COVER
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
C. Perkembangan Ilmu Masa Keemasan Islam
A. Pengertian Bisnis dan Jual Beli
B. Syarat – syarat Dalam Jual Beli
C. Dasar Hukum Bisnis Dalam Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bisnis
dalam kehidupan ini merupakan kegiatan yang sangat penting bagi masyarakat
dalam menjalani kehidupan mereka. Sekarang ini bisnis banyak dilakukan dengan
cara-cara yang tidak benar, tidak ada kejujuran dalam menjalani kegiatan
tersebut. Banyak kecurangan yang tejadi dalam dunia bisnis dan bagian-bagian
yang berkaitan dengan bisnis tersebut. Contohnya, para pengusaha-pengusaha
menjual produknya dengan tipuan-tipuan iklan agar menarik pembeli, tetapi itu
merupakan sebuah penipuan. Dan bukan di dunia bisnisnya saja, akan tetapi
kegiatan-kegiatan yang berkaitan atau tergantung oleh bisnis, seperti para
pengusaha tidak bayar pajak, tetapi dia membayar pada orang-orang dalam kantor
perpajakan itu agar tidak membayar pajak.
Oleh
karena itu dalam makalah ini kita akan membahasa bisnis menurut cara pandang
islam, berbisnis seperti yang diajarkan rosulullah SAW, berbisnis dengan
kejujuran , dan keadilan di dalamnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dari bisnis ?
2.
Apa
Syarat-syarat Jual Beli?
3.
Apa dasar
hukum bisnis dalam Islam ?
4.
Apa saja
etika bisnis dalam Islam ?
C. Perkembangan Ilmu Masa Keemasan Islam
1.
Mengetahui
dan menjelaskan pengertian dari bisnis.
2.
Mengetahui
dan menjelaskan Syarat Jual Beli
3.
Mengetahui
dan menjelaskan dasar hukum bisnis dalam Islam.
4.
Mengetahui
dan menjelaskan etika berbisnis dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bisnis dan Jual Beli
Secara etimologi, al-bay’u البيع (jual beli) berarti mengambil dan
memberikan sesuatu, dan merupakan derivat (turunan) dari الباع (depa) karena
orang Arab terbiasa mengulurkan depa mereka ketika mengadakan akad jual beli
untuk saling menepukkan tangan sebagai tanda bahwa akad telah terlaksana atau
ketika mereka saling menukar barang dan uang.
Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang
berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan
akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan. (Taudhihul Ahkam, 4/211).
Di dalam Fiqhus sunnah (3/46) disebutkan bahwa al-bay’u adalah transaksi
tukar menukar harta yang dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak
kepemilikan kepada orang lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan
dalam koridor syariat.
Adapun hikmah disyariatkannya jual beli adalah merealisasikan keinginan
seseorang yang terkadang tidak mampu diperolehnya, dengan adanya jual beli dia
mampu untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya, karena pada umumnya
kebutuhan seseorang sangat terkait dengan sesuatu yang dimiliki saudaranya
(Subulus Salam, 4/47).
Secara umum bisnis diartikan sebagai suatu kegiatan yang
dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan atau rizki
dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya dengan cara mengelola
sumber daya ekonomi secara efektif dan efisien. Skinner mendefinisikan bisnis
sebagai pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau
memberi manfaat. Menurut Anoraga dan Soegiastuti, bisnis memiliki makna dasar
sebagai ”the buying and selling of goods and services”. Adapun
dalam pandangan Straub dan Attner, bisnis taka lain adalah suatu organisasi
yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang-barang dan jasa-jasa
yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit.
Adapun dalam Islam bisnis dapat
dipahami sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang
tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk
profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada
aturan halal dan haram).
Pengertian di atas dapat dijelaskan
bahwa Islam mewajibkan setiap muslim, khususnya yang memiliki tanggungan untuk
bekerja. Bekerja merupakan salah satu sebab pokok yang memungkinkan manusia
memiliki harta kekayaan. Untuk memungkinkan manusia berusaha mencari nafkah,
Allah Swt melapangkan bumi serta menyediakan berbagai fasilitas yang dapat
dimanfaatkan untuk mencari rizki.
B. Syarat – syarat Dalam Jual Beli
Kondisi umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli mereka
meremehkan batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual beli
yang terjadi di masyarakat adalah transaksi yang dipenuhi berbagai unsur
penipuan, keculasan dan kezaliman.
Lalai terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah merupakan
sebab yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut, tidak
tanggung-tanggung berbagai upaya ditempuh agar keuntungan dapat diraih, bahkan
dengan melekatkan label syar’i pada praktek perniagaan yang sedang marak
belakangan ini walaupun pada hakikatnya yang mereka lakukan itu adalah
transaksi ribawi.
Jika kita memperhatikan praktek jual beli yang dilakukan para pedagang saat
ini, mungkin kita dapat menarik satu konklusi, bahwa sebagian besar para
pedagang dengan “ringan tangan” menipu para pembeli demi meraih keuntungan yang
diinginkannya, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّ التُّجَّارَ هُمْ الْفُجَّارُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَلَيْسَ
قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ قَالَ بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ
وَيَحْلِفُونَ وَيَأْثَمُونَ
“Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat
maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan
praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para
pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang
dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan
perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy
Syamilah; Hakim berkata: “Sanadnya shahih”, dan beliau disepakati Adz Dzahabi,
Al Albani berkata, “Sanad hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh mereka
berdua”, lihat Silsilah Ash Shahihah 1/365; dinukil dari Maktabah Asy
Syamilah).
Oleh karena itu seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib
memperhatikan syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya
sesuai dengan batasan-batasan syari’at dan tidak terjerumus ke dalam
tindakan-tindakan yang diharamkan .
Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata,
لَا يَبِعْ فِيْ سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ يَفْقَهُ، وَإِلِا
أَكَلَ الرِّباَ
“Yang boleh berjualan di pasar kami ini hanyalah orang-orang yang faqih
(paham akan ilmu agama), karena jika tidak, maka dia akan menerjang riba.”
Berikut beberapa syarat sah jual beli -yang kami rangkum dari kitab
Taudhihul ahkam 4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan beberapa referensi
lainnya- untuk diketahui dan direalisasikan dalam praktek jual beli agar tidak
terjerumus ke dalam praktek perniagaan yang menyimpang.
Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik
penjual maupun pembeli, yaitu:
• Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan
sukarela, tanpa ada paksaan. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…”
(QS. An-Nisaa’: 29)
• Kedua belah pihak berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni
dia adalah seorang mukallaf dan rasyid (memiliki kemampuan dalam mengatur
uang), sehingga tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang tidak
cakap, orang gila atau orang yang dipaksa (Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal.
92). Hal ini merupakan salah satu bukti keadilan agama ini yang berupaya
melindungi hak milik manusia dari kezaliman, karena seseorang yang gila, safiih
(tidak cakap dalam bertransaksi) atau orang yang dipaksa, tidak mampu untuk
membedakan transaksi mana yang baik dan buruk bagi dirinya sehingga dirinya
rentan dirugikan dalam transaksi yang dilakukannya. Wallahu a’lam.
Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan,
syarat-syaratnya yaitu:
• Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan
barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram,
karena barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.
• Objek jual beli merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang
yang bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503,
Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434;
dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan
miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang
dilakukannya, karena yang menjadi tolok ukur dalam perkara muamalah adalah rida
pemilik. (Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 24). Hal ini ditunjukkan oleh
persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan Urwah tatkala
beliau memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau. (HR. Bukhari bab 28
nomor 3642)
• Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung
yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan
semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan
karena mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat
diserahkan.
• Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh
kedua belah pihak sehingga terhindar dari gharar. Abu Hurairah berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual
beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang
akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim: 1513)
Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu
barang ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ
بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi
seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya
sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu
Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh
Salim bin ‘Ied Al Hilali)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ
فِي النَّارِ
“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari
golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu
Hibban 567, Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah
IV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)
Terakhir, Jual Beli Bukanlah Riba
Sebagian orang beranggapan bahwa jual beli tidaklah berbeda dengan riba,
anggapan mereka ini dilandasi kenyataan bahwa terkadang para pedagang mengambil
keuntungan yang sangat besar dari pembeli. Atas dasar inilah mereka menyamakan
antara jual beli dan riba?!. Alasan ini sangat keliru, Allah ta’ala telah
menampik anggapan seperti ini. Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا
يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275)
Tidak ada pembatasan keuntungan tertentu sehingga diharamkan untuk
mengambil keuntungan yang lebih dari harga pasar, akan tetapi semua itu
tergantung pada hukum permintaan dan penawaran, tanpa menghilangkan sikap
santun dan toleran (disadur dari Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 87 dengan
beberapa penyesuaian). Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui
tatkala sahabatnya Urwah mengambil keuntungan dua kali lipat dari harga pasar
tatkala diperintah untuk membeli seekor kambing buat beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)
C. Dasar Hukum Bisnis Dalam Islam
Dalam term fikih, jual beli biasanya disebut dengan istilah (البيع) yang
memiliki arti menjual, atau menukar sesuatu dengan yang lain. Penggunaan kata
jual (البيع) dalam bahasa Arab biasanya tidak terlepas dari kata beli (الشراء).
Berdasarkan pemaknaan tersebut, maka term (البيع) tidak saja berarti jual tapi
juga beli. Terlepas dari pengertian di atas, jika ditinjau dari sudut yang
lebih umum, maka perdagangan atau jual beli yang merupakan nadi perekonomian
umat ternyata mendapat legalitas yang sangat kuat dalam hukum Islam.
Dalam hal ini, hukum dan aturan jual beli dalam Islam menjadi hal yang
sangat diprioritaskan. Hal tersebut dikarenakan jika akad jual belinya tidak
sesuai dengan tata aturan yang ditetapkan oleh syariat, maka dapat dipastikan
akad jual beli yang berlangsung tidak bisa dianggap sah. Jika demikian
keadaannya, maka akan terjadi kezaliman terhadap pihak lain yang saling
malakukan transaksi, padahal Islam senantiasa mengatur umatnya agar hidup
berdampingan, dan tidak saling merugikan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan
jual beli Islam telah menetapkan tata aturan yang secaa detail disebutkan dalam
ilmu fikih muamalah. Adapun dasar hukum yang menjelaskan tentang jual beli
dapat dilihat dalam penjelasan ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut:
Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 275:
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat di atas merupakan dalil naqli mengenai diperbolehkannya akad jual
beli. Atas dasar ayat inilah, maka manusia dihalalkan oleh Allah melakukan
praktik jual beli dan diharamkan melakukan praktik riba.
Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 282:
...وَأَشْهِدُوْا إِذَا تَبَايَعْتُمْ...
“... dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.”
Berbeda dengan ayat yang pertama, ayat ini yaitu menjelaskan secara teknis
dalam jual beli, bagaimana seharusnya praktik jual beli yang benar yang benar
tersebutdijalankan. Berkaitan dengan ayat di atas, telah sama-sama kita ketahui
bahwa akad jual beli merupakan suatu bentuk transaksi yang dilakukan antara dua
orang atau lebih untuk saling memenuhi kebutuhan keseharian mereka. Akan tetapi
terkadang terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sehingga dalam proses jual
beli tersebut ada baiknya manakala didatangkan saksi atau alat bukti lain yang menunjukkan
transaksi tersebut. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesaksian atau
bukti bahwa kedua belah pihak tersebut betul-betul telah melakukan akad jual
beli. Oleh karena itu, Al-qur’an mengajarkan agar dalam praktik jual beli
hendaknya ada saksi yang menyatakan keabsahan transaksi jual beli antara kedua
belah pihak.
Al-Qur’an Surah an-Nisa’ ayat 29:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
suka-sama suka di antara kamu.”
Ayat ini melarang manusia untuk melakukan perbuatan tercela dalam
mendapatkan harta. Allah melarang manusia untuk tidak melakukan penipuan,
kebohongan, perampasan, pencurian atau perbuatan lain secara batil untuk
mendapatkan harta benda. Tetapi diperbolehkan mencari harta dengan cara jual
beli yang baik yaitu didasari atas suka sama suka.
Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 198:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُواْ فَضْلاً مِّن
رَّبِّكُمْ
“Tidak ada bagimu untuk mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari
Tuhamu.”
Penjelasan yang dapat dipetik dari ayat tersebut adalah bahwa, perniagaan
adalah jalan yang paling baik dalam mendapatkan harta, di antara jalan yang
lain. Asalkan jual beli dilakukan dengan syarat dan ketentuan yang telah diatur
oleh syariat.
Berkaitan dengan jual beli, rasulullah SAW pernah ditanya oleh salah satu
sahabatnya mengenai pekerjaan yang baik, maka jawaban beliau ketika itu adalah
jual beli. Peristiwa ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis:
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ الْكَسْبِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ: عَمَلُ
الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ
“Dari Rifa’ah bin Rafi’ ra. Ia berkata, bahwasannya Rasulullah SAW pernah ditanya: Usaha apakah yang paling
halal itu (ya Rasulullah ) ? Maka beliau menjawab, “Yaitu pekerjaan seseorang
dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli itu baik.” (HR. Imam Bazzar. Imam
Hakim menyatakan shahihnya hadits ini)
Dasar – dasar hukum bisnis dalam Islam terdapat di Al-Qur’an antara lain: Surat
An-Nisa’ : 29
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä
w (#þqè=à2ù's?
Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ)
br&
cqä3s?
¸ot»pgÏB
`tã
<Ú#ts?
öNä3ZÏiB 4 wur
(#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ)
©!$# tb%x. öNä3Î/
$VJÏmu ÇËÒÈ
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.”
1.
At-Taubah :
24
ö@è%
bÎ)
tb%x.
öNä.ät!$t/#uä
öNà2ät!$oYö/r&ur öNä3çRºuq÷zÎ)ur ö/ä3ã_ºurør&ur óOä3è?uϱtãur îAºuqøBr&ur $ydqßJçGøùutIø%$#
×ot»pgÏBur
tböqt±ørB $ydy$|¡x.
ß`Å3»|¡tBur
!$ygtRöq|Êös? ¡=ymr&
Nà6øs9Î)
ÆÏiB
«!$# ¾Ï&Î!qßuur
7$ygÅ_ur
Îû
¾Ï&Î#Î7y (#qÝÁ/utIsù 4Ó®Lym
ÎAù't ª!$#
¾ÍnÍöDr'Î/
3
ª!$#ur w
Ïöku
tPöqs)ø9$# úüÉ)Å¡»xÿø9$#
ÇËÍÈ
Artinya
: “Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara,
isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan
yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
2. An-Nur : 37
×A%y`Í w
öNÍkÎgù=è?
×ot»pgÏB
wur ììøt/
`tã
Ìø.Ï «!$#
ÏQ$s%Î)ur
Ío4qn=¢Á9$#
Ïä!$tGÎ)ur
Ío4qx.¨9$#
tbqèù$ss $YBöqt Ü=¯=s)tGs?
ÏmÏù
ÛUqè=à)ø9$#
ã»|Áö/F{$#ur
ÇÌÐÈ
Artinya: “laki-laki
yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan
zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan
menjadi goncang.”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bisnis diartikan sebagai suatu kegiatan
yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan atau
rizki dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya dengan cara
mengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan efisien.
Dasar – dasar hukum bisnis dalam Islam terdapat di
Al-Qur’an antara lain: dalam surat An-Nisa’ : 29, At-Taubah : 24, An-Nur : 37, dan lain-lain.
Adapun
etika dalam bisnis Islam antara lain:
1.
Kesatuan (Tauhid/Unity)
2.
Keseimbangan (Equilibrium/Adil)
3.
Kehendak Bebas (Free Will)
4.
Tanggungjawab (Responsibility)
5.
Kebenaran; Kebajikan dan Kejujuran
Panduan
Rasulullah SAW. dalam etika berbisnis antara lain prinsip dalam bisnis adalah
kejujuran, kesadaran tentang kegiatan bisnis, tidak melakukan sumpah palsu,
ramah-tamah, tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, tidak boleh
menjelekkan bisnis orang lain, tidak melakukan ihtikar, ukuran dan
timbangan yang benar, bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah, membayar
upah sebelum kering keringat karyawan, tidak monopoli, tidak boleh melakukan
bisnis yang dapat merugikan dan merusak, barang yang dijual adalah barang yang
suci dan halal, bisnis dilakukan dengan sukarela, menyegerakan melunasi kredit,
memberi tenggang waktu kepada pengutang, dan bisnis dilaksanakan dengan cara
yang bersih dari unsur riba.
Bisnis dalam Islam
bertujuan unutk mencapai empat hal utama yaitu antara lain (1) target hasil: profit-materi dan
benefit-nonmateri, (2) pertumbuhan, (3) keberlangsungan, (4) keberkahan.
B. Saran
Mungkin hanya ini yang dapat kami
sampaikan dalam pembahasan materi Jabariyah dan Qadariyah.Jikalau pembaca
mempunyai pertanyaanyang ingin di tanyakan maka InsyaAllah kami akan
menjawabnya agar para pembaca lebih mampu memahami isi materi yang kami
sampaikan.Jika kami belum bisa menjawabnya,maka kami mohon maaf.Sesungguhnya
kesempurnaan hanya lah milik Allah SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Muslich, Etika Bisnis Islami; Landasan
Filosofis, Normatif, dan Substansi Implementatif, Yogyakarta: Ekonisia
Fakultas Ekonomin UII, 2004.
Yusanto, Muhammad Ismail dan Muhammad Karebet
Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, Jakarta: Gema Insani Press,
2002.
Internet
http://icancina.blogspot.com/2012/03/bisnis-dalam-islam-i-pendahuluan-iman.html, diakses pada hari senin tanggal 31-03-2014 pukul
20:00 WIB.
http://habaget.com/makalah-etika-bisnis-dalam-ekonomi-islam/,
diakses pada hari senin tanggal 31-03-2014 pukul 21:30 WIB.
No comments:
Post a Comment