Thursday, 10 March 2022

MAKALAH TOWER CRANE

 

MAKALAH TOWER CRANE

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

I.1        Latar belakang 

Setiap kali berada di sebuah lokasi proyek, kita pasti dapat melihat sebuah struktur kokoh yang terbuat dari baja yang berdiri tinggi menjulang. Itulah Tower Crane.  Tower crane berfungsi sebagai alat angkat alat dan bahan material seperti mesin-mesin konstruksi, beton, besi, bekisting dan lain sebagainya. Karena besar dan fungsinya inilah tower crane merupakan alat berat dalam pekerjaan konstruksi.

 

I.2        Rumusan masalah

Dalam hal ini rumusan masalah didasarkan pada persoalan yang telah ditentukan oleh penulis dan menjelaskan mengenai apa itu tower crane dan bagian-bagian didalamnya.

 

I.3        Maksud dan tujuan

Maksud dan tujuan dari penulisan ini agar para pembaca dapat memahami dan mengerti apa itu tower crane beserta fungsi-fungsinya.

 

I.5        Pembatasan masalah

Dalam penulisan makalah ini pembahasan makalah hanya berisi tentang pengertian dari tower crane dan bagian-bagiannya serta fungsi dari tower crane itu sendiri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

II.1DASAR TEORI

Tower Crane adalah suatu alat bantu yang ada hubungannya dengan akses bahan dan material konstruksi dalam suatu proyek. Bila dijabarkan lebih lanjut, fungsinya lebih dekat terhadap alat mobilisasi vertikal-horisontal yang amat sangat membantu didalam pelaksanaan pekerjaan struktur.

Visualisasinya seperti terlihat dibawah ini

Description: Tower Crane (TC)

Description: Tower crane 2

Mengenai proses pengadaannya, biasanya pendatangan Tower Crane ini sendiri berasal dari seorang pemborong. Dan seperti halnya seorang pemborong, tower Crane ini disewakan dengan sebuah harga yang didalamnya sudah terlingkup elemen biaya kirim (transportasi sampai ke lokasi), metode (pemasangan dan pembongkaran) serta pemulangan (transportasi sampai ke tempat nya semula).

Pemborong ini bisa jadi pemilik asli dari tower crane, atau bisa juga hanya makelar, yang mengusahakan alat tersebut tapi bukan miliknya. Pengaruhnya biasanya ke harga yang mereka (pemborong) tawarkan ke kontraktor. Umumnya kalau alat milik sendiri, harga yang ditawarkan masih relatif murah, namun kebanyakan pemborong tidak punya alat sendiri, mereka hanya semacam makelar yang dicharge sekaligus biaya pemasangan dan pembongkaran sehingga pada dasarnya harga lump sump sewanya cukup tinggi. Lump sump adalah pengertian dimana biaya ditotalkan diawal, sehingga ditengah-tengah tempo sewa, pemborong tidak berhak menambah harga sewa karena suatu hal.

Mengenai struktur atas nya, tower Crane ini terbuat dari material baja. Sebagaimana dapat dilihat, struktur tower crane ini sudah baku dan standar, dan standar ini biasanya sudah berasal dari fabrikan pembuat tower crane tersebut. Bahkan ada brosur yang memuat prinsip perencanaan dari Tower Crane tersebut, bisa dikatakan semacam manual book. Jadi kita tidak bisa merubah sesuka kita rangka-rangka/modul tower crane tersebut.

Akan tetapi, yang bisa kontraktor lakukan, terkait dengan efisiensi, adalah mendesain struktur bawahnya. Karena struktur bawah/pondasi dari Tower Crane tersebut biasanya meskipun sudah tertera di brosur, kita masih diperkenankan melakukan analisis untuk menghemat biaya total pelaksanaan. Sebagai catatan bahwa biasanya biaya pembuatan pondasi Tower Crane tidak termasuk dalam kontrak dengan pemborong.

 

II.2JENIS-JENIS TOWER CRANE

                        Tower Crane memiliki banyak model yang disesuaikan dengan kondisi proyek. Ada empat jenis tower crane yaitu:

 

1.          Self Supporting Static Tower Crane

Sesuai dengan namanya, Tower Crane jenis ini berdiri di atas pondasi yang diam di tanah. Kemampuan mengangkut barang yang berat dan jangkauan yang luas membuat Tower Crane ini cocok untuk proyek dengan lahan terbuka yang luas

 

2.          Supported Static Tower Crane

Memiliki sistem kerja yang serupa dengan Seft Supporting Static Tower Crane, dan digunakan jika diperlukan pengangkatan material ke tempat yang sangat tinggi. Bagian mast atau tower dari Tower Crane jenis ini diikat ke bangunan untuk memberikan tambahan stabilitas.

3.          Travelling Tower Crane

Tower Crane jenis ini bisa berpindah tempat,  karena  didirikan  diatas  bogi  roda (sejenis roda kereta api) dan berjalan sepanjang rel. Karena dapat bergerak sepanjang rel, Tower Crane ini dapat menjangkau area proyek yang jauh lebih luas dari pada Tower Crane yang diam di tempat. Namun karena berjalan di atas rel, maka lokasi proyek haruslah dibuat cukup rata agar Tower Crane berjalan.

 

4.          Climbing Tower Crane

Biasa  digunakan  di  bangunan  tinggi, Tower Crane jenis climbing diletakkan di dalam struktur   bangunan   yang   dibangun.   Seiring bertambah tingginya bangunan yang dibangun, Tower Crane juga ikut bertambah tinggi.

 

 

II.3BAGIAN-BAGIAN TOWER CRANE

Bagian-bagian Tower Crane

Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu mengenai bagian-bagian dari sebuah tower crane.

Sebuah tower crane setidaknya terdiri dari 3 bagian:

1.       Pondasi

Description: http://hansenkammer.files.wordpress.com/2011/02/cimg2545.jpg?w=300&h=225

Bagian ini berfungsi meneruskan beban dari tower crane ke tanah keras dan sebagai penahan agar tower crane tidak jatuh. Pada bagian inilah kaki tower crane dibaut pada pondasi beton yang masif dan besar.

 

 

2.       Tiang/standard section

Description: http://hansenkammer.files.wordpress.com/2011/02/cimg2450.jpg?w=277&h=368

Bagian ini merupakan bagian vertikal dari tower crane yang bisa terus tumbuh seiring dengan kebutuhan proyek. Pada bagian ini terdapat tangga vertikal yang dibagi per section yang nantinya akan digunakan oleh operator untuk naik ke atas.

 

3.       Unit yang berputar

Description: http://hansenkammer.files.wordpress.com/2011/02/tower-crane15.jpg

 

 

 

 

Bagian ini terdiri dari 3 bagian:

a.       Horizontal jib

Description: http://hansenkammer.files.wordpress.com/2011/02/basic-parts-of-tower-crane_clip_image008.jpg

Horizontal jib adalah bagian horizontal dari sebuah tower crane yang panjang dan berfungsi sebagai bagian pengangkat beban. Disebut pula sebagai hoisting jib atau working jib.

b.      Machinery jib

Description: http://hansenkammer.files.wordpress.com/2011/02/basic-parts-of-tower-crane_clip_image006.jpg

Pada bagian inilah terdapat motor penggerak tower crane, alat elektronik dan sebuah beton masif yang berfungsi sebagai counter balance. Oleh karena itu sering pula disebut counter balance jib.

c.       Operator’s cab

Description: http://hansenkammer.files.wordpress.com/2011/02/basic-parts-of-tower-crane_clip_image004.jpg

Tempat dimana operator bekerja. Cab ini haruslah memiliki jendela besar untuk memastikan operator memiliki pandangan penuh terhadap lokasi konstruksi. Mengingat letaknya yang tinggi, cab ini juga sebaiknya dilengkapi dengan AC dan perlengkapan lainnya.

 

Berapa besar beban yang mampu diangkat sebuah tower crane

Tipikal tower crane memiliki spesifikasi sebagai berikut:

·         Tinggi maksimum berdiri sendiri – 265 kaki (80 meter)

Tower crane bisa saja memiliki tinggi lebih dari 80 meter hanya jika tower crane dipegang/digantungkan pada bangunan sehingga bisa tumbuh seiring dengan bertambah tingginya bangunan proyek

·         Jangkauan maksimum – 230 kaki (70 meter)

·         Daya angkat maksimum – 18 metric ton, 300 tonne-meter

·         Counterweight – 20 ton

Daya angkat maksimum tower crane adalah 18 ton tetapi tower crane tidak boleh mengangkat beban sebesar itu pada ujung terjauh jib nya. Semakin dekat posisi beban yang diangkat dengan tiang tower crane, semakin besar beban yang dapat diangkat dengan aman. Oleh karena itu pembebanan tower crane mengikuti prinsip 300 tonne-meter. Maksudnya apabila beban berada sejauh 30 meter dari tiang, maka beban yang diperbolehkan sebesar 10 ton. Apabila beban berada sejauh 50 meter, maka beban yang diperbolehkan sebesar 6 ton.

Description: http://hansenkammer.files.wordpress.com/2011/02/cimg2588.jpg?w=300&h=225

 

Tower crane dilengkapi dengan dua tombol limit untuk memastikan operator tidak mengangkat beban berlebih:

·         Tombol beban maksimum memonitor tarikan pada kabel dan memastikan beban tidak melebihi 18 ton

·         Tombol momen beban memastikan operator tidak melebihi prinsip tone-meter ketika beban digerakkan pada jib.

 

 

Mengapa tower crane tidak jatuh?

Description: http://hansenkammer.files.wordpress.com/2011/02/tower-crane4.jpg?w=300&h=225

Elemen pertama yang memastikan stabilitas tower crane adalah pondasi beton besar yang telah dicor terlebih dahulu. Pondasi ini biasanya memiliki ukuran 10 x 10 x 1.3 meter (tapi tergantung pula tipe tower crane yang akan digunakan). Ada pula tipe tower crane yang mampu menghemat beton pondasi dengan memiliki 4 pondasi yang lebih kecil yang akan mendukung beban dari masing-masing kaki tower crane. Baut besar tertanam di dalam pondasi ini.

Bagaimana tower crane dipasang dan terus bertambah tinggi?

Tahap pertama, dengan bantuan mobile crane bagian horizontal jib dan machinery disambung dan diletakkan di atas dua pondasi beton. Kemudian mobile crane menambahkan counterweight. Sedangkan bagian vertikal tower crane dipasang dengan bantuan mobile crane juga.

Tahap kedua, untuk mencapai ketinggian maksimum, tower crane tumbuh sendiri. Disini digunakanlah top climber atau climbing frame. Berikut prosesnya:

1.         Tower crane mengangkat sebuah beban pada jib untuk menyeimbangkan counterweight.

2.         Teknisi melepas unit berputar dan dengan sebuah mesin hydraulic pada top climber akan mendorong unit berputar naik setinggi 20 kaki (6 meter).

Description: http://hansenkammer.files.wordpress.com/2011/02/tower-crane18.jpg?w=228&h=300 Description: http://hansenkammer.files.wordpress.com/2011/02/tower-crane19.jpg?w=190&h=300

3.         Operator menggunakan crane untuk mengangkat satu section vertikal dari tower crane dan mengisi kekosongan yang ada di dalam top climber. Ketika selesai dipasang dan dibaut, maka tower crane telah bertambah tinggi satu section.

 

 

 

 

BAB III

PERMASALAHAN

 

Sebuah balok dengan lebar 5 m dan panjang 11 m, Mempunyai nilai drag balok 1,55 m, mengapung di air. Hitunglah :

  1. berat balok
  2. Nilai drag bila mengapung di air laut (ρ = 1025 kg/m3)
  3. Berapa berat maksimal yang dapat didukung balok, jika drag balok 3,5 (air tawar)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

ANALISA

 

 


 

    V balok terndam = 1,55 x 11 m x 1 m

                               = 17,05 m3

a.    FG = FB

       FB = γ air x V balok terendam

             = ρ x g x V

  = 1000 kg/m3 x 9,81 m/s2 x 17,05 m3

  = 162760,5 kg m/s2

 

b.   FB = γ zat x V balok terendam

      162760,5 = (1025 x 9,81) x V

           =   167260,5

                          10055.25

                     = 16,634 m3

        V balok terndam = drag x 11 x 1 m’

        16,634 m3  = drag x 11 m2

                Drag = 1,51 m

c. V’ balok terendam = 3,5 m x 11 m x 1 m’

                                  = 38,5 m3

    FG = γ . V’ balok terendam

          = 1000 kg/m3 x 9,81 m/s2 x 38,5 m

          = 377685 N

    Beban max = 377685 – 162760,5

                       = 210424,5 N

 

 

 

BAB V

KESIMPULAN

 

Jadi kesimpulan dari permasalahan kali ini adalah bila gaya berat lebih besar daripada gaya apung maka benda akan tenggelam dan sebaliknya bila gaya berat lebih kacil daripada gaya apung maka benda akan terapung.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Bambang Triatmodjo, 1993, Hidraulika I, Beta offset, Yogyakarta.
  2. Bambang Triatmodjo, 1993, Soal-soal Penyelesaian Hidraulika II, Beta Offset, Yogyakarta.

 

 

 

 

MAKALAH PENYEBARAN LAHAN MASAM POTENSI DAN KETERSEDIAAN UNTUK MENGEMBANGKAN PERTANIAN

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i...........

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

 

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1

A.    Latar Belakang....................................................................................... 1

 

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3

A.   Karakteristik Dan Penyebaran Lahan Masam....................................... 3

B.   Potensi Lahan Masam........................................................................... 5

C.   Ketersediaan Lahan Dan Peluang Perluasan Areal Pertanian............... 6

 

BAB III PENUTUP............................................................................................. 11

A.    Kesimpulan.......................................................................................... 11

 

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................      12


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Latar Belakang

Potensi sumber daya lahan Indonesia cukup besar yang memiliki wilayah daratan sekitar 188,2 juta ha, terdiri atas 148 juta lahan kering dan sisanya berupa lahan basah termasuk lahan rawa (gambut,  pasang  surut,  lebak)  dan  lahan  yang  sudah  menjadi sawah  permanen.  Keragaman  tanah,  bahan  induk,  fisiografi, elevasi, iklim, dan lingkungannya menjadikan sumber daya lahan yang beranekaragam, baik potensi maupun tingkat kesesuaian lahannya untuk berbagai komoditas pertanian. Variasi iklim dan curah hujan yang relatif tinggi di sebagian besar wilayah Indonesia mengakibatkan tingkat pencucian basa di dalam tanah cukup intensif, sehingga kandungan basa-basa rendah dan tanah menjadi masam (Subagyo et al., 2000). Hal ini yang menyebabkan sebagian besar  tanah  di  lahan  kering  bereaksi  masam  (pH  4,6-5,5)  dan miskin unsur hara, yang umumnya terbentuk dari tanah mineral. Mulyani et al. (2004) telah mengidentifikasi lahan kering masam berdasarkan data sumber daya lahan eksplorasi skala 1:1.000.000, yaitu dari total lahan kering sekitar 148 juta ha dapat dikelompokkan menjadi lahan kering masam 102,8 juta ha dan lahan kering tidak masam seluas 45,2 juta ha.

Sedangkan di lahan basah, lahan masam ditemukan pada lahan sawah yang berasal dari bahan mineral berpelapukan lanjut dan pada lahan rawa terutama terdapat di lahan sulfat masam serta tanah organik (gambut). Lahan rawa di Indonesia luasnya cukup luas sekitar 33,4-39,4 juta ha (Widjaja-Adhi et al., 2000), menyebar  dominan  di  Sumatera,  Kalimantan,  Sulawesi  dan Papua. Lahan rawa tersebut terdiri atas lahan rawa pasang surut 23,1 juta ha dan lahan rawa lebak 13,3 juta ha

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa sebagian besar lahan daratan Indonesia termasuk pada lahan masam, yang sebagian telah dimanfaatkan untuk memproduksi berbagai jenis komoditas pertanian, baik tanaman pangan maupun tanaman tahunan (perkebunan dan hortikultura). Ciri utama lahan masam adalah tingkat produktivitas lahannya yang rendah untuk beberapa jenis tanaman terutama tanaman pangan utama seperti padi, jagung, kedelai, sehingga untuk meningkatkan produktivitasnya diperlukan pemupukan berimbang (pupuk organik dan anorganik), bahkan untuk meningkatkan pH tanah diperlukan pengapuran.

Makalah ini akan memberikan informasi penyebaran dan karakteristik lahan masam, potensi lahannya serta ketersediaan- nya untuk pengembangan pertanian di masa yang akan datang.

 

 


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Karakteristik Dan Penyebaran Lahan Masam

  1. Karakteristik dan Penyebaran Lahan Kering Masam

Secara umum, lahan kering dapat didefinisikan sebagai suatu   hamparan   lahan   yang   tidak   pernah   digenangi   atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Lahan kering masam adalah lahan yang mempunyai sifat-sifat seperti pH rendah, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB) dan C- organik  rendah,  kandungan  aluminium  (kejenuhan  Al)  tinggi, fiksasi P tinggi, kandungann besi dan mangan mendekati batas meracuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan Sudjadi, 1993; Soepardi, 2001). Tingginya curah hujan di sebagian wilayah Indonesia menyebabkan tingkat pencucian hara tinggi terutama basa-basa, sehingga basa-basa dalam tanah akan segera tercuci keluar lingkungan tanah dan yang tinggal dalam kompleks adsorpsi liat dan humus adalah ion H dan Al. Akibatnya tanah menjadi bereaksi masam dengan kejenuhan basa rendah, dan menunjukkan kejenuhan aluminium yang tinggi (Subagyo et al., 2000). Selain itu, tanah-tanah yang terbentuk umumnya merupakan tanah berpenampang dalam, berwarna merah-kuning, dan mempunyai kesuburan alami yang rendah.

Untuk mengetahui luas dan penyebaran lahan masam di Indonesia, telah dilakukan pengelompokan lahan berdasarkan karakteristik tanah yang ada pada basis data Sumber Daya Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1:1.000.000 (Puslitbangtanak, 2000). Ordo tanah yang ditemukan di Indonesia ada 10 yaitu Histosols, Entisols, Inceptisols, Alfisols, Mollisols, Vertisols, Ultisols, Oxisols, Andisols, dan Spodosols. Semua ordo Histosol (gambut) dan ordo tanah lainnya yang mempunyai rezim kelembapan aquik dikelompokkan menjadi lahan basah, dan sisanya menjadi lahan kering. Lahan kering dipilah lebih lanjut menjadi lahan kering masam dan non-masam. Lahan kering bertanah masam dicirikan dengan pH < 5,0 dan kejenuhan basa < 50%, yang tergolong pada tanah-tanah yang mempunyai sifat distrik. Sebaliknya lahan yang bertanah tidak masam adalah lahan dengan pH > 5,0 dan kejenuhan basa > 50%, yang tergolong pada tanah-tanah yang bersifat eutrik (Hidayat dan Mulyani, 2002). Tanah-tanah yang umumnya mempunyai pH masam di lahan kering adalah ordo Entisols,  Inceptisols,  Ultisols,  Oxisols,  dan  Spodosols  terutama yang mempunyai iklim basah dengan curah hujan tinggi (kelembapan udik). Sedangkan lahan kering yang tidak masam umumnya   terdiri   atas   ordo   Inceptisols,   Vertisols,   Mollisols, Andisols, dan Alfisols, yang berada pada daerah beriklim kering (rezim kelembapan ustik).

  1. Karakteristik dan penyebaran lahan rawa masam

Lahan rawa pasang surut merupakan rawa pantai pasang surut di dekat muara sungai besar yang dipengaruhi secara langsung oleh aktivitas air laut. Pada wilayah pasang surut karena lingkungannya selalu jenuh air dan tergenang, terdapat dua jenis utama  yaitu  tanah  mineral  (mineral  soils)  jenuh  air  dan  tanah gambut (peat soils).

Tanah mineral yang dijumpai di wilayah pasang surut terbentuk dari bahan endapan marin yang proses pengendapan- nya dipengaruhi air laut. Pada wilayah agak ke dalam, pengaruh sungai relatif masih kuat sehingga tanah bagian atas terbentuk dari endapan sungai sedangkan bagian bawah terdapat bahan sulfidik (pirit) dari pengendapan lumpur yang terjadi lebih dahulu. Berdasarkan tipologi lahannya, dibedakan menjadi lahan sulfat masam potensial (SMP) dan lahan sulfat masam aktual (SMA). Lahan SMP merupakan lahan yang mempunyai bahan sulfidik (pirit) pada kedalaman 0-100 cm dari permukaan tanah, mempunyai   pH   >   3,5   yang   makin   tinggi   selaras   dengan kedalaman tanah. Sedangkan lahan SMA mempunyai pH tanah lapang  <  3,5,  mempunyai  horizon  sulfurik  atau  tanda-tanda horizon sulfurik yang disebabkan teroksidasinya pirit akibat drainase berlebihan.

Tanah gambut terbentuk dari lapukan bahan organik yang berasal dari penumpukan sisa jaringan tumbuhan pada masa lampau, dengan kedalaman bervariasi tergantung keadaan topografi tanah mineral di bawah lapisan gambut. Tingkat dekomposisi   bahan   organik   dapat   dibedakan   menjadi   tiga tingkatan yaitu fibrik, hemik, dan saprik. Selanjutnya lahan gambut dibedakan berdasarkan kedalamannya menjadi gambut dangkal (kedalaman   50-100   cm)   dengan   tingkat   dekomposisi   hemik sampai saprik; gambut sedang (> 100-200 cm) dengan tingkat dekomposisi hemik sampai saprik; dan gambut dalam (> 200-300 cm) dengan tingkat dekomposisi fibrik sampai hemik; dan gambut sangat  dalam  (>  300  cm)  dengan  tingkat  dekomposisi  fibrik sampai hemik (Widjaja-Adhi et al., 2000).

Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3 - 5. Gambut oligotropik yang memiliki substratum pasir kuarsa di Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3,25 – 3,75 (Halim, 1987; Salampak, 1999). Sementara itu gambut di sekitar Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan memiliki kisaran pH yang lebih tinggi yaitu antara 4,1 - 4,3 (Hartatik et al., 2004).

 

B.     Potensi Lahan Masam

1.      Potensi Lahan Kering Masam

Berdasarkan Atlas Sumber Daya Tanah Eksplorasi Indonesia pada skala 1:1.000.000 (Puslitbangtanak, 2000) telah dilakukan pemilahan lahan kering berdasarkan kemasaman tanahnya, sehingga diperoleh penyebaran dan luas lahan kering masam seluas 102,8 juta ha. Untuk mengetahui potensi lahan kering masam untuk pengembangan pertanian, telah dilakukan evaluasi (tumpang tepat) antara peta lahan kering masam dengan Peta Arahan Tata Ruang Pertanian Nasional pada skala eksplorasi (Puslitbangtanak, 2001). Dalam arahan tata ruang tersebut, kelompok tanaman yang dapat dikembangkan di lahan kering dipilah berdasarkan tanaman semusim dan tanaman tahunan/perkebunan yang sesuai di daerah beriklim basah dan beriklim kering, serta pada wilayah dataran rendah dan dataran tinggi.

2.      Potensi Lahan Rawa

Berdasarkan data sumber daya tanah eksplorasi Indonesia skala 1:1.000.000 (Puslitbangtanak, 2000), lahan rawa dapat dipilah menjadi tanah yang berasal dari bahan mineral dan tanah dari bahan induk gambut (Tabel 9). Untuk mengetahui berapa luas lahan rawa yang sesuai untuk budi daya pertanian, telah dilakukan tumpang tepat (overlayed) antara peta sumber daya tanah eksplorasi  dengan  peta  arahan  tata  ruang  pertanian  nasional skala 1:1000.000 (Puslitbangtanak, 2001). Hasilnya menunjukkan bahwa dari total lahan rawa 34,7 juta ha, sekitar 24,8 juta ha yang sesuai untuk budi daya pertanian, yang terdiri atas lahan yang sesuai untuk pengembangan lahan sawah 13,2 juta ha, lahan kering semusim 244.096 ha, tanaman tahunan seluas 4,8 juta ha, dan untuk mangrove (perikanan air payau/tambak) seluas 6,6 juta ha  (Tabel  13).  Apabila  dipilah  lebih  lanjut,  dari  24,8  juta  ha ternyata lahan yang sesuai untuk budi daya pertanian tersebut umumnya berada pada lahan mineral yaitu sekitar 20,1 juta ha dan sisanya 4,7 juta ha berada di lahan gambut masing-masing 443.232 ha untuk padi sawah, 59.237 ha untuk tanaman semusim (palawija   dan   sayuran),   dan   4,0   juta   ha   untuk   tanaman tahunan/perkebunan,  serta  115.769  ha  untuk  pengembangan mangrove/perikanan air payau.

 

C.    Ketersediaan Lahan Dan Peluang Perluasan Areal Pertanian

1.      Ketersediaan Lahan

Untuk mengetahui luas lahan yang masih tersedia untuk perluasan areal pertanian dapat dideteksi dengan memperkirakan lahan-lahan sesuai yang saat ini belum dimanfaatkan untuk usaha apapun (lahan terlantar/lahan tidur), yaitu dengan cara menumpangtepatkan antara peta arahan tata ruang pertanian (Puslitbangtanak, 2001)  dengan  peta  penggunaan  lahan  (BPN,2000-2004).

Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat lahan yang sesuai untuk pengembangan pertanian dimana saat ini berupa semak belukar atau rerumputan, yaitu seluas 30,7 juta ha. Dari luasan  tersebut,  lahan  yang  tersedia  untuk  perluasan  areal  di lahan basah (sawah) seluas 8,3 juta ha, terdiri atas 3 juta ha di lahan rawa, dengan penyebaran terluas terdapat di Papua, Kalimantan dan Sumatera, serta di lahan non-rawa seluas 5,3 juta ha terluas di Papua, Kalimantan, dan Sumatera

Sedangkan lahan tersedia di lahan kering sekitar 22,4 juta ha yang terdiri atas lahan yang sesuai untuk tanaman semusim sekitar 7,1 juta ha dan untuk tanaman tahunan seluas 15,3 juta ha (Tabel 14). Lahan tersedia di lahan kering merupakan lahan kering total yang tidak memisahkan antara lahan kering masam ataupun lahan kering non-masam.  Dari  30,7  juta  ha  lahan  yang  belum dimanfaatkan (lahan terlantar), sekitar 10,3 juta ha berada di kawasan budi daya pertanian dan 20,4 juta ha berada di kawasan budi daya kehutanan (hutan produksi dan HPH).

2.      Permasalahan dan Peluang Pengembangan

Dalam pengembangan komoditas pertanian di suatu wilayah, akan menghadapi berbagai permasalahan teknis di tanah masam lahan kering yaitu berupa rendahnya tingkat kesuburan tanah dan ketersediaan air pada musim kemarau. Tanah masam umumnya dicirikan oleh sifat reaksi tanah masam (pH rendah) yang berkaitan dengan kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat tukar rendah, kandungan besi dan mangan yang mendekati batas meracuni, peka erosi, miskin elemen biotik. Kendala tersebut memang relatif lebih mudah diatasi dengan teknologi pemupukan, pengapuran, serta pengelolaan bahan organik.

Seperti telah disebutkan di atas, total tanah mineral masam sangat luas penyebarannya yaitu sekitar 102 juta ha, terluas terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Dengan kendala biofisik yang telah disebutkan  di  atas,  peluang  pengembangan pertanian di tanah masam ini masih besar. Soepardi (2001) mengemukakan bahwa tidak terlalu sulit untuk membenahi tanah masam sehingga menjadi baik, aman dan siap tanam untuk usaha tani yang menguntungkan dan berkelanjutan. Kendala ini dapat ditangkal dengan menerapkan teknologi pengapuran yang dilanjutkan dengan perawatan, dan pemilihan jenis tanaman yang cocok pada kondisi tersebut. Jumlah kapur yang diberikan disesuaikan   dengan   kebutuhan   tiap   jenis   tanah,   dan   jenis tanaman yang akan diusahakan dapat berfungsi (1) meredam (alleviate) reaksi masam tanah untuk waktu lama dan mengubahnya menjadi tidak masam; (2) menyingkirkan bahaya keracunan Al (tanda keracunan Al, akar membengkak, gagal berkembang dengan baik, dan kehilangan daya serap air dan hara); (3) meradam bahaya keracunan besi, mangan, dan anasir senyawa organik; (4) menurunkan daya fiksasi P sekaligus membebaskan P yang semula diikat kuat; (5) meningkatkan ketersediaan basa; (6) memperlancar serapan unsur hara dari tanah;  dan  (7)  meningkatkan  respon  tanaman  terhadap  upaya pemupukan dan budi daya lainnya. Selain itu, Adiningsih dan Sudjadi (1993) menambahkan bahwa tanah masam dapat ditingkatkan  produktivitasnya  dengan  pemupukan,  pengapuran dan pengelolaan bahan organik (alley croping).

Pendapat tersebut di atas memang tidak sulit dilaksanakan bagi  petani yang mempunyai  kemampuan  teknis  maupun  non- teknis (modal cukup) serta pengetahuan yang sudah maju, sementara kondisi petani kita pada umumnya berada pada kondisi yang kurang mampu dan tidak cukup modal untuk menerapkan teknologi tersebut, sehingga tanah akan tetap masam dan produktivitas tanah rendah, dan akibatnya produksi pertanian sulit ditingkatkan.  Kondisi  ini  berlaku  untuk  wilayah  yang  dominan usaha taninya adalah berbasis tanaman pangan. Tetapi pada wilayah yang berbasis tanaman perkebunan (kelapa sawit atau karet), khususnya perkebunan negara kendala tersebut mungkin dapat teratasi. Sedangkan untuk perkebunan rakyat dan sebagian perkebunan swasta, perbaikan kualitas lahan ini (pemupukan dan pengapuran) kurang diperhatikan. Hal ini terlihat dari produksi kelapa  sawit  yang  jauh  berbeda  antara  perkebunan  negara dengan  perkebunan  rakyat/swasta  yaitu  2,69  t  ha-1   th-1   untuk perkebunan rakyat, 4,59 t ha-1 untuk perkebunan negara, dan 2,87 t ha-1  th-1  untuk perkebunan swasta (Ditjen Perkebunan, 2002). Dari kasus ini terlihat, bahwa ternyata tidak hanya dalam usaha tani tanaman pangan saja masalah ini menjadi kendala, bahkan pada tanaman perkebunanpun umumnya, usaha peningkatan produktivitas lahan belum optimal.

Belajar dari keberhasilan beberapa sentra produksi komoditas pertanian di beberapa wilayah tanah masam ini, seperti lada  di  Bangka/Belitung,  Lampung  untuk  palawija  (ubi  kayu, jagung), Kalbar untuk lada dan jagung (Gambar 2) yang umumnya diusahakan pada tanah masam dan berproduksi baik serta dapat bertahan dalam beberapa dekade terakhir. Keberhasilan usaha tani jagung di Kecamatan Sanggoledo, Kalbar, mampu memproduksi jagung 70 t hari-1  dan dapat berproduksi sepanjang tahun untuk memasok  beberapa  pabrik  pakan  ternak  di  Singkawang,  dari luasan   total   8.000   ha   lahan   masam   yang   ditanam   secara bergantian. Kedua ilustrasi tersebut mengindikasikan bahwa tanah masam yang cukup luas ini sebetulnya sangat berpotensi untuk memproduksi berbagai komoditas pertanian (pangan, hortikultura, dan     tanaman   tahunan/perkebunan)   dengan   sedikit   sentuhan teknologi  pengelolaan  lahan  baik  itu  pengelolaan  secara  teknis maupun non-teknis (kelembagaan).

 

 

 

b                                                       a

 

c                                                             d

Gambar . Pemanfaatan lahan kering masam (a dan b) dan lahan rawa (c dan d) untuk berbagai komoditas pertanian

 

Sedangkan untuk masalah kekurangan air pada musim- musim tertentu, saat ini memang belum banyak yang dapat dilakukan petani, bahkan peran pemerintah untuk penyediaan irigasi di lahan kering masih belum terlihat. Pada umumnya petani lebih sering memberakan lahannya pada musim kemarau, kecuali pada beberapa wilayah sentra produksi yang telah ada usaha untuk menggunakan air  permukaan  ataupun  air  dalam  dengan pompanisasi.

Demikian pula di lahan rawa, meskipun terdapat kendala dan permasalahan biofisik lahan, namun dengan terobosan inovasi pengelolaan lahan rawa, maka lahan rawa dapat dimanfaatkan secara optimal (Gambar2).


BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Sebagian besar iklim di Indonesia termasuk pada iklim basah yang mempunyai curah hujan tinggi, mengakibatkan tingkat pencucian basa di dalam tanah cukup intensif, sehingga kandungan basa-basa rendah dan tanah menjadi masam. Lahan kering masam cukup luas sekitar 102 juta ha dan sekitar 56,3 juta ha diantaranya adalah lahan yang sesuai untuk usaha pertanian (pada wilayah datar-berbukit dengan lereng <30%). Sedangkan lahan rawa yang umumnya bersifat masam (rawa pasang surut, lebak dan gambut) dari luasan 34,7 juta ha sekitar 24,8 juta ha termasuk lahan yang sesuai untuk budi daya pertanian. Namun, sebagian besar lahan sesuai tersebut telah dimanfaatkan untuk usaha   berbagai   sektor   baik   sektor   pertanian   maupun   non pertanian. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap lahan yang belum dimanfaatkan (lahan terlantar), terdapat sekitar 30,7 juta ha lahan   terlantar baik yang ada di kawasan budi daya pertanian

 (10,3 juta ha) maupun budi daya kehutanan (20,4 juta ha). Lahan ini ke depan akan bersaing pemanfaatannya untuk berbagai kepentingan  baik  untuk  pertanian  maupun  non-pertanian, sehingga makin terbatas ketersediaannya. Lahan subur sebagian besar telah dimanfaatkan, sehingga yang tersisa untuk pengembangan ke depan adalah lahan sub optimal atau marjinal (lahan kering masam dan rawa). Oleh karena itu, dalam pemanfaatannya perlu didukung oleh teknologi pengelolaan sumber daya lahan seperti benih unggul tahan masam di lahan kering dan rawa, pemupukan berimbang, penyediaan irigasi suplementer untuk lahan kering dan pengaturan drainase untuk lahan rawa, konservasi tanah dan air untuk lahan berlereng.


DAFTAR PUSTAKA

 

Adiningsih, J. dan M. Sudjadi. 1993. Peranan sistem bertanam lorong (Alley cropping) dalam meningkatkan kesuburan tanah pada lahan kering masam. Risalah Seminar, Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor (Tidak dipublikasikan).

 

Badan              Litbang     Pertanian.     2007.     Prospek     dan     Arah Pengembangan      Komoditas   Pertanian:   Tinjauan   Aspek Sumber daya Lahan. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

 

BBSDLP. 2008. Policy Brief Keragaan dan Ketersediaan Sumber Daya Lahan untuk Pembangunan Pertanian. Balai Besar Penelitian           dan   Pengembangan   Sumber   daya   Lahan Pertanian, Bogor.

 

Dirjen Perkebunan. 2002. Statistik Perkebunan Indonesia 2000-

 

2002. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Jakarta.

 

Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. hlm.       1-34   dalam   Abdurachman   et   al.   (Ed.).   Buku Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

 

Mulyani, A., Hikmatullah, dan H. Subagyo. 2004. Karakteristik dan potensi tanah masam lahan kering di Indonesia. hlm. 1-32 dalam          Prosiding   Simposium   Nasional   Pendayagunaan Tanah    Masam.   Pusat   Penelitian   dan   Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

 

Nugroho,  K.,  Alkasuma,  Paidi,  W.  Wahdini,  Abdulrachman,  H.

 

Suhardjo, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1991. Laporan Akhir. Penentuan  Areal  Potensial  Lahan  Pasang  Surut,  Rawa, dan      Pantai    skala    1:500.000.    Laporan    Teknik    No.

1/PSRP/1991. Proyek penelitian Sumber daya Lahan, Puslittanah dan Agroklimat, Bogor.

 

Puslitbangtanak. 2000. Atlas Sumber Daya Tanah Eksplorasi Indonesia.     Skala   1:1.000.000.   Pusat   Penelitian   dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.