DAFTAR ISI
Contents
KONSEP PERAWATAN PALIATIF CARE
E. Peran Perawat
Dalam Pelaksanaan Proses Keperawatan Paliatif
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GAGAL
GINJAL KRONIK
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Gagal ginjal kronik (GGK) juga dikenal sebagai penyakit
gagal ginjal tahap akhir, merupakan sindroma yang ditandai dengan kehilangan
fungsi ginjal secara
progresif dan ireversibel, saat ini angka kejadian gagal ginjal kronik
meningkat secara pesat (Kizilcik et al. 2012). Meningkatnya jumlah pasien
dengan gagal ginjal kronik menyebabkan kenaikan jumlah pasien yang menjalani
hemodialisis.
Berdasarkan Data Laporan Tahunan United States Renal Data
System (2013) disebutkan bahwa lebih dari 615.000 orang Amerika sedang dirawat
karena gagal ginjal. Dari jumlah tersebut, lebih dari 430.000 adalah pasien
dialisis dan lebih dari 185.000 melakukan transplantasi ginjal.
Di Indonesia, prevalensi penyakit ginjal terus meningkat
setiap tahunnya dari hasil survei Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI),
ada sekitar 12,5% atau 18 juta orang dewasa di Indonesia yang menderita
penyakit ginjal kronik dan pasien yang
mengalami atau menderita penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) mencapai 100 ribu
pasien dan diperkirakan akan terus bertambah.
Sehingga penyait ginjal kronik (PGK) saat ini telah
diakui oleh badan PBB bidang kesehatan WHO, sebagai masalah kesehatan serius
dunia. Baru kira-kira 30/1.000.000 penduduk masuk dalam penyakit ginjal tahap
akhir. Di Indonesia, menurut data Asuransi Kesehatan (ASKES) sebanyak
80.000-90.000 orang memerlukan terapi pengganti ginjal (Tjempakasari, A., 2012
dalam Panjaitan, 2014).
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) kini
telah menjadi persoalan kesehatan serius masyarakat
di dunia. Menurut WHO (2012) penyakit ginjal dan saluran kemih telah
menyebabkan kematian sekitar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan
bahwa penyakit ini meduduki peringkat ke -12 tertinggi angka kematian atau
peringkat tertinggi ke-17 angka kecacatan.
B.
Tujuan
1. Mengetahui definisi gagal ginjal
2. Mengetahui etiologi penyebab terjadinya gagal ginjal
3. Mengetahui apa saja tanda dan gejala gagal ginjal
4. Mengetahui komplikasi diagnosis medis dari gagal ginjal
5. Mengetahui penatalaksanaan gagal ginjal
C.
Rumusan masalah
1.
Mengetahui
hubungan antara pengetahuan dengan sikap perawat dalam perawatan paliatif pada
pasien gagal ginjal kronik
2.
Mengetahui
hubungan antara pengetahuan dengan praktik perawat dalam perawatan paliatif
pada pasien gagal ginjal kronik
3.
Mengetahui
hubungan antara sikap dengan praktik perawat dalam perawatan paliatif pada
pasien gagal ginjal kronik.
4.
Mengetahui
apakah ada perbedaan pengetahuan, sikap, praktik perawat dalam memberikan
perawatan paliatif pada pasien gagal ginjal kronik.
BAB II
KONSEP GAGAL GINJAL KRONIK
A.
Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah kegagalan fungsi
ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan
elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi
penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin, 2011 dalam
Panjaitan, 2014).
Gagal ginjal kronik adalah kegagalan fungsi ginjal untuk
mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat
destruksi struktur ginjal yang progresif dengan maninfestasi penumpukan sisa
metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Digiulio,Jackson, dan Keogh, 2014)
Gagal ginjal kronik atau penyakit tahab akhir adalah
gangguan fungsi ginjal yang menahun berifat progresif dan irreversible
(Rendy & Margareth 2012). Chronic kidney disease adalah kerusakan faal
ginjal yang hampir selalu tidak dapat dipilih dan dapat disebabkan oleh
berbagai hal. Istilah uremia sendiri telah dipakai sebagai nama keadaan
selama lebih dari satu abad (Sibuea, Pangabean, 2005)
CKD
atau gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal
mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar
(insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme,
cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia
(Smeltzer, 2013).
Gagal ginjal kronik merupakan suatu masalah
kesehatan yang penting, mengingat selain prevalensi dan angka kejadiannya
semakin meningkat juga pengobatan pengganti ginjal yang harus dialami oleh
penderita gagal ginjal merupakan pengobatan yang mahal, butuh waktu dan
kesabaran yang harusditanggung oleh penderita gagal ginjal dan keluarganya
(Harrison, 2013). Jurnal JUMANTIK Volume 2 nomor 1, Mei 2017.
Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang
menyebabkan ginjal tidak dapat membuang racun dan produk sisa dari darah (Black
& Hawks, 2009).Volume 3 Nomor 1 April 2015
B.
Etiologi
Menurut Muttaqin dan Sari (2011)
dan Digiulio,Jackson, dan Keogh (2014) begitu banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan
terjadinya gagal ginjal kronik. Akan tetapi apapun penyebabnya, respon yang
terjadi adalah penurunan fungsi ginjal secara
progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan
dapat mengakibatkan GGK
bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan luar
ginjal.
Penyebab dari ginjal : Penyakit pada saringan (glomerulus)
: glomerulonefritis, Infeksi kuman : pyelonefritis, ureteritis,
Batu ginjal : nefrolitiasis, Kista diginjal : polcytis kidney, Trauma
langsung pada ginjal , Keganasan pada ginjal, sumbatan : batu ginjal,
penyempitan/striktur.
Penyebab umum di luar ginjal : Penyakit sistemik: diabetes
melitus, hipertensi, kolesterol tinggi, Dyslipidermia,
Infeksi di badan : TBC Paru, sifilis, malaria, hepatitis, Preklamsi,
Obat-obatan, Kehilangan banyak cairan yang mendadak (kecelakan) dan toksik.
Angka Perjalanan ESRD hingga tahap terminal dapat
bervariasi dari 2-3 bulan hingga 30-40 tahun. Penyebab gagal ginjal kronik yang
tersering dapat dibagi menjadi tujuh kelas seperti pada tabel berikut ini
(Brunner & Suddarth, 2011).
Tabel 2.1 Penyebab gagal ginjal
No |
Klasifikasi Penyakit |
Penyakit |
1. |
Penyakit infeksi
Pielonefritis kronis dan refluks nefropati tubulointerstitial |
|
2. |
Penyakit peradangan |
Glomerulonefritis |
3. |
Penyakit vaskuler
hipertensi Nefrosklerosis benign, Nefrosklerosis |
maligna dan stenosis
arteri renalis |
4. |
Gangguan kongenital
dan Penyakit ginjal polikistik dan asidosis herediter |
tubulus ginjal |
5. |
Penyakit metabolic |
Diabetes mellitus,
gout, hiperparatiroidisme dan amiloidosis. |
6. |
Nefropati toksik |
Penyalahgunaan
analgesik dan nefropati timah |
7. |
Nefropati obstruktif |
batu, neoplasma,
fibrosis retroperitoneal, hipertropi prostat, striktur urethra |
Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai
penyakit, seperti glomerolunefritis akut, gagal ginjal akut, penyakit ginjal
polikistik, obstruksi saluran kemih, pielonefritis, nefrotoksin, dan penyakit
sistemik, seperti diabetes melitus, hipertensi, lupus eritematosus,
poliartritis, penyakit sel sabit, serta amiloidosis (Bayhakki, 2013). Jurnal
JUMANTIK Volume 2 nomor 1, Mei 2017
C. Patofisiologi
Gagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan
penurunan progresif GFR. Stadium gagal ginjal kronis didasarkan pada tingkat
GFR (Glomerular Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup :
a. Penurunan
cadangan ginjal Yang terjadi bila GFR turun 50% dari normal (penurunan fungsi
ginjal), tetapi tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron yang sehat
mengkompensasi nefron yang sudah rusak, dan penurunan kemampuan mengkonsentrasi
urin, menyebabkan nocturia dan poliuri.
b. Insufisiensi
ginjal Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 – 35% dari normal. Nefron-nefron yang
tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya beban yang diterima.
Mulai terjadi akumulasi sisa metabolik dalam darah karena nefron yang sehat
tidak mampu lagi mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretic, menyebabkan
oliguri, edema. Derajat insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang dan berat,
tergantung dari GFR, sehingga perlu pengobatan medis.
c. Gagal
ginjal yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal.
d. Penyakit
gagal ginjal stadium akhir Terjadi bila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal.
Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan jaringan
parut dan atrofi tubulus. Akumulasi sisa metabolic dalam jumlah banyak seperti
ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal sudah tidak mampu mempertahankan
homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa atau penggantian ginjal. (Corwin,
2011).
Patogenesis gagal ginjal kronik melibatkan penurunan
dan kerusakan nefron yang diikuti kehilangan fungsi ginjal yang progresif.
Total laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun dan klirens menurun, BUN dan
kreatinin meningkat. Nefron yang masih tersisa mengalami hipertrofi akibat
usaha menyaring jumlah cairan yang lebih banyak. Akibatnya, ginjal kehilangan
kemampuan memekatkan urine. Tahapan untuk melanjutkan ekskresi, sejumlah besar
urine dikeluarkan, yang menyebabkan klien mengalami kekurangan cairan. Tubulus
secara bertahap kehilangan kemampuan menyerap elektrolit. Biasanya, urine yang
dibuang mengandung banyak sodium sehingga terjadi poliuri (Bayhakki, 2013). Jurnal JUMANTIK Volume 2 nomor 1, Mei
2017.
Penyakit gagal ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang men-dasarinya, tapi dalam perkem-bangan selanjutnya
proses yang terjadi kurang lebih sama.
Mula-mula karena adanya zat toksik, infeksi dan
obstruksi saluran kemih yang menyebab-kan
retensi urine. Dari penyebab tersebut, Glomerular Filtration Rate (GFR) di seluruh massa nefron turun dibawah normal. Hal yang dapat terjadi dari menurunnya GFR meliputi: sekresi protein terganggu, retensi Na dan sekresi
eritropoitin turun. Hal ini mengakibatkan
terjadinya sindrom uremia yang diikuti oleh peningkatan asam lambung dan
pruritus. Asam lambung yang meningkat akan merangsang rasa mual, dapat juga
terjadi iritasi pada lambung dan perdarahan jika iritasi tersebut tidak
ditangani yang dapat menyebabkan melena.
Proses retensi Na menyebabkan total cairan ekstra seluler
meningkat, kemudian terjadilah edema. Edema tersebut menyebabkan beban jantung
naik sehingga adanya hipertrofi ventrikel kiri dan curah jantung menurun.
Proses hipertrofi tersebut diikuti juga dengan menurunnya cardiac output yang
menyebabkan menurun-nya aliran darah ke ginjal, kemudian terjadilah retensi Na
dan H2O meningkat. Hal ini menyebabkan kelebihan volume cairan pada pasien GGK.
Selain itu menurunnya cardiac output juga dapat menyebabkan suplai oksigen
kejaringan mengalami penurunan menjadikan metabolisme anaerob menyebabkan
timbunan asam meningkat sehingga nyeri sendi terjadi, selain itu cardiac output
juga dapat mengakibatkan penurunan suplai oksigen keotak yang dapat
meng-akibatkan kehilangan kesada-ran.
Hipertrofi ventrikel akan mengakibatkan payah jantung kiri sehingga
bendungan atrium kiri naik, mengakibatkan tekanan vena pulmonalis sehingga
kapiler paru naik terjadi edema paru yang mengakibatkan difusi O2 dan CO2
terhambat sehingga pasien merasakan sesak. Adapun Hb yang menurun akan
mengakibatkan suplai O2 Hb turun dan pasien GGK akan mengalami kelemahan atau
gangguan perfusi jaringan. (Corwin,2009)
Klasifikasi
chronick kidney disease menurut Smeltzer
& Bare (2006) berdasarkan dari stadium tingkat penurunan GFR adalah sebagai
berikut :
1.
Stadium 1
Kerusakan ginjal dengan GFR normal (90 atau lebih).
2.
Stadium 2
: Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60-89).
3.
Stadium 3:
Penurunan lanjut pada GFR (30-59)
4. Stadium
4 : Penurunan berat pada GFR (15-29)
5. Stadium
5 : Kegagalan ginjal (GFR di bawah 15)
D. Manifestasi Klinis
Pada gagal ginjal kronis setiap sistem
tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, oleh karena itu pasien akan
memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala tergantung
pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari adalah
usia pasien. Berikut merupakan tanda dan gejala gagal ginjal kronis (Brunner
& Suddarth, 2011)
a. Kardiovaskuler
yaitu yang ditandai dengan adanya hipertensi, pitting edema (kaki, tangan,
sacrum), edema periorbital, friction rub pericardial, serta pembesaran vena
leher.
b. Integumen
yaitu yang ditandai dengan warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering dan
bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh serta rambut tipis dan
kasar
c. Pulmoner
yaitu yang ditandai dengan krekeis, sputum kental dan liat, napas dangkal seta
pernapasan kussmaul.
d. Gastrointestinal
yaitu yang ditandai dengan napas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan pada
mulut, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare, serta perdarahan dari
saluran GI.
e. Neurologi
yaitu yang ditandai dengan kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi,
kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, serta perubahan
perilaku.
f. Muskuloskletal
yaitu yang ditandai dengan kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang
serta foot drop.
g. Reproduktif
yaitu yang ditandai dengan amenore dan atrofi testikuler.
Tahapan penyakit gagal ginjal kronis
berlangsung secara terus-menerus dari waktu ke waktu. The Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) dalam Saragih, 2010 mengklasifikasikan
gagal ginjal kronis sebagai berikut:
a. Stadium
1: kerusakan masih normal (GFR >90 mL/min/1.73 m2)
b. Stadium
2: ringan (GFR 60-89 mL/min/1.73 m2)
c. Stadium
3: sedang (GFR 30-59 mL/min/1.73 m2)
d. Stadium
4: gagal berat (GFR 15-29 mL/min/1.73 m2)
e. Stadium
5: gagal ginjal terminal (GFR <15 mL/min/1.73 m2)
Pada
gagal ginjal kronis tahap 1 dan 2 tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan
ginjal termasuk komposisi darah yang abnormal atau urin yang abnormal (Arora,
2009 dalam Panjaitan, 2014).
E. Komplikasi
Komplikasi
yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronik adalah (Prabowo,
2014):
1. Penyakit
tulang,
2. Penyakit
kardiovaskuler,
3. Anemia,
dan
4. Disfungsi
seksual. Jurnal JUMANTIK Volume 2 nomor 1, Mei 2017.
BAB III
KONSEP PERAWATAN PALIATIF CARE
A. Definisi
Ungkapan “palliative” berasal dari bahasa latin
yaitu “pallium” yang artinya adalah menutupi atau menyembunyikan. Perawatan paliatif
ditujukan untuk menutupi atau menyembunyikan keluhan pasien dan memberikan
kenyamamanan ketika tujuan penatalaksanaan tidak mungkin disembuhkan
(Muckaden,2011).
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan
memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang
berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan
peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan
nyeri dan masalahmasalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (Kepmenkes RI
Nomor: 812, 2017).
World Health Organization (WHO) menyatakan
“perawatan paliatif meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam
menghadapi penyakit yang mengancam nyawa,dengan memberikan penghilang rasa
sakit dan gejala, dukungan spiritual dan psikososial, sejak tegaknya diagnosis
hingga akhir kehidupan serta periode kehilangan anggota keluarga yang sakit”.
Dan menekankan bahwa dalam memberikan pelayanan paliatif harus berpijak pada
pola sebagai berikut:
a. meningkatkan
kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses yang normal. Kualitas
hidup seseorang ditentukan oleh individu itu sendiri, karena sifatnya sangat
spesifik, dan bersifat abstrak, sulit diukur. Walaupun demikian, seorang tenaga
medis, bersama penderita yang dibantu oleh keluarga harus mampu menyingkap,
bagaimana kualitas hidup yang di inginkan oleh penderita dan bagaimana cara
meraih dan mencapainya. Sebagai pedoman, Jennifer J Clinch dan Harvey Schipper
memberikan 10 dimensi kualitas hidup yang mendekati parameter untuk pengukuran
objektif :
1)
Kondisi fisik (gejala dan nyeri)
2)
Kemampuan fungsional (aktifitas)
3)
Kesejahteraan keluarga
4)
Kesejahteraan emosi
5)
Spiritual
6)
Fungsi sosial
7)
Kepuasan pada layanan terapi (termasuk pendanaan)
8)
Orientasi masa depan (rencana dan harapan)
9)
Seksualitas (termasuk “body image”)
10)
Fungsi okupasi (Doyle, 2013)
b. tidak
mempercepat atau menunda kematian.
c. menghilangkan
nyeri dan keluhan lain yang mengganggu.
d. menjaga
keseimbangan psikologis dan spiritual.
e. mengusahakan
agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya.
f. mengusahakan
dan membantu mengatasi suasana duka cita pada keluarga (Djauzi et al, 2003
dalam Ningsih 2011 ).
B. Prinsip Perawatan Paliatif
Dalam memberikan perawatan paliatif sangat penting
memperhatikan prinsip-prinsipnya.
Commitee on Bioethic and Committee on Hospital Care (2000) dalam Ningsih
(2011) mengembangkan untuk pengamanan praktik dan standar minimum dalam
meningkatkan kesejahteraan dengan kondisi hidup yang terbatas dan keluarganya,
dengan tujuan memberikan dukungan yang
efektif selama pengobatan, dan memperpanjang kehidupan. Prinsip dasarnya terintegrasi pada model perawatan paliatif
yang meliputi :
a. Menghormati
serta menghargai pasien dan keluarganya.
Dalam
memberikan perawatan paliatif, perawat
harus menghargai dan menghormati keingingan pasien dan keluarga. Sesuai dengan
prinsip menghormati maka informasi tentang perawatan paliatif harus disiapkan
untuk pasien dan keluarga, yang mungkin
memilih untuk mengawali program perawatan paliatif. Kebutuhankebutuhan keluarga
harus diadakan/disiapkan selama sakit dan setelah pasien meninggal untuk
meningkatkan kemampuannya dalam menghadapi cobaan berat.
b. Kesempatan
atau hak mendapatkan kepuasan dan perawatan paliatif yang pantas.
Pada
kondisi untuk menghilangkan nyeri dan
keluhan fisik lainnya maka petugas kesehatan harus memberikan kesempatan
pengobatan yang sesuai untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, terapi lain
meliputi pendidikan, kehilangan dan penyuluhan pada keluarga, dukungan teman
sebaya, terapi musik, dan dukungan spiritual pada keluarga dan saudara kandung,
serta perawatan menjelang ajal.
c. Mendukung
pemberi perawatan (caregiver).
Pelayanan
keperawatan yang profesional harus
didukung oleh tim perawatan paliatif, rekan kerjanya, dan institusi untuk penanganan proses berduka dan kematian.
Dukungan dari institusi seperti penyuluhan secara rutin dari ahli psikologi
atau penanganan lain.
d. Pengembangan
profesi dan dukungan sosial untuk
perawatan paliatif Penyuluhan
pada masyarakat tentang kesadaran akan kebutuhan perawatan untuk pasien dan
nilai perawatan paliatif serta usaha untuk mempersiapkan serta memperbaiki
hambatan secara ekonomi. Perawatan paliatif merupakan area kekhususan karena
sejumlah klien meninggal serta
kebutuhannya akan perawatan paliatif lebih ke
pemberian jangka panjang, perawatan yang dibutuhkan tidak hanya
kebutuhan fisik klien tetapi juga kebutuhan, emosi, pendidikan dan kebutuhan
sosial, serta keluarganya.
C. Tim Paliatif
Perawatan
paliatif pendekatannya melibatkan berbagai disiplin yang meliputi pekerja sosial, ahli agama, perawat, dokter (dokter ahli atau dokter
umum) dalam merawat klien kondisi terminal/sekarat dengan membantu keluarga
yang berfokus pada perawatan yang komplek meliputi : masalah fisik, emosional,
sosial dan spiritual. Anggota tim yang lain adalah ahli psikologis,
fisioterapi, dan okupasi terapi. Masing-masing profesi terlibat sesuai dengan
masalah yang dihadapi penderita, dan penyusunan tim perawatan paliatif
disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan tempat perawatannya. Anggota tim perawatan
paliatif dapat memberikan kontribusi sesuai dengan keahliannya (Djauzi, et al,
2003 dalam Ningsih, 2011).
D. Tempat Perawatan Paliatif
Menurut Muckaden (2011) dalam memberikan perawatan
paliatif harus dimulai saat didiagnosa dan diberikan selama mengalami sakit
dan dukungan untuk berduka.
Penatalaksanaan awal secara total oleh tim paliatif akan memfasilitasi ke perawatan yang
terbaik. Tempat perawatan paliatif
dapat dilaksanakan rumah sakit, hospice, atau di rumah klien. Keluarga dan anak
agar dihargai dalam memilih tempat yang disukainya untuk mendapatkan perawatan
bila memungkinkan. Tempat perawatan dibutuhkan pada pelayanan yang tepat dengan
fasilitas kesehatan, homecare atau
sarana ke hospice terdekat. Tempat perawatan paliatif dapat dilaksanakan :
a. Di
rumah sakit
Perawatan di
rumah sakit diperlukan jika klien harus mendapat perawatan yang memerlukan
pengawasan ketat, tindakan khusus atau peralatan khusus. Pemberian perawatan
paliatif harus memperhatikan kepentingan pasien dan melaksanakan tindakan yang
diperlukan meskipun prognosis klien memburuk serta harus mempertimbangkan
manfaat dan resikonya sehingga perlu meminta dan melibatkan
keluarga.
b. Di
hospice
Perawatan klien
yang berada dalam keadaan tidak memerlukan
pengawasan ketat atau tindakan khusus serta belum dapat dirawat di rumah
karena memerlukan pengawasan tenaga kesehatan. Perawatan hospice
dapat dilakukan di rumah sakit, rumah atau rumah khusus perawatan
paliatif, tetapi dengan pengawasan dokter atau tenaga kesehatan yang tidak
ketat atau perawatan hospice homecare
yaitu perawatan di rumah dan secara teratur dikunjungi oleh dokter
atau petugas kesehatan apabila
diperlukan.
c. Di
rumah
Pada perawatan
di rumah, maka peran keluarga lebih
menonjol karena sebagian perawatan dilakukan
oleh keluarga, dan keluarga
sebagai caregiver diberikan latihan
pendidikan keperawatan dasar.
Perawatan di rumah
hanya mungkin dilakukan bila klien tidak memerlukan alat khusus atau
keterampilan perawatan yang tidak
mungkin dilakukan oleh keluarga.
E. Peran Perawat Dalam Pelaksanaan Proses
Keperawatan Paliatif
Menurut
Matzo dan Sherman (2006) dalam Ningsih (2011) peran perawat paliatif meliputi :
a. Praktik
di Klinik
Perawat
memanfaatkan pengalamannya dalam mengkaji dan mengevaluasi keluhan serta nyeri.
Perawat dan anggota tim berbagai keilmuan mengembangkan dan mengimplementasikan
rencana perawatan secara menyeluruh. Perawat mengidentifikasikan pendekatan
baru untuk mengatasi nyeri yang dikembangkan berdasarkan standar perawatan di
rumah sakit untuk melaksanakan tindakan. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan
keperawatan, maka keluhan sindroma nyeri yang komplek dapat perawat praktikan
dengan melakukan pengukuran tingkat kenyamanan disertai dengan memanfaatkan
inovasi, etik dan berdasarkan keilmuannya.
b. Pendidik
Perawat
memfasilitasi filosofi yang komplek,etik dan diskusi tentang penatalaksanaan
keperawatan di klinik,mengkaji pasien dan keluarganya serta semua anggota tim
menerima hasil yang positif. Perawat memperlihatkan dasar
keilmuan/pendidikannya yang meliputi mengatasi nyeri neuropatik,berperan
mengatasi konflik profesi, mencegah dukacita, dan resiko kehilangan. Perawat
pendidik dengan tim lainnya seperti komite dan ahli farmasi, berdasarkan
pedoman dari tim perawatan paliatif maka memberikan perawatan yang berbeda dan
khusus dalam menggunakan obat-obatan intravena untuk mengatasi nyeri neuropatik
yang tidak mudah diatasi.
c. Peneliti
Perawat
menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui pertanyaanpertanyaan penelitian dan
memulai pendekatan baru yang ditunjukan pada pertanyaan-pertanyaan penelitian.
Perawat dapat meneliti dan terintegrasi pada penelitian perawatan paliatif.
d. Bekerja
sama (collaborator)
Perawat
sebagai penasihat anggota/staff dalam mengkaji bio-psiko-sosialspiritual dan
penatalaksanaannya. Perawat membangun dan mempertahankan hubungan kolaborasi
dan mengidentifikasi sumber dan kesempatan bekerja dengan tim perawatan
paliatif,perawat memfasilitasi dalam mengembangkan dan mengimplementasikan
anggota dalam pelayanan, kolaborasi perawat/dokter dan komite penasihat.
Perawat memperlihatkan nilai-nilai kolaborasi dengan pasien dan
keluarganya,dengan tim antar disiplin ilmu, dan tim kesehatan lainnya dalam
memfasilitasi kemungkinan hasil terbaik.
e. Penasihat
(Consultan)
Perawat
berkolaborasi dan berdiskusi dengan dokter, tim perawatan paliatif dan komite
untuk menentukan tindakan yang sesuai dalam pertemuan/rapat tentang
kebutuhan-kebutuhan pasien dan keluarganya.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK
1. Pengkajian
a.
Identitas pasien
Nama :Tn.A
Umur :43
Jenis kelamin :laki-laki
Alamat : Bambi
Pekerjaan : petani
b.
Riwayat penyakit
Analisa
data
No |
Data |
Masalah |
1. |
DS: Pasien mengatakan sesak nafas DO: Pasien terlihat pucat Pasien menggunakan otot bantu pernafasan akral pasien dingin HB : 9,6 l Terpasang oksigen 4L . |
pola nafas tidak efektik |
2. |
DS: Pasien mengatakan BAK sedikit DO: urine output per 24jm 300cc Terdapat edema anasarka pada pasien Turgor kulit pasien jelek Balance cairan per24jm 249cc ureum :159mg/dl creatinin : 8,25mg/dl. BB pasien 125kg TD : 150/100mmhg, N : 110x/mnt S: 355C RR : 28x/mnt oliguria < 400ml/24jm. |
Kelebihan volume cairan |
3. |
DS: pasien mengatakan gatal-gatal DO: Turgor kulit pasien jelek >3dt, Terdapat edema anasarka pada pasien Kulit pasien tampak kering dan tampak bersisik serta tampak adanya pruritus. |
kerusakan integritas kulit |
2.
Diagnosis keperawatan
1.
pola nafas
tidak efektik dengan etiologi hiperventilasi paru ditandai dengan sesak nafas, tampak
pucat, menggunakan otot bantu
pernafasan, akral dingin, HB : 9,6 l dan terpasang oksigen 4L .
2.
kelebihan
volume cairan dengan etiologi penurunan haluaran urine retensi cairan dan
natrium ditandai dengan BAK sedikit, urine output per 24jm 300cc. terdapat
edema anasarka, turgorkulit jelek, balance cairan per24jm 249cc, ureum : 159mg/dl
creatinin : 8,25mg/dl. BB : 125kg saat sakit pada tanggal 13 april 2015, TD : 150/100mmhg,
N : 110x/mnt, S : 35 5C, RR : 28x/mnt, oliguria < 400ml/24jm.
3.
Kerusakan integritas
kulit dengan etiologi akumulasi toksin dalam kulit ditandai dengan gatal-gatal,
turgor kulit jelek >3dtk, terdapat edema anasarka, kulit tampak kering dan
tampak bersisik serta tampak adanya pruritus.
3.
Intervensi keperawatan
No |
Diagnosis Keperawatan |
Tujuan Dan Kriteria Hasil |
Intervensi |
1. |
pola
nafas tidak efektik dengan etiologi hiperventilasi paru |
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan
selama1 x 24 jam Pasien tidak
mengalami sesak, dengan kriteria
hasil: 1.
Sesak nafas
berkurang. 2.
Pola
pernafasan normal. |
1.
Observasi keadaan umum pasien 2. Kaji TTV 3. Monitoring pernafasan 4. Atur posisi semi fawler 5. Lakukan fisioterapi dada 6. Ajarkan teknik nafas dalam 7. Manajemen jalan nafas 8. Memberikan terapi oksigen |
2. |
kelebihan
volume cairan dengan etiologi penurunan haluaran urine retensi cairan dan
natrium |
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan
selama 2 x 24 jam dengan
kriteria hasil: 1.volume
cairan kembali normal 2. udema
berkurang 3. TTV
normal |
1.
Observasi
udema 2.
Lakukan
tirah baring 3.
Menghitung
jumlah cairan,output dan input 4.
Kaji TTV 5.
Pembatasan
cairan 6.
Kolaborasi |
3. |
Kerusakan
integritas kulit dengan etiologi akumulasi toksin dalam kulit |
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan
selama 2 x 24 jam dengan
kriteria hasil: 1.gatal-gatal pada kulit berkurang/sembuh 2. turgo kulit normal 3.udema berkurang |
1.
Observasi
keadaan kulit 2.
Memberikan
perawatan kulit 3.
Anjurkan
menggunakan pakaian yang longgar 4.
Lakukan
kolaborasi |
4.Implementasi
Implementasi
adalah inisiatif dari rencana tindakan tujuan spesifik. Implementasi dilakukan
pada klien dengan rematoid artritis adalah dengan tindakan sesuai intervensi yang
telah dilakukan sebelumnya. Dalam tindakan ini diperlukan kerja sama antara
perawat sebagai pelaksana asuhan keperawatan, tim kesehatan, klien dan keluarga
agar asuhan keperawatan yang diberikan mampu berkesinambungan sehingga klien
dan keluarga dapat menjadi mandiri.
5.
Evaluasi
Hasil asuhan keperawatan yang
diharapkan adalah sebagai berikut :
1.
Pola pernafasan normal
2.
Volume cairan normal
3.
Turgo kulit normal
4.
Sesak nafas
berkurang.
5.
gatal-gatal pada
kulit berkurang/sembuh
6.
2. turgo kulit
normal
7.
3.udema berkurang
8.
TTV normal
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Gagal ginjal kronik adalah Penyakit yang bisa timbul
karena kerusakan pada filtrasi dan sekresi ginjal akan berujung pada gagal ginjal kronik atau disebut chronic kidney disease (CKD). Chronic
kidney disease sendiri
di sebabkan oleh beberapa faktor yaitu
hipertensi, glomerulonefritis, nefropati
analgesik, nefropati diabetic, nefropati refluk, ginjal polikistik, obstruksi dan gout (Mansjoer, 2007).
Penyakit
Ginjal Kronik (PGK) kini telah menjadi
persoalan kesehatan serius masyarakat di
dunia. Menurut WHO (2012) penyakit ginjal dan saluran kemih telah menyebabkan kematian sekitar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit ini meduduki peringkat ke -12 tertinggi angka kematian atau peringkat tertinggi ke-17 angka kecacatan. Pelayanan asuhan
keperawatan ditujukan untuk mempertahankan,
meningkatkan kesehatan dan menolong individu untuk mengatasi
secara tepat masalah kesehatan sehari-hari,
penyakit, kecelakaan, atau ketidakmampuan bahkan kematian
(Depkes,2005).
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan
memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang
berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan
peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan
nyeri dan masalahmasalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (Kepmenkes RI
Nomor: 812, 2017).
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Jual.2006.BukuSaku Diagnosa
Keperawatan.Alih Bahasa Yasmi Asih, Edisike -10. Jakarta : EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku
Patofisiologi Edisi 3.Jakarta: EGC
Digiulio, M, Jackson, D dan Keogh, J.2014.Keperawatan
Medikal Bedah
Demystified edisi 1. Alih bahasa khundazi
Aulawi.Yogyakarta : Rapha Publishing
Doengoes, M.E.,. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan
Pedoman untuk
Perencanaandan Pendokumentasian
Perawatan Pasien, EGC, Jakarta Hudak dan Gallo.
2011.
Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik.Edisi - VIII Jakarta: EGC. Mansjoer, Arif, dkk. 2007.Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke-3, Medica Aesculpalus, FKUI. Jakarta.
Muttaqin, A dan Sari, K. 2011.Asuhan
Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.Banjarmasin:
Salemba Medika
Rendy, M Clevo dan Margareth TH. 2012.Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah Penyakit
Dalam.Yogyakarta
: Nuha Medika
Semeltzer, S. C. and Bare, B. G. 2006. Buku
Ajaran Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Alih
Bahasa H. Y. Kuncara, Monica Ester, Yasmin Asih, Jakarta : EGC.
Sibuea. H, Panggabean. M, dan Gultam. S.
2005. Ilmu Penyakit Dalam. Rineka Cipta:
Jakarta
No comments:
Post a Comment