DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i...........
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A. Latar
Belakang....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3
A. Karakteristik
Dan Penyebaran Lahan Masam....................................... 3
B. Potensi Lahan Masam........................................................................... 5
C. Ketersediaan
Lahan Dan Peluang Perluasan Areal Pertanian............... 6
BAB III PENUTUP............................................................................................. 11
A.
Kesimpulan.......................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Potensi
sumber daya lahan Indonesia cukup besar yang memiliki wilayah daratan sekitar
188,2 juta ha, terdiri atas 148 juta lahan kering dan sisanya berupa lahan
basah termasuk lahan rawa (gambut,
pasang surut, lebak)
dan lahan yang
sudah menjadi sawah permanen.
Keragaman tanah, bahan
induk, fisiografi, elevasi,
iklim, dan lingkungannya menjadikan sumber daya lahan yang beranekaragam, baik
potensi maupun tingkat kesesuaian lahannya untuk berbagai komoditas pertanian.
Variasi iklim dan curah hujan yang relatif tinggi di sebagian besar wilayah
Indonesia mengakibatkan tingkat pencucian basa di dalam tanah cukup intensif,
sehingga kandungan basa-basa rendah dan tanah menjadi masam (Subagyo et al.,
2000). Hal ini yang menyebabkan sebagian besar
tanah di lahan
kering bereaksi masam
(pH 4,6-5,5) dan miskin unsur hara, yang umumnya terbentuk
dari tanah mineral. Mulyani et al. (2004) telah mengidentifikasi lahan kering
masam berdasarkan data sumber daya lahan eksplorasi skala 1:1.000.000, yaitu
dari total lahan kering sekitar 148 juta ha dapat dikelompokkan menjadi lahan
kering masam 102,8 juta ha dan lahan kering tidak masam seluas 45,2 juta ha.
Sedangkan
di lahan basah, lahan masam ditemukan pada lahan sawah yang berasal dari bahan
mineral berpelapukan lanjut dan pada lahan rawa terutama terdapat di lahan
sulfat masam serta tanah organik (gambut). Lahan rawa di Indonesia luasnya
cukup luas sekitar 33,4-39,4 juta ha (Widjaja-Adhi et al., 2000), menyebar dominan
di Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua. Lahan rawa
tersebut terdiri atas lahan rawa pasang surut 23,1 juta ha dan lahan rawa lebak
13,3 juta ha
Berdasarkan
uraian di atas menunjukkan bahwa sebagian besar lahan daratan Indonesia
termasuk pada lahan masam, yang sebagian telah dimanfaatkan untuk memproduksi
berbagai jenis komoditas pertanian, baik tanaman pangan maupun tanaman tahunan
(perkebunan dan hortikultura). Ciri utama lahan masam adalah tingkat
produktivitas lahannya yang rendah untuk beberapa jenis tanaman terutama
tanaman pangan utama seperti padi, jagung, kedelai, sehingga untuk meningkatkan
produktivitasnya diperlukan pemupukan berimbang (pupuk organik dan anorganik),
bahkan untuk meningkatkan pH tanah diperlukan pengapuran.
Makalah
ini akan memberikan informasi penyebaran dan karakteristik lahan masam, potensi
lahannya serta ketersediaan- nya untuk pengembangan pertanian di masa yang akan
datang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Karakteristik Dan Penyebaran Lahan Masam
- Karakteristik
dan Penyebaran Lahan Kering Masam
Secara umum, lahan
kering dapat didefinisikan sebagai suatu
hamparan lahan yang
tidak pernah digenangi
atau tergenang air pada sebagian
besar waktu dalam setahun. Lahan kering masam adalah lahan yang mempunyai
sifat-sifat seperti pH rendah, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa
(KB) dan C- organik rendah, kandungan
aluminium (kejenuhan Al)
tinggi, fiksasi P tinggi, kandungann besi dan mangan mendekati batas
meracuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan Sudjadi,
1993; Soepardi, 2001). Tingginya curah hujan di sebagian wilayah Indonesia
menyebabkan tingkat pencucian hara tinggi terutama basa-basa, sehingga
basa-basa dalam tanah akan segera tercuci keluar lingkungan tanah dan yang
tinggal dalam kompleks adsorpsi liat dan humus adalah ion H dan Al. Akibatnya
tanah menjadi bereaksi masam dengan kejenuhan basa rendah, dan menunjukkan
kejenuhan aluminium yang tinggi (Subagyo et al., 2000). Selain itu, tanah-tanah
yang terbentuk umumnya merupakan tanah berpenampang dalam, berwarna
merah-kuning, dan mempunyai kesuburan alami yang rendah.
Untuk mengetahui luas
dan penyebaran lahan masam di Indonesia, telah dilakukan pengelompokan lahan
berdasarkan karakteristik tanah yang ada pada basis data Sumber Daya Tanah
Eksplorasi Indonesia skala 1:1.000.000 (Puslitbangtanak, 2000). Ordo tanah yang
ditemukan di Indonesia ada 10 yaitu Histosols, Entisols, Inceptisols, Alfisols,
Mollisols, Vertisols, Ultisols, Oxisols, Andisols, dan Spodosols. Semua ordo
Histosol (gambut) dan ordo tanah lainnya yang mempunyai rezim kelembapan aquik
dikelompokkan menjadi lahan basah, dan sisanya menjadi lahan kering. Lahan
kering dipilah lebih lanjut menjadi lahan kering masam dan non-masam. Lahan
kering bertanah masam dicirikan dengan pH < 5,0 dan kejenuhan basa < 50%,
yang tergolong pada tanah-tanah yang mempunyai sifat distrik. Sebaliknya lahan
yang bertanah tidak masam adalah lahan dengan pH > 5,0 dan kejenuhan basa
> 50%, yang tergolong pada tanah-tanah yang bersifat eutrik (Hidayat dan
Mulyani, 2002). Tanah-tanah yang umumnya mempunyai pH masam di lahan kering
adalah ordo Entisols, Inceptisols, Ultisols,
Oxisols, dan Spodosols
terutama yang mempunyai iklim basah dengan curah hujan tinggi
(kelembapan udik). Sedangkan lahan kering yang tidak masam umumnya terdiri
atas ordo Inceptisols, Vertisols,
Mollisols, Andisols, dan Alfisols, yang berada pada daerah beriklim
kering (rezim kelembapan ustik).
- Karakteristik
dan penyebaran lahan rawa masam
Lahan rawa pasang surut
merupakan rawa pantai pasang surut di dekat muara sungai besar yang dipengaruhi
secara langsung oleh aktivitas air laut. Pada wilayah pasang surut karena
lingkungannya selalu jenuh air dan tergenang, terdapat dua jenis utama yaitu
tanah mineral (mineral
soils) jenuh air
dan tanah gambut (peat soils).
Tanah mineral yang
dijumpai di wilayah pasang surut terbentuk dari bahan endapan marin yang proses
pengendapan- nya dipengaruhi air laut. Pada wilayah agak ke dalam, pengaruh
sungai relatif masih kuat sehingga tanah bagian atas terbentuk dari endapan
sungai sedangkan bagian bawah terdapat bahan sulfidik (pirit) dari pengendapan
lumpur yang terjadi lebih dahulu. Berdasarkan tipologi lahannya, dibedakan
menjadi lahan sulfat masam potensial (SMP) dan lahan sulfat masam aktual (SMA).
Lahan SMP merupakan lahan yang mempunyai bahan sulfidik (pirit) pada kedalaman
0-100 cm dari permukaan tanah, mempunyai
pH > 3,5
yang makin tinggi
selaras dengan kedalaman tanah.
Sedangkan lahan SMA mempunyai pH tanah lapang
< 3,5, mempunyai
horizon sulfurik atau
tanda-tanda horizon sulfurik yang disebabkan teroksidasinya pirit akibat
drainase berlebihan.
Tanah gambut terbentuk
dari lapukan bahan organik yang berasal dari penumpukan sisa jaringan tumbuhan
pada masa lampau, dengan kedalaman bervariasi tergantung keadaan topografi
tanah mineral di bawah lapisan gambut. Tingkat dekomposisi bahan
organik dapat dibedakan
menjadi tiga tingkatan yaitu
fibrik, hemik, dan saprik. Selanjutnya lahan gambut dibedakan berdasarkan
kedalamannya menjadi gambut dangkal (kedalaman
50-100 cm) dengan
tingkat dekomposisi hemik sampai saprik; gambut sedang (>
100-200 cm) dengan tingkat dekomposisi hemik sampai saprik; dan gambut dalam
(> 200-300 cm) dengan tingkat dekomposisi fibrik sampai hemik; dan gambut sangat dalam
(> 300 cm)
dengan tingkat dekomposisi
fibrik sampai hemik (Widjaja-Adhi et al., 2000).
Lahan gambut umumnya
mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3 - 5. Gambut
oligotropik yang memiliki substratum pasir kuarsa di Berengbengkel, Kalimantan
Tengah memiliki kisaran pH 3,25 – 3,75 (Halim, 1987; Salampak, 1999). Sementara
itu gambut di sekitar Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan memiliki kisaran pH
yang lebih tinggi yaitu antara 4,1 - 4,3 (Hartatik et al., 2004).
B.
Potensi Lahan Masam
1.
Potensi Lahan
Kering Masam
Berdasarkan Atlas
Sumber Daya Tanah Eksplorasi Indonesia pada skala 1:1.000.000 (Puslitbangtanak,
2000) telah dilakukan pemilahan lahan kering berdasarkan kemasaman tanahnya,
sehingga diperoleh penyebaran dan luas lahan kering masam seluas 102,8 juta ha.
Untuk mengetahui potensi lahan kering masam untuk pengembangan pertanian, telah
dilakukan evaluasi (tumpang tepat) antara peta lahan kering masam dengan Peta
Arahan Tata Ruang Pertanian Nasional pada skala eksplorasi (Puslitbangtanak,
2001). Dalam arahan tata ruang tersebut, kelompok tanaman yang dapat
dikembangkan di lahan kering dipilah berdasarkan tanaman semusim dan tanaman
tahunan/perkebunan yang sesuai di daerah beriklim basah dan beriklim kering,
serta pada wilayah dataran rendah dan dataran tinggi.
2.
Potensi Lahan
Rawa
Berdasarkan data sumber
daya tanah eksplorasi Indonesia skala 1:1.000.000 (Puslitbangtanak, 2000),
lahan rawa dapat dipilah menjadi tanah yang berasal dari bahan mineral dan
tanah dari bahan induk gambut (Tabel 9). Untuk mengetahui berapa luas lahan
rawa yang sesuai untuk budi daya pertanian, telah dilakukan tumpang tepat
(overlayed) antara peta sumber daya tanah eksplorasi dengan
peta arahan tata
ruang pertanian nasional skala 1:1000.000 (Puslitbangtanak,
2001). Hasilnya menunjukkan bahwa dari total lahan rawa 34,7 juta ha, sekitar
24,8 juta ha yang sesuai untuk budi daya pertanian, yang terdiri atas lahan
yang sesuai untuk pengembangan lahan sawah 13,2 juta ha, lahan kering semusim
244.096 ha, tanaman tahunan seluas 4,8 juta ha, dan untuk mangrove (perikanan
air payau/tambak) seluas 6,6 juta ha
(Tabel 13). Apabila
dipilah lebih lanjut,
dari 24,8 juta
ha ternyata lahan yang sesuai untuk budi daya pertanian tersebut umumnya
berada pada lahan mineral yaitu sekitar 20,1 juta ha dan sisanya 4,7 juta ha
berada di lahan gambut masing-masing 443.232 ha untuk padi sawah, 59.237 ha
untuk tanaman semusim (palawija
dan sayuran), dan
4,0 juta ha
untuk tanaman tahunan/perkebunan, serta
115.769 ha untuk
pengembangan mangrove/perikanan air payau.
C.
Ketersediaan Lahan Dan Peluang Perluasan Areal
Pertanian
1.
Ketersediaan
Lahan
Untuk mengetahui luas
lahan yang masih tersedia untuk perluasan areal pertanian dapat dideteksi
dengan memperkirakan lahan-lahan sesuai yang saat ini belum dimanfaatkan untuk
usaha apapun (lahan terlantar/lahan tidur), yaitu dengan cara menumpangtepatkan
antara peta arahan tata ruang pertanian (Puslitbangtanak, 2001) dengan
peta penggunaan lahan
(BPN,2000-2004).
Hasilnya menunjukkan
bahwa terdapat lahan yang sesuai untuk pengembangan pertanian dimana saat ini
berupa semak belukar atau rerumputan, yaitu seluas 30,7 juta ha. Dari
luasan tersebut, lahan
yang tersedia untuk
perluasan areal di lahan basah (sawah) seluas 8,3 juta ha,
terdiri atas 3 juta ha di lahan rawa, dengan penyebaran terluas terdapat di
Papua, Kalimantan dan Sumatera, serta di lahan non-rawa seluas 5,3 juta ha
terluas di Papua, Kalimantan, dan Sumatera
Sedangkan lahan
tersedia di lahan kering sekitar 22,4 juta ha yang terdiri atas lahan yang
sesuai untuk tanaman semusim sekitar 7,1 juta ha dan untuk tanaman tahunan
seluas 15,3 juta ha (Tabel 14). Lahan tersedia di lahan kering merupakan lahan
kering total yang tidak memisahkan antara lahan kering masam ataupun lahan
kering non-masam. Dari 30,7
juta ha lahan
yang belum dimanfaatkan (lahan
terlantar), sekitar 10,3 juta ha berada di kawasan budi daya pertanian dan 20,4
juta ha berada di kawasan budi daya kehutanan (hutan produksi dan HPH).
2.
Permasalahan dan
Peluang Pengembangan
Dalam pengembangan
komoditas pertanian di suatu wilayah, akan menghadapi berbagai permasalahan
teknis di tanah masam lahan kering yaitu berupa rendahnya tingkat kesuburan
tanah dan ketersediaan air pada musim kemarau. Tanah masam umumnya dicirikan
oleh sifat reaksi tanah masam (pH rendah) yang berkaitan dengan kadar Al
tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat tukar rendah, kandungan
besi dan mangan yang mendekati batas meracuni, peka erosi, miskin elemen
biotik. Kendala tersebut memang relatif lebih mudah diatasi dengan teknologi
pemupukan, pengapuran, serta pengelolaan bahan organik.
Seperti telah
disebutkan di atas, total tanah mineral masam sangat luas penyebarannya yaitu
sekitar 102 juta ha, terluas terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Dengan kendala biofisik yang telah disebutkan
di atas, peluang
pengembangan pertanian di tanah masam ini masih besar. Soepardi (2001)
mengemukakan bahwa tidak terlalu sulit untuk membenahi tanah masam sehingga
menjadi baik, aman dan siap tanam untuk usaha tani yang menguntungkan dan
berkelanjutan. Kendala ini dapat ditangkal dengan menerapkan teknologi
pengapuran yang dilanjutkan dengan perawatan, dan pemilihan jenis tanaman yang
cocok pada kondisi tersebut. Jumlah kapur yang diberikan disesuaikan dengan
kebutuhan tiap jenis
tanah, dan jenis tanaman yang akan diusahakan dapat
berfungsi (1) meredam (alleviate) reaksi masam tanah untuk waktu lama dan mengubahnya
menjadi tidak masam; (2) menyingkirkan bahaya keracunan Al (tanda keracunan Al,
akar membengkak, gagal berkembang dengan baik, dan kehilangan daya serap air
dan hara); (3) meradam bahaya keracunan besi, mangan, dan anasir senyawa
organik; (4) menurunkan daya fiksasi P sekaligus membebaskan P yang semula
diikat kuat; (5) meningkatkan ketersediaan basa; (6) memperlancar serapan unsur
hara dari tanah; dan (7)
meningkatkan respon tanaman
terhadap upaya pemupukan dan budi
daya lainnya. Selain itu, Adiningsih dan Sudjadi (1993) menambahkan bahwa tanah
masam dapat ditingkatkan
produktivitasnya dengan pemupukan,
pengapuran dan pengelolaan bahan organik (alley croping).
Pendapat tersebut di
atas memang tidak sulit dilaksanakan bagi
petani yang mempunyai
kemampuan teknis maupun
non- teknis (modal cukup) serta pengetahuan yang sudah maju, sementara
kondisi petani kita pada umumnya berada pada kondisi yang kurang mampu dan
tidak cukup modal untuk menerapkan teknologi tersebut, sehingga tanah akan
tetap masam dan produktivitas tanah rendah, dan akibatnya produksi pertanian
sulit ditingkatkan. Kondisi ini
berlaku untuk wilayah
yang dominan usaha taninya adalah
berbasis tanaman pangan. Tetapi pada wilayah yang berbasis tanaman perkebunan
(kelapa sawit atau karet), khususnya perkebunan negara kendala tersebut mungkin
dapat teratasi. Sedangkan untuk perkebunan rakyat dan sebagian perkebunan
swasta, perbaikan kualitas lahan ini (pemupukan dan pengapuran) kurang
diperhatikan. Hal ini terlihat dari produksi kelapa sawit
yang jauh berbeda
antara perkebunan negara dengan
perkebunan rakyat/swasta yaitu
2,69 t ha-1
th-1 untuk perkebunan rakyat,
4,59 t ha-1 untuk perkebunan negara, dan 2,87 t ha-1 th-1
untuk perkebunan swasta (Ditjen Perkebunan, 2002). Dari kasus ini
terlihat, bahwa ternyata tidak hanya dalam usaha tani tanaman pangan saja
masalah ini menjadi kendala, bahkan pada tanaman perkebunanpun umumnya, usaha
peningkatan produktivitas lahan belum optimal.
Belajar dari
keberhasilan beberapa sentra produksi komoditas pertanian di beberapa wilayah
tanah masam ini, seperti lada di Bangka/Belitung, Lampung
untuk palawija (ubi
kayu, jagung), Kalbar untuk lada dan jagung (Gambar 2) yang umumnya
diusahakan pada tanah masam dan berproduksi baik serta dapat bertahan dalam
beberapa dekade terakhir. Keberhasilan usaha tani jagung di Kecamatan Sanggoledo,
Kalbar, mampu memproduksi jagung 70 t hari-1
dan dapat berproduksi sepanjang tahun untuk memasok beberapa
pabrik pakan ternak
di Singkawang, dari luasan
total 8.000 ha
lahan masam yang
ditanam secara bergantian. Kedua
ilustrasi tersebut mengindikasikan bahwa tanah masam yang cukup luas ini
sebetulnya sangat berpotensi untuk memproduksi berbagai komoditas pertanian
(pangan, hortikultura, dan tanaman tahunan/perkebunan) dengan
sedikit sentuhan teknologi pengelolaan
lahan baik itu
pengelolaan secara teknis maupun non-teknis (kelembagaan).
b
a
c
d
Gambar . Pemanfaatan lahan kering masam (a dan b) dan lahan rawa (c dan d) untuk berbagai komoditas pertanian
Sedangkan untuk masalah
kekurangan air pada musim- musim tertentu, saat ini memang belum banyak yang
dapat dilakukan petani, bahkan peran pemerintah untuk penyediaan irigasi di
lahan kering masih belum terlihat. Pada umumnya petani lebih sering memberakan
lahannya pada musim kemarau, kecuali pada beberapa wilayah sentra produksi yang
telah ada usaha untuk menggunakan air
permukaan ataupun air
dalam dengan pompanisasi.
Demikian pula di lahan
rawa, meskipun terdapat kendala dan permasalahan biofisik lahan, namun dengan
terobosan inovasi pengelolaan lahan rawa, maka lahan rawa dapat dimanfaatkan
secara optimal (Gambar2).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagian besar iklim di
Indonesia termasuk pada iklim basah yang mempunyai curah hujan tinggi,
mengakibatkan tingkat pencucian basa di dalam tanah cukup intensif, sehingga
kandungan basa-basa rendah dan tanah menjadi masam. Lahan kering masam cukup
luas sekitar 102 juta ha dan sekitar 56,3 juta ha diantaranya adalah lahan yang
sesuai untuk usaha pertanian (pada wilayah datar-berbukit dengan lereng
<30%). Sedangkan lahan rawa yang umumnya bersifat masam (rawa pasang surut,
lebak dan gambut) dari luasan 34,7 juta ha sekitar 24,8 juta ha termasuk lahan
yang sesuai untuk budi daya pertanian. Namun, sebagian besar lahan sesuai
tersebut telah dimanfaatkan untuk usaha
berbagai sektor baik
sektor pertanian maupun
non pertanian. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap lahan yang belum
dimanfaatkan (lahan terlantar), terdapat sekitar 30,7 juta ha lahan terlantar baik yang ada di kawasan budi daya
pertanian
(10,3 juta ha) maupun budi daya kehutanan
(20,4 juta ha). Lahan ini ke depan akan bersaing pemanfaatannya untuk berbagai
kepentingan baik untuk
pertanian maupun non-pertanian, sehingga makin terbatas
ketersediaannya. Lahan subur sebagian besar telah dimanfaatkan, sehingga yang
tersisa untuk pengembangan ke depan adalah lahan sub optimal atau marjinal
(lahan kering masam dan rawa). Oleh karena itu, dalam pemanfaatannya perlu
didukung oleh teknologi pengelolaan sumber daya lahan seperti benih unggul
tahan masam di lahan kering dan rawa, pemupukan berimbang, penyediaan irigasi
suplementer untuk lahan kering dan pengaturan drainase untuk lahan rawa,
konservasi tanah dan air untuk lahan berlereng.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, J. dan M. Sudjadi. 1993.
Peranan sistem bertanam lorong (Alley cropping) dalam meningkatkan kesuburan
tanah pada lahan kering masam. Risalah Seminar, Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor (Tidak dipublikasikan).
Badan Litbang Pertanian. 2007.
Prospek dan Arah Pengembangan Komoditas
Pertanian: Tinjauan Aspek Sumber daya Lahan. Badan Litbang
Pertanian, Jakarta.
BBSDLP. 2008. Policy Brief Keragaan dan
Ketersediaan Sumber Daya Lahan untuk Pembangunan Pertanian. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumber
daya Lahan Pertanian, Bogor.
Dirjen Perkebunan. 2002. Statistik
Perkebunan Indonesia 2000-
2002. Direktorat Jenderal Bina Produksi
Perkebunan, Jakarta.
Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan
kering untuk pertanian. hlm. 1-34 dalam
Abdurachman et al.
(Ed.). Buku Pengelolaan Lahan
Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Mulyani, A., Hikmatullah, dan H.
Subagyo. 2004. Karakteristik dan potensi tanah masam lahan kering di Indonesia.
hlm. 1-32 dalam Prosiding Simposium
Nasional Pendayagunaan Tanah Masam. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Nugroho,
K., Alkasuma, Paidi,
W. Wahdini, Abdulrachman,
H.
Suhardjo, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1991.
Laporan Akhir. Penentuan Areal Potensial
Lahan Pasang Surut,
Rawa, dan Pantai skala
1:500.000. Laporan Teknik
No.
1/PSRP/1991. Proyek penelitian Sumber
daya Lahan, Puslittanah dan Agroklimat, Bogor.
Puslitbangtanak. 2000. Atlas Sumber Daya
Tanah Eksplorasi Indonesia. Skala 1:1.000.000. Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat, Bogor.
No comments:
Post a Comment