BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ajaran
syariat islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan menganjurkan
untuk senantiasa berikhtiar (berusaha) dalam menggapai karunia Allah SWT.
Demikian halnya di antara panca maslahat yang diayomi olehmaqashid
asy-syari’ah (tujuan filosofis agama islam) adalah hifdz
an-nasl(memelihara fungsi dan kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan
kesinambungan generasi umat manusia. Teknologi bayi tabung dan inseminasi
buatan merupakan hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat
netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun
memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan
kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman dan
beretika, sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal. Oleh karena
itu kaedah dan ketentuan syari’ah merupakan pemandu etika dalam penggunaan
teknologi ini, sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai
menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat.
Tak
sampai disitu saja, perkembangan ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap pola pikir dan pilihan yang diambil oleh mereka, bentuk dan
perkembangan moral dan etika yang terjadi di masyarakat bermacam-macam dan
salah satunya adalah Euthanasia.Euthanasia merupakan suatu isu yang kompleks
dan sangat kontroversial, sehingga melibatkan banyaknya pertanyaan yang
membingungkan dan menimbulkan kubu yang pro dan kubu yang kontras.
Membahas
persoalan aborsi sudah bukan merupakan rahasia umum dan hal yang tabu untuk
dibicarakan. Hal ini dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa ini sudah menjadi
hal yang aktual dan peristiwanya dapat terjadi dimana-mana dan bisa saja
dilakukan oleh berbagai kalangan, apakah hal itu dilakukan oleh remaja yang
terlibat pergaulan bebas ataupun para orang dewasa yang tidak mau dibebani
tanggung jawab dan tidak menginginkan kelahiran sang bayi ke dunia ini.
Data
WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa 15-50% kematian ibu disebabkan
oleh pengguguran kandungan yang tidak aman. Dari 20 juta pengguguran kandungan
tidak aman yang dilakukan tiap tahun, ditemukan 70.000 perempuan meninggal
dunia. Dengan kata lain, 1 dari 8 ibu meninggal dunia akibat aborsi yang tidak
aman.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah hukum aborsi
menurut pandangan hukum islam?
2. Bagaimanakah hukum aborsi
menurut pandangan hukum positif Indonesia?
3. Apa pengertian euthanasia?
4. Bagaimana hukum islam tentang
euthanasia?
5. Bagaimana hukum positif tentang
euthanasia?
C. Tujuan
1. Mengerti
tentang hukum aborsi menurut pandangan hukum islam
2. Mengerti
tentang hukum aborsi menurut pandangan hukum positif
Indonesia
3. Mengerti
tentang euthanasia
4. Mengerti
tentang hukum euthanasia menurut pandangan islam
5. Mengerti
tentang hokum positinf euthanasia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Aborsi dan Perkembangannya
Aborsi
merupakan hasil dari propaganda pembatasan jumlah penduduk dan pertumbuhan
populasi manusia. Propaganda ini telah lama muncul yaitu diakhir abad ke-18
Masehi. Orang yang pertama kali mempropagandakan ide ini yaitu ide untuk
membatasi jumlah penduduk dan pertumbuhan populasi manusia adalah “Malthus”.
Ide ini muncul ketika ia beranggapan bahwa banyaknya jumlah penduduk akan
mengakibatkan dampak yang berbahaya bagi sumber daya alam, dimana jumlah
penduduk akan terus bertambah secara teknis dan berkesinambungan. Padahal,
pada mulanya timbul banyak pertentangan mengenai aborsi baik dari
masyarakat maupun pemerintah.
Teori Malthus ini diikuti oleh masa berikutnya akan tetapi dengan menggunakan
alat-alat pembatasan keturunan. Gerakan ini terus berkembang di Amerika dan
disambut hangat dari kalangan penduduk dan negara, sehingga hal ini menjadi
tradisi umum sampai terjadi perang dunia pertama th 1914 -1918 H. Adapun bangsa
arab maka merekalah yang paling banyak melakukukan aborsi, sehingga sebagian
kabilah mereka membunuh anak mereka karena takut miskin. Lalu tinggallah para
wanita yang mereka biarkan hidup dalam keadaan terabaikan atau kemiskinan.
B. Pengertian Aborsi
1. Abortus secara bahasa berasal dari bahasa Inggris abortion,
yang
berarti keguguran kandungan.
2.Menurut istilah abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum
kehamilan berumur 16 minggu. Abortus
merupakan suatu perbuatan
untuk mengakhiri masa kehamilan dengan mengeluarkan janin dari
kandungan, sebelum janin itu dapat hidup diluar kandungan seorang
ibu.
3. Aborsi didefinisikan
sebagai penghentian kehamilan setelah
tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus),
sebelum usia janin (fetus) mencapai 20 minggu.
4. Menurut
istilah kedokteran, aborsi adalah megeluarkan isi rahim sebelum mencapai 28 minggu, yang menjadikanya
Secara harfiah menstruasi regulation artinya adalah pengaturan
menstruasi atau haid.
5. Menurut istilah undang-undang, aborsi adalah mengeluarkan
janin dengan unsur kesengajaan sebelum waktu kelahiran dan dilakukan dengan
segala cara yang tidak dihalalkan oleh undang-undang.
Maka
diberlakukannya hukum bila terdapat tiga syarat yang mengacu pada tindakan
aborsi, yaitu:
1. adanya
kehamilan
2. adanya
praktek-praktek yang mengacu kepada tindakan aborsi
3. adanya
maksud perbuatan kriminal.
6. Menurut istilah Ulama
Syar’i, aborsi adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat – akibat
tertentu ) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan
yang tidak dikehendaki atau diinginkan.
7. Aborsi dalam istilah
medis adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang
mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat (hidup) sebelum 38
minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran
prematur.
8. Sedangkan dalam
istilah syari’at, aborsi adalah kematian janin atau keguguran sebelum sempurna
walaupun janin belum mencapai usia enam bulan. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa aborsi secara syari’at tidak melihat kepada usia kandungan, namun melihat
kepada kesempurnaan bentuk janin tersebut.
C. Macam – Macam Aborsi
Aborsi itu
sendiri dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Aborsi Spontan / Alami (Al-Ijhâdh at-Tilqâ’i atau al-‘Afwi)
Merupakan
aborsi yang berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena
kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma atau aborsi yang terjadi
secara alami tanpa adanya upaya - upaya dari luar (buatan) untuk mengakhiri
kehamilan tersebut.
2. Aborsi
Terapeutik / Medis (Al-Ijhâdh al-‘Ilâji)
Merupakan
aborsi dengan pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medis.
Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah
tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik
calon ibu maupun janin yang dikandungnya.Tetapi ini semua atas pertimbangan
medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.
3. Aborsi Buatan / Sengaja (Al-Ijhâdh
al-Ijtimâ–’i)
Merupakan
aborsi yang dilakukan dengan mengakhiri kehamilan sebelum usia kandungan 28
minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu
maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).
Melihat
klasifikasi yang ada di atas, dapat dilihat bahwa jenis pertama tidak masuk
dalam kemampuan dan kehendak manusia.
Sedangkan jenis kedua tidaklah
dilakukan kecuali dalam keadaan darurat yang menimpa sang ibu, sehingga
kehamilan dan upaya mempertahankannya dapat membahayakan kehidupan sang ibu.
Sehingga aborsi menjadi satu-satunya cara mempertahankan jiwa sang ibu, dalam
keadaan tidak mungkin bisa mengupayakan kehidupan sang ibu dan janinnya
bersama-sama. Dalam keadaan seperti inilah mengharuskan para medis spesialis
kebidanan mengedepankan nyawa ibu daripada janinnya.
Memang
nyawa janin sama dengan nyawa sang ibu dalam kesucian dan penjagaannya, namun
bila tidak mungkin menjaga keduanya kecuali dengan kematian salah satunya maka
hal ini masuk dalam kaedah “Melanggar yang lebih ringan dari dua madharat untuk
menolak yang lebih berat lagi” (Irtikâbul khaffi ad-Dhararain Lidaf’i
A’lahuma).
Di sini
jelaslah kemaslahatan mempertahankan nyawa sang ibu didahulukan daripada
kehidupan sang janin, karena ibu adalah induk dan tiang keluarga. Dengan takdir
Allah Azza wa Jalla ia bisa melahirkan berulang kali, sehingga didahulukan
nasib sang ibu dari janinnya.
Permasalahan
yang penting dalam pembahasan ini adalah hukum aborsi jenis ketiga yaitu Al-Ijhâdh
al-Ijtimâ’i dinamakan juga al-Ijhâdh al-Jinâ`i atau al-Ijrâmi.Telah dimaklumi
bahwa janin mengalami fase-fase pembentukan sebelum menjadi janin yang sempurna
dan lahir menjadi bayi. Di antara pembeda yang banyak dilihat para ahli fikih
yang berbicara dalam hal ini adalah adanya ruh dalam janin tersebut.
D. Hukum Abortus
Aborsi
merupakan suatu pembunuhan terhadap hak hidup seorang manusia dan merupakan
suatu dosa besar. Merujuk
pada ayat-ayat Al-Quran yaitu pada Surat Al Maidah ayat 32, setiap muslim
meyakini bahwa siapapun membunuh manusia, hal ini merupakan membunuh semua umat
manusia. Selanjutnya Allah juga memperingatkan bahwa janganlah kamu membunuh
anakmu karena takut akan kemiskinan atau tidak mampu membesarkannya secara
layak. Bahwa kehidupan janin (anak dalam kandungan) menurut pandangan syari’at
Islam merupakan kehidupan yang harus dihormati, dengan menganggapnya sebagai
suatu wujud yang hidup yang wajib dijaga. Sehingga Islam memperbolehkan seorang
wanita hamil untuk buka puasa (tidak puasa) pada bulan ramadhan. Bahkan kadang
diwajibkan berbuka jika ia khawatir akan kesehatan kandungannya. Karena itu
syari’at Islam mengharamkan tindakan yang melampaui batas terhadapnya.
Meskipun
yang melakukan ayah atau ibunya sendiri yang telah mengandungnya dengan susah
payah. Bahkan terhadap kehamilan yang haram, yang dilakukan dengan jalan
perzinahan, janinnya tetap tidak boleh digugurkan, karena ia merupakan manusia
hidup yang tidak berdosa.
Firman
Allah dalam Q.S Al-isra’ yang artinya:
“Dan seorang yang berdosa tidak
dapat memikul dosa orang lain.”
(Al-Isra’:15)
Allah berfirman dalam QS.
Al-Israa : 31
Artinya:
“ Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
“ Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
Dengan dasar ini maka hukum aborsi dapat diklasifikasikan secara umum menjadi dua:
1. Aborsi Sebelum Ditiupkan Ruh
Melihat
pendapat para Ulama fikih dari berbagai madzhab, dapat disimpulkan bahwa pendapat
mereka dalam masalah ini menjadi 3 kelompok:
a) Kelompok yang membolehkan aborsi
sebelum ditiup ruh pada janin. Ini pendapat minoritas Ulama madzhab Syâfi’iyah,
Hambaliyah dan Hanafiyah.
b) Kelompok yang membolehkan aborsi
sebelum dimulai pembentukan bentuk janin yaitu sebelum empat puluh hari
pertama. Ini pendapat mayoritas mazhhab Hanafiyah, Syâfi;’iyah dan Hambaliyah.
Pendapat ini dirajihkan Syaikh Ali Thanthawi rahimahullah.
c) Kelompok yang mengharamkan aborsi
sejak terjadinya pembuahan dalam rahim. Ini pendapat yang rajih dalam madzhab
Mâlikiyah, pendapat imam al-Ghazâli, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab
al-Hambali dan Ibnu al-Jauzi. Inilah pendapat madzhab Zhahiriyah.
Sedangkan
Syaikh Ahmad Sahnuun seorang Ulama dari Maroko menyatakan: “Aborsi adalah
perbuatan tercela dan kejahatan besar yang dilarang dalam Islam. Juga diingkari
jiwa kemanusian dan jiwa-jiwa yang mulia menolaknya. Sebab hal itu adalah
pembunuhan jiwa yang Allah Azza wa Jalla haramkan, perubahan ciptaan Allah Azza
wa Jalla dan menentang takdir/kehendak Allah Azza wa Jalla ”.
Islam
telah melarang membunuh jiwa seperti dalam firman Allah Azza wa Jalla :
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا
بِالْحَقِّ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang
benar”.
(Qs
Al-Isra`/17:33)
Sebagaimana juga melarang sikap
merubah ciptaan Allah Azza wa Jalla dalam firmanNya:
وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ
“Dan akan aku suruh mereka (mengubah
ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya.”
[Qs.An-Nisaa`(4):119]
Aborsi mirip dengan al-Wa`du (membunuh anak hidup-hidup) yang dahulu pernah dilakukan di zaman Jahiliyah, bahkan tidak lebih kecil kejahatannya. Islam sangat mengingkari hal ini sebagaimana firman-Nya:
Aborsi mirip dengan al-Wa`du (membunuh anak hidup-hidup) yang dahulu pernah dilakukan di zaman Jahiliyah, bahkan tidak lebih kecil kejahatannya. Islam sangat mengingkari hal ini sebagaimana firman-Nya:
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ
“Dan apabila bayi-bayi perempuan
yang dikubur hidup-hidup ditanya” [Qs. At-Takwîr(81): 8]
Baik aborsi dilakukan di fase awal janin atau setelah ditiupkan ruh padanya.
Sebab semua fase pembentukan janin berisi kehidupan yang harus dihormati, yaitu
kehidupan pertumbuhan dan pembentukannya. Hal ini menyelisihi orang-orang yang
membolehkan aborsi sebelum ruh ditiupkan. Mereka beranggapan bahwa sebelum
adanya ruh maka tidak ada kehidupan padanya, sehingga tidak ada kejahatan dan
keharaman. Mereka dengan membolehkan hal itu berarti telah membuka pintu yang
sulit dibendung dan memberikan senjata kepada tangan lawan dan musuh Islam
untuk mencela Islam. Setelah dipastikan secara ilmiyah bahwa aborsi memiliki
bahaya bagi kesehatan dan kehidupan wanita, sehingga aborsi diharamkan untuk
dilakukan, karena menghilangkan madharat lebih didahulukan dari mengambil
kemaslahatan.
Sedangkan
DR. Ibrahim Haqqi menyatakan: “Diharamkan aborsi karena merupakan pembunuhan
jiwa yang tidak berdosa dan menjerumuskan jiwa lainnya yaitu sang ibu kepada
bahaya yang banyak hingga bahaya kematian. Ini adalah perkara yang terlarang.”
2. Aborsi
Setelah Ditiupkan Ruh Pada Janin (Setelah Empat Bulan)
Telah
dijelaskan bahwa ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hukum aborsi
saat sebelum peniupan ruh pada janin. Sedangkan setelah peniupan ruh, para ahli
fikih sepakat bahwa janin telah menjadi manusia dan bernyawa yang memiliki
kehormatan dan kemuliaan, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Azza wa
Jalla :
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ
مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan Sesungguhnya telah Kami
muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
[Qs. Al-Isrâ`(17) : 70]
firman Allah Azza wa Jalla :
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
“Barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain
atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah
membunuh manusia seluruhnya”.[Al-Mâidah(5):32]
E. Sebab-Sebab Aborsi
1. Karena takut miskin atau pengahasilan
yang tidak memadai, aborsi ini dilarang berdasarkan firman Allah Stw :
“Dan janganlah kamu membunnuh
anak - anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi
rezeki kepada meraka dan juga kepadamu. sesungguhnya mmembunuh mereka adalah
suatu dosa yang besar.”(Qs. Al Israa’ (17): 31)
2.
karena
ibu khawatir anak yang tengah disusuinya terhenti mendapatkan asi
3.
takut
janin tertular penyakit yang diderita ibu atau ayahnya
4.
kekhawatiran
akan kelangsungan hidup ibu apabila kehamilan membahayakan kesehatannya
5.
niat
menggugurkan janin pada kanndungan kehamilan yang tidak di syariatkan akibat
perzinahan
Dalil
tentang aborsi dalam al-Quran, antara lain :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (Alasan) yang
benar. dan barang siapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
seungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. Al Israa’ (17)
:33)
“Setiap
muslim meyakini bahwa siapapun membunuh manusia, hal ini merupakan membunuh
semua umat manusia. Selanjutnya Allah juga memperingatkan bahwa janganlah kamu
membunuh anakmu karena takut akan kemiskinan atau tidak mampu membesarkannya
secara layak.”(Qs. Al Maidah (5): 32)
“Dan janganlah kamu membunuh
anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada
mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang
besar.”
(QS Al-Isrâ`[17]: 31).
F. Resiko dan Dampak dari Aborsi
1. Resiko Aborsi
Aborsi
memiliki resiko penderitaan yang berkepanjangan terhadap kesehatan maupun
keselamatan hidup seorang wanita. Tidak benar jika dikatakan bahwa seseorang
yang melakukan aborsi ia ” tidak merasakan apa-apa dan langsung boleh pulang.Resiko
kesehatan dan keselamatan fisik yang akan dihadapi seorang wanita pada saat
melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi adalah ;
a) Kematian mendadak karena pendarahan
hebat.
b) Kematian mendadak karena pembiusan
yang gagal.
c) Kematian secara lambat akibat
infeksi serius disekitar kandungan.
d) Rahim yang sobek (Uterine
Perforation).
e) Kerusakan leher rahim (Cervical
Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya.
f) Kanker payudara (karena
ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita).
g) Kanker indung telur (Ovarian
Cancer).
h) Kanker leher rahim (Cervical
Cancer).
i)
Kanker
hati (Liver Cancer).
j)
Kelainan
pada ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya
dan pendarahan hebat pada kehamilan berikutnya.
k) Menjadi mandul atau tidak mampu
memiliki keturunan lagi ( Ectopic Pregnancy).
l. Infeksi rongga
panggul (Pelvic Inflammatory Disease).
m. Infeksi pada lapisan
rahim (Endometriosis)
2. Dampak Aborsi
a) Timbul luka-luka dan infeksi-infeksi
pada dinding alat kelamin dan merusak organ-organ didekatnya seperti kandung
kemih atau usus.
b) Robek mulut rahim sebelah dalam
(satu otot lingkar). Hal ini dapat terjadi karena mulut rahim sebelah dalam
bukan saja sempit dan perasa sifatnya, tetapi juga kalau tersentuh, maka ia
menguncup kuat-kuat. Kalau dicoba untuk memasukinya dengan kekerasan maka otot
tersebut akan menjadi robek.
c) Dinding rahim bisa tembus, karena
alat-alat yang dimasukkan ke dalam rahim.
G. Aborsi Menurut Pandangan Hukum Islam
Abortus (al-ijhâdh)menurut
bahasa berarti menggugurkan kandungan yang kurang masanya atau kurang
kejadiannya, tidak ada perbedaan antara kehamilan anak permpuan atau laki –
laki, baik aborsi ini dilakukan dengan sengaja atau tidak. Lafazh ijhadh
memiliki beberapa sinonim seperti isqath (menjatuhkan), ilqa’ (membuang),
tharah (melempar), dan imlash (menyingkirkan).
Ada beberapa
pendapat para ulama fiqih tentang aborsi dilakukan sebelum dan sesudah
ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
Pendapat
yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli
dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada
makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena
janin sedang mengalami pertumbuhan. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor
Universitas Al-Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan
ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada
kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk
baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi
eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan
setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru
lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh.
Pendapat
yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar dalam
kitabnya At Tuhfah dan Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya`
Ulumiddin.
Pendapat
yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah
ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh
terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan.
Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut.
Firman
Allah SWT:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Katakanlah:
"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap
kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah
kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya
maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu
yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).” (QS
al-An’âm [6]: 151)
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. Al-Israa` [17]: 33).
Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.
Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam atau lebih adalah hadis Nabi s.a.w berikut:
إِذَا مَرَّ بِالنُّطْفَةِ ثِنْتَانِ وَأَرْبَعُونَ لَيْلَةً بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْهَا مَلَكًا فَصَوَّرَهَا وَخَلَقَ سَمْعَهَا وَبَصَرَهَا وَجِلْدَهَا وَلَحْمَهَا وَعِظَامَهَا ثُمَّ. قَالَ يَا رَبِّ ... أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى فَيَقْضِى رَبُّكَ مَا شَاء
“Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah),'Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?' Maka Allah kemudian memberi keputusan...” [HR Muslim dari Ibnu Mas’ud r.a.].
Siapa saja
dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa
dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin
yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh
diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam
hadis shahih dalam masalah tersebut.
Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja'iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.
Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja'iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.
Di samping itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat disamakan dengan 'azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehamilan. 'Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak menghendaki kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab 'azl merupakan tindakan mengeluarkan sperma di luar vagina perempuan. Tindakan ini akan mengakibatkan kematian sel sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel telur, sehingga akan mengakibatkan tiadanya pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu tidak akan menimbulkan kehamilan.
Rasulullah
s.a.w telah membolehkan 'azl kepada seorang laki-laki yang bertanya kepada
beliau mengenai tindakannya menggauli budak perempuannya, sementara dia tidak
menginginkan budak perempuannya hamil. Rasulullah s.a.w bersabda kepadanya:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ (نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ) قَالَ : إِنْ شِئْتَ فَاعْزِلْ ، وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَعْزِلْ. ، وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَعْزِلْ.
“Dari Sa’id bin al-Musayyab
(isteri-isterimu adalah lading bagimu, maka datangilah ladangmu dari menurut
kehendakmu), Rasulullah s.a.w. bersabda: Lakukanlah 'azl padanya jika kamu
suka, jika kamu (tak) menghendaki jangan kamu lalukan!” [HR. Ahmad, Muslim, dan
Abu Dawud]
Namun demikian, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin,
ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan
bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan
janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan
mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu.
Menyelamatkan
kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah
SWT:
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
“Oleh karena itu Kami tetapkan
(suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya
telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.”
(QS al-Mâ’idah [5]: 32).
Di samping
itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan. Sedangkan
Rasulullah s.a.w telah memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah s.a.w
bersabda:
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram!” [HR. Ahmad].
Kaedah
fikih dalam masalah ini menyebutkan:
إِذَا تَعَارَضَتْ المَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَراً بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Jika berkumpul dua mafsadat (keburukan), maka harus dipertimbangkan yang lebih besar madharatnya dan dipilih yang lebih ringan (madharatnya).” (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, halaman 35).
Berdasarkan
kaedah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan
kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya.
Namun tak syak lagi bahwa menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan
madharatnya daripada menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan
ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut (Abdurrahman Al-Baghdadi,
1998).
Pendapat
yang menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak pertemuan sel telur dengan sel
sperma dengan alasan karena sudah ada kehidupan pada kandungan, adalah pendapat
yang tidak kuat. Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud setelah pertemuan
sel telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma itu sendiri sudah
ada kehidupan, begitu pula dalam sel telur, meski kedua sel itu belum bertemu.
Kehidupan (al hayah) menurut Ghanim Abduh dalam kitabnya Naqdh Al Isytirakiyah
Al Marksiyah (1963) halaman 85 adalah “sesuatu yang ada pada organisme hidup.”
(asy syai` al qa`im fi al ka`in al hayyi). Ciri-ciri adanya kehidupan adalah
adanya pertumbuhan, gerak, iritabilita, membutuhkan nutrisi, perkembangbiakan,
dan sebagainya. Dengan pengertian kehidupan ini, maka dalam sel telur dan sel
sperma (yang masih baik, belum rusak) sebenarnya sudah terdapat kehidupan,
sebab jika dalam sel sperma dan sel telur tidak ada kehidupan, niscaya tidak
akan dapat terjadi pembuahan sel telur oleh sel sperma.
Jadi, kehidupan (al hayah) sebenarnya terdapat
dalam sel telur dan sel sperma sebelum terjadinya pembuahan, bukan hanya ada
setelah pembuahan.
Berdasarkan
penjelasan ini, maka pendapat yang mengharamkan aborsi setelah pertemuan sel
telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, adalah pendapat yang
lemah, sebab tidak didasarkan pada pemahaman fakta yang tepat akan pengertian
kehidupan (al hayah). Pendapat tersebut secara implisit menyatakan bahwa
sebelum terjadinya pertemuan sel telur dan sel sperma, berarti tidak ada
kehidupan pada sel telur dan sel sperma. Padahal faktanya tidak demikian.
Andaikata katakanlah pendapat itu diterima,
niscaya segala sesuatu aktivitas yang menghilangkan kehidupan adalah haram,
termasuk ‘azl. Sebab dalam aktivitas ‘azl terdapat upaya untuk mencegah
terjadinya kehidupan, yaitu maksudnya kehidupan pada sel sperma dan sel telur
(sebelum bertemu). Padahal ‘azl telah dibolehkan oleh Rasulullah s.a.w. Dengan
kata lain, pendapat yang menyatakan haramnya aborsi setelah pertemuan sel telur
dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, akan bertentangan dengan
hadis-hadis yang membolehkan ‘azl.
H. Aborsi Menurut Hukum Positif Indonesia
1. Menurut
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP BAB XIX).
Dalam
kitab UU hukum pidana (KUHP) Indonesia melarang aborsi dan sanksi hukumnya
cukup berat. Hukumannya tidak hanya ditujukan kepada wanita yang bersangkutan
tetapi semua pihak yang terlibat dalam kejahatan itu.
Tindakan
aborsi menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia dikategorikan
sebagai tindakan kriminal atau dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa.
Beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur
tentang Aborsi (Abortus Provocatus):
a. Pasal 229 (1)
Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati,
dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karenapengobatan itu
hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah. (2) Jika yang bersalah,
berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut
sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru
obat, pidananya dapat ditambah sepertiga. (3) Jika yang bersalah, melakukan
kejahatan tersebut, dalam menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk
melakukan pencarian itu.
b. Pasal 314 “Seorang
ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan
atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam,
karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
c. Pasal 342 “Seorang
ibu yang, untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan
bahwa akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian
merampas nyawa anaknya, diancam, karena melakukan pembunuhan anak sendiri
dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
·
Dari
rumusan pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:
·
Seorang
perempuan hamil yang dengan sengaja melakukan aborsi atau ia menyuruh
orang lain, diancam
hukuman empat tahun penjara.
·
Seseorang
yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil dengan tanpa
persetujuan ibu
hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, & jika ibu hamil
tersebut mati, diancam
penjara 15 tahun penjara.
·
Jika
dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara & bila
ibu hamil tersebut mati diancam hukuman 7 tahun penjara.
·
Jika
yang melakukan & atau membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter,
bidan atau juru obat ancaman hukumannya ditambah sepertiganya dan hak
untuk berpraktik dapat dicabut.
·
Setiap
janin yang dikandung sampai akhirnya nanti dilahirkan berhak untuk hidup serta
mempertahankan hidupnya.
I. Aborsi Menurut
UU No. 36 Tahun 2009 Tentanng Kesehatan
Pengaturan mengenai praktik aborsi diatur di dalam
Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan KUHP.
Pada prinsipnya, setiap orang dilarang melakukan aborsi, sebagaimana dimaksud
di dalam pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan berikut ini :
1. Setiap orang
dilarang melakukan aborsi. (Namun, menurut pasal 75 ayat 2)
2. UU Kesehatan,
larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi
sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang
menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat
diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat
perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagikorban perkosaan.
c. Tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca
tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
J. Aborsi
Sebagai Problematika Masyarakat
Ketika hak
asasi manusia untuk hidup dan menikmati kehidupan, maka pada saat itulah
terjadi sebuah kekejaman yang teramat keji. Terlebih lagi ketika yang dibunuh
adalah sesosok bayi mungil dalam kandingan ibundanya yang beberapa waktu ke
depan akan tumbuh menjadi bayi yang normal. Aborsi merupakan tindakan yang
nyata dan menjadi problematika karena frekuensi aborsi di Indonesia agak sulit
dihitung secara akurat karena memang sangat jarang yang pada akhirnya
dilaporkan.
Bagaimana
pula dengan petugas medis yang tampak tidak merasa bersalah ketika membantu
proses aborsi berlangsung bahkan menjadikannya sebagai komoditi jasa yang
menjanjikan pendapatan yang cukup besar. Sampai saat ini memang cukup banyak
praktik aborsi yang bahkan sebagian besar ilegal. Beberapa hal di atas
merupakan problematika aborsi dalam masyarakat, mengingat alasan melakukan
aborsi ada beragam, diantara ketidaksiapan mempunyai anak karena khawatir
mengganggu karir atau kesibukan, keterbatasan ekonomi atau bahkan karena ingin
menutupi aib karena hamil di luar nikah.
K. Pengertian Euthanasia
Euthanasia
secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti
“baik”, dan thanatosyang berarti “kematian”. Dalam bahasa Arab
dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah
kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang
dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat
kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang
kematiannya.
L. Macam Macam Euthanasia
Dalam
praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu:
1. Euthanasia aktif Euthanasia aktif
adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan
ke dalam tubuh pasien tersebut.
Contoh
euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa
sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini,
dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya
obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa
sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2. Euthanasia PasifAdapun euthanasia
pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita
sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang
lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas,
sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi
pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Contoh
euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang
sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan
untuk sembuh atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika
tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika
pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.
M. Pandangan Syariah Islam
Syariah
Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di
segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik
euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
1. Euthanasia Aktif
Syariah
Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan
pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau
keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini
sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik
pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah
SWT :
....... و لا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا
بالحق.... الآية.(الأنعام:151)
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar.” (QS
Al-An’aam : 151)
و ما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إلا خطأ.... الآية.
(النساء: 92
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min
membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
.......و
لا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما.... الآية. (النساء: 29)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari
dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa
besar.
Dokter
yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan,
menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena
membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
يا ايها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى....
الآية.(البقرة: 178)
“Telah diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika
keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan),
qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi,
meminta diyat (tebusan), atau memaafkan ataumenyedekahkan.
Firman
Allah SWT :
.......
فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف و أداء إليه بإحسان .... الآية.
(البقرة: 178)
“Maka barangsiapa
yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat
untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya
dalam keadaan bunting (khalifah), 30 ekor umur 3 tahun (hiqqah) dan 30
ekor berumur 4 tahun (jadzaah) berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i.
Jika
dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya
adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau
12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak).
Tidak
dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan
melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya.
Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek
lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat
kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat
(hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan
dosa.
Rasulullah
SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik
kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang
menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah
yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
“Telah ada
diantara orang-orang sebelum kamu seorang laki-laki yang mendapat luka, lalu
keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau
itu. Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah
berfirman : hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku
mengharamkan surga untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim).
2. Euthanasia Pasif
Adapun
hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan
pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa
pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan
sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien,
misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Bagaimanakah
hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban
untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat
(at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau
makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama,
mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun
sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah
dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dasar dari
pada kewajiban berobat oleh sebagian ulama adalah hadits bahwa Rasulullah SAW
bersabda :“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan
penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR
Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di
atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul
Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li
ath-thalab)..
Di
antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan
hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena
penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah
kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar
dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia
berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka
berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu
berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di
atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan
hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi
indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan
perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan
wajib.
Dengan
demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal
ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya
sunnah, maka jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ
otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan
alat bantu pernapasan dan sebagainya
hukum
pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk
aktivitas berobat yang hukumnya sunnah..
Namun
untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien,
walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan
mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib
diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim atau Ulil Amri).
N. Pandangan Hukum Positif Tentang
Euthanasia
1. Menurut Aspek
Medis
Dalam bidang
kedokteran, euthanasia merupakan sebuah dilema yang menempatkan seorang dokter
dalam posisi yang serba sulit. Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan
atau mati cepat tanpa derita.
Selain
tanggung jawab medik, seorang dokter harus dapat mempertanggung jawabkan semua
perbuatannya terhadap pasien menurut hukum yang berlaku. Para dokter harus
menyadari bahwa euthanasia ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan
masalah teknis-medis lainnya. Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran,
euthanasia tidak diperbolehkan untuk dilakukan
2. Menurut Aspek
Hukum
. Jika
dokter membiarkan pasien meninggal atau tidak melakukan suatu tindakan medis
(euthanasia pasif), dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 304 KUHP. Pasal
tersebut berbunyi:
“barang siapa dengan sengaja
menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut
hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana
penjara....”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa Aborsi merupakan
tindakan yang dapat menimbulkan dosa besar, karena kita menghilangkan nyawa
seseorang yang layak untuk menikmati kehidupan dan euthanasia tidak boleh
dilakukan didunia kedokteran maupun didalam kehidupan masyarakat karena
hal tersebut melanggar Kode Etik Kedokteran dan melanggar KUHP didalam
masyarakat.
Disamping
fakta bahwa Euthanasia itu dapat membantu masayarakat dalam memiliki hak dan
kewajiban untuk mengakhiri kehidupan orang-orang yang mengalami koma yang tidak
berpengharapan. Akan tetapi, hal penting yang perlu diingat dan perlu
diperhatikan juga adalah bahwa tindakan Euthanasia itu sama dengan melakukan
tindak pembunuhan dan mencabut hak hidup seseorang karena belum tentu
orang-orang yang berada dalam kesakitan yang hebat dan menginginkan kematian
sungguh-sungguh mengetahui apa yang dikehendakinya. Sebagai manusia yang
berpikir kritis kita harus ingat bahwa kita adalah manusia ciptaan Tuhan, yang
telah diberikan akal dan budi agar mampu mengembangkan secara maksimal apa yang
telah diberikanNya kita dengan kreatif dan mampu mengatur diri kita sehingga
tidak menyalahgunakan apa yang telah diberikan Nya kepada kita untuk melakukan
hal-hal yang tidak bertanggung jawab yang bertentangan dengan moral dan etika,
seperti membunuh orang dengan cara apapun.
B.
Saran
Kita sebagai makhluk yang mulia, sebaiknya menjaga diri demi
kelangsungan hidup yang lebih bermanfaat. Janganlah kita melakukan tindakan
yang dapat membahayakan diri kita maupun orang lain dan dapatmenimbulkan dosa
besar.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan,
M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah
KontemporerHukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Qordhawi,
Yusuf, DR.. 2003. Halal Haram dalam Islam. Surakarta. Era
Intermedia
Utomo,
Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer.Jakarta:
Gema Insani Press.
http://blog.wiemasen.com/2009/02/25/hukum-euthanasia/ Republika Online >>
EnsiklopediaIslam >> Fatwa
No comments:
Post a Comment