ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PENDERITA
PTERIGIUM
KATA
PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
segala nikmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas penyusunan
makalah Pterigium disusun untuk
memenuhi salah satu komponen tugas pada mata kuliah di akademi keperawatan Unaya Banda Aceh
Kami
menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah ini, untuk
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari semua
pihak demi perbaikan dan penambahan wawasan kami di masa yang akan datang.
Demikian
akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam penyusunan makalah ini, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis
khususnya bagi pembaca pada umumnya terima kasih
Banda Aceh, Mei 2017
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... ........ i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ....... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.
Latar
Belakang...................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah................................................................................. 2
C.
Tujuan................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA.................................................................. ....... 3
A.
Definisi.................................................................................................. 3
B.
Epidemiologi......................................................................................... 3
C.
Etiologi.................................................................................................. 3
D.
Patogenesis............................................................................................ 4
E.
Klasifikasi............................................................................................. 4
F.
Tipe
klinis pterigium.............................................................................. 5
G.
Tipe
lain dari pterigium......................................................................... 5
H.
Manifestasi
klinik.................................................................................. 5
I.
Diagnosis............................................................................................... 6
J.
Penatalaksanan...................................................................................... 8
BAB III
LAPORAN DAN PEMBAHASAN DARI KASUS ........................ 12
A.
Identitas Pasien................................................................................... 12
B.
Anamnesis........................................................................................... 12
C.
Pemeriksaan Fisik................................................................................ 14
D.
Resume................................................................................................ 16
E.
Diagnosis Kerja................................................................................... 16
F.
Diagnosis Banding.............................................................................. 16
G.
Penatalaksanaan.................................................................................. 16
H.
Prognosis............................................................................................. 17
BAB III PENUTUP....................................................................................... ..... 20
A.
Kesimpulan.................................................................................... ..... 20
B.
Saran.............................................................................................. ..... 20
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... ..... 21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pterigium
merupakan suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan neoformasi
fibrovaskular berbentuk segitiga yang muncul pada konjungtiva, tumbuh terarah
dan menginfiltrasi permukaan kornea antara lain lapisan stroma dan membrana
Bowman. Puncak segitiga terletak di kornea dan dasarnya terletak di bagian tepi
bola mata. Apabila hal ini mencapai pupil dapat mempengaruhi penglihatan.
Penyebab dari penyakit ini adalah iritasi kronik akibat debu, angin, paparan
sinar UV atau mikrotrauma yang mengenai mata.
Pterigium
banyak dijumpai pada orang yang bekerja di luar ruangan dan banyak
bersinggungan dengan udara, debu ataupun sinar matahari dalam jangka waktu yang
lama.
Umumnya
banyak muncul pada usia 20 – 30 tahun. Pemicu pterigium tidak hanya dari
etiologinya saja tetapi terdapat factor risiko yang mempengaruhinya antara lain
faktor usia, jenis kelamin, jenis pterigium, jenis pekerjaan (outdoor atau
indoor ). Hal tersebut di atas dapat dibuktikan pada studi yang dilakukan
Gazzard di Indonesia ( Kepulauan Riau ) yang menyebutkan pada usia dibawah 21
tahun sebesar 10 % dan diatas 40 tahun sebesar 16,8%, pada wanita 17,6 % dan
laki-laki 16,1%.
Berdasarkan
letak Indonesia sebagai bagian negara beriklim tropis dan dengan paparan sinar
UV yang tinggi, angka kejadian Pterigium cukup tinggi. Tingkat kekambuhan pada
pasca ekstirpasi di Indonesia berkisar 35 % – 52 %. Data di RSCM angka
kekambuhan pterigium mencapai 65,1 % pada penderita dibawah usia 40 tahun dan
sebesar 12,5 % diatas 40 tahun. Kekambuhan pterigiummerupakan pertumbuhan
kembali jaringan fibrovaskuler konjungtiva ke kornea pada bekas pembedahan.
Pterigium dinyatakan kambuh apabila setelah dilakukan operasi pengangkatan
ditemukan pertumbuhan kembali jaringan pterigium yang disertai pertumbuhan
kembali neovaskularisasi yang menjalar kearah kornea.
Jangka
waktu terjadinya kekambuhan pada berbagai studi disebutkan antara 1-2 bulan
sesudah pengangkatan. Terapi yang digunakan adalah berupa tindakan bedah atau
ekstirpasi dengan berbagai macam metode. Salah satu metode yang masih digunakan
sampai saat ini adalah metode bare sclera. Dalam penggunaannya metode bare
sclera ternyata menunjukkan tingkat kekambuhan yang tinggi, metode lain yang
digunakan yaitu free conjunctival autograft (CAG).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah defenisi dari Pterigium?
2.
Dimanakah penyebaran dari Pterigium?
3.
Mencegah dan mengobati Pterigium?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui defenisi dari Pterigium
2.
Untuk mengetahui
penyebaran dari Pterigium
3.
Untuk mengetahui bagaimana cara mencegah dan mengobati
dari Pterigium
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pterigium berasal dari bahasa
latin pterigeon yang artinya adalah
sayap. Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degenerative dan invasif. Merupakan pertumbuhan tidak ganas dan
lambat. Pertumbuhan berasal dari jaringan subkonjungtiva dan dapat mencapai
kornea, karenanya dapat mengganggu penglihatan.
Pertumbuhan ini biasanya terletak
pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke
daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral
atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka
bagian pterigium akan berwarna merah. Pterigium dapat mengenai kedua mata.
B. Epidemiologi
Pterigium tersebar luas di
seluruh dunia. Lebih umum pada daerah beriklim panas dan kering. Berhubungan
erat dengan sinar UV langsung. Umumnya laki-laki lebih sering terkena
dibandingkan perempuan. Pada umur 20-40 tahun, biasanya lebih mudah terkena,
namun prevalensi nya lebih tinggi pada umur 40 tahun.
C. Etiologi
Pterigium diduga disebabkan
iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara yang panas.
Etiologinya tidak diketahui dengan jelas, dan diduga merupakan suatu neoplasma,
radang, dan degenerasi. Hubungan antara sinar UV dengan pertumbuhan pterigium
sangat erat. Orang yang lebih sering bekerja diluar ruangan lebih mudah
terkena. Pterigium juga berhubungan erat dengan basal cell carcinoma, polymorphous light eruption, porphyria cutanea
tarda, dan xeroderma pigmentosa.
D. Patogenesis
Patogenesis terbentuknya
pterigium belum begitu jelas, namun ada beberapa hipotesa terbentuknya
pterigium. Hipotesa yang pertama adalah berdasarkan factor angiogenesis,
seringnya terpapar sinar UV membuat perubahan biologi pada membran bowman.
Protein yang berubah pada membrane bowman tersebut membentuk factor angiogenik
atau pteriogenik.
Sinar UV dapat memicu pertumbuhan
hiperplasi pada sel di bagian limbal. Sel tersebut dapat menginvasi kornea dan
limbus yang pertumbuhan nya secara sentripetal terhadap kornea dan limbus. Hal
ini menjelaskan bentuk segitiga atau sayap pada pterigium.
Selain itu dalam pembentukan
pterigium, sekalipun sangat berhubungan erat dengan sinar UV, namun tidak lepas
dengan adanya mikrotrauma. Hal ini menjelaskan mengapa debu adalah salah satu
faktor yang dapat menyebabkan pterigium. Ketika sinar UV masuk ke mata
bersamaan dengan adanya mikrotrauma, maka akan terjadi perubahan yang akhirnya
membuat hilangnya kolagenase dan mata menjadi kering. Hal ini menginduksi extracellular matrix untuk berakumulasi.
Lalu terjadi reaksi fibroblastic yang akhirnya menyebabkan pterigium.
Sinar UV membuat penipisan pada
sel langerhan di bagian limbus (stocker’s line).
E. Klasifikasi
Grade
1 . Jika pterigium hanya sebatas limbus kornea
Grade
2 . Jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih
dari 2mm melewati limbus.
Grade
3 . Jika pterigium sudah melebihi grade 2
tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(diameter pupil 3mm)
Grade
4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.
F. Tipe
klinis pterigium
Progresif:
•
Tebal
•
Kemerahan
•
Terlihat
adanya pembuluh darah
•
Pada
puncaknya terlihat bagian opak yang disebut sebagai cap yang dikenal
sebagai Stocker’s line
Athropic
/ stationary:
•
Tipis
•
Vaskularisasi
tidak terlihat
•
Tidak
memiliki cap
G.
Tipe lain dari pterigium
- Double Pterygium
- Pterigium
berulang
- Pterigium
malignan
H. Manifestasi
klinik
Pterigium dapat tidak memberikan
keluhan atau akan memberikan keluhan mata iritatif, merah dan mungkin
menimbulkan astigmat yang akan memberikan keluhan gangguan penglihatan.
Pterigium dapat disertai dengan keratitis pungtata dan dellen (penipisan kornea
akibat kering), dan garis besi (iron line dari stocker) yang terletak di ujung
pterigium.
Kadang pterigium dapat
menimbulkan rasa perih, dan rasa mengganjal saat berkedip. Pasien dengan
pterigium mungkin juga datang dengan keluhan gatal pada mata.
I.
Diagnosis
1.
Anamnesis
:
Pada
anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, munculnya
selaput yang progresif, tidak ada penurunan penglihatan. Selain itu perlu juga
dinyatakan adanya riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan
pajanan sinar matahari yang tinggi atau berdebu
2.
Pemeriksaan
fisik :
Diagnosa
Pterigium dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik menggunakan slit lamp.
3.
Pemeriksaan
penunjang :
Pemeriksaan
tambahan dapat dilakukan pada pterigium terutama apabila pasien mengeluh adanya
gangguan penglihatan. Pemeriksaan berupa topografi kornea untuk menilai
seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh
pterigium.
4.
Diagnosis
banding
Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan
perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering pseudopterigium ini
terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi
kornea. Letak pseudopterigium ini pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan
proses kornea sebelumnya.
Untuk membandingkan antara
pterigium dengan pseudopterigium, dapat dilihat dari riwayat pasien.
Pseudipterigium merupakan hasil dari inflamasi kornea yang diakibatkan oleh
iritasi bahan kimia, perforasi kornea, atau ulkus kornea yang lama, dimana
memicu pertumbuhan konjungtiva ke kornea.
Dibedakan dengan pterigium dengan
adanya riwayat inflamasi sebelumnya, selain itu pseudopterigium umumnya hanya
ada pada satu mata, bentuk pseudopterigium tidak berbentuk “wing” atau sayap,
dan tidak progresif. Selain itu beda pterigium dengan pseudopterigium dapat
dilihat dari letaknya, pseudopterigium tidak harus pada celah kelopak atau
fisura palpelbra juga pada pseudopterigium ini dapat diselipkan sonde
dibawahnya.
Pinguekula
Pinguekula
merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada orang tua,
terutama yang matanya sering mendapat rangsangan sinar matahari, debu, dan
angin panas. Letak bercak ini pada celah kelopak mata terutama di bagian nasal.
Pinguekula
merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva. Pembuluh darah
tidak masuk ke dalam pinguekula akan tetapi bila meradang atau terjadi iritasi,
maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah yang melebar.
Pinguekula
dibedakan dengan pterigium menggunakan slit
lamp. Pinguekula hanya sebatas limbus dan konjungtiva. Pinguekula tidak
mencapai kornea.
J.
Penatalaksanan
a.
Non-farmakologi
Pada pasien dengan
Pterigium, tatalaksana non farmakologi dapat dilakukan dengan melindungi mata
pasien dari sinar UV atau sinar matahari. Hal ini dilakukan untuk mengurangi
resiko pterigium bertambah parah. Selain itu pasien diharapkan untuk
menghindari debu, udara panas, dan juga aktivitas diluar ruangan.
b.
Farmakologi
Terapi farmakologi
diberikan tergantung pada keluhan pasien, apabila pasien mengeluhkan mata
kering, maka di berikan pengganti air mata. Apabila terjadi iritasi dan radang,
diberikan steroid topical.
c.
Pembedahan
Pembedahan pada pasien
dengan pterigium dilakukan apabila,
-
pertumbuhan
pterigium sudah mengganggu penglihatan,
-
Inflamasi
berulang
-
Pterigium
yang walaupun hanya di periferal namun mengganggu penglihatan dengan membuat
adanya astigma tinggi.
-
Gangguan
pergerakan bola mata dengan diplopia.
-
Alasan
kosmetik, untuk alasan ini harus dijelaskan pada pasien bahwa pterigium dapat
berulang.
Pembedahan
yang dapat dilakukan pada pasien pterigium adalah pro eksisi dengan teknik conjunctival autograft.
5.
Komplikasi
Komplikasi
yang dapat timbul akibat pterigium adalah gangguan penglihatan. Gangguan
penglihatan karena pterigium dapat terjadi karena pterigium yang sudah tumbuh
melewati pupil, atau dapat karena mengganggu visual axis. Selain itu pterigium
dapat menyebabkan iritasi pada mata
6.
Pencegahan
Pencegahan
pterigium dapat dilakukan dengan menghindari paparan langsung terhadap sinar
matahari, udara panas, dan debu. Apabila seseorang harus berhadapan dengan
aktivitas luar ruangan, maka disarankan untuk menggunakan kaca mata hitam.
7.
Prognosis
Prognosis
pterigium adalah baik karena tidak selalu mengganggu atau memberikan simtom.
Pterigium dapat kembali lagi atau muncul kembali terutama pada pasien dengan
umur dibawah 40 tahun.
Anatomi
Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membrane
yang menutupi sclera dan kelopak bagian belakang. Bermacam-macam obat mata
dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin
yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama
kornea.
Konjungtiva terdiri atas tiga
bagian, yaitu :
-
Konjungtiva
tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus.
-
Konjungtiva
bulbi menutupi sclera dan mudah digerakkan dari sclera dibawahnya.
-
Konjungtiva
fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan konjungtiva
tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks
berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehinga bola mata
mudah bergerak.
1.
Kornea
2.
Lensa
3.
Fornix
4.
Marginal
Konjungtiva
5. Palpebral
portion of lacrimal gland
6. Tarsal konjungtiva
BAB III
LAPORAN DAN PEMBAHASAN DARI KASUS
A. Identitas
Pasien
1
Nama :
Tn. M A
2
Umur :
33 tahun
3
Jenis kelamin :
Pria
4
Tanggal lahir :
18-03-1982
5
Agama :
Islam
6
Kebangsaan/ suku :
Indonesia/ Jawa
7
Pendidikan :
SMA
8
Perkerjaan :
Buruh
pabrik
9
Alamat :
KP Malaka Tegal Kunir Kidul Maur, Tangerang
10
Status :
Menikah
11
Tanggal pemeriksaan :
27 agustus 2015
B. Anamnesis
Anamnesis
dilakukan secara autoanamnesis pada
tanggal 27 Agustus 2015.
Keluhan
utama : Adanya selaput kemerahan pada
mata kanan pasien yang semakin hari semakin mendekati bagian hitam mata pasien
sejak 2 tahun lalu.
Keluhan tambahan : Adanya rasa
mengganjal pada mata kanan dan kiri
Riwayat
Penyakit Sekarang
:
Pasien datang ke Poliklinik Mata RS Polri Sukanto dengan
keluhan muncul selaput berwarna putih
kemerahan pada mata kanan
dan kiri sejak 2 tahun yang lalu. Selaput
ini berbentuk segitiga.
Pada awalnya, pasien mengatakan munculnya selaput ini hanya berada di mata kanan dan kiri dekat
hidung
(tidak mengenai bagian hitam mata) sejak 2 tahun yang
lalu. Lalu,
selaput yang tumbuh ini semakin menjalar mendekati bagian hitam mata pasien.
Pasien juga mengeluh ada rasa mengganjal pada mata kanan dan kiri sejak 2
tahun terakhir. Keluhan mata merah dan terasa kering terdapat sejak 1 tahun
lalu hilang timbul dengan sendirinya. Pasien belum menggunakan obat untuk
mengatasi keluhannya. Keluhan mata gatal dan keluarnya
kotoran mata yang banyak disangkal. Rasa nyeri dan bengkak disangkal. Gangguan pada
penglihatan juga disangkal oleh pasien. Keluhan pandangan menjadi kabur, berbayang ataupun
berkabut disangkal.
Riwayat trauma pada mata disangkal. Riwayat mata terkena
bahan kimia disangkal. Penggunaan kacamata ataupun kontak
lens disangkal. Riwayat penyakit mata sebelum muncul selaput
disangkal. Pasien mengaku
belum pernah
mengalami hal yang
serupa.
Riwayat
Penyakit Dahulu :
Pasien
menyangkal pernah mengalami riwayat trauma pada mata.
Pasien
menyangkal menggunakan kacamata sebelumnya.
Pasien
menyangkal memiliki riwayat penggunaan lensa kontak sebelumnya.
Riwayat
diabetes mellitus: disangkal
Riwayat
hipertensi: disangkal
Riwayat
alergi makanan atau obat: disangkal.
Riwayat
Penyakit Keluarga:
Anggota
keluarga denga sakit yang sama disangkal.
Riwayat
diabetes mellitus: disangkal.
Riwayat hipertensi:
disangkal.
Riwayat
Kebiasaan:
Pasien
mengaku sering terpapar sinar matahari dan matanya sering terkena debu akibat
bekerja di pabrik benang. Pasien tidak menggunakan topi ataupun kacamata.
Pasien juga merupakan pengguna kendaraan bermotor, yang biasanya menggunakan
helm tanpa kaca pelindung mata. Pasien mengaku tinggal di daerah yang panas.
C. Pemeriksaan
Fisik
Status
Generalis:
Keadaan
umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda
Vital
Tekanan darah : 120/80
Nadi :
84 kali/menit
Respirasi :
18 kali/menit
Suhu :
36.6 °C
Status Oftalmologi
|
OD
|
OS
|
Visus
|
5/5 E
|
5/5 E
|
Kedudukan bola mata
|
Ortoforia
|
|
Gerakan bola mata
|
|
|
Tekanan intraokular
|
N/palpasi
|
N/palpasi
|
Palpebra superior
|
Hiperemis (-) ; edema (-) ; nyeri tekan (-)
;benjolan (-)
|
Hiperemis (-) ; edema (-) ; nyeri tekan (-) ; benjolan (-)
|
Palpebra inferior
|
Hiperemis (-) ; edema (-) ; nyeri tekan (-)
;benjolan (-)
|
Hiperemis (-) ; edema (-) ; nyeri tekan (-) ; benjolan (-)
|
Konjungtiva tarsalis superior
|
Hiperemis (-) ; papil (-) ; folikel (-) ;
sikatriks (-) ; sekret (-)
|
Hiperemis (-) ; papil (-) ; folikel (-) ;
sikatriks (-) ; sekret (-)
|
Konjungtiva tarsalis inferior
|
Hiperemis (-) ; papil (-) ; folikel (-) ;
sikatriks (-) ; sekret (-)
|
Hiperemis (-) ; papil (-) ; folikel (-) ; sikatriks
(-) ; sekret (-)
|
Konjungtiva bulbi
|
Injeksi konjungtiva (-) ; injeksi siliar (-) ;
perdarahan (-)
|
Injeksi konjungtiva (-) ; injeksi siliar (-) ;
perdarahan (-) ;
|
Kornea
|
Infiltrat (-) ; ulkus (-) ; sikatriks (-)
Terdapat selaput berbentuk segitiga di bagian
nasal yang sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati
kornea
|
Infiltrat (-) ; ulkus (-) ; sikatriks (-)
Terdapat selaput berbentuk segitiga di bagian
nasal yang sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati
kornea
|
Bilik mata depan
|
Dalam, jernih
|
Dalam, jernih
|
Iris
|
Berwarna coklat, kripte (+), sinekia anterior (-),
sinekia posterior (-)
|
Berwarna coklat, kripte (+), sinekia anterior (-),
sinekia posterior (-)
|
Pupil
|
Bulat, isokor, berada di sentral, refleks cahaya
(+), diameter 3mm
|
Bulat, isokor, berada di sentral, refleks cahaya
(+), diameter 3mm
|
Lensa
|
Jernih, shadow
test (-)
|
Jernih, shadow
test (-)
|
Vitreus
|
Tidak dilakukan
|
Tidak dilakukan
|
Fundus
|
Tidak dilakukan
|
Tidak dilakukan
|
D. Resume
Seorang
pria, 33 tahun, datang dengan keluhan utama munculnya selaput berwarna
kemerahan pada mata kanan dan kiri yang semakin hari semakin mendekati bagian
hitam mata sejak 2 tahun yang lalu. Selaput berbentuk triangular dibagian nasal
dengan bagian sentral terletak dipinggir kornea. Pasien juga mengeluhkan adanya
rasa mengganjal pada mata kanan dan kiri. Keluhan mata merah dan mata kering terdapat serta hilang
timbul dengan sendirinya
Pasien sering terpapar sinar
matahari dan debu pabrik serta sering beraktivitas diluar ruangan tanpa
menggunakan topi atau kacamata. Pasien mengaku belum pernah mengalami hal
serupa sebelumnya. Pasien mengaku tidak menggunakan kacamata.
Pada pemeriksaan oftalmologis,
pemeriksaan kornea pada oculi dextra dan sinistra ditemukan adanya selaput
berbentuk segitiga dibagian nasal yang sudah melewati limbus kornea tetapi
tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
Pemeriksaan visus:
·
Visus
OD : 5/5 E
·
Visus
OS : 5/5 E
E. Diagnosis
Kerja
Pterygium
ODS derajat II
F. Diagnosis
Banding
Pseudopterygium
Pinguekula
G. Penatalaksanaan
Diagnostik :
Pemeriksaan
fisik :
Slit Lamp : untuk melihat jaringan
fibrovaskular pada permukaan konjungtiva
Terapi
Non
medikamentosa
Anjuran untuk
mengurangi aktivitas diluar ruangan.
Anjuran
untuk memakai topi dan kacamata saat beraktivitas diluar ruangan atau sewaktu
bekerja.
Medikamentosa
Steroid topical : CendoXitrol®
(Polimyxin B, Neomycin, Dexamethason) tetes mata 3 kali 1 tetes selama 5 – 7 hari pada oculi
dextra
Air
mata artifisial (1 tetes 4 kali sehari) ; Cendo lyteers
Tindakan bedah
Pro
eksisi pterygium dengan teknik conjunctival
autograft dengan pemberian mytomicin C intraoperatif.
Monitoring :
Gejala
: Selaput tumbuh semakin mendekati pupil atau sama saja, rasa perih dan
mengganjal sama saja atau semakin memburuk.
Edukasi :
·
Edukasi
mengenai penyakit pasien
Komplikasi
: gangguan penglihatan, iritasi berulang.
·
Edukasi
mengenai terapi pterigium
Guna
obat: untuk meredakan keluhan tapi tidak menghilangkan selaput dan bahwa terapi
definitive adalah pembedahan.
·
Edukasi
pasien untuk control setelah operasi
Komplikasi
post-op : infeksi konjungtiva, reaksi material jahitan, terbentuknya granuloma,
rekuren.
H. Prognosis
Quo ad vitam :Bonam
Quo ad fungsionam :Dubia ad bonam
Quo ad sanationam :Dubia ad bonam
Pada anamnesis,
seorang pria 33 tahun ditemukan gejala yang khas pada pterygium yaitu munculnya
selaput pada bagian putih mata dekat hidung berbentuk segitiga dengan bagian
tengah di pinggir bagian hitam bola mata, serta adanya rasa mengganjal.
terdapat keluhan mata merah dan
mata kering
dirasakan hilang timbul dengan sendirinya. Pasien tidak memiliki keluhan
gangguan penglihatan, sekret, gatal, bengkak dan nyeri. Hal ini dapat
menyingkirkan diagnosa mata merah dengan visus turun bersamaan dengan
menyingkirkan diagnosa mata merah dengan belek.
Dari anamnesis, pada
riwayat kebiasaan didapatkan pasien sering beraktivitas diluar ruangan, tanpa
memakai topi ataupun kacamata pelindung sehingga sering terkena paparan UV
serta pasien juga mengaku bekerja sebagai buruh pabrik benang sehingga sering
terpapar debu. Hal ini mendukung diagnosis pterygium karena sering terpapar
dengan sinar UV serta benda asing seperti debu merupakan salah satu faktor
resiko dari pterygium.
Dari pemeriksaan
fisik, pada oculi dextra dan sinistra ditemukan selaput berbentuk triangular
dari bagian nasal yang melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea. Berdasarkan kriteria derajat klinis menurut Youngson,
makaditegakkan diagnosis pterygium oculi dextra dan sinistra derajat II. Untuk
membedakan pterigium dengan diagnose banding lain adalah posisi pterigium itu
sendiri. Pada pseudopterigium, jaringan muncul tidak harus dari bagian nasal
atau temporal, namun bisa dari mana saja. Selain itu dari anamnesa dapat
ditemukan riwayat sakit mata sebelumnya. Pterigium juga dapat dibedakan dengan
pinguekula dari lokasinya. Pada pinguekula, benjolan hanya ada di batas limbus
dan konjungtiva. Pinguekula tidak pernah mengganggu kornea. Dari pemeriksaan
fisik pasien ini, dilihat bahwa jaringan segitiga tersebut melewati batas
limbus.
Pada tatalaksana non
medikamentosa, dianjurkan kepada pasien untuk mengurangi aktivitas di luar
ruangan dan memakai topi dan kacamata jika berada di luar ruangan atau sedang
bekerja di pabrik. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir paparan UV sehingga
kemungkinan terjadinya progresivitas penyakit berkurang serta meminimalisir
debu yang dapat mengiritasi mata.
Padatatalaksanamedikamentosa,
diberikan obat tetes mata CendoXitrol® (Polimyxin B, Neomycin, Dexamethason) 3
kali 1 tetes pada mata kanan dan kiri. Diharapkan kortikosteroid dalam
kombinasi ini dapat meredakan gejala iritasi yang terjadi.
Terapisurgikal yang
dianjurkan kepada pasien adalah eksisi pterygium dengan teknik conjunctival autograft dengan pemberian
mytomycin C intraoperatif. Teknik conjunctival
autograft dipilih karena tingkat kekambuhannya yang rendah. Pemberian
mytomycin C intraoperatif dipertimbangkan pada kasus ini karena kasus tingkat
kekambuhan pterygium diharapkan menurun dengan pemberian mytomycin C karena MMC
menghambat sintesis fibroblas sehingga dapat mencegah rekurensi penyakit
tersebut.
1
BAB IV
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pterigium
merupakan suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan neoformasi
fibrovaskular berbentuk segitiga yang muncul pada konjungtiva, tumbuh terarah
dan menginfiltrasi permukaan kornea antara lain lapisan stroma dan membrana
Bowman
Pasien
dengan pterigium yang menggunakan teknik operasi free conjunctival autograft
memiliki tingkat kekambuhan yang lebih rendah dibandingkan pada pasien dengan
pterigium yang menggunakan teknik operasi bare sclera.
B. Saran
Diperlukan
penelitian lebih lanjut pada faktor resiko yang mempengaruhi antara kedua
metode tersebut. Pemilihan jenis operasi perlu mempertimbangkan pada faktor –
faktor resiko tersebut untuk mengurangi kekambuhan.
DAFTAR PUSTAKA
American
Academy of Ophthalmology. 2008.
Classification and Management of Conjunctival Disorders. Singapore:
Lifelong Education Ophthalmologist. pp 165-167.
Bandyopadhyay, Ranjana. Ijpmolnline. 2010. http://www.ijpmonline.org/article.asp?issn=0377-4929;year=2010;volume=53;issue=4;spage=692;epage=695;aulast=Bandyopadhyay.
Ilyas,Sidharta. 2005. Kelopak Mata. Dalam Penuntun Ilmu Penyakit Mata. 3rd edisi. Jakarta
: Balai Penerbit FKUI, hlm : 58-60
lusby, Franklyn W. Medine Plus. 2008.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001011.htm (accessed 2015).
Sebastian, Roberto. Diagnostic Pathology. 2013. http://www.diagnosticpathology.org/content/8/1/32.
Subramaniam, Dr Ramya. Ejournal Ophtalmology. 2011. http://www.ejournalofophthalmology.com/ejo/ejo40.html.
Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. 2000. Palpebra dan
Aparatus Lakrimalis. Dalam Oftamologi umum. Edisi 14. Jakarta : Widya Medika.
Hal 81-82
Vision, Mission for. Anatomy of the human eye. 2005. http://www.images.missionforvisionusa.org/anatomy/2005/11/conjunctiva-answers.html.
Youngson, Liutenant Colonel R.M. Ramcjournal. 1970.
http://www.ramcjournal.com/content/116/3/126.full.pdf.
No comments:
Post a Comment