DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.
Latar
Belakang............................................................................................. 3
B.
Rumusan
Masalah........................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 5
A.
Pengertian
Intertekstualiti............................................................................ 5
B.
Pendapat
Beberapa Ahli/Tokoh Mengenai Intertekstualiti.......................... 6
C.
Tujuan
Intertekstualiti.................................................................................. 8
D.
Sejarah
Munculnya Intertekstualiti....................................................... ....... 8
E.
Prinsip
Intertekstualiti................................................................................ 10
BAB III PENUTUP............................................................................................. 12
A.
Kesimpulan................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebuah
karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong kebudayaannya, termasuk dalamnya
situasi sastra (teeuw, 1980 dalam Rachmat; 2007).[1] Karya sastra mempunyai
hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian.
Hubungan sejarah ini dapat berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal
demikian, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan
karya sezaman, sebelum, atau sesudahnya.
Kajian
Intertekstualiti dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra),
yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan
adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot,
penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji. Secara Khusus Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian
interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada
karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Secara luas
interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks
lain.
Secara
luas Interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks
yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa
latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi
makna terjadi dalam Interteks yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan
transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara mencari hubungan-hubungan
bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai
Interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, Interteks memberikan
kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram.
Mengenai keberadaan suatu hypogram dalam interteks, selanjunya Riffaterre
(dalam Ratna,2005:222) mendifinisikan hypogram sebagai struktur prateks,
generator teks puitika. Lebih lanjut, Hutomo (dalam Sudikan,2001:118)
merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan,
peristiwa dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang
kemudian teks sastra mempengaruhinya. Kajian Intertekstualiti berangkat dari
pemikiran bahwa kapan pun karya tak mungkin lahir dari situasi kekosongan
budaya. Unsur budaya, termasuk semua kesepakan dan tradisi di masyarakat. Dalam
wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesusastraan yang ditulis sebelumnya.
Kajian Intertekstualitiitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks
(sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk
menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan,peristiwa,
plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji.
Secara
khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek
tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul
lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan
makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan
sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga
pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan
itu (Teeuw, 1983: 62-5 dalam Rahman dan Abdul Jalil:2004) Menurut teori interteks,
pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas pemahaman terhadap
karya-karya terdahulu. Dalam interteks, sesuai dengan hakikat teori-teori pasca
strukturalis, pembaca bukan lagi merupakan konsumen, melainkan produsen, teks
tidak dapat ditentukan secara pasti sebab merupakan struktur dari struktur,
setiap teks menunjuk kembali secara berbeda-beda kepada lautan karya yang telah
ditulis dan tanpa batas, sebagai teks jamak.
Karya
sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut sebagai
hipogram. Istilah hipogram, barangkali dapat diindonesiakan menjadi latar,
yaitu dasar, walau mungkin tak tampak secara eksplisit, bagi penulisan karya
yang lain. wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah
bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi
dan amanat teks sebelumnya (Teeuw, 1983: 65). Intertekstualiti merupakan kajian
teks yang melibatkan teks lain dengan mencari dan menelaah hubungan tersebut.
Suatu teks, dalam kacamata Intertekstualiti, lahir dari teks-teks lain dan
harus dipadang sesuai tempatnya dalam keluasan tekstual. Menurut Kristeva
(dalam Worton) Intertekstualitiitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan
oleh Julia Kristeva. Istilah Intertekstualiti pada umumnya dipahami sebagai
hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan
sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi
dari teks-teks lain (1980: 66). Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin
dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang
menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponenteks yang lain sebagai bahan
dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan
penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang
utuh.
Untuk
lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan: Pertama,
peng;”Larang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan
karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis
rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua,sebuah teks tersedia hanya melalui proses
pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada
pengarang melalui proses pembacaan (Worton,19901). Menurut Bakhtin, pendekatan Intertekstualiti
menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipadang sebagai tulisan sisipan
atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis
sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007: 4-5). Selain itu masala tidaknya
hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca.
Dalam kaitan ini, Luxemburg (dalam Nurgiyantoro, 1995:50), mengartikan
intertektual sebagai “kitaa menulis dan membaca dalam suatu ‘interteks’ suatu
tradisi budaya, sosial dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks
bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa yang dipengaruhi oleh teks-teks
sebelumnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Pengertian teori Intertekstualiti
2.
Tujuan teori inter tekstual
3.
Prinsip Teori Intertekstualiti
4.
Sejarah Teori Intertekstualiti
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Intertekstualiti
Intertekstualiti
merupakan salah satu teori yang digunakan oleh pembaca untuk memperoleh makna
dalam proses menbaca suatu karya sastra. Karena setiap pembaca yang berhadapan
dengan teks pasti bertemu dengan proses pemaknaan. Pada hakekatnya seseorang
membaca untuk memberoleh sesuatu, entah itu berupa informasi atau makna dari
teks yang dibaca tersebut.
Teori
Intertekstualiti pada awalnya diperkenalkan oleh Julia Kristeva seorang peneliti
dari Prancis mengungkapkan dalam (Culler, 1981: 104) bahwa jumlah pengetahuan
yang dapat membuat suatu teks sehingga memiliki arti, atau Intertekstualiti
merupakan hal yang tak bisa dihindari, sebab setiap teks bergantung, menyerap,
atau merubah rupa dari teks sebelumnya.
Teks
merupakan satu permutasian teks-teks lain. Intertekstualiti memandang teks
berada di dalam ruang satu teks yang ditentukan, teks merupakan bermacam-macam
tindak ujaran, teks diambil dari teks-teks lain, serta teks bersifat tumpang-tindih
dan saling menetralkan satu sama lain (Kristeva, 1980:36—37).
Kajian
Intertekstualiti berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tulis, ia tidak
mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Penulisan suatu karya sastra tak
mungkin dilepaskan dari unsur kesejarahannya, dan pemahaman terhadapnya pun
haruslah mempertimbangkan unsur kesejarahan itu. Makna keseluruhan sebuah
karya, biasanya, secara penuh baru dapat digali dan diungkap secara tuntas
dalam kaitannya dengan unsur kesejarahan tersebut. Karena itu, teks sastra
dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah
teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan
pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh,
teladan, kerangka (Teeuw, 1988:145). Teks yang menjadi latar penciptaan karya
baru disebut hipogram, dan teks baru yang menyerap dan mentransformasikan
hipogram disebut teks transformasi (Riffaterre, 1978:11, 23).
B. Pendapat Beberapa Ahli/Tokoh
Mengenai Intertekstualiti
Menurut
Laurent Jenny dalam (Culler, 1981: 104) sebagai “outside of intertextuality,
the literary work would be quite simply impertceptible, in the same way as an
utterance in an as yet unknown language”. Yang artinya bahwa ketika suatu teks
benar-benar tidak bergantung kepada teks lain, maka teks tersebut menjadi tidak
bersignifikansi.
Culler
menekankan Intertekstualiti memiliki dua fokus kajian (Culler, 1981:
103);Penyadaran posisi penting prior texts (teks-teks pendahulu).
Intelligibility (tingkat terpahaminya suatu teks) dan meaning (makna) yang
ditentukan oleh kontribusi teks-teks pendahulu terhadap berbagai macam efek
signifikansi. Karya sastra ditulis atau dicipta berdasarkan konvensi sastra
yang ada. Karya sastra ditulis mencontoh karya yang sudah ada sebelumnya. Akan
tetapi, di samping itu, karya sastra adalah kreatifitas, maka karya sastra
ditulis tidak semata-mata hanya mencontoh saja, melainkan juga memperkembangkan
konvensi yang sudah ada, bahkan menyimpangi ciri-ciri dan konvensi-konvensi
yang ada dalam batas-batas tertentu. Dalam sejarah sastra selalu ada ketegangan
antar konvensi dengan pembaharuan (Teeuw, 1980: 12). Hal ini merupakan prinsip
kreativitas dan sifat kreatif karya sastra.
Proses
pembacaan dan pemaknaan kemudian dapatlah dianggap sebagai hal yang sangat
kompleks. Teks sendiri merupakan sekumpulan kode-kode yang nilai
signifikansinya ditentukan oleh teks-teks pendahulunya sedangkan pembaca teks
juga tidak bergulat dengan teks dalam keadaan bersih.
Pemikiran
Kristeva mengenai Intertekstualiti dapat dijabarkan sebagai berikut (adapatasi
dari Junus, 1985: 87-88): Kehadiran suatu teks di dalam teks yang lain, Selalu
adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan antara suatu teks dengan teks-teks
pendahulu. Adanya fakta bahwa penulis suatu teks telah pernah membaca teks-teks
pemengaruh sehingga nampak jejak. Pembaca suatu teks tidak akan pernah bisa
membaca teks secara pisah dengan teks-teks lainnya. Ketika ia membaca (dalam
rangka memahami) suatu teks, ia membacanya berdampingan dengan teks-teks lain.
Tokoh
lain juga memiliki pendapat mengenai Intertekstualiti adala Gray. Di dalam
bukunya, Gray menekankan arti penting Intertekstualiti dengan genre. Ia melihat
bahwa The Simpsons yang berbentuk genre parodi merujukkan kepada dua hal yang terkait
dengan Intertekstualiti;
Hal
yang pertama adalah penciptaan situasi yang absurd karena ditampilkan secara
komikal sehingga cerminan terhadap dunia menjadi aneh. Hal yang kedua adalah
dalam kontekscritical intertextuality; suatu keadaan di mana referen-referen Intertekstualiti
digunakan justru untuk mengkritik keadaan masyarakat. Riffaterre mengemukakan
paradigma pembacaan sajak yang melibatkan dua tahap pembacaan (Riffaterre,
1978: 4-6);
Tahap
pertama Heuristic reading adalah tahap pembacaan yang menekankan kebutuhan
seorang pembaca akan kompetensi linguistik, sebab sajak tidak mengikuti tata
bahasa baku, dan kompetensi kesusastraan (tidak dalam khazanah buku-buku sastra
saja, pen.), sebab sajak melibatkan teks-teks lain, semesta tanda, sehingga akan
dapat dimunculkannya model hypogramamatis. Sedangkan tahap kedua pembacaan
adalah tahap hermeneutic reading atau dia juga memakai istilah retroactive
reading. Pada tahapan ini seorang pembaca merangkai semesta tanda di dalam satu
konteks keutuhan sajak. Tanda yang tidak relevan bakal untuk sementara tidak
dipakai karena pada proses baca ulang kesekian kalinya bisa jadi referen yang
dikesampingkan bakal dipakai dalam mewujudkan signifikansi sajak.
Riffaterre
juga yang menggunakan istilah hypogram, sistem tanda-tanda yang ada pada
teks-teks sebelumnya, untuk mengaitkan produksi tanda yang terjadi pada sebuah
sajak (Riffaterre, 1978: 23). Misalnya saja Zulfahnur dan Sayuti Kurnia (1996:
9-12) di dalam buku Sastra Bandingan. Mereka membandingkan keterkaitan dan pengaruh
sajak Amir Hamzah, Berdiri Aku, terhadap sajak Chairil Anwar, Senja di
Pelabuhan Kecil. Kedua sajak menurut mereka memiliki keterkaitan di dalam aspek
“tema + setting”: elang, udara, dan suasana pantai. Di dalam simpul analisis,
mereka menyatakan bahwa keterkaitan di antara kedua sajak justru terletak pada
kontras atau kontradiksi di antara kedua sajak. Zulfahnur dan Sayuti Kurnia
menemukan bahwa sajak Amir Hamzah memberikan nuansa kesempurnaan dunia menurut
si “aku” sedangkan sajak Chairil Anwar menyajikan nuansa kemuraman, kebekuan,
dan sepinya dunia bagi si “aku”.
Pendekatan
Intertekstualiti juga terjadi ketika analisis sastra menyinggung masalah
“sastra bandingan” atau comparative literature. Karena teori Intertekstualiti
ini memiliki kesamaan dengan sastra bandingan. Sastra bandingan adalah kegiatan
telaah produk, literature (sastra dan seni) saling berhubungan dalam
konteks aspek tema/mitos; jenis/bentuk/teknik tulis; gerakan/trend; keterkaitan
antar-karya sastra dengan karya seni yang lain; dan keterkaitan teori dan
praktik kritis di dalam perbandingan berdasarkan pendekatan terhadap karya
sastra.
C. Tujuan Intertekstualiti
Tujuan
kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh
terhadap karya (Karya Sastra). Penulisan atau pemunculan sebuah karya sering
ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya, sehingga pemberian makna itu akan
lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-5).
D. Sejarah Munculnya Intertekstualiti
Teori
intertekstualiti mendapat namanya di tangan Kristeva pada sekitar tahun
1970-an, Bagaimanapun, perbicaraannya sudah dimulai dekat 1960-an dengan
Kristeva menjelaskan dasar teori dialogikal M. Bakhtin, tegasnya teori ini
adalah hasil modifikasi sastra danipada pemikiran Bakhtin. Dengan itu, tokoh
awal yang memperkenalkan konsep intertekstualiti ialah Mikhail Bakhtin pada
tahun 1920-an, Pada mulanya, Bakhtin menggunakan konsep dialogik sebagaimana diuraikannya
dalam bukunya The Dialogic Imagination. Beliau
berpendapat bahwa semua karya sastra itu dihasilkan berdasarkan pada dialog
di antara teks dengan teks-teks lain. Dengan kata lain teori ini memperlihatkan
hubungan antara teks dengan teks yang lain itu. Baginya tidak ada sebuah karya
pun yang bersifat mandiri. Sebuah teks adalah terbina hasil perhubungan dan
pergantungan dengan teks-teks sebelumnya segala unsur itu masuk kedalam teks.
Ada hubungan dialogis antara semua ungkapan itu sehingga membina hubungan
semantik atau makna teks" (1976:36).
Ada
beberapa hal yang mendorong Bakhtin penyelidikan dan menemukan teori
dialogiknya Pertama karya-karya Rusia yang dianggap kuno seperti yang
dihasilkan oleh Toistoy, Pushkin dan terutamanya Doestovsky tidak difahami sepenuhnya
oleh masyarakat sastra waktu itu. Kedua, Bakhtin menyatakan bahwa formalisme
karya sastra yang terkembang zaman itu sebagai wacana modern mempunyai kelemahan yang mendasar, terlalu teknikal,
melecahkan fenomena makna dan terpenjara dalam tekstualitinya (Holquist,
Michael, 1990).
Penemuan
Bakhtin ini sebenarnya didasarkan kepada teori dialogisme yang berkembang pada
akhir abad ke-19 di Rusia. Bakhtin telah berjaya meneliti teori tersebut
berdasarkan tulisan-tulisan beberapa penulis Rusia yang terkemuka seperti
Mayakovsky, Knlebnikov dan Bely. Daripada penelitiannya, Bakhtin telah membina
asas teori dialogik untuk digunakan bagi usaha membaca dan rnernahami karya sastra
yang dikatakan sukar difahami itu. Bakhtin menggunakan teori dialogik itu untuk
membaca dan memahami karya Dostoevsky yang dikarenakan sukar dipahami oleh
masyarakat Rusia akhir tahun 1920-an. Pendekatan formalisme Rusia yang
berkembang pada waktu itu ternyata tidak berhasil membantu masyarakat memahami
karya Dostoevsky ialah penulis Rusia yang terkenal yang telah menghasilkan
empat betas buah novel dan antologi cerpen. DI aantara karya vang bestir ialah
The Big Gamble, The Idiot dan The Brothers Karamanzoo. Bakhtin menggunakan
teori dialogik untuk membincangkan karya-karya Dostoevsky itu terutamanya dalam
tulisannya Problem, of Dostoevsky' Poetics. Bakhtin banyak menganalisis
tekstualiti dan hubungan dengan teks-teks lainnya yang membina makna karya
Dostoevsky tersebut
Pokok
utama menurut dialogik Bakhtin dalam setiap karya itu berlaku dialog yang
menghubungkan antara teks dalaman dan teks luaran. Yanc, dimaksudkan dengan
teks dalaman ialah aspek vang berkaitan dengan pembinaan sesebuah karya sastra
seperti estetik, imaginatif dan ilusi sementara teks luaran merupakan teks
sosial yang paling erat kaitannya dengan pengalaman pengaran, ideologi,
sejarah, moral, budaya dan sebagainya. Oleh itu, sesebuah karya itu tidak dapat
dipisahkan dengan. teks sosial yang merupakan teks luaran. Sebagai contohnva,
teks sosial mempunyai pengertian yang mencakupi fakta d.an peristiwa sejarah.
Malah setiap karya yang dihasilkan itu mempunyai unsur-unsur serajahnya
tersendiri seperti timbulnya hasrat untuk menulis, pengumpulan bahan dan
semuanya itu mempengaruhi penuhsan dan
dianggap sebagai unsur sejarah adalah jelas bahwa dialog yang dirnaksudkan oleh
Bakhtin (19-76A06-7) ialah adanva kemasukan unsur-unsur luar daiam sesebuah
karya sastra.
E. Prinsip Intertekstualiti
Prinsip
Intertekstualiti yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya
yang bersangkutan secara hipogram berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan,
dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya.
Hutomo
(1993b: 13-14) menyatakan bahwa untuk studi pengaruh perlu memahami teori Intertekstualiti.
Karya sastra menyimpan berbagai teks di dalamnya, atau merupakan serapan/hasil
transformasi dari teks lain.
Pendekatan
atau kajian ilmu sastra mutakhir yang paling menonjol adalah hubungan Intertekstualiti
antara teks sastra dengan berbagai macam teks lainnya, yang kesemuanya itu
dilihat sebagai suatu produk budaya pada kurun waktu tertentu (Junus, 1996:
121; Budianta, 2002: 43).
Menurut
Julia Kristeva (dalam Hutomo, 1993b: 13-14) teori Intertekstualiti itu
mempunyai kaidah dan prinsip tertentu, diantaranya: Pada hakikatnya sebuah teks
itu mengandung berbagai teks;
Studi
Intertekstualiti itu menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik sebuah
teks; Studi Intertekstualiti itu
mempelajari keseimbangan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik teks yang
disesuaikan dengan fungsi teks di masyarakat; Dalam kaitan dengan proses
kreatif pengarang, kehadiran sebuah teks merupakan hasil yang diperoleh dari
teks-teks lain;
Dalam
kaitan dengan studi Intertekstualiti, pengertian teks (sastra) janganlah
ditafsirkan terbatas pada bahan sastra, tetapi harus mencakup seluruh unsur
teks, termasuk bahasa. Bagi teori Intertekstualiti, penulis ataupun teks tidak
terputus dari dunia budaya yang lebih besar. Sebuah teks bermakna penuh bukan
hanya karena mempunyai struktur, suatu kerangka yang menentukan dan mendukung
bentuk, tetapi juga karena teks itu berhubungan dengan teks lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara
luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks
yang lain. Penelitian dilakukan dengan cara melakukan hubungan-hubungan
bermakna d antara dua teks atau lebih. Hubungan yang dimaksudkan tidak
semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan,
baik sebagai parodi maupun negasi.
Menurut
Riffaterre (1978: 5) pendekatan suatu
karya sastra di satu pihak adalah dialektik antara teks dan pembaca, dan di
pihak lain adalah dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Lebih
jauh Riffaterre menjelaskan bahwa pembaca sebagai pemberi makna harus mulai
dengan menemukan arti (meaning) unsur-unsurnya, yaitu kata-kata berdasar fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi yang mimetik (mimetic function), tetapi kemudian harus ditingkatkan
ke tataran semiotik, yaitu kode karya sastra harus dibongkar secara struktural
(decoding) atas dasar signifinance, yang hanya dapat dipahami dengan kompetensi linguistik (linguistic
competence), kompetensi kesastraan (literary competence), dan terutama dalam
hubungannya dengan teks lain.
DAFTAR PUSTAKA
Blog, Dipa Nugraha S., S.S., M.M. 20
oktober 2013. 19.25. WIB. (http://dipanugraha.blog.com/2011/04/18/sastra-dan-Intertekstualiti/).
http://sastra33.blogspot.com/2011/05/teori-sastra-11-Intertekstualiti.html.
(20 oktober 2013, 19.24pm. A,T: Sastra 33._).
I Wayan Jatiyasa Tuminggal. Label:
APRESIASI SASTRA, SASTRA, TEORI SASTRA 6:26:00 AM. http://iwayanjatiyasatumingal.blogspot.com/2013/05/teori-Intertekstualiti.html.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2011. Beberapa
Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Uman Rejo.
http://www.jendelasastra.com/wawasan/artikel/teori-Intertekstualiti-dalam-sastra-bandingan.
(20.0ktober 2013, 19.26pm).
No comments:
Post a Comment