Thursday, 14 March 2019

MAKALAH AQIDAH IBADAH MAHDAH DAN GHAIRU MAHDAH

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah
Dalam Memahami tauhid tanpa memahami konsep ibadah itu maustahil, karena kedua-duanya merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat di pisahkan.Olehkarenaitumengetahuinyaadalahsebuahkeniscayaan.Ibadah merupakan wujud penghambaan diri seorang  makhluk terhadap sang khalik (Allah). Dimana pengahmbaan itu merupakan wujud dari rasa syukur diri seorang makhluk terhadap penciptanya atas- nikmat-nikmat yang telah di perolehnya baik ni’mat ijaad( ni’mat yang di wujudkan) maupun ni’mat imdaad(ni’mat yang di pelihara) karena atas dasar keyakinan seseorang terhadap firman Allah dalam qur’an surat( Ibrahim ayat 7) yang artinya “ barang siapa yang bersyukur maka akan di tambahkan ni’matnya dan barang siapa yang kufur maka akan di siksa dengan azdab yang pedih”. Dan dengan tujuan memperoleh keridhoanya semata.
Namun demikian, pada realitanya banyak diantara kita yang menjalankan ibadah tersebut hanya sebatas untuk menggugurkan kewajiban  semata, dimana inti dari ibadah itu sendiri kurang mengena. Padahal Allah Swt. Sudah berfirman yang artinya” beribadahlah engkau kepada tuhanmu sampai  datangnya keyakinan ( meninggal)”. Kesenjangan tersebut mungkin disebabkan karena minimnya pengetahuan seseorang  akan makna dari  ibadah itu sendiri  sehingga banyak persepsi yang memandang bahwa ibadah itu cuman Shalat, puasa, zakat, haji semata, selebihnya sudah gak termasuk ibadah lagi. padahal sudah jelas maksut dari ayat tersebut. Mungkin juga di sebabkan keimananya yang kurang mendarah daging. Padahal seandainya cahaya keimanan itu tampak maka akan tampak dan keluar potensi positif manusia, bahkan orang lain akan dapat pula merasakanya. Perumpamaan seseorang yang mempunyai cahaya itu berkata kepada orang lain ”wahai manusia, inilah aku, ciptaan sang pencipta Yang Maha Agung, lihatlah betapa kasih sayang-nya di limpahkan kepadaku”.
Dengan keimanan, drajad manusia dapat naik hingga drajad yang tinggi, maka dengan drajad yang tinggi itu manusia menjadi sebuah nilai yang dapat memasukkan ke dalam surga. Sebaliknya dengan kekafiran drajad manusia dapat turun hingga drajad yang serendah-rendahnya. Atas dasar itulah makalah ini kami buat dengan harapan paling tidak mampu mengurangi anggapan-anggapan yang salah sebagaimana yang telah kami uraikan diatas.

1.2    Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian ibadah mahdhah dan ghairu mahdah?
2.      Apasajakah prinsip-prinsip ibadah mahdhah dan Ghairu mahdhah?

1.3    Tujuan
1.      Untuk mengetahui secara lebih jelas tentang ibadah mahdhah dan Ghairu mahdhah.
2.      untuk mengetahui prinsip-prinsip ibadah mahdhah dan Ghairu mahdhah.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian ibadah
Penulis syarah Al-Wajibat menjelaskan Ibadah secara bahasa adalah” perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan”.[1]Adapun secara istilah syari’at, para ulama memberikan beberapa definisi yang beraneka ragam.Di antara definisi terbaik dan terlengkap adalah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.Beliau rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir). Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik kepada orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja, memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari ibadah. Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha atau takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah”.[2]
Dari keterangan di atas ibadah bisa di bagi menjadi tiga, yaitu: ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah anggota badan. Dalam ibadah hati ada perkara-perkara yang hukumnya wajib, ada yang sunnah, ada yang mubah dan adapula yang makruh atau bahkan sampai haram. Begitu juga dalam ibadah lisan, ada yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Dalam ibadah anggota badan juga demikian. Ada yang yang wajib, sunnah, mubah, makruh bahkan sampai haram. Sehingga apabila dijumlah secara keseluruhan ada 15 bagian. Demikian kurang lebih kandungan keterangan Ibnul Qayyim yang dinukil oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam Fathul Majid.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitabnya yang sangat bagus berjudul Al Qaul Al Mufid menjelaskan bahwa istilah ibadah bisa dimaksudkan untuk menamai salah satu diantara dua perkara berikut:
1.         Ta’abbud. Penghinaan diri dan ketundukan kepada Allah ‘azza wa jalla.Hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Dzat yang memerintah dan melarang (Allah ta’ala).
2.         Muta’abbad bihi. Yaitu sarana yang digunakan dalam menyembah Allah.Inilah pengertian ibadah yang dimaksud dalam definisi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang tersembunyi (batin) maupun yang tampak (lahir)”.
Seperti contohnya Shalat. Melaksanakan Shalat disebut ibadah karena ia termasuk bentuk ta’abbud (menghinakan diri kepada Allah). Adapun segala gerakan dan bacaan yang terdapat di dalam rangkaian Shalat itulah yang disebut muta’abbad bihi. Maka apabila disebutkan kita harus mengesakan Allah dalam beribadah itu artinya kita harus benar-benar menghamba kepada Allah saja dengan penuh perendahan diri yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Allah dengan melakukan tata cara ibadah yang disyari’atkan.
Maka ibadah secara etimologis berasal dari bahasa arab yaitu عبد- يعبد -عبادة yang artinya melayani patuh, tunduk.[3] Sedangkan menurut terminologis adalah Perendahan diri kepada Allah karena faktor kecintaan dan pengagungan yaitu dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan oleh syari’at-Nya.[4]
Oleh sebab itu orang yang merendahkan diri kepada Allah dengan cara melaksanakan keislaman secara fisik namun tidak disertai dengan unsur ruhani berupa rasa cinta kepada Allah dan pengagungan kepada-Nya tidak disebut sebagai hamba yang benar-benar beribadah kepada-Nya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa penghambaan ada tiga macam:
  1. Penghambaan umum.
  2. Penghambaan khusus.
  3. Penghambaan sangat khusus.
Penghambaan umum adalah penghambaan terhadap sifat rububiyah Allah (berkuasa, mencipta, mengatur).Penghambaan ini meliputi semua makhluk.Penghambaan ini disebut juga ‘ubudiyah kauniyah.Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi melainkan pasti akan datang menemui Ar Rahman sebagai hamba.” (QS. Maryam [19] : 93). Sehingga orang-orang kafir pun termasuk hamba dalam kategori ini.
Sedangkan penghambaan khusus ialah penghambaan berupa ketaatan secara umum.Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan hamba-hamba Ar Rahman adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati.” (QS. Al Furqan [25] : 63). Penghambaan ini meliputi semua orang yang beribadah kepada Allah dengan mengikuti syari’at-Nya.
Adapun penghambaan sangat khusus ialah penghambaan para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Hal itu sebagaimana yang Allah firmankan tentang Nuh ‘alaihissalam (yang artinya), “Sesungguhnya dia adalah seorang hamba yang pandai bersyukur.” (QS. Al Israa’ [17]: 3). Allah juga berfirman tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Dan apabila kalian merasa ragu terhadap wahyu yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad)…” (QS. Al Baqarah [2] : 23). Begitu pula pujian Allah kepada para Rasul yang lain di dalam ayat-ayat yang lain. penghambaan jenis kedua dan ketiga ini bisa juga disebut ‘ubudiyah syar’iyah.[5]
Di antara ketiga macam penghambaan ini, maka yang terpuji hanyalah yang kedua dan ketiga.Karena pada penghambaan yang pertama manusia tidak melakukannya dengan sebab perbuatannya.Walaupun peristiwa-peristiwa yang ada di dunia ini (nikmat, musibah, dan lain sebagainya) yang menimpanya bisa juga menyebabkan pujian dari Allah kepadanya.Misalnya saja ketika seseorang memperoleh kelapangan maka dia pun bersyukur.Atau apabila dia tertimpa musibah maka dia bersabar. Adapun penghambaan yang kedua dan ketiga jelas terpuji karena ia terjadi berdasarkan hasil pilihan hamba dan perbuatannya, bukan karena suatu sebab yang berada di luar kekuasaannya semacam datangnya musibah dan lain sebagainya.[6]Manusia adalah hamba Allah “‘Ibaadullaah” jiwa raga haya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk  ibadah atau menghamba kepada-Nya. Sebagaimana firman allah dalam surat Al-Dzariyat : 56. Yang berbunyi:
 Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu”. (QS. 51(al-Dzariyat : 56).[7]
Orang yang tidak memahami dan menyadari tujuan hidupnya, seperti seorang nahkoda kapal yang kehilangan petunjuk arah dalam berlayar di luar lautan lepas. Di kemudikanya di tengah lautan lepas yang tak tentu arah, lama kelamaan bahan bakar habis dan kapal pun karam di dasar lautyang amat dalam.[8]
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya.[9]
A.      Ibadah Mahdah
Adalah  ibadah yang dari segi perkataan, perbuatan telah didesain oleh Allah SWT. kemudian diperintahkan kepada Rasulullah untuk mengerjakannya. Seperti Shalat fardu 5 kali, ibadah puasa ramadhan dan haji. Semuanya adalah bentuk paket dari Allah turun kepada Rasulullah kemudian  wajib ditirukan oleh umatnya tanpa boleh menambah atau memperbaharui sedikitpun.
Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang telah ditetpkan Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah :
1.      Wudhu,
2.      Tayammum
3.      Mandi hadats
4.      Shalat
5.      Shiyam ( Puasa )
6.      Haji
7.      Umrah
Para ulama menjelaskan bahwa ibadah Mahdhah jika dikerjakan tanpa tuntunan, jelas hal ini adalah amalan yang sia-sia.Seperti shalat yg dilakukan diniatkan pada malam jumat kliwon, ini jelas tidak ada tuntunan.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa melakukan suatu amalan tanpa tuntunan dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR Muslim).Jadi harus perlu dasar dalam ibadah jenis ini. Sehingga ada kaedah dalam ibadah: “Hukum asal ibadah itu terlarang, sampai ada dalil yang menuntunkannya”.
Ibadah mahdhah, pada dasarnya, kita dilarang untuk melakukannya, kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut dituntunkan.Sehingga, siapa saja yang mengajak kita untuk melakukan suatu ibadah maka kita menuntutnya untuk membawakan bukti nyata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkannya.
Landasan kaidah ini adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Dari Bunda Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang melakukan amal ibadah yang tidak kami ajarkan, maka amal ibadah tersebut adalah amal ibadah yang tertolak.” (HR. Muslim, no. 4590)
Hadits ini jelas menunjukkan terlarangnya melakukan amal ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sehingga, tidak semua perkara yang dikatakan oleh orang-orang sebagai ibadah boleh kita telan mentah-mentah, namun kita perlu bersikap selektif. Jika memang ibadah semacam itu dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mari kita menjalankannya dengan penuh semangat.
Apabila bersandarkan kepada kaidah di atas, sebenarnya seperti itulah yang dapat dijadikan pegangan, sebab ibadah mahdhah tersebut harus berdasarkan adanya dasar dari agama yang memerintahkannya. Namun demikian, kami lebih cenderung sependapat dengan pendapatnya Syekh Nawawi Albantani dalam kitanya Nihayatuz Zain bahwa shalat sunnah seperti shalat hadiah dan yang lainnya yang tidak ada tuntunannya baik dari Alquran atau pun hadis nabi boleh dilakukan. Saya meyakini Allah Maha Tahu maksud seseorang melakukan segala bentuk ibadah.Hal ini sesuai dengan kaidah الأمور بمقادها bahwa setiap sesuatu tergantung dari niatnya.Maksudnya walaupun ibadah yang dilakukan tidak ada tuntunannya, terlebih tidak ada tuntutannya, tetapi tetap dilakukan karena niatnya juga baik, maka hasilnya pun juga baik.Allah pasti mengetahui hal tersebut. Karena  apabila hanya mengandalkan niat seperti pada kaidah di atas, tetapi tidak adanya dasar yang kuat, maka hal tersebut juga berpeluang untuk dikatakan sebagai ibadah yang sia-sia.

B.       Ibadah Ghairu Mahdah
Adalah seluruh perilaku seorang hamba yangdiorientasikan untuk meraih ridho Allah (ibadah). Dalam hal ini tidak ada aturan baku dari Rasulullah. Dalam hadis Jarir ibn `Abdullah disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Barangsiapa merintis jalan yang baik dalam Islam (man sanna fîl Islâm sunnatan hasanah), maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa berkurang sedikit pun pahala mereka; dan barangsiapa merintis jalan yang buruk dalam Islam (man sanna fîl Islâm sunnatan sayyi-ah), maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa berkurang sedikit pun dosa mereka.” (Lihat antara lain: Shahih Muslim, II: 705, Hadis senada diriwayatkan oleh 5 imam antara lain, Nasa’i, Ahmad, Turmudi, Abu Dawud dan Darimi).
Atau dengan kata lain definisi dari Ibadah ghairu mahdhah atau umunya ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialah belajar, dzikir, dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya.
Ibadah Ghairu Mahdhah, ini bisa jadi ibadah dan berpahala jika diniatkan untuk ibadah, seperti cari nafkah untuk hidupi keluarga, tersenyum dengan orang lain, tolong- menolong antar sesama, menafkahkan harta di jalan Allah semua itu diniatkan karena Allah. Namun jika diniatkan hanya untuk cari kerja saja sebagaimana kewajibn kepala keluarga, maka ini tidak bernilai pahala.Jadi amalan ini asalnya mubah.Jika diniatkan karena Allah baru bernilai pahala.Namun perlu diperhatikan bahwa ibadah Ghairu Mahdhah ini jika dijadikan sebagai ibadah murni, maka bisa dinilai bid’ah seperti dikhususkan dengancara dan dikerjakan pada waktu tertentu.Seperti contohnya: Ziarah kubur sebelum masuk ramadhan. Ziarah kubur asalnya boleh kapan saja.Namun jika dikhususkan pada waktu semacam ini, barulah dinilai bid’ah.
Intinya dalam ibadah ghairu mahdhah adalah :
Tidak adanya dalil baik dari Alquran dan pun Nabi yang melarang melakukan ibadah ghairu mahdhah. Artinya, selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang tau mengharamkan maka ibadah bentuk ini boleh dilaksanakan.
Pola atau style pelaksanaan ibadah tersebut tidak selalu persis sama seperti pola yang dilakukan Nabi. Misalnya, cara berinfaq dan bersedekah, jumlah yang diinfaqkan dan disedekahkan atau yang lainnya. Semuanya itu tidak harus sama dengan yang dilakukan nabi.
Ibadah yang dilakukan adalah ibadah yang logis, sehingga baik atau buruk, untung atau pun rugi, bermanfaat atau mengandung mudarat, semuanya dapat ditentukan oleh akal atau logika. Oleh karena itu jika menurut akal sehat, amal yang dianggap ibadah tersebut mengandung keburukan, merugikan, dan berakibat mudharat, maka amal tersebut tidak boleh dilakukan.
Mengandung asas manfaat. Artinya selama amal atau perbuatan yang itu mengandung manfaat, maka ia dapat dikatakan ibadah ghairu mahdhah dan hal ini dibolehkan melakukannya.


2.2    Prinsip-Prinsip Ibadah Mahdhah Dan Ghairu Mahdhah
A.    Prinsip-prinsip ibadah mahdhah
Ibadah mahdhah mempunyai beberapa prinsip, diantaranya:
1.      Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya. Haram kita melakukan ibadah ini selama tidak ada perintah.
2.      Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…(QS. 64)
Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).
Shalat dan haji adalah ibadah mahdhah, maka tatacaranya, Nabi bersabda:
“Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat. Ambillah dari padaku tatacara haji kamu”
Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara mengada-ada, yang populer disebutbid’ah: Sabda Nabi saw.
Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw. adalah karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah Rasul-rasul mereka:
3.      Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebuthikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
4.      Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Dalam Al- Qur’an sudah di jelaskan dalam surat ( Ali imran:102) yang artinya” Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepadanya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam.”[10]Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.

B.       Prinsip-Prinsip Ibadah Ghairu Mahdhah
Ibadah Ghairu mahdhah memiliki beberapa prinsip, diantaranya:
1.      Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan. Selama tidak diharamkan oleh Allah, maka boleh melakukan ibadah ini.
2.      Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
3.      Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
4.      Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.





2.3    Keyakinan-keyakinan Dalam Ibadah Mahdhah
A.    Keyakinan kepada Allah SWT
Kata Iman berasal dari bahasa arab yaitu  امن “ yang artinya aman,damai,tentram. Dalam pengertian lain adalah: Keyakinan, kepercayaan.M Hasbi Ash-Shiddiqi dalam bukunya “Sejarah dan Pengantar I Tauhid / Kalam”, Aqidah Atau Iman  menurut bahasa adalah : sesuatu yang dipegang teguh dan terhujam kuat di dalam lubuk jiwa dan tak dapat beralih padanya[5].Sedangkan pengertian Iman kepada Allah swt  secara istilah adalah mempercayai dengan sepenuh hati Allah (Tuhan) sebagai Pencipta dari segala yang ada dialam semesta ini,dengan mencakup syarat – syarat beriman kepada allah swt sebagai Tuhan yang dilandasi oleh dalil naqli ataupun aqli.Hal-hal yang mengungkap tentang mempercayai allah sebagai tuhan dapat ditemukan didalam landasan naqli (ayat tertulis) ataupun landasan aqli (dengan menggunakan akal/rasionalitas).Ketika kepercayaan kepada Allah tidaklah mantap,maka kepercayaan yang lain tidaklah mantap pula.Oleh karena itu,Allah dan rasul-Nya memerintahkan kepada manusia untuk memantapkan kepercayaan kepada Allah.
Pembahasan mengenai ruang lingkup kita dalam berma’rifat atau mengenal Allah swt kemudian mempercayai-Nya mencakup empat hal [8]:
1.      Iman kepada Kewujudan (adanya) Allah swt
Kewujudan akan adanya Allah telah dibuktikan oleh fitrah kita sebagai manusia yang berakal, syara’ dan indra.Petunjuk akan adanya allah swt lewat aqli atau akal manusia menjelaskan segala yang dahulu pernah ada,pada saat ini ada,dan yang akan datang kemudian,sudah tentu secara rasional menunjukan adanya Pencipta.Tidak mungkin makhluk itu mengadakan dirinya sendiri ataupun ada begitu saja dengan sendirinya.Jika seseorang mengatakan semua didunia ini adalah berdasarkan teori kebetulan (teori evolusi),maka seorang sarjana amerika, Cressy Morrison menjadikan sebuah contoh,untuk melemahkan teori kebetulan dari terbentuknya alam semesta (evolusi)
2.      Iman kepada Rububiyyah-Nya
Artinya ,bahwa Dia adalah satu-satunya Rabb yang tak mempunyai sekutu ataupun penolong.Rabb adalah Dzat yang berwenang mencipta,memiliki,dan memerintah.Tiada pencipta selain Allah,tiada yang memiliki kecualiAllah,serta tiada yang berhak memerintah kecuali Allah.
``Perintah”Rabb disini meliputi segala perintah yang bersifat kauni(alam)dan syar’i.Dia adalah pengatur alam semesta ini,yang mengatursegala apa yang apa di dalamnnya dengan kehendak-Nya sendiri sejalan dengan hikmah-Nya;maka demikian juga,Dia adalah  hakim yang mensyari’atkan peribadahan-peribadahan dan hukum-hukum muamalat sejalan dengan hikmahNya pula.Siapa saja yang menjadikan pensyari’at lain dalam masalah ibadah atau menjadikan hakim lain dalam muamalah disamping Allah,maka ia telah menyekutukaNya dan dengan demikian ia berarti belum merealisasikan keimanan.
3.      Iman kepada Uluhiyah-Nya
Artinya,bahwa Dia adalah satu-satunya ilah yang haq;tiada sekutu bagi-Nya.kata
Sebenarnya dalam kajian Trinitas/Trimurti,konsep tersebut termasuk dalam Politheis,namun mereka tak mau dikatakan demikian.Bahkan mereka mengaku termasuk Monotheis,dan menganggap 1=3 dan 3=1 adalah sama ,termasuk dalam hal uluhiyah(sesembahan). Ibnu Rusyd mengemukakan kenyataan yang dianalogikan seperti masalah tersebut : Kalau dalam satu negara ada dua Presiden,maka pastilah akan terjadi kehancuran,kecuali yang satunya yang bekerja,dan yang lain nganggur.Kalau hal ini dapat terjadi pada manusia, maka Tuhan tidak boleh terjadi ,sebab yang nganggur itu tidak tepat dikatakan Tuhan.Dalam berma’rifat kepada Allah swt ,setelah mengimani akan kewujudan Allah,selanjutnya adalah menjadikan kita sebagai hamba,dan Dia sebagai Tuhan yang wajib disembah.
4.      Iman kepada Nama dan Sifat-sifat-Nya
Nama atau dalam bahasa arabnya ‘Asma’ biasanya digunakan untuk menyebutkan sebuah –inisial-.Dalam pembahasan Nama-nama Allah atau “Asmaul-Husna (Nama-nama yang baik)” tentunya kita sudah tahu bahkan hafal dengan Asmaul-Husna yang berjumlah 99.Ketika kita berma’rifat,kita hendaknya mengimani “Asmaul-Husna (Nama-nama yang baik)” dalam hati kita,dari semua nama lain dari Allahu-ahad yang semuanya berarti baik(husna).
B.     Keyakinan Kepada Malaikat.
Menurut bahasa “ مَلاَئِكَةٌ ” bentuk jama’ dari “مَلَكٌ ”. Konon malaikat berasal dari kata “أَلُوْكَةُ ” (risalah) atau menyampaikan pesan, dan ada yang menyatakan dari “ لأَكَ ” (mengutus) dan ada pula yang berpendapat selain dari keduanya.
Adapun menurut istilah, ia adalah salah satu jenis mahluk Allah yang Ia ciptakan khusus untuk taat dan beribadah kepada-Nya serta mengerjakan semua tugas-tugas-Nya (Q.S. al-Anbiya’:19-20). Malaikat berarti mahluk langit. Sedangkan menurut istilah syara’, malaikat berarti Mahluk ghaib yang diciptakan Allah yang berasal dari nur atau cahaya dengan wujud dan sifat-sifat tertentu dan senantiasa mengabdi dan taat kepada Allah. Tidak diperoleh penjelasan kapan malaikat diciptakan, tetapi diciptakan lebih awal daripada Adam, manusia pertama (Q.S. al-Baqarah:30).
Tanda-tanda beriman pada malaikat ada yang berupa sikap mental yakni pikiran dan perasaan, ada pula yang berupa sikap lahir yaitu ucapan dan perbuatan. Tanda-tanda beriman yang berupa sikap mental itu bersiat abstrak, tidak dapat diketahui dengan pancaindra dan yang mengetahuinya individu itu sendiri dan Allah, Tuhan Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib dan yang nyata (syahadah).
Mengacu kepada ajaran-ajaran Allah yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits, tanda-tanda beriman kepada malaikat yang berupa sikap mental itu seperti:
1.      Meyakini dalam hati bahwa malaikat adalah mahluk yang lebih dulu diciptakan Allah daripada manusia, asal kejadiannya dari nur atau cahaya. Tempat tinggal tetap malaikat adalah di langit, dan dalam rangka melaksanakan perintah Allah setiap saat mereka turun ke bumi(Q.S. Maryam:64).
2.      Meyakini dalam hati bahwa malaikat bersifat ghaib, tidak dapat dilihat oleh manusia biasa, senantiasa mentaati perintah Allah dan tidak pernah mendurhakai-Nya, tidak berjenis laki-laki ataupun wanita, tidak memiliki hawa nafsu dan tidak beranak atau diperanakkan, tidak membutuhkan makanan dan segala apa yang bermateri, para malaikat tidak akan mengalami kematian sebelum datang hari kiamat, para malaikat hanya bisa mengerjakan apa yang hanya diperintahkan oleh Allah, tidak memiliki inisiatif untuk berbuat lain, dan para malaikat itu diciptakan Allah untuk tugas-tugas tertentu(Q.S An-Nur:50 dan Q.S. At-Tahrim:6).
3.      Meyakini bahwa tugas malikat itu bermacam-macam, ada yang berkaitan dengan alam ruhani dan ada pula yang berhubungan dengan alam dunia, khususnya umat manusia.
4.      Meyakini bahwa orang-orang beriman dan beramal shaleh itu kedudukannya lebih tinggi dari pada para malaikat. Karena ilmu para manusia lebih tinggi daripada para malaikat (Q.S. Al-Baqarah:30-34).
Para malaikat diciptakan untuk senantiasa beribadah dan menaati perintah Allah. Dalam ibadahnya tidak dikenal istilah patah semangat dan mengendur. Ibadah-ibadah yang dilakukan oleh para malaikat adalah:
a.       Senantiasa membaca tasbih sebagai dzikir paling agung yang dikerjakan para malikat secara terus menerus.
b.       Malaikat melakukan shalat.
c.       Melaksankan ibadah haji. Malaikat memiliki ka’bah khusus di langit ketujuh yang dengannya mereka menjalankan ibadah haji. Allah menamainya dengan Baitul Ma’mur.
d.      Sangat takut kepada Allah. Pengetahuan yang mendalam terhadap Allah menyebabkan rasa takut mereka kepada Allah sangat  besar.
C.    Keyakinan Kepada Kitab-Kitab Allah SWT
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kitab yaitu buku : bacaan : wahyu Tuhan yang dibukukan. Sedangkan iman yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, nabi, kitab dst : ketetapan hati; keteguhan batin; keseimbangan batin. Yang dimaksud iman kepada kitab-kitab Allah adalah meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada rasul-rasul-Nya untuk disampaikan kepada umatnya sebagai pedoman hidup (petunjuk) bagi umat manusia supaya dapat meraih kebahagian di dunia dan di akhirat. Kita wajib beriman bahwa setiap hukum yang telah disampaikan para rasul kepada umat manusia itu atas perintah yang mereka terima langsung atau dengan perantaraan malaikat. Beriman kepada kitab-kitab Allah SWT berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 285:
Artinya: Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhan-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya .” (Q.S. Al Baqarah (2) : 285)
Beriman kepada kitab-kitab Allah SWT hukumnya wajib. Wajib beriman kepada kitab-kitab Allah yang pernah diturunkan kepada para rasul-Nya; maka pengingkaran terhadap salah satu kitab Allah, sama artinya dengan pengingkaran terhadap kitab-kitab Allah. Mengingkari kitab Allah, sama pula artinya mengingkari kepada Rasulullah, para Malaikat dan kepada Allah SWT. Orang yang mengaku Islam tetapi mengingkari iman kepada kitab-kitab Allah termasuk murtad (keluar dari islam).
Sebab itu, kita wajib beriman kepada kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Ibrahim dan Nabi musa berupa suhuf-suhuf atau lembaran- lembaran (Q.S. 53 : 36-37), Taurat yang diwahyukan kepada nabi Musa ( Q.S. 5 : 44), Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud (Q.S. 17 : 55), Injil yang diwahyukan kepada Nabi Isa putra maryam (Q.S. 5 : 44), dan yang terakhir yaitu kitab Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW (Q.S. 3 : 2-4) Iman kepada kitab-kitab Allah dahulu berarti kita wajib percaya bahwa sebelum Al Qur’an, Allah SWT menurunkan kitab-kitab kepada rasul-rasul dan nabi-nabi-Nya, iman yang tidak mengharuskan kita untuk mengikuti dan patuh terhadap perundang-undangannya. Sebab perundang-undangan kitab-kitab suci yang dahulu telah terhapus, telah digantikan dengan perundang-undangan Al Qur’an. Maka Al Qur’anlah satu-satunya kitab yang sekarang kita ikuti dan kita imani.
D.    Keyakinan Kepada Nabi dan Rasul Allah SWT.
Iman kepada Rasul Allah termasuk rukun iman yang keempat dari enam rukun yang wajib diimani oleh setiap umat Islam. Yang dimaksud iman kepada para rasul ialah mempercayai bahwa Allah telah mengutus para Rasul-Nya untuk membawa syiar agama dan membimbing umat pada jalan yang lurus dan diridhai  oleh Allah SWT.
Nabi dalam bahasa Arab berasal dari kata “naba”artinya ditinggikan, atau dari kata na-ba-a artinya berita. Dinamakan Nabi karena mereka adalah orang yang menceritakan suatu berita dan mereka adalah orang yang diberitahu beritanya (lewat wahyu). Sedangkan kata rasul secara bahasa berasal dari kata “ar-sa-la” artinya mengutus, lalu mengalami perubahan bentuk menjadi “rasul” artinya “orang yang diutus”.
Terdapat perbedaan antara Nabi dan Rasul. Yang dinamakan Nabi adalah seorang laki-laki merdeka yang mendapat wahyu dari Allah dengan hukum syara’ untuk diamalkan sendiri. Sedangkan Rasul ialah seorang laki-laki merdeka yang mendapat wahyu Allah dengan hukum syara’ untuk diamalkan sendiri serta disampaikan kepada orang lain. Dengan demikian, setiap Rasul adalah Nabi, tetapi tidak semua Nabi adalah Rasul.Perbedaan yang lain antara Nabi dan Rasul adalah seorang Rasul mendapatkan syari’at baru sedangkan Nabi diutus untuk mempertahankan syari’at yang sebelumnya.
E.     Keyakinan  Kepada Hari Akhir
Iman , pengertian Iman menurut bahasa adalah “percaya/meyakini”.  Sedangkan Hari Akhir adalah dimana seluruh alam semesta akan hancur, dan ketentuan itu  sudah dirumuskan oleh alloh SWT. Jadi beriman kepada Hari Akhir adalah meyakini dan mempercayai bahwasanya hari akhir pasti akan tiba yang sesuai dengan keterangan-keterangan Alloh melalui firman-firmanya dalam Al-quran.
Beriman kepada hari akhir termasuk salah satu rukun iman yang ke enam, kita wajib beriman pada suatu saat Alloh akan menentukan hari kiamat atau hari akhir, yakni hancurnya alam semesta tanpa ada yang ketingalan sedikitpun, sebagai awal adanya alam akhirat. Sesutu yang telah dijanjikan oleh Alloh pasti adanya firman Alloh dalam surat Al-Hajj ayat 7. Yang artinya : ( Dan sesungguhnya hari kiamat pasti akan datangnya dan bahwsanya Alloh membangkitkan semua orang didalam kubur).
Hari kiamat adalah hari kebangkian manusia dari kubur kemudian dihisab atau dihitung amal perbuatanya semasa hidupnya, amal baik memperolah balasan baik, sedangkan amal jahat memperoleh balasan siksa.  Pada hari itu merupakan hari penghisapan dunia yang sesudahnya tidak ada lagi dan sebagai awal hari akhirat yang ditunggu manusia, karena hari akhirat adalah hari kelanjutan dunia. kapankah hari kiamat itu?
Sesugguhnya hanya Alloh yang maha mengetahui. Meskipun demikian, menurut hadits tanda-tanda hari kiamat dapat diketahui. diantara tanda-tanda hari kiamat dalah :
1.      Terbitnya matahai dari arah barat
2.      Keluarnya semacam binatang melata
3.      Turunya imam mahdi yang akan menegakan syariat islam di muka bumi
4.      Datangnya Dajjal, yakni mahkluk yang menghancurkan serta mmporak porandakan orang-oang yang beragama dan kebenaran agama. ia benar-benar tergolong sakti, misalnya, ia mampu mengambil ikan dilaut yang dalam hanya dengan tanganya dan dibakar dengan matahari yang jauh, mampu menghidupkan orang yang sudah mati,bahkan mampu membawa gambaran adanya surge dan neraka
5.      Turunya Nabi Isa as, untuk membinasakan Dajjal dan menegakan kembali syariat islam yang telah dibawa oleh Rosul saw.
Dalam Al-quran, hari kebangkitan kadang-kadang disebut, antara lain:
a.       Yaumul Qiamah (Hari Kiamat).
b.      Yaumuddin (Hari Pembalasan).
c.       Yaumul Hisab (Hari Pehitungan).
d.      Yaumu Zilzalah (Hari Kegoncanagan).
e.       Yaumu Nusyur (Hari dihalau/kebangkitan).
f.       Yaumul Ba’tsi (Hari Pembangkitan).
g.      Yaumul Jaza’ (Hari Balasan).
h.      Yaumul Fashal (Hari keputusan).
i.        Yaumul Khuld (Hari Kekal).
j.        Yaumul Wa’id (Hari Ancaman).
k.      Yaumul Hasarah (Hari Penyesalan).

F.     Keyakinan Kepada Qada’ Dan Qadar
Iman adalah keyakinan yang diyakini didalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dilaksanakan dengan amal perbuatan. Kalau kita melihat qada’ menurut bahasa artinya Ketetapan. Qada’artinya ketetapan Allah swt kepada setiap mahluk-Nya yang bersifat Azali. Azali Artinya ketetapan itu sudah ada sebelumnya keberadaan atau kelahiran mahluk. Sedangkan Qadar artinya menurut bahasa berarti ukuran. Qadar artinya terjadi penciptaan sesuai dengan ukuran atau timbangan yang telah ditentuan sebelumnya. Qada’ dan Qadar dalam keseharian sering kita sebut dengan takdir.  Jadi, Iman kepa qada’ dan qadar adalah percaya sepenuh hati bahwa sesuatu yang terjadi, sedang terjadi, akan terjadi di alam raya ini, semuangnya telah ditentukan Allah SWT sejak jaman azali. Iman kepada qada’ dan qadar termasuk rukun iman yang keenam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Iman adalah kamu percaya kepada allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul-Nya, hari akhir, dan kamu percaya kepada takdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim)
Dan sabda Rasullullah SAW yang artinya : “Malaikat akan mendatangi nuthfah yang telah menetap dalam rahim selama empat puluh atau empat puluh lima malam seraya berkata; ‘Ya Tuhanku, apakah nantinya ia ini sengsara atau bahagia? ‘ Maka ditetapkanlah (salah satu dari) keduanya. Kemudian malaikat itu bertanya lagi; ‘Ya Tuhanku, apakah nanti ia ini laki-laki ataukah perempuan? ‘ Maka ditetapkanlah antara salah satu dari keduanya, ditetapkan pula amalnya, umurnya, ajalnya, dan rezekinya. Setelah itu catatan ketetapan itu dilipat tanpa ditambah ataupun dikurangi lagi.” (HR. Muslim)
1.      Macam-Macam Takdir
Takdir terbagi menjadi dua bagian,yakni:
a.       Takdir Mu’allaq
Takdir mu’allaq adalah takdir Allah SWT atas makhluknya yang memungkinkan dapat berubah karena usaha dan ikhtiar manusia. Allah berfirman :
b.      Taqdir Mubram
Takdir mubram ialah takdir yang pasti terjadi dan tidak dapat dielakkan kejadiannya. Contohnya nasib manusia, lahir, kematian, jodoh, rizkinya, dan terjadinya kiamat dan sebagainya. Qada’ & qadar Allah SWT yang berhubungan dengan nasib manusia adalah rahasia Allah SWT, hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Manusia diperintahkan mengetahui qada’dan qadarnya melalui usaha dan ikhtiar. Kapan manusia lahir, bagaimana statusnya sosialnya, bagaimana rizkinya ,siapa anak istrinya,dan kapanya meninggalnya,adalah rahasia Allah SWT. Jalan hidup manusia seperti itu sudah ditetapkan sejak zaman azali yaitu masa sebelum terjadinya sesuatu atau massa yang tidak bermulaan. Tidak seorang pun yang mengetahuinya.
2.      Fungsi Beriman Kepada Qada’dan Qadar Allah SWT
Beriman kepada qada’dan qadar mempunyai fungsi penting bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Diantaranya:
a)      Mempunyai semangat ikhtiar
Ikhtar artinya melakukan perbuatan yang baik dengan penuh kesungguhan dan keyakinan akan hasil yang baik bagi dirinya. Dengan pemahaman seperti itulah ,seorang murid akan bekerja keras agar biasa sukses, pedagang akan hidup hemat agar usahanya berkembang, dan sebagainya. Allah SWT berfirman :
b)      Mempunyai sifat sabar dalam menghadapi cobaan
Dengan Percaya qada’ dan qadar , manusia akan sadar bahwa kehidupan adalah ujian – ujian yang harus dilalui dengan sabar. Sabar adalah sikap mental yang teguh pendirian,berani menghadapi tantangan,tahan uji,dan tidak menyerah pada kesulitan. Teguh pendirian berarti tidak mudah goyah dalam memagang prisip atau pedoman hidup,berani menghadapi tantangan berarti berani menghadapi cobaan, penderitaan, kesakitan dan kesensaraan.
c)      Sabar bahwa cobaan adalah qada’dan qadar dari Allah SWT
Segala yang ada di alam semesta hakikatnya adalah milik Allah SWT dan suatu saat akan kembali kepada Allah SWT. Firman Allah SWT :
d)     Tawakal
Tawakal menurut bahasa artinya bersandar atau berserah diri. Dalam istilah agama, tawakal artinya berserah dirisepenuhnya kepada Allah SWT dalam menghadapi atau menunggu hasil dari suatu pekerjaan atau usaha.  Menurut Imam Al-Ghazali, tawakal artinya menyandarkan diri kepada Allah SWT dalam menghadapi setiap kepentingan. Dalam hal ini, tawakal kepada Allah SWT bkan berarti penyandaran diri kepada Allah SWT secara mutlak, melaikan penyandaran diri yang haras didahului dengan kerja keras dalam berikhtiar berdasarkan kemampuan maksimal.

BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya.[9]
  1. Ibadah Mahdah
Adalah  ibadah yang dari segi perkataan, perbuatan telah didesain oleh Allah SWT. kemudian diperintahkan kepada Rasulullah untuk mengerjakannya. Seperti Shalat fardu 5 kali, ibadah puasa ramadhan dan haji. Semuanya adalah bentuk paket dari Allah turun kepada Rasulullah kemudian  wajib ditirukan oleh umatnya tanpa boleh menambah atau memperbaharui sedikitpun.
Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang telah ditetpkan Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya
2.    Ibadah Ghairu Mahdah
Adalah seluruh perilaku seorang hamba yangdiorientasikan untuk meraih ridho Allah (ibadah). Dalam hal ini tidak ada aturan baku dari Rasulullah.
3.      Prinsip-prinsip ibadah mahdhah
Ibadah mahdhah mempunyai beberapa prinsip, diantaranya:
1.      Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya. Haram kita melakukan ibadah ini selama tidak ada perintah.
2.      Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
3.      Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebuthikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
4.      Prinsip-Prinsip Ibadah Ghairu Mahdhah
Ibadah Ghairu mahdhah memiliki beberapa prinsip, diantaranya:
1.      Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan. Selama tidak diharamkan oleh Allah, maka boleh melakukan ibadah ini.
2.      Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
3.      Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
4.      Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.



DAFTAR PUSTAKA

Al- Bantani, Imam Nawawi. Nashaihul Ibad. Toha Putra : Semarang.
Al- Ghazali, Abu Hamid. 2007, Minhaj al Abidin Ila al Jannah. Jogjakarta: Diva Press.
Al- Qardhawi, Yusuf. 2011, Energi Ikhlas, Bandung: Mizan Media Utama.
Al- Aziz, Saifullah. Risalah Memahami Ilmu Tasawwuf, Surabaya: Terbit Terang.
Aziz Ali, M.Ag. 2013, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Prees.
Arfan, Abbas. 2011, Fiqih Ibadah Praktis, Malang: UIN Maliki Prees.
Ash Shiddieqy, Hasbi. 1991, Kuliah Ibadah. Yogyakarta: Bulan Bintang.
Badi’ uz-Zaman Said an-Nursi. 2007, Bersyukurlah....Bersabarlah, Solo: Indiva Pustaka.
Djumransjah. M,Ed. 2006, Filsafat pendidikan, Malang: Bayumedia Publishing.
Syukur, Prof. Amin MA. 2003, Pengantar Studi Islam. Semarang :CV. Bima Sakti.
Gazali, Imam.2012, Mencari kebenaran Hati Nurani Agar Menjadi Insan Kamil, Mahirsindo Utama.
Alim, Drs. Muhammad. 2006, Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1  Latar Belakang Masalah........................................................................ 1
1.2  Rumusan Masalah................................................................................. 2
1.3  Tujuan................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3
2.1  Pengertian ibadah.................................................................................. 3
A.  Ibadah Mahdah................................................................................ 6
B.  Ibadah Ghairu Mahdah............................................................. ....... 8
2.2  Prinsip-Prinsip Ibadah Mahdhah Dan Ghairu Mahdhah..................... 10
A.  Prinsip-prinsip ibadah mahdhah..................................................... 10
B.  Prinsip-Prinsip Ibadah Ghairu Mahdhah........................................ 11
2.3  Keyakinan-keyakinan Dalam Ibadah Mahdhah.................................. 12
A.  Keyakinan kepada Allah SWT....................................................... 12
B.  Keyakinan Kepada Malaikat.......................................................... 14
C.  Keyakinan Kepada Kitab-Kitab Allah SWT ........................... ..... 16
D.  Keyakinan Kepada Nabi dan Rasul Allah SWT....................... ..... 17
E.   Keyakinan  Kepada Hari Akhir...................................................... 17
F.   Keyakinan Kepada Qada’ Dan Qadar........................................... 19

BAB III PENUTUP............................................................................................. 22
3.1  Kesimpulan......................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 25



No comments:

Post a Comment