Tuesday, 19 October 2021

MAKALAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN DALAM KERANGKA OTONOMI KHUSUS DI PROPINSI ACEH

 

BAB  I

PENDAHULUAN

 

A.                Latar Belakang Permasalahan.

 

Hutan Aceh terbentang dari ujung provinsi Aceh yang dimulai dari Pulau Weh hingga wilayah selatan Aceh di Kabupaten Singkil termasuk Pulau Siemeulue. Kondisi hutan Aceh berbeda-beda di tiap kabupaten, baik dari segi fungsi dan peruntukannya maupun kondisi aktual di lapangan. Wilayah pesisir Aceh umumnya merupakan dataran rendah yang datar dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi dan mempunyai wilayah hutan yang tidak begitu luas. Sedangkan sebagian besar wilayah dataran tinggi Aceh merupakan areal hutan yang sangat luas di Aceh yang terbentang dari wilayah Ulu Masen di utara dan barat hingga Kawasan Ekosistem Leuser di selatan dan tenggara Aceh  Secara ekologis, hutan Aceh mempunyai keanekaragaman ekosistem yang sangat kaya dengan berbagai keanekaragaman hayati yang yang dapat ditemuai di Taman Nasional Gunung Leuser. Dengan kondisi ini Taman Nasional Gunung Leuser ditetapkan oleh UNESCO sebagai World Heritage. Selain Gunung Leuser, semua kawasan lindung di Aceh dan hutan Aceh pada umumnya menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat kaya, baik tumbuhan maupun hewan. Disamping itu, hutan Aceh khususnya kawasan ekosistem Leuser diyakini menjadi areal penyerapan debu dan karbon yang cukup besar sehingga keberadaannya sangat berkontribusi dalam mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim.

Namun, selama berpuluh-puluh tahun sejak Orde Baru, hanya kayu yang dilihat sebagai produk hutan yang dikomersilkan. Sehingga hal ini berdampak pada kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan. Pola pendekatan yang hanya melihat kayu sebagai produk hutan sebetulnya merupakan bentuk paradigma paling konvensional dari pola pengelolaan hutan di dunia. Karena menimbulkan dampak buruk antara lain terjadi berbagai kerusakan dan degradasi hutan, maka dorongan untuk menciptakan system pengelolaan hutan yang berkelanjutan dengan menjaga keseimbangan ekosistem menjadi kebutuhan yang sudah disadari oleh banyak pihak saat ini.

Disisi lain hutan juga merupakan sumber daya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah tersebut hutan mempunyai nilai filosofi yang sangat dalam bagi kepentingan umat manusia. Dengan segala kekayaan alam yang dikandungnya hutan memberikan kehidupan bagi makhluk hidup di bumi ini terutama bagi umat manusia. Hutan tidak saja memberikan kehidupan bagi masyarakat yang menempatinya tetapi juga masyarakat di perkotaan.

Namun demikian nilai filosofi hutan tersebut terus menerus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena pengelolaan hutan selama ini kurang memperhatikan arti hakekat yang terkandung pada filosofi hutan sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi terganggu. Pengelolaan hutan lebih mengejar profit yaitu mencari keuntungan ekonomi semata. Dan bahkan negara secara sentralistis mengeksploitir hutan sehingga fungsi sosial kepentingan umum terabaikan. Sebagai akibat dari pengelolaan hutan dengan cara tersebut hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat tajam. Luas hutan berkurang drastis, sedangkan hutan yang tersisa juga mengalami kerusakan yang cukup parah.

Produk Domestik Regional Bruto – Hijau (PDRB) Hijau sebagai salah satu instrument pendukung bagi pelaksanaan pemerintahan daerah berbasis konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang lestari mengacu pada landasan konsitusional Pasal 33 ayat (2) UUD 1945: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara serta ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian, setiap kebijakan dan kegiatan pengelolaan sumber ekonomi dan konservasi sumberdaya alam harus didasari semangat yang terkandung dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945. Kenyataannya negara hanya menjalankan sebagian pasal 33 yakni penguasaan negara atas hutan, namun mengabaikan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Padahal, semangat pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan agar penguasaan negara atas hutan secara bersama-sama juga harus mengakomodir berbagai kelompok kepentingan, tidak hanya kepentingan ekonomis tetapi juga kepentingan ekologis dan sosial. Konsep PDRB Hijau diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif dalam mendorong terwujudnya pengelolaan sumber daya alam yang lestari dan mengurangi bias kepentingan ekonomi jangka pendek.

                                                                                            

B.        Perumusan Permasalahan.

            Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahn sebagai berikut :

1.         Apakah pengelolaan kawasan hutan Aceh  telah dilakukan dengan baik terutama setelah disahkannya Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006.

2.         Apakah yang menjadi kendala implementasi kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Aceh.

 

C.        Tujuan Penulisan

 

Makalah ini membahas berbagai perubahan kebijakan desentralisasi pengurusan sumberdaya hutan sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada kebijakan desentralisasi. lebih lanjut,  serta dampak perubahan kebijakan tersebut terhadap kebijakan pengelolaan kawasan dan sumberdaya hutan di Aceh setelah disahkan UUPA No.11 Tahun 2006.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

     BAB  II     

LANDASAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN DI INDONESIA

 

A.        Tinjauan Teoritis Tentang Pengelolaan Hutan

 

1.         Teori Negara Hukum

            Penggunaan teori negara hukum untuk menjelaskan tentang pengelolaan kawasan hutan  dikarenakan konsep negara hukum merupakan wujud dalam pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan di Indonesia. Negara hukum dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan negara, disamping juga bermakna negara hukum adalah negara yang melalui kekuasaannya sesuai dengan tuntutan hukum yang berlaku akan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Negara Hukum mengandung unsur pembatasan kekuasaan sehingga pengertian mendasar dari negara hukum adalah kekuasaan berdasarkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan dibawah kekuasaan hukum.

            Secara konsepsional sampai saat ini terdapat lima konsep utama negara hukum ialah : Rechsstaat, Rule of Law, Socialist Legality, Nomakrasi Islam dan negara hukum Pancasila1).Abdul Hakim Nusantara mengatakan bahwa UUD 1945 menganut prinsip negara hukum (rechsstaat) yang berorientasi pada prinsip demokrasi dan keadilan sosial dan ada beberapa syarat untuk melaksanakan negara hukum 2).

a.         Adanya sistem pemerintahan negara yang didasarkan pada asas kedaulatan rakyat.

b.         Adanya pembagian kekuasaan yang seimbang antara lembaga-lembaga pemerintah (eksekutif), legislatif dan yudikatif.

c.         Adanya peran social control anggota masyarakat untuk turut mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah.

d.         Berlakunya asas supremasi hukum bahwa tindakan pemerintah senantiasa didasarkan atas hukum positif yang berlaku.

e.         Adanya lembaga peradilan yang bebas dan mandiri dengan diikuti peran masyarakat melakukan social control.

            f.          Adanya jaminan untuk perlindungan hak asasi manusia.

            g.         Adanya sistem perekonomian yang menjamin pembangunan yang merata bagi kemakmuran warga negara. 

            Konsep negara hukum pancasila merupakan istilah yang digunakan untuk membedakan konsep negara hukum ini dengan yang lain dan mempunyai kekhasannya. Konsep ini bersumber dari penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Namun setelah perubahan UUD 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) secara tegas disebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Prinsip pengelolaan kawasan hutan sebagai bagian dari pelaksanaan pengelolaan pemerintahan daerah otonom harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar pemerintahan negara yang digariskan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesa tahun 1945, Pasal 1 ayat (1): Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik, ayat (2): Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, ayat (3): Negara Indonesia adalah negara hukum.

 

2.                  Teori Otonomi Daerah

The Liang Gie berpendapat bahwa otonomi hanya dapat diwujukan melalui desentralisasi yaitu penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya (pemerintah pusat) kepada daerah (pemerintah daerah) menjadi urusan rumah tangga sendiri3). Sejarah penyelenggaraan Pemerintah Republik Indonesia menunjukkan bahwa otonomi daerah merupakan salah satu sendi penting penyelenggaraan pemerintah negara. Otonomi daearh diadakan bukan sekedar menjamin efiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Bukan pula sekedar menampung kenyataan negara yang luas, penduduk banyak dan beribu-ribu pulau. Akan tetapi otonomi daerah merupakan dasar memperluas pelaksanaan demokrasi dan instrumen dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, bahkan tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah merupakan salah satu sendi ketatanegaraan Republik Indonesia4).

Semenjak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 1957 tentang Penyerahan Sebagian Dari Urusan Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan Laut, Kehutanan, dan Karet Rakyat kepada Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I, Pemerintah Indonesia terus menerus melakukan berbagai perubahan kebijakan untuk mendesentralisasikan sebagian urusan pemerintahan. Pada tahun 1974 Pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037), yang kemudian dipandang tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti dengan Undang- Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang yang terakhir inipun kemudian dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga pada tahun 2004 pemerintah sekali lagi menerbitkan Undang-Undang No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Sepuluh tahun terakhir ini pengelolaan hutan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, dalam hal ini ditandai oleh terjadinya perpindahan kekuasaan politik dan pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Sektor kehutanan yang juga berkehendak mendorong desentralisasi tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan banyak orang untuk melaksanakannya.  Hal ini disebabkan karena antara UU Kehutanan No. 41/1999 dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki konflik kewenangan (conflict of Norm). Lahirnya PP No. 38/2008 yang mengatur kewenangan sektor kehutanan belum juga dapat menjamin terwujudnya good forestry governance. Konflik ini sering membawa dampak pada tidak jelasnya pengaturan dan pengelolaan hutan yang seharusnya seperti apa dan oleh siapa. Kecenderungan untuk menyalahgunakan kewenangan pengelolaan sumberdaya hutan dan korupsi di daerah semakin nampak pada era otonomi ini oleh pejabat-pejabat publik 5). 

Pelaksanaan pemerintahan daerah yang berbasis pada pengelolaan sumberdaya alam yang lestari harus bersandarkan kepada dan didasari oleh berbagai Undang- Undang dalam sistem hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang- Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22 tahun 1999 sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang 32 tahun 2004 yang dikenal dengan Undang-Undang Otonomi Daerah mengamanatkan kepada pusat untuk menyerahkan berbagai kewenangan pemerintahan kepada daerah. Dengan kata lain otonomi daerah adalah perwujudan konsep desentralisasi yakni penyelenggaran pemerintahan yang memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada daerah, baik dalam bentuk penyerahan tugas, kewajiban, kewenangan maupun berupa tanggung jawab tertentu. Desentralisasi dimaksudkan untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Karena otonomi daerah tidak hanya menyangkut desentralisasi kewenangan administratif, tetapi juga kebijakan politik dan fiskal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 33 tahun 2004 tentang Dana Perimbangan, maka penerapan konsep PDRB Hijau sangat relevan dalam rangka mendukung terwujudnya pelaksanaan pemerintahan (daerah) yang mandiri berbasis pada prinsip kelestarian sumber daya alam. Implikasi dari relokasi kekuasaan dalam semangat otonomi daerah bukanlah sekedar pelaksanaan fungsi “konsultasi” tugas-tugas pusat yang dilaksanakan oleh aparat di daerah, melainkan penyerahan sepenuhnya tanggung jawab dan wewenang kepada pemerintah daerah atau entitas di daerah sehingga adalah sepantasnya (seharusnya) jika pemerintah daerah berusaha mewujudkan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam yang dimilikinya berdasarkan kondisi lokal yang spesifik. Sehingga, pembangunan berkelanjutan di daerah yang memiliki potensi sumber daya alam (ekonomi) tinggi sekaligus resiko ekologis yang juga tinggi, (hanya) dapat terwujud apabila pelaksanaan pemerintahan dilakukan dengan memperhatikan dan berdasarkan pada sifat khusus daerah.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) memandatkan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan hutan Aceh yang lestari dengan cara diantaranya menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup, menjaga area bernilai konservasi tinggi serta mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Secara khusus dalam Pasal 149 disebutkan bahwa :

(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan tata ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.

(2) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban melindungi, menjaga, memelihara, dan melestarikan Taman Nasional dan kawasan lindung.

(3) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban mengelola kawasan lindung untuk melindungi keanekaragaman hayati dan ekologi.

(4) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota wajib mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan pelindungan lingkungan hidup.

(5) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui jalur pengadilan atau di luar pengadilan.

(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

 

B.        Sejarah Desentralisasi Pengelolaan  Sumber Daya Hutan Di Indonesia

 

1.         Periode Pemerintahan Kolonial Belanda Hingga 1957

Sejarah pengurusan sumberdaya hutan di Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh pengurusan sumberdaya ini oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Peraturan mengenai kehutanan pertama diterbitkan pada pemerintahan Daendels tahun 18083 yang lebih banyak mengurus sumberdaya hutan di Pulau Jawa, sedangkan sumberdaya hutan di luar Jawa belum menjadi perhatian sama sekali. Situasi seperti ini terus berlanjut hingga Indonesia mencapai kemerdekaan pada tahun 1945. Pada masa-masa awal pemerintahan Indonesia setelah kemerdekaan, beberapa peraturan peninggalan dari masa kolonial Belanda masih diberlakukan, antara lain Bosordonantie tahun 1927 yang mengatur keseluruhan pengurusan hutan, dan ordonansi tahun 1931 yang mengatur satwa liar6). Semua peraturan tersebut menggambarkan sifat sentralistik pengurusan sumberdaya hutan di masa itu, di mana keputusan mengenai kehutanan di Pulau Jawa secara keseluruhan masih berada pada Pemerintah Pusat. Pada masa itu Pulau Jawa masih merupakan wilayah produksi pangan yang relatif cukup baik dan pertanian pangan menjadi bagian dari kehidupan rakyat, sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat tidak begitu tergantung pada sumberdaya hutan.

 

Pada tahun 1957 pemerintah menegaskan bahwa kewenangan pengurusan sumberdaya hutan di luar Pulau Jawa berada pada Pemerintah Provinsi4 melalui Peraturan 2 Pemerintah No.64 tahun 1957 (PP No. 64/1957) tentang Penyerahan Sebagian Dari Urusan Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan Laut, Kehutanan, dan Karet Rakyat kepada Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I. Dengan dikeluarkan peraturan ini maka secara formal desentralisasi kewenangan pengurusan sumberaya hutan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah telah dimulai sejak tahun 1957. Dengan peraturan ini maka pemerintah di tingkat provinsi mempunyai kewenangan untuk mengelola sumberdaya hutan di wilayah kerjanya, dan memberikan ijin pemanfaatan kayu dalam bentuk: i) Konsesi Hutan seluas sampai dengan 10.000 hektar dalam jangka waktu 20 tahun, ii) Persil Penebangan seluas sampai dengan 5.000 hektar selama 5 tahun, dan iii) Ijin Tebangan kayu dan pemungutan hasil hutan non kayu lainnya sampai dengan batas tertentu selama 2 tahun.

Dengan kewenangan ini pula, Pemerintah Provinsi berhak untuk memungut pajak dan royalty kayu hasil tebangan dan hasil hutan lainnya berdasarkan luas tebangan dan volume hasil hutan yang dipungut. Sebagian dari pajak dan royalty tersebut harus disetor ke Pemerintah Pusat dan Kabupaten, meskipun jumlahnya tidak ditegaskan dalam peraturan tersebut. Sampai dengan pertengahan dekade 1960-an, kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Provinsi belum menimbulkan banyak kerusakan pada lahan dan sumberdaya hutan karena jumlah dan luas areal yang diberikan untuk ketiga jenis perijinan di atas relatif masih kecil dibanding luas hutan yang kondisinya sebagian besar masih berupa hutan perawan (virgin forests). Pengoperasian ijin-ijin tersebut pada saat itu juga dapat dikatakan belum berdampak negative terhadap kehidupan masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan. Pemegang ijin belum secara nyata berkonflik dengan masyarakat, bahkan dalam beberapa hal keberadan operasi penebangan oleh pemegang ijin memberikan lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Meskipun PP 64/1957 telah banyak memberikan kewenangan kepada Pemerintah Provinsi, namun beberapa kewenangan lain masih berada pada Pemerintah Pusat. Pengalokasian dan penentapan areal untuk menjadi kawasan hutan di suatu wilayah provinsi masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Selain itu, perencanaan kehutanan jangka panjang masih menjadi urusan Pemerintah Pusat, sementara perencanaan jangka menengah meskipun disusun oleh Provinsi, harus mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Pusat. Areal-areal yang dinilai oleh Pemerintah Pusat mempunyai nilai konservasi tinggi, baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa, dicadangkan sebagai kawasan konservasi setelah memperoleh rekomendasi Provinsi. Pencadangan kawasan kawasan konservasi ini dimaksudkan untuk melindungi dan melestarikan keragaman flora dan fauna serta keunikan alam, tanpa memberikan perhatian yang cermat pada keberadaan masyarakat di areal-areal tersebut. Adapun areal-areal yang dinilai mempunyai tingkat erosi yang tinggi, serta areal-areal yang berfungsi sebagai perlindungan tanah dan tata air dialokasikan sebagai hutan lindung, untuk menjaga lingkungan di sekitarnya dari kemungkinan tanah longsor dan banjir.

 

2.         Era Orde Baru 1966 -1998

Dengan berakhirnya masa Orde Lama pada tahun 1966 yang meninggalkan situasi ekonomi yang sangat berat, maka pemerintahan berikutnya, atau Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, mulai melakukan pembangunan ekonomi dengan  mengutamakan pertumbuhan melalui penciptaan lapangan kerja dengan memanfaatkan sumberdaya alam. Desentralisasi urusan kehutanan melalui PP 64/1957 menjadi relatif semakin dipersempit dengan adanya perluasan wewenang Pemerintah Pusat melalui Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967 (UUPK No.5/1967). Pada era ini, sektor kehutanan dan sektor pertambangan merupakan sektor andalan dalam konteks pembangunan ekonomi nasional. Meskipun demikian, sektor-sektor pembangunan lainnya juga dipacu antara lain dalam rangka memajukan pertanian dan perindustrian, sehingga perluasan pembangunan perlu dilaksanakan di Luar Jawa. Dalam situasi belum adanya rencana tata guna tanah atau tata ruang wilayah yang komprehensif di seluruh provinsi, maka perkembangan pembangunan ini memunculkan kompetisi penggunaan lahan antar sektor di luar Jawa, terutama menyangkut penggunaan lahan untuk usaha kehutanan, pertanian dan perkebunan, pertambangan, serta pemukiman (melalui transmigrasi).

Situasi ini direspon oleh Pemerintah Pusat melalui Departemen Pertanian (Pada masa itu urusan kehutanan ada pada Direktorat Jenderal Kehutanan, yang berada di bawah Departemen Pertanian) dengan memberikan instruksi kepada Pemerintah Provinsi untuk melakukan pencadangan kawasan hutan guna menyisihkan areal-areal tertentu untuk tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan. Pencadangan ini dilakukan melalui perencanaan tata guna hutan yang dilakukan melalui proses kesepakakatan seluruh instansi di tingkat provinsi yang menghasilan Tata Guna Hutan Kesepakatan yang mengalokasikan lahan seluas 143 juta hektar sebagai kawasan hutan. Proses ini di satu sisi memperlihatkan adanya desentralisasi sebagian urusan kehutanan ke daerah dengan adanya wewenang Pemerintah Provinsi untuk mengusulkan areal-areal tertentu sebagai kawasan hutan; di sisi lain Pemerintah Pusat melalui instansi-instansinya di daerah terlibat dan memainkan peran yang penting dalam perumusan Tata Gunah Hutan Kesepakatan di tiap provinsi. Selain itu, Pemerintah Pusat melalui Direktorat Jenderal Kehutanan mengesahkan Tata Guna Hutan setiap provinsi, sehingga secara kritis banyak pihak mengatakan bahwa pengalokasian dan pencadangan kawasan hutan di daerah merupakan bagian dari sentralisasi urusan kehutanan (Secara teknis pada saat itu instansi daerah kurang menguasasi data bio-fisik wilayah, sehingga instansi Direktorat Jenderal Kehutanan di daerah yaitu Balai Planologi Kehutanan merupakan motor dalam penyusunan konsep TGHK). Sifat sentralistik urusan kehutanan ini menjadi semakin terlihat dari peran Pemerintah Pusat dalam memberikan Hak Pengusahaan Hutan pada kawasan hutan Produksi yang dialokasikan sekitar 60 juta hektar di seluruh Indonesia. Pada masa ini eksploitasi hutan ditingkatkan dalam rangka memacu perolehan devisa untuk mengatasi ituasi ekonomi nasional yang sangat memprihatinkan. Pemerintah Pusat mengendalikan operasi ekploitasi hutan melalui berbagai peraturan dan perencanaan, sementara Pemerintah Daerah hanya mengendalikan kegiatan operasional lapangan. Dalam beberapa hal kondisi ini telah membantu perekonomian nasional dari sisi perolehan devisa dan pembangunan industri-industri dalam rangka transformasi ekonomi nasional menuju ke perekonomian industri. Namun demikian ekstraksi sumberdaya hutan yang terjadi pada waktu itu telah banyak merubah bentang alam yang semula berupa virgin forests menjadi secondary forests. Selain itu hak-hak masyarakat adat dan masyarakat setempat yang selama ini secara de facto diakui menjadi tersisih oleh adanya hak-hak pengusahaan yang secara legal formal diperoleh melalui peraturan yang ada (Masyarakat adat dalam pengertian ini adalah masyarakat yang anggotanya masih berada di tanah yang mereka tempati (di dalam hutan) sejak nenek moyangnya, dan mereka masih mentaati hukum adat yang berlaku di komunitasnya. Masyarkat setempat adalah masyarakat yang sudah tidak terikat dengan hokum adat, tapi masih menempati tanah (hutan) yang mereka warisi dari nenek moyangnya)7).

Hak-hak masyarakat atas tanah mulai diperbaiki dengan adanya Instruksi Menteri Dalam Negeri pada tahun 1972 kepada Camat seluruh Indonesia untuk memberikan Surat  Keterangan Tanah (SKT) seluas 2 ha kepada Kepala Keluarga masyarakat yang telah lama menempati tanah untuk pemukiman dan usaha pertaniannya. Melalui kebijakan ini dimaksudkan ada keberpihakan pemerintah kepada masyarakat untuk memperoleh hak yang selama ini belum mendapat pengakuan karena ketidak berdayaan mereka dalam mengurus hak. Namun demikian, kebijakan yang baik ini banyak dimanfaatkan oleh para pihak yang seharusnya tidak berhak, untuk menguasi tanah, sehingga pada tahun 1979 Menteri Dalam Negeri mencabut kebijakan ini untuk menghindari penguasaan tanah yang tidak semestinya, yang diperkirakan malah akan semakin merugikan masyarkat adat dan masyarakat setempat.

 

3.         Reformasi 1998

Pengaruh negatif pemerintahan yang bersifat sentralistik terhadap sumberdaya alam dan masyarakat ternyata berlangsung bersamaan dengan kondisi politik yang semakin tidak kondusif dalam era Orde Baru yang berjalan selama 32 tahun, sehingga menimbulkan gerakan reformasi yang menjatuhkan rezim Orde Baru pada tahun 1998. Gerakan reformasi ini diikuti dengan semangat desentralisasi seluruh urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, termasuk urusan kehutanan. Hal ini ditandai dengan terbitnya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No.22/1999) dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom.

Dalam UU dan PP tersebut sebagian besar urusan kehutanan didesentralisasikan ke Pemerintah Daerah, di mana dalam hal ini pelaksanaan operasional urusan kehutanan telah banyak dilimpahkan ke Pemerintah Kabupaten. Beberapa studi melaporkan bahwa meskipun desentralisasi kehutanan pada era ini dimaksudkan memutar kembali pendulum urusan kehutanan kearah Pemerintah Daerah (sentralisasi) yang diharapkan akan memperbaiki kondisi sumberdaya hutan dan masyarakat, namun pada kenyataanya masih mengandung banyak kelemahan sehingga belum memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini ditandai antara lain oleh tidak berjalannya komunikasi dan koordinasi yang baik antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah8). Beberapa pandangan menyatakan bahwa kelemahan ini terjadi karena Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 22/1999 tidak secara tegas mengatur hirarki dan hubungan keterkaitan antar tingkatan pemerintah; dan oleh karena itu maka otonomi daerah yang seharusnya dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip Negara kesatuan, pada kenyataannya telah dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip pemerintahan suatu negara federasi9). Dengan persepsi seperti itu maka hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat selama masa itu, dapat dikatakan terbatas pada urusan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, agama, serta moneter dan fiskal yang yang mutlak menjadi urusan Pemerintah Pusat10). Beberapa urusan kehutanan di tingkat pusat dan provinsi serta kabupaten/kota tidak berjalan secara harmonis, antara lain dalam penetapan kebijakan, serta pemberian ijin pemanfaatan hasil hutan, peredaran hasil hutan, pemberian ijin pertambangan di dalam kawasan, dan perubahan status dan fungsi kawasan hutan. Tumpang tindih penggunaan dan pemanfaatan sering terjadi di kawasan hutan dalam wilayah pemerintahan kabupaten, di mana ijin-ijin yang telah diatur oleh keputusan Pemerintah Pusat tertumpangi oleh ijin-ijin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten; dan sebaliknya, ijin-ijin yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat sering konflik dengan ijin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Demikian pula tumpang tindih antara kebijakan dan peraturan kehutanan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan Peraturan Daerah, atau sebaliknya, sangat sering terjadi dan masing-masing satu sama lain saling mengabaikan.  Situasi yang kurang baik itu disebabkan di satu pihak oleh kurangnya informasi dan pemahaman Pemerintah Daerah tentang produk-produk hukum terkait dengan urusan kehutanan di wilayah itu, yang dalam UU Pemerintahan Daerah masih dihormati; di pihak lain, Pemerintah Pusat kurang menyadari kemungkinan terjadinya situasi tersebut sehingga tidak melakukan antisipasi yang tepat. Hal lain yang menyebabkan situasi tersebut adalah karena apresiasi sebagian besar Pemerintah Daerah terhadap hutan sebagai sistem penyangga kehidupan masih sangat kurang; hutan dipersepsikan semata-mata sebagai sumber keuangan daerah yang bersifat bisa memperbarui sendiri.

Dari situasi ini terjadi eksploitasi sumberdaya secara berlebihan serta konversi kawasan hutan yang kurang terkendali untuk kepentingan mendesak jangka pendek. Hal lain, telah terbentuk persepsi tentang ketidak pastian usaha akibat tidak adanya kepastian hukum bagi pemegang hak, yang tidak dihormati oleh Pemerintah Daerah. Hal ini sangat terlihat dari banyaknya konflik-konflik yang timbul di antara ‘pengusaha lama’ dan ‘pengusaha baru’ , konflik antara pengusaha dengan masyarakat, maupun antara masyarakat dan pengusaha di satu pihak dengan Pemerintah Daerah di pihak lain11). Adapun konflik kebijakan yang sangat menonjol terlihat pada fenomena pembangunan kota-kota baru untuk mendukung pemekaran wilayah pemerintah, yang tidak memperhatikan keseimbangan ekosistem, lingkungan hidup, dan kelestarian sumberdaya dalam hayati sehingga menimbulkan kerusakan kawasan hutan dan terancamnya keragaman hayati dan habitat. Situasi seperti itu berkembang selama periode 1999-2004 dan memunculkan pendapat dan penilaian umum bahwa proses desentralisasi telah ‘kebablasan’ atau berlebihan (excessive), dan untuk urusan kehutanan proses ini berlangsung sangat nyata12). Hal lain yang menandai kurang memuaskannya proses desentralisasi di bidang kehutanan pada masa itu adalah tidak terlaksananya beberapa urusan yang seharusnya dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Sebagai contoh, berdasarkan kewenangan yang diatur pada masa itu13), Pemerintah Provinsi seharusnya melaksanakan pengelolaan Hutan Lindung disamping mengelola Hutan Produksi, sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota antara lain berkewajiban untuk melakukan penataan batas kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di wilayahnya; namun pada kenyataannya kewenangan tersebut tidak dilaksanakan.

Tidak terlaksananya pengelolaan Hutan Lindung menjadikan kawasan tersebut terlantar dan mengalami gangguan sehingga fungsinya sebagai pelindung sistem tanah dan air terganggu. Tidak dilaksanakan tugas penataan batas Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung mengakibatkan proses pengukuhan kawasan hutan menjadi sangat terlambat yang berakibat pada kurang mantapnya eksistensi kawasan hutan. Fenomena ini terjadi karena beberapa sebab yang satu sama lain saling terkait. Pertama, selama ini kemampuan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam menjalankan wewenangnya belum memadai, sementara itu dukungan teknis pemerintah pusat sangat kurang, sehingga secara teknis output pembangunan kehutanan yang terdesentralisasi dinilai lebih buruk dibanding masa-masa sebelumnya. Kedua, Pemerintah Pusat sangat 6 terlambat dalam memberikan berbagai pedoman (norma, prosedur, standar dan kriteria) untuk pelaksanaan berbagai urusan di Provinsi dan Kabupaten/kota, yang selama ini dilaksanakan oleh Pusat, sehingga pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota cenderung melaksanakan pembangunan tanpa mempertimbangkan ekternalitas negative yang terjadi di luar wilayahnya. Ketiga, meskipun sudah ada Undang-Undang tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota  pada kenyataannya Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota masih mengalami kesulitan dana untuk melaksanakan kewenangan-kewenangan tersebut; hal ini mengakibatkan beberapa kewenangan tidak dapat dilaksanakan dengan baik14). Keempat, ada kecenderungan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mengutamakan pelaksanaan wewenang yang secara langsung memberikan penerimaan dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD), ketimbang wewenang yang berkonsekuensi pada pengeluaran. Meskipun di beberapa kabupaten dampak positif desentralisasi terlihat dari pergerakan perekonomian (terutama di perkotaan), secara umum untuk bidang kehutanan mengalami dampak yang kurang baik, antara lain terlihat dari adanya kecenderungan eksploitasi hutan secara berlebihan, dan kecenderungan konversi kawasan yang kurang terkendali, sehingga meningkatkan laju deforestasi dan degradasi.

Fenomena lain yang juga dipandang tidak kalah memprihatinkan adalah munculnya berbagai kebijakan dan peraturan daerah, terutama di kabupaten, yang justru berlawanan dengan tujuan desentralisasi dalam meningkatkan pelayanan umum, termasuk pelayanan dan administrasi berbagai kegiatan pengusahaan hutan, dan pelayanan kepentingan masyarakat lainnya. Iklim usaha di bidang kehutanan mengalami hambatan baru dengan munculnya berbagai kebijakan tambahan dari daerah; sementara tujuan desentralisasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat belum memperlihatkan arah perbaikan. Sehingga secara umum berkembang pendapat bahwa kebijakan desentraliasi telah menimbulkan eforia pemerintahan daerah yang berlebihan dan tidak proporsional, serta ‘melenceng’ dari tujuan desentralisasi itu sendiri. Dengan situasi ini serta dengan memperhatikan dampak yang kurang baik dari situasi tersebut, maka muncul berbagai desakan untuk mengkoreksi dan menyempurnakan Undang-Undang Pemerintahan Daerah No.22/1999, dan Peraturan Pemerintah mengenai Pembagian Urusan Pemerintahan No. 25/2000.

 

4.         Kegagalan Pembangunan Berwawasan Lingkungan di Indonesia

Proses transisi politik pasca reformasi yang berkepanjangan memunculkan berbagai ketidakpastian hukum yang mengakibatkan sulitnya mengimplementasikan berbagai kebijakan lingkungan hidup secara konsisten. Meskipun secara formal pemerintah Indonesia telah (berulang kali) menegaskan komitmennya untuk mengelola sumberdaya alam secara lestari, tetapi situasi di lapangan tampaknya jauh panggang dari api. Peraturan yang tumpang tindih, konflik social yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, perencanaan pengelolaan lingkungan yang tidak akurat, kurangnya koordinasi, serta maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang merata di semua strata, mengakibatkan realitas pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia makin menjauh dari komitmen normatif “pembangunan berwawasan lingkungan” yang dicanangkannya sendiri (Bank Dunia, 2001).

Dalam rangka penyelenggaraan pembangunan berwawasan lingkungan yang aspiratif, pelaksanaan pembangunan harus bertumpu pada prinsip manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Kegagalan pemerintah dalam memahami (dan memenuhi) aspirasi masyarakat dapat memicu konflik vertikal antara pemerintah pusat dan daerah serta konflik horisontal antar elemen masyarakat yang (bisa) bermuara pada anarki. Praktik pembangunan berasaskan “keadilan” dan “pemerataan” yang manipulatif dan diskriminatif, melahirkan tuntutan paradigma pembangunan yang baru yakni pembangunan yang adil dan proporsional. Bukan ”adil dan merata”, karena karena konsep “pemerataan“ dirasakan telah mencederai rasa keadilan masyarakat lokal. Oleh karenanya, masyarakat lokal dan daerah penghasil selayaknya memperoleh distribusi manfaat terbesar dari pengelolaan sumberdaya alam. Artinya, perhatian terhadap aspirasi lokal yang berkeadilan (seharusnya) menjadi dasar pijakan pemerintah di dalam melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan yang ”proporsional” dan ”partisipatif”. Berbagai pendekatan terus digali untuk mencoba mengimplementasikan konsep pembangunan berwawasan lingkungan yang adil dan menyejahterakan, serta mengedepankan prinsip perimbangan keuangan pusat dan daerah yang lebih proporsional dan partisipatif. Salah satu konsep dalam penyajian indicator pembangunan yang (dianggap) sesuai dengan prinsip pembangunan berwawasan lingkungan adalah konsep Produk Domestik Regional Bruto – Hijau (PDRB Hijau). Dengan diterapkannya konsep PDRB Hijau diharapkan mampu mendorong adanya pembagian manfaat yang lebih berimbang (proporsional) antara pusat dan daerah serta dapat menggerakkan partisipasi aktif masyarakat (lokal) dalam pembangunan.

 

5.         Kebijakan Baru setelah 2004

Belajar dari pengalamam desentralisasi pemerintahan pada masa 1999-2004, maka Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat melakukan koreksi dan penyempurnaan atas Undang-Undang No. 25/1999 dan menerbitkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 32/2004 sebagai pengganti Undang-Undang sebelumnya. Dengan undangundang yang baru ini diharapkan akan dicapai efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan negara dengan memperhatikan hubungan antar susunan pemerintah dan antar pemerintah daerah, serta potensi dan keanekaragaman masing-masing daerah, sekaligus dalam rangka menghadapi peluang dan tantangan persaingan global. Dengan undang-undang yang baru ini juga diharapkan agar kewenangan Pemerintah Daerah yang luas disertai hak dan kewajiban penyelenggaraan otonomi daerah, benar-benar dilaksanakan dalam suatu kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Secara prinsip Undang-Undang No.32/2004 sudah mengatur hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat, yang terkait dengan wewenang, keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya. Di samping itu, dalam Undang-Undang ini dinyatakan pula bahwa suatu Pemerintah Daerah juga mempunyai hubungan dengan Pemerintah Daerah Lainnya. Dari adanya pengaturan hubungan antar pemerintah tersebut maka terjadi hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan. Hal ini merupakan salah satu pokok penyempurnaan, karena pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang lama, pengaturan seperti ini tidak secara tegas dicantumkan17, dan oleh karena itu pelaksanaan desentralisasi di masa lalu mengakibatkan ketidak harmonisan pembangunan Pusat dan Daerah.

Menurut Undang-Undang ini, pembagian urusan pemerintahan harus didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi, dengan tetap memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat, serta hubungan di antara Pemerintah Daerah, maka pembagian wewenang atas suatu urusan pemerintahan harus mempertimbangkan: i) sampai di manakah eksternalitas pelaksanaan suatu urusan pemerintahan yang dilaksanakan di suatu wilayah pemerintahan akan terjadi, ii) di level pemerintahan yang manakah bobot tanggung jawab atas pelaksanaan suatu urusan pemerintahan selayaknya diletakkan, dan iii) di level pemerintahan yang manakah pelaksanaan kegiatan pemerintahan tersebut secara rasional dianggap efisien. Undang-undang ini secara lebih realistis juga menyatakan bahwa urusan pemerintahan yang bisa dilaksanakan bersama oleh Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, berdasarkan sifatnya dibedakan ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah urusan pemerintahan yang bersifat wajib untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan standar pelayanan minimal; dan kategori kedua adalah urusan yang bersifat pilihan, yang secara nyata ada di wilayah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Urusan kehutanan dalam hal ini merupakan urusan yang bersifat pilihan bagi Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Dengan adanya perubahan prinsip-prinsip pemerintahan daerah melalui Undang- Undang yang baru, maka pemerintah perlu menyempurnakan Peraturan Pemerintah yang mengatur pembagian wewenang seluruh urusan pemerintahan. Dengan berpegang pada pengalaman masa lalu maka penyempuranaan peraturan ini dilakukan dengan lebih cermat dan berhati-hati dengan melibatkan sebanyak mungkin para pihak yang terkait secara sektoral maupun teritorial sesuai prinsip tata kelola pemerintah yang baik (good governance). Setelah berproses selama tiga tahun maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, sebagai pengganti Peraturan Pemerintah No.25/2000 yang mengatur hal sama. Peraturan Pemerintah yang mulai berlaku sejak tanggal 9 Juli 2007 ini memberlakukan urusan-urusan Pemerintahan Pusat yang tidak dilaksanakan bersama oleh semua tingkatan pemerintahan sebagaimana dimaksud oleh Peraturan Pemerintah yang lama. Di luar urusan-urusan itu terdapat 31 urusan pemerintahan, di luar urusan pengelolaan kawasan konservasi, yang secara tegas dibagi kewenangan pelaksanaannya masing-masing di antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota18. Pemerintah Pusat bisa melaksanakan sendiri urusan pemerintahan yang menjadi wewenangnya, atau melimpahkan kepada instansi vertikal atau Gubernur dalam rangka dekonsentrasi. Selain itu Pemerintah Pusat juga bisa menugaskan sebagian urusan yang menjadi wewenangnya kepada Pemerintah Daerah melalui tugas pembantuan. Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ini juga bisa dilakukan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah atau Pemerintah Desa untuk urusan-urusan pemerintahan yang dibagi dengan Pemerintah Daerah. Ketentuan yang sama, pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan juga bisa dilakukan oleh Pemerintah Provinsi ke Pemerintah Kabupaten/Kota atau Pemerintah Desa; dan Pemerintah Kabupaten/Kota bisa mendekonsentrasikan dan memberikan tugas pembantuan urusan pemerintahannya ke Pemerintah Desa. Dalam kaitan ini juga, Pemerintah Pusat berwenang membina dan berkewajiban mendukung pelaksanaan urusan pemerintahan yang didesentralisasikan ke Pemerintah Daerah; dan bila setelah dibina ternyata Pemerintah Daerah dipandang masih belum mampu, maka untuk sementara penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Untuk itu, Pemerintah Pusat berkewajiban merumuskan norma, prosedur, standar dan kriteria untuk pelaksanaan urusan kehutanan yang menjadi wewenang pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Untuk sub urusan perencanaan hutan, Pemerintah berwenang melakukan kegiatan kegiatan yang bersifat makro nasional, sedangkan Pemerintah Daerah berwenang untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat lokal dengan mengacu pada acuan nasional. Dengan memperhatikan pengalaman masa lalu yang terkait dengan kemampuan teknis Pemerintah Daerah dan anggaran yang ada, maka Pengukuhan hutan dan pembentukan wilayah pengelolaan sepenuhnya menjadi wewenang dan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat; Pemerintah Daerah hanya mempunyai kewenangan untuk mengusulkan dan memberi pertimbangan serta rekomendasi berdasarkan kondisi wilayahnya. Demikian pula dengan kewenangan penyusunan rencana pengelolaan jangka panjang dan menengah kewenangannya berada pada Pemerintah Pusat, sedangkan Pemerintah Daerah hanya berwenang memberikan usulan, pertimbangan, dan rekomendasi. Khusus untuk penyusunan rencana pengelolaan jangka pendek atau tahunan kewenangan penetapan atas rencana ini berada di Pemerintah Provinsi, sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota hanya berwenang untuk memberikan usulan, pertimbangan, dan rekomendasi.

Dalam hal pemberian ijin pemanfaatan hasil hutan dan pemanfaatan kawasan hutan, Pemerintah Daerah hanya berwenang memberikan pertimbangan teknis dan rekomendasi kepada Pemerintah Pusat yang selanjutnya akan mempertimbangkan untuk memberi atau menolak usulan ijin tersebut. Pengaturan pemberian ijin ini oleh banyak pihak dianggap sebagai gejala resentralisasi urusan kehutanan, namun Ekawati dan Santoso (2008) menyatakan bahwa aturan ini merupakan pembagian wewenang yang lebih proposional. Dalam hal ini meskipun semua perijinan menjadi wewenang Pemerintah Pusat, namun tidak akan secara serta merta dapat terjadi bila tidak ada pertimbangan dan rekomendasi Pemerintah Daerah. Yang tidak kalah menarik, dan perlu mendapat perhatian dari Peraturan Pemerintah ini adalah dengan adanya wewenang baru bagi Pemerintah Kabupaten/kota untuk melakukan penelitian dan pengembangan kehutanan, sementara Pemerintah Provinsi tidak mempunyai kewenangan yang sama. Hal ini tentunya memerlukan kebijakan pelaksanaan yang mengatur mengenai tingkatan dan jenis penelitian di antara Pemerintah 9 Pusat dan Pemerintah Kabupaten, serta memberikan peran yang tepat bagi Pemerintah Provinsi yang selama ini beberapa di antaranya sudah mempunyai lembaga penelitian, guna mendapatkan efisiensi urusan penelitian dan mencapai efektivitas yang dikehendaki.

 

BAB  III

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN DALAM KERANGKA OTONOMI KHUSUS DI PROPINSI ACEH

 

 

A.        Pendahuluan

Dengan disahkannya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) pada tanggal 11 Juli 2006 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Pemerintah Aceh harus sesegera mungkin menyusun rencana pemanfaatan dan pengelolaan hutan Aceh yang lestari serta meningkatkan keseriusan upaya pemberantasan kegiatan eksploitasi hutan Aceh. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) memandatkan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan hutan Aceh yang lestari dengan cara diantaranya menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup, menjaga area bernilai konservasi tinggi serta mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

Nana Firman, Koordinator Program Aceh WWF-Indonesia, menyatakan bahwa inilah kesempatan yang tepat bagi pemerintah Aceh untuk menerapkan Good Governance atau Tata Pemerintahan yang Baik dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat dan Berkelanjutan. "UUPA ini memberikan potensi yang besar dalam peningkatan keadilan sosial, keberlangsungan ekonomi, pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dan pemerintahan yang baik di Aceh," ujarnya.

"Pembagian kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam, yang mencakup tingkat provinsi, kabupaten sampai tingkat lokal (mukim) dengan memperhatikan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, merupakan awal yang strategis untuk menjadikan Aceh yang lebih baik, yakni Aceh sebagai Provinsi Hijau" lanjut Nana.

Hal senada juga disampaikan oleh Afrizal Akmal, Direktur Eksekutif, Yayasan MAPAYAH (Masyarakat Penyayang Alam dan Lingkungan Hidup), salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal yang bergerak dalam upaya konservasi hutan Aceh. Akmal menyatakan, "Diperlukan penguatan sinergi kebijakan dan program konservasi sumberdaya hutan, termasuk menciptakan keterkaitan antar sektor ekonomi untuk menumbuhkan ekonomi lokal dengan tetap memperhatikan daya dukung sumber daya hutan." Untuk itu transparansi dan akuntabilitas seluruh komponen pengelola sumberdaya hutan, termasuk memberikan akses bagi masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap pemanfaatan sumber daya hutan memiliki peranan penting.

Upaya menjawab realisasi mandat UUPA, salah satunya bisa diawali dengan dikembangkannya dan dilaksanakannya Sustainable Forest Management (SFM) untuk kawasan hutan Aceh, khususnya kawasan hutan produksi. "Penerapan SFM tidak hanya memperbaiki sistem pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang sebelumnya lebih dilandasi oleh kepentingan ekonomi saja tetapi juga menjawab upaya Aceh untuk mempertahankan fungsi ekologis hutan, fungsi produksi serta fungsi ekonomi dan budaya yang ada", ujar Dede Suhendra, Senior Forest Officer WWF-Indonesia Kantor Program Aceh. "Selain itu model ini juga bisa memastikan adanya ruang akses bagi berbagai pihak untuk ikut serta baik langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan Aceh serta meminimalkan dan mengendalikan tingkat kerusakannya", lanjutnya.

B.        Pengelolaan Kawasan Hutan Aceh

Pengelolaan kawasan hutan di Aceh terjadi perubahan yang sangat signifikan setelah disahkannya Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006. UUPA memberikan kewenangan sangat besar kepada Pemerintah Aceh dalam mengelola kawasan hutan di Aceh. Secara khusus, UUPA juga memberi kewenangan yang sangat luas kepada Pemerintah Aceh bersama dengan pemerintah kabupaten/kota di Aceh untuk mengelola dan menjamin kelestarian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Namun demikian, pemerintah pusat juga mempunyai kewenangan mengelola kawasan konservasi melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) seperti Balai Taman Nasional Gunung Leuser dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi NAD.

Saat ini Balai TNGL telah meningkat eselonnya dari eselon III/a menjadi eselon II/b untuk memudahkan koordinasi dengan Pemerintah Daerah. UPT pusat lainnya adalah Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Krueng Aceh dan Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BPPHP) Wilayah I. Namun demikian, kelembagaan pengelolaan kawasan-kawasan hutan di Aceh sesuai dengan UUPA masih belum selesai karena masih menunggu pembahasan revisi Qanun tentang Kehutanan Aceh. Saat ini berdasarkan SK Gubernur No 522.1/534/2007 tanggal 31 Oktober 2007 telah dibentuk Tim penyusunan Rencana Strategis Pengelolaan Hutan Aceh yang terdiri dari Steering Committee dan Organizing Committte, yang merupakan gabungan dari instansi pemerintah, dan NGO yang terlibat dalam pengelolaan hutan.

 

C.        Moratorium Logging

Setelah terbentuknya pemerintah Aceh yang baru dibawah kepemimpinan Irwandi Yusuf- Muhammad Nazar, kebijakan umum kehutanan di Aceh berubah sangat signifikan. Pemerintah Aceh mendeklarasikan kebijakan penghentian sementara penebangan hutan (moratorium logging) melalui Instruksi Gubernur No. 05/Instr/2007 tanggal 6 Juni 2007. Pemerintah Aceh menyatakan komitmen untuk menyusun kembali strategi pengelolaan hutan melalui re-design (penataan ulang) reforestrasi (penanaman kembali) dan reduksi deforestrasi (menekan laju kesurasakan hutan). Kita sudah mendengar pernyataan yang didengungkan Gubernur Aceh untuk mewujudkan hutan lestari, agar rakyat Aceh sejahtera.

Beberapa pertimbangan mengapa moratorium logging perlu diterapkan di Aceh adalah sebagai berikut:

• Untuk memberikan waktu bagi penyusunan strategi pengelolaan hutan Aceh yang berkelanjutan.

• Memberikan kesempatan untuk menyusun data yang akurat tentang hutan Aceh.

• Melakukan evaluasi dan menata kembali status dan luas arahan fungsi hutan serta konsesi perizinan yang ada.

Kebijakan moratorium logging ini meliputi tiga program utama yakni melakukan penataan kembali hutan Aceh (redesign), menghutankan kembali kawasan hutan yang rusak (reforestasi), dan pengurangan laju kerusakan hutan (reduksi deforestasi).

 

1. Program Redesign

Menata ulang hutan Aceh dan konsesi perizinan yang berkinerja buruk yang akan dituangkan dalam revisi rencana tata ruang untuk mewujudkan pembangunan Aceh yang berimbang secara ekologi, ekonomi dan sosial. Beberapa kegiatan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

• Revisi tata ruang sesuai kebutuhan pembangunan berimbang (ekologi, ekonomi dan sosial)

• Evaluasi status dan luas konsesi hutan

• Rasionalisasi industri kayu sesuai ketersediaan bahan baku

• Pengembangan hasil hutan non kayu

• Optimalisasi luas dan manfaat hutan konservasi

• Penataan kembali kelembagaan dan tata hubungan kerja pengelolaan hutan

 

2. Program Reforestasi

Melakukan peningkatan dan efektivitas rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dengan pelibatan masyarakat lebih optimal.

• Reorientasi prioritas lokasi-lokasi penanaman RHL.

• Mengupayakan berbagai sumber dana untuk RHL (donor, carbon market, dll).

• Mengembangkan hutan tanaman (HTI, HTR, Hutan rakyat,dsb).

 

3. Program Reduksi Deforestasi

Menciptakan keseimbangan antara laju penghutanan dan pemanfaatan serta

pengembangan sistem pengamanan hutan yang lebih efektif dan penegakan hukum secara konsisten.

• Penegakan hukum.

• Efektivitas sistem pengamanan hutan.

• Penambahan jumlah personil tenaga pengamanan hutan.

• Penertiban penggunaan peralatan eksploitasi hutan.

Kita tahu, pemerintah Aceh sangat concern pada kelestarian hutan Aceh. Bahkan telah sangat yakin bahwa untuk menghidupi empat jutaan penduduk Aceh, hutan Aceh tak perlu dibabat. Karena itulah, pemerintah Acehpun mendeklarasikan sebuah kebijakan yang sangat penting bagi hutan tropis di Aceh. Berlakunya Moratorium Logging, dua tahun lalu.

Sekarang saatnya untuk lebih menguatkan segi-segi keamanan dan upaya nyata untuk selamatkan hutan kita. Pembalakan liar dalam skala besar atau kecil, jangan terjadi lagi. Sosialisasi pengamanan hutan perlu lebih gigih lagi diupayakan. Melibatkan masyarakat yang selama ini sangat bergantung dari manfaat hutan Aceh, tentu pilihan yang sepatutnya dilakukan pemerintah.

Meski ada yang pessimis pada kebijakan moratorium logging itu, kita tetap berharap upaya yang dilakukan gubernur selaku kepala pemerintahan, dapat dilaksanakan aparatnya dengan lebih baik dan terarah. Penguatan aparat yang sehari-hari bertugas melindungi hutan dari jarahan siapa pun yang hendak membuat hutan Aceh rusak, harus dilakukan dengan lebih serius lagi. Pihak-pihak terkait perlu mengevaluasi segi-segi positif dan negatif kebijakan itu dalam tataran praktik selama ini. Dengan cara itu, kita harapkan lahir lagi kebijakan jitu yang mampu dilaksanakan efektif untuk selamatkan hutan dan rakyat Aceh.

 

D.        Permasalahan Hutan Aceh.

Kini, bagaimana rupanya pengelolaan hutan kita? Memang ada upaya untuk tidak memberikan izin konsesi lagi bagi pengusahaan hutan yang berdampak buruk pada hutan Aceh. Kerap pula kita dengar, adanya konsep tentang Aceh sebagai provinsi hijau. Tapi, kita sangat sulit melihat hasil nyata dari konsep yang mampu mengarahkan pembangunan Aceh dapat berimbang secara ekologi, ekonomi dan sosial. Rehabilitasi hutan dan lahan yang melibatkan masyarakat sudah ada yang dilakukan. Namun, kerusakan hutan masih terus berlanjut. Upaya menghutankan kembali dan pembalakan liar masih terasa sangat timpang.

Upaya hukum dan kebijakan menyangkut hutan selama setahun terakhir, yang kita saksikan adalah kerapnya petugas menginspeksi secara mendadak dan menemukan tumpukan-tumpukan kayu hasil pembalakan liar. Pihak kepolisian juga telah kerap menangkap dan menyita kayu-kayu hasil pembalakan liar dan kayu-kayu yang diangkut dari daerah lain yang melintasi wilayah hukum Aceh, tanpa dokumen sepatutnya.

Tapi, kita belum melihat secara terang upaya-upaya sistematis dan signifikan dalam memberdayakan masyarakat adat di sekitar hutan agar rakyat tidak lagi merambah hutan secara tidak sah, melainkan menjaga hutan di lingkungannya agar tetap lestari. Kompensasi memadai mampu hidup mandiri tanpa merusak hutan sendiri, juga masih kita lihat sebagai wacana dalam berbagai pemberitaan media.

Karena itu, kita berharap Pemerintah Aceh dan aparat kepolisian mampu berlaku tegas tapi dengan pendekatan lebih bijak, dalam menjaga hukum dan mengelola hutan Aceh. Upaya tersebut perlu dengan sungguh-sunguh dilakukan seluruh aparat. Tentu, dengan melibatkan masyarakat yang mukim di sekitar hutan. Kita yakin, bila masyarakat diberikan pemahaman dan solusi terbaik untuk kehidupan sehari-hari mereka selain merambah hutan, maka hutan Aceh tak mungkin ada yang mengganggu lagi. Atau, setidaknya rakyat akan menjaga hutan di sekitarnya dengan lebih baik.

"Ketidakseriusan dan ketidakjelasan upaya pemberantasan illegal logging serta Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi yang belum mampu menjamin perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi, hanyalah dua dari pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Pekerjaan rumah kita semakin bertambah dengan adanya ancaman eksploitasi hutan dari keberadaan dan kewenangan kabupaten/kota baru dimana potensi ekonomi yang dimiliki bergantung dari sumber daya hutan tak terkecuali pemenuhan kebutuhan kayu untuk kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi".

 

1.         Setelah adanya Moratorium.

 

Terkait jeda tebang atau Moratorium, Pemerintah Aceh butuh waktu untuk menyusun suatu strategi pengelolaan hutan yang dapat memastikan kelestarian hutan, yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Demikian Gubernur Irwandi Yusuf dalam sambutan dibacakan Sekdaprov Husni Bahri TOB, saat membuka seminar Green Aceh Spirit (GAS) yang dilaksanakan PT. PLN (Persero) Wilayah Aceh, Jumat (6/6) di gedung AAC Dayan Dawood, Darussalam, Banda Aceh.

Jeda tebang terutama ditujukan untuk konsesi-konsesi pengelolaan hutan yang memberi konstribusi terbesar terhadap kerusakan hutan di Aceh. Sementara kebutuhan kayu diharapkan dapat dipenuhi melalui produksi kayu rakyat dari tanah milik dan material alternatif lain. "Jeda tebang juga merupakan ujian bagi pemegang konsesi untuk membuktikan komitmennya dalam melakukan rehabilitasi hutan setelah sekian lama melakukan eksploitasi hutan Aceh,". Katanya, jeda tebang hutan yang ditetapkan Pemerintah Aceh bukanlah langkah yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Kebijakan ini bukan pula mempersulit rakyat dalam memperoleh kayu. "Moratorium justru langkah memberi kesejahteraan bagi anak cucu kita kelak," tegasnya. Gubernur Aceh menambahkan, seminar Green Aceh Spirit sangat selaras dengan Aceh Green Vision yang dicanangkan Pemerintah Aceh sesuai motto hari lingkungan hidup sedunia, yaitu ubah prilaku dan cegah pencemaran lingkungan. Menurutnya, Aceh bagian dari masyarakat dunia memiliki tanggungjawab memberi konstribusi mengurangi emisi karbon melalui pengelolaan hutan yang lestari, tanpa menghilangkan tanggungjawab negara-negara maju untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dari aktivitas industri dan gaya hidup konsumtif.


2
.         Kerusakan Hutan

Kondisi hutan sebetulnya berkaitan dengan pola pengelolaan yang diterapkan oleh pemangku kepentingan. Pengelolaan hutan yang bersifat komersil dan dalam skala besar selama ini dilakukan di kawasan budidaya. Menurut arahan fungsi hutan seperti yang terlihat dalam table di atas, Aceh mempunyai kawasan budidaya seluas 638.580 ha, yang terdiri dari Hutan Produksi Tetap seluas 601.280 ha dan Hutan Produksi Terbatas seluas 37.300 ha. Kawasan budidaya itulah yang selama ini dikelola dengan sistem HPH. Kondisi aktual hutan Aceh hingga kini masih diwarnai oleh berbagai tindakan yang mengarah pada terjadinya kerusakan dan degradasi hutan. Memang belum ada data resmi berapa kerusakan hutan Aceh yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Kerusakan hutan di Aceh tidak hanya terjadi di kawasan budidaya (Hutan Produksi) namun juga di kawasan lindung. Sayangnya, seperti disebutkan di awal, luas kerusakan total hutan Aceh belum diketahui secara resmi. Barangkali dibutuhkan analisis citra satelit untuk mengetahui berapa kerusakan hutan Aceh saat ini. CI (2007) memperkirakan bahwa kerusakan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser mencapai 12.500 ha, baik di propinsi Aceh maupun Sumatera Utara.

 

3.         Illegal Logging

Disamping itu, proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami membutuhkan kayu yang sangat banyak, baik yang dilakukan oleh BRR NAD-Nias, NGO internasional dan lokal maupun lembaga-lembaga donor. BRR (2006) memperkirakan bahwa untuk kebutuhan rehab-rekon Aceh dibutuhkan 520.000 meter kubik kayu untuk pembangunan rumah bagi korban tsunami. Selama ini, kebutuhan kayu untuk rehab-rekon Aceh didatangkan dari berbagai sumber, baik dari IPK yang masih ada di Aceh, didatangkan dari luar daerah maupun diimport dari luar negeri. Karena ijin resmi IPK di Aceh banyak yang sudah berakhir, menyebabkan meningkatnya aktivitas illegal logging di lapangan. Permintaan kayu untuk rehab-rekon yang sangat tinggi dan berbagai upaya telah dilakukan oleh BRR untuk melakukan pengadaan kayu yang legal dan berkualitas dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Hal ini antara lain dilakukan dengan mengadakan Timber Trade Show pada bulan Juni 2006 di Hotel Tiara Medan. Timber Trade Show ini dihadiri oleh Menteri Kehutanan dan para Dirjen, pengusaha industri kehutanan yang telah direkom oleh Menteri, Gubernur Aceh, dan institusi lainnya yang bertujuan untuk menjembatani kebutuhan kayu antara supply dan demand terhadap rehab-rekon Aceh pasca tsunami. Namun hasilnya kurang menggembirakan. Selain itu, dibentuk pula Timber Help Desk yang memfasilitasi informasi tentang sumber kayu yang legal dan tata usaha kayu agar kayu untuk rehab-rekon legal dan berkualitas. Timber Help Desk juga membuat guideline tentang penatausahaan kayu untuk memudahkan para stakeholder mendapatkan kayu yang legal dan berkualitas. Sebagai rasa tanggung jawab, perlu ada upaya khusus untuk menanam kembali kawasan hutan yang rusak akibat kebutuhan kayu untuk rehab-rekon di Aceh. Pihak-pihak yang terlibat dalam rehab-rekon Aceh perlu bertanggung jawab untuk memikirkan kembali bagaimana melakukan rehabilitasi hutan Aceh yang rusak akibat rehab-rekon dengan menyediakan dana rehabilitasi hutan Aceh, atau bentuk lainnya.

 

4.         Kebakaran Hutan

Persoalan kehutanan lain yang dihadapi di Aceh adalah kebakaran hutan yang belum bisa ditangani dengan baik, seperti yang terjadi setiap tahun di Kabupaten Aceh Tengah, Pidie dan Aceh Besar, dengan intensitas dan luas yang berbeda-beda. Penyebab terjadinya kebakaran hutan antara lain karena kekeringan yang berkepanjangan, yang menyebabkan hutan mudah terbakar, disamping itu juga ada kesalahan manusia dimana kemungkinan secara sengaja atau tidak sengaja membuang puntung rokok di kawasan hutan yang mudah terbakar. Di kawasan gambut, juga ditemukan banyak titik-titik api (hot spot) yang sangat mungkin menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan.

 

5.                  Beberapa kasus antara lain :

a.         Berita Serambi Indonesia Senin, 16 November 2009
Hutan produksi di pegununan Desa Sarah Sirong, kawasan pedalaman Kecamatan Jeumpa, Bireuen, yang berbatasan dengan Kabupaten Bener Meriah diduga telah dirambah secara tanpa hak oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal yang sedang melaksanakan program pemberdayaan masyarakat di kawasan itu.

Temuan tersebut didapat dari hasil kunjungan lapangan staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Bireuen bersama aparat penegak kepolisian dan unsur lainnya, Sabtu (14/11). Di dalam tim itu, antara lain, ikut Kasat Reskrim Polres Bireuen. AKP Trisna Safari. Kadishutbun Bireuen melalui Kabid Kehutanan Mukhtar SH usai meninjau lokasi, Sabtu (14/11) sore mengatakan kepada Serambi, LSM sebagai pihak pengelola program itu sebelumnya telah mengajukan surat permohonan ke Dishutbun Bireuen agar diperkenankan menebang kayu di kawasan hutan produksi tersebut untuk membuat barak dan kandang sapi. Setelah dicek, ternyata lokasi yang dimohonkan LSM itu tidak ada pohon kayunya.
Belakangan dijalin kesepakatan bahwa pihak LSM dimaksud tidak akan mendirikan bangunan, membawa gergaji mesin (chainsaw), dan menebang kayu di kawasan hutan produksi sebelum ada izin/pertimbangan dari dinas terkait. “Kami telah beberapa kali mendatangi lokasi tersebut. Awalnya memang tidak ada masalah. Tapi begitu kami kembali lagi kemarin ke lokasi, ternyata pengelola program telah mendirikan basecamp, menebang kayu dalam hutan produksi, bahkan diduga ikut melakukan tebang pilih kayu dalam areal Gunong Goh dan membuat telaga,” ungkap Mukhtar.

Kesimpulan tim yang turun untuk memantau situasi, ternyata kondisi tempat itu sekarang jauh berbeda dengan hasil tinjauan awal. Kasi Pemanfaatan, Pengamanan, dan Perlindungan Hutan (P3H) Dishutbun Bireuen, Dalami SHut, menambahkan sekalipun letaknya berada di kawasan hutan produksi, tapi Gunong Goh masuk kategori sebagai hutan yang harus dilundunggi berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Kapolres Bireuen, AKBP T Saladin SH, melalui Kasatreskrim AKP Trisna Safari juga membenarkan adanya temuan lapangan tersebut. Bahkan Kapolres bersama anggotanya telah mengecek langsung ke lokasi hutan produksi itu sebagaimana dilaporkan warga. “Kami datang ke lokasi tersebut beberapa hari lalu untuk memastikan posisi hutan yang dirambah. Setelah dilakukan pengecekan dengan berpedoman pada peta, ternyata kuat dugaan lokasi program tersebut berada di areal hutan produksi,” jelas Trisna Safari. Polres Bireuen, kata Trisna, akan mengembangkan dan meningkatkan penyelidikan, terutama terhadap LSM/NGO mana yang melakukan program tersebut di dalam lokasi hutan produksi.

 

b.         Berita Harian Waspada Jum'at, 6 November 2009  Kebakaran hutan sebagai salah satu ekses degradasi hutan maupun ilegal loging dinilai menjadi ancaman bagi kelestarian satwa liar dan langka. Selain itu, perburuan dan perdagangan satwa, baik untuk dikonsumsi maupun sebagai hiasan atau sekedar peliharaan harus diantisipasi guna menghindarkan kepunahan satwa. “Kita harus menjaga agar kekayaan ini tetap lestari dan bermanfaat,” tegas wakil walikota Subulussalam, Affan Alfian Bintang, tadi malam.

Menurutnya, SK Presiden RI No 4 tahun 1993. Salah satu tujuannya, adalah merangsang dan mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk mencintai dan menjaga kekayaan flora dan fauna.
Karenanya, diingatkan semua komponen masyarakat agar tidak bertindak yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kepunahan flora maupun fauna.
“Semua komponen masyarakat untuk merubah prilaku dan cara berfikir ke arah yang lebih peduli terhadap kekayaan alam, karena di samping melestarikan lingkungan hidup juga untuk menjaga kejayaan negeri serta mengantisifasi jangan sampai generasi negeri ini tidak kenal flora dan fauna,” himbaunya.

 

c.                   Berita Serambi Indonesia Senin, 2 November 2009Stok Air Baku PDAM Terancam.

Pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Aceh memperkirakan, sekitar 40% atau 2.400 hektare (ha) dari 6.300 ha areal hutan Seulawah, Saree, Aceh Besar, sudah dirambah masyarakat dengan berbagai modus operandi. Padahal, fungsi ekologis kawasan itu sangat urgen dan strategis, yakni sebagai hutan lindung, tempat penyerapan cadangan air untuk penyediaan (reservoir) air minum masyarakat yang bermukim di seputar hutan tersebut, maupun untuk penyediaan air baku bagi PDAM Tirta Montala di Aceh Besar dan PDAM Tirta Daroy di Banda Aceh.

Terkait dengan perambahan hutan lindung di kawasan Gunung Seulawah itu, Tim Operasi Terpadu (Opsdu) Pemberantasan Perambahan Hutan Lindung Pemerintah Aceh yang telah memulai operasinya sejak Sabtu (31/10) dan Minggu (1/11) kemarin di kawasan Hutan Lindung Seulawah, telah melakukan beberapa tindakan tegas. Di antaranya, merubuhkan enam dari 31 gubuk liar milik perambah hutan yang didirikan di kawasan hutan lindung. Perubuhan itu dimaksudkan agar perambah hutan tidak nekat lagi bermukim di kawasan tersebut.

“Jika perambahan hutan masih tinggal di kawasan yang telah dirambahnya, maka luas areal kawasan hutan lindung yang rusak bisa meningkat jauh. Kalau sekarang yang dirambah diperkiraan antara 20-40 persen, tapi nanti bisa lebih besar dari itu,” kata Ketua Tim Opsdu Pemberantasan Perambahan Hutan Pemerintah Aceh, Ir Asrianur, kepada Serambi, Minggu (1/11) di Seulawah. Menurut Asrianur, Tim Opsdu itu terdiri atas berbagai unsur dan lembaga pemerintahan. Seperti, Dishutbun Aceh, Polisi Militer, TNI, polisi, polhut, serta pegawai dari Kantor Gubernur Aceh dan sejumlah instansi terakit lainnya. Tim ini dibentuk berdasarkan SK Gubernur Irwandi Yusuf, sedangkan leading sector kegiatannya Dishutbun Aceh.

Tim Opsdu, kata Asrianur, dibentuk untuk melakukan operasi dan penertiban perambahan hutan lindung dan hutan produksi yang dilakukan masyarakat sekitar hutan lindung atau kelompok tertentu yang ingin mengambil manfaat dari kawasan hutan lindung untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya dengan cara merusak hutan. Modus operandi perambahn hutan lindung di kawasan Hutan Lindung Seulawah atau pada areal Taman Hutan Rakyat Seulawah (Tahura) Aceh Besar, ungkap Asrianur, cukup variatif. Di antaranya, pelaku berpura-pura bercocok tanam cabai, tomat, atau kacang, kemudian dia lanjutkan dengan berkebun cokelat (kakao), pinang, kemiri, atau tanaman keras lainnya.
Tujuan akhir pelaku adalah setelah pohon di kawasan hutan lindung ditebang dan dibuka jadi lahan kebun seluas 2-4 ha, maka lima tahun kemudian akan dia miliki. Dua tahun lalu, menurut polhut di Hutan Lindung Seulawah, luas areal Tahura Cut Nyak Dhien yang dirambah tidak selebar yang terjadi sekarang. Perambahan terbesar mulai dari luar kompleks Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Seulawah dan luar kompleks Brimob, sampai memasuki pinggira Kota Saree.

Selain itu, perambahan juga sampai ke Kabupaten Pidie, tepatnya setelah penurunan kawasan Tahura. Tim mendapati bahwa sepanjang 20 km menuju Laweung, Pidie, sudah botak kawasan hutan lindungnya. Polhut yang bertugas di kawasan Hutan Lindung Seulawah juga mengatakan jika Tim Opsdu Provinsi Aceh tidak mengambil sikap yang tegas terhadap perambah, yakni dengan menindak dan memindahkan pondok dan rumah mereka ke luar areal Tahura, maka kerusakan areal Hutan Lindung Seulawah kian besar. Jika sekarang kerusakannya diperkirakan antara 20-40% dari total areal sekitar 6.300 ha, maka dua tahun kemudian bisa sebaliknya, yang belum rusak justru tinggal 40 persen lagi. Jika ini terjadi, maka sediaan air baku untuk PDAM di Aceh Besar dan Banda Aceh bakal kering.

Menyikapi kondisi itu, Kadishutbun Aceh, Ir Hanifah Affan MM mengatakan pemberantasan illegal logging dan perambah hutan lindung dan hutan produksi di Aceh harus dilakukan secara terpadu. Hukuman badan, pembakaran, dan perusakan gubuk para perambah hutan di lokasi hutan lindung, menurut Hanifah, belum bisa menjamin bahwa perusakan hutan lindung di berbagai kabupaten/kota bisa berhenti. Oleh karenanya, sangat diperlukan peningkatan kesadaran masyarakat di sekitar hutan maupun para pendatang tentang betapa pentingnya pelestarian hutan.
Opsdu yang dilakukan bersama itu, menurut Hanifah, di samping bertujuan untuk penegakan hukum, juga untuk memompakan kesadaran bagi masyarakat yang telah silap bertindak, sehingga melanggar hukum. Dia ingatkan bahwa kerusakan hutan akan mendatangkan bencana alam yang dahsyat, seperti banjir bandang dan tanah longsor. Itu hendaknya disadari masyarakat. “Jangan hanya karena ingin mendapat lahan perkebunan yang luas dan gratis, lalu mereka seenaknya membabat hutan,” timpal Hanifah.

Akibat penebangan pohon, kata Hanifah, 10 atau 20 tahun mendatang akan terjadi banjir besar di lokasi hutan yang telah diubah fungsinya menjadi kebun tersebut. Ketika datang banjir bandang, yang disalahkan justru pemerintah, bahkan dibilang kurang peduli dengan hutan yang telah gundul. Padahal, yang membuat hutan itu gundul mereka sendiri. “Banjir bandang datang, karena banyak pohon ditebang dan hutan diubah menjadi lahan tanaman palawija ataupun kebun cokelat, pinang, kemiri, dan lainnya,” ujar alumnus Institut Pertanian Bogor ini.

 

d.         Berita Serambi Indonesia Kamis, 17 September, 2009
Marthin Tunggu Konfirmasi JPU Wakil Direktur CV PBL, Sfd, tersangka penebangan 2.000 meter kubik kayu ilegal (illegal logging) di hutan produksi Desa Seuneubok Kecamatan Indra Makmue, Aceh Timur, September 2008 lalu, kemarin dilimpahkan tim penyidik Polda Aceh ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Idi.

 

e.         Berita Serambi Indonesia Senin, 2 November, 2009
Personel Pengamanan Hutan (Pamhut) Kabupaten Bireuen, Sabtu (31/10) sore, menemukan tiga ton kayu hasil pembalakan liar saat melakukan operasi rutin ke kawasan Bukit Sangkilat, arah selatan Desa Blang Paya, Peudada, Bireuen. Kabid Kehutanan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bireuen, Mukhtar kepada Serambi, kemarin, mengatakan tim beranggotakan 20 orang yang dipimpinnya menelusuri kawasan hutan itu. Awalnya, mereka menemukan jejak mobil melintas di kawasan tersebut. Kemudian, lanjut Mukhtar, timnya bergerak hingga tembus ke Desa Blang Paya--30 km dari Jalan Banda Aceh-Medan--menggunakan mobil double cabin dan beberapa sepeda motor.

Karena diduga pergerakan tim Pamhut sudah diketahui para perambah hutan, menurutnya, saat itu tidak ada bunyi mesin cinsaw dihutan itu. Setibanya di kawasan hutan produksi, tepatnya arah selatan Bukit Sangkilat, ditemukan kayu jenis cengai 25 keping, jenis jeumpa 100 keping, dan kayu jenis medang gresek sebanyak 23 keping.

“Lokasi penemuan kayu itu cukup jauh dan terjal, sehingga sulit sekali untuk mengangkut kayu tersebut. Karena itu, tim terpaksa membiarkan kayu berada di sana. Untuk Memaksimalkan pencegahan di lapangan, kami berharap pemerintah segera menyediakan mobil khusus agar kayu yang ditemukan itu bisa diangkut untuk disita,” ujarnya. Selain itu, tambah Mukhtar, timnya juga menemukan lahan program reboisasi 1.000 hektare di bukit teropong yang telah dirambah. Seluruh areal itu, menuruhnya, sudah ditanami beberapa jenis pepohonan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB  IV

PENUTUP

 

A.                Kesimpulan

1.   Pada dasarnya pemerintahan Aceh telah berusaha untuk mengimplementasikan pengelola dan pemanfaatan kawasan hutan Aceh bagi kesejahteraan rakyat secara baik sebagaimana diamanatkan oleh UUPA, hal ini dapat dilihat dengan adanya instruksi gubernur Aceh tentang moratorium logging atau masa jeda penebangan hutan dan dibentuknya tim penyusunan strategi pengelolaan hutan Aceh.

      Namun dalam prakteknya dilapangan tujuan ini tidak berjalan seperti yang diharapkan bahkan kawasan hutan yang seharusnya dilindungi dan mendapatkan perhatian yang serius, justru dibiarkan dan tidak mampu diatasi dari para perambah hutan.

 

2.   Permasalahan pemerintahan Aceh dalam mengemban amanat seperti yang telah diamanatkan UUPA tentang pengelolaan dan pemanfaat hutan Aceh bagi kesejahteraan rakyat adalah tidak efektifnya badan yang telah diberitanggung jawab dalam pengelolaan hutan, sehingga sampai sat ini banyak terjadi kasus perambahan hutan secara liar dan pembakaran   di hutan yang dilindungi. 

 

B.                 Saran

1.   Langkah awal untuk memulai pengelolaan hutan Aceh  adalah melakukan penataan kembali terhadap hutan Aceh dengan menggunakan data yang akurat dan valid yang hingga saat ini masih menjadi permasalahan besar. Berbagai pihak menghimbau agar penilaian menyeluruh (comprehensive assessment) terhadap hutan Aceh dapat segera dilaksanakan dan mendesak pihak yang berwenang mengelola hutan consern pada aturan yang telah dibuat sehingga hutan dapat terselamatkan.

 

2.   Untuk mengatasi permasalahan perambahan hutan disamping mengefektifkan petugas yang telah dibentuk dan bertindak tegas kepada pelaku, diberikan wewenang tanggung jawab kepada Mukim dan masyarakat untuk mengawasi wilayah ulayatnya dari pengrusakan yang dapat membawa bencana.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Awang, S., Deforestasi dan Kontruksi Pengetahuan dan Pembangunan Hutan Berbasis Masyarakat, Institut Hukum Sumber Daya Alam (IHS), Jakarta, 2009.

 

Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, LBHI, Jakarta, 1988.

 

Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Unsika, Krawang, 1993.

 

Baiquni, M dan Susilawardani, Pembangunan yang tidak Berkelanjutan, Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. Transmedia Global Wacana, Yogyakarta.2002.

 

Djajapertjunda S.,  Merinci perkembangan peraturan kehutanan dalam era kolonialisasi Belanda mulai dari terbitnya maklumat-maklumat yang mengatur tebangan, higga ke terbitnya peraturan yang lebih berbobot logika dan keilmuan pada jaman pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, yang tercantum pada Bosreglement 1865 hingga peraturan setara undang-undang pada Bosordonantie 1927.2002.

 

Iman Santoso, Koordinator Dewan Pengurus Working Group on Forest Land Tenure, Perjalanan Desentralisasi Pengurusan Sumberdaya Hutan Indonesia,Tulisan dipersiapkan untuk International Seminar on “Ten Years Along: Decentralisation, land and Natural Resources in Indonesia, Atma Jaya University, Huma, Leiden University, and Radboud University. Jakarta 15-16 July 2008.

 

Kaban, MS., Arahan Kebijakan Pembangunan Kehutanan dalam Penanganan Kawasan Hutan dan Lahan yang tidak Produktif. Dalam S. Awang., Soepijanto,Yuliarto, dan Karyana (eds). Rehabilitasi Hutan dan Lahan” Capaian dan Perubahan. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta, 2008.

 

Kadir, S.S., Politik Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Demokratis dan Transparan Merupakan Prasyarat Mutlak bagi Proses Otonomi Daerah dan Desentralisasi. APKSA, Menguak Tabir Kelola Alam. Samarinda,2001.

 

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta,1997.

 

Marfai, M.A., Moralitas Lingkungan, Wahana Hijau, Yogyakarta,2005.

 

Muhammad Tahir Azhari,Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implimentasinya pada periode Negara Madinah dan Masa kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.

 

Nurdjana, IGM., T.Prasetyo, dan Sukardi,  Korupsi dan illegal logging dalam system desentralisasi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.

 

Santoso, Perjalanan Desentralisasi Pengurusan Sumberdaya Hutan Indonesia, Makalah pada International Seminar on “Ten Years Along: Decentralisation, land and Natural Resources in Indonesia, Atma Jaya University,  uma, Leiden University, and Radboud University. Jakarta 15-16 July 2008.

 

Sudarmadji, Guru Besar pada Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta,Pembangunan Berkelanjutan,Lingkungan Hidup dan Otonomi Daerah, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Dies UGM ke-58 Pembangunan Wilayah Berbasis Lingkungan di Indonesia, di Yogyakarta, tanggal 27 Oktober 2007.

 

Sumardjani, L., Konflik Sosial Kehutanan: Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik. Working Group on Forest Land Tenure. Bogor, 2007.

 

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Liberty, Yogyakarta, 1995.

 

 

 

 



1) Muhammad Tahir Azhari,Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implimentasinya pada periode Negara Madinah dan Masa kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm73.

2) Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, LBHI, Jakarta, 1988, hal 123-124.

3) The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Liberty, Yogyakarta, 1995, hal 113.

4)  Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Unsika, Krawang, 1993. hal.46.

5 ) Awang, S., Deforestasi dan Kontruksi Pengetahuan dan Pembangunan Hutan Berbasis Masyarakat, Institut Hukum Sumber Daya Alam (IHS), Jakarta, 2009. 

6) Djajapertjunda S.,  Merinci perkembangan peraturan kehutanan dalam era kolonialisasi Belanda mulai dari terbitnya maklumat-maklumat yang mengatur tebangan, higga ke terbitnya peraturan yang lebih berbobot logika dan keilmuan pada jaman pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, yang tercantum pada Bosreglement 1865 hingga peraturan setara undang-undang pada Bosordonantie 1927.2002.

7) Santoso, Perjalanan Desentralisasi Pengurusan Sumberdaya Hutan Indonesia, Makalah pada International Seminar on “Ten Years Along: Decentralisation, land and Natural Resources in Indonesia, Atma Jaya University,  uma, Leiden University, and Radboud University. Jakarta 15-16 July 2008.

8) Barr , dalam Decentralization of Forest Administration in Indonesia: Implications for Forest Sustainability, Economic Development, and Community Libelihood, yang merangkum seluruh hasil penelitian CIFOR sejak akhir tahun 1990an, mencakup uraian mengenai pengurusan hutan sebelum era desentralisasi 1998, serta latar belakang terbitnya Paket Undang-Undang Desentralisasi (UU No. 22/199 dan 25/1999), serta implikasinya terhadap konsesi pengusahaan hutan, produksi kayu, hak-hak masyarakat (tenure) dan kesejahteraan mereka,2006.

9) Gregersen dkk (dalam Colfer,C.J.P., dkk., 2005) menyatakan bahwa di suatu negara federasi, negara–negara bagian atau provinsi tidak menerima pelimpahan wewenang urusan pemerintahan dari Pemeritah Federal; mereka secara historis merupakan negara-negara mandiri yang mengurus rumah tangganya sendiri, namun kemudian bersepakat untuk berbagi beberapa wewenang ke Pemerintah Federal melalui konstitusi. Selanjutnya, dengan menyitir pendapat Oluwu (2001), Gregersen dkk menyatakan bahwa di negara federasi tidak dilakukan desentralisasi, namun digunakan prinsip constitutional non-centralization. Sebaliknya, pada suatu negara kesatuan, seperti Indonesia, pemerintah pusat mempunyai sub-sub pemerintahan (provinsi, dan kabupaten/kota) yang berada di level bawah sebagai sub-ordinasi, yang tidak mempunyai kewenangan mengambil keputusan untuk beberapa fungsi dan urusan pemerintahan utama

10) Berdasarkan Undang-Undang No.22/1999, keempat urusan pemerintahan ini beserta urusan yang terkait

dengan: i) perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, ii) sistem admnistrasi negara dan lembaga keuangan negara, iii) pemberdayaan sumberdaya manusia, iv) pendayagunaan sumberdaya alam serta teknologi tinggi strategis, v) konservasi, dan vi) standarisasi nasional, merupakan kewenangan Pemerintah Pusat yang tidak diesentralisasikan ke provinsi dan kabupaten/kota.

11) Sumardjani, L. , Konflik Sosial Kehutanan: Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik. Working Group on Forest Land Tenure. Bogor, 2007.

12) McCarthy dkk., (Barr, 2006) juga mengamati hal serupa, di mana beberapa aktor yang berada di pemerintahan, organisasi masyarakat madani, dan kalangan swasta mengeluhkan berbagai excesses desentralisasi, terutama di kabupaten, di mana pemerintah setempat mengeluarkan banyak peraturan dan kebijakan yang melebihi wewenangnya.

13) Peraturan Pemerintah No.25/2000 mengenai Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.

14) Undang-Undang No. 25/1999; lebih detail menegenai pelaksanaan Undang-undang ini di bidang kehutanan bisa dilihat dari makalah Resosudarmo, I.A.P., dkk., Fiscal Balancing and the Redistribution of Forest Revenues, dalam Barr, C., (2006) yang antara lain merinci hal-hal yang terkait dengan: i) Dana Perimbangan dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil dari Sumberdaya Alam, ii) Pendapatan Asli Daerah (PAD), iii) Pinjaman Daerah, dan iv) Sumber-sumber Penerimaan Sah Lainnya.

 

No comments:

Post a Comment