BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mobilitas dan aktivitas adalah hal yang
vital bagi kesehatan total lansia sehingga perawat harus banyak memiliki
pengetahuan dalam pengkajian dan intervensi muskuloskeletal. Perawat memainkan
dua peranan penting. Pertama, mempraktikkan promosi kesehatan jauh sebelum
berusia 65 tahun dapat menunda dan memperkecil efek degeneratif dari penuaan.
Penyakit muskuloskeletal bukan merupakan konsekuensi penuaan yang tidak dapat
dihindari dan karenanya harus dianggap sebagai suatu proses penyakit spesifik,
tidak hanya sebagai akibat dari penuaan.
Artritis
Reumatoid (AR) adalah suatu penyakit otoimun sistemik yang menyebabkan
peradangan pada sendi. Penyakit ini ditandai oleh peradangan sinovium yang
menetap, suatu sinovitis proliferatifa kronik non spesifik. Dengan berjalannya
waktu, dapat terjadi erosi tulang, destruksi (kehancuran) rawan sendi dan
kerusakan total sendi.
Artritis
Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan tersebar luas di
seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik. Prevalensi Artritis Reumatoid adalah
sekitar 1 persen populasi (berkisar antara 0,3 sampai 2,1 persen). Artritis
Reumatoid lebih sering dijumpai pada wanita, dengan perbandingan wanita dan
pria sebesar 3 : 1.7 Perbandingan ini mencapai
5:1 pada wanita dalam usia subur. Artritis Reumatoid menyerang 2,1 juta
orang Amerika, yang kebanyakan wanita. Serangan pada umumnya terjadi di usia
pertengahan, nampak lebih sering pada orang lanjut usia. 1,5 juta wanita
mempunyai artritis reumatoid yang dibandingkan dengan 600.000 pria.
Penanganan medis pasien dengan artritis
reumatoid pada lansia bergantung pada tahap penyakit ketika diagnosis dibuat
dan termasuk dalam kelompok mana yang sesuai dengan kondisi tersebut. Untuk
menghilangkan nyeri dapet mempergunakan agens antiinflamasi, obat yang dipilih
adalah aspirin.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakan
asuhan keperawatan artritis reumatoid
(RA) pada pasien lansia ?
1.3. Tujuan
1.3.1.
Tujuan Umum
Dapat
menambah pengetahuan mahasiswa mengenai penyakit rematoid artritis serta asuhan
keperawatan yang dapat dilakukan terhadap pasien lansia dengan masalah rematoid
artritis.
1.3.2.
Tujuan Khusus
1. Mahasiswa
mampu mengetahui anatomi fisiologi sistem persendian.
2. Mahasiswa
mampu mengetahui pengertian rematoid artritis.
3. Mahasiswa
mampu mengetahui penyebab terjadinya rematoid artritis.
4. Mahasiswa
mampu mengetahui patofisiologi rematoid
artritis.
5. Mahasiswa
mampu mengetahui tanda dan gejala yang muncul pada rematoid artritis.
6. Mahasiswa
mampu mengetahui penatalaksanaan keperawatan yang dapat diberikan pada pasien
yang mengalami rematoid artritis.
7. Mahasiswa
mampu mengetahui asuhan keperawatan yang bisa dilakukan pada pasien dengan masalah rematoid artritis.
1.4. Manfaat
1. Mahasiswa mampu
memahami pengertian arthritis reumatoid
2. Mahasiswa mampu memahami etiologi arthritis reumatoid
3. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi arthritis
reumatoid
4. Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinik arthritis
reumatoid
5. Mahasiswa lebih mampu memahami pemeriksaan diagnosk
arthritis reumatoid
6. Mahasiswa mengetahui komplikasi arthritis reumatoid
7. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan arthritis
reumatoid
8. Mahasiswa memahami cara mencegah arthritis reumatoid
9. Mahasiswa memahami konsep dasar asuhan keperawatan
arthritis reumatoid
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Anatomi dan Fisiologi
Suatu
artikulasi, atau persendian, terjadi saat permukaan dari dua tulang bertemu,
adanya pergerakan atau tidak bergantung pada sambungannya. Persendian dapat
diklasifikasi menurut struktur dan menurut fungsi persendian.
2.1.1. Klasifikasi
Struktural Persendian
a.
Persendian
fibrosa tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan
jaringan ikat fibrosa.
b.
Persendian
kartilago tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan
jaringan kartilago.
c.
Persendian
sinovial memiliki rongga sendi dann diperkokoh dengan kapsul
dan ligamen artikular yang membungkusnnya.
2.1.2. Klasifikasi
Fungsional Persendian
a.
Sendi
sinartrosis atau sendi mati.
1)
Sutura
adalah sendi yang dihubungkan dengan jaringan ikat fibrosa rapat dan hanya
ditemukan pada tulang tengkorak. Contoh sutura adalah sutura sagital dan sutura
parietal.
2)
Sinkondrosis
adalah sendi yang tulang-tulangnya dihubungkan dengan kartilago hialin. Salah
satu contohnya adalah lempeng epifisis sementara antara epifisis dan diafisis
pada tulang panjang seorang anak. Saat sinkondrosis sementara berosifikasi,
maka bagian tersebut dinamakan sinostosis.
b.
Amfiartrosis
adalah sendi dengan pergerakan terbatas yang memungkinkan terjadinya sedikit
gerakan sebagai respons terhadap torsi dan kompresi.
1)
Simfisis
adalah sendi yang kedua tulangnya dihubungkan dengan diskus kartilago, yang
menjadi bantalan sendi dan memungkinkan terjadinya sedikit gerakan. Contoh
simfisis adalah simfisis pubis
antara tulang-tulang pubis dan diskus
intervertebralis antar badan vertebra yang berdekatan.
2)
Sindesmosis
terbentuk saat tulang-tulang yang berdekatan dihubungkan dengan serat-serat
jaringan ikat kolagen. Contoh sindesmosis dapat ditemukan pada tulang yang
terletak bersisian dan dihubungkan dengan membran interoseus, seperti pada tulang radius dan ulna, serts tibia dan
fibula.
c.
Diartrosis
adalah sendi yang dapat bergerak bebas, disebut juga sendi sinovial. Sendi ini
memiliki rongga sendi yang berisi cairan sinovial, suatu kapsul sendi
(artikular) yang menyambung kedua tulang, dan ujung tulang pada sendi sinovial
dilapisi kartilago artikular.
2.1.3. Klasifikasi
Persendian Sinovial
a.
Sendi
sferoidal terdiri dari sebuah tulang dengan kepala berbentuk
bulat yang masuk dengan pas ke dalam rongga berbentuk cangkir pada tulang lain.
Memungkinkan rentang gerak yang lebih besar, menuju ke tiga arah. Contoh sendi
sferoidal adalah sendi panggul serta sendi bahu.
b.
Sendi
engsel. Sendi ini memungkinkan gerakan kesatu arah saja dan
dikenal sebagai sendi uniaksial. Contohnya adalah persendian pada lutut dan
siku.
c.
Sendi
kisar (pivot joint).
Sendi ini merupakan sendi uniaksial yang memungkinkan terjadinya rotasi
disekitar aksial sentral, misalnya persendian tempat tulang atlas berotasi di
sekitar prosesus odontoid aksis.
d.
Persendian
kondiloid. Sendi ini merupakan sendi biaksial, yang memungkinkan
gerakan kedua arah disudut kanan setiap tulang. Contohnya adalah sendi antara
tulang radius dan tulang karpal.
e.
Sendi
pelana. Persendian ini adalah sendi kondiloid yang
termodifikasi sehingga memungkinkan gerakan yang sama. Contohnya adalah persendian
antara tulang karpal dan metakarpal pada ibu jari.
f.
Sendi
peluru. Sedikit gerakan ke segala arah mungkin terjadi
dalam batas prosesus atau ligamen yang membungkus persendian. Persendian
semacam ini disebut sendi nonaksial; misalnya persendian invertebrata dan
persendian antar tulang-tulang karpal dan tulang-tulang tarsal.
2.2. Pengertian Artritis Reumatoid
Artritis reumatoid merupakan penyakit
inflamasi sistemik kronis yang tidak diketahui penyebabnya, diakrekteristikkan
oleh kerusakan dan proliferasi membran sinovial yang menyebabkan kerusakan pada
tulang sendi, ankilosis, dan deformitas. (Kusharyadi, 2010)
Artritis reumatoid adalah penyakit
inflamasi sistemik yang kronis dan terutama menyerang persendian, otot-otot,
tendon, ligamen, dan pembuluh darah yang ada disekitarnya. (Kowalak, 2011).
2.3. Etiologi Artritis Reumatoid
Penyebab utama
penyakit artritis reumatoid masih belum diketahui secara pasti. Ada beberapa
teori yang dikemukakan sebagai penyebab artritis reumatoid, yaitu :
1. Infeksi Streptokkus
hemolitikus dan Streptococcus
non-hemolitikus.
2. Endokrin
Kecenderungan wanita untuk menderita
artritis reumatoid dan sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil
menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu
faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena pemberian
hormon estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang
diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal
memang merupakan penyebab penyakit ini.
3. Autoimmun
Pada saat ini
artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi. Autoimun
ini bereaksi terhadap kolagen tipe II, faktor infeksi mungkin disebabkan oleh
karena virus dan organisme mikroplasma atau grup difterioid yang menghasilkan
antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita.
4. Metabolik
5. Faktor genetik serta pemicu lingkungan
Faktor genetik dan beberapa faktor
lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini
terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas
utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan artritis reumatoid seropositif.
Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.
2.4. Patofisiologi Artritis Reumatoid
Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa
patogenesis artritis reumatoid terjadi akibat rantai peristiwa imunologis
sebagai berikut : Suatu antigen penyebab artritis reumatoid yang berada pada
membran sinovial, akan diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang
terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau
makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya.
Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama
dengan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut
membentuk suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan
interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya
akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen
trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada
permukaan CD4+. IL-2 yang diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada
reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis
dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung terus
selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang
telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti
gamma-interferon, tumor necrosis factor b (TNF-b), interleukin-3 (IL-3),
interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF)
serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk
meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi
sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh
IL-1, IL-2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang
sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan
berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun akan
mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan komponen-komplemen C5a.
Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan
permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear
(PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran
sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada artritis
reumatoid adalah peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial,
infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel
radang akan disertai oleh pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas,
leukotrien, prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin)
yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat
menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan
terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas
juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek
vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang
osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF-b. Rantai peristiwa imunologis ini
sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari
lingkungan tersebut. Akan tetapi pada artritis reumatoid, antigen atau komponen
antigen umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses
destruksi sendi akan berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi persendian
pada artritis reumatoid kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor
reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc
IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien artritis reumatoid. Faktor reumatoid akan
berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses
peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan
terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan
histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran
sinovial akibat pengendapan kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang
merupakan elemen yang paling destruktif dalam patogenesis artritis reumatoid.
Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang
berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara
histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel
mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan jaringan kolagen dan
proteoglikan.
2.5. WOC
Antigen penyebab RA berada pada
membran sinovial
|
Monosit & makrofag mengeluarkan
IL-1
|
Aktivasi sel CD4+
|
Sekresi IL-2
|
Merangsang pembentukan IL-3 dan IL
4
|
Terjadi mitosis & proliferasi
sel >>
|
Aktivasi sel B
|
Terbentuk antibodi
|
Reaksi antibodi terhadap penyebab
RA
|
Terbentuk kompleks imun di ruang
sendi
|
Pengendapan kompleks imun
|
Reumatoid Artritis (RA)
|
Pelepasan mediator kimia bradikinin
|
Inflamasi membran sinovial
|
Kurangnya pemajanan/mengingat
|
Stimulus ujung saraf nyeri
|
Kurang pengetahuan
|
Menyentuh serabut C
|
Nyeri
|
Penebalan membran sinovial
|
Terbentuk tannus
|
Menghambat nutrisi pada kartilago
|
Kerusakan kartilago & tulang
|
Tendon & ligamen melemah
|
Kekuatan otot ↓
|
Kartilago nekrosis
|
Erosi kartilago
|
Adhesi permukaan sendi
|
Ankylosis fibrosa
|
Kekakuan pada sendi
|
Gangguan Mobilitas fisik
|
Keterbatasan gerak
|
Kurang perawatan diri
|
Terbentuk nodul
|
Deformitas sendi
|
Gangguan body image
|
Fagositosis kompleks imun oleh sel
radang
|
Pembentukan radikal oksigen bebas
|
Depolimerasi hialorunat
|
Veskositas cairan sendi ↓
|
Pembentukan tulang terganggu
|
Pemendekan tulang
|
Kontraktur
|
Risiko cedera
|
2.6. Manifestasi Klinik Artritis
Reumatoid
Jika pasien artritis reumatoid pada
lansia tidak diistirahatkan, maka penyakit ini akan berkembang menjadi empat
tahap :
1. Terdapat
radang sendi dengan pembengkakan membran sinovial dan kelebihan produksi cairan
sinovial. Tidak ada perubahan yang bersifat merusak terlihat pada radiografi.
Bukti osteoporosis mungkin ada.
2. Secara
radiologis, kerusakan tulang pipih atau tulang rawan dapat dilihat. Pasien
mungkin mengalami keterbatasan gerak tetapi tidak ada deformitas sendi.
3. Jaringan
ikat fibrosa yang keras menggantikan pannus, sehingga mengurangi ruang gerak
sendi. Ankilosis fibrosa mengakibatkan penurunan gerakan sendi, perubahan
kesejajaran tubuh, dan deformitas. Secara radiologis terlihat adanya kerusakan
kartilago dan tulang.
4.
Ketika
jaringan fibrosa mengalami kalsifikasi, ankilosis tulang dapat mengakibatkan
terjadinya imobilisasi sendi secara total. Atrofi otot yang meluas dan luka
pada jaringan lunak seperti medula-nodula mungkin terjadi.
Pada lansia artritis reumatoid dapat
digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Kelompok
1
Artritis reumatoid klasik. Sendi-sendi
kecil pada kaki dan tangan sebagian besar terlibat. Terdapat faktor reumatoid,
dan nodula-nodula reumatoid yang sering terjadi. Penyakit dalam kelompok ini
dapat mendorong ke arah kerusakan sendi yang progresif.
2. Kelompok
2
Termasuk ke dalam klien yang memenuhi
syarat dari American Rheumatologic
Association untuk artritis reumatoid karena mereka mempunyai radang
sinovitis yang terus-menerus dan simetris, sering melibatkan pergelangan tangan
dan sendi-sendi jari.
3. Kelompok
3
Sinovitis terutama memengaruhi bagian
proksimal sendi, bahu dan panggul. Awitannya mendadak, sering ditandai dengan
kekuatan pada pagi hari. Pergelangan tangan pasien sering mengalami hal ini,
dengan adanya bengkak, nyeri tekan, penurunan kekuatan genggaman, dan sindrome
karpal tunnel. Kelompok ini mewakili suatu penyakit yang dapat sembuh sendiri
yang dapat dikendalikan secara baik dengan menggunakan prednison dosis rendah
atau agens antiinflamasi dan memiliki prognosis yang baik.
2.7. Pemeriksaan Diagnostik Artritis
Reumatoid
2.7.1
Pemeriksaan cairan synovial :
1. Warna
kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang menggambarkan peningkatan
jumlah sel darah putih.
2. Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan
adanya proses inflamasi yang didominasi oleh sel neutrophil (65%).
3. Rheumatoid factor positif, kadarnya lebih tinggi dari
serum dan berbanding terbalik dengan cairan sinovium.
2.7.2 Pemeriksaan
darah tepi :
1. Leukosit : normal atau meningkat ( <>3 ). Leukosit
menurun bila terdapat splenomegali; keadaan ini dikenal sebagai Felty’s Syndrome.
2. Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.
2.7.3 Pemeriksaan
kadar sero-imunologi :
1. Rheumatoid factor + Ig M -75%
penderita ; 95% + pada penderita dengan nodul subkutan.
2. Anti CCP antibody positif telah
dapat ditemukan pada arthritis rheumatoid dini.
2.8. Komplikasi Artritis Reumatoid
Kelainan
sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang
merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS)
atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease
modifying antirheumatoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab
morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid.
2.9. Penatalaksanaan Artritis Reumatoid
Tujuan utama
dari program penatalaksanaan perawatan
adalah sebagai berikut :
1. Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan.
2. Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan
maksimal dari penderita.
3. Untuk mencegah dan atau memperbaiki deformitas yang
terjadi pada sendi.
4. Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung
pada orang lain.
2.9.1 Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pendidikan
Pendidikan yang diberikan meliputi pengertian,
patofisiologi (perjalanan penyakit), penyebab dan perkiraan perjalanan
(prognosis) penyakit ini, semua komponen program penatalaksanaan termasuk
regimen obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini
dan metode efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan.
Proses pendidikan ini harus dilakukan secara terus-menerus.
2. Istirahat
Merupakan hal penting karena reumatik biasanya
disertai rasa lelah yang hebat. Walaupun rasa lelah tersebut dapat saja timbul
setiap hari, tetapi ada masa dimana penderita merasa lebih baik atau lebih
berat. Penderita harus membagi waktu seharinya menjadi beberapa kali waktu
beraktivitas yang diikuti oleh masa istirahat.
3. Latihan
Fisik dan Termoterapi
Latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan
fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi
yang sakit, sedikitnya dua kali sehari. Obat untuk menghilangkan nyeri perlu
diberikan sebelum memulai latihan. Kompres panas pada sendi yang sakit dan
bengkak mungkin dapat mengurangi nyeri. Latihan dan termoterapi ini paling baik
diatur oleh pekerja kesehatan yang sudah mendapatkan latihan khusus, seperti
ahli terapi fisik atau terapi kerja. Latihan yang berlebihan dapat merusak
struktur penunjang sendi yang memang sudah lemah oleh adanya penyakit.
2.9.2 Penatalaksanaan Medikamentosa
1. Penggunaan OAINS
Obat
Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umum nya diberikan pada penderita AR sejak
masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat
inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial
yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek
analgesik yang sangat baik. OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim
siklooxygenase sehingga menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas
apakah hambatan enzim lipooxygenase juga berperanan dalam hal ini, akan tetapi
jelas bahwa OAINS berkerja dengan cara:
a. Memungkinkan
stabilisasi membran lisosomal.
b. Menghambat
pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin, enzim
lisosomal dan enzim lainnya).
c. Menghambat
migrasi sel ke tempat peradangan.
d. Menghambat
proliferasi seluler.
e. Menetralisasi
radikal oksigen.
f. Menekan
rasa nyeri
2. Penggunaan DMARD
Terdapat
terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada pengobatan penderita AR. Cara
pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini.
Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR terjadi
pada masa dini penyakit. Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua
atau lebih DMARD secara simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat
obatan imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan. digunakan untuk
melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat artritis reumatoid.
Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah:
a. Klorokuin : Dosis anjuran
klorokuin fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping
bergantung pada dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan,
dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.
b. Sulfazalazine : Untuk
pengobatan AR sulfasalazine dalam bentuk enteric coated tablet digunakan mulai dari dosis 1 x 500 mg /
hari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap minggu sampai mencapai dosis 4
x 500 mg. Setelah remisi tercapai dengan dosis 2 g / hari, dosis diturunkan
kembali sehingga mencapai 1 g /hari untuk digunakan dalam jangka panjang sampai
remisi sempurna terjadi.
c. D-penicillamine : Dalam
pengobatan AR, DP (Cuprimin 250 mg atau Trolovol 300 mg) digunakan dalam dosis
1 x 250 sampai 300 mg/hari kemudian dosis ditingkatkan setiap dua sampai 4
minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4 x 250 sampai
300 mg/hari.
3. Operasi
Jika
berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat
alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan
ini pada pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni,
artrodesis, total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan
sebagainya.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Artritis reumatoid merupakan penyakit
inflamasi sistemik kronis yang tidak diketahui penyebabnya, diakrekteristikkan
oleh kerusakan dan proliferasi membran sinovial yang menyebabkan kerusakan pada
tulang sendi, ankilosis, dan deformitas. (Kusharyadi, 2010)
Penyebab utama
penyakit artritis reumatoid masih belum diketahui secara pasti. Ada beberapa
teori yang dikemukakan sebagai penyebab artritis reumatoid, yaitu :
Infeksi Streptokkus
hemolitikus dan Streptococcus
non-hemolitikus, endokrin, autoimmun, metabolik,
dan
faktor genetik serta pemicu lingkungan
Jika pasien artritis reumatoid pada
lansia tidak diistirahatkan, maka penyakit ini akan berkembang menjadi empat
tahap yaitu terdapat radang sendi dengan pembengkakan membran sinovial dan
kelebihan produksi cairan sinovial, secara radiologis, kerusakan tulang pipih atau
tulang rawan dapat dilihat, jaringan ikat fibrosa yang keras menggantikan
pannus, sehingga mengurangi ruang gerak sendi, ankilosis fibrosa mengakibatkan
penurunan gerakan sendi, perubahan kesejajaran tubuh, dan deformitas. Secara
radiologis terlihat adanya kerusakan kartilago dan tulang.
Masalah keperawatan yang mungkin muncul
adalah nyeri, gangguan mobilitas fisik, gangguan bodi image, kurang perawatan
diri, risiko cedera, dan kurang pengetahuan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonymus, Artritis Rematoid. (online). http:// www.
naturindonesia. com/ artikel-berbagai- penyakit- degeneratif/
449-artritis-reumatoid-.html, diakses tanggal 11 Maret 2013 pukul
12.30
Anonymus, 2012. Makalah Rematoid Artritis. (online). http://profesional-eagle.
blogspot. Com /2012/05/makalah- reumatoid- artritis-copast.html, diakses
tanggal 11 Maret 2013 pukul 12.40
Anonymus, 2012. Asuhan Keperawatan Rematoid Artritis. (online).
http://www.
kapukonline.com/2012/01/askep-asuhan keperawatan rheumatoid arthri. html, diakses
tanggal 11 Maret 2013 pukul 12.50
Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. EGC : Jakarta.
Kushariyadi.
2010. Asuhan Keperawatan pada Klien
Lanjut Usia. Salemba Medika : Jakarta.
Stanley, Mickey.
2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik
Edisi 2. EGC : Jakarta.
No comments:
Post a Comment