DAFTAR
ISI
D. HUKUM-HUKUM KHUSUS
MUSLIMAH
E. PERNIKAHAN DAN
BERUMAH TANGGA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
PENGERTIAN
Wanita adalah saudara kandung pria. Hikmah syar'inya,
Allah yang Maha Bijaksana telah mengangkat anak Adam sebagai khalifah di muka
bumi dan untuk menyemarakkannya dengan syariat Allah. Kemudian diciptakan dari
jiwanya, wanita yang dapat membantunya menunaikan misi penting tersebut.
Allah
berfirman:
ومن
اينته، أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذالك
لايت لقوم يتفكرون
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir." (Ar-Rûm: 21)
Al-Qur'an telah mengisahkan kepada kita ragam
keadaan dan sikap kaum wanita. Allah memuji sikap istri Nabi Ibrahim, istri
Fir'aun, dan Maryam putri Imran. Al-Qur'an juga menyebutkan perasaan malu putri
Syu'aib. Maka tidak diragukan lagi bahwa di sana banyak kaum wanita yang pada
satu kondisi membantu penyebaran agama Islam dan menegakkan kebenaran dan pada
kondisi yang lain-membantu suaminya dalam menunaikan misi hidup di dunia.
Al-Qur'an juga menyebutkan jenis wanita lain yang
dicela oleh Allah, seperti istri Nabi Nuh, istri Nabi Luth, dan istri Al-Aziz
(penguasa Mesir pada zaman Nabi Yusuf-ed). Sehingga sejak pertama kali makhluk
diciptakan hingga diutusnya Nabi Muhammad , mereka berada di antara pasang dan
surut diutusnya para nabi dan rasul, dan beberapa masa dari wahyu..
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kewajiban Muslimah Terhadap Rabb-nya
v
Allah sebagai
satu-satunya zat yang harus diibadahi
Seorang muslimah
tentu mengakui Allah sebagai Rabb, Pencipta, Pemberi rezeki, dan Pengatur
segala urusannya. Semua akan kembali hanya kepada-Nya. Seperti yang jelas-jelas
dicontohkan dalam ucapan Sayyidah Hajar bersama putranya Ismail ketika
suaminya, Ibrahim, meninggalkan mereka di Mekah. Sesaat sebelum Ibrahim
bertolak, Hajar bertanya, "Apakah Allah yang memerintahkanmu, wahai
Ibrahim?" Ibrahim menjawab, "Benar." Hajar berkata, "Kalau
begitu, Dia (Allah) tidak akan menelantarkan kami."
Berdasar kisah ini,
seharusnya seorang muslimah mengerti bahwa hanya Allah satu satunya yang berhak
diibadahi. Setelah itu, seorang
muslimah hendaknya menunjukkan semua bentuk ibadah yang hanya kepada-Nya,
bertakwa kepada-Nya ketika sepi maupun ramai karena di dalam hatinya tertancap
kuat perasaan takut kepada Allah.
Kisah seorang
muslimah yang tidak taat perintah ibunya untuk mencampur susu dengan air
sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah kemudian kepada Umar, meski Umar tidak
melihatnya. Muslimah ini bukan tipe wanita yang taat kepada Allah di tempat
ramai lalu durhaka kepada-Nya di tempat yang sepi. Tetapi, itu adalah muraqabah
dzâtiyyah (perasaan bahwa dirinya selalu diawasi Allah) yang ditanamkan bersama
iman ke dalam kalbunya. Allah pun memberinya taufik dengan menjadikannya
sebagai nenek dari Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin yang adil.
Intinya, akidah
muslimah (yang benar) ialah yang sesuai dengan akidah salafussalih. Yaitu iman
kepada Allah, malaikat Nya, Kitab-Nya, para Rasul-Nya, percaya akan adanya hari
Akhir, dan percaya adanya qadha' dan qadar-Nya.
Seorang muslimah
pun yakin bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang sempurna lagi mulia, tidak
menyerupai satu pun dari makhluk-Nya dan tiada satu makhluk pun yang serupa
dengan Nya. Keyakinan itu dibarengi dengan penetapan sifat-sifat-Nya, seperti
yang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri dan seperti yang Rasulullah tetapkan
untuk-Nya. Yaitu dengan memahami makna maknanya dan meyakini bahwa sifat-sifat
Allah itu adalah sifat yang hakiki, tanpa penafsiran, penyerupaan, perumpamaan,
ataupun perusakan makna.
v
Ibadah Muslimah
Seorang muslimah
seyogianya selalu suci badan, pakaian, dan tempat shalatnya, meninggalkan
shalat dan puasa ketika haid (dengan memerhatikan waktu mulai dan berakhirnya
haid), mendirikan shalat pada waktunya dengan memahami syarat, rukun, dan
sunnah-sunnahnya, dan mengetahui waktu-waktu pilihan untuk menunaikan shalat
dengan sempurna. Selain itu, dia juga tidak meremehkan shalat-shalat sunnah,
baik yang rawatib maupun yang bukan rawatib, seperti shalat Dhuha dan Tahajud,
tanpa melalaikan kewajibannya terhadap suami dan keluarganya.
Dia tunaikan zakat
hartanya dengan penuh keridhaan. Bila belum mampu, dia bersedekah sesuai dengan
kemampuannya. Dia berikan zakat atau sedekahnya kepada orang yang memang berhak
menerimanya.
Muslimah seharusnya
merasa gembira dengan datangnya bulan Ramadhan. Dia berpuasa pada siang harinya
dan qiyamullail pada malam harinya. Dalam bulan ini, dia pun mencari satu malam
yang (nilai) ibadahnya lebih baik dari nilai ibadah 1.000 bulan. Dia juga biasa
berpuasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis, puasa ayyamul bidh (setiap tanggal
13, 14, 15 dari bulan Hijriyah), puasa pada tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah, puasa
Asyura, puasa Muharram, dan lain sebagainya. Meski demikian, dia tidak boleh
berpuasa sunnah sedang suaminya berada di rumah (tidak bepergian), kecuali jika
suaminya mengizinkannya.
Seorang muslimah
juga menunaikan ibadah haji dan umrah jika Allah memberinya kemudahan untuk
melaksanakannya dan itu merupakan jihadnya seorang muslimah. Dia juga boleh
ikut serta dalam peperangan bersama barisan kaum wanita lainnya, misalnya untuk
mengobati para mujahidin yang terluka serta menyediakan
makanan dan minuman. Dia bahkan boleh menghunus pedang untuk membela kehormatan
Islam dan kaum muslimin, seperti yang dilakukan beberapa shahabiyah yang ikut
berperang bersama Rasulullah. Beliau tidak melarang semua itu bahkan para
shahabiyah mendapat bagian dari ghanimah (harta rampasan perang).
Wanita seperti halnya pria,
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pahala atas ibadah yang dilakukannya
untuk Allah. Bisa jadi bahkan Allah akan melipatgandakan pahalanya sesuai
niatan dan ketekunannya dalam beribadah.
Allah berfirman:
فاستجاب لهم ربهم أني لا
أضيع عمل عمل منكم من ذكر أو أنثى بعضكم من بعض
"Maka
Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman),
"Sesungguhnya, Aku tidak menyia nyiakan amal orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah
turunan dari sebagian yang lain"
(Ali 'Imrân: 195)
2. Kewajiban Muslimah Terhadap Nabi
Seorang
muslimah mengimani bahwa Muhammad adalah Nabi dan Rasul, penutup para Nabi dan
Rasul. Dia yakin bahwa. Nabi Muhammad telah menyampaikan risalah, menunaikan
amanah, dan menasihati umat. Melalui beliau, Allah menyingkap tabir kegelapan
dan beliau meninggalkan umat ini di atas jalan yang terang, malam bagai siang,
dan tiada seorang pun yang menyimpang darinya, kecuali pasti akan celaka.
Muslimah pun meyakini bahwa Nabi telah menjelaskan syariat Islam dengan
sejelas-jelasnya, berjuang di jalan Allah dengan sebenar benarnya, dan menuntun
umat dengan tuntunan yang sempurna hingga Allah mewafatkan beliau dalam naungan
ridha-Nya.
3. Kewajiban Muslimah Terhadap Dirinya
Wanita mempunyai unsur yang sama
dengan pria, terdiri atas tubuh,a akal, dan ruh. Ketiga unsur ini mempunyai hak
yang harus di penenuhi, yaitu:
v Perawatan tubuh (fisik)
Muslimah dituntut menjadi sosok
berpengaruh yang jelas di dalam rumahnya, baik saat dia berstatus sebagai ibu,
anak perempuan, atau saudara perempuan. Semestinya dia memiliki ciri khas yang
membedakannya dengan yang lain dari segi akhlak, agama, dan penampilan. Maka
dia harus memerhatikan penampilan fisiknya, di antaranya dengan menjaga pola
makanan dan minumnya,
Agar badan tetap sehat dan tidak
gemuk, seorang muslimah juga harus berolahraga dengan olahraga yang disenangi
dan yang layak baginya. Dia juga harus memerhatikan kebersihan dirinya dengan
mandi dan menjaga kebersihan pakaian dan rambut. Rasulullah menganjurkan
umatnya untuk melakukan hal itu. Rasulullah bersabda di dalam hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah, "Wajib bagi setiap muslim untuk mandi (minimal)
satu kali dalam seminggu, dia bersihkan kepala dan sekujur tubuhnya."
Perintah ini ditujukan untuk umum, pria dan wanita, namun wanita lebih
memerlukannya daripada kaum pria.
Aisyah pun senantiasa menjaga
kebersihan mulut dan gigi, sampai-sampai terdengar bunyi siwaknya saat dia
membersihkan giginya. Urwah berkata, "Kami mendengar bunyi siwaknya ketika
dia membersihkan giginya." Rasululullah bersabda, "Kalaulah (bukan
karena takut) aku akan memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk
bersiwak setiap kali (hendak) shalat."?
Rasulullah menjelaskan bahwa bau
tidak sedap (dari mulut) juga mengganggu malaikat, seperti halnya mengganggu
manusia, "Barang siapa memakan bawang merah, bawang putih, atau bawang
bakung maka janganlah dia mendekati tempat kami shalat karena Malaikat akan
terganggu (karena baunya) sebagaimana (terganggunya) anak Adam."
v Perawatan Akal
Kebodohan adalah wabah penyakit
yang berbahaya dan obatnya hanyalah ilmu. Ilmu yang besar manfaatnya dan bnayak
keberkahannya adalah ilmu agama.
Menurut kesepakatan para ulama,
nash-nash di atas bersifat umum, termasuk di dalamnya wanita. Karenanya, kita
melihat Aisyah lebih fakih (faham) dari kebanyakan shahabat laki-laki maupun
perempuan. Aisyah juga memuji wanita Anshar dengan kebaikan karena mereka
selalu menanyakan berbagai perkara agama mereka dan tidak ada yang menghalangi
mereka (untuk bertanya). Aisyah berkata tentang mereka, "Sebaik-baik
wanita adalah wanita Anshar, sifat malu tidak menghalangi mereka untuk
bertafaqquh fiddin (menuntut ilmu). "Mereka bahkan meminta Rasulullah,
satu hari khusus karena melihat kaum laki-laki telah mendominasi waktu beliau. Mereka
berkata kepada Rasulullah, "Jadikan buat kami satu hari untuk belajar
darimu, laki-laki telah mendominasi engkau." Rasulullah berkata,
"Tempat kalian (ada) di rumah si Fulanah." Beliau lantas mendatangi
mereka di rumah tersebut kemudian beliau memberi pelajaran, peringatan, dan
mengajarkan ilmu kepada mereka."
Pertama-tama yang harus dipelajari
seorang muslimah ialah membaca Al-Qur'an dan memahami makna-maknanya, menghafal
hadits-hadits hukum (sesuai kemampuan), menelaah Sirah Nabawiyah, riwayat hidup
ummahatul mukminin dan shahabiyah serta para pengikutnya, dan memahami agama
secara mendalam (pemahaman tentang iman dan hukum).
Inilah hal-hal penting yang
dituntut syariat untuk dipelajari karena termasuk dalam faridhah yang
diisyaratkan Nabi dalam sabdanya, "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap
muslim."
Selanjutnya, muslimah tidak
dilarang setelah menguasai ilmu ilmu tersebut untuk mendalami ilmu lain yang
diminatinya dan bermanfaat untuk kaumnya. Tentunya dengan tetap mengindahkan
batasan-batasan syar'i dan dalam koridor yang dibolehkan syariat. Agama Islam
senantiasa mendorong umatnya untuk membaca dan menelaah, utamanya yang
berkenaan dengan peninggalan para ulama salaf, seperti syarah (penjelasan
penjelasan), matan, dan hasyiyah (catatan kaki).
4.
kewajiban Wanita Terhadap Orang Tuanya
Nabi
menjelaskan bahwa berbakti kepada orang tua lebih besar pahalanya daripada
jihad di jalan Allah jika jihad itu tidak berhukum fardhu ain, sebagaimana
durhaka kepada keduanya dianggap sebagai dosa yang paling besar." Di
samping itu, durhaka kepada ibu-bapak juga termasuk di antara dosa-dosa yang
balasannya disegerakan di dunia.
Karenanya, seorang muslimah harus memenuhi hak-hak
orang tua, berbakti kepada keduanya, menaati keduanya selama tidak bermaksiat
kepada Allah, dan membantu semampunya saat keduanya masih hidup. Setelah
keduanya meninggal dunia, dia harus masih menyambung tali silaturahmi dengan
teman-teman orang tuanya, bersedekah atas nama keduanya, dan berdoa untuk
keduanya. Itu semua merupakan hak orang tua.
Betapa pun seseorang memuliakan kedua orang
tuanya-itu memang hak mereka-, Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits sahih,
"Seseorang (belum dianggap) membalas (kebaikan) orang tuanya, kecuali bila
dia mendapatinya sebagai seorang budak lalu dia membelinya dan
memerdekakannya,"
Seorang
muslimah pun mengetahui bahwa berbakti kepada ibu lebih didahulukan karena
syariat telah memberikan hak tiga banding satu dari ayah."
Intinya,
Islam telah menempatkan derajat orang tua dan berbakti kepada keduanya berada di
antara dua amalan paling utama yang dikerjakan seorang muslim, yaitu menegakkan
shalat dan jihad fi sabilillah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam
Bukha bahwa Rasulullah pernah ditanya, "Amalan apakah yang paling Allah
suka?" Beliau menjawab, "Shalat tepat pada waktunya."
"Kemudian apa?" beliau ditanya lagi. "Berbakti kepada kedua
orang tua," jawab beliau. "Kemudian apa?" "Kemudian, jihad
di jalan Allah," jawab beliau.
5.
Kewajiban Muslimah Terhadap Suaminya
Islam
memuliakan ikatan pernikahan, menjaganya dengan pagar yang kokoh, serta
menjadinya sebagai salah satu tanda kebesaran-Nya.
Allah berfirman:
ومن
ايته، أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة .
"Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang."
(Ar-Rûm: 21)
Suatu kalimat sederhana, yang dengannya Allah
menghalalkan berbagai perkara yang sebelumnya haram bagi mereka berdua.
Kemudian tumbuh rasa saling memahami antara suami dan istri dalam menjalani
roda kehidupan. Inilah yang menguatkan ikatan pernikahan yang dengan ikatan ini
akan lestari keturunan anak manusia dan akan terjadi proses pergantian generasi.
pria atas wanita dan pilihan wanita atas pria.
Karenanya, syariat mewajibkan persetujuan bagi wanita berakal dan telah balig.
Jika dia tidak memberi persetujuan dan tidak ridha dinikahi, dia boleh memilih.
Sebagaimana disebutkan dalam kisah Al-Khansa binti Khidam. Masalahnya bahkan
lebih dari itu. Kisah Barirah ketika dia telah dimerdekakan dan suaminya masih
berstatus sebagai budak. Barirah memilih untuk berpisah dengan suaminya karena
tidak suka kepada suaminya, Rasulullah pun tidak memaksanya, meski suaminya
sangat mencintainya."
Wanita bebas memilih, tetapi siapakah yang layak dia
pilih? Seorang muslimah hendaknya mengutamakan orang yang beragama dan
berakhlak mulia daripada yang lainnya. Begitu pula dirinya yang juga
dipilih-oleh calon suami-karena kekayaannya, kecantikannya, keturunannya, dan
agamanya. Ujung-ujungnya, yang beruntung ialah yang memilih wanita karena
agamanya. Demikian juga bagi wanita, dia akan beruntung jika memilih pria yang
beragama (dzátu ad-dîn).
Di dalam ajaran Nabi Muhammad, sujud hanya boleh
dilakukan kepada Allah. Hadits ini menerangkan kedudukan dan derajat seorang
suami, sampai-sampai Rasulullah menjadikannya sebagai jalan surga dan neraka
bagi seorang istri. Beliau juga menjelaskan bahwa melayani suami dengan baik,
setara dengan nilai fi sabilillah.
Sungguh bentuk ketaatan paling utama dari seorang istri
salihah kepada suaminya dan merupakan bentuk baktinya kepada suaminya ialah
hendaknya dia memenuhi berbagai keinginan suami, seperti yang telah
disyariatkan. Yaitu hak untuk menikmati kehidupan bersuami-istri dengan utuh
dan sempurna serta bergaul dengannya secara baik karena memang inilah tujuan
pokok pernikahan. Seorang istri salihah hendaknya memerhatikan kegemaran suami
dalam hal makanan, pakaian, ziarah, obrolan, dan semua yang terlihat dalam
kesehariannya. Apabila setiap istri memenuhi keinginan suami maka kehidupan
mereka akan semakin bahagia, tenteram, dan penuh kedamaian. Namun, jika sang
istri durhaka kepada suaminya dan tidak memenuhi haknya maka sang istri berada dalam
laknat Allah dan Malaikat sehingga suaminya meridhainya. Puasa sunnah bahkan
tidak boleh dilakukan seorang istri jika dia sedang bersama suaminya, kecuali
dengan izin suami.
6.
Kewajiban Muslimah Terhadap Anak-Anaknya
Anak-anak adalah perhiasan kehidupan
dunia. Kehidupan adalah pentas yang menampilkan detail kehidupan manusia.
Kehidupan dunia bukan kehidupan terakhir, tetapi sesudahnya masih ada kehidupan
lain.
Seorang muslimah tentu mengerti
tanggung jawabnya dalam mendidik putra-putrinya dengan akhlak yang mulia.
Perkara paling penting yang harus dia ajarkan kepada putra-putrinya adalah
melaksanakan shalat tepat waktu. Jika dia meremehkan urusan ini, tentu
urusan-urusan mereka yang lain pasti diremehkan pula.
Umar
berkata tentang masalah shalat, "Barang siapa menjaganya maka untuk urusan
yang selainnya (shalat) juga dia pasti lebih menjaganya, dan siapa yang
menyia-nyiakannya maka untuk urusan yang lainnya pun pasti akan dia
sia-siakan."
Sejauh mana seorang ibu terdidik dan tertarbiyah
dengan ilmu dan pemahaman: akhlak mulia, perangai, dan tabiat yang baik, sejauh
itu pula dia akan mendidik putra-putrinya untuk mempunyai cita-cita yang
tinggi, semangat untuk maju dan berprestasi. Telah lahir para ulama dan ahli
hikmah yang menonjol di bidang ilmu dan keadilannya. Ternyata di belakang
mereka terdapat para ibu yang agung. Di antara mereka ialah Imam Asy Syafi'i
dan Umar bin Abdul Aziz ak.
Ibu yang sukses akan bekerja sama dengan suami untuk
mendidik putra-putrinya. Keduanya akan saling membantu dalam mencari solusi
dari setiap permasalahan yang ada, baik yang telah terjadi maupun yang
disinyalir akan terjadi, hingga bisa teratasi sebelum hal itu terjadi.
Pastinya, seorang anak selalu bersama ibunya pada
masa-masa pertumbuhan dan prasekolah. Ibulah orang yang menanamkan makna-makna
mulia tentang Rabb-nya, Nabinya, agamanya, orang tuanya, masyarakat, dan
umatnya. Bila seorang ibu berhasil menanamkan hal itu kepada anaknya maka dia
laksana sebuah madrasah; dan madrasah ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi
anak di sepanjang hidupnya.
7.
Kewajiban Muslimah terhadap anak-anaknya
Anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.
Kehidupan adalah pentas yang menampilkan detail kehidupan manusia. Kehidupan
dunia bukan kehidupan terakhir, tetapi sesudahnya masih ada kehidupan lain.
Allah
berfirman:
يأيها
الذين ءامنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملتبكة غلاظ شداد
لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون
"Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintalikan."
(At-Tahrîm: 6) Rasulullah bersabda:
مروا
أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم أبناء عشر وفرقوا بينهم في
المضاجع
"Suruhlah
anak-anakmu untuk shalat pada umur tujuh tahun, pukullah mereka (karena
meninggalkannya) pada umur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur. mereka.
"
Seorang muslimah tentu mengerti tanggung jawabnya
dalam mendidik putra-putrinya dengan akhlak yang mulia. Perkara paling penting
yang harus dia ajarkan kepada putra-putrinya adalah melaksanakan shalat tepat
waktu. Jika dia meremehkan urusan ini, tentu urusan-urusan mereka yang lain
pasti diremehkan pula.
Umar berkata tentang masalah shalat, "Barang
siapa menjaganya maka untuk urusan yang selainnya (shalat) juga dia pasti lebih
menjaganya, dan siapa yang menyia-nyiakannya maka untuk urusan yang lainnya pun
pasti akan dia sia-siakan."
Sejauh mana seorang ibu terdidik dan tertarbiyah
dengan ilmu dan pemahaman: akhlak mulia, perangai, dan tabiat yang baik, sejauh
itu pula dia akan mendidik putra-putrinya untuk mempunyai cita-cita yang
tinggi, semangat untuk maju dan berprestasi.
8.
Kewajiban Muslimah Terhadap Karib Kerabat Dan Tetangga
Islam sangat menghormati ikatan
rahim dan Allah mengambilnya sebagai salah satu nama-Nya. Allah pun berjanji
akan menyambung (ikatan) dengan siapa yang menyambung (ikatan rahim) dan akan
memutus (ikatan) dengan siapa yang memutuskannya.
Muslimah juga
mempunyai tetangga, sahabat, dan handai taulan yang harus dia kunjungi dan
berinteraksi dalam batasan waktu dan kewajiban yang boleh baginya.
·
Pertama-tama, yang
wajib muslimah lakukan terhadap masyarakatnya ialah bersilaturahmi dan
mempererat ikatan dengan karib kerabat pada kesempatan waktu-waktu khusus dan
hari-hari besar agama, berkumpul dengan keluarganya dan keluarga suami dalam
suka dan duka.
Muslimah juga
mempunyai tetangga, sahabat, dan handai taulan yang harus dia kunjungi dan
berinteraksi dalam batasan waktu dan kewajiban yang boleh baginya. Waktu yang
digunakan bersama tetangga, teman, dan handai taulan diatur dengan aturan
syariat. Muslimah hendaknya menjauhkan diri dari ghibah (gunjing) dan namimah
(adu domba). Sebaliknya, justru dia harus mengajak para tetangga dan sahabatnya
pada perkara-perkara yang semestinya dilakukan oleh kaum muslimah, seperti
mempelajari Al-Qur'an, hadits, dan Sirah Nabawiyah. Kemudian juga membahas
persoalan yang bermanfaat, meski itu hanya pada sisi-sisi kehidupan rumah
tangga, seperti belajar cara memasak, mengatur ekonomi rumah tangga, membahas
berbagai masalah dan mencari solusinya yang tepat, menjadi penengah jika ada
masalah antara mereka dengan suami mereka. Sebab, jika sebagian wanita semoga
Allah menunjuki mereka mendengar permasalahan rumah tangga orang lain, mereka
malah menambah "lumpur basah" dan "menyalakan bara api".
Seyogianya, seorang muslimah yang mencintai Allah, Rasul, dan agaman-nya berupa
menyelesaikan prahara dan memperbaiki keadaan.
·
Muslimah dengan para
tetangga juga harus saling membantu dalam kebaikan dan belajar bersama. Di
antara mereka, barangkali ada yang mempunyai kekurangan dalam ilmu, amal, atau
harta. Maka yang lain pun berusaha membantunya mencarikan solusi dan bekerja
sama dalam program taklim, mengisi kekurangan, dan mendermakan sebagian harta
untuk memecahkan masalah ekonomi. Betapa banyak wanita yang
menghambur-hamburkan hartanya di jalan yang haram atau berlebih-lebihan dalam
memenuhi kebutuhan sekunder, sementara yang lain berada dalam kemiskinan.
Dengan belajar
dan saling menasihati akan timbul kesadaran untuk membantu orang yang
membutuhkan harta. Maka tumbuhlah sebuah masyarakat yang penuh kebahagiaan dan
jauh dari sifat dengki dan loba.
Persoalan-persoalan
ini tidak jauh berbeda dengan kewajiban utama seorang muslimah terhadap
Rabb-nya, agamanya, suami, dan rumah tangganya. Semuanya memiliki hak
sendiri-sendiri. Jika dia mampu mengatur waktu, menyusun dia pasti akan mampu
menunaikan kewajibannya dengan
Suami pun bisa
berperan, dia bisa mengulurkan tangan membantu istri, anak, dan saudara
perempuan yang ingin melakukan aktivitas dakwah atau kemasyarakatan dengan
memberikan motivasi dan bantuan jika dibutuhkan.
·
Seorang Muslimah
hendak selalu waspada terhadap akibat buruk karena berbuat tidak bak terhadap
tetangga.
PASAL
2
Hak-hak
yang bersifat umum
v Pengertian hak dan penjelasan tentang sumbernya
Menurut bahasa hak berarti ketetapan dan
kesesuaiannya dengan realita. Menurut istilah, hak adalah hal-hal yang
ditetapkan dengan ketentuan syar'i dan kecenderungan untuk menerapkannya.
Sumber penetapan hak adalah syariat, yakni apa yang
tercantum dalam nash-nash Al-Qur'an, hadits, atau ijmak ulama. Dengan demikian,
penerapan hak harus sesuai dengan aturan syariat, dan tidak boleh mengada-ada
dalam agama Allah.
v Tujuan pelaksanaan hak
Artinya, hidup seorang mukallaf" harus sesuai
dengan apa yang disyariatkan. Allah menciptakan makhluk untuk beribadah
kepada-Nya. Maka sudah semestinya seorang hamba memenuhi semua yang Allah minta
darinya atau dari orang lain. Jika seorang hamba kemudian menyalahi tuntutan
itu, berarti dia menentang syariat Allah dan perbuatannya ini tidak dibenarkan.
Contoh, penipuan yang terjadi dalam jual beli.
Misalnya, si-A ingin menjual barang seharga 900 dengan harga 1.000, tetapi
dengan ditangguhkan. Dia pun membungkusnya dan menjualnya seharga 1.000 dengan
tangguhan. Barang itu kemudian dibeli oleh si-B dengan harga 1.000 dengan cara
ditangguhkan. Setelah itu, si-A membeli lagi barang itu dari si-B seharga 900
tunai (sehingga si-B menjadi punya hutang padanya 1.000). Perbuatan ini tidak
sesuai dengan tujuan syariat maka ini adalah amal yang batil.
v Urutan hak dan bagaimana menunaikannya agar seimbang
Maksud mengurutkan hak ialah
melakukan satu hak sebelum menunaikan hak yang lainnya; dan ini hanya dapat
diketahui dengan timbangan syariat. Maka barang siapa yang berdasarkan syariat,
dia lebih berhak diutamakan daripada yang lainnya, wajib bagi mukallaf untuk
mendahulukannya dari yang lain, dalam hal ini ada beberapa kaidah:
·
Pertama: hak Jamaah
(bersama) lebih diutamakan daripada hak pribadi dan ini berkaitan dengan
kemaslahatan umum. Contoh, seseorang yang memiliki bahan makanan untuk dijual,
tetapi dia menahannya sampai tiba masa krisis. Saat orang sudah sangat
membutuhkannya, dia wajib menjualnya dengan harga yang berlaku. Tidak boleh ada
mudarat dan memudaratkan (menaikkan harganya).
·
Kedua: mengutamakan
fardhu ain daripada fardhu kifayah, seperti lebih mendahulukan menafkahi istri
daripada bersedekah untuk jihad.
·
Ketiga: mendahulukan
yang wajib daripada yang sunnah dan yang lebih wajib dari yang wajib.
Secara keseluruhan, perkara syariat datang dengan
adil, seimbang, dan tidak ada satu aspek pun yang diabaikan. Nabi bersabda,
"Sesungguhnya, Rabb-mu itu mempunyai hak atasmu, dirimu juga mempunyai
hak atasmu, dan istrimu juga mempunyai hak atasmu; maka berikanlah (haknya)
kepada siapa yang memilikinya,"
Hikmahnya ialah bahwa Allah yang Maha Bijaksana
ingin agar manusia sampai pada tingkatan sempurna yang ditentukan untuknya,
yaitu dengan menjadikannya sebagai hamba yang ikhlas terhadap Allah dalam
segala tabiatnya, keyakinannya, kecenderungannya, pola hidupnya, tindak-tanduknya,
dan semua perbuatan serta kebiasaannya.
v Menghilangkan kemudaratan dengan menunaikan hak
Ada sebuah kaidah fiqhiyah yang
berdasar pada hadits Nabi "La dharara wa la dhirâra (Tidak boleh ada
mudarat dan memudaratkan)." Mengambil hak dalam syariat, terikat
dengan tiadanya kemudaratan terhadap yang lain.
Contoh: seseorang berhak membangun rumah di atas
tanahnya sendiri sebagai tempat tinggal, tetapi dia tidak boleh memudaratkan
tetangganya. Ini karena kaidah mengatakan bahwa tidak boleh ada mudarat dan
memudaratkan, dan mudarat itu harus dihilangkan.
v Syariat menyamakan hak dan kewajiban pria dan wanita
Allah berfirman:
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin
dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka" (Al-Ahzâb: 36)
إن المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات والفنتين
والقانتت والصدقين والصدقت والصبرين والصبرت والخشعين والخشعت والمتصدقين والمتصدقت
والصليمين والصليمات والحفظين فروجهم والحفظت والذاكرين الله كثيرا والذاكرات أعد الله
لهم مغفرة وأجرا عظيما
"Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan yang
muslim, laki laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap
dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan
yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekaht, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki laki dan perempuan
yang memelihara kehormatannya, laki laki dan perempuan yang banyak menyebut
(nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang
besar." (Al-Ahzâb: 35)
Wanita pun menjadi objek dari perintah-perintah
syar'i, seperti halnya pria. Pahala diperuntukkan bagi siapa yang beramal
dengan ikhlas dan sempurna. Rasulullah diutus sebagai rahmat bagi sekalian
alam. Namun, hal ini tidak menafikan adanya pembedaan antara pria dan wanita
dalam beberapa hak karena perbedaan dasar hak-hak itu.
Hak poligami ditetapkan untuk pria dan terlarang
bagi wanita (dalam satu waktu) karena pada wanita terdapat penghalang yang
tidak ada pada pria. Wanita mengalami hamil, selain itu, poliandri akan
mengacaukan nasab (garis keturunan). Wanita adalah tempat untuk merasakan
kenikmatan. Meski demikian, kadang kala dia mempunyai uzur yang dimaklumi
sehingga "memaksa" suaminya menyalurkan hasratnya kepada wanita lain.
Selanjutnya, syariat juga mempunyai tujuan yang mulia, yaitu ingin memperbanyak
keturunan, yang nantinya akan memakmurkan bumi Allah dengan syariat-Nya, dan
ini hanya akan terwujud dengan poligami. Jika wanita berpoliandri, hal itu akan
mengakibatkan banyak bermunculan penyakit menular dan akan mengobarkan api
cemburu di antara pria, yang tentu dapat menyebabkan banyak masalah. Memang
demikianlah Allah menciptakan laki-laki dan perempuan. Allah, Dialah Zat Yang
Maha Mengetahui.
Dari penyamaan hak dan kewajiban ini kemudian muncul
beberapa masalah yang harus dicermati:
1)
Kebebasan pribadi
Maksudnya ialah kebebasan manusia untuk pergi dan
pulang dengan aman, tidak khawatir terhadap keselamatan dan kehormatannya dari
berbagai gangguan. Begitu pula seseorang tidak boleh ditangkap, dipenjarakan,
dan dihukum tanpa alasan yang benar. Kebebasan itu pun mencakup hak untuk
pindah dan keluar-masuk suatu negeri dengan aturan-aturan syar'i.
Kebebasan ini sangat penting bagi manusia karena
Allah telah memuliakan bani Adam. Menjadi hak manusia untuk menikmati haknya
(kebebasan), sedangkan merampasnya. berarti merebut kemanusiaan dan haknya.
Meski demikian, bertindak melampaui batas adalah sebuah kezaliman dan kezaliman
itu haram.
Karena itu, Allah mengharamkan hamba-Nya membunuh
jiwa yang diharamkan untuk dibunuh, kecuali dengan alasan yang benar. Ini
terjadi pada masa jahiliyah, yaitu berupa mengubur hidup-hidup anak perempuan.
Allah berfirman, "Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup
ditanya karena dosa apakah dia dibunuh." (At-Takwir: 8-9)
Allah juga mensyariatkan qishas demi menjaga hak
untuk hidup. Allah berfirman, "Dan dalam qishas itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa." (Al-Baqarah: 179)
Allah juga menerangkan tentang hak membela diri dan
menetapkan bahwa seorang terdakwa itu bebas sampai terbukti kesalahannya. Islam
bahkan menjamin kebebasan pribadi kafir dzimmi yang hidup di bawah naungan
kekuasaan kaum muslimin, mereka dengan membayar jizyah, menaati peraturan yang
ditetapkan kepada mereka, dan tidak boleh berkhianat.
Islam juga memberi jaminan kebebasan kepada kaum
wanita untuk bepergian dengan aturan-aturan syar'i. Jika bepergiannya itu hanya
keluar rumah dan masih di sekitar tempat tinggalnya, hendaklah dengan seizin
walinya. Rasulullah melarang menghalangi wanita yang ingin shalat ke masjid.
Beliau bersabda, "Jangan kalian melarang para wanita hamba-hamba Allah
(untuk mendatangi) masjid Allah." Tentu saja keluarnya wanita dengan tetap
memerhatikan ketentuan-ketentuan syar'i. Pembahasan ini telah disebutkan
sebelumnya. Adapun jika kaum wanita melakukan safar (bepergian jauh)
maka dia harus disertai mahram. Ini berdasar
keumuman sabda Rasulullah yang melarang wanita bersafar tanpa mahram. Sabda
Nabi:
"Tidak dibolehkan bagi wanita yang beriman
kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan safar sejauh sehari perjalanan,
kecuali bersama mahram. "
2)
Hak rumah sebagai
tempat privasi
Manusia membutuhkan tempat tinggal sebagai tempat
berlindung, beristirahat, dan melepas lelah. Di dalamnya dia bebas berpakaian
(apa saja), tinggal, dan tidur.
Hak ini telah diakui dan dijaga oleh syariat Islam.
Karenanya, wajib bagi siapa saja yang ingin masuk ke dalam rumah orang lain
untuk meminta izin terlebih dahulu dan mengucap salam kepada tuan rumah. Boleh
masuk jika diizinkan dan harus pulang jika tidak diizinkan dengan tiada kecewa.
Selanjutnya, syariat memagari rumah-rumah itu dengan
penjagaan, seseorang tidak boleh memata-matai dan mengintip rumah orang lain.
Allah berfirman, “...Dan janganlah mencari-cari keburukan orang..."
(Al-Hujurât: 12) Rasulullah melarang perbuatan ini dan membolehkan untuk
mencukil mata orang yang mengintip (mencari-cari aib) orang lain di dalam rumah
mereka.
Namun, ada hak khusus bagi petugas hisbah (para
pelaksana amar makruf nahi mungkar) jika mereka mengetahui ada kejahatan di
dalam sebuah rumah. Seperti jika dia melihat ada seorang pria berduaan dengan
seorang wanita dan mereka berzina di dalam rumah itu. Atau dia melihat seorang
laki laki yang ingin membunuh laki-laki lainnya di dalam rumah itu, atau tindak
kriminal lain yang sejenis. Jika demikian, privasi rumah tak lagi dapat
menghalangi seseorang untuk memasukinya guna mencegah kemungkaran yang terjadi
di dalamnya, seperti kasus yang disebut di atas.
3)
Hak mengemukakan
pendapat
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa Islam tidak
memaksakan keyakinan seseorang. Islam bahkan memberi kesempatan untuk meyakini
apa yang seseorang mau. Tetapi, Islam memberi batasan dan pedoman tentang
akidah yang benar dan balasan bagi yang berpegang teguh, ancaman bagi yang
mengingkarinya, dan tidak membenci orang kafir atas agama yang dianutnya
(tentunya orang kafir yang tidak mengganggu keberadaan kaum muslimin-ed.).
Jihad disyariatkan untuk menegakkan kalimat Allah,
menyebarkan tauhid, dan menerapkan hukum syariat di tengah-tengah manusia. Maka
harus dihilangkan setiap aral yang menghalangi antara Islam dan manusia. Jika
pasukan kaum muslimin mampu menghancurkan aral yang menghalangi antara Islam
dan manusia, mereka dibiarkan hidup bersama akidah yang diyakini.
Setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, berhak mengemukakan pendapat
dengan sebebas-bebasnya selama hal itu bertujuan untuk membela kebenaran,
menjatuhkan yang batil, dan masih dalam ketentuan syariat. Dengan begitu,
berarti dia sedang menjalankan hukum Allah dan berdiri untuk membelanya, tidak
didorong nafsu syahwat, pun tidak dibutakan hawa nafsu. Pendapat yang
disampaikan juga tidak boleh yang dapat menimbulkan fitnah atau mencelakai
agama. Sekarang ini banyak sekali orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan,
mereka belajar di negara-negara barat yang berlebihan dalam mendefinisikan
"kebebasan berpendapat" sehingga mereka melanggar batasan yang telah
ditetapkan syariat.
Manusia tidak dilarang berbeda pendapat, selama
masih dibarengi sikap saling menghormati dan menghargai. Namun, jika pendapat
itu malah menyulut terjadinya fitnah maka perbedaan itu menjadi terlarang. Ini
seperti yang dilakukan Ali terhadap golongan Khawarij. Ali mengajak mereka
untuk bermusyawarah, dia mengutus Ibnu Abbas untuk berdiskusi dengan
orang-orang Khawarij sehingga sebagian mereka ada yang kembali ke jalan yang
benar. Adapun mereka yang bersikap sombong dan tetap membangkang, Ali memohon
pertolongan kepada Allah untuk menghadapi mereka. Ali lantas memerangi dan
memusnahkan sebagian besar mereka. Penyebabnya ialah karena mereka terlalu
berani membuka lebar-lebar pintu perdebatan hingga mereka pun sadar bahwa itu
merupakan satu kelemahan. Namun, Allah akan tetap menolong agama-Nya dan
mengalahkan tipu muslihat ahli bid'ah.
Ali membuka pintu dialog, perdebatan, serta
mengemukakan hujjah kepada mereka. Ketika Ali mendapati mereka tidak mau
kembali pada kebenaran, dari situ dia mengetahui bahwa mereka adalah ahlu hawa
(orang yang mengikuti hawa nafsu). Ali pun memerangi mereka, untuk melawan
kebid'ahan mereka yang menghalalkan
4)
Hak menuntut ilmu
Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang
dikehendaki Allah baik, Dia akan memahamkannya ilmu agama." Ibnu Hajar
menjelaskan bahwa arti konotasi hadits ini ialah barang siapa yang tidak
dipahamkan pada ilmu agama oleh Allah, tidak mempelajari kaidah-kaidah Islam,
dan semua permasalahan furu' yang berkaitan dengannya, berarti dia telah
dijauhkan dari kebaikan;" dan hal ini bersifat umum, baik laki-laki maupun
perempuan.
Ali pernah berkata, "Manusia itu ada tiga
golongan, yaitu (1) ulama Rabbani, (2) pelajar yang meniti jalan keselamatan,
(3) rakyat jelata yang mengikuti segala seruan, condong diterpa ke mana pun
arah angin, mereka tidak disinari dengan cahaya ilmu." Karena itu, para
ulama mengategorikan kitab kitab ilmu termasuk hawaij al-ashliyah
(kebutuhan dasar).
Ada beberapa ilmu khusus yang wajib dipelajari
setiap muslim, seperti ilmu tentang Rabb, tauhid, ibadah, hukum hukum agama
(halal dan haram), dan ilmu-ilmu lain yang tidak ada alasan bagi seorang pun
untuk tidak mengetahuinya, baik laki-laki maupun perempuan.
Al-faqih
Ibnu Hazm mengatakan, "Wajib bagi setiap wanita untuk mendalami
permasalahan agama, khususnya yang berkenaan dengan wanita, sebagaimana yang
diwajibkan bagi pria. Muslimah yang kaya diwajibkan mengetahui hukum hukum
zakat, diwajibkan pula bagi mereka memahami hukum thaharah (bersuci), shalat,
puasa, serta mengetahui mana makanan, minuman, dan pakaian yang halal dan yang
haram.
Banyak sekali hukum-hukum dan permasalahan seputar
agama yang sampai kepada kita melalui istri-istri Rasulullah. seperti Aisyah,
Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, Shafiyah, dan istri beliau yang lainnya
(semoga Allah meridhai mereka semua). Juga dari Ummu Sulaim, Ummu Haram, Ummu
Athiyah, Ummu Syuraik, Ummu Darda', Asma' binti Abu Bakr, Fathimah binti Qais,
dan masih banyak lagi yang lain. Dari
golongan tabi'iyyat pun banyak yang mengambil ilmu dari para shahabiyah yang
mulia. Mereka lantas mewariskannya kepada generasi sesudah mereka, seperti yang
dilakukan laki-laki. Pernah terjadi penangguhan solusi, terkait perbedaan
pendapat antara kaum Muhajirin dan Anshar dalam masalah thaharah, hingga
akhirnya mereka merujuk kepada Aisyah. Hati mereka pun tenteram dengan ilmu
yang didapat Aisyah dari Rasulullah.
Sifat pemalu yang identik dengan wanita tidak
menghalangi mereka untuk bertanya dan belajar ilmu agama. Mereka bahkan meminta
kepada Rasulullah jatah (waktu) satu hari khusus untuk mengajari, menasihati,
dan memotivasi mereka untuk beramal baik.
Wanita juga butuh ilmu agama, seperti halnya pria.
Maka hendaklah mereka diberi kemudahan untuk mempelajarinya. Ilmu-ilmu lain
yang juga harus dipelajari antara lain ilmu bahasa Arab, qira'ah, kitabah, dan
hisab. Sebagian dari wanita pun harus ada yang menjadi spesialis dalam ilmu
syar'i tentang berbagai masalah khusus wanita. Ini sebagai fardhu kifayah untuk
kemudian diajarkan dan disampaikan kepada wanita lain, terutama permasalahan
khusus wanita yang sering dan banyak menjadi pertanyaan.
Negara Islam bertanggung jawab terhadap pendidikan
kaum perempuan, terhadap kebutuhan mereka dalam bidang ilmu kedokteran dan pengobatan,
dan semua yang berhubungan dengan kebutuhan wanita. Sangat penting pula bagi
wanita untuk belajar keterampilan dan kerajinan tangan, seperti menjahit,
menenun, dan apa yang dibutuhkan wanita dan memungkinkan untuk dipelajarinya.
Tidak mengapa jika hanya sebagian dari mereka yang mempelajarinya, selain agar
kebutuhan ini terpenuhi sekaligus untuk memberi peluang kerja bagi pengangguran
dari golongan wanita. Tidak kalah penting pula adalah mempelajari keterampilan
memasak, mengatur urusan rumah tangga, dasar-dasar mendidik anak, dan ilmu-ilmu
lain yang dibutuhkan para wanita dan harus diajarkan kepada mereka.
5)
Hak kepemilikan wanita
Sepertinya pantas jika saya sampaikan sebuah gagasan
tentang hak kebebasan bekerja. Bekerja adalah sebab utama seseorang bisa
memiliki sesuatu. Sibuk dalam pekerjaan yang sesuai dengan kriterianya adalah
hak setiap orang, demi terpenuhi kebutuhannya sehari-hari. Pekerjaan yang
sesuai adalah pekerjaan yang dilakukan dengan menggunakan tangan atau berbagai
peralatan kerja asal pekerjaan itu dibolehkan, sesuai dengan syariat, serta
tidak menimbulkan kerusakan agama.
Di dalam komunitas masyarakat muslim, seorang
muslimah berada di dalam tanggungan, baik tanggungan suami, ayah, saudara, atau
kerabat. Jika tidak ada suami, ayah, saudara, atau kerabat maka dia ditanggung
oleh baitulmal kaum muslimin. Tanggungan ini menjadi hak baginya dalam. keadaan
apa pun. Seorang suami atau kerabat mau atau tidak bahkan boleh dipaksa untuk
memenuhi hak istri atau saudara perempuannya. Jika dia tidak mampu,
pemerintahlah yang harus mengurusnya, pemerintah wajib menafkahinya sesuai
dengan kebutuhannya.
Istri para shahabat juga ikut suaminya bekerja.
Zainab, istri Abdullah bin Mas'ud, bahkan bekerja di tempat pemintalan benang
sehingga dia berkewajiban mengeluarkan zakat mal. Zainab ingin menyalurkannya
di tempat yang berpahala besar. Dia bertanya kepada Rasulullah, apakah dia
boleh membayarkan zakatnya kepada suami dan anak yatim yang diasuhnya.
Rasulullah menjawab, "Ya," dan zakat itu berpahala dua, pahala
sedekah dan pahala menyambung tali silaturahmi.
Wanita bisa berbuat banyak di dalam rumahnya. Mereka
bisa membuat kerajinan tangan kemudian menjualnya di pasar atau menjualnya
kepada teman-teman sesamanya. Sesuatu yang dilakukan dengan tekun pasti akan
bernilai tinggi.
Para suami dan mereka yang mengurusi urusan wanita,
hendaknya membantu istri dan para wanita untuk belajar berkarya demi
mengembangkan potensinya sekaligus memperoleh penghasilan darinya. Nabi Dawud
makan dari hasil tangannya. Sebaik-baik umat Muhammad ialah yang makan dari
tangan (usaha) sendiri.
Di dalam Islam, wanita memiliki hak kebebasan untuk
memiliki, baik itu gaji dari hasil kerjanya, mata pencaharian yang hasilnya
melimpah, warisan yang dia peroleh, atau harta yang dia dapat dari berbagai
jalan usaha yang halal. Jika seorang wanita telah balig dan berakal sehat,
tidak seorang pun berhak memerintahnya. Seorang wanita berhak membelanjakan
hartanya sesuai keinginannya, bersedekah, memberi hadiah, mengutangi,
menyewakan, atau mewakafkan untuk kebaikan. Dia boleh membelanjakannya di jalan
yang disyariatkan, sesuai dengan keinginannya. Tidak seorang pun berhak
menguasai dan memerintah karena ini adalah haknya, jaminannya sah, dan dia
layak melakukan transaksi jual-beli.
Hak wanita seperti ini tidak ada di pemeluk agama
lain, seperti Yahudi dan Nasrani di mana wanita tidak boleh membelanjakan apa
yang dimilikinya, kecuali dengan izin suami. Ini tentu menyalahi syariat Allah
dan fitrah manusia. Adapun dalil yang menguatkan bahwa wanita boleh
membelanjakan hartanya sesuai keinginannya ialah seuah hadits yang di
riwayatkan imam Al-Bukhari dan selainnya.
Hak-Hak
Khusus Muslimah
1.
Hak Muslimah
atas orang tuanya
·
Imam Bukhari
meriwayatkan, Aisyah, ummul mukminin, berkata, "Telah datang kepadaku
seorang wanita bersama dua anak perempuannya untuk meminta (sesuatu) kepadaku.
Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebutir kurma. Aku pun memberikan kurma itu
kepadanya. Dia lantas membagikannya kepada kedua anak perempuannya, sedangkan
dia tidak memakannya sedikit pun. Dia berdiri kemudian pergi. Setelah itu, Nabi
datang dan aku menceritakan hal itu kepada beliau.
·
Anas meriwayatkan
bahwa Rasulullah bersabda, "Barang siapa mengasuh dua anak perempuan maka
aku dan dia akan masuk ke dalam surga seperti ini beliau memberi isyarat dengan
dua jarinya.
·
Abu Sa'id Al-Khudri
meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, "Barang siapa mempunyai tiga orang
anak perempuan, atau tiga orang saudara perempuan, atau dua orang anak
perempuan, atau dua orang saudara perempuan, lalu dia menemani mereka dengan
baik dan bertakwa kepada Allah dalam (urusan) mereka maka baginya surga.
·
Al-Barra' bin 'Azib
berkata, "Aku masuk bersama Abu, Bakr, ketika pertama datang ke Madinah.
Ketika itu, Aisyah, putrinya terbaring karena demam panas. Abu Bakr
menghampirinya dan berkata kepadanya, "Bagaimana keadaanmu, wahai
putriku?" Kemudian dia mencium pipinya.
Seorang ayah adalah pemimpin, dia bertanggung jawab
terhadap yang dipimpinnya, sedangkan seorang Ibu adalah pemimpin di rumah
suaminya, dia bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Sesungguhnya,
tanggung jawab seorang ayah muslim dimulai dari memilih istri kemudian membina
sang istri dengan pembinaan yang islami. Istri salihah adalah karunia besar
yang dianugerahkan Allah di kehidupan dunia. "Sebaik-baik perhiasan
dunia adalah wanita salihah.
Rasulullah juga memerintahkan agar para wanita (yang
dipingit) diizinkan keluar menuju tempat pelaksanaan shalat Id, menyaksikan
shalat, berdoa, dan berbuat baik kepada sesama, dan memerintahkan wanita haid
untuk tidak mendatangi (mendekati) tempat shalat.
Tanamkan pula rasa cinta kepada Rasulullah di dalam
jiwa anak-anak, di antaranya dengan mengikuti sunnah beliau dalam semua
perkara, baik yang kecil maupun besar, dalam keadaan senang maupun susah.
Kemudian membuat tahapan pengajaran dan bimbingan tentang rukun-rukun agama,
membacakan sejarah dengan gaya bahasa yang luwes, menyimpulkan ibrah dan
pelajaran penting dari sejarah Nabi Muhammad dan para shahabat laki-laki dan
wanita. Ketika sampai pada kisah-kisah ummul mukminin, Khadijah,
berhentilah sejenak pada sejarah ummul mukminin. Jelaskanlah
kedudukannya yang mulia di sisi Nabi. Bahwa Khadijah telah beriman kepada Nabi,
membenarkannya, membantu dengan hartanya, sangat perhatian kepada beliau hingga
malaikat Jibril memberi kabar gembira kepadanya bahwa Allah menyampaikan salam
untuknya, dan dibangun untuknya sebuah rumah di surga yang terbuat dari permata
di dalamnya tidak ada kesedihan dan keluh-kesah.
Demikian pula dengan istri-istri Rasulullah yang
lain dan putri beliau, Fathimah. Setiap shahabiyah mempunyai peranan penting
dalam dakwah, mereka bertanya tentang perkara agama, terkadang ikut berjihad
(untuk mengobati tentara yang terluka, membawa air, menghunus pedang), serta
memerhatikan pendidikan anak-anak.
Di antara pendidikan penting adalah hafalan
Al-Qur'an, hadits Nabi, mengajarkan kepada anak-anak zikir dan doa, tugas
harian yang selalu berulang setiap pagi dan sore yang dengan demikian maka
rumah dan penghuninya akan terjaga dari godaan setan.
Selain itu, mengajarkan adab makan, minum, tidur,
dan berpakaian. Sebab jika seorang anak sudah terbiasa menutup aurat dan
memiliki rasa malu sejak kecil maka akan sangat bermanfaat ketika dia dewasa,
dia tidak akan goyah diterpa "badai", insya Allah. Para ayah
hendaknya waspada terhadap segala sesuatu yang dapat merusak anak perempuan
mereka, baik secara fisik maupun akal yang yang bisa datang dari majalah,
koran, buku buku yang menyimpang, dan pemikiran atau akidah menyimpang.
Dan
tumbuhlah anak-anak di tengah kita,
Atas
apa yang dibiasakan oleh ayahnya.
Ibu juga memiliki peranan penting dalam kehidupan
putrinya. Seorang ibu bisa menanamkan rasa cinta kepada Allah, Rasulullah, dan
cinta pada agamanya sejak dini. Membiasakan putrinya dengan pekerjaan rumah
yang menjadi dasar hidup seorang wanita, mengajarinya dasar masak-memasak, dan
membersihkan atau menata rumah. Selain itu, mengajari untuk memerhatikan
perawatan tubuhnya, kebersihan dan kerapian pakaiannya, serta cara berpenampilan
yang menawan. Menyiapkannya untuk hidup bersama suami (berumah tangga) dengan
bahagia, dan membina kehidupan rumah tangga yang saling memahami dan
menyayangi. Selanjutnya, jika pengantin telah dibawa ke rumah suaminya, sang
Ibu hendaknya membantu putrinya untuk berbuat baik, melanggengkan kehidupan
rumah tangganya, dan tidak ikut campur dalam kehidupan mereka, kecuali untuk
mendamaikan dan memberi petunjuk dan arahan.
Apabila seorang ibu telah mendidik putrinya dengan
baik sejak kecil, menjaganya hingga dia diboyong ke rumah suaminya, kemudian
tidak mengikutinya tinggal bersama anak perempuannya, kecuali untuk kebaikan
maka terciptalah kebahagiaan di rumah-rumah orang muslim. Ini disebabkan faktor
utama penyebab bahagia dan sengsaranya kehidupan suami-istri adalah ibu sang
istri. Dia bisa menjadi rahmat, pun bisa menjadi azab. Sesungguhnya, Allah
hanya akan menyayangi hamba-hamba-Nya yang saling menyayangi. Untuk itu, sang
ibu hendaknya memperlakukan anak menantunya (suami dari anak perempuannya)
dengan baik sehingga anak perempuannya pun akan diperlakukan dengan baik oleh
suaminya.
2.
Hak wanita atas
suaminya
Hak-hak wanita atas suaminya adalah
(1) mahar, (2) nafkah (3) bermalam (mabit) (4) jimak (5) memperoleh arahan,
bimbingan, dan pengayaan ilmu. Berikut adalah rinciannya.
a. Mahar
Mahar menurut bahasa berarti sedekah atau pemberian.
Menurut istilah syar'i, artinya adalah harta yang wajib diberikan laki-laki
kepada perempuan yang disebabkan oleh akad nikah dan dia (laki-laki) harus
menanggung dengan setelah menyetubuhi (istrinya). Dasar persyariatan mahar
Al-Qur’an, sunnah, dan ijmak.
dengan sempurna setelah menyetubuhi (istrinya).
Dasar pensyariatan mahar adalah Al-Qur'an, sunnah, dan ijmak. Allah berfirman:
وعاثوا النساء صدقيتهن نحلة
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan." (An-Nisâ': 4)
Allah berfirman:
.فما استمتعتم به منهن فاتوهن أجوره فريضة
Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri)
di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai
suatu kewajiban." (An Nisa': 24)
Adapun dalil dari sunnah bahwa tidak ada pernikahan
Nabi dan pernikahan putri-putri beliau yang tanpa mahar. Nabi pernah berkata
kepada seorang pemuda yang ingin menikahi seorang wanita yang menghibahkan
dirinya untuk Nabi, sedangkan si pemuda ini tidak mempunyai apa pun, "Carilah,
walau sebuah cincin besi. "
Nabi mendiamkan Abdurrahman bin 'Auf ketika beliau
melihat suasana pernikahannya dan menanyainya tentang mahar. Dia menjawab,
"Emas sebesar biji kurma." Beliau kemudian bersabda, "Semoga
Allah memberkahimu, adakanlah walimah, walau dengan seekor kambing. "
Menurut pendapat yang benar, tidak ada batasan
maksimal terkait ukuran mahar, berdasarkan firman Allah, Sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di mereka harta yang banyak maka janganlah kamu
mengambil kembali darinya barang sedikit pun." (An Nisa': 20)
Mahar tidak memiliki batas minimal, dengan syarat
berbentuk harta, boleh berupa cincin besi atau segenggam makanan. Sebaik-baik mahar
adalah yang mudah. Sesungguhnya, sebaik-baik wanita adalah yang mudah (ringan)
maharnya. Mahar istri-istri Nabi tidak lebih dari dua belas Dirham, senilai
dengan 450 gr perak. Harga 1 gr perak saat ini tidak lebih dari 1 Riyal. Maka
mahar istri istri Nabi kira-kira sejumlah 450 Riyal Saudi (lebih kurang) sesuai
dengan perubahan harga perak. Ukuran sedang pada zaman sekarang untuk mahar
mencukupi perhiasan yang dipakai wanita, yaitu sejumlah 20 sampai dengan 30
Riyal Saudi.
Tidak semestinya (calon) suami dibebani mahar
melebihi jumlah tersebut. Kepada orang-orang kaya, janganlah kalian
berlebih-lebihan dalam mahar karena akan diikuti oleh yang lain. Ini karena
mereka yang menyuarakan jumlah atau besarnya mahar yang diberikan.
Para orang tua pun tidak boleh berlebih-lebihan
dalam menetapkan mahar anak-anaknya. Sebaliknya, hendaknya menganjurkan anaknya
agar meminta mahar sesuai kebutuhan. Betapa banyak wanita yang sibuk membeli
perhiasan dan pakaian dan berlebih-lebihan dalam berbusana pengantin (untuk akad
nikah dan walimah) yang kadang-kadang harganya cukup untuk membiayai beberapa
pasang pengantin lain. Ini adalah gambaran kebodohan dan kelemahan iman yang
dapat memberikan efek negatif bagi para pemuda dan pemudi.
Mari kita amati petunjuk Nabi tentang walimatul
'ursy. Beliau telah mengatakan kepada Abdurrahman bin Auf (salah seorang
shahabat yang kaya raya), "Adakanlah walimah, walaupun dengan seekor
kambing."
b.
Nafkah untuk istri
Allah
berfirman:
لينفق
ذو سعة من سعته، ومن قدر عليه رزقه، فلينفق مما واتنه الله لا يكلف الله نفسا إلا ما
واتنها
"Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang yang disempitkan
rezekinya memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya" (Ath-Thalâq: 7)
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Hindun binti Utbah,
istri Abu Sufyan berkata, "Ya Rasulullah, sungguh Abu Sufyan itu seorang
laki-laki yang pelit, dia tidak memberi nafkah yang mencukupi kebutuhanku dan
anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya."
Nabi bersabda, "Ambillah dari hartanya untuk mencukupi kebutuhanmu dan
anakmu dengan selayaknya.
Para ulama sepakat bahwa nafkah istri menjadi
kewajiban suami karena seorang istri telah "memenjara dirinya" demi
hak suaminya. Kaidahnya, siapa yang terpenjara karena (memenuhi) hak orang
lain maka dia wajib dinafkahi
Berdasar beberapa keterangan di atas, jelaslah bahwa
suami bertanggung jawab menafkahi istrinya, baik berupa makanan, minuman,
pakaian, maupun tempat tinggal. Ini disesuaikan dengan kondisi suami,
sebagaimana tercantum dalam ayat bahwa Allah tidak membebani hamba, kecuali
sesuai kesanggupannya. Tidak ada bedanya antara suami yang kaya atau yang susah
karena ayat tersebut tidak membedakan antara keduanya, kecuali dalam ukuran
atau jumlah.
Dalam sebuah hadits sahih disebutkan bahwa istri
berhak meminta cerai kepada suami jika memang suaminya tidak bisa menafkahinya
dan dia tidak bisa bersabar lagi dengan keadaan itu. Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah, "Seorang wanita berkata, 'Beri aku makan atau
ceraikan aku."
c.
Hak bermalam
Anas bin Malik meriwayatkan, "Jika seorang
laki-laki menikahi wanita perawan, sunnahnya adalah dia harus tinggal
bersamanya selama tujuh hari; jika menikahi janda, dia tinggal bersamanya
selama tiga hari. Masa suami untuk tinggal bersama istrinya yang baru adalah
hak bagi istri, ini untuk mengobati kesepiannya. Sama halnya apakah suami
mempunyai istri yang lain atau tidak, ini untuk memulai pembagian jatah sejak
awal. Hari-hari berikutnya, istri memiliki hak untuk bermalam dengan suaminya
(minimal) satu kali dalam empat malam karena Allah telah menghalalkan bagi
suami menikahi empat wanita.
d.
Hak wanita dalam berhubungan seks
Sejatinya, tujuan utama pernikahan adalah untuk
meraih kenikmatan dengan halal dan masing-masing pasangan bisa saling
menikmati. Hubungan seks adalah hak wajib atas suami untuk istrinya. Suami
tidak boleh meninggalkannya dengan tujuan ingin menimbulkan mudarat bagi istrinya.
Allah
berfirman:
للذين
يؤلون من نسابهم تربص أربعة أشهر فإن فاء و فإن الله غفور رحيم = وإن عزموا الطلق فإن
الله سميع عليم
"Kepada
orang-orang yang meng-ila' istrinya, diberi tangguh empat bulan (lamanya).
Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya) maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk)
talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah:
226-227)
Apabila seorang suami bersumpah untuk tidak sama
sekali menggauli istrinya, atau dia menyebutkan waktu lebih dari empat bulan,
sesungguhnya syar'i telah memberi batasan yang tidak boleh dilampaui. Jika
telah habis masa empat bulan, suami harus memilih antara kembali menggaulinya
dan membayar kafarat sumpah atau jatuh talak.
Adapun pendapat Umar dan Hafshah yang membatasinya
hingga lima atau enam bulan, maksudnya ialah bahwa kesabaran wanita (istri)
akan habis setelah masa itu.
Jika suami tidak memiliki alasan untuk meninggalkan
istrinya maka dia berdosa. Jika suami menghilang dan istrinya mengajukan
dakwaan kepada hakim setelah masa yang ditentukan, hendaknya hakim
mengabulkannya. Apabila suami datang dan menyebutkan uzur yang bisa diterima
maka status pernikahan boleh dilanjutkan. Tetapi, jika tidak, hakim boleh
membatalkan pernikahannya; dan pernikahannya ini tidak bisa dibatalkan kecuali
dengan hukumnya. Imam Al-Muwaffiq berkata, "Hubungan seks (jimak) wajib
bagi suami jika tidak ada uzur (halangan)." Imam Ahmad bin Hanbal pernah
ditanya, "Apakah suami yang menggauli istrinya sedang dia tidak mempunyai
syahwat akan mendapat pahala?" Imam Ahmad berkata, "Ya, dan hendaknya
dia mengharap Allah akan memberinya anak, sekalipun dia tidak menginginkan
anak. Perempuan ini masih muda, bagaimana mungkin dia tidak diberi
pahala."
e.
Hak memperoleh arahan, bimbingan, dan pengayaan ilmu
Apabila
seorang pria telah beristri, sedangkan istrinya itu tidak mengerti hukum-hukum
dan adab-adab Islam maka wajib bagi suami mengajari dan mendidiknya. Hendaknya
suami mengajarkan tentang Allah, Rasulullah, rukun agama dan
kewajiban-kewajibannya, halal dan haram, dan lain-lain yang wajib diketahui
setiap muslim. Kondisi seperti ini sudah jarang terjadi pada zaman sekarang
karena taklim telah tersebar luas dan disiarkan dalam beberapa sarana
informasi, seperti radio siaran Al-Qur'an dan khutbah Jumat.
Sekarang ini juga terdapat lembaga-lembaga
pendidikan, sekolah, universitas yang memerhatikan pengajaran dan dakwah
islamiah. Jika suami sibuk maka dia harus mengizinkan istrinya untuk mengikuti
program-program pengajaran itu hingga istri bisa mempelajari Al-Qur'an dan
sunnah, serta mendapat beberapa nasihat bermanfaat yang akan berharga pada masa
hidupnya dan bermanfaat setelah mati.
Seyogianya pula rumah-rumah dilengkapi dengan
perabot yang bermanfaat, seperti buku-buku dan kaset islami demi meringankan
beban suami dalam pembinaan keluarga. Betapa berfaedahnya jika di dalam rumah
diperdengarkan radio siaran Al-Qur'an dan kaset-kaset islami karena telah muncul
kesadaran untuk meningkatkan pemahaman keluarga. Semoga Allah memberikan
manfaat yang banyak.
Tetapi, ada juga sebagian suami (semoga Allah
menunjuki mereka) yang justru berbuat sebaliknya. Mereka melengkapi rumah-rumah
mereka dengan barang-barang yang berbahaya dan bersifat merusak, hingga di
dalam rumah tidak ada ketenangan. Sebagian mereka bahkan ada yang marah jika
didapati anggota keluarganya sedang memperdengarkan bacaan Al-Qur'an atau
siaran pendidikan lainnya. Dia pun melarang keluarganya pergi untuk belajar.
Seputar
pengayaan (pendidikan pelengkap)
Maksud saya ialah ilmu-ilmu syar'i yang penting yang
tidak dimiliki istri dan pengetahuan lain, misalnya tata boga (memasak),
pendidikan anak, tata rumah tangga, dan keterampilan menjahit. Ilmu-ilmu ini
dibutuhkan dalam kehidupannya dan tidak menghabiskan waktu yang lama untuk
mempelajarinya.
Pengayaan pengetahuan ini bukanlah dengan
melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, seperti tingkat
menengah, tingkat atas, universitas, dan sebagainya. Ini tidak menjadi
keharusan bagi wanita karena hanya akan menjadikannya sering keluar rumah,
melalaikan hak suami, dan melupakan anak-anak. Selain itu, hanya sedikit
manfaat yang diperoleh darinya, apalagi di sana tidak diperhatikan pemisahan
tempat duduk antara laki-laki dan wanita. Kebanyakan orang yang menempuhnya
hanya bertujuan untuk mendapat pekerjaan dan materi, keduanya menjadi penyebab terjadinya
perselisihan yang akhirnya mengakibatkan perceraian dan perpisahan di antara
pasangan suami-istri.
3.
Hak wanita
dalam bermasyarakat
Islam telah menetapkan kemanusiaan wanita seperti
halnya laki-laki dan menjadikannya memiliki hak-hak dan kewajiban sesuai dengan
tabiat dan kemampuannya. Agar masyarakat bisa memenuhi hak-hak wanita,
hendaknya di dalam masyarakat itu bersih dari berbagai penyimpangan kemudian
mereka istiqamah di jalan yang benar. Hal ini hanya bisa terwujud dengan
memperbaiki jiwa dan mengisi hati setiap orang dengan keimanan kepada Allah
agar amalan menjadi baik dan lurus sesuai dengan syariat-Nya.
Nabi
bersabda, "Ketahuilah, di dalam jasad itu ada segumpal daging, jika ia
baik maka baiklah seluruh jasad, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh
jasad. Ketahuilah ia adalah hati.
Berikut
ini hak-hak Muslimah di dalam masyarakat:
a.
Mendukung para wanita
untuk berhijab dan menutup aurat
Setiap individu dalam masyarakat-diharapkan-berperan
aktif dalam mendukung pemakaian hijab. Seorang khatib di masjid hendaknya
menjelaskan kewajiban berhijab, menerangkan tentang keutamaan dan manfaatnya
bagi wanita, memotivasi mereka untuk memakainya, dan menerangkan bahwa
istri-istri Nabi diperintahkan untuk itu, demikian halnya wanita dari masa ke
masa.
Petugas penegak disiplin di pasar-pasar hendaknya
memerintahkan para wanita untuk memakai hijab dan menegur mereka yang berhijab,
tetapi tidak sesuai syar'i. Penyiar radio atau jurnalis menyoroti masyarakat
yang para wanitanya memakai hijab, memberi peringatan dengan akibat terbukanya
aurat dan penyimpangan moral, seperti yang terjadi di Barat.
Bagi pria yang ingin menikah, hendaknya dia hanya
meminta wanita yang berhijab dan menutup aurat, mengutamakan menikah dengan
wanita berhijab, meninggalkan wanita yang tidak berhijab, dan menyiarkan bahwa
dia menikahi wanita itu karena dia berhijab sebagaimana yang diperintahkan
agama.
Apabila sebuah masyarakat menghormati perasaan
muslimah berhijab dan memuliakannya, itu akan mendorong anak-anak perempuan
untuk memakai hijab. Sebaliknya, wanita yang tidak berhijab hendaknya
diremehkan, memandang mereka dengan hina sehingga mereka tidak bisa bekerja, dan
mewasiatkan agar tidak membantu mereka-karena mereka telah mengoyak tabir
Allah-, serta mensyaratkan mereka untuk menutup aurat. Jika semua warga
masyarakat berbuat demikian, tentu akan berpengaruh besar terhadap berhijabnya
kaum wanita. Tentunya dengan menjelaskan dalil-dalil dan keterangan bahwa hukum
hijab adalah wajib dan menanggalkannya adalah haram. Selain itu, mereka yang
berani membuka hijab akan menyandang sifat wanita wanita durhaka dan menyerupai
orang kafir.
b. Menghindari khalwat dan ikhtilat
Setiap anggota masyarakat hendaknya mengetahui
akibat buruk berkhalwat dengan wanita ajnabiyah (wanita bukan mahram) dan
bahaya ikhtilat agar mereka menghindari perbuatan itu sehingga para wanita akan
terlindungi.
Jika seorang pria tidak mau berkhalwat dengan wanita
dan menjauhi ikhtilat, berarti dia telah melakukan upaya melindungi kaum
wanita. Misalnya, jika pengemudi angkutan umum tidak mengangkut perempuan yang
tidak disertai mahramnya, pedagang mengadakan pasar khusus untuk perempuan, dan
membuat departemen urusan wanita yang berkualitas.
Demikian pula jika dipisahkan departemen kesehatan
wanita dari pria dan didirikan klinik khusus wanita dengan memilih para ahli
yang profesional dari kalangan muslimah. Berbagai fasilitas umum yang
dibutuhkan wanita, hendaknya juga diadakan dan dikhususkan bagi wanita. Jika
hal ini terwujud, terputuslah akar penyebab ikhtilat di pasar-pasar dan di
tempat-tempat umum. Dengan demikian, masyarakat telah berpartisipasi dalam
menjaga kesucian dan melindungi kaum wanita. Itu adalah hal yang mudah dengan
izin Allah.
Oleh karena itu, Islam melarang khalwat (bercampur
baur), yaitu antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Jabir
meriwayatkan dari Nabi, beliau bersabda, "Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah dia tidak berkhalwat dengan wanita tanpa
disertai mahramnya, sebab sungguh (pihak) yang ketiga (dari mereka) adalah
setan,”
c.
Hak wanita untuk Bersama mahram dalam safar
Di antara syariat perlindungan yang diberikan Islam
untuk menjaga wanita dari kejahatan dan ancaman berbagai bahaya ialah apabila
ketika dia safar, wajib ada mahram yang menemaninya. Inilah hak wanita.
Rasulullah
bersabda, "Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita,
kecuali (wanita itu) ditemani mahramnya, dan janganlah seorang wanita
bepergian, kecuali bersama mahramnya." Seorang pemuda berkata, "Wahai
Rasulullah, sungguh istriku pergi menunaikan haji karena aku mengikuti perang
ini dan ini." Rasululah berkata, "Pergi, dan berhajilah bersama
istrimu."
Maksudnya ialah safar secara mutlak, jauh atau
dekat. Imam Nawawi berkata, "Yang dimaksudkan dari pembatasan itu bukan
makna lahirnya, tetapi semua yang disebut safar, wanita boleh melakukannya
hanya disertai mahramnya. Adanya batasan terhadap suatu perkara yang nyata maka
dipahami darinya tidak mesti diamalkan."
Ustaz Muhammad Rasyid Ridha mengatakan, "Bagi
orang yang mengetahui berita tentang safar pada masa kini, yang akibatnya
adalah selalu berkumpulnya laki-laki dan wanita di kapal dan hotel, tentu dia
memahami hikmah dari larangan ini dan bahwa safar itu sama saja, jauh atau
dekat, inilah hikmah dilarangnya wanita bepergian tanpa mahram."
d.
Hak dimuliakan dan ditempatkan di posisi yang layak
Islam menghormati kaum wanita, memenuhi haknya, dan
melindunginya, baik dia menjadi seorang ibu, istri, anak, maupun anggota
masyarakat. Darah, harta, dan kehormatannya diharamkan, kecuali yang menjadi
hak Islam. Nabi bersabda, "Setiap muslim haram darahnya, hartanya, dan
kehormatannya."
Dia bertanggung jawab sendiri terhadap perbuatannya.
Allah berfirman, "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah." (Al-Ma'idah: 38)
Di antara hak yang wajib ditunaikan masyarakat untuk
wanita adalah tidak mengganggu kepemilikannya. Wanita berhak mengelola apa yang
dimilikinya, "(Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang
mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka
usahakan." (An-Nisa': 32) Wanita mempunyai kebebasan penuh dalam
kepemilikannya.
Seorang muslimah berhak memilih pendamping hidupnya
dari laki-laki yang beragama dan berakhlak; tidak sah jika adat dan tradisi
masyarakat meniadakan hak ini. Dia pun berhak hidup bahagia, tenang, tenteram,
dan aman. Hak sosialnya tidak boleh dirampas sedikit pun karena akan
mendatangkan ancaman dalam hidupnya.
f.
Hak lain-lain Muslimah dalam masyarakat
sejatinya,
tugas pokok wanita adalah di rumah dan ini bukan hinaan baginya, Hiidup
berkeluarga.
Hak
Bersama
1.
Hak mendapat perlakuan baik
Dalilnya
dari Al-Qur'an adalah sebagai berikut: Allah berfirman:
وعاشروهن
بالمعروف فإن كرهتموهن فعسى أن تكرهوا شيئا وجعل الله فيه خيرا كثيرا
"Dan
bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."
(An-Nisa': 19)
ولهن
مثل الذي عليهن بالمعروف وللرجال عليهن درجة
"Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
makruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
istrinya" (Al-Baqarah: 228)
Ibnu Jarir menyebutkan dari Dhahak dalam tafsir
firman Allah: Wa lahunna mitslu alladzi 'alaihinna bil ma'ruf, dia
mengatakan, "Apabila dia (istri) menaati Allah dan menaati suaminya
maka suami wajib memperlakukannya dengan baik, tidak menyakitinya, dan
menafkahinya dari hasil usahanya."
Ibnu Zaid mengartikan secara global dengan takwa.
Dia mengatakan bahwa hendaknya mereka (para suami) bertakwa kepada Allah dalam
menghadapi urusan istri, pun demikian dengan para istri, hendaknya mereka
bertakwa kepada Allah dalam menghadapi urusan suami. Ibnu Abbas berkata,
"Aku senang berhias untuk istriku, sebagaimana aku senang kalau dia
berhias untukku karena Allah berfirman, "Dan para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf" (Al-Baqarah:
228)
Dalam menafsirkan ayat: Dan bergaullah dengan
mereka. secara patut, Ibnu Jarir mengatakan, "Berakhlak baiklah. engkau,
wahai para suami, kepada istrimu dan pergaulilah mereka dengan baik, yakni
dengan pergaulan yang Kuperintahkan, dengan memberikan hak-hak mereka yang
telah Allah wajibkan kepada kalian, atau melepaskannya dengan cara yang baik.
2.
Tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan
Allah
berfirman:
وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم
والعدوان واتقوا الله إن الله شديد العقاب
"Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya."
(Al-Ma'idah: 2)
Al-birru (akhlak yang baik) yaitu yang membawa pada
ketenangan jiwa. Al-birru lawan dari al-itsmu. Al-birru
adalah kalimat yang mencakup semua kebaikan, sebagaimana al itsmu adalah
kalimat yang meliputi semua kejelekan.
Al-Mawardia berkata seputar makna ayat, "Allah
menganjurkan untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan mengiringinya dengan
takwa karena dalam takwa ada ridha Allah, dan dalam kebaikan ada ridha manusia.
Siapa yang telah menghimpun ridha Allah dan ridha manusia, berarti telah
sempurnalah kebahagiaannya dan lengkaplah nikmatnya."
Umar bertanya kepada Rasulullah, "Wahai
Rasulullah. harta apa yang harus kami miliki?" Rasulullah menjawab,
"Hendaklah kalian memiliki hati yang senantiasa bersyukur, lisan yang
senantiasa berzikir, dan istri beriman yang menolong kalian dalam urusan
akhirat."
Sabda Nabi: Istri yang beriman yang menolong
kalian dalam urusan akhirat, karena akhirat adalah kampung abadi,
kebahagiaan di dalamnya tiada sebanding dengan kebahagiaan apa pun, begitu pula
kesengsaraan di sana tidak sebanding dengan kesengsaraan apa pun.
Jika seorang istri salihah menolong suaminya dan
sebaliknya suami menolong istrinya dalam urusan akhirat, padahal akhirat itu
bersifat gaib maka bagaimana dengan urusan dunia keduanya? Tentu mereka akan
lebih saling membantu karena di antara cara memperbaiki akhirat ialah dengan
memperbaiki urusan dunia agar sesuai dengan syariat Allah.
Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda,
"Tolonglah saudaramu yang zalim dan yang dizalimi. Apabila dia zalim,
tolonglah dengan mencegahnya (dari berbuat zalim) maka sesungguhnya itu
pertolongan baginya, dan apabila dia dizalimi maka tolonglah."
Sesungguhnya, bentuk tolong-menolong yang paling
utama ialah tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, mencegah orang yang
zalim dari kezaliman, melarangnya dari kesesatan, mengingatkan tentang takdir
Allah untuknya, dan menakutinya dengan hukuman bagi kezaliman. Dan sungguh
hukumannya sangat berat, oleh karena itulah doa orang terzalimi mustajab, walau
dalam beberapa saat.
Di antara bentuk tolong-menolong dalam kebaikan dan
ketakwaan adalah membina rasa saling mencintai, menghargai, dan menyayangi di
antara suami-istri sehingga jauh dari sifat sombong dan angkuh yang membawa
pelakunya pada kebengisan dan kekasaran. Nabi bersabda, "Perumpamaan
seorang mukmin yang saling menyayangi, menghormati, dan mencintai ialah seperti
satu tubuh, bila salah satu anggotanya merasakan sakit maka bagian tubuh yang
lain pun akan merasakan demam dan tidak bisa tidur.
Di antara sarana yang dapat mewujudkan sikap saling
tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan ialah dalam bermuamalah, hendaknya
suami-istri melandasinya dengan dasar ukhuwah karena Allah. Seorang muslim
adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak boleh menzaliminya, merendahkan,
dan menghinanya. Siapa yang memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi
hajatnya.
3.
Hak waris wanita
Allah
berfirman:
للرجال
نصيب مما ترك الولدان والأقربون وللنساء نصيب مما ترك الولدان والأقربون مما قل منه
أو كثر نصيبا مفروضا
"Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya,
dan bagi seorang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan orang tua
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telali
ditetapkan." (An-Nisā':7)
يوصيكم
الله في أولدكم للذكر مثل حظ الأنثيين فإن كن نساء فوق أثنتين فلهن ثلثا ما ترك وإن
كانت وحدة فلها النصف
"Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu. Yaitu,
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua maka mereka berhak mendapat dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja maka
dia memperoleh setengah harta."
(An-Nisa': 11)
Hikmah warisan dan pembagiannya secara syar'i adalah
untuk memberikan perhatian khusus terhadap nasib karib kerabat bahwa mereka
lebih utama dari yang lainnya. Syaratnya, telah diselesaikannya semua urusan
berkaitan dengan harta peninggalan, seperti penyelenggaraan prosesi pemakaman
jenazah, utang-piutang, dan wasiat. Baru kemudian pembagian harta warisan.
Allah
berfirman:
وأولوا
الأرحام بعضهم أولى ببعض في كتب الله
"Orang-orang
yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah."
(Al-Anfâl: 75)
Orang-orang jahiliyah sama sekali tidak memberikan
warisan kepada perempuan. Mereka bahkan menjadikan wanita sebagai
"barang" yang diwariskan. Anak laki-laki (jika ayahnya telah
meninggal) boleh menghalangi ibu tirinya untuk menikah dengan orang lain, dia
bahkan berhak menikahinya. Mereka beranggapan bahwa perempuan dan anak kecil
tidak berhak mendapat warisan karena mereka tidak bisa ikut berperang sehingga
tidak bisa mendapat harta rampasan perang.
Oleh karena itu, ketika ayat-ayat tentang warisan
turun, sebagian orang pun mengingkarinya. Mereka berkata, "Perempuan
diberi seperempat atau seperdelapan, anak perempuan (sendiri) mendapat
setengah, anak kecil juga diberi warisan, bukankah mereka sama sekali tidak
ikut berperang dan tidak bisa merebut harta rampasan perang?"
Sebagian yang lain berupaya sekuat tenaga untuk
mengubah aturan ini sesuai dengan ijtihad dan pemahaman mereka. Itu adalah
sesuatu yang tidak mungkin terjadi karena pembagiannya telah diatur oleh Allah.
Wanita, anak perempuan, dan anak-anak kecil adalah
orang yang paling berhak mendapat warisan karena kelemahan dan kebutuhan
mereka. Dengan memberikan hak waris kepada wanita, Islam telah membebaskannya
dari penindasan kaum jahiliyah terhadap wanita, yang selama berabad-abad hidup
sebagai tawanan.
Jadi, memberikan hak waris kepada wanita merupakan
bentuk ketaatan kepada Allah dan melawan tradisi jahiliyah. Tradisi jahiliyah
tersebut senantiasa berulang setiap berulangnya kejahiliyahan sepanjang
sejarah. Masih ada saja orang yang tidak mau memberikan bagian warisan untuk
saudara perempuannya, bibinya, atau istri ayahnya dan menganggap itu adalah kehinaan
baginya. Ada juga yang mengingkari dan tidak mengakui hubungan kekerabatannya
kemudian bersekongkol dengan seluruh kerabatnya demi pengingkaran itu. Di
antara mereka ada yang mengintimidasi ahli waris perempuan agar mau mengalah
sehingga dia terpaksa melepas haknya. Sedikit sekali wanita yang mau melepaskan
haknya dengan sukarela, tetapi jika dia menuntut haknya, dia terancam akan
dikucilkan. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
4.
Hak mendapat hiburan
Dasarnya adalah hadits Aisyah, dia
berkata, "Aku bermain boneka di dekat Rasulullah, beliau lalu mendatangkan
teman teman sepermainanku satu persatu."
Aisyah berkata, "Aku bersama
Rasulullah dalam suatu perjalanan, aku kemudian menantang beliau berlomba lari
dan aku bisa mengalahkan beliau. Setelah badanku gemuk, aku kembali mengajak
beliau berlomba, lalu beliau bisa mendahuluiku seraya berkata,
"Kemenangan hari ini sebagai penebus kekalahanku yang dulu.
Aisyah berkata, "Saya melihat orang-orang
Habasyah sedang memainkan tombaknya di dalam masjid, sedangkan Rasulullah
menutupiku dengan bajunya. Saya terus melihatnya hingga saya bosan dan
meninggalkannya maka perkirakanlah usiaku adalah seumur anak perempuan yang baru
senang bermain."
Urwah meriwayatkan dari Aisyah bahwa Abu Bakr pernah
datang menemuinya, sedangkan di sampingnya ada dua anak perempuan yang sedang
menyanyi dan memukul genderang pada hari Mina (Idul Adha). Pada waktu itu, Nabi
menutup wajahnya dengan kainnya maka diusirlah dua gadis itu oleh Abu Bakr.
Nabi pun membuka wajahnya dan berkata kepada Abu Bakr, 'Biarkanlah mereka
itu, wahai Abu Bakr, sebab hari ini adalah hari raya (hari bersenang-senang).
"
Dalam riwayat lain, Aisyah berkata, "Kadang
kala aku yang meminta kepada Nabi, tetapi terkadang beliau yang menawariku,
'Apakah kamu ingin menyaksikannya?" Aku jawab, 'Ya.' Beliau lantas
menyuruhku berdiri di belakangnya, pipiku menempel di pipi beliau, beliau
berseru, 'Tetaplah bermain tombak, wahai keturunan Bani Arfidah!" Sampai
akhirnya aku bosan. Beliau bertanya, 'Sudah cukup?' Aku jawab, 'Ya. Beliau
berkata, 'Pergilah."
Dalam
beberapa sanad hadits, sebagaimana di dalam hadits Muslim disebutkan bahwa
peristiwa ini terjadi di Masjid Nabawi, Aisyah meletakkan dagunya di pundak
Nabi dan menempelkan pipinya di pipi Nabi. Dia berada di kamarnya, sedangkan
kamarnya berada di samping masjid.
Berdasarkan hadits pertama, kita bisa menyimpulkan
keluwesan Nabi terhadap istrinya, Aisyah, yaitu ketika dia bermain boneka
bersama teman-temannya. Apabila Nabi masuk, mereka (teman-teman Aisyah) berlari
dan menyingkir karena takut kepada Nabi. Dengan kelembutan dan kasih sayang
beliau, Nabi kemudian mendatangkan mereka kepada Aisyah agar bisa bermain
dengannya.
Pendapat ulama yang sahih dalam masalah ini adalah
anak anak perempuan boleh bermain boneka dengan tujuan untuk mempersiapkan
mental mereka mendidik anak sejak dini sehingga mereka bisa menyadari bahwa ini
adalah tugas mereka setelah menikah nanti. Tetapi, sebisa mungkin dihindari
boneka yang menyerupai makhluk hidup, terutama yang memiliki wajah. Perlu juga
dihindari masuknya budaya asing ke dalam masyarakat muslim, seperti pakaian
mini, model potongan rambut yang menyalahi syariat, penggunaan alat-alat musik,
dan sejenisnya yang digunakan musuh Allah untuk memerangi pikiran dan akidah
kaum muslimin. Mereka berusaha mengaitkan umat Islam dengan budaya. pemikiran,
akidah, dan pola hidup orang kafir dalam berbagai bentuk, termasuk kepada
anak-anak melalui berbagai permainan.
Semestinya kaum muslimin berupaya untuk mendirikan
pabrik mainan dan lainnya yang sesuai dengan aturan agama. sebagai ganti
barang-barang yang ditawarkan orang-orang kafir di pasar kaum muslimin. Selain
untuk merampas harta orang muslim, mereka juga menodai agama, tingkah laku, dan
akhlak kaum muslimin.
Rasulullah telah memberi kesempatan kepada istrinya
untuk bermain dalam batas yang tidak dilarang agama karena beliau mengetahui
bahwa hal itu dapat menggembirakannya
Adapun hadits kedua, yaitu hadits tentang perlombaan
(riwayat ini sesuai dengan syarat Imam Muslim, walaupun dia sendiri tidak
meriwayatkannya) hal ini pun menunjukkan pada kebebasan bermain antara suami
dan istri, bahkan lari termasuk olahraga yang dianjurkan para dokter. Lari bisa
mengurangi lemak, menyegarkan badan. membangkitkan semangat, dan membantu alat
pencernaan dalam melaksanakan tugasnya.
D.
HUKUM-HUKUM KHUSUS MUSLIMAH
PASAL
1
THAHARAH
1.
Haid (menstruasi)
v Dasar hukum haid
Dasar hukum pembahasan haid wanita adalah firman
Allahk, "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid
itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita pada waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang
tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (Al Baqarah:
222)
v Pengertian haid
Secara bahasa, haid adalah
sebagaimana yang dikatakan: hadhatil mar atu tahidhu haydhan wa mahidhan wa
makadhan fahiya há idhun wa ha'idhatun (artinya: seorang wanita telah haid,
sedang haid, dan sedang terkena haid maka dia disebut wanita yang sedang haid).
Bentuk plural kata hå'idh dan hâ'idhah adalah hawa'idh dan huyyadh. Wanita
dikatakan haid jika darahnya mengalir. Kata al-haydhah dan al-hidhah (dengan
huruf ha' berharakat fathah atau kasrah) adalah nama dari haid. Sering juga
digunakan untuk menyebut sepotong kain yang dipakai untuk menyumbatnya agar aliran
darah tidak mengenai pakaiannya."Secara istilah, Imam Al-Muwaffiq
mendefinisikan bahwa haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah
balig kemudian hal ini menjadi kebiasaan yang akan terjadi pada hari-hari
yangtelah diketahui.
Imam Al-Bahwati mengartikan bahwa
haid adalah darah alamiah yang keluar dari rahim seorang wanita yang sudah
balig pada hari-hari tertentu yang telah diketahui."
v Hikmah haid
Dijelaskan oleh Imam Al-Muwaffiq bahwa hikmah haid
adalah untuk membantu pertumbuhan anak. Jika seorang wanita mengalami kehamilan
maka dengan izin Allah darah haid tersebut berubah menjadi makanan bagi janin.
Oleh sebab itu, seorang wanita hamil tidak mengalami haid. Ketika janin
tersebut lahir, dengan kebijaksanaan Allah, darah tersebut berubah
v Kapan wanita mengalami haid?
seorang perempuan tidak mengalami haid, kecuali pada
umur tertentu. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa haid terjadi pada perempuan
antara umur 12 hingga 50 tahun. Darah yang keluar sebelum umur 12 tahun atau
setelah umur 50 tahun, itu bukan darah haid, tetapi darah penyakit.
Sebagian ulama fikih ada yang mengatakan bahwa umur
minimal perempuan bisa mengalami haid adalah 6 tahun. Hal ini sebagaimana
disebutkan ulama Mazhab Hanafi, dengan syarat masa keluarnya darah itu sama
dengan masa haid dan tidak disebabkan adanya kelainan.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa umur minimal adalah
9 tahun. Dimungkinkan terjadi haid pada umur genap 9 tahun, sedangkan umumnya
haid terjadi pada wanita berumur 12 tahun dan seterusnya. Jika seorang wanita
mengeluarkan darah dengan sifat-sifat haid tanpa ada sebab lain, sedangkan
umurnya telah memungkinkan terjadinya haid maka darah itu adalah haid. walaupun
umurnya kurang dari 9 tahun. Tetapi, haid yang keluar sebelum umur 9 tahun
adalah jarang (langka terjadi). Maka umur 9 tahun adalah batas minimal seorang
wanita mengalami haid. Wallahu a'lam.
Begitu pula jika seorang wanita telah melampaui umur
50 tahun. Menurut pendapat mayoritas ulama, umur 50 tahun merupakan usia
menopause (berhenti haid karena lanjut usia). Walaupun demikian, jika seorang
wanita masih mengeluarkan darah sebagaimana biasa dan tak ada sebab lain,
seperti sakit atau semacamnya maka darah itu adalah darah alamiah (haid). Dia
dilarang shalat, berpuasa, dan bersanggama hingga keluarnya darah berhenti, ini
jika darah tersebut juga bukan darah istihadhah (darah penyakit).
Berdasarkan
penelitian dan pengamatan, seorang wanita akan berhenti haid antara umur 50
hingga 60 tahun. Hal ini bisa dijadikan sandaran karena hukum bisa berdasar
pada kebiasaan yang terjadi. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan masih
terjadi haid jika memang darah yang keluar sesuai dengan sifat haid dan keluar
selama masa haid sebagaimana biasa.
v Masa berlansungnya haid
Adapun batas minimal masa berlangsungnya haid, dalam
hal ini para ulama berbeda pendapat. Dalam satu mazhab bahkan dapat kita
temukan tiga pendapat. Menurut para pentahkik dari ulama ahli hadits, sebagian
ulama berdalil dengan beberapa riwayat yang tidak sahih. Pendapat yang paling
mendekati kebenaran mengenai batas minimal masa haid bagi wanita adalah terjadi
selama sehari semalam, setelah itu seorang wanita menjadi suci.
Adapun jika ada darah yang keluar secara tidak
tentu, kadang kala, atau kadang-kadang; jika ia sesuai dengan sifat-sifat haid
dan terjadi pada masa haid biasa, tidak menutup kemungkinan bahwa darah itu
adalah haid. Ini karena haid tidak disyaratkan terjadi secara terus-menerus.
Jika darah keluar secara spontan lalu berhenti, tetapi masih terdapat sisa
darah pada kapas atau kain pembalut maka dia masih dalam keadaan haid. Dia
harus berhenti dari shalat dan puasa selama sehari semalam. Jika kemudian
terlihat tanda-tanda haid telah berhenti, hendaknya dia bersuci (sesuai dengan
yang disyariatkan-ed.) lalu shalat, puasa, serta mempersilakan suaminya untuk
menggaulinya.
Keluarnya darah secara sekaligus sangatlah langka,
biasanya hanya terjadi pada wanita yang sedang dilanda sifat kering. Biasanya
yang terjadi adalah darah haid keluar secara berangsur angsur.
Umumnya, haid terjadi selama 6 atau 7 hari, kadang
lebih kadang kurang. Terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Hamnah
binti Jahsy bahwa Rasulullah bersabda, "Kamu mengalami haid, berdasarkan
Ilmu Allah, selama 6 atau 7 hari. Lalu bersucilah dan shalatlah selama 24 atau
23 hari sebagaimana para wanita mengalami haid dan suci dengan masa tersebut.
Begitulah jawaban Rasulullah bagi wanita mustahadhah, yaitu wanita yang tidak
memiliki kebiasaan dan ciri-ciri sebagaimana wanita lain. Hadits ini merupakan
dalil yang wajib dipegang dan diikuti.
Adapun tentang batas maksimal masa berlangsungnya
haid, para ulama pun berbeda pendapat, yaitu antara 10, 15, atau 17 hari.
Sebagian ulama ada juga yang berpendapat bahwa tak ada batas maksimal dan minimalnya,
semua didasarkan pada kebiasaan masing-masing wanita ketika mengalami haid.
Pendapat yang paling unggul adalah pendapat Imam
Syafi'i, Imam Maliki, dan Imam Ahmad yang mengatakan bahwa batas maksimal masa
haid adalah 15 hari. Imam Al-Mardawi berkata, "Inilah mazhab yang benar,
yang banyak diikuti ulama." Telah banyak diriwayatkan bahwa para ulama
berfatwa dengan mengikuti pendapat tersebut. Imam Syafi'i sendiri telah
mengadakan penelitian dan survei bahwa dia tak menemukan seorang wanita yang
mengalami haid lebih dari 15 hari.
v Cairan kekuningan dan agak keruh
Jika
seorang wanita mendapati cairan kekuningan dan agak keruh pada masa haid maka
itu adalah haid; ini adalah pendapat yang mendekati kebenaran dari ulama.
Sedangkan jika ia didapati setelah haid atau sebelumnya maka itu bukanlah haid.
Dasar
yang paling kuat dari permasalahan ini adalah hadits dari Ummu Athiyah. Dia
berkata, "Kami tidak menganggap cairan kuning keruh yang keluar setelah
suci sebagai darah haid."
Pendapat
ini didukung oleh perkataan ummul mukminin, Aisyah, "Jangan kamu
tergesa-gesa menganggap suci sebelum melihat bekas putih." Maksud
perkataan ini adalah apabila seorang wanita melihat bekas putih yang terkadang
disertai cairan kekuningan atau cairan keruh, cairan kuning atau keruh itu
tidaklah dianggap karena sebelumnya telah muncul tanda-tanda kesucian, yaitu
terlihatnya bekas putih. Begitu juga apabila seorang wanita yang terkadang mengeluarkan
cairan kekuningan atau cairan keruh dan kotor sebelum masa haid maka cairan itu
tidaklah dianggap haid.
Adapun masa suci antara dua
haid, pendapat ulama yang paling masyhur adalah tidak ada batasan maksimalnya,
sedangkan batasan minimalnya adalah 13 hari. Pendapat ini mungkin berdasar pada
fatwa Imam Syuraih yang disampaikan di hadapan Khalifah Ar-Rasyid, Ali bin Abi
Thalib. Pada waktu itu, ada seorang wanita yang dicerai suaminya. Dia kemudian
mengaku sudah mengalami haid selama 3 periode sekaligus (selama 35 hari)
kemudian suci dan shalat dalam satu bulan penuh. Ali kemudian berkata kepada
Syuraih, "Jawablah kejadian tersebut." Syuraih berkata, "Jika
wanita itu mempunyai saksi dari keluarga dekatnya yang jujur dan amanah,
persaksiannya diterima. Tetapi, jika tidak ada saksi maka sesungguhnya dia
berbohong." Kemudian Ali berkata, "Benar demikian adanya."
v Hukum-hukum berkenaan dengan wanita haid
a.
Bekas wanita haid
Maksudnya adalah sisa minuman atau
makanan wanita haid. Untuk masalah ini, para ulama sepakat bahwa sisa makanan
atau minuman itu adalah suci. Para ulama berdalil dengan perkataan Aisyah,
"Aku minum ketika sedang dalam keadaan haid lalu kuberikan kepada Rasulullah.
Beliau kemudian meletakkan mulutnya di tempat aku meletakkan mulutku."
Telah terjadi ijmak ulama atas
kesucian seorang muslim, keringatnya, ludahnya, dan air matanya, baik dia
berhadats, sedang junub, sedang haid, maupun nifas.
b.
Darah haid adalah najis
Tidak
ada perselisihan antara para ulama atas najisnya darah haid. Para ulama
berpedoman pada hadits Asma' yang di dalamnya juga memuat cara membersihkan
darah haid. Asma' binti Abi Bakr berkata, "Seorang wanita mendatangi Nabi
lalu bertanya, "Salah seorang dari kami, pakaiannya terkena darah haid,
apa yang kami lakukan?' Nabi menjawab, 'Digosok lalu dihilangkan bekasnya
dengan air lalu perciki air lagi, (setelah itu) boleh digunakan untuk shalat,
"
Syariat
ini menunjukkan bahwa wajib hukumnya membersihkan darah haid yang mengenai
pakaian. Yaitu dengan cara mengeriknya agar hilang bekasnya lalu digosok lagi
dengan air kemudian dicuci dengan air pada bagian pakaian yang terkena darah
supaya bekasnya benar-benar hilang sehingga tiada lagi waswas di hati. Jika
kemudian masih ada sisa (bercak darah) yang terlihat maka itu tidak mengapa.
c.
Berdiam di masjid dan
berjalan melewatinya
Para
ahli fikih hampir bersepakat bahwa berdiam di masjid bagi wanita yang sedang
haid adalah haram hukumnya, kecuali karena keperluan mendesak. Ini karena Nabi
menyuruh para wanita yang sedang haid untuk memisahkan diri di mushalla
(lapangan tempat menunaikan shalat Hari Raya) ¹. Di mushalla sekalipun, wanita
haid diperintah untuk menjauh, apalagi di masjid. Begitu pula dengan melewati
masjid, ia disamakan dengan berdiam di dalamnya dan hal itu juga tidak
diperbolehkan. Wallâhu a'lam.
d.
Shalat
Shalat bagi wanita haid hukumnya adalah haram.
Shalat yang dikerjakannya tidaklah sah, baik itu shalat wajib maupun shalat
sunnah bahkan dia berdosa jika tetap melakukannya. Bagi wanita yang haid,
shalat yang ditinggalkan ketika haid, tidak wajib diqadha (diganti). Ini
berdasarkan hadits Aisyah, "Kami diperintah untuk mengqadha puasa dan
tidak diperintah untuk mengqadha shalat."
Jika wanita haid telah suci dan dia berada pada satu
waktu shalat, sedangkan masih ada waktu untuk melaksanakan shalat itu walaupun
hanya satu rakaat maka shalat itu wajib dilaksanakannya. Misalnya, seorang
wanita haid mendapati dirinya telah suci sebelum terbit matahari, sedangkan
saat itu masih tersedia waktu untuk shalat Subuh, meski hanya satu rakaat. Pada
keadaan ini dia wajib melaksanakan shalat Subuh itu. Ini berdasarkan sabda
Nabi, "Barang siapa mendapati satu rakaat shalat sebelum terbit matahari
maka sebenarnya dia telah mendapati waktu fajar." Begitu juga shalat
Ashar, ini berdasarkan kelanjutan hadits di atas, "Barang siapa mendapati
satu rakaat pada waktu sebelum terbenam matahari maka sebenarnya dia telah
mendapati waktu ashar".
e.
Puasa
Berpuasa
hukumnya haram bagi wanita yang sedang haid, baik puasa wajib maupun puasa
sunnah. Jika dilakukan maka dia berdosa dan puasanya tidak sah. Ini sudah
menjadi kesepakatan para ulama.
Ada
sebagian wanita haid yang merasa canggung untuk makan dan minum di hadapan anak-anak
mereka karena waktu itu adalah siang hari bulan Ramadhan, misalnya. Maka bukan
berarti kemudian dia berpuasa, tetapi dia tetap berniat untuk tidak puasa,
walaupun makan dan minumnya secara sembunyi-sembunyi. Ini demi menjaga perasaan
anak-anak yang sedang puasa.
Adapun
puasa wajib yang terlewati pada waktu haid maka harus diganti. Ini berdasarkan
hadits Aisyah yang telah disebut sebelumnya, "Kami diperintah untuk
mengqadha puasa."
Jika seorang wanita berpuasa pada siang
hari kemudian sesaat sebelum Magrib dia merasa akan keluar haid, sedangkan
darah haidnya baru keluar setelah Magrib maka puasanya sah dan sempurna. Sebab,
syariat menghukumi hanya pada saat keluarnya haid, bukan pada adanya perasaan
akan keluar.
Begitu pula, jika wanita telah suci dari
haid sebelum fajar dan dia berniat puasa pada pagi harinya maka puasanya sah,
walaupun dia belum mandi dan baru bersuci (mandi) pada pagi harinya. Ini
sebagaimana perbuatan Nabi. Beliau pernah dalam keadaan junub pada malam hari
hingga masuklah waktu subuh, setelah subuh beliau baru mandi kemudian berpuasa.
f.
Membaca Al-Qur’an, memegang mushaf,dan berzikir
Tak
ada perselisihan di antara para ulama bahwa wanita yang haid boleh berzikir
kepada Allah dengan zikir apa pun, baik tasbih, tahmid, tahlil, maupun
basmalah. Basmalah bahkan tetap dianjurkan ketika hendak melakukan setiap
pekerjaan. Wanita haid juga boleh bershalawat kepada Nabi dan dia tetap
mendapat pahala. Ini karena ibadah-ibadah tersebut tidak disyaratkan untuk
bersuci. Adapun yang menjadi perselisihan di antara para ulama adalah hukum
membaca Al-Qur'an bagi wanita haid.
Menurut
saya, boleh bagi wanita haid membaca Al-Qur'an secara hafalan atau melihat
dengan tanpa memegang mushaf. Misalnya, dengan cara meletakkan mushaf di
depannya tanpa menyentuhnya secara langsung, atau memakai alat bantu seperti
sarung tangan. Ini hanyalah untuk menghormati dan tata krama (adab), bukan
kewajiban. Sebab, seorang mukmin adalah suci.
Tidak
terdapat suatu dalil yang secara jelas melarang wanita haid membaca Al-Qur'an
atau memegang mushaf, sedangkan hukum asalnya adalah boleh. Tetapi, sebagai
bentuk penghormatan, adab, dan tata krama, sebaiknya wanita haid tidak
membacanya, cukup dengan mendengarkannya dari kaset untuk memperoleh pahala dan
memperlancar hafalan. Sesungguhnya, pahala mendengar sama dengan pahala membaca
dan itu adalah anugerah Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya.
Dengan mendengarkannya (melalui kaset atau media lain-ed.) maka dia tidak perlu
membaca dan memegang mushaf.
Seorang
wanita haid, sebaiknya tidak membaca dan memegang mushaf karena terdapat
perselisihan di antara para ulama, selain itu juga untuk menghormati Kitab
Allah.
g.
Bercumbu dengan wanita haid
Adapun
bersanggama dalam kemaluan (pada saat istri haid) hukumnya haram berdasarkan
dalil nash Al-Qur'an, "Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah, 'Haid itu adalah suatu kotoran.' Oleh sebab itu, hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka
itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya, Allah menyukai
orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri."
(Al-Baqarah: 222)
Ini
juga berdasarkan dalil dari sabda Nabi, "Berbuatlah sesukamu dengan wanita
haid, kecuali nikah," Maksud nikah di dalam hadits ini adalah berhubungan
badan. Para ulama sepakat akan haramnya menggauli wanita yang sedang haid di
dalam farjinya. Imam Nawawi meriwayatkan dari Imam Syafi'i bahwa yang melakukan
demikian telah berbuat dosa besar. Imam Nawawi berkata, "Ulama mazhab kami
berpendapat bahwa barang siapa menyatakan bahwa menyetubuhi wanita yang sedang
haid adalah halal maka orang itu dihukumi kafir."
Suami
boleh bercumbu dengan istrinya yang sedang haid, baik berupa ciuman maupun
pelukan, kecuali farji dan dubur karena ulama bersepakat untuk
mengharamkannya..
Ketika
Nabi sedang ingin bercumbu dengan istrinya yang sedang haid, beliau menyuruh
istrinya merapatkan pakaiannya lalu mencumbuinya, atau farjinya ditutup dengan
kain lalu mencumbuinya.
h.
Mandi
Jika
seorang wanita haid telah mendapati tanda kesuciannya, yaitu munculnya bekas
atau tetes berwarna putih, atau darah benar-benar telah berhenti dan memang
berada pada waktu biasanya haid berhenti maka dia wajib mandi untuk
membersihkan semua anggota badannya. Dianjurkan untuk menyeka rambut supaya air
dapat mengalir pada kulit kepala dan membersihkan kemaluan dan sekitarnya yang
mungkin terkena darah, dengan memakai wewangian seperti misk. Ini berdasarkan
arahan Rasulullah kepada Asma' untuk melakukan hal itu* yang kemudian
dijelaskan secara detail oleh Aisyah bagaimana cara bersuci. Dimungkinkan pula
untuk memakai alat-alat pembersih modern.
Semua
perbuatan ini bertujuan ibadah, yaitu agar dalam menghadap Allah, keadaan badan
suci dan bersih; dan agar seorang istri juga bersih di hadapan suaminya. Wallâhu
a'lam.
Secara
bahasa, Imam Al-Fayruz Abadi berkata, "Wanita yang mengalami istihadhah
adalah yang keluar darahnya bukan dari haid, tetapi karena urat rahim yang
sakit." Imam Ibnu Muflih berkata, "Yaitu wanita yang masih keluar
darahnya setelah masa haid."
2.
Istihadhah (pendarahan)
Sedangkan
secara istilah, istihadhah berarti keluarnya darah pada seorang wanita secara
terus-menerus tanpa henti atau disertai tersendat. Sekarang ini istihadhah
dikenal dengan perdarahan. Sifat darah istihadhah biasanya berwarna merah dan
keluar dari urat rahim.
v Pembagian wanita yang mengalami istihadhah
Wanita
yang mengalami istihadhah (perdarahan) dibagi menjadi tiga, yaitu (1) wanita
pemula, (2) wanita biasa, dan (3) wanita yang belum jelas.
1.
Wanita pemula adalah
wanita yang baru pertama kali keluar darah dan belum diketahui kebiasaan
haidnya. Darah yang keluar darinya bisa diukur dengan batas maksimal masa
berlangsungnya haid sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
Jika (masa) darah yang keluar itu
melampaui batas maksimal haid, itu bisa dianggap darah istihadhah; atau jika
telah melampaui batas maksimal masa haid, sedangkan darah masih mengalir, baik
secara terus-menerus maupun sedikit tersendat.
2.
Wanita biasa, yaitu
wanita yang telah mengetahui kebiasaannya haid, kapan biasa mulai haid dan
kapan berhentinya. Bagi wanita ini, darah yang keluar diukur dengan batas
maksimal masa haid. Misalnya, seorang wanita biasanya mengalami haid selama 5
hari, tetapi suatu ketika darahnya tetap mengalir selama 10 hari, setelah itu
baru berhenti. Darah itu tetap dihitung sebagai haid karena belum melampaui
batas maksimal.
Ada sebagian ulama yang tidak
menganggapnya haid, kecuali jika kejadian tersebut telah terulang selama 3
kali. Akan tetapi, secara lahir, darah itu tetap dihitung sebagai haid selama
belum melampaui batas maksimal masa haid.
3.
Bagi wanita yang
mengalami istihadhah, apa pun kondisinya dia wajib untuk selalu berwudhu setiap
kali hendak shalat. Sebab, dia dalam keadaan berhadats secara terus-menerus. Wanita
yang sedang istihadhah pun tidak boleh melarang suaminya untuk menggaulinya,
kecuali pada masa haidnya. Hal ini karena tidak ada riwayat yang menjelaskan
perkara tersebut, baik riwayat dari Fathimah binti Abi Hubaisy, Hamnah binti
Jahsy, Sahlah binti Suhail, maupun dari wanita-wanita (shahabiah) lain. Tidak
ada riwayat yang menyebutkan tidak boleh bersanggama.pada waktu istihadhah,
kecuali hanya karena jijik.
3.
Nifas
Kata
nifas secara bahasa berarti proses persalinan seorang wanita. Jika dia telah
melahirkan maka dia sedang nifas. Adapun secara istilah, nifas adalah darah
yang keluar dari rahim pada saat melahirkan dan sesudahnya selama waktu
tertentu. Pendapat ulama
yang paling benar mengatakan bahwa tak ada batas minimal mengenai masa nifas,
ketika seorang wanita melahirkan dan setelah kering (berhenti keluar darah)
maka dia wajib mandi.
Batas
maksimal masa berlangsungnya nifas, secara umum adalah selama 40 hari. Ini jika
wanita yang telah melahirkan tidak mendapati dirinya suci sebelum itu. Jika dia
mendapati dirinya telah suci, yaitu dengan munculnya bekas putih yang keluar
bersama tetes darah, atau darah sudah berhenti dengan tidak adanya lagi bekas
pada kapas pembalut maka wajib baginya mandi dan shalat.
Suami
yang menggauli istrinya sebelum 40 hari setelah melahirkan, hukumnya makruh
karena dikhawatirkan darah akan keluar lagi. Tetapi, menurut Ibnu Taimiyah hal
tersebut tidaklah makruh, itulah hukum yang benar berdasarkan hukum Qiyas
(analogi).
Adapun
darah nifas yang masa keluarnya lebih dari 40 hari, jika itu memang sudah
menjadi kebiasaannya maka dia belum boleh shalat. Darah yang mengalir itu memiliki
sifat darah nifas, itu dianggap nifas hingga berhenti, meski sampai 2 bulan
lamanya.
Jika
darah yang mengalir lebih dari 40 hari dan warnanya berubah seperti warna
daging maka itu adalah darah istihadhah. Pada kondisi seperti ini, wanita harus
mandi, shalat, dan memperlakukan dirinya sebagaimana wanita yang sedang
istihadhah. Berdasarkan analisis, sebagaimana diriwayatkan dari ulama salaf,
juga berdasarkan hal yang umum terjadi sekarang ini bahwa masa 40 hari adalah
batas maksimal nifas. Nifas kadang berhenti sebelum atau sesudah 40 hari, hanya
terpaut sedikit saja. Maka dari itu, secara umum masa 40 hari inilah yang
dijadikan tolok ukur nifas.
Imam Tirmidzi berkata, "Para
ulama bersepakat bahwa wanita yang sedang nifas tidak boleh shalat selama 40 hari,
kecuali dia telah mendapati dirinya suci sebelum itu maka dia mandi lalu
shalat."
Hukum bagi wanita yang sedang nifas
adalah sama dengan hukum wanita haid, baik yang mubah maupun yang dilarang dan
hal ini telah dijelaskan sebelumnya. Darah nifas sebenarnya adalah darah haid
yang tidak keluar karena kepentingan janin.
Jika seorang wanita berada dalam
masa iddah maka iddahnya berakhir setelah ia melahirkan. Hal ini berlaku bagi
semua wanita yang sedang menunggu masa iddah, sekalipun ia menjanda. disebabkan
ditinggal mati suami. Ini berdasarkan pendapat yang paling sahih.
Jika wanita mendapati dirinya
mengeluarkan darah, sesaat sebelum melahirkan, maka itu adalah nifas. Tapi,
jika yang keluar adalah air, bukannya darah maka itu belum dianggap nifas. Dia
tetap shalat dan puasa hingga melahirkan atau mengeluarkan darah nifas. Begitu
juga rasa sakit sebelum melahirkan belum dianggap sebagai nifas, tapi itu
adalah pendahuluannya saja maka dia tetap shalat, berpuasa, dan sebagainya.
Wajib bagi seorang muslimah untuk berhati-hati dalam urusan agama dengan
menjalankan seluruh kewajibannya. Dia harus memerhatikan keadaan dirinya,
apakah masih dalam keadaan suci atau sudah dalam keadaan nifas. Ini berdasarkan
tanda-tanda yang telah kami sebutkan di atas dan janganlah dia tergesa-gesa.
4.
Junup
E. PERNIKAHAN DAN BERUMAH
TANGGA
1.
Nikah
v Pengertian nikah
Secara bahasa, kata nikah berarti
persetubuhan dan akad nikah maksudnya adalah ikatan perkawinan. Beberapa teks
di dalam kamus bahasa yang berhubungan dengan kata nikah: tanakahatil asyjar
(pohon berkawin) jika pohon-pohon tersebut saling bersatu. Nakahal matharu
al-'ardha (hujan menikahi bumi) maksudnya keduanya saling bergantungan. Nakahan
nu'as 'ainaihi (seorang yang mengantuk mempertemukan kedua kelopak matanya)
maksudnya sangatlah mengantuk." Adapun secara istilah, nikah berarti
sebuah akad atas kepemilikan terhadap manfaat kemaluan yang dilakukan dengan
sengaja.
v Nikah dalam pandangan syar’i
Pernikahan disyariatkan berdasarkan
Al-Qur'an, hadits, dan imak. Dalil-dalinya dari Al-Qur'an cukup banyak, di
antaranya adalah firman Allah, "Dan nikalikanlah orang-orang yang
sendirian di antara kamu dan orang-orang yang patut (nikali) dari hamba hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan membuat mereka kaya
dengan karunia-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui." (An-Nûr: 32)
Allah juga berfirman, "Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya) maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga, atau empat, kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki,
yang demikian itu adalah lebih memungkinkan untuk tidak berbuat aniaya." (An-Nisâ':
3)
Dasar dari hadits pun banyak sekali
hadits yang menyebutkannya, sebagian telah disebutkan pada pembahasan yang
lalu. Hadits utama sebagai dasar pernikahan adalah sabda Nabi:
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج
، ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
"Wahai
para pemuda, barang siapa di antara kamu yang telah mampu maka menikahlah
karena pernikahan akan lebih bisa menjaga mata dan kemaluan. Dan barang siapa
yang belum mampu maka berpuasalah karena puasa merupakan benteng penjagaan.
2.
Rukun dan syarat nikah
v
Rukun nikah
(1)
Ijab (serah)
Yaitu lafal atau perkataan penyerahan yang diucapkan
wali atau yang mewakili pihak perempuan. Contoh perkataannya:
"Aku
mengawinkanmu..." Atau, "Aku menikahkanmu..." Ijab ini diucapkan
sebelum Qabul.
(2)
Qabul (terima)
Yaitu perkataan penerimaan dari pihak calon suami
atau wakilnya. Contoh perkataannya: "Aku terima nikahnya..." Atau,
"Aku mengawininya..." Atau, "Aku rela menikahinya." Qabul
ini dilakukan setelah Ijab. Bagi yang bisa berbahasa Arab maka tidak sah jika
menggunakan bahasa yang lain.
(3)
Calon suami dan istri, tanpa ada halangan
v Syarat nikah
(1)
Menentukan dengan tegas siapa nama calon suami atau istri. Ini seperti
perkataan pihak perempuan pada saat ijab: "Aku kawinkan kamu dengan anakku
si fulanah." Perkataan ini diucapkan jika dia memiliki anak perempuan
lebih dari satu. Jika hanya memiliki satu anak perempuan maka cukup berkata:
"Aku nikahkan kamu dengan putriku." Pihak pria kemudian mengatakan:
"Aku terima nikahnya untuk anakku si fulan," kemudian disebut namanya
untuk membedakan dengan. saudaranya yang lain. Jika tidak mempunyai saudara,
cukup berkata: "Aku terima nikahnya untuk putraku." Sebatas
pengetahuan saya, hal ini merupakan kesepakatan ulama. (2) Kerelaan kedua calon
mempelai
Syarat
ini berdasarkan sabda Nabi:
لا
تنكح الأيم حتى تستأمر ولا تنكح البكر حتى تستاذن
"Seorang
janda tidak dinikahi sampai dikonsultasikan dan seorang gadis tidak dinikahi
sampai dimintai izin: " Diriwayatkan bahwa Nabi membatalkan pernikahan Al
Khansa' binti Khidam ketika dia melapor kepada Nabi dan mengatakan bahwa dia
tidak menyukai suaminya. Secara umum, telah terjadi kesepakatan ulama dalam hal
ini dan kesepakatan ini banyak diriwayatkan oleh ulama. Salah seorang ulama
berpendapat bahwa bagi perempuan gila atau yang akalnya kurang sehat, walinya
boleh menikahkannya tanpa seizin perempuan tersebut. Sebab si perempuan tidak
mengetahui maslahat bagi dirinya dan tak mungkin meminta izin kepadanya.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang ayah boleh
menikahkan putrinya yang belum berumur 9 tahun tanpa seizin putrinya, dengan
syarat hanya boleh dilakukan oleh ayah kandungnya. Adapun setelah berumur 9
tahun ke atas, walaupun belum balig maka tak seorang pun boleh memaksanya untuk
menikah, termasuk ayah kandungnya sendiri.
Berkaitan dengan masalah ini, ada sebuah fenomena
yang biasa terjadi dan menjadi tradisi di masyarakat. Yaitu seorang ayah yang
memiliki wewenang penuh untuk menikahkan putrinya. Seorang ayah bisa memaksa
putrinya untuk menikah, walaupun putrinya itu telah dewasa dan mengetahui
maslahat dirinya. Sedangkan pada masyarakat lain, yang terjadi adalah
sebaliknya. Yaitu seorang perempuan memiliki wewenang penuh untuk menikah,
tidak seorang pun yang boleh ikut campur di dalamnya, walaupun itu ayahnya
sendiri. Ayahnya bahkan merupakan orang terakhir yang mengetahui pernikahannya.
a
Mahar wanita
Mahar (Maskawin) dalam bahasa Arab disebut shidâq,
disebut juga al-mahr, an-nihlah, al-haba', al-'aqr, al-'alâ'iq, dan ash
shadaqah. Secara bahasa, kata shidâq diambil dari kata shidq (jujur) karena
mahan ini bertujuan untuk meyakinkan mempelai perempuan bahwa mempelai
laki-laki benar-benar mencintainya.
Pensyariatan mahar juga telah menjadi ijmak para
ulama. Sebagian bahkan ada yang berpendapat bahwa nikah dibatalkan jika maharnya
bermasalah. Tak ada batas maksimal atau minimal dalam mahar, tetapi yang
disunnahkan adalah mempermudah mahar. Wanita yang paling berkah adalah yang
mempermudah mahar (tidak mewah). Masalah ini telah dijelaskan sebelumnya maka
tidak perlu kami ulangi.
v Mahar adalah hak perempuan secara syar’i
Allah
berfirman:
"Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan, kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya." (An-Nisâ'; 4)
Hal yang patut disayangkan adalah sikap sebagian
besar orang yang menjadikan anaknya atau saudarinya sebagai barang dagangan
yang dipasarkan secara terang-terangan. Mereka beranggapan bahwa mahalnya
maskawin akan membuat perempuan bertambah tinggi nilainya atau bertambah wibawa
dan martabatnya di atas laki-laki. Mereka bahkan beranggapan bahwa mahalnya
maskawin akan mampu menghalangi suami untuk melakukan poligami.
Semua alasan ini tidak boleh dijadikan dalih bagi
para wali untuk berlebih-lebihan dalam maskawin wanita. Mahalnya mahar
pernikahan bahkan bisa menjadi penyebab utama rusaknya moral para pemuda dan
kelakuan mereka yang menyimpang.
v Kapan wanita berhak menerima mahar?
Mahar disebutkan sebelum akad, ini adalah yang
paling baik. Boleh juga menyebutkannya di dalam lafal akad. Mahar harus
diketahui dengan jelas. Mahar menjadi milik wanita melalui akad nikah dan
menjadi tanggungan yang harus ditunaikan suami setelah terjadi persetubuhan
(misalnya jika saat akad nikah disebutkan sebagai tanggungan atau utang-ed.)
Keuntungan yang berkembang dari mahar tersebut sepenuhnya menjadi hak istri.
Dia boleh memanfaatkannya sesuka hatinya, baik dengan menjualnya, menghadiahkannya,
mewakafkannya, maupun yang lainnya.
b.
Talak
Secara bahasa, talak berarti perpisahan,
menghilangkan ikatan, dan melepaskan diri. Secara istilah, talak berarti
mengakhiri jalinan pernikahan dengan lafal tertentu."
Dasar
disyariatkannya talak adalah Al-Qur'an, sunnah, dan ijmak.
Allah
berfirman:
ينأيها
النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتين
"Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)..."
(At-Thalaq: 1)
Dasarnya dari hadits, ada banyak hadits yang
menjelaskan hal ini, di antaranya adalah kisah Ibnu Umar ketika menceraikan
istrinya. Dia lalu diperintah Nabi untuk merujuknya dan membiarkan istrinya itu
hingga dia suci, lalu haid, lalu suci lagi. Setelah itu terserah, mau tetap
dijadikan istri atau mau diceraikan sebelum digauli. Itulah iddah yang telah
ditetapkan oleh Allah dalam menceraikan istri.
Secara umum, semua umat Islam sepakat atas bolehnya
talak. Misalnya karena-mungkin-rumah tangga tidak lagi harmonis dan selalu
dipenuhi dengan pertikaian, sehingga jadilah rumah tangga bagaikan neraka. Di
sinilah fungsi talak, yaitu sebagai jalan keluar untuk menghilangkan kebuntuan
dan mencegah bahaya.
Secara umum, hukum asal talak adalah boleh. Talak
kemudian bisa menjadi wajib jika memang suami dan istri menginginkannya dan
telah jatuh vonis hakim untuk talak. Talak juga bisa menjadi makruh jika
dilakukan tanpa sebab karena pada saat itu talak adalah sesuatu yang halal,
tetapi paling dibenci Allah. Talak juga bisa menjadi haram jika termasuk talak
bidah, ini akan dijelaskan selanjutnya. Talak juga bisa dianjurkan jika memang
seorang istri tidak mau menjaga dirinya dan meremehkan urusan agama, meski
telah diingatkan oleh suami. Selain pada kasus-kasus seperti ini hukum talak
adalah mubah (boleh).
v Hikmah talak
Allah telah mensyariatkan pernikahan bagi manusia.
Dengan pernikahan maka suami dan istri akan bergaul dan berumah tangga. Rumah
tangga-selamanya-tidak lepas dari permasalahan. Sikap dan tingkah laku yang terkadang
kemudian berubah, menjadikan perselisihan dan pertikaian yang tak kunjung usai.
Jika dari pihak suami, istri, atau keluarga keduanya tak mampu lagi
menyelesaikan pertikaian tersebut maka jalan satu satunya adalah perpisahan.
Banyak orang kalangan Barat yang mencela Islam
karena membolehkan talak. Mereka menganggap talak adalah melecehkan wanita.
Sebagian kalangan Islam pun kemudian mengekor pendapat mereka. Mereka yang
mencela Islam, sebenarnya tidak tahu atau (mungkin) pura-pura tidak tahu bahwa
talak juga ada di dalam syariat Yahudi dan ini telah dikenal sejak dahulu.
Mereka, para pencela Islam, hanya melihat pembolehan
talak dalam Islam hanya dari satu sisi, yaitu musibah yang menimpa wanita
ketika ditalak. Tetapi, mereka melupakan banyak hal yang menjadi hikmah dari
pembolehan talak. Jika harmonisasi rumah tangga telah terganggu dan tak mungkin
lagi diselesaikan, jalan satu-satunya adalah perceraian. Allah telah berfirman,
"Jika keduanya bercerai maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing
dari limpahan karunia-Nya..." (An-Nisâ': 130)
Banyak hal yang kadang menjadi sebab harus terjadi
perceraian karena hanya itu yang bisa ditempuh untuk memperoleh kebaikan dan
menjaga keutuhan keluarga keduanya dan masyarakat.
Seorang suami atau istri terkadang mendapati
pasangannya berperangai buruk dan berkelakuan bejat. Kondisi ini membuatnya
akan terjerumus ke dalam musibah karena memiliki pasangan yang tak bermoral.
Akhirnya tak ada jalan lain, kecuali talak.
Nabi tidak mengingkari seorang wanita yang datang
kepadanya dan berkata, "Wahai Rasulullah, suamiku, Tsabit bin Qais, aku
tak mencelanya dalam hal agama ataupun perilakunya, tetapi aku sudah tidak kuat
lagi dengannya dan aku takut akan kekafiran," Rasulullah bertanya,
"Apakah kamu akan mengembalikan kebunnya?" Wanita tersebut menjawab,
"Iya." Rasulullah kemudian bersabda (kepada Tsabit), "Ambillah
kebunmu dan ceraikanlah istrimu."
Pokok dalam permasalahan ini adalah bahwa Rasulullah
tidak mengingkari kebencian istri Tsabit bin Qais bin Syammas kepada suaminya.
Beliau juga tidak mengingkari ketidaksabarannya dan kerisauannya terhadap buruk
rupa dari Tsabit. Istri Tsabit kemudian melakukan khulu' (minta cerai). Khulu'
ini termasuk bentuk perceraian antara suami dan istri.
c.
Rujuk
v Syarat-syarat rujuk
1.
Bisa rujuk dengan
syarat talaknya bukan talak ba'in. Semua talak atau faskh yang ba'in
(perpisahan selamanya), sekalipun itu ba'in sughra (kecil), seorang suami tidak
boleh lagi untuk rujuk.
2.
Disyaratkan bahwa
istri yang dirujuk masih berada dalam masa Iddah dan tidak harus ada
persetujuan atau kerelaan dari pihak istri. Kata-kata rujuk, misalnya: aku
merujuk. istriku, aku kembali kepada istriku, aku mengikatnya kembali, dan
lafal-lafal lain yang mengandung maksud tersebut.
v Lain-lain tentang rujuk
·
Seorang istri yang
telah dirujuk adalah benar-benar seorang istri. Dia wajib dinafkahi, boleh
disetubuhi, dan berhak mendapat warisan jika suaminya meninggal. Seorang suami
masih menjadi ahli waris seorang istri yang tertalak, jika dia meninggal
sebelum habis masa iddahnya. Tetapi, istri yang tertalak, tidak bisa mendapat
bagian warisan dari suami yang meninggal, kecuali dia telah dirujuk.
·
Disunnahkan untuk
melakukan persaksian dalam rujuk, sedangkan menurut pendapat yang sahih, hal
itu tidaklah wajib.
·
Jika suami rujuk,
bilangan talaknya berkurang setelah dikurangi talak yang dijatuhkannya.
·
Hukum rujuk adalah
sunnah. Sebagian ulama ada yang mewajibkannya dengan dalil lahir hadits riwayat
Ibnu Umar, yaitu perintah Nabi, "Perintahkan dia untuk merujuknya."
Dengan rujuk ini-mungkin-perilaku istri bisa lebih baik, jika benar jatuhnya
talak disebabkan kelakuan istri, seperti menggampangkan urusan agama, misalnya.
Barangkali suami akan dikarunaia keturunan setelah rujuk maka itu akan menjadi
kebaikan bagi mereka.
d.
Iddah
Secara
bahasa, kata iddah diambil dari kata 'adad yang berarti bilangan karena waktu
iddah merupakan bilangan yang telah ditentukan. Secara istilah, Iddah berarti
masa menunggu selama waktu tertentu bagi istri yang telah berpisah dengan
suaminya. Dasar Iddah adalah Al-Qur'an, sunnah, dan ijmak.
Allah
berfirman:
والمطلقت
يتربص بأنفسهن ثلاثة قرو
"Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'..."
(Al-Baqarah: 228) Adapun dalil dari sunnah adalah sabda Nabi kepada Fathimah binti
Qais:
اعتدى
في بيت ابن أم مكتوم فإنه ضرير البصر تلقى ثوبك عنده فإذا انقضت عدتك فأذنيني
"Beriddahlah
(tunggulah) di rumah Ibni Ummi Maktum karena dia adalah orang yang buta
sehingga kamu bisa hidup dan meletakkan pakaianmu di sana, jika kamu telah selesai
menjalani masa iddah maka beritahulah aku.
Secara
umum, umat Islam juga telah sepakat atas wajibnya iddah. Ini sebagaimana
kesepakatan mereka bahwa istri yang ditalak sebelum digauli maka dia tidak
mempunyai iddah.
e.
penyusuan
Secara bahasa kata radha' adalah bentuk mashdar
(kata kerja tanpa zaman) dari kata radha'a. Dikatakan radha'ats tsadya artinya
dia menetek susu ibu. Secara istilah, radha' berarti meneteknya anak yang
berumur kurang dari dua tahun, dia menetek terhadap susu seorang perempuan yang
sedang melimpah air susunya, baik karena hamil atau lainnya. Dasar
diharamkannya menikahi seseorang karena radha' (menyusu) adalah dari Al-Qur'an,
sunnah, dan ijmak.
v Syarat menyusui yang berakibat haram nikah
1.
Menyusu kepada seorang
wanita. Jafi, menyusu pada hewan tidak menyebabkan haram, ini sudah menjadi
kesepakatan ulama.
2.
Anak yang menyusu
berumur 2 tahun atau kurang. Ulama sepakat bahwa orang dewasa yang menyusu
tidaklah menjadikan mahram. Adapun riwayat dari Salim Maula Abi Hudzaifah
adalah terkhusus baginya. Para istri Nabi berbeda pendapat dengan Aisyah. Yaitu
sesuatu yang mengenyangkan perut dan menumbuhkan daging. (maksudnya boleh bagi
orang dewasa mengulum puting susu istrinya dan tidak menjadikannya mahram)
3.
Air susu haruslah
berasal dari kehamilan atau sehabis melahirkan, ini menurut pendapat yang
benar.
4.
Menyusui sebanyak lima
kali dan seterusnya dan harus mengenyangkan. Jadi, tidak menyebabkan mahram
jika hanya satu kali atau dua kali kuluman, tidak juga menjadikan mahram jika
hanya satu atau dua kali menyusu, tidak pula yang kurang dari lima kali. Ini
berdasarkan hadits Aisyah "Dahulu termasuk dalam ayat Al-Qur'an yang
diturunkan menyebutkan bahwa sepuluh kali susuan menjadikan mahram lalu ayat
ini di-naskh (diganti) dengan lima kali susuan."
1.
Fitrah Muslimah
Allah berfirman, "Hai anak Adam,
sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi auratmu, dan pakaian
indah untuk perhiasan, dan pakaian takwa itulah yang terbaik. Yang demikian itu
adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu
ingat. Hai anak Adam, jangan sekali kali kalian dapat ditipu oleh setan
sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu-bapakmu dari surga, ia menanggalkan
dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya.
Sesungguhnya, ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang
kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya, Kami telah menjadikan setan-setan
itu pemimpin pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman." (Al-A'râf:
26-27)
Allah berfirman, "Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan
jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan. Katakanlah, 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah
yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah, 'Semuanya itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja)
pada hari Kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang
yang mengetahui." (Al-A'râf: 31-32)
Allah telah menjadikan tabiat untuk manusia: sifat
malu, kenyamanan dengan menutup aurat, dan kebencian jika auratnya terbuka.
Adapun setan, ia adalah musuh bebuyutan manusia dan selalu menghendaki
terbukanya aurat Adam dan Hawa.
v Makna fitrah
Fitrah berarti penciptaan awal, tabiat, agama, atau
ajaran sunnah. Maksud fitrah pada hadits di atas adalah segala sesuatu yang
disebutkan, jika dilakukan maka orang yang melakukan tersebut bersifat suci,
sebagaimana tabiat awal yang diciptakan oleh Allah. Manusia dianjurkan untuk
mengerjakannya supaya tercapai sifat mulia dan berpenampilan sempurna.
Sebagiannya telah disebutkan dalam pembahasan
thaharah (bersuci) maka tak perlu diulangi lagi. Di sini, saya akan
memfokuskannya pada berbagai permasalahan fitrah yang berhubungan dengan wanita
dan kewanitaan.
2.
Pakaian wanita
Telah dibahas sebelumnya bahwa Allah memberi
kehormatan kepada manusia dengan dua pakaian, yaitu pakaian penutup aurat dan
pakaian ketakwaan. Keduanya merupakan pakaian orang mukmin dan mukminah.
Fitrah seorang manusia adalah dia akan merasa nyaman
dengan menutup auratnya dan merasa risih jika auratnya terbuka. Berikut
beberapa permasalahan terkait dengan pakaian wanita.
v
Aturan syar’I pakain
Muslimah
1.
Tidak boleh tipis dan
tidak transparan, kecuali ketika di depan suami. Dasar dari syarat ini ialah
hadits yang diriwayatkan Aisyah bahwa saudara perempuannya, Asma' binti Abu
Bakr datang kepada Rasulullah memakai pakaian menerawang, Rasulullah lantas
berpaling darinya dan berkata, "Wahai Asma', jika seorang wanita telah
memasuki masa haid maka tidak boleh terlihat darinya, kecuali ini dan
ini." Beliau mengisyaratkan pada wajah dan kedua telapak tangan. Sanad
hadits ini terdapat Sa'id bin Basyir, dan dia termasuk rawi yang
diperselisihkan. Abu Dawud berkata setelahnya, "Ini adalah hadits mursal
(tidak bersambung sanadnya) karena Khalid bin Duraik tidak bertemu dengan
Aisyah as Hadits ini diperkuat dengan hadits Dihyah tentang pakaian qibti
(sebuah pakaian dari kain katun tipis yang dinisbatkan kepada kaum Qibti), yang
termasuk pakaian transparan. Nabi kemudian memerintahkan Dihyah untuk menyuruh
istrinya mengenakan dua lapis kain sehingga tidak memperlihatkan tubuhnya.
2.
Tidak boleh
memakai pakaian ketat yang mengundang rangsangan. Ini berdasar hadits Usamah
bin Zaid . Dia berkata. "Rasulullah memberiku pakaian qibti yang ketat,
yaitu pakaian yang diberikan oleh Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Pakaian
tersebut kemudian kuberikan kepada istriku. Rasulullah bertanya kepadaku,
Mengapa kamu tak memakai pakaian qibti?" Aku menjawab, "Wahai
Rasulullah, aku berikan pakaian itu kepada istriku.' Rasulullah bersabda,
"Suruhlah istrimu untuk memakai pakaian dalam terlebih dahulu (maksudnya
disuruh memakai pakaian rangkap) karena aku takut itu akan memperlihatkan
bentuk tulangnya (maksudnya lekuk tubuh). "Hadits yang diriwayatkan Imam
Muslim berikut ini semoga dapat memperkuat dua syarat di atas. Abu Hurairah
berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Ada dua jenis penghuni neraka yang belum
pernah aku lihat: suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi dan
digunakan untuk memukuli manusia dan wanita-wanita yang berpakaian, tapi
telanjang, menarik perhatian, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk
unta yang miring, mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak akan mencium
baunya, sedangkan bau surga bisa dicium dari jarak sekian dan sekian.
"Jadi, wanita yang memakai pakaian transparan dan ketat yang dapat
memperlihatkan bentuk tubuhnya dia disebut berpakaian, tetapi telanjang.
Batasan aurat wanita terbagi menjadi lima: (1) aurat
ketika di hadapan pria lain, (2) aurat pada waktu shalat, (3) aurat ketika
bersama sesama wanita, (4) aurat ketika bersama suaminya, dan (5) aurat ketika
sendirian.
1.
Aurat wanita ketika
berhadapan dengan pria lain.
Para ulama bersepakat bahwa perempuan yang telah haid atau
telah mencapai umur balig, tubuhnya tidak boleh ada yang terlihat oleh
laki-laki lain. Sebagian ulama berpendapat hanya wajah dan kedua telapak tangan
yang boleh terlihat. Adapun pendapat yang saya anut adalah tidak satu bagian
pun tubuh perempuan yang boleh terlihat laki-laki lain. Kuku saja tidak boleh
terlihat, apalagi wajah dan telapak tangan, kecuali jika ada alasan syar'i.
2.
Aurat wanita pada waktu
shalat.
Jika wanita bersama jamaah pria, dia wajib menutupi seluruh
tubuhnya hingga wajah dan telapak tangan. Adapun jika bersama jamaah wanita
atau sedang shalat sendiri (di rumah, misalnya), dia boleh membuka wajah dan
telapak tangannya, sebagaimana dilakukannya pada waktu ihram. Disebutkan di
dalam hadits Nabi bahwa beliau bersabda, "Allah tidak menerima shalat
wanita yang sudah haid, kecuali dengan kerudung. " Nabi bersabda,
"Wanita adalah aurat. "150 Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah,
"Wahai Rasulullah, apakah ketika shalat wanita
3.
Aurat wanita bersama mahramnya.
Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Sebagian ulama
ada yang berpendapat keras, ada juga yang lunak. Termasuk pendapat terbaik yang
pernah saya baca adalah yang ditulis oleh Imam Al-Muwaffiq Ibnu Qudamah. Beliau
membuat sebuah pasal: Laki-laki boleh melihat wanita mahramnya, yaitu sesuatu
yang biasa terlihat darinya, seperti leher, kepala, telapak tangan, kaki, dan
sebagainya. Dia tidak boleh melihat yang biasanya tertutup, seperti dada,
punggung, dan sebagainya 152 Ini jika dirasa aman dari syahwat. Tetapi, jika
melihatnya kemudian dia terangsang (timbul syahwat) maka melihatnya diharamkan
secara mutlak.
Sebaiknya wanita menutupi tubuhnya, meskipun di hadapan
mahramnya, terutama mahram laki-laki yang masih muda. Terbukti pada zaman
sekarang banyak terjadi fitnah. Pornografi banyak tersebar di media massa,
sedangkan tayangan pendidikan agama sangatlah sedikit.
3.
Perhiasan Wanita
Syariat Islam yang arif membolehkan wanita mengenakan
perhiasan untuk mempercantik diri dan menambah cinta suami, boleh juga
memperlihatkannya dengan penampilan yang pantas untuknya. Banyak dalil
menyebutkan bahwa wanita berhias diri dengan mengenakan perhiasan emas dan
perak, baik di tangan, telinga, atau kakinya.
Allah
berfirman:
ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما تخفين من زينتهن
"Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan" (An Nûr: 31)
واتيتم إحديهن قنطارا فلا تأخذوا منه شيئا
" Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang
di antara mereka harta yang banyak maka janganlah kamu mengambil kembali
darinya barang sedikit pun..." (An-Nisa': 20)
Hadits Ibnu Abbas menyebutkan bahwa setelah shalat
hari raya, Nabi memberi nasihat kepada para wanita dan memerintahkan mereka
untuk bersedekah. Mereka pun kemudian bersedekah. Sebagian mereka ada yang
bersedekah dengan cincin, ada yang dengan anting-anting, ada yang dengan
kalung, dan ada yang dengan gelang emas. 171 Sebagian besar perhiasan itu
terbuat dari emas atau perak, mereka banyak memakai kalung dari zhifâr, yaitu
sejenis mutiara dari Yaman.
Sekarang ini banyak ditemukan berbagai jenis
perhiasan, ada yang terbuat dari intan dan permata, yang merupakan perhiasan
termahal. Banyak juga jenis perhiasan lain yang terbuat dari logam mulia yang
dibuat berpasang-pasangan (satu set). Perhiasan yang bagus dan mahal dari jenis
ini adalah yang terbuat dari kristal asli (diamond).
4.
Parfum wanita
v
Parfum wanita dan
hukumnya
Secara
umum, berdasarkan kesepakatan ulama bahwa hukum memakai parfum adalah sunnah,
tetapi terkadang dilarang karena beberapa sebab.
Dalil
mengenai hal itu adalah hadits dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah
bersabda:
من
عرض عليه طيب فلا يرده فإنه طيب الريح خفيف المحمل
"Barang
siapa ditawari minyak wangi maka jangan menolaknya karena harum baunya serta
ringan untuk dibawa. "
Disebutkan juga di dalam hadits Aisyah bahwa ada
seorang perempuan bertanya kepada Nabi tentang mandi haid, beliau lalu
menjelaskan kepadanya cara mandi. Beliau berkata, "Ambillah parfum misk
dan bersucilah dengannya." Perempuan itu berkata, "Bagaimana aku
bersuci?" Nabi menjawab, "Bersucilah dengannya." Dia bertanya
lagi, "Bagaimana?" Nabi berkata, "Subhanallah, ya bersuci."
Aisyah berkata, "Lalu aku tarik dia dan aku katakan kepadanya,
bersihkanlah bekas-bekas darah dengannya."
Disebutkan dalam hadits Ummu Athiyyah bahwa Nabi
melarang memakai parfum bagi wanita yang sedang berkabung dan membolehkannya
pada saat suci dan ketika mandi menggunakan wewangian. Ini merupakan dalil dianjurkannya
memakai wewangian bagi wanita ketika bersuci.
Sedangkan dalam hadits dari Abi Sa'id Al-Khudri
disebutkan tentang seorang wanita Bani Israil yang memakai cincin berparfum
misk, Rasulullah bersabda, "Itu adalah jenis wewangian yang paling baik.
"Hadits Aisyah,dia berkata, "Aku mewangikan Nabi dengan wewangian apa
pun yang aku dapatkan, sampai-sampai aku melihat kilau minyak wangi di kepala
dan janggutnya."
Semua
hadits di atas dan beberapa riwayat lainnya menunjukkan bahwa memakai parfum
(wewangian) adalah salah satu sunnah yang dianjurkan, baik itu berupa minyak,
sprai, dan sebagainya.
5.
Wanita dan kosmetik modern
v
Wanita berdandan di
depan suaminya
Syariat Islam menganjurkan wanita agar berdandan dan
merias diri untuk suaminya. Dia dianjurkan untuk membersihkan diri, memakai
pewarna kuku, memakai celak, memakai bedak, mencukur bulu kemaluan, menyisir
rambut, merapikan, serta mengurainya, memakai parfum, dan memotong kuku.
Nabi memungkiri tangan seorang wanita yang terjulur
dari balik tirai dengan membawa sebuah kitab. Nabi berkata, "Ini tangan
laki-laki atau perempuan?" Dia menjawab, "Perempuan." Nabi
kemudian bersabda, "Jika kamu seorang wanita, sudah sepatutnya kamu
memoles kukumu." Maksudnya adalah dengan memakai hinna' (semacam pewarna
kuku yang terbuat dari daun pacar), Nabi juga mengingkari tangan Hindun ketika
hendak membaiatnya sehingga dia mau mengubah tangannya yang seperti binatang
buas.
v
Hukum operasi
kecantikan (operasi plastik)
Ini adalah sebuah operasi khusus, sebagian bersifat
ringan, sebagian lagi bersifat berat. Sebagian ada yang merupakan pengobatan
atas cacat tubuh yang diderita pasien yang menyebabkan sakit, baik sakit tubuh
atau mental. Sebagian lain merupakan usaha untuk mempercantik atau memperelok
diri agar tubuh menjadi lebih menarik daripada sebelumnya. Masyarakat telah
mengenal operasi ini, sebagian bahkan ada yang mendalami dan menekuninya. Dan
sekarang telah didirikan fakultas khusus yang mempelajari tentang operasi
tersebut.
Media massa memegang peranan penting dalam memotivasi
wanita untuk melakukan operasi kecantikan ini sehingga membuat wanita merasa
memerlukannya dan menganggapnya sebagai sebuah kebutuhan.
Para selesnya mungkin-membisiki wanita dengan
berbagai keajaiban supaya si wanita yakin dengan operasi tersebut. Atau karena
seorang wanita ingin mendapatkan impiannya dalam kecantikan atau merindukan
masa mudanya kembali setelah uzur usianya. Inilah yang diungkapkan oleh para
dokter spesialis di bidang ini.
6.
Perhiasan yang diharamkan
Dasarnya
adalah firman Allah dan hadits Nabi berikut.
Firman
Allah:
ولا
تبرجن تبرج الجهلية الأولى
Janganlah
kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang
dahulu." (Al-Ahzâb: 33)
Firman
Allah:
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها "
Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (biasa) tampak dari
mereka." (An-Nûr: 31)
Ibnu Mas'ud berkata, "Allah melaknat wanita
yang menyambung rambut dan yang meminta untuk disambung rambutnya, wanita yang
menato dan yang meminta untuk ditato, wanita yang mencukur alis mata dan wanita
yang meminta untuk dicukur alisnya, serta wanita-wanita yang mengikir giginya
agar menarik. Mereka adalah wanita-wanita yang mengubah ciptaan Allah.
Bagaimana mungkin aku tidak melaknat orang yang dilaknat Rasulullah, padahal
itu terdapat di dalam Kitab Allah!" Maksudnya adalah firman Allah, Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah.." (Al-Hasyr: 7y Ibnu Mas'ud berkata,
"Bagaimana mungkin aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh
Rasulullah," ucapan ini menunjukkan bahwa hadits ini berasal dari
Rasulullah dan bukan ucapan Ibnu Mas'ud sendiri. Ibnu Mas'ud mendengar
Rasulullah melaknat orang yang berbuat demikian.
v Wig (rambut buatan)
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa menyanggul atau
menyambung rambut dengan rambut buatan adalah haram, apa pun alasannya.
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa seorang wanita Anshar menikah lalu dia sakit
yang menyebabkan rambutnya rontok. Dia ingin menyambungnya. Terlebih dahulu dia
meminta izin kepada Rasulullah. Beliau menjawab:
لعن
الله الواصلة والمستوصلة
"Allah
melaknat al-washilah dan al-mustaushilah. "
Inilah jawaban Rasulullah, padahal wanita itu
memerlukannya karena dia sakit. Suaminya pun menyuruhnya untuk berbuat itu
karena rambutnya sedang rontok dan menjadikan penampilannya jelek. Jika ada
keringanan untuk memakainya, tentu Rasulullah akan mengizinkan untuk menyambung
rambutnya, walaupun dengan benda lain. Tetapi, jawaban datang dengan pasti,
yaitu terlaknatnya al-washilah dan al-mustaushilah.
BAB IV
PENUTUP
Wanita adalah saudara kandung pria. Hikmah
syar'inya, Allah yang Maha Bijaksana telah mengangkat anak Adam sebagai
khalifah di muka bumi dan untuk menyemarakkannya dengan syariat Allah. Kemudian
diciptakan dari jiwanya, wanita yang dapat membantunya menunaikan misi penting
tersebut.
Kewajiban Muslimah Terhadap Rabb-nya
v Allah sebagai satu-satunya zat yang harus diibadahi
Seorang muslimah tentu mengakui Allah sebagai Rabb,
Pencipta, Pemberi rezeki, dan Pengatur segala urusannya. Semua akan kembali
hanya kepada-Nya. Seperti yang jelas-jelas dicontohkan dalam ucapan Sayyidah
Hajar bersama putranya Ismail ketika suaminya, Ibrahim, meninggalkan mereka di
Mekah. Sesaat sebelum Ibrahim bertolak, Hajar bertanya, "Apakah Allah yang
memerintahkanmu, wahai Ibrahim?" Ibrahim menjawab, "Benar."
Hajar berkata, "Kalau begitu, Dia (Allah) tidak akan menelantarkan
kami."
HAK
WANITA DALAM ISLAM
Menurut bahasa hak berarti ketetapan dan
kesesuaiannya dengan realita. Menurut istilah, hak adalah hal-hal yang
ditetapkan dengan ketentuan syar'i dan kecenderungan untuk menerapkannya.
Sumber penetapan hak adalah syariat, yakni apa yang
tercantum dalam nash-nash Al-Qur'an, hadits, atau ijmak ulama. Dengan demikian,
penerapan hak harus sesuai dengan aturan syariat, dan tidak boleh mengada-ada
dalam agama Allah.
Haid
(menstruasi)
v Dasar hukum haid
Dasar hukum pembahasan haid wanita adalah firman
Allahk, "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid
itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita pada waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang
tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (Al Baqarah:
222)
Secara bahasa, haid adalah sebagaimana yang
dikatakan: hadhatil mar atu tahidhu haydhan wa mahidhan wa makadhan fahiya
há idhun wa ha'idhatun (artinya: seorang wanita telah haid, sedang haid,
dan sedang terkena haid maka dia disebut wanita yang sedang haid). Bentuk
plural kata hå'idh dan hâ'idhah adalah hawa'idh dan huyyadh.
No comments:
Post a Comment