk sosial selain mampu berfikir untuk maju juga mempunyai afeksi, simpati atau empati terhadap penderitaan manusia lainnya yang bisa menyebabkan timbulnya euthanasia.

Dalam hal masalah euthanasia ini, para tokoh Islam Indonesia sangat menentang dilakukannya euthanasia. Namun diantara sekian banyak ulama yang menantang euthanasia ini, ada beberapa ulama yang mana mendukungnya. Menurut pendapat para ulama, bahwa euthanasia boleh dilakukan apalagi terhadap penderita penyakit menular apalagi kalau tidak bisa disembuhkan. Pendapat Ibrahim Hosen ini disandarkan kepada suatu kaidah ushul fiqh: Al- Irtifaqu Akhaffu Dlarurain, melakukan yang teringan dari dua mudlarat. Jadi katanya, langkah ini boleh dipilih karena ia merupakan pilihan dari dua hal yang buruk. Pertama, penderita mengalami penderitaan. Kedua, jika menular membahayakan sekali. Artinya dia menjadi penyebab orang lain menderita karena tertular penyakitnya, dan itu dosa besar. Dan beliau bukan hanya menganjurkan euthanasia pasif tapi juga euthanasia aktif (Luthfi Assyaukanie, 1998:180).

Sedangkan menurut Hasan Basri pelaksanaan euthanasia bertentangan, baik dari sudut pandang agama, undang-undang, maupun etik kedokteran. Dan lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa persoalan hidup mati sepenuhnya hak Allah SWT. Manusia tidak bisa mengambil hak Allah SWT itu (Majalah Panji Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari 1996:60)

Di beberapa negara Eropa dan Amerika sudah mulai banyak terdengar suara yang pro euthanasia, mereka mengadakan gerakan untuk mengukuhkannya ke dalam undang-undang. Sebaliknya mereka yang kontra euthanasia, bahwa tindakan demikian sama dengan pembunuhan. Kita di Indonesia ini sebagai umat beragama dan berPancasila percaya kepada kekuasaan yang mutlak dari Tuhan Yang Esa segala sesuatu yang diciptakanNya dan penderitaan yang dibebankan kepada makhlukNya mengandung makna dan maksud tertentu. Dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan juga memelihara hidup akan tetapi tidak untuk mengakhirinya (Oemarsono Adji, 1991:219).

Menurut pendapatnya Syukron Makmun bahwa kematian itu merupakan urusan dari Allah SWT, manusia tidak dapat mengetahui kapan kematian itu menimpa dirinya. Soal sakit, menderita dan tidak kunjung sembuh itu adalah qudratullah. Kewajiban kita hanya berikhtiar. Mempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas dokter adalah menyembuhkan, bukanlah membunuh. Kalau dokter tidak sanggup, kembalikan kepada keluarga (Majalah Amanah, No. 27, 16-29 Juni 1989:14).

Lalu bagaimana dengan kaidah ushul fiqh yang menyatakan bahwa Al-Irtifaqu Akhaffu Dlarurain, melakukan yang teringan dari dua mudlarat. Ataukah kaidah ushul yang menyatakan Darurat membolehkan yang haram. Berdasarkan beberapa pendapat ulama di atas dan juga pembahasan batasan-batasan darurat  yang telah dijelaskan pada bab terdahulu, tidak ada ditemukan pendapat yang membenarkan euthanasia ini. Dan menurut Hasan Basri sendiri kaidah itu sama sekali tidaklah dibenarkan. Kaidah tersebut dengan sendirinya bisa saja gugur bila tidak dijumpai dalil qath’i, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits (Majalah Panji Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari 1996:61). Lagi pula dalam Islam, hak dan martabat manusia itu sangat dijunjung tinggi meskipun penderita misalnya banyak mengundang mudarat atau tidak.

Para ulama telah sepakat bahwa apapun alasannya, apabila tindakan itu berupa euthanasia aktif, yang berarti suatu tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan, Islam mengharamkannya.

Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para ulama sepakat membolehkannya. Bagi mereka yang tidak setuju dengan tindakan euthanasia lebih melihat pada alasan dan perdebatan klasik. Mereka percaya bahwa yang berhak menentukan kematian itu hanyalah Allah SWT. Tugas manusia hanya berikhtiar. Seorang dokter yang melakukan euthanasia bisa saja diajukan ke pengadilan karena tuduhan membunuh, sekalipun tindakan tersebut dilakukan berdasarkan permintaan pasien.

Tetapi kelompok yang mana menyetujui praktek euthanasia ini lebih melihat pada sisi maslahat dan keadaan yang menuntut. Seorang penderita secara kronis, hanyalah akan terus menderita tanpa bisa disembuhkan. Satu-satunya cara untuk meringankan beban pasien dalam kondisi semacam itu adalah memberikan kepadanya kematian yang damai (mercy killing). Tanpa tindakan ini, para dokter dan kerabat keluarga hanya akan menyiksa atau membiarkan penderitaan sang pasien.

4.      Konsep Euthanasia dalam Hukum Islam

Kontroversi yang mana menyangkut isu etika euthanasia (perilaku sengaja dan sadar mengakhiri hayat seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan) tidak saja santer didiskusikan di kalangan dunia medis, tetapi telah merambah kemana- mana terutama para ulama Islam. Isu euthanasia selalu muncul, salah satunya karena praktek tersebut bukan hanya melibatkan pertimbangan hidup mati. Tetapi, termasuk juga pertimbangan hukum, perasaan dan etika kedokteran. Selama jenis penyakit pada manusia terus berkembang dan penyembuhan terhadapnya diyakini mustahil (apalagi dengan kadar penularan yang tinggi), para ahli medis dan hukum mulai melirik kemungkinan-kemungkinan euthanasia. Euthanasia, tidak ubahnya dengan menghabisi pasien yang menderita tanpa sama sekali mengakhiri penderitaan mereka. Dengan kata lain, pengobatan terhadap rasa sakit atau nyeri yang tak terbendung bukan semata dapat dilakukan dengan pembunuhan, tetapi dapat pula ditempuh dengan terapi lain. Tentu saja faktor agama akan sangat menentukan sikap seseorang terhadap derita sakit dan juga nyeri yang dialamainya. Filsafat Budha menyatakan bahwa derita sakit bersumber dari frustasi. Bagi kaum Hindu yang menyakini bahwa pain (rasa sakit dan nyeri yang berasal dari bahasa Latin poena) berarti siksaan akan lebih merasakan penderitaan nyeri dibanding seorang Muslim yang menilai penderitaan sebagai cobaan dari Tuhan atau bahkan pembersihan diri sebelum menghadap kepadaNya (Alwi Shihab, 1999:169).

Ketika orang-orang yang mana pro euthanasia menganggap bahwa kebebasan untuk melakukan apa saja terhadap diri seseorang adalah hak yang paling utama bagi mereka yang berdaya tinggi. Sebagaimana saya berhak memilih kapal untuk berlayar, atau rumah untuk dihuni, sayapun berhak untuk memilih kematian untuk dapat meninggalkan kehidupan ini. Maka Islam justru tidak sejalan dengan filosofis tersebut. Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah SWT kepada manusia. Hanya Allah SWT yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati. Bagi mereka yang menderita bagaimanapun bentuk dan kadarnya Islam tidak membenarkan merenggut kehidupan baik melalui praktek euthanasia apalagi bunuh diri.

Islam akan menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis dalam menghadapi setiap musibah. Sebab seorang mu’min dicipta justru untuk berjuang, bukanlah untuk tinggal diam, dan untuk berperang bukan untuk lari. Iman dan budinya tidak mengizinkan dia lari dari arena kehidupan. Sebab setiap mukmin mempunyai kekayaan yang tidak bisa habis, yaitu senjata iman dan kekayaan budi. Tidak sedikit anjuran bagi para penderita untuk bersabar dan menjadikan penderitaan sebagai sarana pendekatan diri kepada Yang Maha Kuasa.

Agar supaya meringankan derita sakit seorang muslim diberi pelipur lara oleh Nabi Saw. dengan sabdanya, Jika seseorang dicintai Tuhan maka ia akan dihadapkan kepada cobaan yang beragam. Lain halnya dengan mereka yang tidak mendapatkan alternatif lain dalam mengatasi penderitaan dan rasa putus asa, Islam memberi jalan keluar dengan menjanjikan kasih sayang dan rahmat Tuhan, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Az-Zumar ayat 53:

 

 

”Katakanlah: Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi yang Maha Penyayang.” (Departemen Agama RI, 1992:753)

Disinilah pentingnya peranan hukum Islam dalam menetapkan hal-hal yang halal dan haramnya suatu sikap yang diambil dalam hal euthanasia. Ketika orang diombang-ambing oleh keadaan yang sangat mendesak, karena dipengaruhi oleh tuntutan zaman atau kemajuan teknologi, dimana orang seenaknya saja bertindak, yang asalkan menurut mereka hal itu merupakan keputusan rasional tanpa melihat apakah tindakan mereka itu benar atau tidak menurut hukum, agama maupun etika.

Dalam berbagai studi dan literatur Islam, mengenai pandangan terhadap tindakan euthanasia, nampaknya ada suatu kesepakatan atau paling tidak terdapat kesamaan persepsi mengenai pengertian euthanasia. Euthanasia adalah suatu upaya yang dilaksanakan untuk dapat membantu seseorang dalam mempercepat kematiannya secara mudah akibat ketidakmampuan menanggung derita yang panjang dan tidak ada lagi harapan untuk hidup atau disembuhkan.

Begitu pula dari para tokoh Islam di Indonesia, seperti Amir Syarifuddin bahwa euthanasia adalah pembunuhan seseorang bertujuan menghilangkan penderitaan si sakit (Chuzaimah T. Yanggo, 1995: 61). Euthanasia yang sering terjadi pada umumnya dalam dunia kedokteran misalnya tindakan dokter dengan memberi obat atau suntikan. Para tokoh Islam juga sepakat bahwa eutahanasia ada dua macam yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthansia aktif adalah tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang bersangkutan masih menunjukkan tanda- tanda kehidupan (Chuzaimah T. Yanggo, 1995:62). Sedangkan euthanasia pasif adalah tindakan tindakan yang dilakukan oleh dokter atau orang lain untuk tidak lagi memberikan bantuan medis yang memperpanjang hidup pasien (Kartono Muhammad, 1992:31).

Rumusan euthanasia yang dirumuskan di atas sejalan dengan pengertian yang dirumuskan oleh komisi dari fatwa MUI, bahwa euthanasia adalah pembunuhan dengan didampingi oleh pertimbangan medis bagi seorang penderita atau mengidap penyakit yang mana tidak mungkin lagi disembuhkan (Majalah Panji Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari 1996: 60). Sebenarnya dalam menelaah berbagai konsep euthanasia yang telah dirumuskan oleh para ahli, baik dari kalangan atau pakar Islam maupun diluar Islam, dasar-dasar perumusannya dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Hal ini sejalan dengan fleksibilitas akan sumber ajaran Islam tersebut. Misalnya dalam Al-Qur’an pada QS. Al- An’am ayat 151:

”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu sebab yang benar.” (Departemen Agama RI, 1992:214)

Membunuh yang dimaksudkan dalam ayat di atas mengandung pengertian segala macam bentuk dan jenis pembunuhan, termasuk juga membunuh dengan jalan euthanasia itu termasuk dalam kategori ayat tersebut, yaitu membunuh secara sengaja terhadap seseorang dengan bantuan dari orang lain. Dalam pengertian ini ada subjek, yaitu orang yang membantu melakukan proses pembunuhan dan ada obyek yaitu pasien yang tengah mengalami penderitaan yang dinilai cukup tragis.

Akan tetapi pada Surat Al-An’am ayat 151 di atas ada pengecualian pembunuhan yang tidak termasuk euthanasia seperti membunuh saat berperang melawan orang kafir. Inilah yang diisyaratkan membunuh dengan alasan yang dibenarkan. Dalam pengertian yang lebih eksklusif yang mana mengarah kepada euthanasia pasif sebenarnya dapat pula ditemukan dasarnya di dalam Al-Qur’an. Karena akan dianggap tindakan bunuh diri, dimana pasien meminta sendiri untuk mempercepat kematiannya dengan diberi obat yang bisa mempercepat kematiannya, keadaan yang demikian berarti berputus asa dan mengingkari rahmat Allah SWT, sebagaimana firmanNya dalam QS. An- Nisa ayat 29 yang berbunyi:

 

 

”Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”

Nyawa merupakan barang titipan Allah SWT, oleh karenanya tidak boleh diabaikan apalagi untuk menghilangkan secara sengaja. Islam menghendaki setiap muslim untuk dapat selalu optimis sekalipun ditimpa suatu penyakit yang sangat berat. Jadi Islam pulalah memahami bahwa euthanasia adalah suatu keinginan dalam usaha mempercepat kematian akibat ketidakmampuan menahan penderitaan.

Jadi euthanasia merupakan suatu usaha untuk membantu seseorang yang sedang mengalami sakit atau penderitaan yang tidak mungkin disembuhkan untuk dapat mempercepat kematian dengan alasan membantu menghilangkan penderitaan yang kian dirasakan, padahal sama sekali tidak dapat mengakhiri penderitaannya. Jadi hukum Islam dalam menanggapi euthanasia secara umum ini memberikan suatu konsep bahwa untuk menghindari terjadinya euthanasia, utamanya euthanasia aktif umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk penderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah SWT. Hal ini hendaknya dihadapi dengan penuh kesabaran dan tawakal. Dan diharapkan kepada dokter untuk tetap berpegang kepada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya. Dan beberapa ulama memberikan suatu konsep tentang euthanasia secara khusus bagi penderita yang penyakitnya menular. Contohnya saja bagi penderita AIDS, menurut AF. Ghazali dan salah seorang Ketua MUI Pusat HS. Prodjokusumo mengatakan bahwa, mengisolasi penderita AIDS dipandang penyelesaian yang terbaik ketimbang harus dihilangkan nyawanya (di euthanasia) (Majalah Panji Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari 1996:61). Hal ini berarti bahwa kalau sedapat mungkin euthanasia dapat dihindari, mengapa tidak dilakukan. Karena pepatah mengatakan dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan. Kalau dokter sudah menyerah untuk mengobati pasiennya lebih baik dikembalikan kepada keluarganya tanpa bermaksud untuk menghentikan bantuan kepada si pasien.

 


BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Aborsi dalam pandangan Islam pada dasarnya adalah haram, karena telah dengan sengaja menghilangkan nyawa orang  lain. Meskipun demikian, hukum Islam sangatlah fleksibel dan luwes. Dalam hal-hal tertentu atau darurat, maka aborsi dibolehkan. Kebolehan ini diberikan oleh Islam, hanya dapat ditempuh apabila sudah tidak ada alternatif lain yang lebih mengurangi resiko buruk bagi si ibu dan janinnya. Motivasi pengangkatan anak dalam Islam adalah lebih kepada memberikan perlakuan dan menyalurkan rasa kecintaan serta kasih sayang kepada anak, pemberian nafkah, pendidikan, dan pelayanan segala kebutuhan, bukan memperlakukannya sebagai anak kandungnya sendiri dengan segala konsekuensi hukumnya.

Dalam Islam, ajaran agar selalu peduli kepada sesama merupakan suatu hal yang memang harus selalu diamalkan, terlebih lagi terhadap anak-anak terlantar dan anak yatim. Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menyantuni dan memelihara anak-anak yang tidak mampu, miskin, terlantar, dan sebagainya. Tetapi perbuatan penyantunan dan pemeliharaan anak-anak tersebut tidak sampai pada pemutusan hubungan keluarga dan hak-hak orang tua kandungnya.

Ada sebagian para ulama yang tidak memperbolehkan inseminasi, karena mereka mengangap hal tersebut menyalahi kodrat sebagai manusia dan mereka yang tidak memperbolehkan berkiblat kepada beberapa dalil berikut ini :

(QS. Al-Isra’ ayat 70) : “Sungguh, Kami telah memuliakan anak-cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat maupun laut, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwasannya Allah lah yang menciptakan manusia dengan kelebihan dan kesempurnaan.

(QS. At-Tin ayat 4), Allah SWT. berfirman : “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya.”

Para ulama telah sepakat bahwa apapun alasannya, apabila tindakan itu berupa euthanasia aktif, yang berarti suatu tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan, Islam mengharamkannya.

Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para ulama sepakat membolehkannya. Bagi mereka yang tidak setuju dengan tindakan euthanasia lebih melihat pada alasan dan perdebatan klasik. Mereka percaya bahwa yang berhak menentukan kematian itu hanyalah Allah SWT. Tugas manusia hanya berikhtiar. Seorang dokter yang melakukan euthanasia bisa saja diajukan ke pengadilan karena tuduhan membunuh, sekalipun tindakan tersebut dilakukan berdasarkan permintaan pasien.

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

 

Basyir, Ahmad Azhar. Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi. Cet. I; Bandung: Mizan, 1993.

Hasan. M. Ali, Masa’il Fiqhiyah al-Haditsah pada Masaalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: Raga Grafindo Persada, 1998.

Khallaf.           Abdul  Wahab,            Kaidah-Kaidah           Hukum            Islam   (Ushul Fiqh). Bandung: Penerbit Risalah, 1985.

Zuhdi, Masyfuk. Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam. Cet. III; Jakarta: CV. Haji Masagung, 1992

Ulfah Anshor, Maria. Fikih Aborsi: Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan. Jakarta: Penerbit Kompas, 2006.

Abdurrahman, .H.SH.MH, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : AKAPRESS, 2004, Cet. ke-4.

Al-Albani, Muhammad Nashirudin, Ringkasan Shahih Muslim, (terj) Subhan LC, Imran Rosadi, Beirut, Almaktab Al-Islamy,tth, jilid 2.

Ali Hasan, M, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. ke-4.

Azhar Basyir, Ahmad, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, Bandung : PT Al- Ma’rif, 1972.

Budiarto. M, Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum, Jakarta : AKAPRESS, 1991, Cet. II.

Djamil. Faturrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Ajaran , Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Gosita, Arif. Dr.SH, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer, 2004, Cet ke-3.

Hamid, Abdul dan Muhammad Muhyiddin, Al-Akhwal Asy-Syakhsiyyah fi Syari’ah Al-Islamy, Mesir : Maktabah Muhammad Ali Sobih, 1996, Cet. ke-3.

Hamidy, Zainudin,H, dkk, Terjemah Shahih Bukhari, Jakarta : Widjaya, Jilid III, 1986, Cet. ke-4.

Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, Jakarta : Senayan Abadi Publishing, 2004, Cet. ke-1.

Mohd. Fachruddin, Fuad, Masalah Anak Dalam Hukum Islam, Jakarta : CV Pedoman Ilmu Jaya, 1991, Cet. ke-2.

S. Meliala, Djaja, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Bandung : PT Tarsito, 1996.

Simorangkir. J.C.T, dkk, Kamus Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2004, Cet. ke-8. Soekanto. Soerjono, Intisari Hukum Keluarga, Bandung : Alumni, 1973.

Soimin. Soedharyo.SH, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Jakarta : Sinar Grafika, 2004, Cet. ke-2.

Syukrie. Erna Sofwan, Pengaturan Adopsi International, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992.

Adji, Oemarsono, 1991, Profesi Dokter, Cetakan I, Jakarta: Erlangga.

Amir, Amri, 1997, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika.

Aseri, Akh. Fauzi, 1995, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana dan Hukum Islam, dalam Problematika Hukum Kontemporer, Editor oleh Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Assyaukanie, Luthfi, 1998, Politik, HAM, dan Isu- isu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer, Cet. I, Bandung: Pustaka Hidayah.

Basyir, Ahmad Azar, 2001, Ikhtisar Fiqh Jinayah Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: UII Press.

Hardinal, 1996, Euthanasia dan Persentuhannya dengan Hukum Kewarisan Islam, Mimbar Hukum No. 6 Tahun VII, Jakarta: Ditbanpera Islam.

Moeljanto, 1978, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Muhammad, Kartono, 1992, Teknologi Kedokteran dan Tantangannya terhadap Bioetika, Cet. I, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Prakoso, Djoko dan Djaman Andhi Nirwanto, 1984, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Pratiknya, Ahmad Watik dan Abdul Salam M. Sofro, 1986, Islam Etika dan Kesehatan, Cet. I, Jakarta: Rajawali.

Shannon, Thomas A., 1995, Bioethics Escort, Terjemahan K. Bertens, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Yanggo, Chuzaimah T., 1995, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Cet. II, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.

Zuhdi, Masjfuk, 1996, Penderita AIDS Tidak Boleh Dieuthanasia, Mimbar Hukum No. 6 Tahun VII, Jakarta: Ditbanpera Islam.

No comments:

Post a Comment