BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkembangan hukum islam setelah wafatnya Rasulullah
SAW berkembang sangat pesat. Hal ini dikarenakan muncul mutjahid yang terus
bekerja keras untuk mengetahui hukum-hukum syariat untuk disejalankan dengan
kebutuhan-kebutuhan peradaban yang terus tumbuh. Sejak kira-kira abad
pertengahan abad pertama Hijiriah sampai pada awal abad keempat, tidak kurang
dari sembilan belas aliran hukum sudah tumbuh dalam Islam.[1]
Dalam berijtihad, tentu para mutjahid memiliki
metode ijtihad masing-masing sehingga menimbulkan perbedaan pendapat tentang
suatu hukum. Walaupun para mutjahid dalam menentukan suatu hukum sama-sama
berdasarkan apa yang dijelaskan dalam
Al-Quran dan Hadits, tetapi memang Al-Quran dan Hadis itu sendiri
bersifat multi interpretasi.
Dari perbedaan pendapat ini terbentuklah
kelompok-kelompok fiqh yang mulanya terdiri dari murid-murid para Imam
Mutjahid. Kelompok-kelompok ini berkembang dan tersebar. Selain itu,
kelompok-kelompok ini pun mempertahankan pendapat Imamnya, kemudian akhirnya
terbentuklah madzhab-madzhab seperti yang lihat sekarang ini.[2]
Sebenarnya para Imam mutjahid sendiri tidaklah
menganjurkan untuk mengikuti mereka. Yang dianjurkan oleh para imam madzhab
justru kembali kepada dalil-dalil dalam berijtihad, meskipun dengan cara itu
ada kemungkinan hukum yang dihasilkan berbeda dengan pendapat mereka. Dengan
kata lain para imam mutjahid mendorong untuk berijtihad.[3] Namun jika kita
tidak mampu berijtihad karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan kita, maka kita
harus mengikuti salah satu madzhab yang kita percayai. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam Q.S An-Nahl ayat 42 berikut ini.
”Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali
orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S An-Nahl :
42)
Dari penjelasan diatas, kami akan membahas lebih
lanjut mengenai perbedaan madzhab-madzhab tersebut. Selanjutnya diharapkan
dengan pembahasan tersebut, dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita
terutama mengenai madzhab-madzhab fiqih yang masih dalam ruang lingkup
perkembangan hukum islam.
Dalam perkembangan madzhab-madzhab fiqh telah muncul
banyak madzhab fiqh. Menurut Ahmad Satori Ismail, para ahli sejarah fiqh telah
berbeda pendapat sekitar bilangan madzhab-madzhab. Tidak ada kesepakatan ahli
sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya madzhab-madzhab yang pernah
ada.
Namun dari begitu banyak madzhab yang pernah ada,
maka hanya beberapa madzhab saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Dalam
makalah ini, kami hanya akan membahas beberapa madzhab yang tetap eksis hingga
kini, terutama madzhab-madzhab yang berkembang di Indonesia diantaranya :
Madzhab Hanafi, Madzhab Hambali, Madzhab Syafii, Madzhab Maliki, dan Madzhab
Ja’fariyah (Syi’ah).
B.
Rumusan
Masalah
- Apa
pengertian madzhab fiqh ?
- Bagaimana
proses lahirnya madzhab-madzhab fiqh ?
- Bagaimana
riwayat para imam madzhab?
- Bagaimana
cara menyikapi perbedaan dalam bermadzhab ?
C.
Tujuan
Penulisan
- Memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Fiqh/Ushul Fiqh.
- Menambah
pengetahuan dan wawasan mengenai madzhab-madzhab fiqh.
- Mengetahui
pengertian, proses lahirnya madzhab-madzhab dan riwayat para imam madzhab.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Madzhab Fiqh
Madzhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata
benda keterangan tempat) dari akar kata dzahaba
yang artinya ‘pergi’. Jadi, pengertian madzhab secara bahasa artinya,
“tempat pergi”, yaitu jalan. Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga
berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”.
Sedangkan secara terminologis pengertian madzhab
menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan
oleh imam Mutjahid dalam memecahkan masalah atau mengstinbatan hukum Islam.
Selanjutnya Imam Madzhab dan madzab itu berkembang pengertiannya menjadi
kelompokm umat Islam yang mengikuti cara istinhbat Imam Mutjahid tertentu atau
megikuti pendapat Imam Mutjahid tentang masalah hukum Islam.
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud madzhab
meliputi dua pengertian :
a. Madzhab
adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mutjahid dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan Al-Quran dan Hadits.
b. Madzhab
adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mutjahid tentang hukum suatu peristiwa
yang diambil dari Al-Quran dan Hadits.
Sedangkan menurut Muhammad Husain Abdullah, istilah
madzhab mencakup dua hal : (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang
imam mujtahid ; (2) ushul fiqh yang menjadi jalan yang ditempuh mujtahid itu
untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.
Dengan demikian, kendatipun madzhab itu
manifestasinya berupa hukum-hukum syariat (fiqh), harus dipahami bahwa madzhab
itu sesungguhnya juga mencakup ushul fiqh yang menjadi metode penggalian untuk
melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya jika kita mengatakan madzhab syafi’i,
itu artinya adalah fiqh dan ushul fiqh menurut Imam Syafi’i.[4]
B.
Lahirnya Madzhab-Madzhab Fiqh
Mengutip dari buku Fiqh 4 Madzhab : Fiqh dan Ushul
Fiqh yang ditulis oleh Dr. H. Opik Taupik K, M.Ag dan Ali Khosim Al-Mansyur,
M.Ag, madzhab-madzhab fiqh lahir pada masa peradaban Daulah Abbasiyah yang
merupakan masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah “The Golden
Age”. Pada masa ini umat Islam telah mencapai puncak kejayaan, baik dalam
bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang
berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan
buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan
cendekiawan-cendekiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di
berbagai disiplin ilmu penetahuan.
Banni Abbas mewarisi imperium besar Bani umayah. Hal
ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya
telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar. Periode ini dalam
sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqih Islam,
dimana lahir beberapa madzhab fiqih yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh
fiqih agung yang berjasa mengintegrasikan fiqih Islam dan meninggalkan khazanah
luar biasa yang menjadikan landasan kokoh bagi setiap ulama fiqih sampai
sekarang.
Pada dasarnya periode ini merupakan kelanjutan
periode sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran di bidang fiqh yang diwakili
madzhab-madzhab ahli hadits dan ahli ra’yu merupakan penyebab timbulnya
madzhab-madzhab fiqh, dan madzhab-madzhab inilah yang mengaplikasikan
pemikiran-pemikiran operasional. Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah
merupakan era kelahiran madzhab-madzhab hukum dan dua abad kemudian
madzhab-madzhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola
dan karakteristik tersendiri dalam melakuan istinbat hukum.
Kelahiran madzhab-madzhab hukum dengan pola dan
karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan
pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam
madzhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan
lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah
ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori
dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Madzhab ini,
pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan
langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang
dihadapi baik dalam memahami nash Al-Quran dan al-Hadits maupun kasus-kasus
hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan
oleh para imam madzhab tersebut berkembang dan diikuti oleh generasi
selanjutnya dan tanpa ia sadari menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk
menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya
doktrin pemikiran hukum dimana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan
yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau madzhab yang akhirnya
menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut madzhab dalam melakukan istinbath
hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh
para imam madzhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya,
karena ia menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologiyang
sistematis dalam usaha melakukan istinbath hukum. Penciptaan pola kerja dan
kerangka metodologi tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam disebut ushul
fiqh.
Sampai saat ini Fiqh ihktilaf terus berlangsung,
mereka tetap berselisih paham dalam masalah furu’iyyah, sebagai akibat dari
keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan mengistinbathkan hukum
yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu terjadi anatara pihak yang memperluas
dan mempersempit, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang
pada zahir nash, antara yang mewajibkan madzhab dan yang melarangnya.
Perbedaan pendapat dikalangan umat ini, sampai
kapanpun dan di mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukan
kedinamisan umat Islam, karena pola pikir terus berkembang. Perbedaan pendapat
inilah yang kemudian melahirkan madzhab-madzhab Islam yang masih menjadi
pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing madzhab tersebut memiliki
pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan
pendapat yang berbeda pula, termasuk diantaranya adalah pandangan mereka
terhadap kedudukan Al-Quran dan al-Sunnah.
C.
Riwayat Singkat Imam Madzhab
1. Imam
Abu Hanifah (80 – 150 H/ 696 – 767 M)
Beliau dilahirkan di Kufah tahun 80 H pada zaman
dinasti Umayyah tepatnya pada zaman kekuasaan Abdul Malik Ibn Marwan. Nama
beliau adalah Nu’man bin Tsabit. Beliau terkenal dengan sebutan Abu Hanifah.
Bukan karena mempunyai putra bernama Hanifah, tetapi asal nama itu dari Abu
al-Millah Ibrahia Hanifah, diambil dari ayat : “Fatt Abi’u millah Ibrahia
Hanifa” (Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus. Ali Imran ayat 95). Beliau
adalah orang Persia yang menetap di Kufah. Ayahnya dilahirkan pada masa
Khalifah Ali. Kakek dan Ayahnya pernah didoakan Imm Ali agar mendapatkan
turunan yang diberkahi Allah SWT. Pada waktu keci beliau menghafal Al-Quran,
seperti dilakukan anak-anak pada masa itu, kemudian berguru kepada Imam Ashim
salah seorang Imam Qiro’ah Sab’ah.
Keluarga beliau adalah keluarga pedagang, sehingga
kemudian Nu’man pun menjadi pedagang. Atas anjuran al-Syabi ia kemudian menjadi
pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqh kepada ulama aliran Irak. Imam Abu
Hanifah mengajak kepada kebebasan berpikir dalam memecahkan masalah-masalah
baru yang belum terdapat dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Ia banyak mengandalkan
qiyas (analogi) dalam menentukan hukum.
Guru-guru Abu Hanifah yang terkenal diantaranya
adalah al-Sya’bi dan Hammad bin Abi Sulaiman di Kufah, Hasan Basri di Basrah,
Atha’bin Rabbah di Mekkah, Sulayman dan Salim di Madinah.
Dalama kunjungan kedua kalinya ke Madinah Abu
Hanifah bertemu dengan Muhammad Bagir dari Syi’ah dan putra Imam Bagir yaitu
Ja’far al-Shiddiq. Beliau mendapat banyak ilmu dari ulama ini.
Dengan demikian Imam Abu Hanifah mempunyai banyak
guru di Kufah, Basrah, Mekkah dan Madinah. Beliau bekeliling ke kota-kota yang
menjadi pusat ilmu masa itu dan banyak mengetahui hadits-hadits.
Yang menonjol dari fiqh Imam Abu Hanifah ini antara
lain adalah :
1. Sangat
rasional, mementingkan maslahat dan manfaat.
2. Lebih
mudah dipahami daripada madzhab yang lain.
3. Lebih
liberal sikapnya terhadap dzimis (warga negara yang nonmuslim).[5]
Madzhab Hanafi berkembang karena kegigihan
murid-muridnya menyebarkan ke masyaraat luas, namun kadang-kadang ada pendapat
murid yang bertentangan dengan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri
khas fiqh Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqh
yang hidup dimasanya.
Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam Hanafi yaitu
Fiqih Akhbar, Al’Alim Walmutam dan Musnad Fiqih Akhbar. Adapun ulamaHanafiyah
menyusun kitab-kitab fiqih diantarnya Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam,
kitab al-Fiqih dan Qawaid al-Fiqih, dan lain-lain.
Adapun yang dijadikan pokok pegangan dalil madzhab
hanafi ialah : Al-Quran, As-Sunah, Aqwalus Sahabat, Ijma’, Qiyas, Istisan, dan
‘Urf. Madzhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar ke
negara-negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini madzhab hanafi merupakan
madzhab resmi di Mesir, Turki, Syiria, dan Libanon. Madzhab ini dianut sebagian
besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.[6]
Imam Abu Hanifah meninggal pada bulan Rajab tahun
150 Hijriah. Meskipun Abu Hanifah seorang ulama besar, beliau tidak merasa
memonopoli kebenaran. Hal itu terbukti dari pernyataannya :”Saya mengambil
pendapat ini, karena pendapat ini benar, tapi mengandung kemungkinan salah. Dan
saya tidak mengambil pendapat itu, karena pendapat itu salah, tapi menganung
kemungkinan benar”.[7]
2. Imam
Malik (93 – 179 H/ 711-795 M)
Imam Malik dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H.
Nama lengkapnya Malik bin Anas bin ‘Amar. Kakek Imam Malik yaitu ‘Amar berasal
dari Yaman. Keluarganya bukan orang kaya, tetapi hal ini tidaklah
menghalanginya untuk menuntut ilmu. Beliau pernah bertemu dengan Abu Hanifah
ketika Abu Hanifah ke Madinah dan sangat menghargainya. Abu Hanifah tiga belas
tahun lebih tua dari Malik bin Anas.
Malik bin Anas adalah orang yang saleh, sangat
sabar, ikhlas dalam berbuat, mempunyai daya ingat dan hafalan yang kuat, serta
kokoh dalam pendiriannya. Beliau ahli dalam bidang fiqh dan hadits, yang
diterima dari guru-gurunya di Madinah. Guru-guru Malik bin Anas antara lain :
Ibn Hurmuz, Rabi’ah, Yahya ibn Sa’ad al-Anshari, dan Ibn Syihaab Azhuri.
Setelah menjadi ulama besar, Imam Malik mempunyai
dua tempat pengajian yaitu Masjid dan rumahnya sendiri. Yang disampaikannya
pertama hadits dan kedua masalah-masalah fiqh. Dalam hal mengajar, Imam Malik
sangat menjaga diri agar tidak salah dalam memberi fatwa. Oleh karena itu,
untuk masalah-masalah yang ditanyakan, sedang beliau belum yakin betul akan
kebenaran jawabannya, sering menjawab la adri (saya tidak tahu).
Imam Malik, meskipun dikelompokan kepada Ahlu
al-Hadits, tetapi tidak berarti hanya menggunakan hadits saja dalam menetapkan
hukum. Sebab beliau juga menggunakan Mafkhum Mukhlafah, Dzari’ah, dan terutama
al-Maslahah. Imam Malik meninggal di Madinah tahun 173 H.
Kitab yang dinisbahkan kepada Imam Malik adalah
Al-Muwatho yang merupakan kitab Hadits tapi juga sekaligus kitab Fiqh.
Disamping itu juga fatwa-fatwa Imam Malik yang dikumpulkan murid-muridnya,
seperti Ibn Qosim dan Sahmun, telah tersusun menjadi sebuah kitab al-Muwadanah
al-Kubra yang merupakan kitab standar dalam madzhab Maliki. Diantara
murid-murid kesayangannya adalah Muhammad bin Idris As-Syafi’i. Yang kemudian
lebih dikenal dengan nama Imam Syafi’i.[8]
3. Imam
al-Syafi’i (150 – 204 H/ 767 – 822 M)
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman
bin Syafi’i bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdu Manaf.
Silsilah Imam Al-Syafi’i dari ayahnya bertemu dengan
silsilah Nabi Muhammad SAW pada Abdu Manaf. oleh karena itu, beliau termasuk
Suku Quraisy. Ibunya dari Suku al-Azdi di Yaman. Beliau dilahirkan di Gaza,
salah satu kota di Palestina pada tahun 150 H. Ayahnya meningga ketika beliau
masih bayi. Sehingga Imam Syafi’i dibesarkan dsalam keadaan yatim dan fakir.
Muhammad bin Idris ketika berumur kurang lebih 10
tahun dibawa oleh ibunya ke Mekkah, ketika itu beliau telah hafal Al-Qur’an. Di
Mekkah beliau banyak mendapatkan hadits dari para ulama hadits. Karena
kefakirannya sering memungut kertas-kertas yang telah dibuang kemudian
dipakainya untuk menulis. Ketika semangatnya untuk menuntut ilmu semakin kuat
dan menyadari bahwa Al-Quraan itu bahasanya sangat indah dan maknanya sangat
dalam, maka beliau pergi ke Kabiah Hudzail untuk mempelajari dan mendalami
Sastra Arab serta mengikuti saran hidup Muhammad SAW. Pada masa kecilnya.
Disana beliau sampai hafal sepuluh ribu bait sayair-syair Arab.
Di Mekkah, Muhammad bin Idris berguru kepada Sufyan
bin Uyainah dan kepada Muslim bin Khalid. Setelah itu pergi ke Madinah untuk
berguru kepada Imam Malik. Sebelum pergi ke Madinah beliau telah membaca dan
hafal kitab al-Muwatha. Beliau membawa surat dari wali Mekkah ditujukan untuk
wali Madinah agar mudah betemu dengan Imam Malik. Pada waktu itu Muhammad bin
Idris sudsah berumur 20 tahun. Kemudian berguru kepada Imam Malik selam 7
tahun.
Karena terdesak oleh kebutuhan hidupnya, Imam
Syafi’i kemudian bekerja di Yaman. Tragedi pernah menimpanya ketika ia bekerja
di Yaman, ia dituduh terlibat gerakan Syiah sehingga dihadapkan kepada Khalifah
Harun al-Rasyid di Baghdad. Oleh karena ilmunya yang tinggi dan atas bantuan
Muhammad bin Hasan Asyaibani serta bertempat tinggal dirumahnya.
Muhammad bin Hasan Asyaibani pernah belajar kepada
Imam Malik selama tiga tahun. Dari Muhammad bin Hasan Asyaibani beliau mendapat
pelajaran fiqh Imam Abu Hanifah selama dua tahun. Kemudian kembali lagi ke
Mekkah. Pada kesempatan musim haji beliau bertemu dengan ulama-ulama yang pergi
ke Mekkah naik haji dari seluruh dunia Islam. Dengan demikin fiqh Imam Syafii
menyebar ke seluruh wilayah Islam.
Beliau bermukim di Mekkah selama tujuh tahun.
Kemudian pada tahun 195 H kembali lagi ke Baghdad dan sempat berziarah ke
kuburan Abu Hanifah ketika itu umurnya 45 tahun. Di Baghdad beliau memberikan
pelajaran kepada murid-muridnya. Diantara muridnya yang sangat terkenal adalah
Ahmad Ibn Hanbal yang sebelumnya pernah bertemu dengan Imam Al-Syafii di
Mekkah. Ahmad Ibn Hanval sangat mengagumi kecerdasan dan kekuatan daya ingat
Imam syafii serta kesederhanaan dan keikhlasannya dalam bersikap. Setelah dua
tahun di Baghdad kembali lagi ke Madinah tetapi tidak lama dan pada tahun 198
H, beliau kembali lagi ke Baghdad, selanjutnya terus ke Mesir dan sampai di
Mesir tahun 199 H.
Di Mesir beliau memberi pelajaran fatwa-fatwanya
kemudian terkenal dengan nama Qaul Jadid. Sedangkan fatwanya ketika di Baghdad
disebut Qaul Qodim. Imam Al-Syafii meninggal di Mesir pada tahun 204 H atau 822
M. Pada waktu meninggal Imam Al-Syafii, Gubernur Mesir ikut memandikan dan
menyalatkan jenazahnya.
Dari riwayat hidupnya tampak juga bahwa Imam al-Syafii
adalah seorang ulama besar yang mampu mendalami serta menggabungkan antara
metode ijtihad Imam Malik dan metode Imam Abu Hanifah, sehingga menemukan
metode ijtihadnya snediri yang mandiri. Beliau sangat hati-hati dalam berfatwa,
sehingga dalam fatwanya itu ada keseimbangan antara rasio dan rasa.
Bagi Imam al-Syafii ibadah itu harus membawa
kepuasan dan ketenangan dalam hati. Untuk itu diperlukan kehati-hatian. Oleh
karena itu, konsep ikhtiyat (prinsip kehati-hatian) mewarnai pemikiran Imam
Syafi’i.
Diantara kitab-kitab yang beliau karang ialah :
1. Kitab
Al-Risalah. Yang merupakan kitab Ushul Fiqh yang pertama kali dikarang dan
karenyan Imam Syafi’i dikenal sebagai peletak ilmu Ushul Fiqh. Di dalamnya
diterangkan pokok-pokok pikiran Imam al-Syafi’i dalam menetapkan hukum.
2. Kitab
al-Umm. Kitab ini berisi masalah-masalah fiqh yang dibahas berdasarkan
pokok-pokok pikiran beliau yang terdapat dalam al-Risalah.
Ulama-ulama besar yang bermadzhab Syafii diantaranya
adalah : Ar-Robi al-Murodi, Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, al-Mujani, Abdulaah
al-Juwaeni, al-Ghzali, Ar-Razi, Abu Isak Asyirazy, Ijudin bin Abdi
as-Salam,Taqiyuin Asubki, Al-Mawardi, Taqiyudin bin Daqiqil’id, an-Nawawi, dan
masih banyak yang lainnya. Salah satu seorang muridnya yang pandai adalah Ahmad
bin Hanbal.[9]
Madzhab Syafii sampai sekarang dianut oleh umat
Islam di beberapa negara di dunia diantaranya di Libia, Mesir, Filipina,
Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Syiria, Irak,
Hijaz, Pakistan, India, Cina, Rusia, Yaman, dan Indonesia.[10]
4. Imam
Ahmad Ibn Hanbali (164 – 241 H)
Ahmad bin Hanbal bin Hilal asy-Syaibani atau yang
lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul
Awal tahun 164 H. Bapak dan ibunya berasal dari Kabilah Asyaibani bagian dari
Kabilah Arab. Imam Ahmad bin Hanbal dikenal dengn nama Imam Al-Muhaditsin
karena banyaknya hadits yang dikumpulkan dan dihafalnya, kumpulan haditsnya ini
dikenal dengan nama Musnad Imam Ahmad.
Sejak kecil sudah tampak minatnya kepada agama,
beliau menghafal Al-Quran, mendalami bahasa Arab, belajar Hadits, atsar sahabat
dan tabi’in serta sejarah Nabi, dan para sahabat. Beliau belajar Fiqh dari Abu
Yusuf muridnya Abu Hanifah dan dari Imam Al-Syafii, tetapi perhatiannya kepada
hadits ternyata lebih besar. Beliau belajar hadits di Baghdad, Basrah, Kufah,
Mekkah, Madinah, dan Yaman. Beliau selalu menuliskan hadits dengan
perawi-perawinya dan cara ini pun diharuskannya kepada murid-muridnya.[11]
Imam Ahmad bin Hanbal memiliki daya ingat yang kuat
dan ini adalah kemampuan yang umum terdapat pada ahli-ahli hadits. Beliau juga
sangat sabar dan ulet, memiliki keinginan yang kuat dan teguh dalam pendirian.
Di samping itu seperti imam-imam yang lain, beliau adalah orang-orang yang
sangat ikhlas dalam perbuatannya.
Imam Ahmad bin Hanbal yang menetang pendapat
muktazilah, pernah dijatuhi hukuman dan dipenjara oleh Khalifah al-Ma’mum yang
menganut paham muktazilah. Ketika Khalifah al-Ma’mum wafat, Imam Ahmad masih
tetap dalam penjara di masa Mu’tashim Billah. Sesudah keluar dari penjara,
beliau sakit-sakitan dan akhirnya wafat pada tahun 241 H.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam berijtihad memiliki
warna tersendiri. Prinsip madzhabnya adalah Al-Qur’an, As-sunah, dan beliau
sangat kuat memegang fatwa para sahabat yang tidak diperselisihkan. Di samping
itu juga Imam Ahmad bin Hanbal terkenl sekali sebagai ulama yang tidak percaya
adanya ijma.[12] Karena menurutnya tidak mungkin ada ijma, karena demikian
banyaknya perbedaan pendapat dalam masalah furu. Menurut Dr. Abu Zahrah ijma
yang ditentang oleh Ahmad bin Hanbal adalah Ijma’ sesudah masa sahabat. Adapun
ijma’ pada masa sahabat diakui kebenarannya.
Awal perkembangannya, madzhab Hanbali berkembang di
Bahdad, Irak dan Mesir pada waktu yang sangat lama. Pada abad ke-12 Raja Abdul
Aziz al-Saudi menjadikan madzhab Hanbali sebagai madzhab resmi pemerintahan
Saudi Arabia. Hingga sekarang menjadi pengikut terbanyak madzhab ini.[13]
5. Imam
Ja’far al-Shaddiq (80 – 148)
Banyak ulama-ulama dari golongan Syi’ah yang ahli
dalam fiqh, seperti Muhamma al-Bakir, Zaid bin Ali Zaenal Abidin, Ja’far
al-Shaddiq, dan lain sebagainya. Seluruh keturunan Rasulullah SAW.[14] Salah
seorang dari mereka yaitu Imam Ja’far al-Shaddiq di bawah ini diuraikan singkat
riwayat hidupnya.
Beliau putra Muhammad al-Bakir bin Ali Zaenal Abidin
bin Husein bin Ali Karamallahu Wajhahu. Sedang ibunya Umu Farwah binti al-Qosim
bin Muhammd bin Abi Bakar Shiddiq Radiyallohu Anhu.
Imam Ja’far al-Shaddiq tokoh Syi’ah Ja’fariyah, Imam
Zayd tokoh Syi’ah Zaydiah dan Imam Abu Hanifah tokoh Ahlu Sunnah hidup pada
waktu yang sama. Sehingga ketiganya pernah bergaul dan bertemu pada waktu
menuntut ilmu. Imam Abu Hanifah pernah menceritakan waktu pertemuannya yang
pertama kali dengan Ja’far al-Shaddiq. “Waktu saya melihat Ja’far al-Shaddiq
terasa olehku kehebatan dan kewibawaannya. Kehebatan dan kewibawaan semacam itu
pada diri Khalifah Ja’far al-Mansur”.[15]
Ja’far al-Shaddiq mulai belajar dari ayahnya, Imam
Muhammad Al-Bakir mengenai ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits, dan juga akhlak.
Sesudah itu dari keluarga ayahnya dan keluarga ibunya. Beliau juga menguasai
Ilmu Alam, Ilmu Kimia dan Ilmu-ilmu dalam Taurat, Injil, dan Ilmu para
nabi-nabi lainnya. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa beliau memiliki Ilmu
Laduni dan memiliki intuisi yang tajam.
Imam Ja’far adalah ulama yang sangat taqwa kepadaa
Allah, sangat ikhlas, memiliki wibawa keilmuan dan haibah kejiwaan, berakhlak
mulia, sabar pada tempatnya, dan berani pada tempatnya serta memiliki kearifan
yang sangat tinggi. Beliau termasuk salah seorang guru dari imam mutjahid Abu
Hanifah dan Malik serta ulama-ulama terkemuka seperti Sufyan Atsauri dan Sufyan
bin Uyaenah.[16]
Dengan pengetahuannya yang dalam tentang Al-Quran
beliau menarik mutiara-mutiara dari pengertian-pengertian dan nash-nash
Al-Quran. Kemudian dari sunnah, sesudah itu mengambil maslahat dari akal
pikiran yang sehat.
Diceritakan bahwa muridnya yang bernama Ja’far bin
Hayyan mengumpulkan risalah-risalah yang dikarang oleh Imam Ja’far al-Shaddiq,
maka terkumpulah tidak kurang dari lima ratus risalah.
Imam Ja’far meninggal tahun 148 H. Serta dimakamkan
di Baqie, yaitu tempat dimana dimakamkan ayahnya Muhammad al-Bakir, kakeknya
Zaenal Abidin, dan Hasan bin Ali.
D.
Menyikapi Perbedaan dalam Bermadzhab
Jalan yang dalam mengikuti madzhab apa pun dari
madzhab-madzhab yang benar, harus mengerti bahwa adanaya madzhab lain adalah
salah satu bentuk dan identitas kebenaran syariat, juga merupakan penjelasan
akan luas dan agungnya syariat Islam.
Perbedaan sama sekali bukanlah alasan untuk saling
berjauhan, saling bermusuhan, saling menyimpan kebencian, atau saling
menginjak-injak hak dan kehormatan orang lain.
Disamping itu, betapa banyak persamaan yang harus
diikuti secara benar dan cermat. Perlu cara yang benar didalam membangun
hubungan antarmadzhab guna merekatkan hubungan dan persatuan, bahkan untuk
menghilangkan pemisah dan perbedaan. Sehingga, mungkin jika masalah ini
ditempatkan sebagaimana mestinya dapat berpengaruh pada tempat yang tadinya
banyak berdiri bermacam-macam madzhab menjadi lenyap secara perlahan dan menuju
pada arti persatuan.[17]
Al-Hamid Jakfar Al-Qadri dalam buku Bijak Menyikapi
Perbedaan Pendapat, dalam menyikapi berbagai pandangan dan pemikiran ini, baik
itu yang berhubungan dengan akidah, hukum, maupun suluk, umat Islam dituntut
untuk memperhatikan dua hal. Pertama, toleran ketika berbeda. Kedua tidak
saling mengkafirkan dan menyesatkan.[18]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, Fiqh dan Ushul Fiqh
merupakan salah satu disiplin ilmu yang senantiasa sarat dengan wacana menarik.
Keberadaan fiqh sebagai bagian dari syariat islam tak pelak menjadi bahasan
yang tidak pernah terhenti sepanjang zaman. Wajah fiqh yang identik dengan
aturan dan doktrin Islam tentang ibadah sering menimbulkan pendapat dikalangan
para ulama dan umat akibat adanya perbedaan dalam metode berijtihad. Walaupun
para mutjahid dalam menentukan suatu hukum sama-sama berdasarkan apa yang
dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadits,
tetapi memang Al-Quran dan Hadis itu sendiri bersifat multi interpretasi.
Selain itu unsur subjektifitas para ulama itu sendiri juga mempengaruhi hasil
ijtihadnya mengenai suatu hukum.
Kendatipun demikian, justru dengan adanya perbedaan
itulah kita mempunyai perbendaharaan yang sangat banyak dalam hukum dan bisa
menimbang-nimbang berdasar sinar wahyu Illahi dan akal yang sehat sehingga bisa
menemukan hukum yang lebih tepat. Imam Abu Hanifah berkata : “Orang yang paling
berilmu adalah orang yang paling banyak tahu tentang perbedaan di kalangan
manusia”.
Perbedaan sangat wajar tentunya jika disikapi dengan
kedewasaan berpikir dan mengedepankan toleransi. Namun tidak jarang yang
terjadi justru sebaliknya, perbedaan pendapat yang seyogianya menjadi rahmat
bagi umat, malah justru menjadi laknat (embrio perpecahan umat). Fanatisme
golongan dan truth claim menjadi dalil dari segala keyakinan.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. H.A Djazuli, ILMU FIQIH :
Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam EDISI REVISI, Jakarta :
Kencana Prenadamedia Group, Cetakan Ke-9, 2013.
Opik Taupik K & Ali Khosim
Al-Mansyur, FIQIH 4 MADZHAB : Kajian Fiqih – Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka
Aura Semesta, Cetakan Ke-2, 2015
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung :
Sinar Baru Algesindo, Cetakan Ke-65, 2014.
Al-Hamid Jakfar Al-Qadri, Bijak
Menyikapi Perbedaan Pendapat : Telaah atas Pemikiran Al-Habib Umar bin Hafizh
dalam Membina Ukhuwah dan Membangun Dialog, Jakarta : Mizan Pustaka, 2012
No comments:
Post a Comment