DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
1.1.Latar Belakang.........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................
2.1
Sejarah
Berdirinya Bank Grameen (banker to the poor)..................................
2.2
Prinsip Grameen Bank.............................................................................................
2.3
Dampak Positif Grameen Bank...............................................................................
BAB III PENUTUP.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebagaimana dimaklumi 97 % usaha kecil di Indonesia memiliki omset
dibawah Rp. 50 Juta/tahun, meskipun batas atas omset usaha kecil adalah sampai
Rp. 1 Miliar. Pada dasarnya jika Indonesia ingin menjangkau usaha kecil
terutama usaha kecil-kecil atau usaha mikro tersebut semestinya secara khusus
mengarahkan perhatiannya pada kelompok ini karena mereka mewakili lebih dari 33
Juta pelaku usaha. Sampai saat ini hampir belum terlihat adanya program khusus
pemberdayaan usaha mikro, padahal lapisan inilah penyedia lapangan kerja
terbesar di Indonesia. Dalam setiap usaha pemberdayaan usaha kecil setelah ada
tiga aspek penting yang perlu dikembangkan yaitu : Pertama, lingkungan kondusif
dan sistem administrasi pemerintahan yang mendukung; Kedua, dukungan non
finansial berupa jasa Perkreditan; Ketiga, dan dukungan finansial yang khusus
ditujukan bagi usaha kecil. Di
sub-sektor perdagangan umum misalnya, sekitar 80% usaha perdagangan eceran yang
tidak berbadan hukum yang diwakili oleh 5,2 juta unit usaha hanya memiliki
omset dibawah Rp. 5 juta/tahun, sehingga jumlah usaha ekonomi rakyat lapis
bawah ini benar-benar dengan skala gurem. Program yang secara bersinggungan
mencoba mengatasi masalah ini pada umumnya masih dikaitkan dengan program
penanggulangan kemiskinan. Untuk tidak mereka mencampuradukan permasalahan,
maka tawaran pendekatan yang dapat kita manfaatkan adalah dengan melihat sisi
kehidupan masyarakat ini dari dua sisi :
Pertama, sebagai penduduk aktif maka kegiatan ekonomi baik dalam bentuk
produksi barang maupun jasa harus kita perlakukan sebagai usaha mikro sehingga
tujuan utamanya adalah meningkatkan produktivitas dan kapasitas produktifnya;
Kedua, sebagai rumah tangga konsumen
setiap pendapatan/pengeluaran masyarakat yang masih belum melampaui batas garis
kemiskinan harus kita perlakukan sebagai penduduk miskin yang harus kita
tingkatkan kondisi kehidupannya hingga melewati batas tersebut.
Untuk mendorong usaha mikro ini memang disadari
bahwa modal bukan satu-satunya pemecahan, tetapi tetap saja bahwa ketersediaan
permodalan yang secara mudah dapat dijangkau mereka sangat vital, karena pada
dasarnya kelompok inilah yang selalu menjadi korban eksploitasi oleh pelepas
uang. Salah satu sebabnya adalah ketiadaan pasar keuangan yang sehat bagi
masyarakat lapisan bawah ini, sehingga setiap upaya untuk mendorong
produktivitas oleh kelompok ini, nilai tambahnya terbang dan dinikmati para
pelepas uang. Adanya pasar keuangan yang sehat tidak
terlepas dari keberadaan Lembaga Keuangan yang hadir ditengah masyarakat.
Lembaga Keuangan Mikro adalah upaya penyedia jasa
keuangan, terutama simpanan dan kredit, dan juga jasa keuangan lain yang
diperuntukan bagi keluarga miskin dan berpenghasilan rendah yang tidak memiliki
akses terhadap bank komersial.
Dalam Lincolin Arsyad, Lembaga Keuangan Mikro adalah lembaga yang
memberikan jasa keuangan bagi pengusaha mikro dan masyarakat berpenghasi lan
rendah, baik formal, semi formal, dan informal yang tidak terlayani oleh
lembaga keuangan formal dan telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis.
Lembaga Keuangan Mikro berfungsi sebagai lembaga
yang menyediakan berbagai jasa pinjaman, baik untuk kegiatan produktif yang
dilakukan usaha mikro, maupun untuk kegiatan konsumtif keluarga masyarakat
miskin. Sebagai lembaga simpanan, Lembaga Keuangan Mikro dapat menghimpun dana
yang dijadikan prasyarat bagi adanya kredit walaupun pada akhirnya sering kali
jumlah kredit yang diberikan lebih besar dari dana yang berhasil dihimpun.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Berdirinya Bank Grameen (banker
to the poor)
Bank Grameen (banker to the poor) adalah sebuah organisasi kredit
mikro yang dimulai di Bangladesh yang memberikan pinjaman kecil kepada orang
yang kurang mampu tanpa membutuhkan collateral. Sistem ini
berdasarkan ide bahwa orang miskin memiliki kemampuan yang kurang digunakan.
Yang berbeda dari kredit ini adalah pinjaman diberikan kepada kelompok
perempuan produktif yang masih berada dalam status sosial miskin. Pola Grameen
bank ini telah diadopsi oleh hampir 130 negara didunia (kebanyakan dinegara
Asia dan Afrika). Jika diterapkan dengan konsisten, pola Grameen Bank ini dapat
mencapai tujuan untuk membantu perekonomian masyarakat miskin melalui
perempuan. Bank ini terpilih sebagai penerima Penghargaan Perdamaian Nobel (bersama
dengan Muhammad Yunus) pada tahun 2006.
Tahun 1974 merupakan tahun yang harus dihadapi dengan berat oleh
Bangladesh, sebab pada tahun ini Bangladesh masuk kedalam cengkraman kelaparan.
Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, sebab sebuah negara kecil yang baru
meraih kemerdekaannya disertai perekonomian dan perpolitikan yang belum stabil
harus mengadapi kelaparan yang mengakibatkan banyak sekali warganya yang
meninggal.
Muhammad Yunus, Seorang dosen Universitas Chittagong serta Dekan
Fakultas Ekonomi ini sangat risau melihat keadaan tersebut. Saat bencana
kelaparan di tahun 1974 sedang melanda Bangladesh, Yunus berpandangan bahwa
selama ini segala macam teori ekonomi klasik maupun modern yang secara elegan
di ajarkan di kampus tidak bisa menjawab permasalahan sosial di negaranya,
tidak hanya kelaparan namun juga kemiskinan dan permasalahan sosial ekonomi
lainnya.
Melihat keadaan yang semakin parah, Yunus memutuskan untuk terjun
langsung ke lapangan untuk melihat kondisi riil masyarakat yang mengalami
kelaparan dan kemiskinan. Desa jobra adalah obyek yang menjadi pusat observasi,
sebab daerah tersebut dekat dengan kampus. Proyek awal yang dilakukan Yunus
adalah mencari tahu berapa banyak keluarga di desa jobra yang memiliki lahan
garapan dan tanaman yang bisa di garap, keterampilan yang dimiliki penduduk
desa, hambatan yang dihadapi dalam peningkatkan kesejahteraan mereka, dan
berapa banyak warga yang miskin. Setelah melakukan analisis sebab-akibat, Yunus
kemudian melakukan studi tentang ekonomi pertanian yang kemudian dilanjutkan
dengan pengembangan desa melalui sektor pertanian.
Pengembangan desa yang dilakukan oleh Profesor Muhammad Yunus tidak
berhenti pada sektor pertanian saja. Setelah menuai hasil yang positif, pada
tahun 1976 Yunus mulai mengunjungi rumah tangga yang paling miskin di Jobra.
Kunjungan tersebut melahirkan suatu insiprasi baru ketika Yunus menemui salah
satu perajin bangku di Desa Jobra. Hasil perbincangan Yunus kepada perajin
tersebut membuahkan kesimpulan bahwa rata-rata warga miskin yang memiliki
profesi sebagai pengusaha kecil sangat sulit memperoleh kredit dan bahkan
terpaksa meminjam uang kepada rentenir yang tentunya akan memberikan bunga
pinjaman yang tinggi sehingga sangat memberatkan si debitur, apalagi
debitur merupakan warga miskin.
Dari tahun ke tahun, pengembangan desa terus menerus dilakukan.
Yunus kemudian membuat suatu proyek percontohan awal yang disebut sebagai Bank
Grameen (banker to the poor). Proyek ini dibentuk dengan alasan bahwa bank
konvensional dan koperasi kredit biasanya meminta pembayaran sekaligus. Hal ini
tentunya secara psikologis dirasa sulit oleh peminjam, apalagi yang predikatnya
tergolong kaum miskin. Sistem yang dikembangkan oleh Bank Grameen (banker to
the poor) justru berlawanan dengan bank konvensional. Para nasabah yang menjadi
anggota dapat mencicil pembayaran dengan nilai nomonal uang yang sedemikian
kecil sehingga tidak memberatkan si peminjam. Selain itu, nasabah didorong
untuk membiasakan diri dalam menabung. Sebab, tabungan terkumpul bisa mereka
jadikan pegangan di waktu susah atau digunakan untuk menambah peluang-peluang
peningkatan pendapatan. Pada saat itu, Bank Grameen (banker to the poor)
menetapkan 5 persen dari setiap pinjaman menjadi tabungan. Pinjaman dilakukan
tidak melalui perseorangan melainkan kelompok.
Setelah mengalami kemajuan yang sangat pesat, Bank Grameen (banker
to the poor) mulai membuka cabang di setiap pedasaan di Bangladesh. Kinerja
bank juga semakin ditingkatkan. Bank Grameen (banker to the poor) tidak hanya sekedar
emberikan pinjaman yang mudah dijangkau warga miskin, namun juga memberikan
pelatihan kepada para peminjam dalam memajukan usahanya.
Periode 90-an, Bank Grameen (banker to the poor) sudah
memperlihatkan bagaimana sistem itu efektif bekerja. Para peminjam yang dulunya
tergolong miskin, sekarang tidak lagi sekedar melewati garis kemiskinan, namun
juga sudah meninggalkannya jauh di belakang. Salah seorang peminjam yang
pernah bertenmu langsung dengan Profesor Yunus mengungkapkan bahwa cicilan per
minggunya lebih dari 500 taka (US$ 12). 500 taka yang dipinjamnya itu adalah
nilai pinjaman pertamanya saat sepuluh tahun yang lalu. Ini berarti bahwa
kapasitas mereka untuk meminjam, berinvestasi dan membayar kembali melipat
hingga 50 kali dalam 10 tahun. Bank Grameen (banker to the poor) juga
mendirikan sebuah museum yang disebut sebagai Museum Kemiskinan sebagai simbol
bahwa kinerja bank selama ini sangat efektif memberantas kemiskinan.
Bank Grameen (banker to the poor) saat ini telah diadopsi oleh lebih
dari 100 negara di dunia. Sebagai bentuk penghargaan karena telah berhasil
menuntaskan kemiskinan, founding father-nya yakni Profesor Muhammad Yunus
memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian tahun 2006.
Peranan Bank Grameen (banker to the poor) dalam Memberantas
kemiskinan di Bangladesh
Bank Grameen
(banker to the poor) memiliki peranan besar bagi rakyat kecil. Sistem perbankan
yang digunakannya nyaris bertolakbelakang dengan yang digunakan oleh bank
konvensional. Kenyataannya sampai hari ini bahwa bank konvensional semakin
tidak pro pada rakyat. Banyak sekali bank konvensional yang hanya mau mendanai
proyek-proyek yang menghasilkan profit besar. Bahkan, mereka juga mempersulit
kaum miskin dengan suku bunga pinjaman yang tidak terjangkau dan agunan.
Padahal kaum miskin tidak memiliki uang cukup untuk mengembalikan bunga dan
mereka juga tidak memiliki agunan. Begitu juga dengan kaum rentenir. Secara
prosedural, kaum miskin relatif lebih mudah meminjam uang kepada mereka, tapi
bunga pinjamannya sangat tinggi bahkan lebih tinggi dibanding bunga bank
konvensional. Baik bank konvensional maupun rentenir saat ini merupakan
representasi dari kapitalisme modern dan juga feodalisme, dimana yang miskin
semakin miskin, sedangkan yang kaya semakin kaya.
Kemiskinan di Bangladesh merupakan persoalan utama. Namun, hadirnya Bank
Grameen (banker to the poor) yang didirikan oleh Muhammad Yunus memberikan
suatu peranan besar dalam menjawab solusi kemiskinan yang telah mengakar di
Bangladesh selama bertahun-tahun. Bank Grameen (banker to the poor) tidak hanya
memberikan solusi dalam segi finansial kaum miskin, namun juga merubah
kebudayaan kolot warga setempat, dimana wanita hanya boleh di dalam rumah dan
tidak diperkenankan untuk melakukan aktivitas ekonomi di luar rumah. Dengan
hadirnya Bank Grameen (banker to the poor), meski wanita tidak diperkenankan
melakukan aktivitas ekonomi di luar rumah, namun dengan berbagai solusi, wanita
dapat bekerja meski di dalam rumah. Bank Grameen (banker to the poor) juga
merupakan suatu wujud implementasi dari konsistensinya. Sebagai bank kaum
miskin, Bank Grameen (banker to the poor) tidak muncul dalam wujud lembaga
keuangan eksklusif sebagaimana bank konvensional lainnya, melainkan menjelma
sebagai lembaga yang berada di lingkungan miskin secara riil. Salah satu contoh
konkret yang terjadi di Bangladesh adalah code of conduct dalam sistem di Bank
Grameen (banker to the poor) tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manajer
ketika membuka cabang di suatu daerah.
Sebagai contoh, seorang manajer datang ke suatu tempat yang telah
disepakati untuk didirikan cabang tanpa perkenalan formal. Mereka tidak punya
kantor, tidak punya tempat tinggal, dan tak ada seorang pun yang mereka kenal.
Tugas pertamanya adalah mendokumentasikan segala sesuatu mengenai wilayah itu.
Mereka memang tidak boleh datang ke desa dengan gaya pejabat dengan kemegahan
dan mengharapkan hidangan lezat dan kenyamanan. Manajer dan asistennya tersebut
harus membayar sendiri penginapannya dan tidak diizinkan untuk menginap di
lingkungan mewah. Mereka hanya boleh menginap di rumah terlantar, asrama
sekolah, atau kantor dewan setempat. Mereka harus menolak tawaran makan dari
warga desa yang berada dengan menjelaskan bahwa itu bertentangan dengan aturan
Grameen. Hal ini mengindikasikan bahwa suatu lembaga yang punya orientasi pada
kaum miskin memang harus hidup dengan cara yang serba miskin.
Oleh sebab itu, Bank Grameen (banker to the poor)
dinyatakan berhasil menuntaskan kemiskinan, sebab Bank Grameen (banker to the
poor) dalam menjalankan misinya tidak hanya berfokus dalam melakukan kredit
seperti yang dilakukan oleh bank konvensional pada umumnya, tetapi lebih
daripada itu, Bank Grameen (banker to the poor) “menjelma” menjadi
kaum miskin itu sendiri, karena dengan cara itulah Bank Grameen (banker to the
poor) dapat mengetahui secara utuh tentang segala aspek penyebab kemiskinan dan
solusi yang tepat dalam melakukan cut terhadap penyebab kemiskinan di
Bangladesh.
2.2
Prinsip Grameen Bank
Sampai dengan akhir tahun 2005, Grameen Bank telah
mempunyai cabang sebanyak 2.226 di 71.371 senter (jumlah desa di
Bangladesh 68.231), dengan total anggota lebih dari 6,6 juta orang. Grameen Bank juga
telah direplikasikan di 52 negara (hanya di Indonesia yang belum
ada), dengan anggota mencapai 102 juta orang. Dana disalurkan dari tahun
1983 s/d 2005 kumulatif mencapai US $ 5.17miliar, atau lebih kurang US $ 238
juta per tahun. Jumlah modal yang dimiliki Grameen Bank berkembang menjadi US $
563,2 juta, sebanyak 92 % adalah milik anggota. Tingkat pengembalian /
mencapai 98.2 %.
Yang menarik perhatian dari 6.6 juta orang anggota Grameen
Bank, sebanyak 94 % jiwa adalah wanita. Pilihan wanita untuk menjadi
anggota Grameen Bank didasarkan pada pemikiran bahwa tanggung jawab
wanita terhadap keluarga lebih besar dan wanita cenderung mengutamakan
membelanjakan uangnya hanya untuk kepentingan keluarga. Grameen Bank bukan bank
konvensional yang hanya berhubungan dengan nasabah secara verlikal
dari aspek ekonomi, telapi Grameen Bank bersifat multidimensional dari
segala aspek kehidupan anggotanya, serta memasukkan unsur sosial budaya ke
dalamnya.
Tujuh prinsip Grameen Bank yang perlu diperhatikan adalah :
1.
Grameen Bank adalah milik anggotanya (92
% saham milik anggota);
2.
Grameen Bank hanya akan
memberikan pinjaman kepada orang yang paling miskin dari masyarakat miskin atau yang
tidak memiliki harta untuk dijadikan agunan (termasuk para pengemis)
3.
Sasaran Grameen Bank terutama adalah
perempuan.
4.
Pinjaman ini diberikan tanpa
jaminan/ agunan
5.
Para peminjam sendiri dan bukan Grameen Bank
yang menentukan jenis kegiatan usahanya yang akan dibiayai dengan pinjaman
dari GB.
6.
Grameen Bank membantu informasi dan sarana
agar peminjam berhasil.
7.
Para peminjam membayar tingkat bunga sesuai
keperluan untuk menjaga agar Grameen Bank tetap mandiri (tidak tergantung hibah
atau donasi)
Satu program terobosan yang cukup menggemparkan, yaitu pada
tahun I997 Yunus memberikan pinjaman US $ 147.000 kepada 40.000
orang pengemis di Bangladesh, untuk melakukan usaha yang dapat
dilakukan sambil mengemis, seperti membuat anyaman, sulaman, jualan korek api
dan permen. Kepada mereka diberikan lencana nasabah Grameen Bank. Pada tahun
2005 ternyata 7.843 orang berhenti mengemis. Alasannya, mereka malu
mengemis karena mempunyai lencana yang membangkitkan harga diri dan mempunyai lapangan usaha
baru dari modal yang diberikan Grameenn Bank.
2.3
Dampak Positif Grameen
Bank
Dampak Grameen Bank terhadap Pengentasan
Kemiskinan Dari pengalaman terlihat bahwa garis kemiskinan bisa dilalui
setelah enam sampai sepuluh pinjaman (yang masingmasingnya berjangka
waktu 1 tahun). serta kerja keras. Pinjaman
pertama biasanya hanya sekitar US$ 50. Rata-rata pinjaman hanya
sedikit lebih besar dari US$ 100. Dengan pinjaman tersebut pelanggan
menciptakan lapangan kerja sendiri, dan kebanyakan juga mempekerjakan seluruh
keluarganya. Dengan cara demikianlah 54% pelanggan Grameen
Bank telah berhasil meninggalkan garis kemiskinan. Sementara 27% masih berada di
sekitar garis kemiskinan 16 persen masih dalam proses pengembangan
sedangkan 3 % sisanya dinyatakan gagal mengikuti program Grameen Bank.
Untuk mereka yang tidak berhasil, faktor yang dianggap menjadi penyebab
kegagalan utama adalah perumahan yang tidak baik di daerah rawan
hujan, serta kesehatan yang sangat buruk.
Dampak Terhadap Pertumbuhan Penduduk Banyak
buku dan makalah tentang dampak Grameen Bank ditujukan untuk mengetahui mengapa
Grameen Bank begitu berhasil dalam hal mengatasi pertumbuhan penduduk
sementara program lain, seperti program keluarga berencana yang memiliki
dana lebih besar menemui hambatan dan kegagalan. Kesimpulan kasarnya adalah
bahwa pemberdayaan ekonomi perempuan sangat terkait dengan pilihan yang
mereka perbuat begitu banyak, sehingga jumlah pertemuan dengan suamisuami mereka
menjadi. Perumahan
Grameen Bank juga menyediakan pinjaman perumahan
sebesar $ 300 dengan jangka waktu 10 tahun. Sebuah keluarga berhak untuk
mendapat pinjaman ini apabila tanah mereka atas nama isteri. Sejauh ini
telah lebih dari 350.000 rumah sudah dibangun dengan pinjaman ini. Tingkat
bunga untuk pinjaman rumah adalah sebesar 8% yang disubsidi silang dengan
pendapatan bunga yang diperoleh dari pinjaman modal kerja. Rumah tersebut dirancang oleh arsitek selempat
memiliki bentuk yang menarik dengan harga yang rendah. Pemanfaatan bahan
mentah setempat, ventilasi, penggunaan bidang yang efisien,
mampu menahan tekanan angin kencang serta memiliki penampilan yang
menarik. Para arsitek dan ahli ekonomi Grameen Bank sendiri nyaris tidak
bisa percaya, ketika rumah mereka yang seharga $ 300 memperoleh penghargaan
penting .Architecture Award. oleh juri Aga Khan Foundation, yang berlokasi di
Swiss. Dalam dunia arsitektur yang gemerlap penghargaan ini biasa jatuh pada
desain luar biasa yang memakan biaya jutaan dolar.
Perawatan Kesehatan Masalah kesehatan yang sangat buruk
diidentifikasi sebagai alas an utama kemiskinan tidak juga hilang. Grameen
Bank melakukan percobaan dengan sebuah rencana perawatan kesehatan
dengan biaya yang bahkan tidak bisa dipercayai oleh orang Bangladesh sendiri,
US$1,25 per keluarga per tahun dan 2 sen US tiap kunjungan ke klinik.
Biaya ini akan menutupi 40% biaya perawatan kesehatan. Sisanya yang 60%.akan
dicari dari pemerinlah, dan mungkin juga dari donor asing yang bersedia
terlibat untuk jangka waktu yang panjang.
Grameen Bank Memajukan Perempuan Dengan tidak
memperdulikan system perbankan di Bangladesh yang memperlakukan perempuan
sebagai peminjam kelas dua, Grameen Bank ingin menciptakan perbandingan 50-50
antara peminjam laki-laki dan perempuan. Tidak perlu waktu lama bagi
Grameen Bank untuk melihat bahwa perempuan merupakan pihak yang lebih
efektif untuk melakukan perubahan. Kalau ada pendapatan tambahan
untuk keluarga melalui perempuan, maka makanan anak-anak, gizi dan kesehatan
keluarga, serta perbaikan untuk rumah akan mendapatkan prioritas utama.
Ditemukan bahwa laki-laki lebih cenderung menghabiskan sebagian pendapatan
mereka untuk kenikmatan pribadi.
Ditemukan pula bahwa perempuan memiliki risiko
kredit yang lebih baik dari pada laki-laki dan lebih bertanggung jawab
dalam mengelola sumberdana yang kecil. Namun
alasan utama mengapa memilih perempuan sebagai pelanggan prioritas adalah karena
Grameen Bank menugaskan dirinya untuk memberikan pinjaman kepada yang
paling miskin. Dan perempuan merupakan jumlah terbanyak dari kelompok
yang terpinggirkan di antara yang paling miskin dari yang miskin.
Dalam komunitas miskin seperti Bangladesh,di mana aturan
keluarga tidak diterapkan dengan baik, sementara tradisi menjadi lebih penting
dari hukum. kejadian di mana laki-laki meninggalkan isteri dan anak-anaknya
merupakan hal yang biasa. Pemberdayaan ekonomi perempuan memiliki dampak
yang sangat besar terhadap terbentuknya keluarga yang stabil.
BAB III
PENUTUP
Lembaga Keuangan Mikro adalah upaya penyedia jasa
keuangan, terutama simpanan dan kredit, dan juga jasa keuangan lain yang
diperuntukan bagi keluarga miskin dan berpenghasilan rendah yang tidak memiliki
akses terhadap bank komersial
Lembaga Keuangan Mikro berfungsi sebagai lembaga
yang menyediakan berbagai jasa pinjaman, baik untuk kegiatan produktif yang
dilakukan usaha mikro, maupun untuk kegiatan konsumtif keluarga masyarakat
miskin. Sebagai lembaga simpanan, Lembaga Keuangan Mikro dapat menghimpun dana
yang dijadikan prasyarat bagi adanya kredit walaupun pada akhirnya sering kali
jumlah kredit yang diberikan lebih besar dari dana yang berhasil dihimpun.
Tujuh prinsip Grameen Bank yang perlu diperhatikan adalah :
1.
Grameen Bank adalah milik anggotanya (92
% saham milik anggota);
2.
Grameen Bank hanya akan
memberikan pinjaman kepada orang yang paling miskin dari masyarakat miskin atau yang
tidak memiliki harta untuk dijadikan agunan (termasuk para pengemis)
3.
Sasaran Grameen Bank terutama adalah
perempuan.
4.
Pinjaman ini diberikan tanpa
jaminan/ agunan
5.
Para peminjam sendiri dan bukan Grameen Bank
yang menentukan jenis kegiatan usahanya yang akan dibiayai dengan pinjaman
dari GB.
6.
Grameen Bank membantu informasi dan sarana
agar peminjam berhasil.
7.
Para peminjam membayar tingkat bunga sesuai
keperluan untuk menjaga agar Grameen Bank tetap mandiri (tidak tergantung hibah
atau donasi)
DAFTAR PUSTAKA
Bornstein, David. The Prince of a Dream.
Oxford University Press, NY: 2005.
Micro Loans for the Very Poor; "The
New York Times"; Sunday, February 16, 1997
Business-Social
Ventures: Reaching for Major Impact; Changemakers.net, Nov 2003
No comments:
Post a Comment