Monday, 25 October 2021

MAKALAH TENTANG EPILEPSI

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Pada dasarnya epilepsi merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP) yang timbul akibat adanya ketidak seimbangan polarisasi listrik di otak. Ketidak seimbangan polarisasi listrik tersebut terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif pada neuron sehingga menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang berlebihan dari sebagian atau seluruh daerah yang ada di dalam otak. Epilepsi sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penyandangnya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya).

Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif di antara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang.

Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja, permasalahan yang terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks.

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Pengertian

Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988).

Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007). Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).

Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.

Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan berbagai gangguan fisik.

Epilepsy adalah merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang-ulang. Diagnosa ditegakkan paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988). Bangkitan epilepsi adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai gejala klinis, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik dari neuron-neuron otak secara berlebihan dan berkala tetapi reversibel dengan berbagai etiologi.

 

2.2  Etiologi

1.      Idiopatik.

2.      Acquerit : kerusakan otak, keracunan obat, metabolik, bakteri.

- trauma lahir

- trauma kepala

- tumor otak

- stroke

- cerebral edema

- hypoxia

- keracunan

- gangguan metabolik

- infeksi.

 

2.3  Patofisiologi

Menurut para penyelidik bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari sekumpulan sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan secara berlebihan dan hypersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut juga sebagai fokus epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik yang umum maupun yang fokal (parsial). Lepas muatan listrik ini kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan melibatkan daerah disekitarnya atau daerah yang lebih jauh letaknya di otak.

Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan epilepsi klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron diserebellum di bagian bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan tidak mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan (mekanisme terjadinya epilepsi).

Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.

 

2.4  Klasifikasi dan gambaran klinis

1.      Epilepsi Umum.

·         Grand mal.

·         Petit mal.

·         Infantile spasm.

2.      Epilepsi Jenis Focal / Parsial.

·         Focal motor.

·         Focal sensorik.

·         Psikomotor.

3.      Gejala :   

Bangkitan umum :

a.       Tonik :  20 – 60 detik.àkontraksi otot, tungkai dan siku fleksi, leher dan punggung melengkung, jeritan epilepsi (aura).

b.      Klonik : spasmus  40 detik.àflexi berseling relaksasi, hypertensi, midriasis, takikardi, hyperhidrosis, hypersalivasi.

c.       Pasca Serangan : aktivitas otot terhenti klien sadar kembali lesu, nyeri otot dan sakit kepala klien tertidur 1-2 jam

4.      Jenis parsial :

a.       Sederhana : tidak terdapat gangguan kesadaran.

b.      Komplex : gangguan kesadaran.

Ad :

1.              Grand mal (Tonik Klonik) :

Ditandai dengan aura : sensasi pendengaran atau penglihatan.

a.       Hilang kesadaran.

b.      Tonus otot meningkat  sikap fleksi / ekstensi.

c.       Sentakan, kejang klonik.

d.      Lidah dapat tergigit, hypertensi, tachicardi, berkeringat, dilatasi pupil dan hypersalivasi.

e.       Setelah serangan pasien tertidur 1-2 jam.

f.       Pasien lupa, mengantuk dan bingung

·         Hilang kesadaran sebentar.

·         Klien tampak melongo.

·         Apa yang dikerjakannya terhenti.

·         Klien terhuyung tapi tidak sampai jatuh.

2.              Infantile Spasm :

a.       Terjadi usia 3 bulan – 2 tahun.

b.      Kejang fleksor pada ektremitas dan kepala.

c.       Kejang hanya beberapa fetik berulang.

d.      Sebagian besar klien mengalami retardasi mental.

3.              Focal motor :

Lesi pada lobus frontal.

4.              Focal Sensorik :

Lesi pada lobus parietal.

5.              Focal Psikomotor :

Disfungsi lobus temporal.

Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan

Epilepsi partial (lokal, fokal):

1.      Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap norm

Dengan gejala motorik:

·         Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja

·         Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson

·         Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.

·         Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu.

·         Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu

·         Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.

·         Visual : terlihat cahaya

·         Auditoris : terdengar sesuatu

·         Olfaktoris : terhidu sesuatu

·         Gustatoris : terkecap sesuatu

·         Disertai vertigo

    

2.      Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.

         Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.

a.       Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.

b.      Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.

3.      Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik).

Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.

Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.

Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.

 

2.5  Manisfestasi Klinis Dan Prilaku

a)       Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan

b)       Kelainan gambaran EEG

c)       Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptoge

d)      Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)

e)       Napas terlihat sesak dan jantung berdebar

f)        Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat.

g)       Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan normal

h)       Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat

i)         Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara tiba- tiba

j)         Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang- menendang

k)       Gigi geliginya terkancing

l)         Hitam bola matanya berputar- putar

m)     Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil

 

2.6  Pemeriksaan Diagnostik

a)      CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas

b)      Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan

c)      Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.

d)     mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah

·         menilai fungsi hati dan ginjal

·         menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya infeksi).

·         Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak

 

2.7  Komplikasi

Kerusakan otak akibat hypoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang berulang.

 Dapat timbul depresi dan keadaan cemas.

 

2.8  Penatalaksanaan

Manajemen Epilepsi :

·         Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsi

·         Melakukan terapi simtomatik

·         Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan yang dicapai, yakni:

·         Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.

·         Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang normal.

·         Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.

Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia), perbaikan gangguan metabolism ini biasanya akan ikut menghilangkan serangan itu.

Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di atas.

Cara menanggulangi kejang epilepsi :

1.            Selama Kejang

a)      Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu

b)      Mengamankan pasien di lantai jika memungkinka

c)      Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.

d)     Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.

2.            Setelah Kejang

a)        Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.

b)        Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa jalan napas paten.

c)        Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal

d)       Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang

e)        Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkunga

f)         Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang dan biarkan penderita beristirahat.

g)        Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembut

h)        Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian pengobatan oleh dokter.

 

2.9  Pencegahan

Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.

Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.

 

2.10     Pengobatan

Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.

Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.

Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.

Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi ini pertama pengobatan adalah karbamazepin dan fenitoin. Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital, primidone, tiagabine, topiramate, dan asam valproat digunakan sebagai pengobatan lini kedua. Terapi dimulai dengan obat anti epilepsi garis pertama. Bila plasma konsentrasi obat di ambang atas tingkat terapeutis namun penderita masih kejang dan AED tak ada efek samping, maka dosis harus ditingkatkan. Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih AED, bila tak mempan diberikan AED tingkat kedua.


 

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

 

3.1  Pengkajian

Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.

Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.

Riwayat penyakit dahulu:

         Trauma lahir, Asphyxia neonatorum

         Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf

         Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)

         Tumor Otak

         Kelainan pembuluh darah

         Demam.

         Strok

         gangguan tidur

         penggunaan obat

         hiperventilasi

         stress emosional

Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.

Riwayat psikososial :

         Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita

      Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di masyarakat).

 

3.2  Diagnosa Keperawatan

1.        Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).

2.        Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva

3.        Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat

 

3.3  Rencana Asuhan Keperawatan

1.        Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).

Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh

Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh.

 

Intervensi

Rasional

Observasi:

Identivikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya cedera

 

 Barang- barang di sekitar pasien dapat membahayakan saat terjadi kejang

Pantau status neurologis setiap 8 jam

Mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil yang diharapkan

Mandiri

Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien saat terjadi kejang

 

 Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak terkontrol

Pasang penghalang tempat tidur pasien

Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh

Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar

Area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada pasien

Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang

Memberi penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali

Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi kejang

Lidah berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar

Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum kejang

Untuk mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada pasien

Kolaborasi:

Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter

 

 Mengurangi aktivitas kejang yang berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke otak

Edukasi:

 Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang.

 

 Sebagai informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan sebelum terjadinya kejang berkelanjutan

Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama pasien kejang

Melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko cedera

 

2.        Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva

Tujuan : jalan nafas menjadi efektif

Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea


 

Intervensi                                  

Rasional

Mandiri

Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.

Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar

 

 Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen

 Melakukan suction sesuai indikasi

 

 Kolaborasi

Berikan oksigen sesuai program terapi.

 

menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring.

 

 

 meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas

untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada

 

Mengeluarkan mukus yang berlebih,  menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.

Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang.

 

3.        Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat

Tujuan: mengurangi rendah diri pasien

Kriteria hasil:

-          adanya interaksi pasien den          gan lingkungan sekitar

-          menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat

Intervensi

Rasional

Observasi:

 Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien

 

 Memberi informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien

Mandiri

 Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada pasien

 

 Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri

Kolaborasi:

 Kolaborasi dengan tim psikiater

 

 Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.

Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi dan sebagainya.

Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.

Edukasi:

 Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien

 

 Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan psikologis pasien

Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak menular

Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat menular).

 

4.        Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat

Tujuan: mengurangi rendah diri pasien

Kriteria hasil:

-          adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar

-          menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat

Intervensi

Rasional

Observasi:

 Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien

 

 Memberi informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien

Mandiri

 Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada pasien

 

 Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri

Kolaborasi:

 Kolaborasi dengan tim psikiater

 

 Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.

Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi dan sebagainya.

Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.

Edukasi:

 Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien

 

 Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan psikologis pasien

Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak menular

Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat menular)

 

3.4  Evaluasi

1.       Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar

2.       Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi

3.       Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak menarik diri (minder)

4.       Pola napas normal, TTV dalam batas normal

5.       Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari- hari secara normal

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Doengoes, Marylin,1999. Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.

Elizabeth, J.Corwin. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Cetakan I. Penerbit : EGC, Jakarta.

Mansjoer, Arif. dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Auskulapius, Jakarta

Ngastiyah, 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC, Jakarta

Engram, Barbara.1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

Hudak & Gallo, 1996, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik Vol 2 EdisiVI, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

 

 

No comments:

Post a Comment