FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BAHASA
Peranan bahasa
dalam manusia besar sekali. Hampir dalam semua kegiatan, manusia memerlukan
bantuan bahasa. Baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan khusus seperti
kesenian dan ilmu. Bahasa merupakan sarana yang tidak dapat ditinggalkan. Dalam
kehidupan sehari-hari seperti di rumah, di pasar dan tempat hiburan selalu
dpergunakan orang. Sukar kita bayangkan manusia hidup tanpa bahasa. Karena
bahasa demikian pentingnya dalam kehidupan manusia, tidaklah mengherankan
apabila banyak perhatian yang dicurahkan pada masalah yang berhubungan dengan
bahasa.
Salah satu
sistem isyarat yang paling penting bagi manusia adalah bahasa (Littlejohn,
1996). Dalam bahasa, isyarat terdiri dari pengelompokan sesuatu yang memiliki
makna. Suara-suara dikombinasikan ke dalam frasa-frasa, klausa-klausa dan
kalimat-kalimat, yang menunjukkan objek. Bahasa sebagai alat komunikasi, pada
hakekatnya bersifat netral (Heryanto, 1989), tetapi dapat digunakan sebagai
sesuatu yang bersifat baik atau tidak baik. Bahasa menjadi memberikan makna
yang salah jika pengertian yang kabur tidak bisa dibatasi penggunaannya,
terutama yang sering terjadi antara penguasa yang masyarakatnya. Melalui bahasa
juga terlihat keinginan dominasi Barat modern atas manyarakat non-Barat, pada
abad lalu, atau bahkan hingga saat ini yang terjadi dimanamana, tidak hanya
terjadi di kepulauan Nusantara (Heryanto, 1989), yang tidak lain adalah suatu
upaya mempertahankan kekuasaan Barat atas non-Barat. Hal ini terlihat secara
nyata pada berbagai kajian tentang kolonialisme, imperialisme, underdevelopment
dan dependensia yang banyak memberikan sumbangan pemikiran untuk memahami
proses dominasi Barat dan atau Utara di bagian besar dunia ini. Berbagai
pemikiran tersebut terlalu mendasarkan analisisnya pada bidang politik-ekonomi,
bukan bahasa. Bahkan, kajian-kajian tersebut biasanya membuat generalisasi yang
sangat luas, yang dapat merupakan pengaruh bahasa sebagai alat komunikasi politik
penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya di negara penerima program. Tulisan
ini bertujuan memberikan pemahaman dan mengemukakan bagaimana bahasa memiliki
berbagai fungsi dalam kaitannya dengan komunikasi, bahkan tidak jarang
digunakan sebagai alat komunikasi politik penguasa untuk mempertahankan
kekuasaannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
bahasa:
Ø Faktor Budaya
Para pakar komunikasi terutama dalam hal
komunikasi antar manusia selalu melihat budaya sebagai titik tolak bagi
orang-orang atau individu saat melakukan komunikasi sesama manusia yang
memiliki latarbelakang budaya yang berbeda. Penggunaan bahasa sebagai sarana
komunikasi juga kuat dipengaruhi oleh budaya masing-masing individu yang
terlibat baik sebagai komunikator maupun komunikan. Para ahli komunikasi dalam
hal penggunaan bahasa berkata bahwa 'bahasa bisa memenjarakan kita, namun
bahasa juga bisa membebaskan kita.' Bahasa merupakan atau dapat dianggap selaku
benar dalam kehidupan kita. Bahasa memberi kerangka yang akan memberikan harapan-harapan
kepada kita dan dengan demikian menimbulkan persepsi bagi para individu yang
terlibat dalam komunikasi
Sementara itu, bahasa dan komunikasi lisan bisa menciptakan kesalahpahaman atau
salah mengerti, salah tanggap, namun bahasa lisan ini pun ada baiknya pula,
yaitu dapat mengklarifikasi kesalahpahaman yang terjadi. Kita maklum bahwa
setiap bahasa bisa dikatakan sebagai merefleksikan sistem yang menurut kita
logis dan masuk akal. Bahasa sebagai suatu sistem simbol atau lambang bisa
berubah kalau berkaitan dengan ide, perasaan, pengalaman, peristiwa dan
fenomena lainnya dan dipengaruhi oleh aturan-aturan yang berlapis-lapis yang
dikembangkan oleh masyarakat tertentu. Sebagaimana dinyatakan oleh ahli bahasa,
bahwa bahasa manusia ini disusun atau ditata berdasarkan pada sekumpulan aturan
yang disepakati, seperti fonologi (berkaitan dengan bunyi), morfologi
(berkaitan dengan bentuk kata), sintaksis (berkaitan dengan penyusunan
kata-kata menjadi suatu kalimat), kemudian semantik (berkenaan dengan arti
kata), serta terakhir apa yang dinamakan pragmatis (memandang sesuatu menurut
kegunaannya).
`
Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal untuk komunikasi.
Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer (sewenang-wenang) yang
digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan
mengidentifikasi diri”. Chaer
mengemukakan definisi bahasa itu berdasarkan pandangan Barber (1964:21),
Wardhaugh (1997:3), Trager (1949:18), de Saussure (1996:16), dan Bolinger
(1975:15), yang kemudian, Badudu (1989:3) dan Keraf (1984:16) juga sepakat
bahwa bahasa adalah alat komunikasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
edisi III (2005:88) disebutkan bahwa:
bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang
arbitrer, yang digunakan oleh anggota satu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasi diri;
bahasa merupakan percapakan (perkataan)
yang baik.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan
Yule (1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih
dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam penggunaannya bahasa
(language in use) merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa
Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan
kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi.
Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di
dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI, 2005:169). Dengan demikian, budaya
dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran.
Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan
timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah
perwujudan kebudayaan.
Setelah para ahli sepakat menyatakan bahwa
bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat
tentunya ada yang menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan
(sebagai komunikasi). Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah
manusia (terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang
selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau
yang menjadi lawan pentur disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam interaksi antara penutur
dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku berdasarkan pemikiran
masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini
akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu
berada.
Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang
menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan bicara
tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini disebabkan
beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda pengetahuan, dan
lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan bahasa. Kata “Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda dalam
konteks budaya berbeda. Sebutan “Bapak” di negara
yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris tidak cenderung
digunakan. Masyarakat penutur bahasa Inggris akan langsung menggunakan sebutan
nama diri/nama orang kepada lawan bicara yang lebih tua sekalipun. Hal yang
wajar bagi masyarakat penutur bahasa Inggris ini tentu saja tabu jika dipakai
oleh penutur bahasa Melayu atau Indonesia. Bahkan, akan lebih tabu lagi jika
dipakai dalam masyarakat Aceh yang terkenal kental adat istiadatnya dalam
menghormati orang lebih tua. Contoh lainnya dalam bahasa Inggris adalah kata “mati”. Bahasa Indonesia memiliki beberapa kata yang memiliki makna yang
sama dengan maksud kata “mati” misal mampus, meninggal dunia,
punah, mangkat, wafat, tewas, lenyap, dsb., sedangkan dalam bahasa Inggris
hanya ada dua kata saja, yaitu die dan pass away.
Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk
kepentingan interaksi sosial sangat tergantuk pada budaya tempat bahasa itu
digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan & Partana
(2002: 20) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk
budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu.
Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi
sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk
teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap
sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi
apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah yang bersangkutan.
Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur
mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bali misalnya,
terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa ‘jangan menganggap diri ini mampu’ mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa mampu; yang
kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso biso, nanginging
ora biso rumongso ‘merasa mampu,
tetapi tidak mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada
ungkapan ubiet takalon geuhön tatijik ‘kecil kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan)
tersebut memiliki ciri khas budaya masing-masing penuturnya yang tak pula
terlepas dari konteks.
Penelitian Dede Oetomo pada tahun 1987
(Sumarsono dan Partana, 2002:336) menyebutkan bahwa bahasa juga dapat
mempengaruhi kelompok. Anggapan ini berdasarkan pengamatannya terhadap etnik
Cina di Pasuruan dengan melihat tutur masyarakat Cina di sana sehari-hari. Ia
berkesimpulan bahwa masyarakat Cina dapat dikelompokkan menjadi Cina Totok dan
Cina Pernakan. Ini menunjukkan bahwa bahasa itu dapat mencerminkan identitas
kelompok.
Bahasa yang tidak dapat terlepas dari
budaya juga dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338).
Berdasarkan penelitiannya pada tahun 1972 terhadap sebuah guyup di Norwegia
yang menggunakan dialek lokal dan ragam regional bokmal (satu dari dua ragam
baku bahasa Norwegia) terbukti bahwa masyarakat pengguna dialek masing-masing
itu mengalami perbedaan penyampaian bahasa sebagai media komunikasi, terutama
saat sampai pada di mana dan tujuan komunikatif apa mereka menggunakan bahasa
tersebut. Ada bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para penutur dari kedua
dialek berbeda itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap
komunikasinya, yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut.
Ø Sosial
Aturan-aturan dalam ranah sosiolinguistik
perlu menjadi pertimbangan dalampengajaran bahasa. Penggunaan bahasa dalam
suatu komunitas termasuk dalam lingkupsosial. Artinya pengaruh faktor-faktor
sosial berpengaruh pada perilaku tutur (speechbehavior) (Holmes, 2001: 366).
Aspek yang berbeda dan beragam khasanah pengetahuan diperoleh seorang individu
pada suatu kelompok masyarakat yang berbeda diperoleh saat mereka (individu)
tersebut belajar menggunakan bahasa (tuturan) yang sesuai dalam komunitasnya.
Pengetahuan dan kemampuan inilah yang disebut kompetensi sosiolinguistik. Dalam
masyarakat yang multilingual, pemilihan variety atau kode bahasa untuk
digunakan dalam berkomunikasi melibatkan pemilihan akan menggunakan bahasa yang
berbeda, seperti style (gaya bahasa). Misalnya pada anak-anak umumnya
pertama-tama akan mempelajari bahasa pertama mereka – bahasa ibu, lalu ditambahkan dengan bahasa lain karena satu dan
lain hal. Sebutlah pemerolehan itu karena pendidikan, dan untuk
dapatberkomunikasi dengan lingkup masyarakat yang lebih luas. Jadi, secara
bertahap anak-anakmengembangkan “linguistic repertoire” yang sesuai untuk lingkup (domain) yang berbedadalam komunitasnya.
Peralihan kode (bahasa) ini terlihat jelas dalam masyarakat multilingual,
karena inilah menjadi pembeda bahasa. “Linguistic repertoire” (Holmes, 2001) pada generasi yang berbeda mungkin berbedapula. Ini
terjadi pada masyarakat dimana language shift-nya sedang berkembang.
Misalnya,kompetensi linguistik seorang anak transmigran akan sangat berbeda
dari kakeknya. Sangat dimungkinkan dia akan mengalami kendala dengan bahasa
ibunya.
Mengembangkan “style” yang lebih luas dalam komunitas barunya. Contoh lainnya, anak-anak
orang Batak yang berada di Jakarta, sejauh pengamatan saya, banyak mengalami
kendala dalam berbahasa Batak artinya tidak sebatas pada pemahaman saja tetapi
selayaknyadapat pula bercakap-cakap. Bagaimana “language shift” ini berubah
secara cepat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor status sangat berperan.
Brown (2007: 215)menyebutnya dengan jarak sosial,merujuk kepada kedekatan
kognitif dan afektif dari dua budaya yang bertemu di dalam diriseseorang. Maka
ia harus memiliki standar berbahasa yang berlaku pada satu komunitas yang
dianggapnya lebih tinggi agar dia bisa masuk pada lingkup baru dimaksud. Bahasa
vernacular (daerah) memang tersirat pada umumnya, berbeda dengan bahasa yang
dianggapstandar yang tersurat. Karena status ini pun mengharuskan seseorang
untuk mau tidak maumemaksa kompetensi sosiolinguistiknya harus dikembangkan.
Kompetensi linguistik dalam masyarakat monolingual mengharuskan seseorang
untukmengunakan bahasa masyarakat itu dimana terdapat kelompok-kelompok sosial
yang beragam. Misalnya, kelompok yang dimasukinya dapat dikenal dari
pengucapan, tata bahasa,atau kosakata yang dipergunakan, atau bisa saja dari
ketiga hal ini. Kita belajar bagaimanabertutur sesuai dengan gender dan
kelompok usia, agar kita berterima dalam kelompokdimaksud. Juga etnis seseorang
bisa diketahui (ditebak) dari cara dia bertutur. Memang,sekarang ini umumnya
masyarakat multilingual, yang tentu lebih kompleks dari monolingual.Kita masuk
pada satu kelompok sosial, etnis, dan wilayah geografis, serta gender dan
usia.Sehingga dalam bertutur, kita harus mempertimbangkan hal-hal di atas
termasuk pulamengenal lebih awal dengan siapa kita bertutur. Siapa saja yang
sering berinteraksi dengankita, bahkan jaringan sosial berpotensi mempengaruhi
cara bertutur. Artinya, disadari atau tidak, telah terjadi perubahan bahasa.
Ini sebenarnya masih dalam ranah kompetensi sosiolinguistik. Sebagai individu
dalamkomunitas yang lebih besar, bahkan lintas gender, usia, wilayah dan
lain-lain; selain perlumenyadari dengan siapa kita bertutur, juga perlu tahu
apa fungsi bahasa yang kita kehendaki,dan dalam konteks apa. Misalnya, jika
seorang Batak bertemu dengan seorang Jawa (yangmasih kuat memegang sopan
santun), norma-sorma sosiolinguistiknya sangat mungkinberbenturan. Hasilnya,
malu dan salah pengertian. Bahasa akan membawa kita berada pada realitas
sosial. Maka dari itu, belajar bahasamembutuhkan suatu pandangan atas dunia
sekeliling kita sehingga perlu memiliki kompetensi komunikatif. Menurut para
ahli sosiolinguistik, bahasa menyangkut pilihan.
Misalnya pemerintah; juga dalam
bentuk silabus dan metode serta ancangan yang sesuaidengan kebutuhan dan
kekhasan suatu kelompok pemelajar. Perspektif psikologi pedagogikal yang
mumpuni perlu dimiliki oleh pengajar bahkanpara pengambil keputusan dalam
pengembangan dunia pendidikan umumnya dan pengajaranbahasa pada khususnya.
Terutama pengajar, dia harus berfungsi sebagai inisiator bagaimana menciptakan
suasana belajar yang baik, fasilitator pembelajaran, negosiator (Brown
2007:104). Apabila ini terpenuhi, besar kemungkinan akan proses pembelajaran
itu dapat dikatakan berhasil. Tentu keberhasilan pembelajaran itu ditentukan
oleh banyak komponen. Misalnya,pengajar, pemelajar, tujuan pembelajaran,
materi, metode dan teknik, evaluasi serta saranauntuk mendukung proses
pembelajaran. Psikologis pemelajar perlu mendapat perhatian. Inilah yang
menjadi ranah daripsikolinguistik khususnya dalam pengajaran bahasa. Karena
fokusnya adalah pemelajardengan semua perilaku berbahasanya, maka tepat kiranya
saya mengutip pendapat Field(2003: 2) bahwa psycholinguistics explores the
relationship between the human mind andlanguage. Artinya, ada hubungan antara bahasa
dan pikiran (lihat Aitchison, 2008:1; Yule,2006: 137). Pemelajar sebelum
menggunakan bahasa sebetulnya melakukan suatu proses memahami ujaran dulu “acoustic image”, dan dia harus memiliki
pengetahuan yang cukup tentang ujaran itu (old and given topic) sehingga akan
mudah dalam merespons (Stimulus –Response – Stimulus – Response, dan seterusnya). Artinya
terjadi proses mengubah pikiranmenjadi kode (S-R). Ini juga yang dinyatakan
Osgood dan Sebeok (dalam Pateda: 1990)“psycholinguistics deals directly with the processes of encoding and
decoding as they relatestates of communicators”. Berarti ada proses “encoding” (sintesa) dan
“decoding”(rekognisi). Apabila dikaitkan dengan keterampilan berbahasa yang
harus dikuasai oleh pemelajar,hal ini berkaitan dengan keterampilan berbahasa,
yaitu menyimak, berbicara, membaca, danmenulis. Semua keterampilan ini memiliki
titik akhir untuk berkomunikasi dengan manusialain. Semua bahasa yang diperoleh
pada hakikatnya dibutuhkan untuk berkomunikasi(Pateda, 1990: 13). Field (2003:
2) mengemukakan psikolinguistik mencakup languageprocessing, language storage
and access, comprehension theory, language and the brain,language in
exceptional circumstances, frst language acquisiton (pemrosesan
bahasa,penyimpanan dan akses bahasa, pemahaman, bahasa dan otak, bahasa lingkup
tertentu, danpemerolehan bahasa). Pemelajar adalah subjek pembelajaran. Maka
pemelajar merupakanorganisme yang beraktifitas untuk mencapai ranah-ranah
psikologi, baik kognitif, afektif maupun psikomotorik. Kemampuan menggunakan
bahasa baik secara reseptif (menyimak danmembaca) ataupun produktif (berbicara
dan menulis) melibatkan ketiga ranah tadi(Lisnawati, 2010). Dari paparan
perspektif sosiologi dan psikologi di atas, kehadiran materi ini
dalampembelajaran bahasa sangat penting. Kelompok pemelajar merupakan
representasi dirimereka, lingkungan dan sosio-kultural, sosio-ekonomi,
sosio-edukasi, dan faktor lain yangberperan dalam membentuk seseorang itu untuk
berperilaku termasuk perilaku tutur. Faktor-faktor yang sifatnya eksternal tadi
tidak dapat dipisahkan dari pembentukan psikologipemelajar. Untuk dapat
menggunakan bahasa secara lancar dan komunikastif pemelajar tidakhanya cukup
memahami kaidah bahasa, tetapi diperlukan kesiapan kognitif (penguasaankaidah
bahasa dan materi yang akan disampaikan), afektif (tenang, yakin, percaya
diri,mampu mengeliminasi rasa cemas, ragu-ragu, waswas, dan sebagainya), serta
psikomotor(lafal yang fasih, keterampilan memilih kata, frasa, klausa, dan
kalimat). Dengan demikian,jelaslah bahwa betapa penting peranan psikolinguistik
dalam pembelajaran bahasa. Bagi para pengemban pendidikan di Indonesia,
khususnya pengajaran bahasa,mungkin ini juga perlu dipertimbangkan. Pengajaran
bahasa yang product oriented danlearning centered, dan ancangan yang aplikatif
selaras dengan local exigencies perlu dihasilkan. Yang pasti, ketika dalam
pengajaran bahasa terdapat kendala yang sulitdipecahkan, mungkin perspektif
sosial dan psikologi dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah.
Ø agama
Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi
yang paling sering digunakan. Dengan bahasa kita dapat memahami sesuatu. Dengan
bahasa kita dapat memahami keinginan orang lain. Dengan bahasa kita bisa
mempelajari sesuatu. Demikian pula dalam mempelajari agama. Kita mengetahui apa
itu agama, seluk beluk agama, aturan aturan dalam agama dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan agama dapat kita pelajari dengan menggunakan bahasa.
Misalnya agama Islam, kita tidak bisa memahami apa yang diterangkan dalam
ajarannya apabila kita tidak mengerti bahasa. Agama Islam diturunkan di tanah
Arab dengan menggunakan bahasa Arab, Namun berkat jasa jasa orang yang mengerti
bahasa Arab sehingga kita yang hidup dizaman sekarang bisa memahami tentang apa
yang diajarkan dalam agama Islam itu. Jadi hubungan antara bahasa dan agama
adalah dengan bahasa kita dapat memahami agama, atau, agama tidak dapat
difahami tanpa adanya bahasa.
Ø Politik
Bahasa merupakan kekuasaan (language is
power) dan sangat berperan dalam mencapai tujuan nasional maupun internasional
suatu bangsa. Bahasa membentuk suatu ikatan sosial melalui interaksi dan proses
saling mempengaruhi penggunanya (Kurniawan, 2003). Disebutkan pula bahwa
penyebaran bahasa (di dunia) menunjukkan bahwa bangsa tersebut telah menguasai
(dunia). Terkait dengan bahasa Indonesia, pada jaman penjajahan Jepang,
pengerahan segala orang dan tenaga dari bangsa Indonesia dalam sebuah
peperangan, membuat bangsa Jepang menggunakan bahasa Indonesia untuk propaganda
guna mencapai tujuan dengan cepat. Saat itu, dengan menyisihkan bahasa daerah,
penggunaan bahasa Indonesia mencapai masyarakat sampai ke pelosok desa-desa di
pegunungan dan pulau-pulau terpencil (Kurniawan, 2003). Bahasa juga merupakan
sarana komunikasi budaya yang penting karena menggambarkan kebudayaan pemakai
bahasa tersebut dan membudayakannya melalui penggunaannya (Kurniawan, 2003).
Apapun tradisi, apapun kreasi, apapun hasil kebudayaan yang kita miliki, dapat
segera punah dan berganti, kecuali satu yaitu bahasa. Bahasa memiliki durasi
yang jauh lebih panjang bila dibandingkan dengan produk-produk peradaban
lainnya. Dengan bahasalah, suatu bangsa mengemukakan seluruh harapan,
obsesi/mimpi, kenyataan, ketakutan, maupun protes-protesnya dalam kehidupan,
sehingga bahasa menjadi vital dalam hidup kita. Bahkan kini menjadi senjata
karena kita dapat menentukan bahkan menguasai seseorang atau sebuah bangsa,
hanya dengan berkomunikasi melalui bahasa. Anderson (1996) juga mengemukakan
bahwa yang luar biasa, karakter bahasa politik Indonesia modern lahir dari
kenyataan tak terelakkan bahwa ia adalah ahli waris dari tiga bahasa yang
berbeda dan dua tradisi budaya-linguistik yang berbeda pula. Tiga bahasa
tersebut adalah Belanda, Jawa dan Melayu revolusioner, sedangkan tradisinya
dalah Belanda-Barat dan Jawa. Dalam perpolitikan, tokoh-tokoh politik
mempergunakan dan mendayagunakan bahasa bukan saja untuk menyatakan ide,
pendapat atau pikirannya, tetapi juga menyembunyikan pikirannya yang mengandung
kepentingan-kepentingan yang harus dipertahankan. Namun demikian dalam
pelaksanaannya dapat saja berbeda antar rezim pemerintahan atau antar tokoh
politik tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment