PEMBAHASAN
BAB 1
Bagian wanita dalam warisan
IBU
Ada
tiga pembahasanuntuk ibu dalam masalah warisan:
Pertama,
ibu mendapatkan seperenam (1/6) dalam dua keadaan:
1. Apabila
si mayit meninggalkan ahli waris lain, baik laki-laki maupun perempuan, yaitu
anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah, anak
perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan terus ke bawah. Hal ini
berdasarkan kalam Allah:
“Dan untuk kedua ibu bapak, bagian
masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalakn, jika dia (yang meninggal)
mempunyai anak…”
(QS an- Nisa’ {4} : 11)
2. Apabila
si mayit meninggal dua orang saudara laki-laki atau perempuan atau lebih secara
mutlak, baik mereka adalah saudara sekandung, atau saudara sebapak, saudara seibu,
atau campuran. Hal ini berdasarkan kalam Allah:
“…Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam…” (QS an-Nisa’ {4} : 11)
Kedua ,ibu mendapat sepertiga
(1/3) dari semua harta waris apabila si mayit tidak meninggalkan ahli waris
sama sekali, naik itu dua atau lebih dari saudara laki-laki dan perempuan, atau
salah satu dari pasangan ibu-bapaknya. Hal ini berdasarkan kalam Allah:
“..JIka dia
(yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi
oleh kedua ibu bapaknya (saja),maka ibunya memdapat sepertiga..”(QS
an-Nisa’[4]: 11)
Ketiga,
ibu mendapatkan sepertiga (1/3) dari sisa harta waris setelah dibagikam kepada
salahsatu pasangan (suami atau istri) si mayit. Keadaan harta warisan yang
hanya dibagikan kepada bapak, ibu, dan salah satu pasangannya (suami atau
istri), ini disebut ‘ummariyyah atau ghara’. Dasar hukumnya adalah kalam allah:
“..Jika dia ( yang meninggal) tidak mempunyai
anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), mka ibunya mendapat
sepertiga…” (QS an-Nisa[4]: 11)
Maksud
hitungan spertiga di sini adalah sepertiga dari hak bagian kedua orang tua
bukan sepertiga dari keseluruhan harta warisan sehingga ayat, “dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya
(saja),,” tetap berfungsi. Jadi
,maksud “dan dia diwarisi oleh kedua ibu
bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga” adalah jatah bagian yang
diambil untuk ibu-bapaknya. Dan sepertiga dari bagian tersebut adlah sepertiga
dari sisa harta waris setelah jatah bagian salah satu pasangan telah diberikan.
ANAK
PEREMPUAN
Allah menerangkan bahwa ada tiga kondisi untuk
anak kandung perempuan, yaitu:
Pertama,
anak perempuan mewarisi setengah (1/2) dari harta warisan jika dia sendiri
(tanpa ada ahli waris yang lain). Hal ini berdasarkan kalam Allah Ta’ala:
…Jika dia (anak perempuan)itu seorang saja,
maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan)… (QS an-Nisa’[4]:11).
Kedua,
anak perempuan mendapat dua pertiga (2/3) dari harta warisan jika si mayit
meninggalkan dua anak perempuan atau lebih tanpa ada anak laki-laki.
Hal ini berdasarkan kalam-Nya, “… dan jika
anak itu semuanya perempuanyang jumlahnya lebih dari da, maka bagian mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan…” (QS an-Nisa’[4]: 11)
Ketiga,
anak perempuan hanya mendapatkan ashabah apabila si mayit juga mwninggalkan
anak laki-laki, baik dia (anak perempuan) sendiri maupun lebih, baik anak
laki-laki itu sendiri maupun lebih. Pembagiannya, bagian laki-laki seperti dua
bagian perempuan. (…. Allah mesyariatkan
(mewajibkan) kepadamu istri laki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan … QS
an-Nisa’ [4]: 11)
ISTRI
Berdasarkan
ayat tersebut, ada dua kondisi untuk istri:
Pertama ,istri mendapat seperempat
(1/4) dari harta waris apabila tidak ada ahli waris lainnya, seperti anak
laki-laki, cucu dari anak laki-laki, dan terus ke bawah. Bagian ini diterima
oleh istri, baik sendiri maupun lebih (jika poligami). Berdasarkan keumumkan
ayat, bagian seperempat tersebut bisa saja diterima oleh satu istri jika memang
sendiri atau dibagikan sama rata kepada beberapa istri.
Kedua, istri hanya mendapat
seperdelapan (1/8) dari harta waris apanila si mayit meninggalkan ahli waris
lainnya, baik ahli waris tersebut dari arahnya atau selainnya. Tentukan, bagian
untuk satu istri adalah bagian terbanyak, sebagaimana juga dalam kasus pertama.
JADDAH
(NENEK, BUYUT PEREMPUAN, DAN TERUS KE ATAS)
Ada
tiga kondisi untuk nenek kandung, yaitu:
Pertama,
nenek menerima seperenam (1/6), baik nenek dari arah ibu maupun bapak, baik
jumlahnya seorang maupun lebih apabila kedudukannya sederajat, seperti nenek
dari arah ibu dan nenek dari arah bapak. Jika jumlah nenek banyak, mereka
berserikat dalam seperenam.
Kedua,
nenek tidak berhak mendapatkan warisan dalam kondisi-kondisi berikut.
1) Apabila
kakek masih hidup bersama nenek yang bersal dari bapak, nenek tidur mendapatkan
warisan.
2) Nenek
dari arah mana pun jika ibu si mayit hidup.
3) Apabila
si mayit meninggalkan bapaknya bersama nenek yang dari arah bapak.
Ketiga,
nenek yang levelnya dekat dapat menghalangi nenek yang levelnya jauh. Misalnya, nenek dari arah
ibu dapat menghalangi buyut perempuan dari arah ibu nenek dan buyut perempuan
dari arah bapak-kakek.
SAUDARA
PEREMPUAN KANDUNG
Ada
lima kondisi pembagian harta waris untuk saudara kandung perempuan sebagai berikut.
Pertama,
dia mewarisi setengah (1/2) harta waris apabila sendiri: tidak ada anak, cucu,
bapak, kakek, atau saudara kandung laki-laki.
Kedua,
dia mewarisi dua pertiga (2/3) harta waris apabila jumlah saudara kandung
perempuan dua atau lebih dan tidak ada anggota keluarga sebagaimana yang
disebutkan dalam kasus pertama. Hal ini berdasarkan kalam Allah, “tetapi jika saudara perempuan itu dua orang,
maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan…” (QS an-Nisa’ [4]:
176)
Ketiga,
dia menjadi ashabah apabila ada satu atau lebih saudara kandung laki-laki dan
tidak ada anggota keluarga seperti yang disebutkan dalam kasus pertama.
Keempat,
saudara kandung perempuan menjadi ashabah bersama ahli waris yang lain, yaitu
bersama anak perempuan si mayit atau cucu perempuan dari arah anak laki-laki si
mayit.
Kelima,
saudara kandung perempuan tidak mendapatkan bagian waris sama sekali dengan
adanya ahli waris, seperti anak laki-laki, cucu laki-laki, dan terus ke bawah.
SAUDARA
PEREMPUAN SEIBU
Pertama,
mendapat bagian seperenam (1/6) apabila dia sendiri tanpa ada saudara laki-laki
atau saudara perempuan seibu yang lain, sedangkan si mayit tidak meninggalkan
ahli waris lain, baik yang bersifat furu’ (cabang) secara mutlak maupun ashl
(pokok) dari kalangan laki-laki.
Kedua,
mendapat bagian spertiga (1/3) apabila saudara perempuan seibu itu dua atau
lebih, bai mereka bersama saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu.
Ketiga,
saudara perempuan seibu tidak mendapatkan warisan sama sekali karena adanya
ahli waris yang bersifat furu’, baik laki-laki maupun perempuan, seperti anak
laki-laki dan cucu laki-laki arah anak laki-laki.
Sebagaimana yang dijelaskan
berkali-kali bahwa kalalah itu adalah keadaan mayit yang tidak meninggalakn
anak ataupun bapak.
SAUDARA
PEREMPUAN SEBAPAK
Ada
enam kondisi pembagian harta waris untuk saudara perempuan sebapak.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Pertama, saudara perempuan sebapak
mendapat bagian setengah (1/2) apabila dia sendiri tanpa ada saudara kandung laki-laki
atau saudara kandung perempuan atau sadara laki-laki sebapak dan juga tidak ada
ahli waris yang menghalanginya.
Kedua, saudara perempuan sebapak
mendapat bagian dua pertiga (2/3) apabila berjumlah dua atau lebih dan tidak
ada saudara laki-laki sebapak atau saudara-saudara kandung perempuan.
Ketiga, saudara perempuan sebapak
mendapat bagian ashabah apabila berjumlah satu atau lebih dengan saudara
laki-laki sebapak. Dia menjadi ashabah bil ghair dengan ketentuan bagian
laki-laki itu seperti dua bagian perempuan.
Keempat, saudara perempuan sebapak
mendapat bagian ashabah apabila berjumlah satu atau lebih dengan adanya ahli
waris yang bersifat furu’ dari kalangan perempuan, seperti anak perempuan atau
cucu perempuan dari arah anak laki-laki.
Kelima, saudara perempuan sebapak
mendapat bagian seperenam (1/6) apabila berjumlah satu atau lenih karena adanya
saudara kandung perempuan.
Keenam, mereka tidak mendapatkan
warisan sama sekali dalam beberapa keadaan berikut.
1) Jika
ada ahli waris furu’ atau ashl dari kalangan laki-laki
2) Jika
ada saudara kandung laki-laki
3) Jika
ada saudara kandung perempuan yang mendapatkan bagian ashabah ma’al ghair,
seperti anak perempuan atau cucu perempuan dari arah anak laki-laki.
4) Jika
ada dua saudara kandung perempuan yang mendapat hak bagian saudara-saudara
perempuan, yaitu sebesar dua pertiga.
CUCU
PEREMPUAN DARI ANAK LAKI-LAKI (WASIAT WAJIBAH)
Menurut
peraturan yan ada, cucu perempuan dari anak laki-laki tidak mendapatkan hak
waris kakeknya yang meninggal apabila bapak mereka telah meninggal terlebih
dahulu semasa kakeknya masih hidup dan masih ada para paman serta bibi dari
arah bapak.
Undang-undang
mensyaratkan dua hal untuk melegalkan wasiat ini:
Pertama,
keturunan (cucu) bukan termasuk ahli waris dari si mayit.
Kedua,
si mayit tidak boleh memberikan bagian harta sepadan dengan wasiat wajibah atau
bahkan lebih banyak kepada cucu karena apa yang mereka berhak untuk
mendapatkannya pasti akan mereka dapatkan dengan jalan yang lain.
Beberapa
keadaan cucu perempuan terhadap harta warisan adalah sebagai berikut.
Pertama,
mereka tidak menjadi ahli waris selama ada anak laki-laki si mayit, baik satu
anak maupun lebih.
Kedua,
mereka tidak menjadi ahli waris selama ada dua anak kandung perempuan atu lebih
yang berhak mendapatkan dua pertiga harta waris.
Ketiga,
mereka mendapat bagian harta waris secara ashabah bersama cucuu laki-laki yang
sederajat dengan ketentuan dua berbanding satu, seperti cucu laki-laki dan cucu
perempuan.
Keempat,
mereka mewarisi setengah (1/2) harta warisan apabila cucu ini sendiri dan tidak
ada bersamanya anak kandung perempuan atau anak kandung laki-laki atau pemilik
ashabah lain seperti cucu laki-lkai.
Kelima,
mereka mewarisi dua pertiga (2/3) harta warisan apabila cucu ini berjumlah da
atau lebih dan apabila tidak ada anak kandung perempuan atau anak kandung
laki-laki atau pemilik ashabah lain.
Keenam, mereka mewarisi seperenam (1/6) harta warisan
apabila bersamanya ada satu anak kandung perempuan, tetapi tidak ada pemilik
ashabah yang sederajat dengannya atau diatasnya yang dapat menghalanginya.
Bab II
Beberapa Hukum Seputar
Pernikahan
HUKUM PERNIKAHAN
Menikah itu wajib bagi perempuan yang sangat berptensi
akan terjerumus dalam perbuatan zina dan dia telah merasa mampu melaksanakan
kewajiban-kewajiban berkeluarga.
Menikah menjadi mustahab (lebih disukai) apabila dia
merasa mampu bergaul dan cinta, tetapi sebenarnya dia tidak khawatir terjerembab dalam perzinaan.
Menikah hukumnya berubah menjadi makruh apabila dia
merasa ragu,akankah mampu atau tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban berumah
tangga dengan berbagai problematikanya.
WANITA-WANITA YANG HARAM DINIKAHI
Ada dua macam pengharaman seorang laki-laki menikahi
wanita-wanita yang haram dinikahi:
v tahrim
muabbad (pengharaman yang berlaku selama-lamanya) disebabkan hubungan yang
mengharuskan pengharaman dan tidak akan hilang.
v Tahrim
muaqqat (pengharaman yang bersifat sementara) karena penyebab pengharamannya
dapat saja hilang, apabila penyebabnya telah hilang, hilang pula
pengharamannya.
Wanita-wanita yang haram dinikahi bersifat tahrim
muabbad:
a. Wanita
–wanita yang ahram dinikahi karena nasab atau hubungan kerabat.
· Ibu,nenek,
dan terus ke ats, baik dari arah bapak maupun ibu.
· Anak
perempuan dan terus ke bawah.
· Saudara
perempuan.
· Bibi
dari arah bapak dan bibi dari arah ibu.
· Anak
perempuan dari saudara laki-laki atau saudara perempuan dan terus ke bawahnya.
b. Wanita
–wanita yang haram dinikahi karena mushaharah (sebab pernikahan)
· Istri
bapak, istri kakek, dan terus ke atas.
· Ibu
istri (mertua), nenek, dan terus ke atas.
· Anak
perempuan istri dan keturunannya dengan syarat telah berjimak dengan istri
tersebut.
· Istri
anak (menantu) atau istri cucu.
c. Wanita
–wanita yang haram dinikahi karena sesusuan.
Wanita yang
haram dinikahi disebabkan hubungan penyusuan, sebenarnya penyebabnya sama
sengan nasab, berdasarkan kalam Allah Ta’ala, “ibu-ibu kalian yang pernah menyusui kalian; saudara perempuan
sepersusuan.”
Semua anak
laki-laki ibu susu itu diharam untuk menikahi anak perempan yang menyusu kepada
ibu tersebut meskipun anak laki-lakinya tidak ikut menyusu sebab mereka semua
menajdi saudara.
Wanita –wanita yang haram dinikahi bersifat muaqqat
(sementara waktu):
Apabila penyebab haramnya telah hilang, mereka pun
menjadi halal untuk dinikahi. Mereka adalah:
Ø Istri
orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah.
Ø Mengumpulkan
dua perempuan yang bersaudara.
Ø Perempuan
yang hendak dijadikan istri kelima setelah menikahi empat perempuan.
Ø Istri
yang telah ditalak sebanyak tiga kali, kecuali jika mantan istri tersebut sudah
menikah dengan laki-laki lain, kemudian diceraikan dan selesai masa iddahnya.
Ø Perempuan
penyembah berhala yang tidak memeluk agama samawi.
Ø Perempuan
pezina, kecuali jika dia benar-benar bertobat, kemudian masa iddahnya dari zina
telah selesai sehingga rahimnya benar-benar bersih.
Ø Sebagaimana
muslimah diharamkan untuk menikah dengan laki-laki non-islam maka diharamkan
pula menikah dengan pezina, kecuali jika telah berobat.
HUKUM-HUKUM KHITBAH (MELAMAR)
Lamaran disyariatkan sebelum menikah sehingga dua
calon mempelai saling mengenal satu dengan yang lain dan saling mengetahui.
Dengan demikian, pinangan dapat memberikan kesempatan untuk keduanya menimbang antara setuju dan tidsk,
baik dalam hal watak dan sifat, keinginan dan tujuan, maupun visi dan misi.
Syarat
Maju untuk Melamar
Ada dua syarat boleh dilamar:
1. Si wanita
bebas dari larangan syariat tentang haramnya menikah yang bersifat permanen
(tahrim muabbad) atau temporer (tahrim muaqqat).
2. Si wanita
tidak dalam posisi telah dilamar orang lain.
Melamar
Wanita yang Masih dalam Masa Iddah
Melamar
wanita yang sedang menjalani masa iddah talak bain (dalam dua macamnya) dengan
cara sindiran juga diperbolehkan karena mantan suami sudah tidak mempunyai
kekuasaan lagi. Melamarnya dengan sendirian tidak melanggar hak mantan suami
yang mencerainya. Dalam hal ini, serupa dengan wanita yang sedang menjalani
masa iddah sebab kematian.
Adapun
wanita yang sedang menjalani masa iddah talak raj’I, tidak boleh dilamar dengan
cara terang-terangan atau sindiran karena suami yang menceraikannya masih
mempunyai hak rujuk dalam masa iddah. Oleh karena itu, si wanita masih
dikatakan istrinya. Melamarnya merupakan penyerobotan hak suami.
Waniat
Melamar Laki-Laki dan Bolehnya Wali Melamarkan Anak Perempuannya Terhadap
Orang-Orang Shalih
Wanita boleh
melamar seorang laki-laki berdasarkan hadits bahwa seorang wanita datang kepala
Rasulullah saw, dan berkata, “Aku datang
untuk menghibahkan diriku untukmu.” Meskipun (akhirnya) Rasulullah tidak
menikahinya, tetapi beliau tidak mengingkari perbuatan itu.
Wali wanita
boleh juga melamarkan untuk wanita tersebut kepada orang yang terlihat baik dan
shalih, sebagaimana yang diceritakan oleh Allah bahwa Nabi Syu’aib melamarkan
salah satu dari anak perempuannya kepada Nabi Musa. Allah berkalam:
Dia (syekh madyan) berkata, “ Sesungguhnya
aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak
perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan
tahun….” (QS al-Qashash [28]: 27)
Wanita
Melamar Seorang Laki-Laki yang Telah Melamar Wanira Lain
Kasus
seorang wanita melamar laki-laki yang telah melamar wanita lain hukumnya sesuai
dengan beberapa keadaan. Dihukumi haram atau mubah bergantung pada keadaanya.
Apabila
wanita pelamar pertama bukan penyempurna dari jumlah yang disyariatkan bahwa
seorang laki-laki tidak boleh menambah, yaitu dari empat istri, dan laki-laki
tersebut tidak ingin membatasi diri hanya satu istri, lamaran wanita kedua
kepada lelaki tersebut tidak diharamkan. Hal itu karena laki-laki boleh
menikahi dua orang wanita bersamaan.
Melihat Wanita yang Hendak Dilamar dan Berkenalan
dengannya
“melihat “ yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah
“melihat” yang disyariatkan. Si pelamar diperbolehkan melihat wajah dan dua
telapak tangan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui ciri-ciri postur tubuh. Adapun yang lebih jauh dari itu bisa
dilakukan dengan memeriksa dan mengorek, semisal mengutus perempuan lain yang
dapat dipercaya untuk melakukan penyelidikan sehingga perempuan tersebut dapat
mengenali sifat-sifat si calon wanita.
Pascakhitbah
Khitbah hanya sebatas janji menikah dan bukan
pernikahan itu sendiri maka tidak ada hak seperti setelah pernikahan. Pihak
satu masih menjadi orang ajnabi (bukan mahram) bagi pihak yang lain dengan
pengeculian adanya hal yang dibolehkan syariat untuk keduanya, sebagainya yang
lewat penjelasannya.
Pengaruh Pembatalan Khitbah
Tidak ada pengaruh apa pun dalam pembatalan khitbah,
kecuali jika wanita yang dilamar dirugikan dari segi materi. Pengadilan Mesir
pada tahun 1939 M telah menetapkan bahwa apabila pihak pelamar merugikan pihak
yang dilamar secara materi, seperti
permohonan kepada pihak yang dilamar untuk meninggalkan tugasnya, lalu dia juga
meninggalkan atau menuntut barang perkakas tertentu dan membeli sesuai dengan
keinginannya, kemudian (ternyata) dia membatalkan khitbah maka pihak yang
dilamar berhak mendapat ganti dari kerugian tersebut.
Di sinilah letak keadilan dan kebijaksanaan sehingga
pihak laki-laki yang memberikan hadiah tidak terbebani rasa sakit hati sebab
pembatalan khitbah, juga kerugian finansial apabila pembatalan berasal dari
pihak perempuan. Begitu pula sebaliknya, pihak perempuan yang menerima hadiah
tidak terbebani rasa sakit hati karena khitbah dibatalkan dan keharusan
mengembalikan hadiah apabila pihak laki-laki yang membatalkan khitbah.
MAHAR (MASKAWIN) DAN HUKUMNYA
Mahar adalah salah satu hak mempelai wanita yang
diwajibkan Al-Quran. Mempelai wanita berhak melakukan apa pun terhadap mahar karena
benda ini murni miliknya. Dia bebas mempergunakannya tanpa intervensi siapa
pun.
Ukuran Mahar
Ukuran mahar harus sesuai dengan keadaan para pemuda
secara sosial dan budaya lokal masing-masing serta nalar. Mahar tidak ada
ukuran maksimal berdasarkan kalam Allah Ta’ala:
….sedang kamu
telah memberikan kepala seorang diantara mereka harta yang banyak….(QS an-Nisa’
[4]: 20)
adapun batas minimal mahar adalah semua benda yang
dikategorikan harta walaupun sedikit bisa dijadikan mahar. Ini berdasarkan
kalam Allah Ta’ala:
… Dan dihalalkan
bagikan selain ( perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha
dengan hartamu..(QS an-Nisa’ [4]: 24)
.. dan
berilah mereka maskawin yang pantas… (QS an-Nisa’ [4]: 25)
Akad Nikah tanpa Menyebut Mahar
Pernikahan yang tidak menentukan mahar, hukum akadnya
tetap sah karena mahar bukannya syarat ataupun rukun nkah.
Mahar dan Persiapan Tempat Hunian Suami Istri
Istri boleh mensyaratkan suami untuk melakukan
persiapan, tetapi dia tidak boleh mewajibkannya karena itu merupakan kewajiban
suami. Mahar yang diberikan adalah semata-mata hak istri demi melegalkan dan
menghalalkan jimaknya. Muslimin harus ptuh dengan syarat-syarat yang
persyaratan membatalkan adat istiadat yang berlaku.
Menyegerakan (Membayar Kontan) dan Menunda (Utang)
Pemberian Mahar
Membayar sebagian dan menunda sebagian nominal mahar
dengan syarat itu diperbolehkan, sebagaimana bolehnya membayar kontan atau
mengutang mahar. Apabila istri mensyaratkan suami agar membayar kontan, suami
wajib membayarnya pada saat akad nikah.
Mahar yang Disembunyikan dan yang Diberitahukan serta
Perselisihan Suami Istri dalam Menentukan Ukurannya
Dalam rangka mencegah terjadinya percekcokan yang
mengancam keutuhan pernikahan adalah dibuatnya suatu dokumen resmi yang
ditetapkan oleh petugas untuk menetapkan ukuran mahar.
Hubungan Mahar dengan Perceraian sebelum dan sesudah
Dukhul (Jimak)
Istri wajib mendapatkan setengah maharnya suami
menceraikannya sebelummengumpulinya. Ini berdasarkan kalam Allah Ta’ala:
Dan jika
kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah
menentukan maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan,
kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskanoleh orang yang akad nikah ada
di tanganya. Pembebasan itu lebih deka kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa
kebaikan di amtara kamu….(QS al-Baqarah [2]: 237)
Adapun jika diceraikan setelah jimak, istri wajib
mendapat mahar secara utuh. Ini berdasarkan kalam-Nya:
Dan
bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama
lain( sebagi suami istri=jimak). (QS an-Nisa’ 4[4]: 21)
Mut’ah
Yang dimaksud
mut’ah di sini adalah pemberian suami kepada istri yang diceraikan sesuai
kemampaun finansialnya untuk menghibur perasaannya.
Mut’ah wajib dberikan kepada setiap wanita yang
dicerai, kecuali wanita yang dicerai sebelum terjadinya jimak dan maharnya
telah ditentukan. Hal ini berdasarkan:
Dan bagi
perempuan-perempuan yang diceraikan hendaklah diberi mut’ah menurut cara yang
patut…(QS al-Baqarah [2]: 241)
Juga berdasarkan kalam-Nya tentang istri-istri Rasul:
…maka
kemarilah agar kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang
baik.(QS al-Ahzab [33]: 28)
Semua itri beliau telah berhubungan dengan beliau
sehingga ayat ini menunjukkan wajibnya pemberian mut’ah kepada istri yang sudah
digauli.
Adapun dalil tentang tidak wajibnya mut’ah bagi
istri-istri yang diceraikan sebelum jimak dan mahar telah ditentukan adalah
kalam Allah Ta’ala:
Tidak ada
dosa bagimu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri)
atau belum kamu tenntukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah…(QS
al-Baqarah [2]: 236)
PERNIKAHAN-PERNIKAHAN YANG RUSAK
Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah seorang laki-laki menikahi seorang
perempuan sampai waktu yang ditentukan atau dipersyaratkan menceraikannya dalam
satu waktu, misalnya satu atau dua bulan.
Rukun nikah mut’ah menurut Syiah Imamiyyah adalah:
1) Calon
istri: disyaratkan dari wanita muslimah atau kitabiah. Lebih diutamakan lagi
memilih wanita beriman yang ‘afifah (pandai menjaga kehormatan diri) dan
dibenci memilih wanita pezina.
2) Mahar
: harus disebutkan, cukup disaksikan, dan dengan syarat saling rela
3) Shighat
: seperti ucapan, “Aku mut’ahkan engkau” atau Aku nikahi engkau”
4) Jangka
waktu tertentu : ini manjadi syarat dan ditetapkan sesuai kerelaan, seperti
satu bulan atau satu tahun, tetapi wajib dibatasi.
Masih menurut Syiah Imamiyyah, ada beberapa hukum yang
berkaitan dengan nikah mut’ah, di antaranya:
1) Anak
ikut suami
2) Suami
istri tidak saling mewarisi. Adapu anak,
dia menjadi ahli waris bagi keduanya dan keduanya juga ahli warisnya.
3) Tidak
ada perceraian atau saling laknat.
4) Masa
iddahnya stelah lewat dua kali datang bulan atau haid dari masa habisnya nikah
mut’ah jika masih bisa haid. Apabila dia sudah menopause, masa iddahnya selama
empat puluh lima hari.
Nikah Tahlil
Pernikahan
dengan maksud penghalalan hukumnya batal. Pernikahan tersebut adalah pernikahan
yang sebenarnya (bukan sandiwara-pent) dan harus didasari rasa cinta kepada
perempuan tersebut dan misinya adalah pernikahan itu sendiri. Di dalamnya tidak
ada maksud supaya menghalalkan istri tersebut kembali kepada suami pertama.
Barang siapa
yang menikahi seorang wanita dengan maksud menghalalkannya kepada suami pertama
mak itu sama saja menjatuhkan dirinya pada laknat Allah dan sama saja
memosisikan dirinya seperti kambing pejantan.
Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menyikapi nikah
tahlil ini:
Jumhur
ulama berpendapat bahwa nikah ini haram hukumnya. Mereka
berdalil dengan hadist-hadist sebagaimana yang telah tersebut.
Al-Auza’I
berpendapat bahwa sangat untuk buruk perbuatannya, padahal nikah itu boleh.
Ahli ilmu
yang lain berpendapat pernikahan laki-laki lain (dengan
perempuan yang ditolak) itu boleh selagi tidak ada persyaratan (nikah tahlil)
dalam akad nikah.
Nikah Syighar
Nikah syighar adalah seorang laki-laki menikahkan
saudara perempuannya dengan orang lain dengan syarat orang tersebut harus
menikahkan saudara perempuannya dengannya.
AKAD NIKAH
Hak Mempelai Wanita dan Para Wali
Menurut jumhur ulama, kecuali para pengikut Mashab
Hanafi, keberadaan wali merupakan salah satu syarat sahnya nikah. Islam memang
memberikan hak saran atau hak tolak kepada para wali ketika mereka mengetahui
ada sesuatu yang jelek pada diri calon suami pelihannya yang tidak sekufu
baginya. Hal itu dapat dimaklumi karena akad nikah mempunyai keterkaitan dengan
anggota keluarga. Oleh karena itu, wali mempunyai hak campur tangan untuk
memberikan saran atau hak menolak dalam urusan kekeluargaan secara khusus.
Pelaksanaan Akad Nikah
akad nikah terdiri dari atas dua rukun mendasar, yaitu
ijab dan qabul. Ijab adalah ucapan dari satu pihak yang pertama (wali dari
perempuan), sedangkan qabul adalah ucapan dari pihak lain yang kedua (calon
mempelai laki-laki). Misalnya, ucapan calon istri atau wakilnya, “Aku nikahkan
kamu dengan orang yang mewakilkanku Fulanah dengan mahar sekian…” kemudian,
mempelai laki-laki menjawab, “Saya terima nikahnya dengan maar ini”. Ucapan
yang pertaam disebut ijab dan ucapan yang kedua disebut qabul.
Pesta Pernikahan
Islam sangat menganjurkan diadakannya pesta pernikahan
agar anggota keluarga dan kerabat dapat berkumpul bersama serta menikmati
acara-acara menggembirakan dan menyenangkan.
Nash-nash shahih yang jelas tersebut menunjukan
kebolehan nyanyian dalam acara-acara resepsi pernikahan dengan syarat nyanyian
tersebut tidak mengandung percintaan atau menodai rasa malu. Tarian-tarian dalm
batas menjaga etika dan kehormatan juga tak mengapa, sebagaimana orang-orang
Habasyah melakukannya di hadapan Rasulullah saw. Dan istrinya, Aisyah. Kisah
ini dikutip dalam hadist riwayat Bukhari.
Aqiqah
Apabila Allah menganugerahkan seorang anak kepada
pasangan suami istri, sangat dianjurkan untuk disembelihkan seekor kambing pada
hari ketujuh setelah kelahirannya. Apabila tidak
Memungkinkan
untuk mengadakan aqiqah pada hari yang ketujuh, boleh juga di hari keempat
belas atau kedua puluh satu dari kelahirannya.
Dianjurkan pula untuk memberikan nama yang bagus untuk
si bayi, menggundul rambut kepalanya jika bayi laki-laki, lalu dikeluarkan
shadaqah perak seberat rambut yang dicukur jika mampu.
Keluarga Berencana
Mengingat bagitu urgen pembahasan ini dan diiringi
dengan banyaknya perbedaan pendapat maka kami hanya mengemukakan
pendapat-pendapat yang jelas. Dengan demikian, para pembaca mampu menguasai
pembahasan ini sedetail-detailnya dan mampu mengikuti pandangan-pandangan yang
paling benar sesuai dengan pemahaman nash-nash Al-Quran dan Hadist Nabi serta
realita kehidupan.
Sebagian orang menyangka bahwa keluarga berencana sama
saja menentang kodrat Allah Ta’ala. Ini persangkaan yang salah sebab Rasulullah
saw. Menjelaskan kepada kita bahwa penciptaan dan keturunan bergantung pada
kehendak Allah. Keluarga berencana sama sekali tidak bertentangan dengan
kehendak ni. Perlu diketahui bahwa tak seorang pun mampu menghentikan kehendak
Allah walaupun dengan sebab-sebab yang ada di langit dan di bumi.
Inseminasi Buatan ( Bayi Tabung)
Masalah bayi tabung ini sudah tidak diragukan lagi,
bagitu penting dan amat pelik. Bagaimana tidak, praktik inseminasi buatan dalam
tabung uji menjadi tren di banyak rumah sakit dalam rangka mengatasi
infertilisasi (kemandulan) atau untuk tujuan lain yang bermacam-macam.
Dalam pelaksanaannya, inseminasi buatan dan bayi
tabung ada beberapa keadaan. Ada yang diperbolehkan dan ada yang dilarang.
Pertama, apabila inseminasi buatan merupakan pembuahan
antara sel telur wanita dan sel sperma suaminya sendiri, kemudian sel telur
yang telah dibuahi ditanamkan ke dalam rahim perempuan tersebut, itu diperbolehkan
menurut syara’.
Kedua, apabila inseminasi buatan merupakan pembuahan
antara sel telur wanita dan sel sperma laki-laki lain, itu dilarang oleh
syara’. Hal itu sama saja dengan zina
(hubungan kelamin antarlawan jenis diluar pernikahan). Dikatakan demikian
karena menanam air sperma laki-laki ajnabiyah (bukan suami) ke dalam suatu
lahan yang tidak ada hubungan tali pernikahan sesuai syariat antara pemilik
lahan.
Kasus inseminasi buatan yang ketiga, seorang istri
tidak bisa hamil karena ada masalah dalam rahimnya, tetapi sebenarnya sel telur
masih normal dan produktif. Kemudian, diambillah sel telurnya dan sel sperma
suaminya, lalu dibuahkan di dalam tabung uji. Setelah itu, hasil pembuahan
diambil dan ditanamkan ke dalam rahim perempuan lain (baik secara sukarela
maupun diberi kompensasi), sampai kemudian janin tumbuh di dalam rahimnya.
Setelah sampai pada umur kelahiran, bayi lahir secara alami. Kasus seperti ini
menurut hukum syara’ diperbolehkan.
No comments:
Post a Comment