Saturday, 5 March 2022

RESUM BUKU FIKIH WANITA Karya Dr. Ali bin sa’id Al-Ghamidi

 

DAFTAR ISI

 

BAB I. 4

A.   PENGERTIAN.. 4

BAB II. 6

B. KEWAJIBAN DAN HAK MUSLIMAH.. 6

C. HAK WANITA DALAM ISLAM... 16

BAB III. 42

D. HUKUM-HUKUM KHUSUS MUSLIMAH.. 42

E. PERNIKAHAN DAN BERUMAH TANGGA.. 53

F. PERHIASAN MUSLIMAH.. 61

BAB IV.. 70

G. KESIMPULAN.. 70

 


 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    PENGERTIAN

Wanita adalah saudara kandung pria. Hikmah syar'inya, Allah yang Maha Bijaksana telah mengangkat anak Adam sebagai khalifah di muka bumi dan untuk menyemarakkannya dengan syariat Allah. Kemudian diciptakan dari jiwanya, wanita yang dapat membantunya menunaikan misi penting tersebut.

Allah berfirman:

ومن اينته، أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذالك لايت لقوم يتفكرون

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar-Rûm: 21)

Al-Qur'an telah mengisahkan kepada kita ragam keadaan dan sikap kaum wanita. Allah memuji sikap istri Nabi Ibrahim, istri Fir'aun, dan Maryam putri Imran. Al-Qur'an juga menyebutkan perasaan malu putri Syu'aib. Maka tidak diragukan lagi bahwa di sana banyak kaum wanita yang pada satu kondisi membantu penyebaran agama Islam dan menegakkan kebenaran dan pada kondisi yang lain-membantu suaminya dalam menunaikan misi hidup di dunia.

Al-Qur'an juga menyebutkan jenis wanita lain yang dicela oleh Allah, seperti istri Nabi Nuh, istri Nabi Luth, dan istri Al-Aziz (penguasa Mesir pada zaman Nabi Yusuf-ed). Sehingga sejak pertama kali makhluk diciptakan hingga diutusnya Nabi Muhammad , mereka berada di antara pasang dan surut diutusnya para nabi dan rasul, dan beberapa masa dari wahyu..

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

B. KEWAJIBAN DAN HAK MUSLIMAH

 1. Kewajiban Muslimah Terhadap Rabb-nya

v  Allah sebagai satu-satunya zat yang harus diibadahi

Seorang muslimah tentu mengakui Allah sebagai Rabb, Pencipta, Pemberi rezeki, dan Pengatur segala urusannya. Semua akan kembali hanya kepada-Nya. Seperti yang jelas-jelas dicontohkan dalam ucapan Sayyidah Hajar bersama putranya Ismail ketika suaminya, Ibrahim, meninggalkan mereka di Mekah. Sesaat sebelum Ibrahim bertolak, Hajar bertanya, "Apakah Allah yang memerintahkanmu, wahai Ibrahim?" Ibrahim menjawab, "Benar." Hajar berkata, "Kalau begitu, Dia (Allah) tidak akan menelantarkan kami."

Berdasar kisah ini, seharusnya seorang muslimah mengerti bahwa hanya Allah satu satunya yang berhak diibadahi. Setelah itu, seorang muslimah hendaknya menunjukkan semua bentuk ibadah yang hanya kepada-Nya, bertakwa kepada-Nya ketika sepi maupun ramai karena di dalam hatinya tertancap kuat perasaan takut kepada Allah.

Kisah seorang muslimah yang tidak taat perintah ibunya untuk mencampur susu dengan air sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah kemudian kepada Umar, meski Umar tidak melihatnya. Muslimah ini bukan tipe wanita yang taat kepada Allah di tempat ramai lalu durhaka kepada-Nya di tempat yang sepi. Tetapi, itu adalah muraqabah dzâtiyyah (perasaan bahwa dirinya selalu diawasi Allah) yang ditanamkan bersama iman ke dalam kalbunya. Allah pun memberinya taufik dengan menjadikannya sebagai nenek dari Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin yang adil.

Intinya, akidah muslimah (yang benar) ialah yang sesuai dengan akidah salafussalih. Yaitu iman kepada Allah, malaikat Nya, Kitab-Nya, para Rasul-Nya, percaya akan adanya hari Akhir, dan percaya adanya qadha' dan qadar-Nya.

Seorang muslimah pun yakin bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang sempurna lagi mulia, tidak menyerupai satu pun dari makhluk-Nya dan tiada satu makhluk pun yang serupa dengan Nya. Keyakinan itu dibarengi dengan penetapan sifat-sifat-Nya, seperti yang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri dan seperti yang Rasulullah tetapkan untuk-Nya. Yaitu dengan memahami makna maknanya dan meyakini bahwa sifat-sifat Allah itu adalah sifat yang hakiki, tanpa penafsiran, penyerupaan, perumpamaan, ataupun perusakan makna.

v  Ibadah Muslimah

Seorang muslimah seyogianya selalu suci badan, pakaian, dan tempat shalatnya, meninggalkan shalat dan puasa ketika haid (dengan memerhatikan waktu mulai dan berakhirnya haid), mendirikan shalat pada waktunya dengan memahami syarat, rukun, dan sunnah-sunnahnya, dan mengetahui waktu-waktu pilihan untuk menunaikan shalat dengan sempurna. Selain itu, dia juga tidak meremehkan shalat-shalat sunnah, baik yang rawatib maupun yang bukan rawatib, seperti shalat Dhuha dan Tahajud, tanpa melalaikan kewajibannya terhadap suami dan keluarganya.

Dia tunaikan zakat hartanya dengan penuh keridhaan. Bila belum mampu, dia bersedekah sesuai dengan kemampuannya. Dia berikan zakat atau sedekahnya kepada orang yang memang berhak menerimanya.

Muslimah seharusnya merasa gembira dengan datangnya bulan Ramadhan. Dia berpuasa pada siang harinya dan qiyamullail pada malam harinya. Dalam bulan ini, dia pun mencari satu malam yang (nilai) ibadahnya lebih baik dari nilai ibadah 1.000 bulan. Dia juga biasa berpuasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis, puasa ayyamul bidh (setiap tanggal 13, 14, 15 dari bulan Hijriyah), puasa pada tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah, puasa Asyura, puasa Muharram, dan lain sebagainya. Meski demikian, dia tidak boleh berpuasa sunnah sedang suaminya berada di rumah (tidak bepergian), kecuali jika suaminya mengizinkannya.

Seorang muslimah juga menunaikan ibadah haji dan umrah jika Allah memberinya kemudahan untuk melaksanakannya dan itu merupakan jihadnya seorang muslimah. Dia juga boleh ikut serta dalam peperangan bersama barisan kaum wanita lainnya, misalnya untuk mengobati para mujahidin yang terluka serta menyediakan makanan dan minuman. Dia bahkan boleh menghunus pedang untuk membela kehormatan Islam dan kaum muslimin, seperti yang dilakukan beberapa shahabiyah yang ikut berperang bersama Rasulullah. Beliau tidak melarang semua itu bahkan para shahabiyah mendapat bagian dari ghanimah (harta rampasan perang).

Wanita seperti halnya pria, mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pahala atas ibadah yang dilakukannya untuk Allah. Bisa jadi bahkan Allah akan melipatgandakan pahalanya sesuai niatan dan ketekunannya dalam beribadah.

Allah berfirman:

فاستجاب لهم ربهم أني لا أضيع عمل عمل منكم من ذكر أو أنثى بعضكم من بعض

"Maka Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya, Aku tidak menyia nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain" (Ali 'Imrân: 195)

2. Kewajiban Muslimah Terhadap Nabi

          Seorang muslimah mengimani bahwa Muhammad adalah Nabi dan Rasul, penutup para Nabi dan Rasul. Dia yakin bahwa. Nabi Muhammad telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, dan menasihati umat. Melalui beliau, Allah menyingkap tabir kegelapan dan beliau meninggalkan umat ini di atas jalan yang terang, malam bagai siang, dan tiada seorang pun yang menyimpang darinya, kecuali pasti akan celaka. Muslimah pun meyakini bahwa Nabi telah menjelaskan syariat Islam dengan sejelas-jelasnya, berjuang di jalan Allah dengan sebenar benarnya, dan menuntun umat dengan tuntunan yang sempurna hingga Allah mewafatkan beliau dalam naungan ridha-Nya.

3. Kewajiban Muslimah Terhadap Dirinya

Wanita mempunyai unsur yang sama dengan pria, terdiri atas tubuh,a akal, dan ruh. Ketiga unsur ini mempunyai hak yang harus di penenuhi, yaitu:

v  Perawatan tubuh (fisik)

Muslimah dituntut menjadi sosok berpengaruh yang jelas di dalam rumahnya, baik saat dia berstatus sebagai ibu, anak perempuan, atau saudara perempuan. Semestinya dia memiliki ciri khas yang membedakannya dengan yang lain dari segi akhlak, agama, dan penampilan. Maka dia harus memerhatikan penampilan fisiknya, di antaranya dengan menjaga pola makanan dan minumnya,

Agar badan tetap sehat dan tidak gemuk, seorang muslimah juga harus berolahraga dengan olahraga yang disenangi dan yang layak baginya. Dia juga harus memerhatikan kebersihan dirinya dengan mandi dan menjaga kebersihan pakaian dan rambut. Rasulullah menganjurkan umatnya untuk melakukan hal itu. Rasulullah bersabda di dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, "Wajib bagi setiap muslim untuk mandi (minimal) satu kali dalam seminggu, dia bersihkan kepala dan sekujur tubuhnya." Perintah ini ditujukan untuk umum, pria dan wanita, namun wanita lebih memerlukannya daripada kaum pria.

Aisyah pun senantiasa menjaga kebersihan mulut dan gigi, sampai-sampai terdengar bunyi siwaknya saat dia membersihkan giginya. Urwah berkata, "Kami mendengar bunyi siwaknya ketika dia membersihkan giginya." Rasululullah bersabda, "Kalaulah (bukan karena takut) aku akan memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali (hendak) shalat."?

Rasulullah menjelaskan bahwa bau tidak sedap (dari mulut) juga mengganggu malaikat, seperti halnya mengganggu manusia, "Barang siapa memakan bawang merah, bawang putih, atau bawang bakung maka janganlah dia mendekati tempat kami shalat karena Malaikat akan terganggu (karena baunya) sebagaimana (terganggunya) anak Adam."

v  Perawatan Akal

Kebodohan adalah wabah penyakit yang berbahaya dan obatnya hanyalah ilmu. Ilmu yang besar manfaatnya dan bnayak keberkahannya adalah ilmu agama.

Menurut kesepakatan para ulama, nash-nash di atas bersifat umum, termasuk di dalamnya wanita. Karenanya, kita melihat Aisyah lebih fakih (faham) dari kebanyakan shahabat laki-laki maupun perempuan. Aisyah juga memuji wanita Anshar dengan kebaikan karena mereka selalu menanyakan berbagai perkara agama mereka dan tidak ada yang menghalangi mereka (untuk bertanya). Aisyah berkata tentang mereka, "Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar, sifat malu tidak menghalangi mereka untuk bertafaqquh fiddin (menuntut ilmu). "Mereka bahkan meminta Rasulullah, satu hari khusus karena melihat kaum laki-laki telah mendominasi waktu beliau. Mereka berkata kepada Rasulullah, "Jadikan buat kami satu hari untuk belajar darimu, laki-laki telah mendominasi engkau." Rasulullah berkata, "Tempat kalian (ada) di rumah si Fulanah." Beliau lantas mendatangi mereka di rumah tersebut kemudian beliau memberi pelajaran, peringatan, dan mengajarkan ilmu kepada mereka."

Pertama-tama yang harus dipelajari seorang muslimah ialah membaca Al-Qur'an dan memahami makna-maknanya, menghafal hadits-hadits hukum (sesuai kemampuan), menelaah Sirah Nabawiyah, riwayat hidup ummahatul mukminin dan shahabiyah serta para pengikutnya, dan memahami agama secara mendalam (pemahaman tentang iman dan hukum).

Inilah hal-hal penting yang dituntut syariat untuk dipelajari karena termasuk dalam faridhah yang diisyaratkan Nabi dalam sabdanya, "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim."

Selanjutnya, muslimah tidak dilarang setelah menguasai ilmu ilmu tersebut untuk mendalami ilmu lain yang diminatinya dan bermanfaat untuk kaumnya. Tentunya dengan tetap mengindahkan batasan-batasan syar'i dan dalam koridor yang dibolehkan syariat. Agama Islam senantiasa mendorong umatnya untuk membaca dan menelaah, utamanya yang berkenaan dengan peninggalan para ulama salaf, seperti syarah (penjelasan penjelasan), matan, dan hasyiyah (catatan kaki).

4. kewajiban Wanita Terhadap Orang Tuanya

            Nabi menjelaskan bahwa berbakti kepada orang tua lebih besar pahalanya daripada jihad di jalan Allah jika jihad itu tidak berhukum fardhu ain, sebagaimana durhaka kepada keduanya dianggap sebagai dosa yang paling besar." Di samping itu, durhaka kepada ibu-bapak juga termasuk di antara dosa-dosa yang balasannya disegerakan di dunia.

Karenanya, seorang muslimah harus memenuhi hak-hak orang tua, berbakti kepada keduanya, menaati keduanya selama tidak bermaksiat kepada Allah, dan membantu semampunya saat keduanya masih hidup. Setelah keduanya meninggal dunia, dia harus masih menyambung tali silaturahmi dengan teman-teman orang tuanya, bersedekah atas nama keduanya, dan berdoa untuk keduanya. Itu semua merupakan hak orang tua.

Betapa pun seseorang memuliakan kedua orang tuanya-itu memang hak mereka-, Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits sahih, "Seseorang (belum dianggap) membalas (kebaikan) orang tuanya, kecuali bila dia mendapatinya sebagai seorang budak lalu dia membelinya dan memerdekakannya,"

Seorang muslimah pun mengetahui bahwa berbakti kepada ibu lebih didahulukan karena syariat telah memberikan hak tiga banding satu dari ayah."

Intinya, Islam telah menempatkan derajat orang tua dan berbakti kepada keduanya berada di antara dua amalan paling utama yang dikerjakan seorang muslim, yaitu menegakkan shalat dan jihad fi sabilillah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukha bahwa Rasulullah pernah ditanya, "Amalan apakah yang paling Allah suka?" Beliau menjawab, "Shalat tepat pada waktunya." "Kemudian apa?" beliau ditanya lagi. "Berbakti kepada kedua orang tua," jawab beliau. "Kemudian apa?" "Kemudian, jihad di jalan Allah," jawab beliau.

5. Kewajiban Muslimah Terhadap Suaminya

            Islam memuliakan ikatan pernikahan, menjaganya dengan pagar yang kokoh, serta menjadinya sebagai salah satu tanda kebesaran-Nya.

            Allah berfirman:

ومن ايته، أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة .

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang." (Ar-Rûm: 21)

Suatu kalimat sederhana, yang dengannya Allah menghalalkan berbagai perkara yang sebelumnya haram bagi mereka berdua. Kemudian tumbuh rasa saling memahami antara suami dan istri dalam menjalani roda kehidupan. Inilah yang menguatkan ikatan pernikahan yang dengan ikatan ini akan lestari keturunan anak manusia dan akan terjadi proses pergantian generasi.

pria atas wanita dan pilihan wanita atas pria. Karenanya, syariat mewajibkan persetujuan bagi wanita berakal dan telah balig. Jika dia tidak memberi persetujuan dan tidak ridha dinikahi, dia boleh memilih. Sebagaimana disebutkan dalam kisah Al-Khansa binti Khidam. Masalahnya bahkan lebih dari itu. Kisah Barirah ketika dia telah dimerdekakan dan suaminya masih berstatus sebagai budak. Barirah memilih untuk berpisah dengan suaminya karena tidak suka kepada suaminya, Rasulullah pun tidak memaksanya, meski suaminya sangat mencintainya."

Wanita bebas memilih, tetapi siapakah yang layak dia pilih? Seorang muslimah hendaknya mengutamakan orang yang beragama dan berakhlak mulia daripada yang lainnya. Begitu pula dirinya yang juga dipilih-oleh calon suami-karena kekayaannya, kecantikannya, keturunannya, dan agamanya. Ujung-ujungnya, yang beruntung ialah yang memilih wanita karena agamanya. Demikian juga bagi wanita, dia akan beruntung jika memilih pria yang beragama (dzátu ad-dîn).

Di dalam ajaran Nabi Muhammad, sujud hanya boleh dilakukan kepada Allah. Hadits ini menerangkan kedudukan dan derajat seorang suami, sampai-sampai Rasulullah menjadikannya sebagai jalan surga dan neraka bagi seorang istri. Beliau juga menjelaskan bahwa melayani suami dengan baik, setara dengan nilai fi sabilillah.

Sungguh bentuk ketaatan paling utama dari seorang istri salihah kepada suaminya dan merupakan bentuk baktinya kepada suaminya ialah hendaknya dia memenuhi berbagai keinginan suami, seperti yang telah disyariatkan. Yaitu hak untuk menikmati kehidupan bersuami-istri dengan utuh dan sempurna serta bergaul dengannya secara baik karena memang inilah tujuan pokok pernikahan. Seorang istri salihah hendaknya memerhatikan kegemaran suami dalam hal makanan, pakaian, ziarah, obrolan, dan semua yang terlihat dalam kesehariannya. Apabila setiap istri memenuhi keinginan suami maka kehidupan mereka akan semakin bahagia, tenteram, dan penuh kedamaian. Namun, jika sang istri durhaka kepada suaminya dan tidak memenuhi haknya maka sang istri berada dalam laknat Allah dan Malaikat sehingga suaminya meridhainya. Puasa sunnah bahkan tidak boleh dilakukan seorang istri jika dia sedang bersama suaminya, kecuali dengan izin suami.

6. Kewajiban Muslimah Terhadap Anak-Anaknya

            Anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Kehidupan adalah pentas yang menampilkan detail kehidupan manusia. Kehidupan dunia bukan kehidupan terakhir, tetapi sesudahnya masih ada kehidupan lain.

            Seorang muslimah tentu mengerti tanggung jawabnya dalam mendidik putra-putrinya dengan akhlak yang mulia. Perkara paling penting yang harus dia ajarkan kepada putra-putrinya adalah melaksanakan shalat tepat waktu. Jika dia meremehkan urusan ini, tentu urusan-urusan mereka yang lain pasti diremehkan pula.

Umar berkata tentang masalah shalat, "Barang siapa menjaganya maka untuk urusan yang selainnya (shalat) juga dia pasti lebih menjaganya, dan siapa yang menyia-nyiakannya maka untuk urusan yang lainnya pun pasti akan dia sia-siakan."

Sejauh mana seorang ibu terdidik dan tertarbiyah dengan ilmu dan pemahaman: akhlak mulia, perangai, dan tabiat yang baik, sejauh itu pula dia akan mendidik putra-putrinya untuk mempunyai cita-cita yang tinggi, semangat untuk maju dan berprestasi. Telah lahir para ulama dan ahli hikmah yang menonjol di bidang ilmu dan keadilannya. Ternyata di belakang mereka terdapat para ibu yang agung. Di antara mereka ialah Imam Asy Syafi'i dan Umar bin Abdul Aziz ak.

Ibu yang sukses akan bekerja sama dengan suami untuk mendidik putra-putrinya. Keduanya akan saling membantu dalam mencari solusi dari setiap permasalahan yang ada, baik yang telah terjadi maupun yang disinyalir akan terjadi, hingga bisa teratasi sebelum hal itu terjadi.

Pastinya, seorang anak selalu bersama ibunya pada masa-masa pertumbuhan dan prasekolah. Ibulah orang yang menanamkan makna-makna mulia tentang Rabb-nya, Nabinya, agamanya, orang tuanya, masyarakat, dan umatnya. Bila seorang ibu berhasil menanamkan hal itu kepada anaknya maka dia laksana sebuah madrasah; dan madrasah ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi anak di sepanjang hidupnya.

7. Kewajiban Muslimah terhadap anak-anaknya

Anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Kehidupan adalah pentas yang menampilkan detail kehidupan manusia. Kehidupan dunia bukan kehidupan terakhir, tetapi sesudahnya masih ada kehidupan lain.

Allah berfirman:

يأيها الذين ءامنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملتبكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintalikan." (At-Tahrîm: 6) Rasulullah bersabda:

مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم أبناء عشر وفرقوا بينهم في المضاجع

"Suruhlah anak-anakmu untuk shalat pada umur tujuh tahun, pukullah mereka (karena meninggalkannya) pada umur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur. mereka. "

Seorang muslimah tentu mengerti tanggung jawabnya dalam mendidik putra-putrinya dengan akhlak yang mulia. Perkara paling penting yang harus dia ajarkan kepada putra-putrinya adalah melaksanakan shalat tepat waktu. Jika dia meremehkan urusan ini, tentu urusan-urusan mereka yang lain pasti diremehkan pula.

Umar berkata tentang masalah shalat, "Barang siapa menjaganya maka untuk urusan yang selainnya (shalat) juga dia pasti lebih menjaganya, dan siapa yang menyia-nyiakannya maka untuk urusan yang lainnya pun pasti akan dia sia-siakan."

Sejauh mana seorang ibu terdidik dan tertarbiyah dengan ilmu dan pemahaman: akhlak mulia, perangai, dan tabiat yang baik, sejauh itu pula dia akan mendidik putra-putrinya untuk mempunyai cita-cita yang tinggi, semangat untuk maju dan berprestasi.

8. Kewajiban Muslimah Terhadap Karib Kerabat Dan Tetangga

            Islam sangat menghormati ikatan rahim dan Allah mengambilnya sebagai salah satu nama-Nya. Allah pun berjanji akan menyambung (ikatan) dengan siapa yang menyambung (ikatan rahim) dan akan memutus (ikatan) dengan siapa yang memutuskannya.

 Muslimah juga mempunyai tetangga, sahabat, dan handai taulan yang harus dia kunjungi dan berinteraksi dalam batasan waktu dan kewajiban yang boleh baginya.

·         Pertama-tama, yang wajib muslimah lakukan terhadap masyarakatnya ialah bersilaturahmi dan mempererat ikatan dengan karib kerabat pada kesempatan waktu-waktu khusus dan hari-hari besar agama, berkumpul dengan keluarganya dan keluarga suami dalam suka dan duka.

Muslimah juga mempunyai tetangga, sahabat, dan handai taulan yang harus dia kunjungi dan berinteraksi dalam batasan waktu dan kewajiban yang boleh baginya. Waktu yang digunakan bersama tetangga, teman, dan handai taulan diatur dengan aturan syariat. Muslimah hendaknya menjauhkan diri dari ghibah (gunjing) dan namimah (adu domba). Sebaliknya, justru dia harus mengajak para tetangga dan sahabatnya pada perkara-perkara yang semestinya dilakukan oleh kaum muslimah, seperti mempelajari Al-Qur'an, hadits, dan Sirah Nabawiyah. Kemudian juga membahas persoalan yang bermanfaat, meski itu hanya pada sisi-sisi kehidupan rumah tangga, seperti belajar cara memasak, mengatur ekonomi rumah tangga, membahas berbagai masalah dan mencari solusinya yang tepat, menjadi penengah jika ada masalah antara mereka dengan suami mereka. Sebab, jika sebagian wanita semoga Allah menunjuki mereka mendengar permasalahan rumah tangga orang lain, mereka malah menambah "lumpur basah" dan "menyalakan bara api". Seyogianya, seorang muslimah yang mencintai Allah, Rasul, dan agaman-nya berupa menyelesaikan prahara dan memperbaiki keadaan.

·         Muslimah dengan para tetangga juga harus saling membantu dalam kebaikan dan belajar bersama. Di antara mereka, barangkali ada yang mempunyai kekurangan dalam ilmu, amal, atau harta. Maka yang lain pun berusaha membantunya mencarikan solusi dan bekerja sama dalam program taklim, mengisi kekurangan, dan mendermakan sebagian harta untuk memecahkan masalah ekonomi. Betapa banyak wanita yang menghambur-hamburkan hartanya di jalan yang haram atau berlebih-lebihan dalam memenuhi kebutuhan sekunder, sementara yang lain berada dalam kemiskinan.

Dengan belajar dan saling menasihati akan timbul kesadaran untuk membantu orang yang membutuhkan harta. Maka tumbuhlah sebuah masyarakat yang penuh kebahagiaan dan jauh dari sifat dengki dan loba.

Persoalan-persoalan ini tidak jauh berbeda dengan kewajiban utama seorang muslimah terhadap Rabb-nya, agamanya, suami, dan rumah tangganya. Semuanya memiliki hak sendiri-sendiri. Jika dia mampu mengatur waktu, menyusun dia pasti akan mampu menunaikan kewajibannya dengan

Suami pun bisa berperan, dia bisa mengulurkan tangan membantu istri, anak, dan saudara perempuan yang ingin melakukan aktivitas dakwah atau kemasyarakatan dengan memberikan motivasi dan bantuan jika dibutuhkan.

·         Seorang Muslimah hendak selalu waspada terhadap akibat buruk karena berbuat tidak bak terhadap tetangga.

PASAL 2

C. HAK WANITA DALAM ISLAM

Hak-hak yang bersifat umum

v Pengertian hak dan penjelasan tentang sumbernya

Menurut bahasa hak berarti ketetapan dan kesesuaiannya dengan realita. Menurut istilah, hak adalah hal-hal yang ditetapkan dengan ketentuan syar'i dan kecenderungan untuk menerapkannya.

Sumber penetapan hak adalah syariat, yakni apa yang tercantum dalam nash-nash Al-Qur'an, hadits, atau ijmak ulama. Dengan demikian, penerapan hak harus sesuai dengan aturan syariat, dan tidak boleh mengada-ada dalam agama Allah.

v Tujuan pelaksanaan hak

Artinya, hidup seorang mukallaf" harus sesuai dengan apa yang disyariatkan. Allah menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya. Maka sudah semestinya seorang hamba memenuhi semua yang Allah minta darinya atau dari orang lain. Jika seorang hamba kemudian menyalahi tuntutan itu, berarti dia menentang syariat Allah dan perbuatannya ini tidak dibenarkan.

Contoh, penipuan yang terjadi dalam jual beli. Misalnya, si-A ingin menjual barang seharga 900 dengan harga 1.000, tetapi dengan ditangguhkan. Dia pun membungkusnya dan menjualnya seharga 1.000 dengan tangguhan. Barang itu kemudian dibeli oleh si-B dengan harga 1.000 dengan cara ditangguhkan. Setelah itu, si-A membeli lagi barang itu dari si-B seharga 900 tunai (sehingga si-B menjadi punya hutang padanya 1.000). Perbuatan ini tidak sesuai dengan tujuan syariat maka ini adalah amal yang batil.

v Urutan hak dan bagaimana menunaikannya agar seimbang

Maksud mengurutkan hak ialah melakukan satu hak sebelum menunaikan hak yang lainnya; dan ini hanya dapat diketahui dengan timbangan syariat. Maka barang siapa yang berdasarkan syariat, dia lebih berhak diutamakan daripada yang lainnya, wajib bagi mukallaf untuk mendahulukannya dari yang lain, dalam hal ini ada beberapa kaidah:

·         Pertama: hak Jamaah (bersama) lebih diutamakan daripada hak pribadi dan ini berkaitan dengan kemaslahatan umum. Contoh, seseorang yang memiliki bahan makanan untuk dijual, tetapi dia menahannya sampai tiba masa krisis. Saat orang sudah sangat membutuhkannya, dia wajib menjualnya dengan harga yang berlaku. Tidak boleh ada mudarat dan memudaratkan (menaikkan harganya).

·         Kedua: mengutamakan fardhu ain daripada fardhu kifayah, seperti lebih mendahulukan menafkahi istri daripada bersedekah untuk jihad.

·         Ketiga: mendahulukan yang wajib daripada yang sunnah dan yang lebih wajib dari yang wajib.

Secara keseluruhan, perkara syariat datang dengan adil, seimbang, dan tidak ada satu aspek pun yang diabaikan. Nabi bersabda, "Sesungguhnya, Rabb-mu itu mempunyai hak atasmu, dirimu juga mempunyai hak atasmu, dan istrimu juga mempunyai hak atasmu; maka berikanlah (haknya) kepada siapa yang memilikinya,"

Hikmahnya ialah bahwa Allah yang Maha Bijaksana ingin agar manusia sampai pada tingkatan sempurna yang ditentukan untuknya, yaitu dengan menjadikannya sebagai hamba yang ikhlas terhadap Allah dalam segala tabiatnya, keyakinannya, kecenderungannya, pola hidupnya, tindak-tanduknya, dan semua perbuatan serta kebiasaannya.

v Menghilangkan kemudaratan dengan menunaikan hak

Ada sebuah kaidah fiqhiyah yang berdasar pada hadits Nabi "La dharara wa la dhirâra (Tidak boleh ada mudarat dan memudaratkan)." Mengambil hak dalam syariat, terikat dengan tiadanya kemudaratan terhadap yang lain.

Contoh: seseorang berhak membangun rumah di atas tanahnya sendiri sebagai tempat tinggal, tetapi dia tidak boleh memudaratkan tetangganya. Ini karena kaidah mengatakan bahwa tidak boleh ada mudarat dan memudaratkan, dan mudarat itu harus dihilangkan.

v Syariat menyamakan hak dan kewajiban pria dan wanita

Allah berfirman:

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka" (Al-Ahzâb: 36)

 إن المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات والفنتين والقانتت والصدقين والصدقت والصبرين والصبرت والخشعين والخشعت والمتصدقين والمتصدقت والصليمين والصليمات والحفظين فروجهم والحفظت والذاكرين الله كثيرا والذاكرات أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما

"Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan yang muslim, laki laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekaht, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar." (Al-Ahzâb: 35)

Wanita pun menjadi objek dari perintah-perintah syar'i, seperti halnya pria. Pahala diperuntukkan bagi siapa yang beramal dengan ikhlas dan sempurna. Rasulullah diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam. Namun, hal ini tidak menafikan adanya pembedaan antara pria dan wanita dalam beberapa hak karena perbedaan dasar hak-hak itu.

Hak poligami ditetapkan untuk pria dan terlarang bagi wanita (dalam satu waktu) karena pada wanita terdapat penghalang yang tidak ada pada pria. Wanita mengalami hamil, selain itu, poliandri akan mengacaukan nasab (garis keturunan). Wanita adalah tempat untuk merasakan kenikmatan. Meski demikian, kadang kala dia mempunyai uzur yang dimaklumi sehingga "memaksa" suaminya menyalurkan hasratnya kepada wanita lain. Selanjutnya, syariat juga mempunyai tujuan yang mulia, yaitu ingin memperbanyak keturunan, yang nantinya akan memakmurkan bumi Allah dengan syariat-Nya, dan ini hanya akan terwujud dengan poligami. Jika wanita berpoliandri, hal itu akan mengakibatkan banyak bermunculan penyakit menular dan akan mengobarkan api cemburu di antara pria, yang tentu dapat menyebabkan banyak masalah. Memang demikianlah Allah menciptakan laki-laki dan perempuan. Allah, Dialah Zat Yang Maha Mengetahui.

Dari penyamaan hak dan kewajiban ini kemudian muncul beberapa masalah yang harus dicermati:

1)   Kebebasan pribadi

Maksudnya ialah kebebasan manusia untuk pergi dan pulang dengan aman, tidak khawatir terhadap keselamatan dan kehormatannya dari berbagai gangguan. Begitu pula seseorang tidak boleh ditangkap, dipenjarakan, dan dihukum tanpa alasan yang benar. Kebebasan itu pun mencakup hak untuk pindah dan keluar-masuk suatu negeri dengan aturan-aturan syar'i.

Kebebasan ini sangat penting bagi manusia karena Allah telah memuliakan bani Adam. Menjadi hak manusia untuk menikmati haknya (kebebasan), sedangkan merampasnya. berarti merebut kemanusiaan dan haknya. Meski demikian, bertindak melampaui batas adalah sebuah kezaliman dan kezaliman itu haram.

Karena itu, Allah mengharamkan hamba-Nya membunuh jiwa yang diharamkan untuk dibunuh, kecuali dengan alasan yang benar. Ini terjadi pada masa jahiliyah, yaitu berupa mengubur hidup-hidup anak perempuan. Allah berfirman, "Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya karena dosa apakah dia dibunuh." (At-Takwir: 8-9)

Allah juga mensyariatkan qishas demi menjaga hak untuk hidup. Allah berfirman, "Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (Al-Baqarah: 179)

Allah juga menerangkan tentang hak membela diri dan menetapkan bahwa seorang terdakwa itu bebas sampai terbukti kesalahannya. Islam bahkan menjamin kebebasan pribadi kafir dzimmi yang hidup di bawah naungan kekuasaan kaum muslimin, mereka dengan membayar jizyah, menaati peraturan yang ditetapkan kepada mereka, dan tidak boleh berkhianat.

Islam juga memberi jaminan kebebasan kepada kaum wanita untuk bepergian dengan aturan-aturan syar'i. Jika bepergiannya itu hanya keluar rumah dan masih di sekitar tempat tinggalnya, hendaklah dengan seizin walinya. Rasulullah melarang menghalangi wanita yang ingin shalat ke masjid. Beliau bersabda, "Jangan kalian melarang para wanita hamba-hamba Allah (untuk mendatangi) masjid Allah." Tentu saja keluarnya wanita dengan tetap memerhatikan ketentuan-ketentuan syar'i. Pembahasan ini telah disebutkan sebelumnya. Adapun jika kaum wanita melakukan safar (bepergian jauh)

maka dia harus disertai mahram. Ini berdasar keumuman sabda Rasulullah yang melarang wanita bersafar tanpa mahram. Sabda Nabi:

"Tidak dibolehkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan safar sejauh sehari perjalanan, kecuali bersama mahram. "

2)   Hak rumah sebagai tempat privasi

Manusia membutuhkan tempat tinggal sebagai tempat berlindung, beristirahat, dan melepas lelah. Di dalamnya dia bebas berpakaian (apa saja), tinggal, dan tidur.

Hak ini telah diakui dan dijaga oleh syariat Islam. Karenanya, wajib bagi siapa saja yang ingin masuk ke dalam rumah orang lain untuk meminta izin terlebih dahulu dan mengucap salam kepada tuan rumah. Boleh masuk jika diizinkan dan harus pulang jika tidak diizinkan dengan tiada kecewa.

Selanjutnya, syariat memagari rumah-rumah itu dengan penjagaan, seseorang tidak boleh memata-matai dan mengintip rumah orang lain. Allah berfirman, “...Dan janganlah mencari-cari keburukan orang..." (Al-Hujurât: 12) Rasulullah melarang perbuatan ini dan membolehkan untuk mencukil mata orang yang mengintip (mencari-cari aib) orang lain di dalam rumah mereka.

Namun, ada hak khusus bagi petugas hisbah (para pelaksana amar makruf nahi mungkar) jika mereka mengetahui ada kejahatan di dalam sebuah rumah. Seperti jika dia melihat ada seorang pria berduaan dengan seorang wanita dan mereka berzina di dalam rumah itu. Atau dia melihat seorang laki laki yang ingin membunuh laki-laki lainnya di dalam rumah itu, atau tindak kriminal lain yang sejenis. Jika demikian, privasi rumah tak lagi dapat menghalangi seseorang untuk memasukinya guna mencegah kemungkaran yang terjadi di dalamnya, seperti kasus yang disebut di atas.

3)   Hak mengemukakan pendapat

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa Islam tidak memaksakan keyakinan seseorang. Islam bahkan memberi kesempatan untuk meyakini apa yang seseorang mau. Tetapi, Islam memberi batasan dan pedoman tentang akidah yang benar dan balasan bagi yang berpegang teguh, ancaman bagi yang mengingkarinya, dan tidak membenci orang kafir atas agama yang dianutnya (tentunya orang kafir yang tidak mengganggu keberadaan kaum muslimin-ed.).

Jihad disyariatkan untuk menegakkan kalimat Allah, menyebarkan tauhid, dan menerapkan hukum syariat di tengah-tengah manusia. Maka harus dihilangkan setiap aral yang menghalangi antara Islam dan manusia. Jika pasukan kaum muslimin mampu menghancurkan aral yang menghalangi antara Islam dan manusia, mereka dibiarkan hidup bersama akidah yang diyakini. Setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, berhak mengemukakan pendapat dengan sebebas-bebasnya selama hal itu bertujuan untuk membela kebenaran, menjatuhkan yang batil, dan masih dalam ketentuan syariat. Dengan begitu, berarti dia sedang menjalankan hukum Allah dan berdiri untuk membelanya, tidak didorong nafsu syahwat, pun tidak dibutakan hawa nafsu. Pendapat yang disampaikan juga tidak boleh yang dapat menimbulkan fitnah atau mencelakai agama. Sekarang ini banyak sekali orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan, mereka belajar di negara-negara barat yang berlebihan dalam mendefinisikan "kebebasan berpendapat" sehingga mereka melanggar batasan yang telah ditetapkan syariat.

Manusia tidak dilarang berbeda pendapat, selama masih dibarengi sikap saling menghormati dan menghargai. Namun, jika pendapat itu malah menyulut terjadinya fitnah maka perbedaan itu menjadi terlarang. Ini seperti yang dilakukan Ali terhadap golongan Khawarij. Ali mengajak mereka untuk bermusyawarah, dia mengutus Ibnu Abbas untuk berdiskusi dengan orang-orang Khawarij sehingga sebagian mereka ada yang kembali ke jalan yang benar. Adapun mereka yang bersikap sombong dan tetap membangkang, Ali memohon pertolongan kepada Allah untuk menghadapi mereka. Ali lantas memerangi dan memusnahkan sebagian besar mereka. Penyebabnya ialah karena mereka terlalu berani membuka lebar-lebar pintu perdebatan hingga mereka pun sadar bahwa itu merupakan satu kelemahan. Namun, Allah akan tetap menolong agama-Nya dan mengalahkan tipu muslihat ahli bid'ah.

Ali membuka pintu dialog, perdebatan, serta mengemukakan hujjah kepada mereka. Ketika Ali mendapati mereka tidak mau kembali pada kebenaran, dari situ dia mengetahui bahwa mereka adalah ahlu hawa (orang yang mengikuti hawa nafsu). Ali pun memerangi mereka, untuk melawan kebid'ahan mereka yang menghalalkan

 

4)   Hak menuntut ilmu

Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang dikehendaki Allah baik, Dia akan memahamkannya ilmu agama." Ibnu Hajar menjelaskan bahwa arti konotasi hadits ini ialah barang siapa yang tidak dipahamkan pada ilmu agama oleh Allah, tidak mempelajari kaidah-kaidah Islam, dan semua permasalahan furu' yang berkaitan dengannya, berarti dia telah dijauhkan dari kebaikan;" dan hal ini bersifat umum, baik laki-laki maupun perempuan.

Ali pernah berkata, "Manusia itu ada tiga golongan, yaitu (1) ulama Rabbani, (2) pelajar yang meniti jalan keselamatan, (3) rakyat jelata yang mengikuti segala seruan, condong diterpa ke mana pun arah angin, mereka tidak disinari dengan cahaya ilmu." Karena itu, para ulama mengategorikan kitab kitab ilmu termasuk hawaij al-ashliyah (kebutuhan dasar).

Ada beberapa ilmu khusus yang wajib dipelajari setiap muslim, seperti ilmu tentang Rabb, tauhid, ibadah, hukum hukum agama (halal dan haram), dan ilmu-ilmu lain yang tidak ada alasan bagi seorang pun untuk tidak mengetahuinya, baik laki-laki maupun perempuan.

Al-faqih Ibnu Hazm mengatakan, "Wajib bagi setiap wanita untuk mendalami permasalahan agama, khususnya yang berkenaan dengan wanita, sebagaimana yang diwajibkan bagi pria. Muslimah yang kaya diwajibkan mengetahui hukum hukum zakat, diwajibkan pula bagi mereka memahami hukum thaharah (bersuci), shalat, puasa, serta mengetahui mana makanan, minuman, dan pakaian yang halal dan yang haram.

Banyak sekali hukum-hukum dan permasalahan seputar agama yang sampai kepada kita melalui istri-istri Rasulullah. seperti Aisyah, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, Shafiyah, dan istri beliau yang lainnya (semoga Allah meridhai mereka semua). Juga dari Ummu Sulaim, Ummu Haram, Ummu Athiyah, Ummu Syuraik, Ummu Darda', Asma' binti Abu Bakr, Fathimah binti Qais, dan masih banyak lagi yang lain. Dari golongan tabi'iyyat pun banyak yang mengambil ilmu dari para shahabiyah yang mulia. Mereka lantas mewariskannya kepada generasi sesudah mereka, seperti yang dilakukan laki-laki. Pernah terjadi penangguhan solusi, terkait perbedaan pendapat antara kaum Muhajirin dan Anshar dalam masalah thaharah, hingga akhirnya mereka merujuk kepada Aisyah. Hati mereka pun tenteram dengan ilmu yang didapat Aisyah dari Rasulullah.

 

Sifat pemalu yang identik dengan wanita tidak menghalangi mereka untuk bertanya dan belajar ilmu agama. Mereka bahkan meminta kepada Rasulullah jatah (waktu) satu hari khusus untuk mengajari, menasihati, dan memotivasi mereka untuk beramal baik.

Wanita juga butuh ilmu agama, seperti halnya pria. Maka hendaklah mereka diberi kemudahan untuk mempelajarinya. Ilmu-ilmu lain yang juga harus dipelajari antara lain ilmu bahasa Arab, qira'ah, kitabah, dan hisab. Sebagian dari wanita pun harus ada yang menjadi spesialis dalam ilmu syar'i tentang berbagai masalah khusus wanita. Ini sebagai fardhu kifayah untuk kemudian diajarkan dan disampaikan kepada wanita lain, terutama permasalahan khusus wanita yang sering dan banyak menjadi pertanyaan.

Negara Islam bertanggung jawab terhadap pendidikan kaum perempuan, terhadap kebutuhan mereka dalam bidang ilmu kedokteran dan pengobatan, dan semua yang berhubungan dengan kebutuhan wanita. Sangat penting pula bagi wanita untuk belajar keterampilan dan kerajinan tangan, seperti menjahit, menenun, dan apa yang dibutuhkan wanita dan memungkinkan untuk dipelajarinya. Tidak mengapa jika hanya sebagian dari mereka yang mempelajarinya, selain agar kebutuhan ini terpenuhi sekaligus untuk memberi peluang kerja bagi pengangguran dari golongan wanita. Tidak kalah penting pula adalah mempelajari keterampilan memasak, mengatur urusan rumah tangga, dasar-dasar mendidik anak, dan ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan para wanita dan harus diajarkan kepada mereka.

5)   Hak kepemilikan wanita

Sepertinya pantas jika saya sampaikan sebuah gagasan tentang hak kebebasan bekerja. Bekerja adalah sebab utama seseorang bisa memiliki sesuatu. Sibuk dalam pekerjaan yang sesuai dengan kriterianya adalah hak setiap orang, demi terpenuhi kebutuhannya sehari-hari. Pekerjaan yang sesuai adalah pekerjaan yang dilakukan dengan menggunakan tangan atau berbagai peralatan kerja asal pekerjaan itu dibolehkan, sesuai dengan syariat, serta tidak menimbulkan kerusakan agama.

Di dalam komunitas masyarakat muslim, seorang muslimah berada di dalam tanggungan, baik tanggungan suami, ayah, saudara, atau kerabat. Jika tidak ada suami, ayah, saudara, atau kerabat maka dia ditanggung oleh baitulmal kaum muslimin. Tanggungan ini menjadi hak baginya dalam. keadaan apa pun. Seorang suami atau kerabat mau atau tidak bahkan boleh dipaksa untuk memenuhi hak istri atau saudara perempuannya. Jika dia tidak mampu, pemerintahlah yang harus mengurusnya, pemerintah wajib menafkahinya sesuai dengan kebutuhannya.

Istri para shahabat juga ikut suaminya bekerja. Zainab, istri Abdullah bin Mas'ud, bahkan bekerja di tempat pemintalan benang sehingga dia berkewajiban mengeluarkan zakat mal. Zainab ingin menyalurkannya di tempat yang berpahala besar. Dia bertanya kepada Rasulullah, apakah dia boleh membayarkan zakatnya kepada suami dan anak yatim yang diasuhnya. Rasulullah menjawab, "Ya," dan zakat itu berpahala dua, pahala sedekah dan pahala menyambung tali silaturahmi.

Wanita bisa berbuat banyak di dalam rumahnya. Mereka bisa membuat kerajinan tangan kemudian menjualnya di pasar atau menjualnya kepada teman-teman sesamanya. Sesuatu yang dilakukan dengan tekun pasti akan bernilai tinggi.

Para suami dan mereka yang mengurusi urusan wanita, hendaknya membantu istri dan para wanita untuk belajar berkarya demi mengembangkan potensinya sekaligus memperoleh penghasilan darinya. Nabi Dawud makan dari hasil tangannya. Sebaik-baik umat Muhammad ialah yang makan dari tangan (usaha) sendiri.

Di dalam Islam, wanita memiliki hak kebebasan untuk memiliki, baik itu gaji dari hasil kerjanya, mata pencaharian yang hasilnya melimpah, warisan yang dia peroleh, atau harta yang dia dapat dari berbagai jalan usaha yang halal. Jika seorang wanita telah balig dan berakal sehat, tidak seorang pun berhak memerintahnya. Seorang wanita berhak membelanjakan hartanya sesuai keinginannya, bersedekah, memberi hadiah, mengutangi, menyewakan, atau mewakafkan untuk kebaikan. Dia boleh membelanjakannya di jalan yang disyariatkan, sesuai dengan keinginannya. Tidak seorang pun berhak menguasai dan memerintah karena ini adalah haknya, jaminannya sah, dan dia layak melakukan transaksi jual-beli.

Hak wanita seperti ini tidak ada di pemeluk agama lain, seperti Yahudi dan Nasrani di mana wanita tidak boleh membelanjakan apa yang dimilikinya, kecuali dengan izin suami. Ini tentu menyalahi syariat Allah dan fitrah manusia. Adapun dalil yang menguatkan bahwa wanita boleh membelanjakan hartanya sesuai keinginannya ialah seuah hadits yang di riwayatkan imam Al-Bukhari dan selainnya.

Hak-Hak Khusus Muslimah

1.      Hak Muslimah atas orang tuanya

·           Imam Bukhari meriwayatkan, Aisyah, ummul mukminin, berkata, "Telah datang kepadaku seorang wanita bersama dua anak perempuannya untuk meminta (sesuatu) kepadaku. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebutir kurma. Aku pun memberikan kurma itu kepadanya. Dia lantas membagikannya kepada kedua anak perempuannya, sedangkan dia tidak memakannya sedikit pun. Dia berdiri kemudian pergi. Setelah itu, Nabi datang dan aku menceritakan hal itu kepada beliau.

·           Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, "Barang siapa mengasuh dua anak perempuan maka aku dan dia akan masuk ke dalam surga seperti ini beliau memberi isyarat dengan dua jarinya.

·           Abu Sa'id Al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, "Barang siapa mempunyai tiga orang anak perempuan, atau tiga orang saudara perempuan, atau dua orang anak perempuan, atau dua orang saudara perempuan, lalu dia menemani mereka dengan baik dan bertakwa kepada Allah dalam (urusan) mereka maka baginya surga.

·           Al-Barra' bin 'Azib berkata, "Aku masuk bersama Abu, Bakr, ketika pertama datang ke Madinah. Ketika itu, Aisyah, putrinya terbaring karena demam panas. Abu Bakr menghampirinya dan berkata kepadanya, "Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?" Kemudian dia mencium pipinya.

Seorang ayah adalah pemimpin, dia bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya, sedangkan seorang Ibu adalah pemimpin di rumah suaminya, dia bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Sesungguhnya, tanggung jawab seorang ayah muslim dimulai dari memilih istri kemudian membina sang istri dengan pembinaan yang islami. Istri salihah adalah karunia besar yang dianugerahkan Allah di kehidupan dunia. "Sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salihah.

Rasulullah juga memerintahkan agar para wanita (yang dipingit) diizinkan keluar menuju tempat pelaksanaan shalat Id, menyaksikan shalat, berdoa, dan berbuat baik kepada sesama, dan memerintahkan wanita haid untuk tidak mendatangi (mendekati) tempat shalat.

Tanamkan pula rasa cinta kepada Rasulullah di dalam jiwa anak-anak, di antaranya dengan mengikuti sunnah beliau dalam semua perkara, baik yang kecil maupun besar, dalam keadaan senang maupun susah. Kemudian membuat tahapan pengajaran dan bimbingan tentang rukun-rukun agama, membacakan sejarah dengan gaya bahasa yang luwes, menyimpulkan ibrah dan pelajaran penting dari sejarah Nabi Muhammad dan para shahabat laki-laki dan wanita. Ketika sampai pada kisah-kisah ummul mukminin, Khadijah, berhentilah sejenak pada sejarah ummul mukminin. Jelaskanlah kedudukannya yang mulia di sisi Nabi. Bahwa Khadijah telah beriman kepada Nabi, membenarkannya, membantu dengan hartanya, sangat perhatian kepada beliau hingga malaikat Jibril memberi kabar gembira kepadanya bahwa Allah menyampaikan salam untuknya, dan dibangun untuknya sebuah rumah di surga yang terbuat dari permata di dalamnya tidak ada kesedihan dan keluh-kesah.

Demikian pula dengan istri-istri Rasulullah yang lain dan putri beliau, Fathimah. Setiap shahabiyah mempunyai peranan penting dalam dakwah, mereka bertanya tentang perkara agama, terkadang ikut berjihad (untuk mengobati tentara yang terluka, membawa air, menghunus pedang), serta memerhatikan pendidikan anak-anak.

Di antara pendidikan penting adalah hafalan Al-Qur'an, hadits Nabi, mengajarkan kepada anak-anak zikir dan doa, tugas harian yang selalu berulang setiap pagi dan sore yang dengan demikian maka rumah dan penghuninya akan terjaga dari godaan setan.

Selain itu, mengajarkan adab makan, minum, tidur, dan berpakaian. Sebab jika seorang anak sudah terbiasa menutup aurat dan memiliki rasa malu sejak kecil maka akan sangat bermanfaat ketika dia dewasa, dia tidak akan goyah diterpa "badai", insya Allah. Para ayah hendaknya waspada terhadap segala sesuatu yang dapat merusak anak perempuan mereka, baik secara fisik maupun akal yang yang bisa datang dari majalah, koran, buku buku yang menyimpang, dan pemikiran atau akidah menyimpang.

Dan tumbuhlah anak-anak di tengah kita,

Atas apa yang dibiasakan oleh ayahnya.

Ibu juga memiliki peranan penting dalam kehidupan putrinya. Seorang ibu bisa menanamkan rasa cinta kepada Allah, Rasulullah, dan cinta pada agamanya sejak dini. Membiasakan putrinya dengan pekerjaan rumah yang menjadi dasar hidup seorang wanita, mengajarinya dasar masak-memasak, dan membersihkan atau menata rumah. Selain itu, mengajari untuk memerhatikan perawatan tubuhnya, kebersihan dan kerapian pakaiannya, serta cara berpenampilan yang menawan. Menyiapkannya untuk hidup bersama suami (berumah tangga) dengan bahagia, dan membina kehidupan rumah tangga yang saling memahami dan menyayangi. Selanjutnya, jika pengantin telah dibawa ke rumah suaminya, sang Ibu hendaknya membantu putrinya untuk berbuat baik, melanggengkan kehidupan rumah tangganya, dan tidak ikut campur dalam kehidupan mereka, kecuali untuk mendamaikan dan memberi petunjuk dan arahan.

Apabila seorang ibu telah mendidik putrinya dengan baik sejak kecil, menjaganya hingga dia diboyong ke rumah suaminya, kemudian tidak mengikutinya tinggal bersama anak perempuannya, kecuali untuk kebaikan maka terciptalah kebahagiaan di rumah-rumah orang muslim. Ini disebabkan faktor utama penyebab bahagia dan sengsaranya kehidupan suami-istri adalah ibu sang istri. Dia bisa menjadi rahmat, pun bisa menjadi azab. Sesungguhnya, Allah hanya akan menyayangi hamba-hamba-Nya yang saling menyayangi. Untuk itu, sang ibu hendaknya memperlakukan anak menantunya (suami dari anak perempuannya) dengan baik sehingga anak perempuannya pun akan diperlakukan dengan baik oleh suaminya.

2.      Hak wanita atas suaminya

Hak-hak wanita atas suaminya adalah (1) mahar, (2) nafkah (3) bermalam (mabit) (4) jimak (5) memperoleh arahan, bimbingan, dan pengayaan ilmu. Berikut adalah rinciannya.

a. Mahar

Mahar menurut bahasa berarti sedekah atau pemberian. Menurut istilah syar'i, artinya adalah harta yang wajib diberikan laki-laki kepada perempuan yang disebabkan oleh akad nikah dan dia (laki-laki) harus menanggung dengan setelah menyetubuhi (istrinya). Dasar persyariatan mahar Al-Qur’an, sunnah, dan ijmak.

dengan sempurna setelah menyetubuhi (istrinya). Dasar pensyariatan mahar adalah Al-Qur'an, sunnah, dan ijmak. Allah berfirman:

وعاثوا النساء صدقيتهن نحلة

"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan." (An-Nisâ': 4)

Allah berfirman:

.فما استمتعتم به منهن فاتوهن أجوره فريضة

Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban." (An Nisa': 24)

Adapun dalil dari sunnah bahwa tidak ada pernikahan Nabi dan pernikahan putri-putri beliau yang tanpa mahar. Nabi pernah berkata kepada seorang pemuda yang ingin menikahi seorang wanita yang menghibahkan dirinya untuk Nabi, sedangkan si pemuda ini tidak mempunyai apa pun, "Carilah, walau sebuah cincin besi. "

Nabi mendiamkan Abdurrahman bin 'Auf ketika beliau melihat suasana pernikahannya dan menanyainya tentang mahar. Dia menjawab, "Emas sebesar biji kurma." Beliau kemudian bersabda, "Semoga Allah memberkahimu, adakanlah walimah, walau dengan seekor kambing. "

Menurut pendapat yang benar, tidak ada batasan maksimal terkait ukuran mahar, berdasarkan firman Allah, Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di mereka harta yang banyak maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikit pun." (An Nisa': 20)

Mahar tidak memiliki batas minimal, dengan syarat berbentuk harta, boleh berupa cincin besi atau segenggam makanan. Sebaik-baik mahar adalah yang mudah. Sesungguhnya, sebaik-baik wanita adalah yang mudah (ringan) maharnya. Mahar istri-istri Nabi tidak lebih dari dua belas Dirham, senilai dengan 450 gr perak. Harga 1 gr perak saat ini tidak lebih dari 1 Riyal. Maka mahar istri istri Nabi kira-kira sejumlah 450 Riyal Saudi (lebih kurang) sesuai dengan perubahan harga perak. Ukuran sedang pada zaman sekarang untuk mahar mencukupi perhiasan yang dipakai wanita, yaitu sejumlah 20 sampai dengan 30 Riyal Saudi.

Tidak semestinya (calon) suami dibebani mahar melebihi jumlah tersebut. Kepada orang-orang kaya, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam mahar karena akan diikuti oleh yang lain. Ini karena mereka yang menyuarakan jumlah atau besarnya mahar yang diberikan.

Para orang tua pun tidak boleh berlebih-lebihan dalam menetapkan mahar anak-anaknya. Sebaliknya, hendaknya menganjurkan anaknya agar meminta mahar sesuai kebutuhan. Betapa banyak wanita yang sibuk membeli perhiasan dan pakaian dan berlebih-lebihan dalam berbusana pengantin (untuk akad nikah dan walimah) yang kadang-kadang harganya cukup untuk membiayai beberapa pasang pengantin lain. Ini adalah gambaran kebodohan dan kelemahan iman yang dapat memberikan efek negatif bagi para pemuda dan pemudi.

Mari kita amati petunjuk Nabi tentang walimatul 'ursy. Beliau telah mengatakan kepada Abdurrahman bin Auf (salah seorang shahabat yang kaya raya), "Adakanlah walimah, walaupun dengan seekor kambing."

b. Nafkah untuk istri

Allah berfirman:

لينفق ذو سعة من سعته، ومن قدر عليه رزقه، فلينفق مما واتنه الله لا يكلف الله نفسا إلا ما واتنها

"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang yang disempitkan rezekinya memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya" (Ath-Thalâq: 7)

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan berkata, "Ya Rasulullah, sungguh Abu Sufyan itu seorang laki-laki yang pelit, dia tidak memberi nafkah yang mencukupi kebutuhanku dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya." Nabi bersabda, "Ambillah dari hartanya untuk mencukupi kebutuhanmu dan anakmu dengan selayaknya.

Para ulama sepakat bahwa nafkah istri menjadi kewajiban suami karena seorang istri telah "memenjara dirinya" demi hak suaminya. Kaidahnya, siapa yang terpenjara karena (memenuhi) hak orang lain maka dia wajib dinafkahi

Berdasar beberapa keterangan di atas, jelaslah bahwa suami bertanggung jawab menafkahi istrinya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, maupun tempat tinggal. Ini disesuaikan dengan kondisi suami, sebagaimana tercantum dalam ayat bahwa Allah tidak membebani hamba, kecuali sesuai kesanggupannya. Tidak ada bedanya antara suami yang kaya atau yang susah karena ayat tersebut tidak membedakan antara keduanya, kecuali dalam ukuran atau jumlah.

Dalam sebuah hadits sahih disebutkan bahwa istri berhak meminta cerai kepada suami jika memang suaminya tidak bisa menafkahinya dan dia tidak bisa bersabar lagi dengan keadaan itu. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, "Seorang wanita berkata, 'Beri aku makan atau ceraikan aku."

c. Hak bermalam

Anas bin Malik meriwayatkan, "Jika seorang laki-laki menikahi wanita perawan, sunnahnya adalah dia harus tinggal bersamanya selama tujuh hari; jika menikahi janda, dia tinggal bersamanya selama tiga hari. Masa suami untuk tinggal bersama istrinya yang baru adalah hak bagi istri, ini untuk mengobati kesepiannya. Sama halnya apakah suami mempunyai istri yang lain atau tidak, ini untuk memulai pembagian jatah sejak awal. Hari-hari berikutnya, istri memiliki hak untuk bermalam dengan suaminya (minimal) satu kali dalam empat malam karena Allah telah menghalalkan bagi suami menikahi empat wanita.

d. Hak wanita dalam berhubungan seks

Sejatinya, tujuan utama pernikahan adalah untuk meraih kenikmatan dengan halal dan masing-masing pasangan bisa saling menikmati. Hubungan seks adalah hak wajib atas suami untuk istrinya. Suami tidak boleh meninggalkannya dengan tujuan ingin menimbulkan mudarat bagi istrinya.

Allah berfirman:

للذين يؤلون من نسابهم تربص أربعة أشهر فإن فاء و فإن الله غفور رحيم = وإن عزموا الطلق فإن الله سميع عليم

"Kepada orang-orang yang meng-ila' istrinya, diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 226-227)

 

Apabila seorang suami bersumpah untuk tidak sama sekali menggauli istrinya, atau dia menyebutkan waktu lebih dari empat bulan, sesungguhnya syar'i telah memberi batasan yang tidak boleh dilampaui. Jika telah habis masa empat bulan, suami harus memilih antara kembali menggaulinya dan membayar kafarat sumpah atau jatuh talak.

Adapun pendapat Umar dan Hafshah yang membatasinya hingga lima atau enam bulan, maksudnya ialah bahwa kesabaran wanita (istri) akan habis setelah masa itu.

Jika suami tidak memiliki alasan untuk meninggalkan istrinya maka dia berdosa. Jika suami menghilang dan istrinya mengajukan dakwaan kepada hakim setelah masa yang ditentukan, hendaknya hakim mengabulkannya. Apabila suami datang dan menyebutkan uzur yang bisa diterima maka status pernikahan boleh dilanjutkan. Tetapi, jika tidak, hakim boleh membatalkan pernikahannya; dan pernikahannya ini tidak bisa dibatalkan kecuali dengan hukumnya. Imam Al-Muwaffiq berkata, "Hubungan seks (jimak) wajib bagi suami jika tidak ada uzur (halangan)." Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya, "Apakah suami yang menggauli istrinya sedang dia tidak mempunyai syahwat akan mendapat pahala?" Imam Ahmad berkata, "Ya, dan hendaknya dia mengharap Allah akan memberinya anak, sekalipun dia tidak menginginkan anak. Perempuan ini masih muda, bagaimana mungkin dia tidak diberi pahala."

e. Hak memperoleh arahan, bimbingan, dan pengayaan ilmu

 Apabila seorang pria telah beristri, sedangkan istrinya itu tidak mengerti hukum-hukum dan adab-adab Islam maka wajib bagi suami mengajari dan mendidiknya. Hendaknya suami mengajarkan tentang Allah, Rasulullah, rukun agama dan kewajiban-kewajibannya, halal dan haram, dan lain-lain yang wajib diketahui setiap muslim. Kondisi seperti ini sudah jarang terjadi pada zaman sekarang karena taklim telah tersebar luas dan disiarkan dalam beberapa sarana informasi, seperti radio siaran Al-Qur'an dan khutbah Jumat.

Sekarang ini juga terdapat lembaga-lembaga pendidikan, sekolah, universitas yang memerhatikan pengajaran dan dakwah islamiah. Jika suami sibuk maka dia harus mengizinkan istrinya untuk mengikuti program-program pengajaran itu hingga istri bisa mempelajari Al-Qur'an dan sunnah, serta mendapat beberapa nasihat bermanfaat yang akan berharga pada masa hidupnya dan bermanfaat setelah mati.

Seyogianya pula rumah-rumah dilengkapi dengan perabot yang bermanfaat, seperti buku-buku dan kaset islami demi meringankan beban suami dalam pembinaan keluarga. Betapa berfaedahnya jika di dalam rumah diperdengarkan radio siaran Al-Qur'an dan kaset-kaset islami karena telah muncul kesadaran untuk meningkatkan pemahaman keluarga. Semoga Allah memberikan manfaat yang banyak.

Tetapi, ada juga sebagian suami (semoga Allah menunjuki mereka) yang justru berbuat sebaliknya. Mereka melengkapi rumah-rumah mereka dengan barang-barang yang berbahaya dan bersifat merusak, hingga di dalam rumah tidak ada ketenangan. Sebagian mereka bahkan ada yang marah jika didapati anggota keluarganya sedang memperdengarkan bacaan Al-Qur'an atau siaran pendidikan lainnya. Dia pun melarang keluarganya pergi untuk belajar.

Seputar pengayaan (pendidikan pelengkap)

Maksud saya ialah ilmu-ilmu syar'i yang penting yang tidak dimiliki istri dan pengetahuan lain, misalnya tata boga (memasak), pendidikan anak, tata rumah tangga, dan keterampilan menjahit. Ilmu-ilmu ini dibutuhkan dalam kehidupannya dan tidak menghabiskan waktu yang lama untuk mempelajarinya.

Pengayaan pengetahuan ini bukanlah dengan melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, seperti tingkat menengah, tingkat atas, universitas, dan sebagainya. Ini tidak menjadi keharusan bagi wanita karena hanya akan menjadikannya sering keluar rumah, melalaikan hak suami, dan melupakan anak-anak. Selain itu, hanya sedikit manfaat yang diperoleh darinya, apalagi di sana tidak diperhatikan pemisahan tempat duduk antara laki-laki dan wanita. Kebanyakan orang yang menempuhnya hanya bertujuan untuk mendapat pekerjaan dan materi, keduanya menjadi penyebab terjadinya perselisihan yang akhirnya mengakibatkan perceraian dan perpisahan di antara pasangan suami-istri.

3.      Hak wanita dalam bermasyarakat

Islam telah menetapkan kemanusiaan wanita seperti halnya laki-laki dan menjadikannya memiliki hak-hak dan kewajiban sesuai dengan tabiat dan kemampuannya. Agar masyarakat bisa memenuhi hak-hak wanita, hendaknya di dalam masyarakat itu bersih dari berbagai penyimpangan kemudian mereka istiqamah di jalan yang benar. Hal ini hanya bisa terwujud dengan memperbaiki jiwa dan mengisi hati setiap orang dengan keimanan kepada Allah agar amalan menjadi baik dan lurus sesuai dengan syariat-Nya.

Nabi bersabda, "Ketahuilah, di dalam jasad itu ada segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah ia adalah hati.

Berikut ini hak-hak Muslimah di dalam masyarakat:

a.    Mendukung para wanita untuk berhijab dan menutup aurat

Setiap individu dalam masyarakat-diharapkan-berperan aktif dalam mendukung pemakaian hijab. Seorang khatib di masjid hendaknya menjelaskan kewajiban berhijab, menerangkan tentang keutamaan dan manfaatnya bagi wanita, memotivasi mereka untuk memakainya, dan menerangkan bahwa istri-istri Nabi diperintahkan untuk itu, demikian halnya wanita dari masa ke masa.

Petugas penegak disiplin di pasar-pasar hendaknya memerintahkan para wanita untuk memakai hijab dan menegur mereka yang berhijab, tetapi tidak sesuai syar'i. Penyiar radio atau jurnalis menyoroti masyarakat yang para wanitanya memakai hijab, memberi peringatan dengan akibat terbukanya aurat dan penyimpangan moral, seperti yang terjadi di Barat.

Bagi pria yang ingin menikah, hendaknya dia hanya meminta wanita yang berhijab dan menutup aurat, mengutamakan menikah dengan wanita berhijab, meninggalkan wanita yang tidak berhijab, dan menyiarkan bahwa dia menikahi wanita itu karena dia berhijab sebagaimana yang diperintahkan agama.

Apabila sebuah masyarakat menghormati perasaan muslimah berhijab dan memuliakannya, itu akan mendorong anak-anak perempuan untuk memakai hijab. Sebaliknya, wanita yang tidak berhijab hendaknya diremehkan, memandang mereka dengan hina sehingga mereka tidak bisa bekerja, dan mewasiatkan agar tidak membantu mereka-karena mereka telah mengoyak tabir Allah-, serta mensyaratkan mereka untuk menutup aurat. Jika semua warga masyarakat berbuat demikian, tentu akan berpengaruh besar terhadap berhijabnya kaum wanita. Tentunya dengan menjelaskan dalil-dalil dan keterangan bahwa hukum hijab adalah wajib dan menanggalkannya adalah haram. Selain itu, mereka yang berani membuka hijab akan menyandang sifat wanita wanita durhaka dan menyerupai orang kafir.

b. Menghindari khalwat dan ikhtilat

Setiap anggota masyarakat hendaknya mengetahui akibat buruk berkhalwat dengan wanita ajnabiyah (wanita bukan mahram) dan bahaya ikhtilat agar mereka menghindari perbuatan itu sehingga para wanita akan terlindungi.

Jika seorang pria tidak mau berkhalwat dengan wanita dan menjauhi ikhtilat, berarti dia telah melakukan upaya melindungi kaum wanita. Misalnya, jika pengemudi angkutan umum tidak mengangkut perempuan yang tidak disertai mahramnya, pedagang mengadakan pasar khusus untuk perempuan, dan membuat departemen urusan wanita yang berkualitas.

Demikian pula jika dipisahkan departemen kesehatan wanita dari pria dan didirikan klinik khusus wanita dengan memilih para ahli yang profesional dari kalangan muslimah. Berbagai fasilitas umum yang dibutuhkan wanita, hendaknya juga diadakan dan dikhususkan bagi wanita. Jika hal ini terwujud, terputuslah akar penyebab ikhtilat di pasar-pasar dan di tempat-tempat umum. Dengan demikian, masyarakat telah berpartisipasi dalam menjaga kesucian dan melindungi kaum wanita. Itu adalah hal yang mudah dengan izin Allah.

Oleh karena itu, Islam melarang khalwat (bercampur baur), yaitu antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Jabir meriwayatkan dari Nabi, beliau bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah dia tidak berkhalwat dengan wanita tanpa disertai mahramnya, sebab sungguh (pihak) yang ketiga (dari mereka) adalah setan,”

c. Hak wanita untuk Bersama mahram dalam safar

Di antara syariat perlindungan yang diberikan Islam untuk menjaga wanita dari kejahatan dan ancaman berbagai bahaya ialah apabila ketika dia safar, wajib ada mahram yang menemaninya. Inilah hak wanita.

Rasulullah bersabda, "Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita, kecuali (wanita itu) ditemani mahramnya, dan janganlah seorang wanita bepergian, kecuali bersama mahramnya." Seorang pemuda berkata, "Wahai Rasulullah, sungguh istriku pergi menunaikan haji karena aku mengikuti perang ini dan ini." Rasululah berkata, "Pergi, dan berhajilah bersama istrimu."

Maksudnya ialah safar secara mutlak, jauh atau dekat. Imam Nawawi berkata, "Yang dimaksudkan dari pembatasan itu bukan makna lahirnya, tetapi semua yang disebut safar, wanita boleh melakukannya hanya disertai mahramnya. Adanya batasan terhadap suatu perkara yang nyata maka dipahami darinya tidak mesti diamalkan."

Ustaz Muhammad Rasyid Ridha mengatakan, "Bagi orang yang mengetahui berita tentang safar pada masa kini, yang akibatnya adalah selalu berkumpulnya laki-laki dan wanita di kapal dan hotel, tentu dia memahami hikmah dari larangan ini dan bahwa safar itu sama saja, jauh atau dekat, inilah hikmah dilarangnya wanita bepergian tanpa mahram."

d. Hak dimuliakan dan ditempatkan di posisi yang layak

Islam menghormati kaum wanita, memenuhi haknya, dan melindunginya, baik dia menjadi seorang ibu, istri, anak, maupun anggota masyarakat. Darah, harta, dan kehormatannya diharamkan, kecuali yang menjadi hak Islam. Nabi bersabda, "Setiap muslim haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya."

Dia bertanggung jawab sendiri terhadap perbuatannya. Allah berfirman, "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah." (Al-Ma'idah: 38)

Di antara hak yang wajib ditunaikan masyarakat untuk wanita adalah tidak mengganggu kepemilikannya. Wanita berhak mengelola apa yang dimilikinya, "(Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan." (An-Nisa': 32) Wanita mempunyai kebebasan penuh dalam kepemilikannya.

Seorang muslimah berhak memilih pendamping hidupnya dari laki-laki yang beragama dan berakhlak; tidak sah jika adat dan tradisi masyarakat meniadakan hak ini. Dia pun berhak hidup bahagia, tenang, tenteram, dan aman. Hak sosialnya tidak boleh dirampas sedikit pun karena akan mendatangkan ancaman dalam hidupnya.

f. Hak lain-lain Muslimah dalam masyarakat

sejatinya, tugas pokok wanita adalah di rumah dan ini bukan hinaan baginya, Hiidup berkeluarga.

Hak Bersama

1. Hak mendapat perlakuan baik

Dalilnya dari Al-Qur'an adalah sebagai berikut: Allah berfirman:

وعاشروهن بالمعروف فإن كرهتموهن فعسى أن تكرهوا شيئا وجعل الله فيه خيرا كثيرا

"Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (An-Nisa': 19)

ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف وللرجال عليهن درجة

"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya" (Al-Baqarah: 228)

Ibnu Jarir menyebutkan dari Dhahak dalam tafsir firman Allah: Wa lahunna mitslu alladzi 'alaihinna bil ma'ruf, dia mengatakan, "Apabila dia (istri) menaati Allah dan menaati suaminya maka suami wajib memperlakukannya dengan baik, tidak menyakitinya, dan menafkahinya dari hasil usahanya."

Ibnu Zaid mengartikan secara global dengan takwa. Dia mengatakan bahwa hendaknya mereka (para suami) bertakwa kepada Allah dalam menghadapi urusan istri, pun demikian dengan para istri, hendaknya mereka bertakwa kepada Allah dalam menghadapi urusan suami. Ibnu Abbas berkata, "Aku senang berhias untuk istriku, sebagaimana aku senang kalau dia berhias untukku karena Allah berfirman, "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf" (Al-Baqarah: 228)

Dalam menafsirkan ayat: Dan bergaullah dengan mereka. secara patut, Ibnu Jarir mengatakan, "Berakhlak baiklah. engkau, wahai para suami, kepada istrimu dan pergaulilah mereka dengan baik, yakni dengan pergaulan yang Kuperintahkan, dengan memberikan hak-hak mereka yang telah Allah wajibkan kepada kalian, atau melepaskannya dengan cara yang baik.

2. Tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan

Allah berfirman:

 وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان واتقوا الله إن الله شديد العقاب

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya." (Al-Ma'idah: 2)

Al-birru (akhlak yang baik) yaitu yang membawa pada ketenangan jiwa. Al-birru lawan dari al-itsmu. Al-birru adalah kalimat yang mencakup semua kebaikan, sebagaimana al itsmu adalah kalimat yang meliputi semua kejelekan.

Al-Mawardia berkata seputar makna ayat, "Allah menganjurkan untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan mengiringinya dengan takwa karena dalam takwa ada ridha Allah, dan dalam kebaikan ada ridha manusia. Siapa yang telah menghimpun ridha Allah dan ridha manusia, berarti telah sempurnalah kebahagiaannya dan lengkaplah nikmatnya."

Umar bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah. harta apa yang harus kami miliki?" Rasulullah menjawab, "Hendaklah kalian memiliki hati yang senantiasa bersyukur, lisan yang senantiasa berzikir, dan istri beriman yang menolong kalian dalam urusan akhirat."

Sabda Nabi: Istri yang beriman yang menolong kalian dalam urusan akhirat, karena akhirat adalah kampung abadi, kebahagiaan di dalamnya tiada sebanding dengan kebahagiaan apa pun, begitu pula kesengsaraan di sana tidak sebanding dengan kesengsaraan apa pun.

Jika seorang istri salihah menolong suaminya dan sebaliknya suami menolong istrinya dalam urusan akhirat, padahal akhirat itu bersifat gaib maka bagaimana dengan urusan dunia keduanya? Tentu mereka akan lebih saling membantu karena di antara cara memperbaiki akhirat ialah dengan memperbaiki urusan dunia agar sesuai dengan syariat Allah.

Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda, "Tolonglah saudaramu yang zalim dan yang dizalimi. Apabila dia zalim, tolonglah dengan mencegahnya (dari berbuat zalim) maka sesungguhnya itu pertolongan baginya, dan apabila dia dizalimi maka tolonglah."

Sesungguhnya, bentuk tolong-menolong yang paling utama ialah tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, mencegah orang yang zalim dari kezaliman, melarangnya dari kesesatan, mengingatkan tentang takdir Allah untuknya, dan menakutinya dengan hukuman bagi kezaliman. Dan sungguh hukumannya sangat berat, oleh karena itulah doa orang terzalimi mustajab, walau dalam beberapa saat.

Di antara bentuk tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan adalah membina rasa saling mencintai, menghargai, dan menyayangi di antara suami-istri sehingga jauh dari sifat sombong dan angkuh yang membawa pelakunya pada kebengisan dan kekasaran. Nabi bersabda, "Perumpamaan seorang mukmin yang saling menyayangi, menghormati, dan mencintai ialah seperti satu tubuh, bila salah satu anggotanya merasakan sakit maka bagian tubuh yang lain pun akan merasakan demam dan tidak bisa tidur.

Di antara sarana yang dapat mewujudkan sikap saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan ialah dalam bermuamalah, hendaknya suami-istri melandasinya dengan dasar ukhuwah karena Allah. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak boleh menzaliminya, merendahkan, dan menghinanya. Siapa yang memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya.

3. Hak waris wanita

Allah berfirman:

للرجال نصيب مما ترك الولدان والأقربون وللنساء نصيب مما ترك الولدان والأقربون مما قل منه أو كثر نصيبا مفروضا

"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi seorang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telali ditetapkan." (An-Nisā':7)

يوصيكم الله في أولدكم للذكر مثل حظ الأنثيين فإن كن نساء فوق أثنتين فلهن ثلثا ما ترك وإن كانت وحدة فلها النصف

"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua maka mereka berhak mendapat dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja maka dia memperoleh setengah harta." (An-Nisa': 11)

Hikmah warisan dan pembagiannya secara syar'i adalah untuk memberikan perhatian khusus terhadap nasib karib kerabat bahwa mereka lebih utama dari yang lainnya. Syaratnya, telah diselesaikannya semua urusan berkaitan dengan harta peninggalan, seperti penyelenggaraan prosesi pemakaman jenazah, utang-piutang, dan wasiat. Baru kemudian pembagian harta warisan.

Allah berfirman:

وأولوا الأرحام بعضهم أولى ببعض في كتب الله

"Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah." (Al-Anfâl: 75)

Orang-orang jahiliyah sama sekali tidak memberikan warisan kepada perempuan. Mereka bahkan menjadikan wanita sebagai "barang" yang diwariskan. Anak laki-laki (jika ayahnya telah meninggal) boleh menghalangi ibu tirinya untuk menikah dengan orang lain, dia bahkan berhak menikahinya. Mereka beranggapan bahwa perempuan dan anak kecil tidak berhak mendapat warisan karena mereka tidak bisa ikut berperang sehingga tidak bisa mendapat harta rampasan perang.

Oleh karena itu, ketika ayat-ayat tentang warisan turun, sebagian orang pun mengingkarinya. Mereka berkata, "Perempuan diberi seperempat atau seperdelapan, anak perempuan (sendiri) mendapat setengah, anak kecil juga diberi warisan, bukankah mereka sama sekali tidak ikut berperang dan tidak bisa merebut harta rampasan perang?"

Sebagian yang lain berupaya sekuat tenaga untuk mengubah aturan ini sesuai dengan ijtihad dan pemahaman mereka. Itu adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi karena pembagiannya telah diatur oleh Allah.

Wanita, anak perempuan, dan anak-anak kecil adalah orang yang paling berhak mendapat warisan karena kelemahan dan kebutuhan mereka. Dengan memberikan hak waris kepada wanita, Islam telah membebaskannya dari penindasan kaum jahiliyah terhadap wanita, yang selama berabad-abad hidup sebagai tawanan.

Jadi, memberikan hak waris kepada wanita merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan melawan tradisi jahiliyah. Tradisi jahiliyah tersebut senantiasa berulang setiap berulangnya kejahiliyahan sepanjang sejarah. Masih ada saja orang yang tidak mau memberikan bagian warisan untuk saudara perempuannya, bibinya, atau istri ayahnya dan menganggap itu adalah kehinaan baginya. Ada juga yang mengingkari dan tidak mengakui hubungan kekerabatannya kemudian bersekongkol dengan seluruh kerabatnya demi pengingkaran itu. Di antara mereka ada yang mengintimidasi ahli waris perempuan agar mau mengalah sehingga dia terpaksa melepas haknya. Sedikit sekali wanita yang mau melepaskan haknya dengan sukarela, tetapi jika dia menuntut haknya, dia terancam akan dikucilkan. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

4.      Hak mendapat hiburan

Dasarnya adalah hadits Aisyah, dia berkata, "Aku bermain boneka di dekat Rasulullah, beliau lalu mendatangkan teman teman sepermainanku satu persatu."

Aisyah berkata, "Aku bersama Rasulullah dalam suatu perjalanan, aku kemudian menantang beliau berlomba lari dan aku bisa mengalahkan beliau. Setelah badanku gemuk, aku kembali mengajak beliau berlomba, lalu beliau bisa mendahuluiku seraya berkata, "Kemenangan hari ini sebagai penebus kekalahanku yang dulu.

Aisyah berkata, "Saya melihat orang-orang Habasyah sedang memainkan tombaknya di dalam masjid, sedangkan Rasulullah menutupiku dengan bajunya. Saya terus melihatnya hingga saya bosan dan meninggalkannya maka perkirakanlah usiaku adalah seumur anak perempuan yang baru senang bermain."

Urwah meriwayatkan dari Aisyah bahwa Abu Bakr pernah datang menemuinya, sedangkan di sampingnya ada dua anak perempuan yang sedang menyanyi dan memukul genderang pada hari Mina (Idul Adha). Pada waktu itu, Nabi menutup wajahnya dengan kainnya maka diusirlah dua gadis itu oleh Abu Bakr. Nabi pun membuka wajahnya dan berkata kepada Abu Bakr, 'Biarkanlah mereka itu, wahai Abu Bakr, sebab hari ini adalah hari raya (hari bersenang-senang). "

Dalam riwayat lain, Aisyah berkata, "Kadang kala aku yang meminta kepada Nabi, tetapi terkadang beliau yang menawariku, 'Apakah kamu ingin menyaksikannya?" Aku jawab, 'Ya.' Beliau lantas menyuruhku berdiri di belakangnya, pipiku menempel di pipi beliau, beliau berseru, 'Tetaplah bermain tombak, wahai keturunan Bani Arfidah!" Sampai akhirnya aku bosan. Beliau bertanya, 'Sudah cukup?' Aku jawab, 'Ya. Beliau berkata, 'Pergilah."

Dalam beberapa sanad hadits, sebagaimana di dalam hadits Muslim disebutkan bahwa peristiwa ini terjadi di Masjid Nabawi, Aisyah meletakkan dagunya di pundak Nabi dan menempelkan pipinya di pipi Nabi. Dia berada di kamarnya, sedangkan kamarnya berada di samping masjid.

Berdasarkan hadits pertama, kita bisa menyimpulkan keluwesan Nabi terhadap istrinya, Aisyah, yaitu ketika dia bermain boneka bersama teman-temannya. Apabila Nabi masuk, mereka (teman-teman Aisyah) berlari dan menyingkir karena takut kepada Nabi. Dengan kelembutan dan kasih sayang beliau, Nabi kemudian mendatangkan mereka kepada Aisyah agar bisa bermain dengannya.

Pendapat ulama yang sahih dalam masalah ini adalah anak anak perempuan boleh bermain boneka dengan tujuan untuk mempersiapkan mental mereka mendidik anak sejak dini sehingga mereka bisa menyadari bahwa ini adalah tugas mereka setelah menikah nanti. Tetapi, sebisa mungkin dihindari boneka yang menyerupai makhluk hidup, terutama yang memiliki wajah. Perlu juga dihindari masuknya budaya asing ke dalam masyarakat muslim, seperti pakaian mini, model potongan rambut yang menyalahi syariat, penggunaan alat-alat musik, dan sejenisnya yang digunakan musuh Allah untuk memerangi pikiran dan akidah kaum muslimin. Mereka berusaha mengaitkan umat Islam dengan budaya. pemikiran, akidah, dan pola hidup orang kafir dalam berbagai bentuk, termasuk kepada anak-anak melalui berbagai permainan.

Semestinya kaum muslimin berupaya untuk mendirikan pabrik mainan dan lainnya yang sesuai dengan aturan agama. sebagai ganti barang-barang yang ditawarkan orang-orang kafir di pasar kaum muslimin. Selain untuk merampas harta orang muslim, mereka juga menodai agama, tingkah laku, dan akhlak kaum muslimin.

Rasulullah telah memberi kesempatan kepada istrinya untuk bermain dalam batas yang tidak dilarang agama karena beliau mengetahui bahwa hal itu dapat menggembirakannya

Adapun hadits kedua, yaitu hadits tentang perlombaan (riwayat ini sesuai dengan syarat Imam Muslim, walaupun dia sendiri tidak meriwayatkannya) hal ini pun menunjukkan pada kebebasan bermain antara suami dan istri, bahkan lari termasuk olahraga yang dianjurkan para dokter. Lari bisa mengurangi lemak, menyegarkan badan. membangkitkan semangat, dan membantu alat pencernaan dalam melaksanakan tugasnya.

BAB III

D. HUKUM-HUKUM KHUSUS MUSLIMAH

PASAL 1

THAHARAH

1. Haid (menstruasi)

v Dasar hukum haid

Dasar hukum pembahasan haid wanita adalah firman Allahk, "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (Al Baqarah: 222)

v Pengertian haid

Secara bahasa, haid adalah sebagaimana yang dikatakan: hadhatil mar atu tahidhu haydhan wa mahidhan wa makadhan fahiya há idhun wa ha'idhatun (artinya: seorang wanita telah haid, sedang haid, dan sedang terkena haid maka dia disebut wanita yang sedang haid). Bentuk plural kata hå'idh dan hâ'idhah adalah hawa'idh dan huyyadh. Wanita dikatakan haid jika darahnya mengalir. Kata al-haydhah dan al-hidhah (dengan huruf ha' berharakat fathah atau kasrah) adalah nama dari haid. Sering juga digunakan untuk menyebut sepotong kain yang dipakai untuk menyumbatnya agar aliran darah tidak mengenai pakaiannya."Secara istilah, Imam Al-Muwaffiq mendefinisikan bahwa haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah balig kemudian hal ini menjadi kebiasaan yang akan terjadi pada hari-hari yangtelah diketahui.

Imam Al-Bahwati mengartikan bahwa haid adalah darah alamiah yang keluar dari rahim seorang wanita yang sudah balig pada hari-hari tertentu yang telah diketahui."

v Hikmah haid

Dijelaskan oleh Imam Al-Muwaffiq bahwa hikmah haid adalah untuk membantu pertumbuhan anak. Jika seorang wanita mengalami kehamilan maka dengan izin Allah darah haid tersebut berubah menjadi makanan bagi janin. Oleh sebab itu, seorang wanita hamil tidak mengalami haid. Ketika janin tersebut lahir, dengan kebijaksanaan Allah, darah tersebut berubah

 

v Kapan wanita mengalami haid?

seorang perempuan tidak mengalami haid, kecuali pada umur tertentu. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa haid terjadi pada perempuan antara umur 12 hingga 50 tahun. Darah yang keluar sebelum umur 12 tahun atau setelah umur 50 tahun, itu bukan darah haid, tetapi darah penyakit.

Sebagian ulama fikih ada yang mengatakan bahwa umur minimal perempuan bisa mengalami haid adalah 6 tahun. Hal ini sebagaimana disebutkan ulama Mazhab Hanafi, dengan syarat masa keluarnya darah itu sama dengan masa haid dan tidak disebabkan adanya kelainan.

Mayoritas ulama mengatakan bahwa umur minimal adalah 9 tahun. Dimungkinkan terjadi haid pada umur genap 9 tahun, sedangkan umumnya haid terjadi pada wanita berumur 12 tahun dan seterusnya. Jika seorang wanita mengeluarkan darah dengan sifat-sifat haid tanpa ada sebab lain, sedangkan umurnya telah memungkinkan terjadinya haid maka darah itu adalah haid. walaupun umurnya kurang dari 9 tahun. Tetapi, haid yang keluar sebelum umur 9 tahun adalah jarang (langka terjadi). Maka umur 9 tahun adalah batas minimal seorang wanita mengalami haid. Wallahu a'lam.

Begitu pula jika seorang wanita telah melampaui umur 50 tahun. Menurut pendapat mayoritas ulama, umur 50 tahun merupakan usia menopause (berhenti haid karena lanjut usia). Walaupun demikian, jika seorang wanita masih mengeluarkan darah sebagaimana biasa dan tak ada sebab lain, seperti sakit atau semacamnya maka darah itu adalah darah alamiah (haid). Dia dilarang shalat, berpuasa, dan bersanggama hingga keluarnya darah berhenti, ini jika darah tersebut juga bukan darah istihadhah (darah penyakit).

Berdasarkan penelitian dan pengamatan, seorang wanita akan berhenti haid antara umur 50 hingga 60 tahun. Hal ini bisa dijadikan sandaran karena hukum bisa berdasar pada kebiasaan yang terjadi. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan masih terjadi haid jika memang darah yang keluar sesuai dengan sifat haid dan keluar selama masa haid sebagaimana biasa.

v Masa berlansungnya haid

Adapun batas minimal masa berlangsungnya haid, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Dalam satu mazhab bahkan dapat kita temukan tiga pendapat. Menurut para pentahkik dari ulama ahli hadits, sebagian ulama berdalil dengan beberapa riwayat yang tidak sahih. Pendapat yang paling mendekati kebenaran mengenai batas minimal masa haid bagi wanita adalah terjadi selama sehari semalam, setelah itu seorang wanita menjadi suci.

Adapun jika ada darah yang keluar secara tidak tentu, kadang kala, atau kadang-kadang; jika ia sesuai dengan sifat-sifat haid dan terjadi pada masa haid biasa, tidak menutup kemungkinan bahwa darah itu adalah haid. Ini karena haid tidak disyaratkan terjadi secara terus-menerus. Jika darah keluar secara spontan lalu berhenti, tetapi masih terdapat sisa darah pada kapas atau kain pembalut maka dia masih dalam keadaan haid. Dia harus berhenti dari shalat dan puasa selama sehari semalam. Jika kemudian terlihat tanda-tanda haid telah berhenti, hendaknya dia bersuci (sesuai dengan yang disyariatkan-ed.) lalu shalat, puasa, serta mempersilakan suaminya untuk menggaulinya.

Keluarnya darah secara sekaligus sangatlah langka, biasanya hanya terjadi pada wanita yang sedang dilanda sifat kering. Biasanya yang terjadi adalah darah haid keluar secara berangsur angsur.

Umumnya, haid terjadi selama 6 atau 7 hari, kadang lebih kadang kurang. Terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Hamnah binti Jahsy bahwa Rasulullah bersabda, "Kamu mengalami haid, berdasarkan Ilmu Allah, selama 6 atau 7 hari. Lalu bersucilah dan shalatlah selama 24 atau 23 hari sebagaimana para wanita mengalami haid dan suci dengan masa tersebut. Begitulah jawaban Rasulullah bagi wanita mustahadhah, yaitu wanita yang tidak memiliki kebiasaan dan ciri-ciri sebagaimana wanita lain. Hadits ini merupakan dalil yang wajib dipegang dan diikuti.

Adapun tentang batas maksimal masa berlangsungnya haid, para ulama pun berbeda pendapat, yaitu antara 10, 15, atau 17 hari. Sebagian ulama ada juga yang berpendapat bahwa tak ada batas maksimal dan minimalnya, semua didasarkan pada kebiasaan masing-masing wanita ketika mengalami haid.

Pendapat yang paling unggul adalah pendapat Imam Syafi'i, Imam Maliki, dan Imam Ahmad yang mengatakan bahwa batas maksimal masa haid adalah 15 hari. Imam Al-Mardawi berkata, "Inilah mazhab yang benar, yang banyak diikuti ulama." Telah banyak diriwayatkan bahwa para ulama berfatwa dengan mengikuti pendapat tersebut. Imam Syafi'i sendiri telah mengadakan penelitian dan survei bahwa dia tak menemukan seorang wanita yang mengalami haid lebih dari 15 hari.

v Cairan kekuningan dan agak keruh

      Jika seorang wanita mendapati cairan kekuningan dan agak keruh pada masa haid maka itu adalah haid; ini adalah pendapat yang mendekati kebenaran dari ulama. Sedangkan jika ia didapati setelah haid atau sebelumnya maka itu bukanlah haid.

Dasar yang paling kuat dari permasalahan ini adalah hadits dari Ummu Athiyah. Dia berkata, "Kami tidak menganggap cairan kuning keruh yang keluar setelah suci sebagai darah haid."

      Pendapat ini didukung oleh perkataan ummul mukminin, Aisyah, "Jangan kamu tergesa-gesa menganggap suci sebelum melihat bekas putih." Maksud perkataan ini adalah apabila seorang wanita melihat bekas putih yang terkadang disertai cairan kekuningan atau cairan keruh, cairan kuning atau keruh itu tidaklah dianggap karena sebelumnya telah muncul tanda-tanda kesucian, yaitu terlihatnya bekas putih. Begitu juga apabila seorang wanita yang terkadang mengeluarkan cairan kekuningan atau cairan keruh dan kotor sebelum masa haid maka cairan itu tidaklah dianggap haid.

                Adapun masa suci antara dua haid, pendapat ulama yang paling masyhur adalah tidak ada batasan maksimalnya, sedangkan batasan minimalnya adalah 13 hari. Pendapat ini mungkin berdasar pada fatwa Imam Syuraih yang disampaikan di hadapan Khalifah Ar-Rasyid, Ali bin Abi Thalib. Pada waktu itu, ada seorang wanita yang dicerai suaminya. Dia kemudian mengaku sudah mengalami haid selama 3 periode sekaligus (selama 35 hari) kemudian suci dan shalat dalam satu bulan penuh. Ali kemudian berkata kepada Syuraih, "Jawablah kejadian tersebut." Syuraih berkata, "Jika wanita itu mempunyai saksi dari keluarga dekatnya yang jujur dan amanah, persaksiannya diterima. Tetapi, jika tidak ada saksi maka sesungguhnya dia berbohong." Kemudian Ali berkata, "Benar demikian adanya."

v Hukum-hukum berkenaan dengan wanita haid

a.    Bekas wanita haid

            Maksudnya adalah sisa minuman atau makanan wanita haid. Untuk masalah ini, para ulama sepakat bahwa sisa makanan atau minuman itu adalah suci. Para ulama berdalil dengan perkataan Aisyah, "Aku minum ketika sedang dalam keadaan haid lalu kuberikan kepada Rasulullah. Beliau kemudian meletakkan mulutnya di tempat aku meletakkan mulutku."

Telah terjadi ijmak ulama atas kesucian seorang muslim, keringatnya, ludahnya, dan air matanya, baik dia berhadats, sedang junub, sedang haid, maupun nifas.

b.    Darah haid adalah najis

   Tidak ada perselisihan antara para ulama atas najisnya darah haid. Para ulama berpedoman pada hadits Asma' yang di dalamnya juga memuat cara membersihkan darah haid. Asma' binti Abi Bakr berkata, "Seorang wanita mendatangi Nabi lalu bertanya, "Salah seorang dari kami, pakaiannya terkena darah haid, apa yang kami lakukan?' Nabi menjawab, 'Digosok lalu dihilangkan bekasnya dengan air lalu perciki air lagi, (setelah itu) boleh digunakan untuk shalat, "

   Syariat ini menunjukkan bahwa wajib hukumnya membersihkan darah haid yang mengenai pakaian. Yaitu dengan cara mengeriknya agar hilang bekasnya lalu digosok lagi dengan air kemudian dicuci dengan air pada bagian pakaian yang terkena darah supaya bekasnya benar-benar hilang sehingga tiada lagi waswas di hati. Jika kemudian masih ada sisa (bercak darah) yang terlihat maka itu tidak mengapa.

c.    Berdiam di masjid dan berjalan melewatinya

   Para ahli fikih hampir bersepakat bahwa berdiam di masjid bagi wanita yang sedang haid adalah haram hukumnya, kecuali karena keperluan mendesak. Ini karena Nabi menyuruh para wanita yang sedang haid untuk memisahkan diri di mushalla (lapangan tempat menunaikan shalat Hari Raya) ¹. Di mushalla sekalipun, wanita haid diperintah untuk menjauh, apalagi di masjid. Begitu pula dengan melewati masjid, ia disamakan dengan berdiam di dalamnya dan hal itu juga tidak diperbolehkan. Wallâhu a'lam.

d. Shalat

Shalat bagi wanita haid hukumnya adalah haram. Shalat yang dikerjakannya tidaklah sah, baik itu shalat wajib maupun shalat sunnah bahkan dia berdosa jika tetap melakukannya. Bagi wanita yang haid, shalat yang ditinggalkan ketika haid, tidak wajib diqadha (diganti). Ini berdasarkan hadits Aisyah, "Kami diperintah untuk mengqadha puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha shalat."

Jika wanita haid telah suci dan dia berada pada satu waktu shalat, sedangkan masih ada waktu untuk melaksanakan shalat itu walaupun hanya satu rakaat maka shalat itu wajib dilaksanakannya. Misalnya, seorang wanita haid mendapati dirinya telah suci sebelum terbit matahari, sedangkan saat itu masih tersedia waktu untuk shalat Subuh, meski hanya satu rakaat. Pada keadaan ini dia wajib melaksanakan shalat Subuh itu. Ini berdasarkan sabda Nabi, "Barang siapa mendapati satu rakaat shalat sebelum terbit matahari maka sebenarnya dia telah mendapati waktu fajar." Begitu juga shalat Ashar, ini berdasarkan kelanjutan hadits di atas, "Barang siapa mendapati satu rakaat pada waktu sebelum terbenam matahari maka sebenarnya dia telah mendapati waktu ashar".

e. Puasa

   Berpuasa hukumnya haram bagi wanita yang sedang haid, baik puasa wajib maupun puasa sunnah. Jika dilakukan maka dia berdosa dan puasanya tidak sah. Ini sudah menjadi kesepakatan para ulama.

   Ada sebagian wanita haid yang merasa canggung untuk makan dan minum di hadapan anak-anak mereka karena waktu itu adalah siang hari bulan Ramadhan, misalnya. Maka bukan berarti kemudian dia berpuasa, tetapi dia tetap berniat untuk tidak puasa, walaupun makan dan minumnya secara sembunyi-sembunyi. Ini demi menjaga perasaan anak-anak yang sedang puasa.

Adapun puasa wajib yang terlewati pada waktu haid maka harus diganti. Ini berdasarkan hadits Aisyah yang telah disebut sebelumnya, "Kami diperintah untuk mengqadha puasa."

       Jika seorang wanita berpuasa pada siang hari kemudian sesaat sebelum Magrib dia merasa akan keluar haid, sedangkan darah haidnya baru keluar setelah Magrib maka puasanya sah dan sempurna. Sebab, syariat menghukumi hanya pada saat keluarnya haid, bukan pada adanya perasaan akan keluar.

       Begitu pula, jika wanita telah suci dari haid sebelum fajar dan dia berniat puasa pada pagi harinya maka puasanya sah, walaupun dia belum mandi dan baru bersuci (mandi) pada pagi harinya. Ini sebagaimana perbuatan Nabi. Beliau pernah dalam keadaan junub pada malam hari hingga masuklah waktu subuh, setelah subuh beliau baru mandi kemudian berpuasa.

f. Membaca Al-Qur’an, memegang mushaf,dan berzikir

   Tak ada perselisihan di antara para ulama bahwa wanita yang haid boleh berzikir kepada Allah dengan zikir apa pun, baik tasbih, tahmid, tahlil, maupun basmalah. Basmalah bahkan tetap dianjurkan ketika hendak melakukan setiap pekerjaan. Wanita haid juga boleh bershalawat kepada Nabi dan dia tetap mendapat pahala. Ini karena ibadah-ibadah tersebut tidak disyaratkan untuk bersuci. Adapun yang menjadi perselisihan di antara para ulama adalah hukum membaca Al-Qur'an bagi wanita haid.

   Menurut saya, boleh bagi wanita haid membaca Al-Qur'an secara hafalan atau melihat dengan tanpa memegang mushaf. Misalnya, dengan cara meletakkan mushaf di depannya tanpa menyentuhnya secara langsung, atau memakai alat bantu seperti sarung tangan. Ini hanyalah untuk menghormati dan tata krama (adab), bukan kewajiban. Sebab, seorang mukmin adalah suci.

   Tidak terdapat suatu dalil yang secara jelas melarang wanita haid membaca Al-Qur'an atau memegang mushaf, sedangkan hukum asalnya adalah boleh. Tetapi, sebagai bentuk penghormatan, adab, dan tata krama, sebaiknya wanita haid tidak membacanya, cukup dengan mendengarkannya dari kaset untuk memperoleh pahala dan memperlancar hafalan. Sesungguhnya, pahala mendengar sama dengan pahala membaca dan itu adalah anugerah Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dengan mendengarkannya (melalui kaset atau media lain-ed.) maka dia tidak perlu membaca dan memegang mushaf.

Seorang wanita haid, sebaiknya tidak membaca dan memegang mushaf karena terdapat perselisihan di antara para ulama, selain itu juga untuk menghormati Kitab Allah.

g. Bercumbu dengan wanita haid

   Adapun bersanggama dalam kemaluan (pada saat istri haid) hukumnya haram berdasarkan dalil nash Al-Qur'an, "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, 'Haid itu adalah suatu kotoran.' Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (Al-Baqarah: 222)

   Ini juga berdasarkan dalil dari sabda Nabi, "Berbuatlah sesukamu dengan wanita haid, kecuali nikah," Maksud nikah di dalam hadits ini adalah berhubungan badan. Para ulama sepakat akan haramnya menggauli wanita yang sedang haid di dalam farjinya. Imam Nawawi meriwayatkan dari Imam Syafi'i bahwa yang melakukan demikian telah berbuat dosa besar. Imam Nawawi berkata, "Ulama mazhab kami berpendapat bahwa barang siapa menyatakan bahwa menyetubuhi wanita yang sedang haid adalah halal maka orang itu dihukumi kafir."

   Suami boleh bercumbu dengan istrinya yang sedang haid, baik berupa ciuman maupun pelukan, kecuali farji dan dubur karena ulama bersepakat untuk mengharamkannya..

   Ketika Nabi sedang ingin bercumbu dengan istrinya yang sedang haid, beliau menyuruh istrinya merapatkan pakaiannya lalu mencumbuinya, atau farjinya ditutup dengan kain lalu mencumbuinya.

h. Mandi

   Jika seorang wanita haid telah mendapati tanda kesuciannya, yaitu munculnya bekas atau tetes berwarna putih, atau darah benar-benar telah berhenti dan memang berada pada waktu biasanya haid berhenti maka dia wajib mandi untuk membersihkan semua anggota badannya. Dianjurkan untuk menyeka rambut supaya air dapat mengalir pada kulit kepala dan membersihkan kemaluan dan sekitarnya yang mungkin terkena darah, dengan memakai wewangian seperti misk. Ini berdasarkan arahan Rasulullah kepada Asma' untuk melakukan hal itu* yang kemudian dijelaskan secara detail oleh Aisyah bagaimana cara bersuci. Dimungkinkan pula untuk memakai alat-alat pembersih modern.

   Semua perbuatan ini bertujuan ibadah, yaitu agar dalam menghadap Allah, keadaan badan suci dan bersih; dan agar seorang istri juga bersih di hadapan suaminya. Wallâhu a'lam.

Secara bahasa, Imam Al-Fayruz Abadi berkata, "Wanita yang mengalami istihadhah adalah yang keluar darahnya bukan dari haid, tetapi karena urat rahim yang sakit." Imam Ibnu Muflih berkata, "Yaitu wanita yang masih keluar darahnya setelah masa haid."

2. Istihadhah (pendarahan) 

   Sedangkan secara istilah, istihadhah berarti keluarnya darah pada seorang wanita secara terus-menerus tanpa henti atau disertai tersendat. Sekarang ini istihadhah dikenal dengan perdarahan. Sifat darah istihadhah biasanya berwarna merah dan keluar dari urat rahim.

v Pembagian wanita yang mengalami istihadhah

   Wanita yang mengalami istihadhah (perdarahan) dibagi menjadi tiga, yaitu (1) wanita pemula, (2) wanita biasa, dan (3) wanita yang belum jelas.

1.      Wanita pemula adalah wanita yang baru pertama kali keluar darah dan belum diketahui kebiasaan haidnya. Darah yang keluar darinya bisa diukur dengan batas maksimal masa berlangsungnya haid sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.

Jika (masa) darah yang keluar itu melampaui batas maksimal haid, itu bisa dianggap darah istihadhah; atau jika telah melampaui batas maksimal masa haid, sedangkan darah masih mengalir, baik secara terus-menerus maupun sedikit tersendat.

2.      Wanita biasa, yaitu wanita yang telah mengetahui kebiasaannya haid, kapan biasa mulai haid dan kapan berhentinya. Bagi wanita ini, darah yang keluar diukur dengan batas maksimal masa haid. Misalnya, seorang wanita biasanya mengalami haid selama 5 hari, tetapi suatu ketika darahnya tetap mengalir selama 10 hari, setelah itu baru berhenti. Darah itu tetap dihitung sebagai haid karena belum melampaui batas maksimal.

Ada sebagian ulama yang tidak menganggapnya haid, kecuali jika kejadian tersebut telah terulang selama 3 kali. Akan tetapi, secara lahir, darah itu tetap dihitung sebagai haid selama belum melampaui batas maksimal masa haid.

3.      Bagi wanita yang mengalami istihadhah, apa pun kondisinya dia wajib untuk selalu berwudhu setiap kali hendak shalat. Sebab, dia dalam keadaan berhadats secara terus-menerus. Wanita yang sedang istihadhah pun tidak boleh melarang suaminya untuk menggaulinya, kecuali pada masa haidnya. Hal ini karena tidak ada riwayat yang menjelaskan perkara tersebut, baik riwayat dari Fathimah binti Abi Hubaisy, Hamnah binti Jahsy, Sahlah binti Suhail, maupun dari wanita-wanita (shahabiah) lain. Tidak ada riwayat yang menyebutkan tidak boleh bersanggama.pada waktu istihadhah, kecuali hanya karena jijik.

3. Nifas

   Kata nifas secara bahasa berarti proses persalinan seorang wanita. Jika dia telah melahirkan maka dia sedang nifas. Adapun secara istilah, nifas adalah darah yang keluar dari rahim pada saat melahirkan dan sesudahnya selama waktu tertentu. Pendapat ulama yang paling benar mengatakan bahwa tak ada batas minimal mengenai masa nifas, ketika seorang wanita melahirkan dan setelah kering (berhenti keluar darah) maka dia wajib mandi.

   Batas maksimal masa berlangsungnya nifas, secara umum adalah selama 40 hari. Ini jika wanita yang telah melahirkan tidak mendapati dirinya suci sebelum itu. Jika dia mendapati dirinya telah suci, yaitu dengan munculnya bekas putih yang keluar bersama tetes darah, atau darah sudah berhenti dengan tidak adanya lagi bekas pada kapas pembalut maka wajib baginya mandi dan shalat.

   Suami yang menggauli istrinya sebelum 40 hari setelah melahirkan, hukumnya makruh karena dikhawatirkan darah akan keluar lagi. Tetapi, menurut Ibnu Taimiyah hal tersebut tidaklah makruh, itulah hukum yang benar berdasarkan hukum Qiyas (analogi).

   Adapun darah nifas yang masa keluarnya lebih dari 40 hari, jika itu memang sudah menjadi kebiasaannya maka dia belum boleh shalat. Darah yang mengalir itu memiliki sifat darah nifas, itu dianggap nifas hingga berhenti, meski sampai 2 bulan lamanya.

   Jika darah yang mengalir lebih dari 40 hari dan warnanya berubah seperti warna daging maka itu adalah darah istihadhah. Pada kondisi seperti ini, wanita harus mandi, shalat, dan memperlakukan dirinya sebagaimana wanita yang sedang istihadhah. Berdasarkan analisis, sebagaimana diriwayatkan dari ulama salaf, juga berdasarkan hal yang umum terjadi sekarang ini bahwa masa 40 hari adalah batas maksimal nifas. Nifas kadang berhenti sebelum atau sesudah 40 hari, hanya terpaut sedikit saja. Maka dari itu, secara umum masa 40 hari inilah yang dijadikan tolok ukur nifas.

Imam Tirmidzi berkata, "Para ulama bersepakat bahwa wanita yang sedang nifas tidak boleh shalat selama 40 hari, kecuali dia telah mendapati dirinya suci sebelum itu maka dia mandi lalu shalat."

Hukum bagi wanita yang sedang nifas adalah sama dengan hukum wanita haid, baik yang mubah maupun yang dilarang dan hal ini telah dijelaskan sebelumnya. Darah nifas sebenarnya adalah darah haid yang tidak keluar karena kepentingan janin.

Jika seorang wanita berada dalam masa iddah maka iddahnya berakhir setelah ia melahirkan. Hal ini berlaku bagi semua wanita yang sedang menunggu masa iddah, sekalipun ia menjanda. disebabkan ditinggal mati suami. Ini berdasarkan pendapat yang paling sahih.

Jika wanita mendapati dirinya mengeluarkan darah, sesaat sebelum melahirkan, maka itu adalah nifas. Tapi, jika yang keluar adalah air, bukannya darah maka itu belum dianggap nifas. Dia tetap shalat dan puasa hingga melahirkan atau mengeluarkan darah nifas. Begitu juga rasa sakit sebelum melahirkan belum dianggap sebagai nifas, tapi itu adalah pendahuluannya saja maka dia tetap shalat, berpuasa, dan sebagainya. Wajib bagi seorang muslimah untuk berhati-hati dalam urusan agama dengan menjalankan seluruh kewajibannya. Dia harus memerhatikan keadaan dirinya, apakah masih dalam keadaan suci atau sudah dalam keadaan nifas. Ini berdasarkan tanda-tanda yang telah kami sebutkan di atas dan janganlah dia tergesa-gesa.

4. Junup

 

E. PERNIKAHAN DAN BERUMAH TANGGA

1. Nikah

v Pengertian nikah

       Secara bahasa, kata nikah berarti persetubuhan dan akad nikah maksudnya adalah ikatan perkawinan. Beberapa teks di dalam kamus bahasa yang berhubungan dengan kata nikah: tanakahatil asyjar (pohon berkawin) jika pohon-pohon tersebut saling bersatu. Nakahal matharu al-'ardha (hujan menikahi bumi) maksudnya keduanya saling bergantungan. Nakahan nu'as 'ainaihi (seorang yang mengantuk mempertemukan kedua kelopak matanya) maksudnya sangatlah mengantuk." Adapun secara istilah, nikah berarti sebuah akad atas kepemilikan terhadap manfaat kemaluan yang dilakukan dengan sengaja.

v Nikah dalam pandangan syar’i

       Pernikahan disyariatkan berdasarkan Al-Qur'an, hadits, dan imak. Dalil-dalinya dari Al-Qur'an cukup banyak, di antaranya adalah firman Allah, "Dan nikalikanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang patut (nikali) dari hamba hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan membuat mereka kaya dengan karunia-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (An-Nûr: 32)

       Allah juga berfirman, "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya) maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat, kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih memungkinkan untuk tidak berbuat aniaya." (An-Nisâ': 3)

       Dasar dari hadits pun banyak sekali hadits yang menyebutkannya, sebagian telah disebutkan pada pembahasan yang lalu. Hadits utama sebagai dasar pernikahan adalah sabda Nabi:

يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج ، ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء

"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu yang telah mampu maka menikahlah karena pernikahan akan lebih bisa menjaga mata dan kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu maka berpuasalah karena puasa merupakan benteng penjagaan.

2. Rukun dan syarat nikah

v Rukun nikah

(1) Ijab (serah)

Yaitu lafal atau perkataan penyerahan yang diucapkan wali atau yang mewakili pihak perempuan. Contoh perkataannya:

"Aku mengawinkanmu..." Atau, "Aku menikahkanmu..." Ijab ini diucapkan sebelum Qabul.

(2) Qabul (terima)

Yaitu perkataan penerimaan dari pihak calon suami atau wakilnya. Contoh perkataannya: "Aku terima nikahnya..." Atau, "Aku mengawininya..." Atau, "Aku rela menikahinya." Qabul ini dilakukan setelah Ijab. Bagi yang bisa berbahasa Arab maka tidak sah jika menggunakan bahasa yang lain.

(3) Calon suami dan istri, tanpa ada halangan

v Syarat nikah

(1) Menentukan dengan tegas siapa nama calon suami atau istri. Ini seperti perkataan pihak perempuan pada saat ijab: "Aku kawinkan kamu dengan anakku si fulanah." Perkataan ini diucapkan jika dia memiliki anak perempuan lebih dari satu. Jika hanya memiliki satu anak perempuan maka cukup berkata: "Aku nikahkan kamu dengan putriku." Pihak pria kemudian mengatakan: "Aku terima nikahnya untuk anakku si fulan," kemudian disebut namanya untuk membedakan dengan. saudaranya yang lain. Jika tidak mempunyai saudara, cukup berkata: "Aku terima nikahnya untuk putraku." Sebatas pengetahuan saya, hal ini merupakan kesepakatan ulama. (2) Kerelaan kedua calon mempelai

Syarat ini berdasarkan sabda Nabi:

لا تنكح الأيم حتى تستأمر ولا تنكح البكر حتى تستاذن

"Seorang janda tidak dinikahi sampai dikonsultasikan dan seorang gadis tidak dinikahi sampai dimintai izin: " Diriwayatkan bahwa Nabi membatalkan pernikahan Al Khansa' binti Khidam ketika dia melapor kepada Nabi dan mengatakan bahwa dia tidak menyukai suaminya. Secara umum, telah terjadi kesepakatan ulama dalam hal ini dan kesepakatan ini banyak diriwayatkan oleh ulama. Salah seorang ulama berpendapat bahwa bagi perempuan gila atau yang akalnya kurang sehat, walinya boleh menikahkannya tanpa seizin perempuan tersebut. Sebab si perempuan tidak mengetahui maslahat bagi dirinya dan tak mungkin meminta izin kepadanya.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang ayah boleh menikahkan putrinya yang belum berumur 9 tahun tanpa seizin putrinya, dengan syarat hanya boleh dilakukan oleh ayah kandungnya. Adapun setelah berumur 9 tahun ke atas, walaupun belum balig maka tak seorang pun boleh memaksanya untuk menikah, termasuk ayah kandungnya sendiri.

Berkaitan dengan masalah ini, ada sebuah fenomena yang biasa terjadi dan menjadi tradisi di masyarakat. Yaitu seorang ayah yang memiliki wewenang penuh untuk menikahkan putrinya. Seorang ayah bisa memaksa putrinya untuk menikah, walaupun putrinya itu telah dewasa dan mengetahui maslahat dirinya. Sedangkan pada masyarakat lain, yang terjadi adalah sebaliknya. Yaitu seorang perempuan memiliki wewenang penuh untuk menikah, tidak seorang pun yang boleh ikut campur di dalamnya, walaupun itu ayahnya sendiri. Ayahnya bahkan merupakan orang terakhir yang mengetahui pernikahannya.

a Mahar wanita

Mahar (Maskawin) dalam bahasa Arab disebut shidâq, disebut juga al-mahr, an-nihlah, al-haba', al-'aqr, al-'alâ'iq, dan ash shadaqah. Secara bahasa, kata shidâq diambil dari kata shidq (jujur) karena mahan ini bertujuan untuk meyakinkan mempelai perempuan bahwa mempelai laki-laki benar-benar mencintainya.

Pensyariatan mahar juga telah menjadi ijmak para ulama. Sebagian bahkan ada yang berpendapat bahwa nikah dibatalkan jika maharnya bermasalah. Tak ada batas maksimal atau minimal dalam mahar, tetapi yang disunnahkan adalah mempermudah mahar. Wanita yang paling berkah adalah yang mempermudah mahar (tidak mewah). Masalah ini telah dijelaskan sebelumnya maka tidak perlu kami ulangi.

v Mahar adalah hak perempuan secara syar’i

Allah berfirman:

"Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (An-Nisâ'; 4)

Hal yang patut disayangkan adalah sikap sebagian besar orang yang menjadikan anaknya atau saudarinya sebagai barang dagangan yang dipasarkan secara terang-terangan. Mereka beranggapan bahwa mahalnya maskawin akan membuat perempuan bertambah tinggi nilainya atau bertambah wibawa dan martabatnya di atas laki-laki. Mereka bahkan beranggapan bahwa mahalnya maskawin akan mampu menghalangi suami untuk melakukan poligami.

Semua alasan ini tidak boleh dijadikan dalih bagi para wali untuk berlebih-lebihan dalam maskawin wanita. Mahalnya mahar pernikahan bahkan bisa menjadi penyebab utama rusaknya moral para pemuda dan kelakuan mereka yang menyimpang.

v Kapan wanita berhak menerima mahar?

Mahar disebutkan sebelum akad, ini adalah yang paling baik. Boleh juga menyebutkannya di dalam lafal akad. Mahar harus diketahui dengan jelas. Mahar menjadi milik wanita melalui akad nikah dan menjadi tanggungan yang harus ditunaikan suami setelah terjadi persetubuhan (misalnya jika saat akad nikah disebutkan sebagai tanggungan atau utang-ed.) Keuntungan yang berkembang dari mahar tersebut sepenuhnya menjadi hak istri. Dia boleh memanfaatkannya sesuka hatinya, baik dengan menjualnya, menghadiahkannya, mewakafkannya, maupun yang lainnya.

b. Talak

Secara bahasa, talak berarti perpisahan, menghilangkan ikatan, dan melepaskan diri. Secara istilah, talak berarti mengakhiri jalinan pernikahan dengan lafal tertentu."

Dasar disyariatkannya talak adalah Al-Qur'an, sunnah, dan ijmak.

Allah berfirman:

ينأيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتين

"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)..." (At-Thalaq: 1)

Dasarnya dari hadits, ada banyak hadits yang menjelaskan hal ini, di antaranya adalah kisah Ibnu Umar ketika menceraikan istrinya. Dia lalu diperintah Nabi untuk merujuknya dan membiarkan istrinya itu hingga dia suci, lalu haid, lalu suci lagi. Setelah itu terserah, mau tetap dijadikan istri atau mau diceraikan sebelum digauli. Itulah iddah yang telah ditetapkan oleh Allah dalam menceraikan istri.

Secara umum, semua umat Islam sepakat atas bolehnya talak. Misalnya karena-mungkin-rumah tangga tidak lagi harmonis dan selalu dipenuhi dengan pertikaian, sehingga jadilah rumah tangga bagaikan neraka. Di sinilah fungsi talak, yaitu sebagai jalan keluar untuk menghilangkan kebuntuan dan mencegah bahaya.

Secara umum, hukum asal talak adalah boleh. Talak kemudian bisa menjadi wajib jika memang suami dan istri menginginkannya dan telah jatuh vonis hakim untuk talak. Talak juga bisa menjadi makruh jika dilakukan tanpa sebab karena pada saat itu talak adalah sesuatu yang halal, tetapi paling dibenci Allah. Talak juga bisa menjadi haram jika termasuk talak bidah, ini akan dijelaskan selanjutnya. Talak juga bisa dianjurkan jika memang seorang istri tidak mau menjaga dirinya dan meremehkan urusan agama, meski telah diingatkan oleh suami. Selain pada kasus-kasus seperti ini hukum talak adalah mubah (boleh).

v Hikmah talak

Allah telah mensyariatkan pernikahan bagi manusia. Dengan pernikahan maka suami dan istri akan bergaul dan berumah tangga. Rumah tangga-selamanya-tidak lepas dari permasalahan. Sikap dan tingkah laku yang terkadang kemudian berubah, menjadikan perselisihan dan pertikaian yang tak kunjung usai. Jika dari pihak suami, istri, atau keluarga keduanya tak mampu lagi menyelesaikan pertikaian tersebut maka jalan satu satunya adalah perpisahan.

Banyak orang kalangan Barat yang mencela Islam karena membolehkan talak. Mereka menganggap talak adalah melecehkan wanita. Sebagian kalangan Islam pun kemudian mengekor pendapat mereka. Mereka yang mencela Islam, sebenarnya tidak tahu atau (mungkin) pura-pura tidak tahu bahwa talak juga ada di dalam syariat Yahudi dan ini telah dikenal sejak dahulu.

Mereka, para pencela Islam, hanya melihat pembolehan talak dalam Islam hanya dari satu sisi, yaitu musibah yang menimpa wanita ketika ditalak. Tetapi, mereka melupakan banyak hal yang menjadi hikmah dari pembolehan talak. Jika harmonisasi rumah tangga telah terganggu dan tak mungkin lagi diselesaikan, jalan satu-satunya adalah perceraian. Allah telah berfirman, "Jika keduanya bercerai maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya..." (An-Nisâ': 130)

Banyak hal yang kadang menjadi sebab harus terjadi perceraian karena hanya itu yang bisa ditempuh untuk memperoleh kebaikan dan menjaga keutuhan keluarga keduanya dan masyarakat.

Seorang suami atau istri terkadang mendapati pasangannya berperangai buruk dan berkelakuan bejat. Kondisi ini membuatnya akan terjerumus ke dalam musibah karena memiliki pasangan yang tak bermoral. Akhirnya tak ada jalan lain, kecuali talak.

Nabi tidak mengingkari seorang wanita yang datang kepadanya dan berkata, "Wahai Rasulullah, suamiku, Tsabit bin Qais, aku tak mencelanya dalam hal agama ataupun perilakunya, tetapi aku sudah tidak kuat lagi dengannya dan aku takut akan kekafiran," Rasulullah bertanya, "Apakah kamu akan mengembalikan kebunnya?" Wanita tersebut menjawab, "Iya." Rasulullah kemudian bersabda (kepada Tsabit), "Ambillah kebunmu dan ceraikanlah istrimu."

Pokok dalam permasalahan ini adalah bahwa Rasulullah tidak mengingkari kebencian istri Tsabit bin Qais bin Syammas kepada suaminya. Beliau juga tidak mengingkari ketidaksabarannya dan kerisauannya terhadap buruk rupa dari Tsabit. Istri Tsabit kemudian melakukan khulu' (minta cerai). Khulu' ini termasuk bentuk perceraian antara suami dan istri.

c. Rujuk

v Syarat-syarat rujuk

1.      Bisa rujuk dengan syarat talaknya bukan talak ba'in. Semua talak atau faskh yang ba'in (perpisahan selamanya), sekalipun itu ba'in sughra (kecil), seorang suami tidak boleh lagi untuk rujuk.

2.      Disyaratkan bahwa istri yang dirujuk masih berada dalam masa Iddah dan tidak harus ada persetujuan atau kerelaan dari pihak istri. Kata-kata rujuk, misalnya: aku merujuk. istriku, aku kembali kepada istriku, aku mengikatnya kembali, dan lafal-lafal lain yang mengandung maksud tersebut.

v Lain-lain tentang rujuk

·         Seorang istri yang telah dirujuk adalah benar-benar seorang istri. Dia wajib dinafkahi, boleh disetubuhi, dan berhak mendapat warisan jika suaminya meninggal. Seorang suami masih menjadi ahli waris seorang istri yang tertalak, jika dia meninggal sebelum habis masa iddahnya. Tetapi, istri yang tertalak, tidak bisa mendapat bagian warisan dari suami yang meninggal, kecuali dia telah dirujuk.

·         Disunnahkan untuk melakukan persaksian dalam rujuk, sedangkan menurut pendapat yang sahih, hal itu tidaklah wajib.

·         Jika suami rujuk, bilangan talaknya berkurang setelah dikurangi talak yang dijatuhkannya.

·         Hukum rujuk adalah sunnah. Sebagian ulama ada yang mewajibkannya dengan dalil lahir hadits riwayat Ibnu Umar, yaitu perintah Nabi, "Perintahkan dia untuk merujuknya." Dengan rujuk ini-mungkin-perilaku istri bisa lebih baik, jika benar jatuhnya talak disebabkan kelakuan istri, seperti menggampangkan urusan agama, misalnya. Barangkali suami akan dikarunaia keturunan setelah rujuk maka itu akan menjadi kebaikan bagi mereka.

d. Iddah

Secara bahasa, kata iddah diambil dari kata 'adad yang berarti bilangan karena waktu iddah merupakan bilangan yang telah ditentukan. Secara istilah, Iddah berarti masa menunggu selama waktu tertentu bagi istri yang telah berpisah dengan suaminya. Dasar Iddah adalah Al-Qur'an, sunnah, dan ijmak.

Allah berfirman:

والمطلقت يتربص بأنفسهن ثلاثة قرو

"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'..." (Al-Baqarah: 228) Adapun dalil dari sunnah adalah sabda Nabi kepada Fathimah binti Qais:

اعتدى في بيت ابن أم مكتوم فإنه ضرير البصر تلقى ثوبك عنده فإذا انقضت عدتك فأذنيني

"Beriddahlah (tunggulah) di rumah Ibni Ummi Maktum karena dia adalah orang yang buta sehingga kamu bisa hidup dan meletakkan pakaianmu di sana, jika kamu telah selesai menjalani masa iddah maka beritahulah aku.

Secara umum, umat Islam juga telah sepakat atas wajibnya iddah. Ini sebagaimana kesepakatan mereka bahwa istri yang ditalak sebelum digauli maka dia tidak mempunyai iddah.

e. penyusuan

Secara bahasa kata radha' adalah bentuk mashdar (kata kerja tanpa zaman) dari kata radha'a. Dikatakan radha'ats tsadya artinya dia menetek susu ibu. Secara istilah, radha' berarti meneteknya anak yang berumur kurang dari dua tahun, dia menetek terhadap susu seorang perempuan yang sedang melimpah air susunya, baik karena hamil atau lainnya. Dasar diharamkannya menikahi seseorang karena radha' (menyusu) adalah dari Al-Qur'an, sunnah, dan ijmak.

v Syarat menyusui yang berakibat haram nikah

1.      Menyusu kepada seorang wanita. Jafi, menyusu pada hewan tidak menyebabkan haram, ini sudah menjadi kesepakatan ulama.

2.      Anak yang menyusu berumur 2 tahun atau kurang. Ulama sepakat bahwa orang dewasa yang menyusu tidaklah menjadikan mahram. Adapun riwayat dari Salim Maula Abi Hudzaifah adalah terkhusus baginya. Para istri Nabi berbeda pendapat dengan Aisyah. Yaitu sesuatu yang mengenyangkan perut dan menumbuhkan daging. (maksudnya boleh bagi orang dewasa mengulum puting susu istrinya dan tidak menjadikannya mahram)

3.      Air susu haruslah berasal dari kehamilan atau sehabis melahirkan, ini menurut pendapat yang benar.

4.      Menyusui sebanyak lima kali dan seterusnya dan harus mengenyangkan. Jadi, tidak menyebabkan mahram jika hanya satu kali atau dua kali kuluman, tidak juga menjadikan mahram jika hanya satu atau dua kali menyusu, tidak pula yang kurang dari lima kali. Ini berdasarkan hadits Aisyah "Dahulu termasuk dalam ayat Al-Qur'an yang diturunkan menyebutkan bahwa sepuluh kali susuan menjadikan mahram lalu ayat ini di-naskh (diganti) dengan lima kali susuan."

F. PERHIASAN MUSLIMAH

1. Fitrah Muslimah

Allah berfirman, "Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi auratmu, dan pakaian indah untuk perhiasan, dan pakaian takwa itulah yang terbaik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. Hai anak Adam, jangan sekali kali kalian dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu-bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya, ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya, Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman." (Al-A'râf: 26-27)

Allah berfirman, "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah, 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah, 'Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) pada hari Kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui." (Al-A'râf: 31-32)

Allah telah menjadikan tabiat untuk manusia: sifat malu, kenyamanan dengan menutup aurat, dan kebencian jika auratnya terbuka. Adapun setan, ia adalah musuh bebuyutan manusia dan selalu menghendaki terbukanya aurat Adam dan Hawa.

v Makna fitrah

Fitrah berarti penciptaan awal, tabiat, agama, atau ajaran sunnah. Maksud fitrah pada hadits di atas adalah segala sesuatu yang disebutkan, jika dilakukan maka orang yang melakukan tersebut bersifat suci, sebagaimana tabiat awal yang diciptakan oleh Allah. Manusia dianjurkan untuk mengerjakannya supaya tercapai sifat mulia dan berpenampilan sempurna.

Sebagiannya telah disebutkan dalam pembahasan thaharah (bersuci) maka tak perlu diulangi lagi. Di sini, saya akan memfokuskannya pada berbagai permasalahan fitrah yang berhubungan dengan wanita dan kewanitaan.

2. Pakaian wanita

Telah dibahas sebelumnya bahwa Allah memberi kehormatan kepada manusia dengan dua pakaian, yaitu pakaian penutup aurat dan pakaian ketakwaan. Keduanya merupakan pakaian orang mukmin dan mukminah.

Fitrah seorang manusia adalah dia akan merasa nyaman dengan menutup auratnya dan merasa risih jika auratnya terbuka. Berikut beberapa permasalahan terkait dengan pakaian wanita.

v Aturan syar’I pakain Muslimah

1.      Tidak boleh tipis dan tidak transparan, kecuali ketika di depan suami. Dasar dari syarat ini ialah hadits yang diriwayatkan Aisyah bahwa saudara perempuannya, Asma' binti Abu Bakr datang kepada Rasulullah memakai pakaian menerawang, Rasulullah lantas berpaling darinya dan berkata, "Wahai Asma', jika seorang wanita telah memasuki masa haid maka tidak boleh terlihat darinya, kecuali ini dan ini." Beliau mengisyaratkan pada wajah dan kedua telapak tangan. Sanad hadits ini terdapat Sa'id bin Basyir, dan dia termasuk rawi yang diperselisihkan. Abu Dawud berkata setelahnya, "Ini adalah hadits mursal (tidak bersambung sanadnya) karena Khalid bin Duraik tidak bertemu dengan Aisyah as Hadits ini diperkuat dengan hadits Dihyah tentang pakaian qibti (sebuah pakaian dari kain katun tipis yang dinisbatkan kepada kaum Qibti), yang termasuk pakaian transparan. Nabi kemudian memerintahkan Dihyah untuk menyuruh istrinya mengenakan dua lapis kain sehingga tidak memperlihatkan tubuhnya.

2.       Tidak boleh memakai pakaian ketat yang mengundang rangsangan. Ini berdasar hadits Usamah bin Zaid . Dia berkata. "Rasulullah memberiku pakaian qibti yang ketat, yaitu pakaian yang diberikan oleh Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Pakaian tersebut kemudian kuberikan kepada istriku. Rasulullah bertanya kepadaku, Mengapa kamu tak memakai pakaian qibti?" Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, aku berikan pakaian itu kepada istriku.' Rasulullah bersabda, "Suruhlah istrimu untuk memakai pakaian dalam terlebih dahulu (maksudnya disuruh memakai pakaian rangkap) karena aku takut itu akan memperlihatkan bentuk tulangnya (maksudnya lekuk tubuh). "Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim berikut ini semoga dapat memperkuat dua syarat di atas. Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Ada dua jenis penghuni neraka yang belum pernah aku lihat: suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi dan digunakan untuk memukuli manusia dan wanita-wanita yang berpakaian, tapi telanjang, menarik perhatian, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak akan mencium baunya, sedangkan bau surga bisa dicium dari jarak sekian dan sekian. "Jadi, wanita yang memakai pakaian transparan dan ketat yang dapat memperlihatkan bentuk tubuhnya dia disebut berpakaian, tetapi telanjang.

Batasan aurat wanita terbagi menjadi lima: (1) aurat ketika di hadapan pria lain, (2) aurat pada waktu shalat, (3) aurat ketika bersama sesama wanita, (4) aurat ketika bersama suaminya, dan (5) aurat ketika sendirian.

1.      Aurat wanita ketika berhadapan dengan pria lain.

Para ulama bersepakat bahwa perempuan yang telah haid atau telah mencapai umur balig, tubuhnya tidak boleh ada yang terlihat oleh laki-laki lain. Sebagian ulama berpendapat hanya wajah dan kedua telapak tangan yang boleh terlihat. Adapun pendapat yang saya anut adalah tidak satu bagian pun tubuh perempuan yang boleh terlihat laki-laki lain. Kuku saja tidak boleh terlihat, apalagi wajah dan telapak tangan, kecuali jika ada alasan syar'i.

2.      Aurat wanita pada waktu shalat.

Jika wanita bersama jamaah pria, dia wajib menutupi seluruh tubuhnya hingga wajah dan telapak tangan. Adapun jika bersama jamaah wanita atau sedang shalat sendiri (di rumah, misalnya), dia boleh membuka wajah dan telapak tangannya, sebagaimana dilakukannya pada waktu ihram. Disebutkan di dalam hadits Nabi bahwa beliau bersabda, "Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haid, kecuali dengan kerudung. " Nabi bersabda, "Wanita adalah aurat. "150 Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, apakah ketika shalat wanita

3.       Aurat wanita bersama mahramnya.

Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Sebagian ulama ada yang berpendapat keras, ada juga yang lunak. Termasuk pendapat terbaik yang pernah saya baca adalah yang ditulis oleh Imam Al-Muwaffiq Ibnu Qudamah. Beliau membuat sebuah pasal: Laki-laki boleh melihat wanita mahramnya, yaitu sesuatu yang biasa terlihat darinya, seperti leher, kepala, telapak tangan, kaki, dan sebagainya. Dia tidak boleh melihat yang biasanya tertutup, seperti dada, punggung, dan sebagainya 152 Ini jika dirasa aman dari syahwat. Tetapi, jika melihatnya kemudian dia terangsang (timbul syahwat) maka melihatnya diharamkan secara mutlak.

Sebaiknya wanita menutupi tubuhnya, meskipun di hadapan mahramnya, terutama mahram laki-laki yang masih muda. Terbukti pada zaman sekarang banyak terjadi fitnah. Pornografi banyak tersebar di media massa, sedangkan tayangan pendidikan agama sangatlah sedikit.

3. Perhiasan Wanita

Syariat Islam yang arif membolehkan wanita mengenakan perhiasan untuk mempercantik diri dan menambah cinta suami, boleh juga memperlihatkannya dengan penampilan yang pantas untuknya. Banyak dalil menyebutkan bahwa wanita berhias diri dengan mengenakan perhiasan emas dan perak, baik di tangan, telinga, atau kakinya.

Allah berfirman:

 ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما تخفين من زينتهن

"Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan" (An Nûr: 31)

 واتيتم إحديهن قنطارا فلا تأخذوا منه شيئا

" Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikit pun..." (An-Nisa': 20)

Hadits Ibnu Abbas menyebutkan bahwa setelah shalat hari raya, Nabi memberi nasihat kepada para wanita dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Mereka pun kemudian bersedekah. Sebagian mereka ada yang bersedekah dengan cincin, ada yang dengan anting-anting, ada yang dengan kalung, dan ada yang dengan gelang emas. 171 Sebagian besar perhiasan itu terbuat dari emas atau perak, mereka banyak memakai kalung dari zhifâr, yaitu sejenis mutiara dari Yaman.

Sekarang ini banyak ditemukan berbagai jenis perhiasan, ada yang terbuat dari intan dan permata, yang merupakan perhiasan termahal. Banyak juga jenis perhiasan lain yang terbuat dari logam mulia yang dibuat berpasang-pasangan (satu set). Perhiasan yang bagus dan mahal dari jenis ini adalah yang terbuat dari kristal asli (diamond).

4. Parfum wanita

v Parfum wanita dan hukumnya

Secara umum, berdasarkan kesepakatan ulama bahwa hukum memakai parfum adalah sunnah, tetapi terkadang dilarang karena beberapa sebab.

Dalil mengenai hal itu adalah hadits dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda:

من عرض عليه طيب فلا يرده فإنه طيب الريح خفيف المحمل

"Barang siapa ditawari minyak wangi maka jangan menolaknya karena harum baunya serta ringan untuk dibawa. "

Disebutkan juga di dalam hadits Aisyah bahwa ada seorang perempuan bertanya kepada Nabi tentang mandi haid, beliau lalu menjelaskan kepadanya cara mandi. Beliau berkata, "Ambillah parfum misk dan bersucilah dengannya." Perempuan itu berkata, "Bagaimana aku bersuci?" Nabi menjawab, "Bersucilah dengannya." Dia bertanya lagi, "Bagaimana?" Nabi berkata, "Subhanallah, ya bersuci." Aisyah berkata, "Lalu aku tarik dia dan aku katakan kepadanya, bersihkanlah bekas-bekas darah dengannya."

Disebutkan dalam hadits Ummu Athiyyah bahwa Nabi melarang memakai parfum bagi wanita yang sedang berkabung dan membolehkannya pada saat suci dan ketika mandi menggunakan wewangian. Ini merupakan dalil dianjurkannya memakai wewangian bagi wanita ketika bersuci.

Sedangkan dalam hadits dari Abi Sa'id Al-Khudri disebutkan tentang seorang wanita Bani Israil yang memakai cincin berparfum misk, Rasulullah bersabda, "Itu adalah jenis wewangian yang paling baik. "Hadits Aisyah,dia berkata, "Aku mewangikan Nabi dengan wewangian apa pun yang aku dapatkan, sampai-sampai aku melihat kilau minyak wangi di kepala dan janggutnya."

Semua hadits di atas dan beberapa riwayat lainnya menunjukkan bahwa memakai parfum (wewangian) adalah salah satu sunnah yang dianjurkan, baik itu berupa minyak, sprai, dan sebagainya.

5. Wanita dan kosmetik modern

v Wanita berdandan di depan suaminya

Syariat Islam menganjurkan wanita agar berdandan dan merias diri untuk suaminya. Dia dianjurkan untuk membersihkan diri, memakai pewarna kuku, memakai celak, memakai bedak, mencukur bulu kemaluan, menyisir rambut, merapikan, serta mengurainya, memakai parfum, dan memotong kuku.

Nabi memungkiri tangan seorang wanita yang terjulur dari balik tirai dengan membawa sebuah kitab. Nabi berkata, "Ini tangan laki-laki atau perempuan?" Dia menjawab, "Perempuan." Nabi kemudian bersabda, "Jika kamu seorang wanita, sudah sepatutnya kamu memoles kukumu." Maksudnya adalah dengan memakai hinna' (semacam pewarna kuku yang terbuat dari daun pacar), Nabi juga mengingkari tangan Hindun ketika hendak membaiatnya sehingga dia mau mengubah tangannya yang seperti binatang buas.

v Hukum operasi kecantikan (operasi plastik)

Ini adalah sebuah operasi khusus, sebagian bersifat ringan, sebagian lagi bersifat berat. Sebagian ada yang merupakan pengobatan atas cacat tubuh yang diderita pasien yang menyebabkan sakit, baik sakit tubuh atau mental. Sebagian lain merupakan usaha untuk mempercantik atau memperelok diri agar tubuh menjadi lebih menarik daripada sebelumnya. Masyarakat telah mengenal operasi ini, sebagian bahkan ada yang mendalami dan menekuninya. Dan sekarang telah didirikan fakultas khusus yang mempelajari tentang operasi tersebut.

Media massa memegang peranan penting dalam memotivasi wanita untuk melakukan operasi kecantikan ini sehingga membuat wanita merasa memerlukannya dan menganggapnya sebagai sebuah kebutuhan.

Para selesnya mungkin-membisiki wanita dengan berbagai keajaiban supaya si wanita yakin dengan operasi tersebut. Atau karena seorang wanita ingin mendapatkan impiannya dalam kecantikan atau merindukan masa mudanya kembali setelah uzur usianya. Inilah yang diungkapkan oleh para dokter spesialis di bidang ini.

6. Perhiasan yang diharamkan

Dasarnya adalah firman Allah dan hadits Nabi berikut.

Firman Allah:

ولا تبرجن تبرج الجهلية الأولى

Janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu." (Al-Ahzâb: 33)

Firman Allah:

 ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها "

Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (biasa) tampak dari mereka." (An-Nûr: 31)

Ibnu Mas'ud berkata, "Allah melaknat wanita yang menyambung rambut dan yang meminta untuk disambung rambutnya, wanita yang menato dan yang meminta untuk ditato, wanita yang mencukur alis mata dan wanita yang meminta untuk dicukur alisnya, serta wanita-wanita yang mengikir giginya agar menarik. Mereka adalah wanita-wanita yang mengubah ciptaan Allah. Bagaimana mungkin aku tidak melaknat orang yang dilaknat Rasulullah, padahal itu terdapat di dalam Kitab Allah!" Maksudnya adalah firman Allah, Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.." (Al-Hasyr: 7y Ibnu Mas'ud berkata, "Bagaimana mungkin aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah," ucapan ini menunjukkan bahwa hadits ini berasal dari Rasulullah dan bukan ucapan Ibnu Mas'ud sendiri. Ibnu Mas'ud mendengar Rasulullah melaknat orang yang berbuat demikian.

v Wig (rambut buatan)

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa menyanggul atau menyambung rambut dengan rambut buatan adalah haram, apa pun alasannya. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa seorang wanita Anshar menikah lalu dia sakit yang menyebabkan rambutnya rontok. Dia ingin menyambungnya. Terlebih dahulu dia meminta izin kepada Rasulullah. Beliau menjawab:

لعن الله الواصلة والمستوصلة

"Allah melaknat al-washilah dan al-mustaushilah. "

Inilah jawaban Rasulullah, padahal wanita itu memerlukannya karena dia sakit. Suaminya pun menyuruhnya untuk berbuat itu karena rambutnya sedang rontok dan menjadikan penampilannya jelek. Jika ada keringanan untuk memakainya, tentu Rasulullah akan mengizinkan untuk menyambung rambutnya, walaupun dengan benda lain. Tetapi, jawaban datang dengan pasti, yaitu terlaknatnya al-washilah dan al-mustaushilah.


 

BAB IV

PENUTUP

 

G. KESIMPULAN

Wanita adalah saudara kandung pria. Hikmah syar'inya, Allah yang Maha Bijaksana telah mengangkat anak Adam sebagai khalifah di muka bumi dan untuk menyemarakkannya dengan syariat Allah. Kemudian diciptakan dari jiwanya, wanita yang dapat membantunya menunaikan misi penting tersebut.

 Kewajiban Muslimah Terhadap Rabb-nya

v Allah sebagai satu-satunya zat yang harus diibadahi

Seorang muslimah tentu mengakui Allah sebagai Rabb, Pencipta, Pemberi rezeki, dan Pengatur segala urusannya. Semua akan kembali hanya kepada-Nya. Seperti yang jelas-jelas dicontohkan dalam ucapan Sayyidah Hajar bersama putranya Ismail ketika suaminya, Ibrahim, meninggalkan mereka di Mekah. Sesaat sebelum Ibrahim bertolak, Hajar bertanya, "Apakah Allah yang memerintahkanmu, wahai Ibrahim?" Ibrahim menjawab, "Benar." Hajar berkata, "Kalau begitu, Dia (Allah) tidak akan menelantarkan kami."

HAK WANITA DALAM ISLAM

Menurut bahasa hak berarti ketetapan dan kesesuaiannya dengan realita. Menurut istilah, hak adalah hal-hal yang ditetapkan dengan ketentuan syar'i dan kecenderungan untuk menerapkannya.

Sumber penetapan hak adalah syariat, yakni apa yang tercantum dalam nash-nash Al-Qur'an, hadits, atau ijmak ulama. Dengan demikian, penerapan hak harus sesuai dengan aturan syariat, dan tidak boleh mengada-ada dalam agama Allah.

Haid (menstruasi)

v Dasar hukum haid

Dasar hukum pembahasan haid wanita adalah firman Allahk, "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (Al Baqarah: 222)

Secara bahasa, haid adalah sebagaimana yang dikatakan: hadhatil mar atu tahidhu haydhan wa mahidhan wa makadhan fahiya há idhun wa ha'idhatun (artinya: seorang wanita telah haid, sedang haid, dan sedang terkena haid maka dia disebut wanita yang sedang haid). Bentuk plural kata hå'idh dan hâ'idhah adalah hawa'idh dan huyyadh.

 

 

 

No comments:

Post a Comment