DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.
Latar
Belakang ............................................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah ....................................................................................... 3
C.
Tujuan
Penelitian ......................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 5
A.
Korporasi
Tindak Pidana Korupsi ............................................................... 5
B.
Sanksi
Korporasi Tindak Pidana Korupsi.................................................... 7
C.
Korporasi
dalam Tindak Pidana Korupsi yang
Berbasis Nilai Keadilan .. 14
BAB III PENUTUP............................................................................................. 17
A.
Kesimpulan................................................................................................. 17
B.
Saran........................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 19
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penyalahgunaan kekuasaan , korupsi ,kolusi , dan
nepotisme mengakibatkan timbulnya korban pada dasawarsa ini merupakan topik
kajian yang aktual . Korban penyalah gunaan kekuasaan harus mendapatkan
keadilan , sebagai prinsip dasar perlindungan hukum untuk menyelesaikan
pemasalahn korban . Sehubungan dengan permasalahan korban menurut Deklarasi PBB
Tahun 1985 ( Resolution 40/34) . Pada Amex : Declaration of Basic Principles of Justice of Crime and Abuse of Power
: Victins of Crime adalah sebagai berikut :
“Vistins mean
person who, individually or collectively have suffered harm, including physical
or mental injury, emotional suffering, economics loss or subtansial impaiment
of their fundamentalrights, though acts or mission that are in violation of
criminal laws operative whitin Member States, including those laws proscribing
criminal abuse of power”.
Deklarasi PBB Tahun 1985 (resolution 40/34) tersebut
menatur prinsip dasar keadilan untuk para korban tindak pidana kekerasan dan
penyalah gunaan kekuasaan antara lain restitusi, kompensasi, serta bentuk
bantuan untuk kepentingan korban. Pelaku tindak pidana penyalah gunaan kekuasaa
jarang atau bahkan tidak melakukan tindak pidana kekerasan, tetapi lebih sering
dilakukan seolah-olah legitimate economic activites ( termaksut economic crimes
) yang dilakukan oleh pelaku sebagai badan hukum yang dinamakan korupsi. Tindak
pidana oleh korupsi dalam lingkup economic crimes ( tindak pidana ekonomi )
menimbulkan adanya pihak-pihak korban seperti perusahaan saingan (competitors), negara (state), karyawan (employees) , konsumen (consumers) , masyarakat ( public) . Dalam merumuskan tindak pidana
ekonomi harus memperhatikan elemen-elemen sebagai berikut :
1. Tindak
pidana ekonomi dilakukan dalam rangka aktivitas bisnis dan sah .
2. Tindak
pidana ekonomi merupakan kejahatan yang melanggar kepentingan Negara ,
masyarakat secara umum , tidak hanya korban individual .
3. Termaksuk
pula dalam hal tindak pidana dilingkungan bisnis terhadap perusahaan lain atau
terhadap program.
Permasalahan tindak pidana ekonomi sangat kompleks
karena perkembangan di sektor ekonomi dan perdagangan dapat menibulkan
berpariasi perbuatan yang secara ekonomi dapat merugikan kepentingan umum
sehingga dapat menggoyahkan perokonomian
nasional. Perbuatan yang dapat
mengoyahkan perekonomian nasional dilakukan oleh para pelaku , antara
lain karena menyalah gunakan kekuasaan ekonomi dan politik sehingga yang
menjandi korban yang paing dirugian adalah Negara (termaksut masyarakat /
rakyat ) . Para korban tersebut tentunya
harus mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum dengan menerpakan peraturan
perundang –perundang pidana kepada
pelaku tindak pidana sebagai bentuk pertanggung jawaban pelaku terhadap korban
.
Pada
umumnya kegiatan usaha dalam dilaksanakan oleh korporasi yang berbadan hukum dengan bentuk perseroan
terbatas . Korporasi dalam melakukan kegiatan usahanya harus belandaskan pada
pasal 33 UUD 1945 yaitu :
1. Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat orang banyak
dikuasai oleh Negara.
3. Bumi,air,dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dandigunakan
untuk sebenar-benarnya kemakmuran rakyat .
4. Perokonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kekuasaan ekonomi nasional .
5. Ketemtuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Pengertian korporasi adalah kumpulan terorganisasi
dari orang dan atau kekayaan baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.
“istilah korporasi berasal daro corporate,
yaitu suatu badan yang empunyai sekumpulan anggota dan angota-angotanya
tersebut mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang terpisah dari hak dan
kewajiban masing-masing anggota.
Salah satu tindak pidana yang dilakukan korporasi
adalah korupsi . permasalahan korupsi di indnesia memamg sudah semakin parah. Berbagai
kalangan angkat bicara, mendiskusikan dan membahas permasalahan korupsi. Dari
orang awam, mahasiswa, praktisi hukum pakar hukum dan sastrawanpun ikut
bicara.Intinya, korupsi harus segera diberantas .
Korupsi dikategorikan sebagai kejhatan luar biasa
karena korban yang diakibatkan oleh korupsi adalah sangat pasif karena dengan
korupsi , kerugian yang diderita oleh suatu negara dapat menjadi begitu
gradual.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan beberapa uraian latar belakang di atas ,
permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
penerapan sanksi terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi saat
ini ?
2. Bgaimana
kendala/hambatan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi yang melakukan
tindak pidana korupsi saat ini ?
3. Bagaimana
rekontruksi sanksi pidana terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi yang berbasis nilai keadilan ?
C.
Tujuan
Penelitian
1. Mengetahui
penerapan sanksi pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana
korupsi saat ini .
2. Mengkaji
dan menganalisi kendala/hambatan penerapan pidana terhadap korporasi yang
melakukan tindak pidana korupsi saat ini .
3. Merekontruksi
sanksi pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana berbasis nilai
kedailan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Korporasi
Tindak Pidana Korupsi
Korporasi adalah
kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik berupa badan
hukum maupun bukan badan hukum. “istilah korporasi berasal dari corporate,
yaitu suatu badan yang mempunyai
sekumpulan anggota dan angota-angotanya tersebut mempunyai hak dan kewajiban
sendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban masing-masing anggota.Salah satu
tindak pidana yang dilakukan korporasi adalah korupsi . Lebih lanjut ,
korporasi dalam pasal 1 angka 3 UU Tindak Pidana Korupsi dimasukkan dalam salah
satu definisi dari “ setiap orang adalah orang perseorangan atau termaksut
korporasi” . Berdasarkan definisi tersebut , maka apabila kita hubungkan secara
sistematis antara pasal dalam UU Tindak Pidana yang memasukkan “setiap orang”
sebagai bagian dari delik adalah :
1. Perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum yang dapat menyebabkan
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara ;
2. Penyalah
gunaan kewenangan dalam jabatan atau kedudukan yang menyebabkan kerugian
keuanga negara atau perekonomian negara ;
3. Pemberan
suap;
4. Pemberian
hadiah karena jabatan;
Dan ketentuan Udang-Undang lain sebagai mana diatur
dalam pasal 2,pasal 3 ,pasal 5 ayat (1) dan pasal 6 ayat (1) , pasal 7 ayat (1)
, pasal 13 dan 14 UU Tindak Pidna Korupsi .
Perbuatan penyalah gunaan kewenangan dalam jabatan
atau kedudukan yang menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara .Delik tersebut diatur dalam pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi sebagai
berikut:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi , menyalahgunakan kewenangan ,
kesematan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , dipidana dengan pidana
penjara seuumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling
lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000.00 dan paling banyak
Rp.1.000.000.000.00 “.
Penyalah gunaan kekuasaan disebabkan oleh kebijakan
publik yang hanya dipandang sebagai
kesalahan prosedur dan administratif, namun apa bila dilakukan dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau suatu
kelompok ( korporasi) yang berdampak pada kerugian perekonomian, maka hal
tersebut merupakan tindakan pidana. Sebagaimana disebutkan dalam novel korupsi
karya Pramudya Ananta Toer (2002), soal pelanggaran hukum dalam kaitan dengan
penjabat negara.
Persoalan korupsi yang terjadi dari penyalahgunaan
jabatan , terkait dengan kompleksitas masalah moral atau sikap mental, masalah
pola hidup , kebutuhan serta kebudayaan dan lingkungan sosial . Dengan demikian
, kasus tindak pidana korupsi dengan bentuk penyalah gunaan kekuasaan bersifat
multi dimensional dan kompleks . Namun ada satu hal merupakan penyebab utama
terjadinya tindak pidana korupsi yaitu
kurangnya integritas.
Sanksi yang diberikan kepada sipelaku tindak pidna
korupsi ,sudah jelas kebijakannya tersebut bernama Undang-Undang KUHP No.31
Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,isi pasalnya sebagai
berikut :
1. Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara , dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200.000.000.00 dan paling banyak 1.000.000.000.00.
2. Dalam
hal ini tindak pidana korupsi sebagai mana dimaksut dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu , pidana mati dapat dijatuhkan.
Bahkan yang lebih ekstrim lagi, berdasarkan ayat(2)
tersebut, para koruptor bisa mendapatkan pidana mati , semua tergantung
data-data pelaporan dan mekanisme ketika para koruptor beraksi.
B.
Sanksi
Korporasi Tindak Pidana Korupsi
Pertanyaan mendasar adalah sejauh mana efektivitas
ketentuan mengenai ancaman pidana terhadap korporasi dalam praktik ? pertanyaan
ini menjadi penting karena mengingat kejahatan korupsi yang dilakukan korporasi
dewsa ini begitu meraja lela dan
sistematis sehingga mengakibatkan kerugian negara yang begitu besar baik dalam
bidang bisnis pendagang , perbankan , pertanian , sumberdaya alam dan pangan
barang dan jasa.
Penanggung jawaban pidana yang dianut dalam pasal 20
ayat (1) Undang-Undang Tindak pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 bersifat kumulatif –
alternatif , dengan adanya kalimat “korporasi dan/atau pengurus “ dalam rumusan
pasal 20 ayat (1), maka untuk menuntut dan menjatuhkan pidana dalam hal tindak
pidana korupsi dilakukan oleh atau atas
nama satu korporasi dapat dilakukan
terhadap” korporasi “ saja atau “pengurus” saja.
Dalam hal tindak pidana korupsi diruuskan sebagai
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi sebagai subjek hukum pidana
, maka tuntutan pidana dan penjatuhan pidana yang diakukan terhadap
korporasi dan pengurus atau korporasi
saja maka ketentuan berdasarkan pasal 20 ayat (3) ,pasal 20 ayat (4) Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi , korporasi dan pengurus korporasi
yang mewakili korporasi dapat diwakili oleh orang lain . Namun
berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (5)
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terhadap pengurus korporasi yang mewakili
korporasi dan mewakilkannya lagi kepada orang lain, ditentukan bahwa hakim
dapat memerintahkan agar pengurus korporasi tersebut mengadap sendiri pada pemeriksaan disidang pengadilan dan
dapat pula hakim memerintahkan agar pengurus yang dimaksut dibawa kesidang
pengadilan . Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang
tindak pidana korupsi , ditentukan bahwa dalam penuntutan tehadap
korporasi sebagai subjek hukum pelaku
tindak pidana , maka pengadilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan
tersebut disampaikan :
- Ditempat
tinggal pengurus ;
- Ditempat
pengurus berkantor;
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa pemindaan tehadap korporasi terdir dari
pidana pokor berupa pidana denda yang diperberat 1/3 dari ancaman pidana maksimal dengan
pidana tambahan sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (7) Pasal
18 ayat (1) huruf a dan c Undang-Undang Tindak Paduan korupsi .
Penertian pengurs korporsi dalam penjelasan 20 ayat
(1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
yang dimaksut dengan pengurus bukan hanya terbatas kepada mereka yang menjadi
organ korporasi yang menjalankan kepengurusan sebagaimana yang ditentukan dalam
anggaran dasar ( pengurus dalam arti formal yuridis ), tetapi termaksut juga
siapa saja yang dalam kenyataannya atau secara formal yuridis tidak memiliki kewenangan untuk
melakukan untuk melakukan kepengurusan. Namun dalam hal untuk bertindak
mewakili korporasi sebagaimana dimaksut dalam pasal 20 ayat (4) , ayat (5) dan (6)
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ,
maka pengurus korporasi harus dibekali surat tugas atau surat perintah dan
bukan surat kuasa karena didalam hukum acara pidana tindak dikenal adanya terdakwa yang memberikan kuasa kepada
orang lain untuk hadir dipemeriksaan sindang
pengadilan .
Bahwan dalam setiap AD/ART dari suat korporasi ,
pada umumnya telah diatur dan ditentuan
pengurus korporasi tentu yang
ditunjuk untuk bertindak mewakili korporasi tertentu ditunjuk untuk bertindak
mewakili korporasi baik di dalam pengadilan maupun diluar pengadilan , akan
tetapi sehubungan dengan ketentuan pasal
20 ayat (6) Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi yang menetukan bahwa surat panggilan disampaikan di tempat tinggal
“pengurus” ,maka pengurus dalam pasal 20 ayat (6) menurut wiyono (2008) adalah:
“Pengurus yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam menjalankan
kepengurusaan korporasi sesuai dengan anggaran dasar dari korporasi ,
misalnya Direktur Utama dari suatu persoalan terbatas . Bahwa kemudian direktur
utama menunjuk salah satu dari pengurus untuk mewakili korporasi . Penunjukan
tersebut merupakan urusan intern dari korporasi sesuai dengan ketentuan
yang terdapat didalam anggaran dasar
dari korporasi yang bersangkutan “.
Persoalan teknis yuridis lain yang mengemukakan
adalah bagaimana penyidik merumuskan identitas tersangka dalam Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) tersangka dan dalam berkas perkara demikian halnya dengan
penuntut umum dalam merumuskan identitas terdakwa dalam srat dakwaan.Secara
normatif dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP, telah ditentukan syarat formil
surat dakwaan yang disusun penuntut umum yaitu berisi nama lengkap, tempat
lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama dan pekerjaan tersangka. Bahwa ketentuan mengenai korporasi sebagai
subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi selain yang ditentukan dalam Pasal 20
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, selama ini belum ditemukan ketentuan hukum
acara pidana yang mengatur kedudukan korporasi sebagai tersangka atau terdakwa
baik dalam tahap penyidikan menyangkut pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
Tersangka maupun dalam tahap penuntutan menyangkut identitas terdakwa, mengingat Pasal 143 ayat
(2) huruf a KUHAP hanya mengakomodir identitas orang sebagai subjek hukum dalam
tindak pidana.
Sedangkan syarat formil yang mengharuskan Surat
Dakwaan memuat uraian lengkap identitas terdakwa sebagaimana tersebut di atas,
tentunya mengacu pada identitas orang perorangan yang merupakan manusia alamiah
(naturlijk persoon) sebagai subjek hukum pidana sementara ketentuan mengenai
syarat formil identitas dalam Surat Dakwaan bagi korporasi sebagai subjek hukum
pidana yang menjadi terdakwa tidak ditentukan dalam KUHAP sebagai lex generalis
demikian halnya dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi sebagai lex
specialis. Kekeliruan dalam merumuskan identitas terdakwa dalam Surat Dakwaan
mengakibatkan surat dakwaan dapat dibatalkan oleh Hakim.
Sehubungan
dengan hal tersebut, Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui Surat Jaksa Agung
RI Nomor : B-036/A/Ft./06/2009, Perihal : Korporasi sebagai tersangka/terdakwa
dalam tindak pidana korupsi, tanggal 29 Juli 2009 yang menegaskan penuntutan
korporasi sebagai tersangka atau terdakwa, apabila pertanggungjawaban pidana
dalam perkara tindak pidana korupsi tersebut melekat secara kumulatif baik
terhadap pengurus korporasi sebagai subjek hukum orang perorangan dan korporasi
sebagai subjek hukum korporasi, maka berkas perkara dan surat dakwaan terhadap
korporasi dilakukan dan diajukan secara terpisah dengan berkas perkara dan
surat dakwaan bagi pengurus korporasi. Sementara keberadaan BAP tersangka
dengan tersangka korporasi digariskan tidak bersifat mutlak.
Selanjutnya terhadap perbuatan pidana yang
menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana dan mempunyai
pertanggungjawaban pidana dan untuk itu dapat dituntut dan dijatuhi pidana
berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (7) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,
pidana pokok yang dapat dijatuhkan berupa pidana denda dengan ketentuan
maksimum ancaman pidana dendanya ditambah 1/3 (satu per tiga) dan dapat
dikenakan pidana tambahan berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu berupa :
1. perampasan
barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
2. pembayaran
uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi;
3. penutupan
seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
4. pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada
terpidana.
Dengan demikian pemidanaan terhadap korporasi
sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi adalah pidana pokok berupa
pidana denda yang diperberat dengan menambah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman
maksimum pidana denda dan pidana tambahan sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Permasalahan yang timbul
adalah bagaimana apabila terpidana korporasi tidak mau membayar pidana pokok
berupa denda atas putusan hakim ?.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 hanya mengatur pidana
pokok terhadap pelaku koporasi berupa pidana denda dan tidak ada pengaturan
lebih lanjut dalam undang-undang tersebut apabila terpidana korporasi tidak mau
membayar denda.
Beda halnya dengan rumusan pidana dalam
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang yang juga mengatur tentang tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi dan ancaman pidana pokoknya juga berupa pidana denda,
namun dalam undang-undang tentang pencucian uang tersebut mengatur lebih lanjut
apabila denda tidak dibayar oleh terpidana korporasi, sehingga lebih jelas
pengaturan sanksi pidananya. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 6
sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010, yang selengkapnya
adalah sebagai berikut:
Pasal 6:
(1) Dalam
hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4,
dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi
dan/atau Personil Pengendali Korporasi.
(2) Pidana
dijatuhkan terhadap Korporasi apabila Tindak Pidana Pencucian Uang:
a. dilakukan
atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi
b. dilakukan
dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi
c. dilakukan
sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah
d. dilakukan
dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi
Pasal 7:
(1) Pidana
pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Selain
pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat
dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a.
pengumuman putusan hakim
b.
pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan
usaha Korporasi
c.
pencabutan izin usaha
d. pembubaran
dan/atau pelarangan Korporasi
e.
perampasan aset Korporasi untuk negara
f.
pengambilalihan Korporasi oleh negara.
Pasal 8:
Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana
denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4
(empat) bulan.
Pasal 9:
(1) Dalam
hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan harta
kekayaan milik korporasi atau personil pengendali korporasi yang nilainya sama
dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.
(2) Dalam
hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan
terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah
dibayar.
Dari bunyi Pasal 8 dan 9 tersebut, undang-undang
pencucian telah mengatur secara tegas tentang alternatif pidana denda apabila
denda tidak dibayar sehingga mempermudah bagi aparat penegak hukum terutama
jaksa penuntut Umum dalam melakukan penuntutan dan bagi hakim dalam menjatuhkan
putusan terhadap pelaku korporasi.
Namun lain halnya dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 tidak ada diatur alternatif pidana denda apabila denda tidak
dibayar, sehingga penulis melihat persoalan ini merupakan suatu kendala dari
semangat pemberantasan korupsi karena undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi tidak mengatur secara kompilt dan tegas. Memang walaupun tidak diatur
dalam undang-undang tipkor tersebut, dapat diterapkan Pasal 30 KUHP dengan
dasar ketentuan Pasal 103 KUHP yaitu jika undang-undang hukum pidana khusus
tidak mengatur, ketentuan KUHP lah yang
dipakai.Hal tersebut sejalan dengan pendapat Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah
Agung Djoko Sarwoko berpendapat bahwa
apabila pidana denda tidak dibayar oleh koporasi maka dapat diterapkan Pasal 30
KUHP yaitu1 :
Ayat (2)
: jika denda tidak dibayar lalu diganti
dengan kurungan.
Ayat (3) :
lamanya kurungan pengganti paling sedikit adalah satu hari dan paling
lama enam bulan.
Ayat (5) : jika ada pemberatan denda, disebabkan karena perbarengan atau
pengulangan, atau karena ketentuan pasal 52 dan 52 a. maka kurungan pengganti
paling lama dapat menjadi delapan bulan.
Ayat (6) :
kurungan pengganti sekali kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Walaupun pidana pokok berupa denda tidak dibayar
dapat dikenakan hukuman penggganti berupa pidana kurungan sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas, namun penerapan pidana kurungan tersebut tidak dapat
diterapkan kepada korporasi. Kalaupun hukuman pengganti tersebut dibebankan kepada
pengurus, maka akan timbul permasalahan yaitu siapa dari pengurus korporasi
yang harus menjalankan pidana kurungan tersebut ? sebab permasalahan tersebut
tidak diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Hal ini tentunya
menjadi kendala bagi jaksa dalam melakukan eksekusi putusan pengadilan.
Apabila menilik lebih jauh pidana pengganti denda
apabila tidak dibayar berdasarkan pasal 30 KUHP tersebut, maka hal tersebut
merupakan suatu kelemahan dalam semangat pemberantasan korupsi yang dewasa ini
korupsi di Indonesia sedang merajalela dalam segala tatanan kehidupan bangsa,
sehingga sudah dapat dibayangkan sanksi pidana tersebut tidak memberikan efek
jera terhadap korposasi yang melakukan korupsi.
Oleh karenanya sanksi pidana denda menurut penilaian
penulis tidak efektif menjerat dan memberi efek jera bagi korporasi yang
melakukan tindak pidana korupsi.Menurut Hakim Agung Surya Jaya “Dalam perkara
korupsi, penjatuhan pidana denda bagi korporasi tidak efektif. Sanksi pidana
denda hanya menjadi macan kertas saja,”
C.
Korporasi
dalam Tindak Pidana Korupsi yang
Berbasis Nilai Keadilan
Era reformasi selama sepuluh tahun terakhir, tidak
ada upaya pemberantasan korupsi yang efektif. Ini merupakan hal sangat ironis,
mengingat tujuan reformasi adalah pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Ini juga menunjukkan pemerintahan yang lebih demokratis tidak serius
memberantas korupsi. Bahwa korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang
menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan
pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan.
Tujuan
penelitian untuk menganalisis kebenarkah sanksi terhadap pelaku tindak pidana
korupsi saat ini belum berkeadilan, untuk menganalisis kelemahan-kelemahan
sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi saat ini dan untuk menemukan
rekontruksi sanksi pelaku tindak pidana korupsi yang berbasis nilai keadilan.
Rekontruksi sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi berbasais nilai
keadilan, sesuai konsep sistem pemidanaan dalam pembaharuan hukum pidana yang
akan datang pada hakikatnya, setidaknya peneliti menyoroti beberapa hal untuk
dilakukan perubahan, yakni pada sanksi yang di dalamnya termasuk bentuk, berat
ringannya, dan indikator penjatuhan sanksi pidana. Dan terhadap lamanya pidana
penjara juga perlu ditinjau ulang, lebih tepat pengalihan kepada bentuk pidana
lain misal pidana seumur hidup atau pidana mati dan di miskinkan serta wajib
mengembalikan dua kali lipat hasil kerugian negara.
Hasil
penelitian dalam rekontruksi pada Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi adalah sebagai berikut “Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di
pidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) tahun dan paling
lama 20 (dua Puluh) tahun dan atau pidana mati dan di miskinkan serta wajib
mengembalikan 2 (dua) kali lipat hasil kerugian negara”. Dan pada Pasal 3
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi “Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, di pidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau pidana mati dan
di miskinkan serta wajib mengembalikan 2 (dua) kali lipat hasil kerugian
negara”.
Serta pada
Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi “Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai
negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya tersebut, di pidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau pidana mati dan di
miskinkan serta wajib mengembalikan 2 (dau) kali lipat hasil kerugian negara”.
Kata Kunci : Rekontruksi, Sanksi, Tindak Pidana Korupsi.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan
dari hasil pembahasan makalah sebagai berikut :
Hasil penulisan makalah ini menunjuk kan bahwa masih
tingginya tingkat korupsi saat ini dan makin bertambahnya korporasi yang
membuat banyak kerugian di bidang ekonomi negara Korupsi merupakan suatu
kejahatan yang sangat berbahaya, korupsi
merupakan suatu kejahatan yang luar biasa (extraordinary cryme) yang
memang telah tumbuh seiring dengan perkembangan
peradaban manusia.
Semakin hari
perkembangan korupsi di dunia dan khususnya di Indonesia bukanlah semakin berkurang, akan tetapi makin hari makin
meluas dan bertambah. Hal tersebut di tandai
dengan modus dalam suatu kejahatan korupsi yang dari waktu ke waktu bisa di katakan banyak mengalami perubahan
yang drastis. Hal ini dapat dilihat dari
berbagai macam kasus korupsi yang ditangani oleh para penegak hukum, baik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,
Kepolisian, maupun kejaksaan itu sendiri.
B.
Saran
Dengan kesimpulan yang sudah diuraikan di atas, maka
saran yang paling relevan untuk
permasalahan ini ialah:
Rumusan perbuatan Perdagangan Pengaruh (Trading in
Influence) sebagai norma dalam hukum
positif Indonesia haruslah segera di rumuskan dan di berlakukan, pasalnya apabila rumusan tersebut
masih saja belum di rumuskan dan di
berlakukan akan menimbulkan kebingunan antar penegak hukum satu dengan yang lainyaa. Undang –
undang 28 tahun 1999 tentang Penyenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dewasa ini hanya menjadi sebuah
himbauan saja pada masyarakat, tidak di
taati dengan sungguh – sungguh sesuai dengan semangat membasmi perbuatan korup. UU 28/99
pun tidak dapat mengakomodir perbuatan
Perdagangan Pengaruh (Trading in Influence).
DAFTAR
PUSTAKA
http://repository.unissula.ac.id/18403/
JURNAL RECHTEN :
RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
ttps://nasional.tempo.co/read/1484215/vonis-korupsi-edhy-prabowo-berapa-hukuman-maksimal-koruptor-sesuai-kuhp/full?view=ok
https://acch.kpk.go.id/en/artikel/paper/48-riset-publik/815-lingkup-tindak-pidana-korupsi-dan-pembuktian-kesalahan-dalam-sistem-pertanggungjawaban-pidana-korporasi-di-indonesia-inggris-dan-prancis#:~:text=%E2%80
Raden Imam Al
Hafis PUBLIKa, Vol 3, No. 1 Hal. 80-88 (2017)
No comments:
Post a Comment