BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Identitas nasional secara terminologis
adalah suatu cirri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis
membedakan bangsa tersebut dengan bangsa yang lain.Berdasarkan perngertian yang
demikian ini maka setiap bangsa didunia ini akan memiliki identitas
sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan,sifat,cirri-ciri serta karakter dari
bangsa tersebut. Berdasarkan hakikat pengertian identitas nasional sebagai mana
di jelaskan di atas maka identitas nasional suatu Bangsa tidak dapat di
pisahkan dengan jati diri suatu bangsa atau lebih populer disebut dengan
kepribadian suatu bangsa (Khalis purwanto, 2009).
Bangsa pada hakikatnya adalah sekelompok
besar manusia yang mempunyai persamaan nasib dalam proses sejarahnya,sehingga
mempunyai persamaan watak atau karakter yang kuat untuk bersatu dan hidup
bersama serta mendiami suatu wilayah tertentu sebagai suatu kesatuan nasional
(Khalis purwanto, 2009).
Dalam penyusunan makalah ini digunakan untuk
mengangkat tema dengan tujuan dapat membantu mengatasi masalah tentang
identitas nasional dan dapat di terapkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara(Khalis purwanto, 2009).
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Identitas Nasional
Identitas nasional pada hakikatnya
merupakan manifestasi nilai-nilai.Budaya yang tumbuh dan berkembang dalam
berbagai aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. Dengan ciri-ciri
khas tersebut, suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hidup dan
kehidupannya.
Diletakkan dalam konteks Indonesia, maka Identitas
Nasional itu merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang sudah tumbuh dan
berkembang sebelum masuknya agama-agama besar di bumi nusantara ini dalam
berbagai aspek kehidupan bdari ratusan suku yang kemudian dihimpun dalam satu
kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan Nasional dengan acuan Pancasila dan roh
Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Unsur – Unsur Pembentuk
Identitas Nasional
Pada hakikatnya, Identitas Nasional memiliki empat unsur.
1.
Suku Bangsa: golongan social yang khusus
yang bersifat askriftif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan
umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa, kuran
lebih 360 suku.
2.
Agama: bangsa indonessia dikenal sebagai
bangsa yang agamis. Agama – agama yang berkembang di Indonesia antara lain
agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu
pada masa Orde Baru tidak diakui sebagai agama resmi Negara Indonesia namun
sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi telah
dihapuskan.
3.
Kebudayaan: merupakan pengetahuan
manusia sebagai makhlu sosial yang berisikan perangkat – perangkat atau model –
model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung – pendukungnya untuk
menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai pedoman
untuk bertindak dalam bentuk kelakuan dan benda – benda kebudayaan.
4.
Bahasa: merupakan usur komunikasi
yang dibentuk atas unsur – unsur bunyi ucapan manusia dan digunakan sebagai
sarana berinteraksi antar manusia.
Menurut Syarbani dan
Wahid dalam bukunya yang berjudul Membangun Karakter dan Kepribadian melalui
Pendidikan Kewarganegaraan, keempat unsur Identitas Nasional tersebut diatas
dapat dirumuskan kembali menjadi 3 bagian:
a.
Identitas Fundamental: berupa Pancasila
yang menrupakan Falsafah Bangsa, Dasar Negara,
dan Ideologi Negara.
b.
Indetitas Instrumental: berupa UUD 1945
dan Tata Perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara,
dan Lagu Kebangsaan.
c.
Indetitas Alamiah: meliputi Kepulauan
(archipelago) dan Pluralisme dalam suku, bahasa, budaya dan kepercaraan
(agama).
Penyimpangan Identitas
Nasional
a.
Kurangnya kekuatan maritime yang memadai
b.
Pertahanan laut dan udara masih belum di
kembangkan dengan optimal.
c.
Kebanyakan daerah perbatasan mengalami
kelambanan dalam pembangunan infrakstruktural transportasi dan komunikasi
sehingga mereka kurang berinteraksi dengan wilayah lin di tanah air,bahkan
mereka lebih dekat dengan negara tetangga.
d.
Kondisi geografis yang senjang juga
terlihat mencolok antara wilayah pedesaan dengan wilayah perkotaan.
Demografis :
a.
Terjadinya kesenjangan antara generasi
tua dengan generasi muda dalam memandang persoalan bangsa dan menghadapi
tantangan hidup.
b.
Perasaan senasib-sepenanggungan semakin
mencair
c.
Kristalisasi nilai kebangsaan mengalami
keretakan di sana-sini
d.
Banyaknya pejabat yang menuntut hak-hak
istimewa bagi kepentingan pribadinya, meskipun hak-hak dasar rakyat pada
umumnya belum terpenuhi.
e.
Lemahnya kemampuan bangsa dalam mengelola
keragaman
f.
Gejala tersebut dapat di lihat dari
menguatnya orientasi dalam kelompok, etnik, dan agama yang berpotensi
menimbulkan konflik social dan bahkan disintegrasi bangsa. Masalah ini juga
semakin serius akibat dari makin terbatasnya ruang public yang dapat diakses
dan dikelola bersama masyarakat yang multikultur untuk penyaluran aspirasi.
Dewasa ini muncul kecenderungan pengalihan ruang publik ke ruang privat karena
desakan ekonomi.
g.
Kurangnya kemampuan bangsa dalam
mengelola kekayaan budaya yang kasat mata (tangible) dan yang yang tidak kasat
mata (intangible). Pengelolaan kekayaan budaya ini juga masih belum sepenuhnya
menerapkan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Sementara
itu, apresiasi dan kecintaan masyarakat terhadap budaya dan produk dalam negeri
masih rendah, antara lain karena keterbatasan informasi.
h.
Terjadinya krisis jati diri (identitas)
nasional.. Identitas nasional meluntur oleh cepatnya penyerapan budaya global
yang negatif, serta tidak mampunya bangsa indonesia mengadopsi budaya global
yang lebih relevan bagi upaya pembangunan bangsa dan karakter bangsa (nation
and character building).
2.2 Faktor dalam Revitalisasi Identitas
Nasional Bangsa Indonesia
Semakin maraknya semangat globalisasi
membuat berbagai negara semakin gencar terlibat dalam interaksi global. Baik
itu dalam skala bilateral, regional, ataupun multilateral. Semua orang juga
sekarang semakin bergerak menyatu menjadi sebuah masyarakat dunia, terutama
dengan adanya internet. Namun semakin dunia bersatu, keberadaan identitas
sebuah bangsa menjadi semakin penting, terutama karena identitas bangsa yang
akan menjadi landasan kita dalam mengembangkan potensi yang dimiliki negara
ini. Agar dapat bertahan dari derasnya arus perubahan di era globalisasi ini, Indonesia
perlu segera melakukan revitalisasi terhadap identitas bangsanya.
Ada dua faktor yang diperlukan dalam
proses revitalisasi identitas bangsa, yaitu partisipasi publik dan
kepemimpinan.
a.
Faktor partisipasi public
Faktor ini menjadi penting
karena agar sebuah identitas bangsa dapat menjadi faktor pemersatu maka publik
atau masyarakat harus mendukungnya. Belajar dari pengalaman masa Orde Baru,
sebuah pemahaman yang dipaksakan kepada masyarakat tidak dapat bertahan lama.
Oleh karena itu, agar mendapatkan penerimaan dan dukungan dari masyarakat,
mereka harus dilibatkan seluas-luasnya dalam proses revitalisasi identitas
bangsa.
Walau terlihat ideal, konsep partisipasi
publik dikritik sebagai sebuah konsep yang akan menghabiskan banyak waktu
dan sumber daya negara. Terutama karena dianggap tidak mungkin atau sulit untuk
menemukan konsensus yang dapat diterima oleh semua masyarakat. Ini
berkaitan dengan kelemahan sistem demokrasi yaitu dihargainya keberadaan
perbedaan pendapat, sehingga ketika makin banyak pendapat maka makin sulit
untuk mencapai sebuah titik temu.
b.
Faktor Kepemimpinan
Faktor ini sangat penting dan
diperlukan. Keberadaan seorang atau beberapa orang pemimpin bangsa berfungsi
untuk tiga hal. Pertama, memulai inisiatif untuk melakukan revitalisasi
identitas bangsa. Kedua, memantau dan memastikan berjalannya partisipasi publik
dalam revitalisasi identitas bangsa. Ketiga, menyimpulkan hasil diskusi
masyarakat tentang identitas bangsa Indonesia yang baru. Semakin para pemimpin
bangsa itu dipercaya oleh masyarakat banyak maka hasil kesimpulan yang mereka
sampaikan akan lebih mudah diterima masyarakat. Ini akan mempercepat dan
memudahkan proses revitalisasi identitas bangsa.
Harus diperhitungkan juga para pemimpin
masyarakat yang tidak menjabat di pemerintahan tapi memang sudah dipandang
sebagai pemimpin bangsa. Mereka inilah yang seharusnya berperan sebagai
penggerak dan pemandu masyarakat dalam proses revitalisasi identitas bangsa.
Tanpa peran aktif dari para pemimpin bangsa Indonesia maka revitalisasi identitas
bangsa kita mungkin tidak akan pernah selesai atau prosesnya menjadi tidak
terarah
Selain peran para pemimpin, agar proses
revitalisasi identitas bangsa dapat menjadi semakin terarah, perlu dipahami
juga akar atau sumber identitas bangsa yang perlu dibahas oleh masyarakat.
Menurut Huntington (2004), identitas memiliki enam sumber utama, yaitu
demografis, budaya, wilayah, politik, ekonomi, dan kehidupan sosial. Keenam
sumber identitas ini yang kemudian menjadi dasar bersatunya sekelompok orang. Untuk
keperluan melakukan revitalisasi identitas bangsa Indonesia, keenam sumber
tersebut dapat disederhakan menjadi dua aspek, yaitu nilai dan cita-cita
bangsa.
Perihal aspek cita-cita bangsa, di luar
cita-cita normatif seperti bangsa yang berdaulat dan sejahtera, masyarakat
perlu memikirkan bangsa Indonesia ingin dikenal sebagai apa di mata dunia, atau
Indonesia ingin mengambil posisi apa di papan catur dunia. Tentunya ini tetap
harus dikaitkan dengan nilai bangsa serta potensi yang dimiliki oleh Indonesia
agar tidak menjadi cita-cita yang semu. Sebenarnya ada dua posisi di dunia yang
Indonesia bisa tempati dengan potensi yang kita miliki. Pertama, karena
Indonesia negara penghasil emiten karbon ketiga terbesar di dunia, Indonesia
dapat menjadi negara yang memimpin gerakan menghambat pemanasan global. Kedua,
karena Indonesia adalah negara yang telah berhasil menyatukan beragam suku,
budaya & bahasa daerah, serta agama melalui demokrasi, Indonesia dapat
menjadi tolok ukur bagi negara lain dalam pengelolaan konflik horizontal.
Apapun posisi yang akan diambil Indonesia nantinya di kancah internasional,
semua akan bergantung pada hasil revitalisasi identitas bangsa Indonesia.
Bila Indonesia tidak ingin terlambat memetik hasil
dari globalisasi maka revitalisasi identitas bangsa perlu segera dilakukan.
Peran aktif masyarakat dan para pemimpin bangsa Indonesia dalam membahas nilai
dan cita-cita bangsa dapat memaksimalkan proses serta hasil revitalisasi
identitas bangsa Indonesia. Namun di era globalisasi ini perlu dipertimbangkan
pula posisi atau peran strategis yang Indonesia ingin jalankan di dunia, agar
potensi yang dimiliki Indonesia dapat dikembangkan pula di kancah
internasional.
2.3 Fungsi Bahasa Indonesia
Seminar Politik Bahasa Nasional, 25-28
Februari 1975 di Jakarta, antara lain merumuskan bahwa di dalam kedudukannya
sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI) berfungsi
sebagai
1)
lambang kebanggaan nasional,
2)
lambang identitas nasional,
3)
pemersatu berbagai masyarakat yang
berbeda latar belakang sosial budaya bahasa, dan
4)
alat perhubungan antarbudaya dan
antardaerah (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1975:5). Dalam pergaulan
internasional, BI mewujudkan identitas bangsa sebagai identitas fonik, di
samping identitas fisik, yakni bendera merah putih dan garuda
Pancasila.Beriringan dengan pesatnya perkembangan BI sebagai lambang identitas
nasional, teraktualisasikan pula perkembangan bahasa daerah (selanjutnya
disingkat BD) sebagai lambang identitas daerah yang keberadaannya diakui di dalam
UUD 1945 yang secara bersamaan dengan BI menghadapi arus
globalisasi. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak ada persaingan antara BI
dan BD. Oleh karena itu, pemerintah tidak ragu-ragu mengonsepkan kurikulum
muatan lokal yang memberikan peluang bagi sekolah-sekolah untuk mengajarkan BD
di daerah masing-masing.
2.4 Identitas Bangsa
Sosok yang menunjukkan bahwa dia adalah
Indonesia, baik sebagai negara maupun sebagai bangsa, berwujud dalam dua
kenyataan, yakni BI yang menampakkan diri sebagai identitas fonik dan merah
putih serta Garuda Pancasila sebagai wujud fisik. Jika kita berada di luar
negeri, lalu ada bunyi yang kita dengar, misalnya "oh kakiku", serta
merta kita mengatakan, ia adalah orang Indonesia tidak peduli, apakah ia orang
Batak, Dayak, atau orang Saparua. Demikian pula, kalau kita melihat sebuah
gedung, lalu di situ berkibar bendera merah putih, dan di depan pintunya ada
gambar garuda, kita dapat memastikan bahwa gedung tersebut adalah gedung
perwakilan RI.
Hal yang sama, jika kita menyaksikan pasukan multibangsa,
lalu ada pasukan yang baretnya
ada pita kain merah putih, dan di dada atau di lengan anggota pasukan tersebut
ada lambang garuda, kita dapat memastikan bahwa pasukan tersebut adalah pasukan
RI.Dalam kaitan ini kita patut berbangga kepada Presiden kita karena hampir
dalam setiap kesempatan selalu menggunakan BI yang ternyata lebih memantapkan
identirtas bangsa adalah pergaulan internasional.
2.5 Arus Globalisasi
Arus globalisasi menimbulkan pengubah
sosial yang menurut Emil Salim (1990) menimpa empat bidang kekuatan yang
menonjol daya dobraknya. Keempat bidang kekuatan itu, yakni pertama gelombang
perkembangan yang amat tinggi dalam bidang IPTEK. Gelombang kedua, yakni bidang
ekonomi, misalnya yang dapat kita amati penyatuan pasar Eropa Barat, AS, dan
Kanada. Kecenderungan ini merupakan perilaku ekonomi global yang praktis telah
mencakup sebagian wilayah di dunia ini tanpa mengenal batas.
Gelombang ketiga, yakni masalah
lingkungan hidup, misalnya kalau terjadi
pencemaran laut di Selat Malaka, dampaknya tidak hanya dirasakan Malaysia,
Singapura, dan Indonesia, tetapi juga di negara tetangga lainnya. Gelombang
keempat, yakni bidang politik sehingga dewasa ini tak ada lagi suatu negara
yang hanya memeprtaruhkan potensi yang terdapat di dalam negaranya.
Arus globalisasi itu telah menimbulkan pengubah
sosial yang dalam waktu-waktu yang akan datang akan terjelma dalam perilaku
sosial, baik perilaku sosial bermasalah maupun perilaku sosial yang positif .
Kenyataan menunjukkan di mana-mana selalu digebyarkan kata atau urutan kata
persaingan, harga bersaing, persaingan global, kalah bersaing, dan memasuki
persaingan global.
2.6 Pengaruh Arus Globalisasi
Arus globalisasi tentu saja akan
mempengaruhi seluruh aspek kehidupan dan penghidupan manusia sejagat. Pengaruh
itu, anara lain akan terlihat dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Salah
satu pokok yang dihadapi dunia pendidikan adalah masalah identitas bangsa.
Kalau kita berbicara identitas
bangsa, mau tidak mau kita akan berbicara tentang kebudayaan, dan kalau kita
berbicara tentang kebudayaan, mau tidak mau kita akan mempersoalkan bahasa. Itu
sebabnya Makagiansar (1990) menekankan perlunya kesadaran tentang identitas
budaya, bahkan Emil Salim (1990) menyatakan upaya mempertahankan identias
merupakan prioritas yang harus diperjuagkan mati-matian dengan cirri utama
keseimbangan antara aspek material dan spiritual.
Pengaruh arus globalisasi dalam identitas bangsa itu
tecermin, antara lain, dari sikap lebih mengutamakan penggunaan bahasa asing
(disingkat BA) daripada penggunaan BI, misalnya dalam penamaan kompleks
perumahan, dan sikap mementingkan kegiatan tertentu, misalnya demi kegiatan
pengembangan pariwisata dan bisnis. Syukurlah sikap seperti itu mulai disadari,
dan diambil langkah-langkah nyata mengganti kata-kata asing dengan kata-kata
Indonesia.
2.7 Pengaruh Muatan Lokal sebagai Upaya
Penangkal Arus Globalisasi
Berdasarkan Petunjuk Penerangan Muatan
Lokal (Depdikbud, 1987), yang dimaksud muatan lokal adalah program pendidikan
yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan
sosial, lingkungan budaya, dan kebutuhan daerah yang perlu dipelajari oleh
murid. Dalam pelaksanaannya pengajaran muatan lokal itu menyangkut banyak
aspek, misalnya kebudayaan daerah, pariwisata, industri rumah tangga, kerajinan
rakyat, dan agrobisnis. Di daerah tertentu, tekanan pengajaran muatan
lokal diarahkan pada pengajaran BD. Salah satu tujuan yang tersirat dari upaya
ini adalah kiat menangkal arus globalisasi.
Jika kita melekatkan bahasa pada
kelompok etnik, penulis mengingatkan pernyataan Gumperz dan Gumpersz (1985: 2)
yang menyatakan bahwa konflik sosial yang terjadi pada dekade terakhir ini
disebabkan oleh konflik etnik, kelas, atau agama. Namun, ahli bahasa , misalnya
Stewart (lihat Moeliono, 1985: 45) berpendapat keanekabahasaan cenderung ke
arah kestabilan sehingga bahasa yang dipakai secara berdampingan akan
isi-mengisi dalam perubahan bermacam-macam fungsi tanpa persaingan. Pendapat
Stewart ini diwujudkan oleh adanya ideologi penyatu bangsa, yakni Pancasila
sehingga perbedaan antara bahasa-bahasa di Indonesia akan dikecil-kecilkan,
bahkan dianggap seakan-akan tidak ada.
Kita bersyukur kepada Allah SWT atas fenomena ini
karena antara BI dan BD tidak terjadi persaingan, bahkan saling menopang . Itu
sebabnya upaya penelitian dan pengembangan BD, bahkan pengajarannya harus
diusahakan untuk menopang pembinaan dan pengembangan BI. Kita juga bersyukur
karena persoalan bahasa nasional telah kita selesaikan melalui ikrar besar
Sumpah Pemuda 1928.
2.8 Tantangan terhadap Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia sebagai lambang dan
identitas nasioanl tidak luput dari tantangan. Meskipun BI telah menjelma
menjadi potensi budaya bangsa Indonesia, tantangan yang telah nyata sekarang,
dan tantangan yang perlu diantisipasi harus dihadapai dengan perencanaan,
pemikiran konseptual, intelektual dan penuh kearifan. Tantangan itu ada yang
bersifat internal dan ada yang bersifat eksternal. Tantangan yang bersifat
eksternal itu, antara lain arus globalisasi.
Menurut pendapat Amran Halim (lihat
Kompas, 8 Maret 1995, halaman 16) setelah 67 tahun BI dikukuhkan sebagai bahasa
persatuan, situasi kebahasaan ditandai oleh dua tantangan.Tantangan pertama,
yakni perkembangan BI yang dinamis, tetapi tidak menimbulkan pertentangan di
antara masyarakat. Pada saat bersamaan bangsa Indonesia sudah mencapai
kedewasaan berbahasa. Sekarang tumbuh kesadaraan secara emosional bahwa
perilaku berbahasa tidak terkait dengan masalah nasionalisme. Buktinya, banyak
orang yang lebih suka memakai BA, demikian Amran Halim.
Tantangan kedua, yakni persoalan tata
istilah dan ungkapan ilmiah. Tantangan kedua ini yang menimbulkan prasangka
yang tetap diidap ilmuwan kita yang mengatakan bahwa BI miskin, bahkan kita
dituduh belum mampu menyediakan sepenuhnya padanan istilah yang terdapat dalam
banyak disiplin ilmu, teknologi, dan seni. Menurut Moeliono (1991: 15)
prasangka itu bertumpu pada pendirian apa yang tidak dikenal atau diketahui,
tidak ada dalam BI.
Kedua tantangan menurut Amran Halim dapat
dikategorikan sebagai tantangan yang bersifat internal. Tantangan itu dapat
dilihat dari kenyataan BI itu sendiri, dan yang satu dari pemilik dan penutur
BI sendiri. Tantangan yang datang dari pemilik dan penutur Bi sebenarnya
bersumber dari sikap, kesadaran berbahasa yang kemudian tecermin dalam perilaku
berbahasa (lihat Fishman, 1975:24-28, Pateda, 1990: 25-32). Terhadap ujaran sulitnya
mendapatkan padanan istilah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni sebenarnya Pusat Bahasa bekerja sama dengan para pakar dalam disiplin
ilmu tertentu telah mengupayakan menerbitkan kamus, antara lain Kamus Istilah
Teknik Perkapalan (Soegiono dkk, 1985), Kamus Istilah Politik (Muhaimin dkk,
1985), Kamus Istilah Teknologi Mineral (Soetjipto dkk, 1985), tetapi barangkali
tidak luas, maka tuduhan di atas muncul.
2.9 Perencanaan Bahasa sebagai Upaya
Penanggulangan Tantangan
Seperti telah dikemukakan di atas,
banyak tantangan yang menghadang BI sebagai lambang kebanggaan dan identitas
nasional. Untuk itu, perlu dilakukan kiat-kiat strategis dan taktis untuk
menanggulanginya. Kerja awal yang layak dipertimbangkan, yakni melaksanakan
perencanaan dan pengembangan BI secara sistematis.
Berbicara mengenai perencanaan bahasa,
Moeliono (1985: 5--11) melihat pembahasannya dari tiga hal, yakni :
1)
perencanaan fungsional,
2)
perencanaan sebagai proses, dan
3)
penamaan yang bervariasi. Perencanaan
dilihat dari segi proses meliputi tiga kegiatan, yakni (10 perencanaan , (2)
pelaksanaan, dan (3) penilaian (cf. Robin dalam Fasold, 1984: 254). Sementara
itu, Klose (lihat Fishman, 1974, 112) mengidentifikasi dimensi perencanaan
bahasa yamg meliputi (10 korpus bahasa, (20 status bahasa, dan (3) aspek yang
mempengaruhi perkembangan bahasa, misalnya ekonomi. Dalam kaitan dengan
dimensi-dimensi ini, Jernudd (lihat Eastman, 1983:146-147) menyebutkan kegiatan
perencanaan bahasa yang meliputi (1) kodifikasi , (2) regularisasi, (3)
simplikasi, (4) purifikasi, (5) elaborasi, (6) impelementasi, dan (7) evaluasi.
Sementara itu, Christian (lihat Newmeyer, 1988: 197) menyatakan bahwa komponen
kunci dalam perencanaan bahasa meliputi (1) intervensi, (2) eksplisit, (3)
beroreantasi pada tujuan, (4) sistematis, (5) memilih dari berbagai alternatif,
dan (6) bersifat institusional
Berdasarkan
uraian di atas, untuk melaksanakan kegiatan perencanaan bahasa di Indonesia,
kita harus melaksanakan kegiatan terpadu yang melibatkan selain unsur
pemerintah, juga (10 ABRI, (2) badan peradilan, (3) organisasi keagamaan, (4)
penerbit, (5) organisasi profesi kebahasaan, (6) linguis, (7) pakar bidang
linguistik, (8) guru bahasa, (9) tokoh masyarakat (cf. Moeliono, 1985: 19).
Konsekuensi logis selanjutnya, yakni mengharapkan agar Putusan Kongres Bahasa
(1993) yang berisi, antara lain agar status Pusat Bahasa ditingkatkan, supaya
diwujudkan oleh pemerintah.
a.
Peranan Media Massa Ditingkatkan
Peranan
media massa, baik media tulis maupun elektronik perlu ditingkatkan. Dalam
kaitan ini, kesadaran dan tanggung jawab para wartawan terhadap BI dan
berbahasa Indonesia harus ditingkatkan. Seperti diketahui, hasil karya seorang
wartawan menjadi anutan pemakai bahasa sehingga dengan demikian, dakwaan
Rosihan Anwar (1991:9) yang mengatakan, "sebenarnya wartawan tampil
sebagai perusak bahasa" dapat dihindari.
b.
Pengajaran Kebangsaan Dipertimbangkan
Diberikan.
Di
depan telah dikatakan bahwa salah satu pokok yang dihadapi dunia pendidikan
kita adalah masalah identitas bangsa. Identitas bangsa berakar pada anggota
warga Indonesia sebagai pribadi. Memperhatikan kejadian akhir-akhir ini, yakni
timbulnya premanisme, kenakalan remaja, dan penyalahgunaan rekayasa tumbuhan
tertentu memperlihatkan adanya "krisis jati diri" yang tidak
menemukan jawaban atas pertanyaan, siapakah aku ini? Hal itu tidak terlepas
dari pandangan manusia sebagai substansi dan manusia sebagai makhluk yang
mempunyai identitas (Verhaar, 1980: 11).
c.
GBPP Bahasa Indonesia
Seperti
diketahui, sekolah-sekolah melaksanakan GBPP Bahasa Indonesia berdasarkan
Kurikulum 2002. Jika kita melihat rumusan-rumusan operasionalisasi pembelajaran
BI yang terdapat di dalam GBPP, guru mengalami kesulitan untuk melaksanakannya.
Hal yang ingin dikatakan di sini, yakni penggantian GBPP sebaiknya jangan
selalu dilakukan.
d.
Mutu Guru Bahasa Indonesia
Berdasarkan
kegiatan kebahasaan yang penulis lakukan melalui MLI Komisariat Daerah
Gorontalo bekerja sama dengan Depdikbud/Dinas PDK Kotamadya dan Kabupaten
Gorontalo, dapat diambil simpulan bahwa guru lebih banyak mengajarkan teori
daripada praktik berbahasa. Hal yang ingin disarankan di sini, yakni mutu guru
BI sebaiknya ditingkatkan. Selain itu, guru SD yang setiap hari bertindak
sebagai guru kelas, sebaiknya ditinjau kembali.
e.
Penyuluhan Bahasa Indonesia
Penyuluhan
bahasa sebagai upaya pembinaan BI harus dugalakkan terus. Penyuluhan bahasa itu
tidak hanya berlaku di tingkat nasional, tetapi juga di daerah tingkat I dan
II. Dalam hubungan ini, peranan gubernur dan walikota serta bupati sebagai
petinggi di daerah sangat menentukan.Menurut Moeliono (1001: 5) penyuluhan
bahasa di satu pihak dapat dianggap usaha pelengkap penyebaran hasil kodifikasi
lewat bentuk lisan dan tulisan, di lain pihak penyuluhan bahasa juga berwujud
lewat penerangan tentang soal yang belum atau tidak akan dimuat dalam
kodifikasi. Dalam hubungan ini kita harus waspada terhadap tingkat
keberterimaan khalayak, dan jangan segera berputus asa terhadap suara sumbang
tentang kemampuan BI.
f.
Pelibatan Organisasi Kepemudaan
Dikatakan
di atas bahwa dalam banyak hal kita harus bekerja secara terpadu. Kadang-kadang
kita melupakan potensi daya serap dan kritikan kaula muda kita. Pada hal,
generasi muda yang paling berkepentingan dengan berbagai kegiatan pembangunan.
Itu sebabnya sangat kuat alasannya untuk melibatkan organisasi kepemudaan dalam
upaya pembinaan dan pengembangan BI.
g.
Kepedulian Para Petinggi
Kadang-kadang
bahasa yang disuluhkan oleh pembicara dari Pusat Bahasa tidak dipedulikan oleh
para petinggi di negara kita. Selain itu, penggunaan kata-kata, daripada, yang
mana, di mana, saudara-saudara sekalian, dianggap bukan sesuatu yang salah oleh
para oknum petinggi di negara kita ini. Dengan kata lain, terdapat kontroversi
antara norma bahasa yang dikumandangkan oleh Pusat Bahasa dan kenyataan di
lapangan. Kiranya sifat eksklusivisme dalam penggunaan BI sebaiknya
dipertimbangkan kembali.Kepedulian petinggi ini, bukan saja kemudahan
mendapatkan dan fasilitas, melainkan juga kepedulian dalam penggunaan BI yang
benar, dan koordinasi terhadap oknum pejabat lain, juga untuk menggunakan BI
yang benar. Gerakan untuk menggati kata-kata asing menjadi kata-kata Indonesia,
misalnya, dalam penamaan kompleks perumahan, tidak hanya diupayakan oleh
Pemerintah DKI Jakarta, tetapi juga oleh pemerintah daerah di seluruh
Indonesia. Hal yang sama akan berlaku pula untuk Gerakan Bulan Bahasa yang
secara rutin dilaksanakan pada bulan Oktober. Jika kepedulian oknum petinggi,
baik di pusat maupun di daerah, dapat ditingkatkan, pembinaan dan pelestarian
BI dapat kita saksikan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam era globalisasi seharusnya
bangsa indonesia harus bisa mempertahankan identitas nasional negaranya sendiri
agar tidak terjadi perubahan yang signifikan kearah yang negatif. Agar
dapat bertahan dari derasnya arus perubahan di era globalisasi ini, Indonesia
perlu segera melakukan revitalisasi terhadap identitas bangsanya. Ada dua
faktor yang diperlukan dalam proses revitalisasi identitas bangsa, yaitu
partisipasi publik dan kepemimpinan. Keduanya harus berjalan seimbang agar
bangsa indonesia dapat
B.
Saran
Dengan membaca makalah ini, pembaca
disarankan agar bisa mengambil manfaat tentang pentingnya identitas nasional
bagi bangsa dan negara Indonesia dan diharapkan dapat diterapkan dalam
kehidupan bermasyarakat sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara dapat
berjalan dengan baik.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Christin,
Donna. 1988, "Language planning the view from linguistics" dalam
Newmeyer, F. J. Ed. Linguistics the
Cambridge Survey. Cambridge University Press (193-109).
Depdikbud,
1987. Language Planning: An Introduction. San Fransisco: Chandler and Sharp.
Salim,
Emil, 1990. "Pembekalan Kemampuan Intelektual untuk Menjinakkan Gelombang
Globalisasi" dalam Mimbar Pendidikan, Th. IX/4. Bandung: University Press
IKIP Bandung (8-15)
Fasold,
Ralp. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell. 1990
The Sociolinguistic of Language. Cambridge: Basil Blackwell.
Fishman,
Joshua, A. 1975. Sociolinguistics. Rowbury House Publ.
Gumperz,
John dan Gumperz Jennie Cook. 1985. Language and Social Identity. Cambridge:
Cambridge University Press.
Makagiansar,
M. 1990. "Dimensi dan Tantangan Pendidikan dalam Era Globalisasi"
dalam Mimbar Pendidikan. Th. IX/4. Bandung: University Press IKIP Bandung.
Moeliono,
Anton. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam
Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan. 1991.
"Aspek Pembakuan dalam Perencanaan bahasa". Makalah Munas V dan
Semloknas I HPBI.Padang: Panitia Penyelenggara.
Newmeyer,
Frederick, J. 1988. Linguistics: The Cambridge Survey. Vol. IV Language: The
Sociocultural Context. Cambridge: Cambridge University Press.
Pateda,
Mansoer. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa. 1991. Pengaruh
Arus Globalisasi terhadap Pembinaan Bahasa di Indonesia". Makalah Munas V
dan Semloknas I HPBI: Padang: Panitia Penyelenggara.
Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1975. Seminar Politik Bahasa Nasional.
Jakarta: Pusat Bahasa
Rosihan,
Anwar. 1991. "Bahasa Indonesia dan Media Massa Elektronika". Makalah
Munas V dan Semloknas I HPBI. Padang: Panitia Penyelenggara
Verhaar,
J. W. M. 1989. Identitas Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
No comments:
Post a Comment