Friday, 22 October 2021

ASKEP PALIATIVE CARE PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK

 

DAFTAR ISI

Contents

KATA PENGANTAR.. 1

DAFTAR ISI 2

BAB I. 3

PENDAHULUAN.. 3

A.     Latar belakang. 3

B.     Tujuan. 4

C.     Rumusan masalah. 4

BAB II. 5

KONSEP GAGAL GINJAL KRONIK.. 5

A.     Definisi 5

C.     Patofisiologi 7

D.     Manifestasi Klinis. 9

E.     Komplikasi 11

BAB III. 12

KONSEP PERAWATAN PALIATIF CARE.. 12

A.     Definisi 12

B.     Prinsip Perawatan Paliatif. 13

C.     Tim Paliatif. 14

D.     Tempat Perawatan Paliatif. 15

E.     Peran Perawat Dalam Pelaksanaan Proses Keperawatan Paliatif. 16

BAB III. 18

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK.. 18

1.      Pengkajian. 18

2.      Diagnosis keperawatan. 19

3.      Intervensi keperawatan. 20

4.Implementasi 21

5.      Evaluasi 21

BAB IV.. 22

PENUTUP. 22

A.     KESIMPULAN.. 22

DAFTAR PUSTAKA.. 23

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Gagal ginjal kronik (GGK) juga dikenal sebagai penyakit gagal ginjal tahap akhir, merupakan sindroma yang ditandai dengan kehilangan fungsi ginjal secara progresif dan ireversibel, saat ini angka kejadian gagal ginjal kronik meningkat secara pesat (Kizilcik et al. 2012). Meningkatnya jumlah pasien dengan gagal ginjal kronik menyebabkan kenaikan jumlah pasien yang menjalani hemodialisis.

Berdasarkan Data Laporan Tahunan United States Renal Data System (2013) disebutkan bahwa lebih dari 615.000 orang Amerika sedang dirawat karena gagal ginjal. Dari jumlah tersebut, lebih dari 430.000 adalah pasien dialisis dan lebih dari 185.000 melakukan transplantasi ginjal. 

Di Indonesia, prevalensi penyakit ginjal terus meningkat setiap tahunnya dari hasil survei Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), ada sekitar 12,5% atau 18 juta orang dewasa di Indonesia yang menderita penyakit ginjal  kronik dan pasien yang mengalami atau menderita penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) mencapai 100 ribu pasien dan diperkirakan akan terus bertambah.

Sehingga penyait ginjal kronik (PGK) saat ini telah diakui oleh badan PBB bidang kesehatan WHO, sebagai masalah kesehatan serius dunia. Baru kira-kira 30/1.000.000 penduduk masuk dalam penyakit ginjal tahap akhir. Di Indonesia, menurut data Asuransi Kesehatan (ASKES) sebanyak 80.000-90.000 orang memerlukan terapi pengganti ginjal (Tjempakasari, A., 2012 dalam Panjaitan, 2014).

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) kini telah menjadi persoalan kesehatan serius masyarakat di dunia. Menurut WHO (2012) penyakit ginjal dan saluran kemih telah menyebabkan kematian sekitar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit ini meduduki peringkat ke -12 tertinggi angka kematian atau peringkat tertinggi ke-17 angka kecacatan.

B.     Tujuan

1.      Mengetahui definisi gagal ginjal

2.      Mengetahui etiologi penyebab terjadinya gagal ginjal

3.      Mengetahui apa saja tanda dan gejala gagal ginjal

4.      Mengetahui komplikasi diagnosis medis dari gagal ginjal

5.      Mengetahui penatalaksanaan gagal ginjal

C.    Rumusan masalah

1.      Mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan sikap perawat dalam perawatan paliatif pada pasien gagal ginjal kronik

2.      Mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan praktik perawat dalam perawatan paliatif pada pasien gagal ginjal kronik

3.      Mengetahui hubungan antara sikap dengan praktik perawat dalam perawatan paliatif pada pasien gagal ginjal kronik.

4.      Mengetahui apakah ada perbedaan pengetahuan, sikap, praktik perawat dalam memberikan perawatan paliatif pada pasien gagal ginjal kronik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

KONSEP GAGAL GINJAL KRONIK

 

A.  Definisi

Gagal ginjal kronik (GGK) adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin, 2011 dalam Panjaitan, 2014).

Gagal ginjal kronik adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan maninfestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Digiulio,Jackson, dan Keogh, 2014)

 

Gagal ginjal kronik atau penyakit tahab akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun berifat progresif dan irreversible (Rendy & Margareth 2012). Chronic kidney disease adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tidak dapat dipilih dan dapat disebabkan oleh berbagai hal. Istilah uremia sendiri telah dipakai sebagai nama keadaan

selama lebih dari satu abad (Sibuea, Pangabean, 2005)

 

CKD atau gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer, 2013).

Gagal ginjal kronik merupakan suatu masalah kesehatan yang penting, mengingat selain prevalensi dan angka kejadiannya semakin meningkat juga pengobatan pengganti ginjal yang harus dialami oleh penderita gagal ginjal merupakan pengobatan yang mahal, butuh waktu dan kesabaran yang harusditanggung oleh penderita gagal ginjal dan keluarganya (Harrison, 2013). Jurnal JUMANTIK Volume 2 nomor 1, Mei 2017.

Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang menyebabkan ginjal tidak dapat membuang racun dan produk sisa dari darah (Black & Hawks, 2009).Volume 3 Nomor 1 April 2015

B.     Etiologi

Menurut Muttaqin dan Sari (2011) dan Digiulio,Jackson, dan Keogh (2014) begitu banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal  kronik. Akan tetapi apapun penyebabnya, respon yang terjadi adalah penurunan fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan GGK bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan luar ginjal. 

 

Penyebab dari ginjal : Penyakit pada saringan (glomerulus) : glomerulonefritis, Infeksi kuman : pyelonefritis, ureteritis, Batu ginjal : nefrolitiasis, Kista diginjal : polcytis kidney, Trauma langsung pada ginjal , Keganasan pada ginjal, sumbatan : batu ginjal, penyempitan/striktur.

 

Penyebab umum di luar ginjal : Penyakit sistemik: diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi, Dyslipidermia, Infeksi di badan : TBC Paru, sifilis, malaria, hepatitis, Preklamsi, Obat-obatan, Kehilangan banyak cairan yang mendadak (kecelakan) dan toksik.  

Angka Perjalanan ESRD hingga tahap terminal dapat bervariasi dari 2-3 bulan hingga 30-40 tahun. Penyebab gagal ginjal kronik yang tersering dapat dibagi menjadi tujuh kelas seperti pada tabel berikut ini (Brunner & Suddarth, 2011).

 

 

 

 

Tabel 2.1 Penyebab gagal ginjal

No

Klasifikasi Penyakit

Penyakit

1.

Penyakit infeksi Pielonefritis kronis dan refluks nefropati tubulointerstitial

 

2.

Penyakit peradangan

Glomerulonefritis

3.

Penyakit vaskuler hipertensi Nefrosklerosis benign, Nefrosklerosis

maligna dan stenosis arteri renalis

4.

Gangguan kongenital dan Penyakit ginjal polikistik dan asidosis herediter

tubulus ginjal

5.

Penyakit metabolic

Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme dan amiloidosis.

6.

Nefropati toksik

Penyalahgunaan analgesik dan nefropati timah

7.

Nefropati obstruktif

batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal, hipertropi prostat, striktur urethra

 

Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai penyakit, seperti glomerolunefritis akut, gagal ginjal akut, penyakit ginjal polikistik, obstruksi saluran kemih, pielonefritis, nefrotoksin, dan penyakit sistemik, seperti diabetes melitus, hipertensi, lupus eritematosus, poliartritis, penyakit sel sabit, serta amiloidosis (Bayhakki, 2013). Jurnal JUMANTIK Volume 2 nomor 1, Mei 2017

C.  Patofisiologi

Gagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR. Stadium gagal ginjal kronis didasarkan pada tingkat GFR (Glomerular Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup :

a.       Penurunan cadangan ginjal Yang terjadi bila GFR turun 50% dari normal (penurunan fungsi ginjal), tetapi tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron yang sehat mengkompensasi nefron yang sudah rusak, dan penurunan kemampuan mengkonsentrasi urin, menyebabkan nocturia dan poliuri. 

b.      Insufisiensi ginjal Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 – 35% dari normal. Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulasi sisa metabolik dalam darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretic, menyebabkan oliguri, edema. Derajat insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang dan berat, tergantung dari GFR, sehingga perlu pengobatan medis.

c.       Gagal ginjal yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal.

d.      Penyakit gagal ginjal stadium akhir Terjadi bila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubulus. Akumulasi sisa metabolic dalam jumlah banyak seperti ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal sudah tidak mampu mempertahankan homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa atau penggantian ginjal. (Corwin, 2011).

Patogenesis gagal ginjal kronik melibatkan penurunan dan kerusakan nefron yang diikuti kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Total laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun dan klirens menurun, BUN dan kreatinin meningkat. Nefron yang masih tersisa mengalami hipertrofi akibat usaha menyaring jumlah cairan yang lebih banyak. Akibatnya, ginjal kehilangan kemampuan memekatkan urine. Tahapan untuk melanjutkan ekskresi, sejumlah besar urine dikeluarkan, yang menyebabkan klien mengalami kekurangan cairan. Tubulus secara bertahap kehilangan kemampuan menyerap elektrolit. Biasanya, urine yang dibuang mengandung banyak sodium sehingga terjadi poliuri (Bayhakki, 2013). Jurnal JUMANTIK Volume 2 nomor 1, Mei 2017.

Penyakit gagal ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang men-dasarinya, tapi dalam perkem-bangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Mula-mula karena adanya zat toksik, infeksi dan obstruksi saluran kemih yang menyebab-kan retensi urine. Dari penyebab tersebut, Glomerular Filtration Rate (GFR) di seluruh massa nefron turun dibawah normal. Hal yang dapat terjadi dari menurunnya GFR meliputi: sekresi protein terganggu, retensi Na dan sekresi eritropoitin turun. Hal ini mengakibatkan terjadinya sindrom uremia yang diikuti oleh peningkatan asam lambung dan pruritus. Asam lambung yang meningkat akan merangsang rasa mual, dapat juga terjadi iritasi pada lambung dan perdarahan jika iritasi tersebut tidak ditangani yang dapat menyebabkan melena.

Proses retensi Na menyebabkan total cairan ekstra seluler meningkat, kemudian terjadilah edema. Edema tersebut menyebabkan beban jantung naik sehingga adanya hipertrofi ventrikel kiri dan curah jantung menurun. Proses hipertrofi tersebut diikuti juga dengan menurunnya cardiac output yang menyebabkan menurun-nya aliran darah ke ginjal, kemudian terjadilah retensi Na dan H2O meningkat. Hal ini menyebabkan kelebihan volume cairan pada pasien GGK. Selain itu menurunnya cardiac output juga dapat menyebabkan suplai oksigen kejaringan mengalami penurunan menjadikan metabolisme anaerob menyebabkan timbunan asam meningkat sehingga nyeri sendi terjadi, selain itu cardiac output juga dapat mengakibatkan penurunan suplai oksigen keotak yang dapat meng-akibatkan kehilangan kesada-ran.   Hipertrofi ventrikel akan mengakibatkan payah jantung kiri sehingga bendungan atrium kiri naik, mengakibatkan tekanan vena pulmonalis sehingga kapiler paru naik terjadi edema paru yang mengakibatkan difusi O2 dan CO2 terhambat sehingga pasien merasakan sesak. Adapun Hb yang menurun akan mengakibatkan suplai O2 Hb turun dan pasien GGK akan mengalami kelemahan atau gangguan perfusi jaringan. (Corwin,2009)

 

Klasifikasi chronick kidney disease menurut Smeltzer & Bare  (2006) berdasarkan dari stadium tingkat penurunan GFR adalah sebagai berikut :

1.      Stadium 1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal (90 atau lebih).

2.      Stadium 2 : Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60-89).

3.      Stadium 3: Penurunan lanjut pada GFR (30-59)

4.      Stadium 4 : Penurunan berat pada GFR (15-29)

5.      Stadium 5 : Kegagalan ginjal (GFR di bawah 15)

 

D.  Manifestasi Klinis

          Pada gagal ginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, oleh karena itu pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari adalah usia pasien. Berikut merupakan tanda dan gejala gagal ginjal kronis (Brunner & Suddarth, 2011)

a.       Kardiovaskuler yaitu yang ditandai dengan adanya hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital, friction rub pericardial, serta pembesaran vena leher.

b.      Integumen yaitu yang ditandai dengan warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering dan bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh serta rambut tipis dan kasar 

c.       Pulmoner yaitu yang ditandai dengan krekeis, sputum kental dan liat, napas dangkal seta pernapasan kussmaul.

d.      Gastrointestinal yaitu yang ditandai dengan napas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare, serta perdarahan dari saluran GI.

e.       Neurologi yaitu yang ditandai dengan kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, serta perubahan perilaku.

f.       Muskuloskletal yaitu yang ditandai dengan kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang serta foot drop. 

g.      Reproduktif yaitu yang ditandai dengan amenore dan atrofi testikuler.

            Tahapan penyakit gagal ginjal kronis berlangsung secara terus-menerus dari waktu ke waktu. The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) dalam Saragih, 2010 mengklasifikasikan gagal ginjal kronis sebagai berikut:

a.       Stadium 1: kerusakan masih normal (GFR >90 mL/min/1.73 m2) 

b.      Stadium 2: ringan (GFR 60-89 mL/min/1.73 m2) 

c.       Stadium 3: sedang (GFR 30-59 mL/min/1.73 m2) 

d.      Stadium 4: gagal berat (GFR 15-29 mL/min/1.73 m2) 

e.       Stadium 5: gagal ginjal terminal (GFR <15 mL/min/1.73 m2) 

Pada gagal ginjal kronis tahap 1 dan 2 tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan ginjal termasuk komposisi darah yang abnormal atau urin yang abnormal (Arora, 2009 dalam Panjaitan, 2014).

E.     Komplikasi

Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronik adalah (Prabowo, 2014):

1.    Penyakit tulang,

2.    Penyakit kardiovaskuler,

3.    Anemia, dan

4.    Disfungsi seksual. Jurnal JUMANTIK Volume 2 nomor 1, Mei 2017.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KONSEP PERAWATAN PALIATIF CARE

A.    Definisi

Ungkapan “palliative” berasal dari bahasa latin yaitu “pallium” yang artinya adalah menutupi atau menyembunyikan. Perawatan paliatif ditujukan untuk menutupi atau menyembunyikan keluhan pasien dan memberikan kenyamamanan ketika tujuan penatalaksanaan tidak mungkin disembuhkan (Muckaden,2011).

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalahmasalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (Kepmenkes RI Nomor: 812, 2017).

World Health Organization (WHO) menyatakan “perawatan paliatif meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam nyawa,dengan memberikan penghilang rasa sakit dan gejala, dukungan spiritual dan psikososial, sejak tegaknya diagnosis hingga akhir kehidupan serta periode kehilangan anggota keluarga yang sakit”. Dan menekankan bahwa dalam memberikan pelayanan paliatif harus berpijak pada pola sebagai berikut:

a.       meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses yang normal. Kualitas hidup seseorang ditentukan oleh individu itu sendiri, karena sifatnya sangat spesifik, dan bersifat abstrak, sulit diukur. Walaupun demikian, seorang tenaga medis, bersama penderita yang dibantu oleh keluarga harus mampu menyingkap, bagaimana kualitas hidup yang di inginkan oleh penderita dan bagaimana cara meraih dan mencapainya. Sebagai pedoman, Jennifer J Clinch dan Harvey Schipper memberikan 10 dimensi kualitas hidup yang mendekati parameter untuk pengukuran objektif : 

1) Kondisi fisik (gejala dan nyeri) 

2) Kemampuan fungsional (aktifitas) 

3) Kesejahteraan keluarga  

4) Kesejahteraan emosi 

5) Spiritual 

6) Fungsi sosial 

7) Kepuasan pada layanan terapi (termasuk pendanaan) 

8) Orientasi masa depan (rencana dan harapan) 

9) Seksualitas (termasuk “body image”) 

10) Fungsi okupasi  (Doyle, 2013) 

b.      tidak mempercepat atau menunda kematian.

c.       menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang mengganggu.

d.      menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.

e.       mengusahakan agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya.

f.       mengusahakan dan membantu mengatasi suasana duka cita pada keluarga (Djauzi et al, 2003 dalam Ningsih 2011 ).

 

B.     Prinsip Perawatan Paliatif

Dalam memberikan perawatan paliatif sangat penting memperhatikan prinsip-prinsipnya.  Commitee on Bioethic and Committee on Hospital Care (2000) dalam Ningsih (2011) mengembangkan untuk pengamanan praktik dan standar minimum dalam meningkatkan kesejahteraan dengan kondisi hidup yang terbatas dan keluarganya, dengan tujuan memberikan  dukungan yang efektif selama pengobatan, dan memperpanjang kehidupan. Prinsip  dasarnya terintegrasi pada model perawatan paliatif yang meliputi  :

a.       Menghormati serta menghargai pasien dan keluarganya. 

Dalam memberikan perawatan  paliatif, perawat harus menghargai dan menghormati keingingan pasien dan keluarga. Sesuai dengan prinsip menghormati maka informasi tentang perawatan paliatif harus disiapkan untuk pasien dan keluarga, yang  mungkin memilih untuk mengawali program perawatan paliatif. Kebutuhankebutuhan keluarga harus diadakan/disiapkan selama sakit dan setelah pasien meninggal untuk meningkatkan kemampuannya dalam menghadapi cobaan berat.  

b.      Kesempatan atau hak mendapatkan kepuasan dan perawatan paliatif yang pantas. 

Pada kondisi  untuk menghilangkan nyeri dan keluhan fisik lainnya maka petugas kesehatan harus memberikan kesempatan pengobatan yang sesuai untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, terapi lain meliputi pendidikan, kehilangan dan penyuluhan pada keluarga, dukungan teman sebaya, terapi musik, dan dukungan spiritual pada keluarga dan saudara kandung, serta  perawatan menjelang ajal.   

c.       Mendukung pemberi perawatan (caregiver).  

Pelayanan keperawatan yang profesional harus  didukung oleh tim perawatan paliatif, rekan kerjanya, dan institusi  untuk penanganan proses berduka dan kematian. Dukungan dari institusi seperti penyuluhan secara rutin dari ahli psikologi atau penanganan lain. 

d.      Pengembangan profesi dan dukungan sosial untuk  perawatan paliatif  Penyuluhan pada masyarakat tentang kesadaran akan kebutuhan perawatan untuk pasien dan nilai perawatan paliatif serta usaha untuk mempersiapkan serta memperbaiki hambatan secara ekonomi. Perawatan paliatif merupakan area kekhususan karena sejumlah klien meninggal  serta kebutuhannya akan perawatan paliatif lebih ke  pemberian jangka panjang, perawatan yang dibutuhkan tidak hanya kebutuhan fisik klien tetapi juga kebutuhan, emosi, pendidikan dan kebutuhan sosial,  serta  keluarganya.

 

C.    Tim Paliatif

Perawatan paliatif pendekatannya melibatkan berbagai disiplin yang  meliputi pekerja sosial, ahli agama,  perawat, dokter (dokter ahli atau dokter umum) dalam merawat klien kondisi terminal/sekarat dengan membantu keluarga yang berfokus pada perawatan yang komplek meliputi : masalah fisik, emosional, sosial dan spiritual. Anggota tim yang lain adalah ahli psikologis, fisioterapi, dan okupasi terapi. Masing-masing profesi terlibat sesuai dengan masalah yang dihadapi penderita, dan penyusunan tim perawatan paliatif disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan tempat perawatannya. Anggota tim perawatan paliatif dapat memberikan kontribusi sesuai dengan keahliannya (Djauzi, et al, 2003 dalam Ningsih, 2011).

D.    Tempat Perawatan Paliatif

Menurut Muckaden (2011) dalam memberikan perawatan paliatif harus dimulai saat didiagnosa dan diberikan selama mengalami sakit dan  dukungan untuk berduka. Penatalaksanaan awal secara total oleh tim paliatif akan memfasilitasi  ke  perawatan  yang  terbaik. Tempat  perawatan   paliatif   dapat dilaksanakan  rumah sakit,  hospice, atau di rumah klien. Keluarga dan anak agar dihargai dalam memilih tempat yang disukainya untuk mendapatkan perawatan bila memungkinkan. Tempat perawatan dibutuhkan pada pelayanan yang tepat dengan fasilitas kesehatan,  homecare atau sarana ke hospice terdekat. Tempat perawatan paliatif dapat dilaksanakan :

a.    Di rumah sakit 

Perawatan di rumah sakit diperlukan jika klien harus mendapat perawatan yang memerlukan pengawasan ketat, tindakan khusus atau peralatan khusus. Pemberian perawatan paliatif harus memperhatikan kepentingan pasien dan melaksanakan tindakan yang diperlukan meskipun prognosis klien memburuk serta harus mempertimbangkan manfaat dan  resikonya  sehingga perlu meminta dan melibatkan keluarga. 

b.    Di hospice 

Perawatan klien yang berada dalam keadaan tidak memerlukan  pengawasan ketat atau tindakan khusus serta belum dapat dirawat di rumah karena memerlukan pengawasan tenaga kesehatan. Perawatan  hospice  dapat dilakukan di rumah sakit, rumah atau rumah khusus perawatan paliatif, tetapi dengan pengawasan dokter atau tenaga kesehatan yang tidak ketat atau perawatan hospice homecare  yaitu perawatan di rumah dan secara teratur dikunjungi oleh dokter atau  petugas kesehatan apabila diperlukan. 

c.    Di rumah 

Pada perawatan di rumah, maka  peran keluarga lebih menonjol karena sebagian  perawatan  dilakukan   oleh  keluarga, dan keluarga sebagai  caregiver diberikan latihan pendidikan keperawatan   dasar. Perawatan   di   rumah    hanya mungkin dilakukan bila klien tidak memerlukan alat khusus atau keterampilan perawatan yang  tidak mungkin dilakukan oleh keluarga.

 

E.     Peran Perawat Dalam Pelaksanaan Proses Keperawatan Paliatif

Menurut Matzo dan Sherman (2006) dalam Ningsih (2011) peran perawat paliatif meliputi :

a.       Praktik di Klinik

Perawat memanfaatkan pengalamannya dalam mengkaji dan mengevaluasi keluhan serta nyeri. Perawat dan anggota tim berbagai keilmuan mengembangkan dan mengimplementasikan rencana perawatan secara menyeluruh. Perawat mengidentifikasikan pendekatan baru untuk mengatasi nyeri yang dikembangkan berdasarkan standar perawatan di rumah sakit untuk melaksanakan tindakan. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan keperawatan, maka keluhan sindroma nyeri yang komplek dapat perawat praktikan dengan melakukan pengukuran tingkat kenyamanan disertai dengan memanfaatkan inovasi, etik dan berdasarkan keilmuannya.

b.      Pendidik

Perawat memfasilitasi filosofi yang komplek,etik dan diskusi tentang penatalaksanaan keperawatan di klinik,mengkaji pasien dan keluarganya serta semua anggota tim menerima hasil yang positif. Perawat memperlihatkan dasar keilmuan/pendidikannya yang meliputi mengatasi nyeri neuropatik,berperan mengatasi konflik profesi, mencegah dukacita, dan resiko kehilangan. Perawat pendidik dengan tim lainnya seperti komite dan ahli farmasi, berdasarkan pedoman dari tim perawatan paliatif maka memberikan perawatan yang berbeda dan khusus dalam menggunakan obat-obatan intravena untuk mengatasi nyeri neuropatik yang tidak mudah diatasi.

c.       Peneliti  

Perawat menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui pertanyaanpertanyaan penelitian dan memulai pendekatan baru yang ditunjukan pada pertanyaan-pertanyaan penelitian. Perawat dapat meneliti dan terintegrasi pada penelitian perawatan paliatif.

d.      Bekerja sama (collaborator) 

Perawat sebagai penasihat anggota/staff dalam mengkaji bio-psiko-sosialspiritual dan penatalaksanaannya. Perawat membangun dan mempertahankan hubungan kolaborasi dan mengidentifikasi sumber dan kesempatan bekerja dengan tim perawatan paliatif,perawat memfasilitasi dalam mengembangkan dan mengimplementasikan anggota dalam pelayanan, kolaborasi perawat/dokter dan komite penasihat. Perawat memperlihatkan nilai-nilai kolaborasi dengan pasien dan keluarganya,dengan tim antar disiplin ilmu, dan tim kesehatan lainnya dalam memfasilitasi kemungkinan hasil terbaik.

e.       Penasihat (Consultan)

Perawat berkolaborasi dan berdiskusi dengan dokter, tim perawatan paliatif dan komite untuk menentukan tindakan yang sesuai dalam pertemuan/rapat tentang kebutuhan-kebutuhan pasien dan keluarganya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK

1.     Pengkajian

a.       Identitas pasien

Nama                     :Tn.A

Umur                     :43

Jenis kelamin         :laki-laki

Alamat                  : Bambi

Pekerjaan               : petani

b.      Riwayat penyakit

 

Analisa data

No

Data

Masalah

1.

DS:

Pasien mengatakan sesak nafas

DO:

Pasien terlihat pucat

Pasien menggunakan otot bantu pernafasan

akral pasien dingin

HB : 9,6 l

Terpasang oksigen 4L .

pola nafas tidak efektik

2.

DS:

Pasien mengatakan BAK sedikit

DO:

urine output per 24jm 300cc

Terdapat edema anasarka pada pasien

Turgor kulit pasien jelek

Balance cairan per24jm 249cc

ureum :159mg/dl

creatinin : 8,25mg/dl.

BB pasien 125kg

 TD : 150/100mmhg,

N : 110x/mnt

 S: 355C

RR : 28x/mnt

oliguria <

400ml/24jm.

Kelebihan volume

cairan

3.

DS:

pasien mengatakan gatal-gatal

DO:

Turgor kulit pasien jelek >3dt,

Terdapat edema anasarka pada pasien

Kulit pasien tampak kering dan tampak

bersisik serta tampak adanya

pruritus.

kerusakan

integritas kulit

 

 

2.      Diagnosis keperawatan

1.      pola nafas tidak efektik dengan etiologi hiperventilasi paru ditandai dengan sesak nafas, tampak pucat, menggunakan  otot bantu pernafasan, akral dingin, HB : 9,6 l dan terpasang oksigen 4L .

2.      kelebihan volume cairan dengan etiologi penurunan haluaran urine retensi cairan dan natrium ditandai dengan BAK sedikit, urine output per 24jm 300cc. terdapat edema anasarka, turgorkulit jelek, balance cairan per24jm 249cc, ureum : 159mg/dl creatinin : 8,25mg/dl. BB : 125kg saat sakit pada tanggal 13 april 2015, TD : 150/100mmhg, N : 110x/mnt, S : 35 5C, RR : 28x/mnt, oliguria < 400ml/24jm.

3.      Kerusakan integritas kulit dengan etiologi akumulasi toksin dalam kulit ditandai dengan gatal-gatal, turgor kulit jelek >3dtk, terdapat edema anasarka, kulit tampak kering dan tampak bersisik serta tampak adanya pruritus.

 

 

 

3.      Intervensi keperawatan

No

Diagnosis Keperawatan

Tujuan Dan Kriteria Hasil

Intervensi

1.

pola nafas tidak efektik dengan etiologi hiperventilasi paru

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama1 x 24 jam Pasien tidak mengalami

sesak, dengan kriteria hasil:

1.      Sesak nafas berkurang.

2.      Pola pernafasan normal.

 

1.      Observasi

keadaan umum pasien

2.      Kaji TTV

3.      Monitoring pernafasan

4.      Atur posisi semi fawler

5.      Lakukan fisioterapi dada

6.      Ajarkan teknik nafas dalam

7.      Manajemen jalan nafas

8.      Memberikan terapi oksigen

2.

kelebihan volume cairan dengan etiologi penurunan haluaran urine retensi cairan dan natrium

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 2 x 24 jam dengan kriteria hasil:

1.volume cairan kembali normal

2. udema berkurang

3. TTV normal

 

1.      Observasi udema

2.      Lakukan tirah baring

3.      Menghitung jumlah cairan,output dan input

4.      Kaji TTV

5.      Pembatasan cairan

6.      Kolaborasi

3.

Kerusakan integritas kulit dengan etiologi akumulasi toksin dalam kulit

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 2 x 24 jam dengan kriteria hasil:

1.gatal-gatal pada kulit berkurang/sembuh

2. turgo kulit normal

3.udema berkurang

 

1.      Observasi keadaan kulit

2.      Memberikan perawatan kulit

3.      Anjurkan menggunakan pakaian yang longgar

4.      Lakukan kolaborasi

 

4.Implementasi

Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan tujuan spesifik. Implementasi dilakukan pada klien dengan  rematoid artritis  adalah dengan tindakan sesuai intervensi yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam tindakan ini diperlukan kerja sama antara perawat sebagai pelaksana asuhan keperawatan, tim kesehatan, klien dan keluarga agar asuhan keperawatan yang diberikan mampu berkesinambungan sehingga klien dan keluarga dapat menjadi mandiri.

 

5.      Evaluasi

Hasil asuhan keperawatan yang diharapkan adalah sebagai berikut :

1.      Pola pernafasan normal

2.      Volume cairan normal

3.      Turgo kulit normal

4.      Sesak nafas berkurang.

5.      gatal-gatal pada kulit berkurang/sembuh

6.      2. turgo kulit normal

7.      3.udema berkurang

8.      TTV normal

 

BAB IV

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Gagal ginjal kronik adalah Penyakit yang bisa timbul karena kerusakan pada filtrasi dan sekresi ginjal akan berujung pada gagal ginjal kronik atau disebut chronic kidney disease (CKD). Chronic kidney disease sendiri di sebabkan oleh beberapa faktor yaitu hipertensi, glomerulonefritis, nefropati analgesik, nefropati diabetic, nefropati refluk, ginjal polikistik, obstruksi dan gout (Mansjoer, 2007).

            Penyakit Ginjal Kronik (PGK) kini telah menjadi persoalan kesehatan serius masyarakat di dunia. Menurut WHO (2012) penyakit ginjal dan saluran kemih telah menyebabkan kematian sekitar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit ini meduduki peringkat ke -12 tertinggi angka kematian atau peringkat tertinggi ke-17 angka kecacatan. Pelayanan asuhan keperawatan ditujukan untuk mempertahankan, meningkatkan kesehatan dan menolong individu untuk mengatasi secara tepat masalah kesehatan sehari-hari, penyakit, kecelakaan, atau ketidakmampuan  bahkan kematian (Depkes,2005).

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalahmasalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (Kepmenkes RI Nomor: 812, 2017).

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Jual.2006.BukuSaku Diagnosa Keperawatan.Alih Bahasa Yasmi Asih, Edisike -10. Jakarta : EGC.

 

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku  Saku Patofisiologi Edisi 3.Jakarta: EGC

 

Digiulio, M, Jackson, D dan Keogh, J.2014.Keperawatan Medikal Bedah Demystified edisi 1. Alih bahasa khundazi Aulawi.Yogyakarta : Rapha Publishing

 

Doengoes, M.E.,. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaandan Pendokumentasian Perawatan Pasien, EGC, Jakarta  Hudak dan Gallo. 2011.

Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik.Edisi - VIII Jakarta: EGC.  Mansjoer, Arif, dkk. 2007.Kapita  Selekta Kedokteran, Edisi ke-3, Medica   Aesculpalus, FKUI. Jakarta.

 

Muttaqin, A dan Sari, K.  2011.Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.Banjarmasin: Salemba Medika

 

Rendy, M Clevo dan Margareth TH.  2012.Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Penyakit Dalam.Yogyakarta : Nuha Medika

 

Semeltzer, S. C. and Bare, B. G.  2006. Buku Ajaran Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Alih Bahasa H. Y. Kuncara, Monica Ester, Yasmin Asih, Jakarta : EGC.

 

Sibuea. H, Panggabean. M, dan  Gultam. S. 2005. Ilmu Penyakit Dalam. Rineka Cipta: Jakarta

No comments:

Post a Comment