Tuesday, 19 October 2021

makalah BAHASA INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS NEGARA

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Identitas nasional secara terminologis adalah suatu cirri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa yang lain.Berdasarkan perngertian yang demikian ini maka setiap bangsa didunia ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan,sifat,cirri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut. Berdasarkan hakikat pengertian identitas nasional sebagai mana di jelaskan di atas maka identitas nasional suatu Bangsa tidak dapat di pisahkan dengan jati diri suatu bangsa atau lebih populer disebut dengan kepribadian suatu bangsa (Khalis purwanto, 2009).

Bangsa pada hakikatnya adalah sekelompok besar manusia yang mempunyai persamaan nasib dalam proses sejarahnya,sehingga mempunyai persamaan watak atau karakter yang kuat untuk bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu wilayah tertentu sebagai suatu kesatuan nasional (Khalis purwanto, 2009).

Dalam penyusunan makalah ini digunakan untuk mengangkat tema dengan tujuan dapat membantu mengatasi masalah tentang identitas nasional dan dapat di terapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara(Khalis purwanto, 2009).


 

BAB II
PEMBAHASAN

 

2.1    Pengertian Identitas Nasional 

Identitas nasional pada hakikatnya merupakan manifestasi nilai-nilai.Budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. Dengan ciri-ciri khas tersebut, suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hidup dan kehidupannya.

Diletakkan dalam konteks Indonesia, maka Identitas Nasional itu merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang sudah tumbuh dan berkembang sebelum masuknya agama-agama besar di bumi nusantara ini dalam berbagai aspek kehidupan bdari ratusan suku yang kemudian dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan Nasional dengan acuan Pancasila dan roh Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Unsur – Unsur Pembentuk Identitas Nasional

Pada hakikatnya, Identitas Nasional memiliki empat unsur.

1.         Suku Bangsa: golongan social yang khusus yang bersifat askriftif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa, kuran lebih 360 suku.

2.         Agama: bangsa indonessia dikenal sebagai bangsa yang agamis. Agama – agama yang berkembang di Indonesia antara lain agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada masa Orde Baru tidak diakui sebagai agama resmi Negara Indonesia namun sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi telah dihapuskan.

3.         Kebudayaan: merupakan pengetahuan manusia sebagai makhlu sosial yang berisikan perangkat – perangkat atau model – model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung – pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai pedoman untuk bertindak dalam bentuk kelakuan dan benda – benda kebudayaan.

4.         Bahasa: merupakan usur komunikasi yang dibentuk atas unsur – unsur bunyi ucapan manusia dan digunakan sebagai sarana berinteraksi antar manusia.

Menurut Syarbani dan Wahid dalam bukunya yang berjudul Membangun Karakter dan Kepribadian melalui Pendidikan Kewarganegaraan, keempat unsur Identitas Nasional tersebut diatas dapat dirumuskan kembali menjadi 3 bagian:

a.       Identitas Fundamental: berupa Pancasila yang menrupakan Falsafah Bangsa,         Dasar Negara, dan Ideologi Negara.

b.      Indetitas Instrumental: berupa UUD 1945 dan Tata Perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara, dan Lagu Kebangsaan.

c.       Indetitas Alamiah: meliputi Kepulauan (archipelago) dan Pluralisme dalam suku, bahasa, budaya dan kepercaraan (agama).

 

Penyimpangan Identitas Nasional

a.    Kurangnya kekuatan maritime yang memadai

b.    Pertahanan laut dan udara masih belum di kembangkan dengan optimal.

c.    Kebanyakan daerah perbatasan mengalami kelambanan dalam pembangunan infrakstruktural transportasi dan komunikasi sehingga mereka kurang berinteraksi dengan wilayah lin di tanah air,bahkan mereka lebih dekat dengan negara tetangga.

d.   Kondisi geografis yang senjang juga terlihat mencolok antara wilayah pedesaan dengan wilayah perkotaan.

 

Demografis :

a.    Terjadinya kesenjangan antara generasi tua dengan generasi muda dalam memandang persoalan bangsa dan menghadapi tantangan hidup.

b.    Perasaan senasib-sepenanggungan semakin mencair

c.    Kristalisasi nilai kebangsaan mengalami keretakan di sana-sini

d.   Banyaknya pejabat yang menuntut hak-hak istimewa bagi kepentingan pribadinya, meskipun hak-hak dasar rakyat pada umumnya belum terpenuhi.

e.    Lemahnya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman

f.     Gejala tersebut dapat di lihat dari menguatnya orientasi dalam kelompok, etnik, dan agama yang berpotensi menimbulkan konflik social dan bahkan disintegrasi bangsa. Masalah ini juga semakin serius akibat dari makin terbatasnya ruang public yang dapat diakses dan dikelola bersama masyarakat yang multikultur untuk penyaluran aspirasi. Dewasa ini muncul kecenderungan pengalihan ruang publik ke ruang privat karena desakan ekonomi.

g.    Kurangnya kemampuan bangsa dalam mengelola kekayaan budaya yang kasat mata (tangible) dan yang yang tidak kasat mata (intangible). Pengelolaan kekayaan budaya ini juga masih belum sepenuhnya menerapkan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Sementara itu, apresiasi dan kecintaan masyarakat terhadap budaya dan produk dalam negeri masih rendah, antara lain karena keterbatasan informasi.

h.    Terjadinya krisis jati diri (identitas) nasional.. Identitas nasional meluntur oleh cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, serta tidak mampunya bangsa indonesia mengadopsi budaya global yang lebih relevan bagi upaya pembangunan bangsa dan karakter bangsa (nation and character building).

 

2.2    Faktor dalam Revitalisasi Identitas Nasional Bangsa Indonesia

Semakin maraknya semangat globalisasi membuat berbagai negara semakin gencar terlibat dalam interaksi global. Baik itu dalam skala bilateral, regional, ataupun multilateral. Semua orang juga sekarang semakin bergerak menyatu menjadi sebuah masyarakat dunia, terutama dengan adanya internet. Namun semakin dunia bersatu, keberadaan identitas sebuah bangsa menjadi semakin penting, terutama karena identitas bangsa yang akan menjadi landasan kita dalam mengembangkan potensi yang dimiliki negara ini. Agar dapat bertahan dari derasnya arus perubahan di era globalisasi ini, Indonesia perlu segera melakukan revitalisasi terhadap identitas bangsanya.

Ada dua faktor yang diperlukan dalam proses revitalisasi identitas bangsa, yaitu partisipasi publik dan kepemimpinan.

a.       Faktor partisipasi public

Faktor ini  menjadi penting karena agar sebuah identitas bangsa dapat menjadi faktor pemersatu maka publik atau masyarakat harus mendukungnya. Belajar dari pengalaman masa Orde Baru, sebuah pemahaman yang dipaksakan kepada masyarakat tidak dapat bertahan lama. Oleh karena itu, agar mendapatkan penerimaan dan dukungan dari masyarakat, mereka harus dilibatkan seluas-luasnya dalam proses revitalisasi identitas bangsa.

Walau terlihat ideal, konsep partisipasi publik dikritik sebagai sebuah konsep yang akan menghabiskan banyak waktu dan sumber daya negara. Terutama karena dianggap tidak mungkin atau sulit untuk menemukan konsensus yang dapat diterima oleh semua masyarakat. Ini berkaitan dengan kelemahan sistem demokrasi yaitu dihargainya keberadaan perbedaan pendapat, sehingga ketika makin banyak pendapat maka makin sulit untuk mencapai sebuah titik temu.

 

b.      Faktor Kepemimpinan

Faktor ini sangat penting dan diperlukan. Keberadaan seorang atau beberapa orang pemimpin bangsa berfungsi untuk tiga hal. Pertama, memulai inisiatif untuk melakukan revitalisasi identitas bangsa. Kedua, memantau dan memastikan berjalannya partisipasi publik dalam revitalisasi identitas bangsa. Ketiga, menyimpulkan hasil diskusi masyarakat tentang identitas bangsa Indonesia yang baru. Semakin para pemimpin bangsa itu dipercaya oleh masyarakat banyak maka hasil kesimpulan yang mereka sampaikan akan lebih mudah diterima masyarakat. Ini akan mempercepat dan memudahkan proses revitalisasi identitas bangsa.

Harus diperhitungkan juga para pemimpin masyarakat yang tidak menjabat di pemerintahan tapi memang sudah dipandang sebagai pemimpin bangsa. Mereka inilah yang seharusnya berperan sebagai penggerak dan pemandu masyarakat dalam proses revitalisasi identitas bangsa. Tanpa peran aktif dari para pemimpin bangsa Indonesia maka revitalisasi identitas bangsa kita mungkin tidak akan pernah selesai atau prosesnya menjadi tidak terarah

Selain peran para pemimpin, agar proses revitalisasi identitas bangsa dapat menjadi semakin terarah, perlu dipahami juga akar atau sumber identitas bangsa yang perlu dibahas oleh masyarakat. Menurut Huntington (2004), identitas memiliki enam sumber utama, yaitu demografis, budaya, wilayah, politik, ekonomi, dan kehidupan sosial. Keenam sumber identitas ini yang kemudian menjadi dasar bersatunya sekelompok orang. Untuk keperluan melakukan revitalisasi identitas bangsa Indonesia, keenam sumber tersebut dapat disederhakan menjadi dua aspek, yaitu nilai dan cita-cita bangsa.

Perihal aspek cita-cita bangsa, di luar cita-cita normatif seperti bangsa yang berdaulat dan sejahtera, masyarakat perlu memikirkan bangsa Indonesia ingin dikenal sebagai apa di mata dunia, atau Indonesia ingin mengambil posisi apa di papan catur dunia. Tentunya ini tetap harus dikaitkan dengan nilai bangsa serta potensi yang dimiliki oleh Indonesia agar tidak menjadi cita-cita yang semu. Sebenarnya ada dua posisi di dunia yang Indonesia bisa tempati dengan potensi yang kita miliki. Pertama, karena Indonesia negara penghasil emiten karbon ketiga terbesar di dunia, Indonesia dapat menjadi negara yang memimpin gerakan menghambat pemanasan global. Kedua, karena Indonesia adalah negara yang telah berhasil menyatukan beragam suku, budaya & bahasa daerah, serta agama melalui demokrasi, Indonesia dapat menjadi tolok ukur bagi negara lain dalam pengelolaan konflik horizontal. Apapun posisi yang akan diambil Indonesia nantinya di kancah internasional, semua akan bergantung pada hasil revitalisasi identitas bangsa Indonesia.

Bila Indonesia tidak ingin terlambat memetik hasil dari globalisasi maka revitalisasi identitas bangsa perlu segera dilakukan. Peran aktif masyarakat dan para pemimpin bangsa Indonesia dalam membahas nilai dan cita-cita bangsa dapat memaksimalkan proses serta hasil revitalisasi identitas bangsa Indonesia. Namun di era globalisasi ini perlu dipertimbangkan pula posisi atau peran strategis yang Indonesia ingin jalankan di dunia, agar potensi yang dimiliki Indonesia dapat dikembangkan pula di kancah internasional.

 

2.3    Fungsi Bahasa Indonesia

Seminar Politik Bahasa Nasional, 25-28 Februari 1975 di Jakarta, antara lain merumuskan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI) berfungsi sebagai

1)      lambang kebanggaan nasional,

2)      lambang identitas nasional,

3)      pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial budaya bahasa, dan

4)      alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1975:5). Dalam pergaulan internasional, BI mewujudkan identitas bangsa sebagai identitas fonik, di samping identitas fisik, yakni bendera merah putih dan garuda Pancasila.Beriringan dengan pesatnya perkembangan BI sebagai lambang identitas nasional, teraktualisasikan pula perkembangan bahasa daerah (selanjutnya disingkat BD) sebagai lambang identitas daerah yang keberadaannya diakui di dalam UUD 1945 yang secara bersamaan dengan BI menghadapi arus globalisasi. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak ada persaingan antara BI dan BD. Oleh karena itu, pemerintah tidak ragu-ragu mengonsepkan kurikulum muatan lokal yang memberikan peluang bagi sekolah-sekolah untuk mengajarkan BD di daerah masing-masing.

 

2.4    Identitas Bangsa

Sosok yang menunjukkan bahwa dia adalah Indonesia, baik sebagai negara maupun sebagai bangsa, berwujud dalam dua kenyataan, yakni BI yang menampakkan diri sebagai identitas fonik dan merah putih serta Garuda Pancasila sebagai wujud fisik. Jika kita berada di luar negeri, lalu ada bunyi yang kita dengar, misalnya "oh kakiku", serta merta kita mengatakan, ia adalah orang Indonesia tidak peduli, apakah ia orang Batak, Dayak, atau orang Saparua. Demikian pula, kalau kita melihat sebuah gedung, lalu di situ berkibar bendera merah putih, dan di depan pintunya ada gambar garuda, kita dapat memastikan bahwa gedung tersebut adalah gedung perwakilan RI.

Hal yang sama, jika kita menyaksikan pasukan multibangsa, lalu ada pasukan yang baretnya ada pita kain merah putih, dan di dada atau di lengan anggota pasukan tersebut ada lambang garuda, kita dapat memastikan bahwa pasukan tersebut adalah pasukan RI.Dalam kaitan ini kita patut berbangga kepada Presiden kita karena hampir dalam setiap kesempatan selalu menggunakan BI yang ternyata lebih memantapkan identirtas bangsa adalah pergaulan internasional.

 

2.5  Arus Globalisasi

Arus globalisasi menimbulkan pengubah sosial yang menurut Emil Salim (1990) menimpa empat bidang kekuatan yang menonjol daya dobraknya. Keempat bidang kekuatan itu, yakni pertama gelombang perkembangan yang amat tinggi dalam bidang IPTEK. Gelombang kedua, yakni bidang ekonomi, misalnya yang dapat kita amati penyatuan pasar Eropa Barat, AS, dan Kanada. Kecenderungan ini merupakan perilaku ekonomi global yang praktis telah mencakup sebagian wilayah di dunia ini tanpa mengenal batas.

Gelombang ketiga, yakni masalah lingkungan hidup, misalnya  kalau terjadi pencemaran laut di Selat Malaka, dampaknya tidak hanya dirasakan Malaysia, Singapura, dan Indonesia, tetapi juga di negara tetangga lainnya. Gelombang keempat, yakni bidang politik sehingga dewasa ini tak ada lagi suatu negara yang hanya memeprtaruhkan potensi yang terdapat di dalam negaranya.

Arus globalisasi itu telah menimbulkan pengubah sosial yang dalam waktu-waktu yang akan datang akan terjelma dalam perilaku sosial, baik perilaku sosial bermasalah maupun perilaku sosial yang positif . Kenyataan menunjukkan di mana-mana selalu digebyarkan kata atau urutan kata persaingan, harga bersaing, persaingan global, kalah bersaing, dan memasuki persaingan global.

 

2.6  Pengaruh Arus Globalisasi

Arus globalisasi tentu saja akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan dan penghidupan manusia sejagat. Pengaruh itu, anara lain akan terlihat dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Salah satu pokok yang dihadapi dunia pendidikan adalah masalah identitas bangsa.

Kalau kita berbicara identitas bangsa, mau tidak mau kita akan berbicara tentang kebudayaan, dan kalau kita berbicara tentang kebudayaan, mau tidak mau kita akan mempersoalkan bahasa. Itu sebabnya Makagiansar (1990) menekankan perlunya kesadaran tentang identitas budaya, bahkan Emil Salim (1990) menyatakan upaya mempertahankan identias merupakan prioritas yang harus diperjuagkan mati-matian dengan cirri utama keseimbangan antara aspek material dan spiritual.

Pengaruh arus globalisasi dalam identitas bangsa itu tecermin, antara lain, dari sikap lebih mengutamakan penggunaan bahasa asing (disingkat BA) daripada penggunaan BI, misalnya dalam penamaan kompleks perumahan, dan sikap mementingkan kegiatan tertentu, misalnya demi kegiatan pengembangan pariwisata dan bisnis. Syukurlah sikap seperti itu mulai disadari, dan diambil langkah-langkah nyata mengganti kata-kata asing dengan kata-kata Indonesia.

 

2.7    Pengaruh Muatan Lokal sebagai Upaya Penangkal Arus Globalisasi

Berdasarkan Petunjuk Penerangan Muatan Lokal (Depdikbud, 1987), yang dimaksud muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan kebutuhan daerah yang perlu dipelajari oleh murid. Dalam pelaksanaannya pengajaran muatan lokal itu menyangkut banyak aspek, misalnya kebudayaan daerah, pariwisata, industri rumah tangga, kerajinan rakyat, dan agrobisnis. Di daerah tertentu, tekanan pengajaran muatan lokal diarahkan pada pengajaran BD. Salah satu tujuan yang tersirat dari upaya ini adalah kiat menangkal arus globalisasi.

Jika kita melekatkan bahasa pada kelompok etnik, penulis mengingatkan pernyataan Gumperz dan Gumpersz (1985: 2) yang menyatakan bahwa konflik sosial yang terjadi pada dekade terakhir ini disebabkan oleh konflik etnik, kelas, atau agama. Namun, ahli bahasa , misalnya Stewart (lihat Moeliono, 1985: 45) berpendapat keanekabahasaan cenderung ke arah kestabilan sehingga bahasa yang dipakai secara berdampingan akan isi-mengisi dalam perubahan bermacam-macam fungsi tanpa persaingan. Pendapat Stewart ini diwujudkan oleh adanya ideologi penyatu bangsa, yakni Pancasila sehingga perbedaan antara bahasa-bahasa di Indonesia akan dikecil-kecilkan, bahkan dianggap seakan-akan tidak ada.

Kita bersyukur kepada Allah SWT atas fenomena ini karena antara BI dan BD tidak terjadi persaingan, bahkan saling menopang . Itu sebabnya upaya penelitian dan pengembangan BD, bahkan pengajarannya harus diusahakan untuk menopang pembinaan dan pengembangan BI. Kita juga bersyukur karena persoalan bahasa nasional telah kita selesaikan melalui ikrar besar Sumpah Pemuda 1928.

 

2.8    Tantangan terhadap Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia sebagai lambang dan identitas nasioanl tidak luput dari tantangan. Meskipun BI telah menjelma menjadi potensi budaya bangsa Indonesia, tantangan yang telah nyata sekarang, dan tantangan yang perlu diantisipasi harus dihadapai dengan perencanaan, pemikiran konseptual, intelektual dan penuh kearifan. Tantangan itu ada yang bersifat internal dan ada yang bersifat eksternal. Tantangan yang bersifat eksternal itu, antara lain arus globalisasi.

Menurut pendapat Amran Halim (lihat Kompas, 8 Maret 1995, halaman 16) setelah 67 tahun BI dikukuhkan sebagai bahasa persatuan, situasi kebahasaan ditandai oleh dua tantangan.Tantangan pertama, yakni perkembangan BI yang dinamis, tetapi tidak menimbulkan pertentangan di antara masyarakat. Pada saat bersamaan bangsa Indonesia sudah mencapai kedewasaan berbahasa. Sekarang tumbuh kesadaraan secara emosional bahwa perilaku berbahasa tidak terkait dengan masalah nasionalisme. Buktinya, banyak orang yang lebih suka memakai BA, demikian Amran Halim.

Tantangan kedua, yakni persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah. Tantangan kedua ini yang menimbulkan prasangka yang tetap diidap ilmuwan kita yang mengatakan bahwa BI miskin, bahkan kita dituduh belum mampu menyediakan sepenuhnya padanan istilah yang terdapat dalam banyak disiplin ilmu, teknologi, dan seni. Menurut Moeliono (1991: 15) prasangka itu bertumpu pada pendirian apa yang tidak dikenal atau diketahui, tidak ada dalam BI.

Kedua tantangan menurut Amran Halim dapat dikategorikan sebagai tantangan yang bersifat internal. Tantangan itu dapat dilihat dari kenyataan BI itu sendiri, dan yang satu dari pemilik dan penutur BI sendiri. Tantangan yang datang dari pemilik dan penutur Bi sebenarnya bersumber dari sikap, kesadaran berbahasa yang kemudian tecermin dalam perilaku berbahasa (lihat Fishman, 1975:24-28, Pateda, 1990: 25-32). Terhadap ujaran sulitnya mendapatkan padanan istilah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni sebenarnya Pusat Bahasa bekerja sama dengan para pakar dalam disiplin ilmu tertentu telah mengupayakan menerbitkan kamus, antara lain Kamus Istilah Teknik Perkapalan (Soegiono dkk, 1985), Kamus Istilah Politik (Muhaimin dkk, 1985), Kamus Istilah Teknologi Mineral (Soetjipto dkk, 1985), tetapi barangkali tidak luas, maka tuduhan di atas muncul.

 

2.9    Perencanaan Bahasa sebagai Upaya Penanggulangan Tantangan

Seperti telah dikemukakan di atas, banyak tantangan yang menghadang BI sebagai lambang kebanggaan dan identitas nasional. Untuk itu, perlu dilakukan kiat-kiat strategis dan taktis untuk menanggulanginya. Kerja awal yang layak dipertimbangkan, yakni melaksanakan perencanaan dan pengembangan BI secara sistematis.

Berbicara mengenai perencanaan bahasa, Moeliono (1985: 5--11) melihat pembahasannya dari tiga hal, yakni :

1)      perencanaan fungsional,

2)      perencanaan sebagai proses, dan

3)      penamaan yang bervariasi. Perencanaan dilihat dari segi proses meliputi tiga kegiatan, yakni (10 perencanaan , (2) pelaksanaan, dan (3) penilaian (cf. Robin dalam Fasold, 1984: 254). Sementara itu, Klose (lihat Fishman, 1974, 112) mengidentifikasi dimensi perencanaan bahasa yamg meliputi (10 korpus bahasa, (20 status bahasa, dan (3) aspek yang mempengaruhi perkembangan bahasa, misalnya ekonomi. Dalam kaitan dengan dimensi-dimensi ini, Jernudd (lihat Eastman, 1983:146-147) menyebutkan kegiatan perencanaan bahasa yang meliputi (1) kodifikasi , (2) regularisasi, (3) simplikasi, (4) purifikasi, (5) elaborasi, (6) impelementasi, dan (7) evaluasi. Sementara itu, Christian (lihat Newmeyer, 1988: 197) menyatakan bahwa komponen kunci dalam perencanaan bahasa meliputi (1) intervensi, (2) eksplisit, (3) beroreantasi pada tujuan, (4) sistematis, (5) memilih dari berbagai alternatif, dan (6) bersifat institusional

 

Berdasarkan uraian di atas, untuk melaksanakan kegiatan perencanaan bahasa di Indonesia, kita harus melaksanakan kegiatan terpadu yang melibatkan selain unsur pemerintah, juga (10 ABRI, (2) badan peradilan, (3) organisasi keagamaan, (4) penerbit, (5) organisasi profesi kebahasaan, (6) linguis, (7) pakar bidang linguistik, (8) guru bahasa, (9) tokoh masyarakat (cf. Moeliono, 1985: 19). Konsekuensi logis selanjutnya, yakni mengharapkan agar Putusan Kongres Bahasa (1993) yang berisi, antara lain agar status Pusat Bahasa ditingkatkan, supaya diwujudkan oleh pemerintah.

a.       Peranan Media Massa Ditingkatkan

Peranan media massa, baik media tulis maupun elektronik perlu ditingkatkan. Dalam kaitan ini, kesadaran dan tanggung jawab para wartawan terhadap BI dan berbahasa Indonesia harus ditingkatkan. Seperti diketahui, hasil karya seorang wartawan menjadi anutan pemakai bahasa sehingga dengan demikian, dakwaan Rosihan Anwar (1991:9) yang mengatakan, "sebenarnya wartawan tampil sebagai perusak bahasa" dapat dihindari.

b.      Pengajaran Kebangsaan Dipertimbangkan Diberikan.

Di depan telah dikatakan bahwa salah satu pokok yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah identitas bangsa. Identitas bangsa berakar pada anggota warga Indonesia sebagai pribadi. Memperhatikan kejadian akhir-akhir ini, yakni timbulnya premanisme, kenakalan remaja, dan penyalahgunaan rekayasa tumbuhan tertentu memperlihatkan adanya "krisis jati diri" yang tidak menemukan jawaban atas pertanyaan, siapakah aku ini? Hal itu tidak terlepas dari pandangan manusia sebagai substansi dan manusia sebagai makhluk yang mempunyai identitas (Verhaar, 1980: 11).

c.       GBPP Bahasa Indonesia

Seperti diketahui, sekolah-sekolah melaksanakan GBPP Bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum 2002. Jika kita melihat rumusan-rumusan operasionalisasi pembelajaran BI yang terdapat di dalam GBPP, guru mengalami kesulitan untuk melaksanakannya. Hal yang ingin dikatakan di sini, yakni penggantian GBPP sebaiknya jangan selalu dilakukan.

d.      Mutu Guru Bahasa Indonesia

Berdasarkan kegiatan kebahasaan yang penulis lakukan melalui MLI Komisariat Daerah Gorontalo bekerja sama dengan Depdikbud/Dinas PDK Kotamadya dan Kabupaten Gorontalo, dapat diambil simpulan bahwa guru lebih banyak mengajarkan teori daripada praktik berbahasa. Hal yang ingin disarankan di sini, yakni mutu guru BI sebaiknya ditingkatkan. Selain itu, guru SD yang setiap hari bertindak sebagai guru kelas, sebaiknya ditinjau kembali.

e.       Penyuluhan Bahasa Indonesia

Penyuluhan bahasa sebagai upaya pembinaan BI harus dugalakkan terus. Penyuluhan bahasa itu tidak hanya berlaku di tingkat nasional, tetapi juga di daerah tingkat I dan II. Dalam hubungan ini, peranan gubernur dan walikota serta bupati sebagai petinggi di daerah sangat menentukan.Menurut Moeliono (1001: 5) penyuluhan bahasa di satu pihak dapat dianggap usaha pelengkap penyebaran hasil kodifikasi lewat bentuk lisan dan tulisan, di lain pihak penyuluhan bahasa juga berwujud lewat penerangan tentang soal yang belum atau tidak akan dimuat dalam kodifikasi. Dalam hubungan ini kita harus waspada terhadap tingkat keberterimaan khalayak, dan jangan segera berputus asa terhadap suara sumbang tentang kemampuan BI.

f.       Pelibatan Organisasi Kepemudaan

Dikatakan di atas bahwa dalam banyak hal kita harus bekerja secara terpadu. Kadang-kadang kita melupakan potensi daya serap dan kritikan kaula muda kita. Pada hal, generasi muda yang paling berkepentingan dengan berbagai kegiatan pembangunan. Itu sebabnya sangat kuat alasannya untuk melibatkan organisasi kepemudaan dalam upaya pembinaan dan pengembangan BI.

 

g.      Kepedulian Para Petinggi

Kadang-kadang bahasa yang disuluhkan oleh pembicara dari Pusat Bahasa tidak dipedulikan oleh para petinggi di negara kita. Selain itu, penggunaan kata-kata, daripada, yang mana, di mana, saudara-saudara sekalian, dianggap bukan sesuatu yang salah oleh para oknum petinggi di negara kita ini. Dengan kata lain, terdapat kontroversi antara norma bahasa yang dikumandangkan oleh Pusat Bahasa dan kenyataan di lapangan. Kiranya sifat eksklusivisme dalam penggunaan BI sebaiknya dipertimbangkan kembali.Kepedulian petinggi ini, bukan saja kemudahan mendapatkan dan fasilitas, melainkan juga kepedulian dalam penggunaan BI yang benar, dan koordinasi terhadap oknum pejabat lain, juga untuk menggunakan BI yang benar. Gerakan untuk menggati kata-kata asing menjadi kata-kata Indonesia, misalnya, dalam penamaan kompleks perumahan, tidak hanya diupayakan oleh Pemerintah DKI Jakarta, tetapi juga oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Hal yang sama akan berlaku pula untuk Gerakan Bulan Bahasa yang secara rutin dilaksanakan pada bulan Oktober. Jika kepedulian oknum petinggi, baik di pusat maupun di daerah, dapat ditingkatkan, pembinaan dan pelestarian BI dapat kita saksikan.

 


 

BAB III
PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Dalam era globalisasi seharusnya bangsa indonesia harus bisa mempertahankan identitas nasional negaranya sendiri agar tidak terjadi perubahan yang signifikan kearah yang negatif. Agar dapat bertahan dari derasnya arus perubahan di era globalisasi ini, Indonesia perlu segera melakukan revitalisasi terhadap identitas bangsanya. Ada dua faktor yang diperlukan dalam proses revitalisasi identitas bangsa, yaitu partisipasi publik dan kepemimpinan. Keduanya harus berjalan seimbang agar bangsa indonesia dapat  

 

B.     Saran

Dengan membaca makalah ini, pembaca disarankan agar bisa mengambil manfaat tentang pentingnya identitas nasional bagi bangsa dan negara Indonesia dan diharapkan dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berjalan dengan baik.

 


 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

Christin, Donna. 1988, "Language planning the view from linguistics" dalam Newmeyer, F.  J. Ed. Linguistics the Cambridge Survey. Cambridge University Press (193-109).

 

Depdikbud, 1987. Language Planning: An Introduction. San Fransisco: Chandler and Sharp.

 

Salim, Emil, 1990. "Pembekalan Kemampuan Intelektual untuk Menjinakkan Gelombang Globalisasi" dalam Mimbar Pendidikan, Th. IX/4. Bandung: University Press IKIP Bandung (8-15)

 

Fasold, Ralp. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell. 1990 The Sociolinguistic of Language. Cambridge: Basil Blackwell.

 

Fishman, Joshua, A. 1975. Sociolinguistics. Rowbury House Publ.

 

Gumperz, John dan Gumperz Jennie Cook. 1985. Language and Social Identity. Cambridge: Cambridge University Press.

 

Makagiansar, M. 1990. "Dimensi dan Tantangan Pendidikan dalam Era Globalisasi" dalam Mimbar Pendidikan. Th. IX/4. Bandung: University Press IKIP Bandung.

 

Moeliono, Anton. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan. 1991. "Aspek Pembakuan dalam Perencanaan bahasa". Makalah Munas V dan Semloknas I HPBI.Padang: Panitia Penyelenggara.

 

Newmeyer, Frederick, J. 1988. Linguistics: The Cambridge Survey. Vol. IV Language: The Sociocultural Context. Cambridge: Cambridge University Press.

 

Pateda, Mansoer. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa. 1991. Pengaruh Arus Globalisasi terhadap Pembinaan Bahasa di Indonesia". Makalah Munas V dan Semloknas I HPBI: Padang: Panitia Penyelenggara.

 

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1975. Seminar Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Pusat Bahasa

 

Rosihan, Anwar. 1991. "Bahasa Indonesia dan Media Massa Elektronika". Makalah Munas V dan Semloknas I HPBI. Padang: Panitia Penyelenggara

 

Verhaar, J. W. M. 1989. Identitas Manusia. Yogyakarta: Kanisius.

 

No comments:

Post a Comment